Anda di halaman 1dari 24

KONSENSUS EROPA TENTANG DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

DARI DEFISIENSI BESI DAN ANEMIA PADA PENYAKIT RADANG


USUS (KOLITIS)

Kata kunci: Kolitis ulseratif; Penyakit Crohn; Anemia; Defisiensi besi; Saturasi
transferin; Anemia penyakit kronis; Penyakit radang usus (kolitis)

1. Pendahuluan

Anemia merupakan suatu komplikasi sistemik yang paling sering terjadi dan
merupakan manifestasi ekstraintestinal dari penyakit radang usus (kolitis).1-3 Pada
sebagian besar kasus, anemia yang terkait dengan penyakit radang usus (kolitis)
merupakan contoh unik dari kombinasi antara defisiensi besi kronis dan anemia
penyakit kronis (ACD). Penyebab lain anemia yang lebih jarang terjadi pada
penyakit radang usus (kolitis), meliputi: defisiensi vitamin B12 dan folat, efek
toksik dari obat-obatan, dan lain- lain. Dampak anemia terhadap kualitas hidup
pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) cukup besar. Kondisi ini
mempengaruhi berbagai aspek kualitas hidup seperti fungsi fisik, fungsi
emosional, dan fungsi kognitif, kemampuan untuk bekerja, rawat inap
(hospitalisasi), dan biaya perawatan kesehatan. Anemia pada penyakit radang usus
(kolitis) bukan hanya tampak pada hasil pemeriksaan laboratorium; penyakit ini
merupakan komplikasi dari penyakit radang usus (kolitis) yang membutuhkan
pendekatan diagnostik dan terapi yang tepat.

Anemia dapat rekuren kembali dengan cepat setelah terapi yang berhasil,
meskipun penggunaan anti-inflamasi telah digunakan secara luas. Tindakan
pencegahan harus dipertimbangkan oleh karena anemia adalah suatu kondisi
medis yang serius yang dapat mengancam jiwa (jika transfusi darah tidak tersedia

1
atau tidak kompatibel). Pencegahan anemia serta pemeliharaan cadangan zat besi
dan vitamin akan sangat diperlukan.

Tujuan dari konsensus ini yang diprakarsai oleh Organisasi Crohn dan
Colitis Eropa (ECCO) adalah untuk membangun pedoman konsensus Eropa
sehubungan dengan diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan defisiensi besi dan
anemia defisiensi besi (IDA), tetapi juga untuk anemia non-defisiensi besi dan
kondisi terkait.

Konsensus ini didasarkan pada bagian-bagian dari publikasi konsensus


berbasis bukti sebelumnya tentang diagnosis dan tatalaksana defisiensi besi dan
anemia pada penyakit usus yang sering terjadi. 7Strategi untuk mencapai
konsensus melibatkan beberapa langkah dan mengikuti prosedur operasi standar
untuk pedoman konsensus dari Organisasi Crohn dan Colitis Eropa (ECCO).
Panggilan terbuka untuk jabatan dan peserta untuk konsensus ini dibuat [lihat
ucapan terima kasih dan www.ecco-ibd]. Para peserta dipilih oleh Komite
Pedoman Organisasi Crohn dan Colitis Eropa (ECCO) [GuiCom] berdasarkan
catatan publikasi dan pernyataan pribadi mereka. Empat kelompok kerja dibentuk:
kelompok kerja 1 pada Diagnosis Anemia, kelompok kerja 2 pada Tatalaksana
Anemia Defisiensi Besi, kelompok kerja 3 pada Pencegahan Anemia Defisiensi
Besi, dan kelompok kerja 4 pada Tatalaksana anemia non-defisiensi besi. Peserta
diminta untuk menjawab pertanyaan yang relevan sehubungan dengan praktek
saat ini dan hal- hal kontroversi yang terkait dengan diagnosis dan tatalaksana
anemia pada penyakit radang usus (kolitis) berdasarkan pengalaman mereka serta
bukti dari literatur [prosedur Delphi]. Secara paralel, anggota kelompok kerja
melakukan pencarian literatur secara sistematis tentang topik mereka dengan kata
kunci yang sesuai, di mana mereka menggunakan Medline / PubMed / ISI /
Scopus dan database Cochrane, serta data mereka sendiri. Tingkat bukti dinilai
berdasarkan Oxford Centre for Evidence-Based Medicine. Pernyataan panduan
sementara [dengan teks pendukung] kemudian ditulis oleh kelompok kerja,
berdasarkan jawaban atas kuesioner, dan didiskusikan di antara anggota kelompok
kerja, sehingga mendorong pertukaran bukti literatur.

2
Pernyataan yang diusulkan dan teks pendukung disampaikan ke platform online
untuk diskusi online dan dua prosedur votingonline, di antara semua peserta
konsensus untuk prosedur voting pertama dan juga untuk semua perwakilan
nasional Organisasi Crohn dan Colitis Eropa (ECCO) untuk prosedur pemungutan
suara kedua. Kelompok kerja akhirnya bertemu di Frankfurt pada 28 Juni 2013
untuk diskusi tatap muka dan memberikan suara dan persetujuan atas pernyataan
tersebut. Secara teknis ini dilakukan dengan memproyeksikan pernyataan dan
merevisinya di layar sampai tercapai konsensus. Konsensus ditetapkan sebagai
kesepakatan oleh lebih dari 80% peserta, disebut Pernyataan Konsensus dan
dinomori untuk kenyamanan dalam dokumen. Naskah fnal ditulis oleh kelompok
kerja bersama dengan anggota kelompok kerja dan direvisi untuk konsistensi oleh
CG dan AD. Pembaruan pedoman konsensus saat ini direncanakan dalam sekitar
4 tahun.

2. Diagnosis Anemia

2.1. Defnisi Anemia

2.1.1. Pernyataan Anemia 1A oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang saat ini digunakan untuk
anemia [Tabel 1] berlaku juga untuk pasien- pasien dengan penyakit radang usus
(kolitis). Semua pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) harus diperiksa
untuk adanya anemia. Bentuk utama dari anemia pada penyakit radang usus
(kolitis) adalah anemia defisiensi besi, anemia penyakit kronis dan anemia dengan
berbagai penyebab [tingkat bukti 5].

Tabel 1. Kadar Hemoglobin dan Hematokrit Minimum yang Digunakan untuk


Mendefinisikan Anemia pada Orang yang Hidup di Permukaan Laut.

Hemoglobin Hematokrit
Kelompok Usia atau Jenis Kelamin
[g/dL] [mmol / dL] [%]
Anak-anak ½ hingga 5 tahun 11,0 6,83 33
Anak-anak 5 hingga 11 tahun 11,5 7,14 34
Anak-anak 12 hingga 13 tahun 12,0 7,45 36
Wanita yang tidak hamil 12,0 7,45 36
Wanita hamil 11,0 6,83 33
Pria 13,0 8,07 39

3
Kadar hemoglobin normal bervariasi sesuai dengan usia dan jenis kelamin.
Faktor-faktor lain juga mempengaruhi kadar hemoglobin seperti kehamilan,
ketinggian yang cukup tinggi, merokok, dan etnisitas. Batas bawah konsentrasi
hemoglobin normal diketahui lebih rendah pada etnis Afrika-Amerika [11,5 g/dL
untuk wanita, 12,9 g/dL untuk pria] dan pada orang tua. Kita perlu untuk
mempertimbangkan faktor modulasi tersebut bila mana hendak
menginterpretasikan kadar hemoglobin dan hematokrit. Defenisi anemia pada
penyakit radang usus (kolitis) tidak berbeda dengan kondisi lain dan adalah masuk
akal bahwa cut-off Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berlaku. Pasien dengan
penyakit radang usus (kolitis) harus secara teratur diperiksa sehubungan dengan
keberadaan anemia karena prevalensinya cukup tinggi, dampaknya terhadap
kualitas hidup, dan komorbiditas yang dapat ditimbulkannya. Sekitar dua pertiga
dari pasien tersebut mengalami anemia saat diagnosis ditegakkan. Selama masa
tindak lanjut, prevalensi dan penyebab anemia dapat mengalami perubahan. Pada
anak-anak, anemia bahkan lebih sering tejadi [sekitar 70%] jika dibandingkan
dengan orang dewasa [sekitar 30–40%].

2.2. Parameter Penyaringan

2.2.1. Pernyataan Anemia 1B oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Pemeriksaan hitung darah lengkap, serum feritin, dan protein C-reaktif (CRP)
harus dilakukan. Untuk pasien-pasien dengan remisi atau penyakit ringan,
pemeriksaan harus dilakukan setiap 6 hingga 12 bulan. Pada pasien- pasien rawat
jalan dengan penyakit aktif, pemeriksaan tersebut harus dilakukan setidaknya
setiap 3 bulan [tingkat bukti 5]. Pasien yang berisiko kekurangan vitamin B12 atau
asam folat [misalnya penyakit usus kecil atau reseksi] membutuhkan pengawasan
yang tepat. Kadar vitamin B12 dan asam folat serum harus diperiksa setidaknya
setiap tahun, atau jika makrositosis positif tanpa adanya penggunaan thiopurine
[tingkat bukti 4].

Risiko berkembangnya anemia berhubungan dengan aktivitas penyakit,


karena kehilangan darah dan anemia penyakit kronis (ACD) dipicu oleh inflamasi
usus. Pemeriksaan hitung darah lengkap, protein C-reaktif (CRP), dan serum
feritin adalah persyaratan minimum untuk mendeteksi anemia, reaksi
inflammatorik, atau defisiensi besi pada tahap awal.

4
Pemeriksaan diagnostik hitung darah lengkap dan protein C-reaktif (CRP) telah
menjadi bagian dari rekomendasi sebelumnya pada penyakit radang usus (kolitis).
Garis waktu yang disarankan didasarkan pada pendapat ahli dan mempengaruhi
praktek klinis umum, tetapi tidak berlaku untuk pasien- pasien rawat inap
(hospitalisasi). Pada pasien-pasien dengan reseksi usus halus yang luas, penyakit
ileum Crohn yang ekstensif, kantong ileum-anal, bukti defisiensi vitamin B12 atau
defisiensi asam folat harus diperiksa lebih sering daripada sekali setahun.

2.3 Pemeriksaan Anemia

2.3.1 Pernyataan Anemia 1C oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Pemeriksaan anemia harus dimulai jika hemoglobin di bawah normal. Pemeriksaan
minimum termasuk indeks sel darah merah (eritrosit) seperti lebar distribusi sel
darah merah (eritrosit) (RDW) dan rata-rata volume corpuscular (MCV), jumlah
retikulosit, jumlah sel darah diferensial, feritin serum, saturasi transferin (TfS), dan
konsentrasi protein C-reaktif (CRP). Pemeriksaan yang lebih luas meliputi
konsentrasi serum vitamin B12, asam folat, haptoglobin, persentase sel-sel merah
hipokromik, hemoglobin retikulosit, dehidrogenase laktat, reseptor transferin larut,
kreatinin, dan urea [tingkat bukti 4]. Saran dari ahli hematologi akan diperlukan
jika penyebab anemia masih belum jelas setelah dilakukannya pemeriksaan yang
lebih ekstensif [tingkat bukti 5]

Tujuan dari rekomendasi ini adalah untuk mengatur ambang batas yang
sesuai untuk memicu tindakan dan memberi saran tentang pemeriksan yang
diperlukan. Pemeriksaan awal anemia harus mengikuti algoritma sederhana yang
banyak digunakan dalam hematologi [Gambar 1]. Mulai dari evaluasi rata-rata
volume corpuscular (MCV), penyebab paling umum anemia pada penyakit radang
usus (kolitis) dapat diketahui: mikrositosis menunjukkan anemia akibat restriksi
zat besi [defisiensi besi yang sesungguhnya atau fungsional], makrositosis dapat
menunjukkan defisiensi B12atau folat, dan anemia normositosis menunjukkan
suatu anemia penyakit kronis (ACD). Dengan demikian, rata-rata volume
corpuscular (MCV) dan rata-rata hemoglobin korpuskuler (MCH) adalah variabel
yang berguna dan tersedia dalam hitung darah lengkap.

5
Dalam anemia penyakit kronis (ACD), mereka mungkin normal atau rendah.
Makrositosis adalah indikasi defisiensi vitamin, tetapi juga dapat terjadi sebagai
akibat dari tatalaksana thiopurine [azathioprine atau 6-mercaptopurine], obat-
obatan lain, penyalahgunaan alkohol, hipotiroidisme, atau retikulositosis.

Pada langkah selanjutnya, jumlah retikulosit harus dihitung. Retikulosit


rendah atau 'normal' menunjukkan ketidakmampuan untuk merespon dengan baik
terhadap anemia, baik karena kekurangan yang menyebabkan erithropoiesis yang
tidak sesuai atau penyakit sumsum tulang primer. Peningkatan retikulosit
menunjukkan peningkatan pembentukan sel darah merah (eritrosit) dan oleh
karena itu mengeksklusikan defisiensi. Sebaliknya, hemolisis harus diperiksa
dengan melakukan estimasi konsentrasi serum haptoglobin, dehidrogenase laktat,
dan bilirubin. Pemeriksaan minimum harus mencakup hitung darah lengkap
dengan rata-rata volume corpuscular (MCV), retikulosit, serum feritin, saturasi
transferin, dan protein C-reaktif (CRP). Sesuai dengan algoritma pada Gambar 1,
pemeriksaan yang lebih luas mungkin termasuk vitamin B12, asam folat,
haptoglobin, jumlah sel darah putih yang berbeda, dan pencitraan sumsum tulang.
Daftar komprehensif dari anemia yang dikelompokkan dengan rata-rata volume
corpuscular (MCV) dan retikulosit adalah diberikan dalam Tabel 2. Dalam
beberapa situasi, mikrositosis dan makrositosis dapat terjadi secara bersamaan,
sehingga dua kelainan dapat menetralkan satu sama lain dan menghasilkan rata-
rata volume corpuscular (MCV) normal. Kisaran luas sel darah merah (eritrosit)
[lebar distribusi sel darah merah (eritrosit) (RDW) tinggi] dapat membantu dalam
situasi ini, karena lebar distribusi sel darah merah (eritrosit) (RDW) merupakan
indikator defisiensi besi.

Jumlah trombosit dan sel darah putih juga tersedia dalam pemeriksaan
hitung darah lengkap dan membantu membedakan anemia terisolasi dari
pansitopenia. Bentuk reseptor transferrin yang bercabang dan larut turut
bersirkulasi dalam plasma dan konsentrasinya berbanding lurus dengan total
massa tubuh reseptor transferin selular. Hal ini meningkat pada plasma dalam
situasi di mana sumsum tulang membutuhkan lebih banyak zat besi, baik dalam

6
aktivitas eritropoietik yang meningkat dan dalam defisiensi besi [defisiensi besi
yang sesungguhnya atau fungsional]. Kenaikan reseptor transferin larut (sTfR)
adalah indikator yang baik dari eritropoiesis akibat defisiensi besi, di mana hal ini
sangat membantu dalam mendeteksi defisiensi besi yang terjadi bersamaan
dengan inflamasi [dengan feritin serum normal atau bahkan lebih tinggi].
Persentase sel-sel merah hipokromik, konsentrasi hemoglobin retikulosit, dan
faktor ukuran sel darah merah (eritrosit) juga penanda yang berguna untuk
penegakan diagnosis erithropoiesisakibat defisiensi besi. Faktor sel darah merah
(eritrosit) adalah parameter baru yang menggabungkan volume eritrosit dan
volume retikulosit. Karena aktivitas penyakit tidak selalu dikaitkan dengan
peningkatan protein fase akut [terutama pada kolitis ulseratif] dan mungkin tidak
disertai gejala klinis, endoskopi mungkin diperlukan untuk mengevaluasi aktivitas
penyakit pada pasien- pasien denganprotein C-reaktif (CRP) rendah atau negatif.

2.4. Defisiensi Besi

2.4.1. Pernyataan Anemia 1D oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Kriteria diagnostik untuk defisiensi besi tergantung pada tingkat inflamasi. Pada
pasien tanpa bukti klinis, endoskopi, atau biokimia dari penyakit aktif, serum
feritin < 30 µg/L merupakan kriteria yang tepat [tingkat bukti 2]. Pada kondisi
inflamasi, serum feritin hingga 100 μg/L mungkin masih konsisten dengan
defisiensi besi [tingkat bukti 4].

Pada penyakit radang usus (kolitis), perbedaan antara anemia defisiensi


besi dan anemia penyakit kronis (ACD) adalah penting, karena kedua kondisi
biasanya tumpang tindih. Dalam tatalaksana pasien dengan penyakit radang usus
(kolitis) dengan anemia, pilihan tatalaksana yang tepat didasarkan pada perbedaan
ini. Defisiensi besi dapat disebabkan oleh hilangnya darah secara terus-menerus
dari permukaan usus yang mengalami ulserasi, malnutrisi dengan asupan besi
yang berkurang, atau gangguan penyerapan zat besi melalui mukosa duo-jejunum.
Dengan tidak adanya biokimia [protein C-reaktif (CRP), ESR, leukosit count] atau
bukti klinis [diare, hematochezia, endoskopi] inflamasi, defisiensi besi
kemungkinan jika feritin serum < 30µg/L.

7
Dengan adanya inflamasi, kadar feritin serum dapat tinggi meskipun terdapat besi
yang kosong.23,24 Dalam kasus tersebut, 100 µg/L dianggap sebagai level cut-off
yang tepat.18,25 Hingga 8 minggu setelah terapi besi intravena, serum kadar ferritin
berkorelasi kurang baik dengan cadangan zat besi tubuh; terapi besi menginduksi
sintesis feritin dan membuat kadar yang tidak tepat tinggi.26 Defisiensi besi tanpa
anemia dapat menyebabkan berbagai gejala klinis, termasuk kelelahan, gangguan
tidur, sindrom kaki gelisah, kehilangan perhatian, ketidakpuasan, agitasi, atau
infertilitas wanita.27–29 Konsentrasi reseptor transferin larut (sTfR) dalam serum
merupakan indikator suplai zat besi yang tersedia untuk eritropoiesis dan, tidak
seperti ferritin, inflamasi kronis tidak berpengaruh pada kadar reseptor transferin
larut (sTfR).22Penelitian terbaru termasuk meta-analisis menunjukkan bahwa
reseptor transferin larut (sTfR) dan reseptor transferin larut (sTfR) / log feritin
index adalah mampu membedakan anemia defisiensi besi dan anemia penyakit
kronis (ACD) dengan akurasi diagnostik yang agak tinggi.30–
32Pemeriksaanreseptor transferin larut (sTfR), persentase sel merah hipokromik
dan hemoglobin retikulosit [dua pemeriksaan terakhir yang berguna dalam
diagnosis defisiensi besi fungsional, lihat di bawah] dapat dipertimbangkan dalam
kasus yang tidak pasti.

2.5. Anemia Penyakit Kronis

2.5.1. Pernyataan Anemia 1E oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Dengan adanya bukti biokimia atau klinis adanya inflamasi, kriteria diagnostik
untuk anemia penyakit kronis (ACD) adalah serum ferritin > 100 µg/L dan
saturasi transferin (TfS) <20%. Jika kadar feritin serum antara 30 dan 100 µg/L,
terdapat kemungkinan kombinasi defisiensi besi dan anemia penyakit kronis
(ACD) [tingkat bukti 2].

Istilah anemia penyakit kronis (ACD) tradisional mencakup semua anemia


yang terkait dengan dan disebabkan oleh penyakit kronis. Pengetahuan
sebelumnya mengakui efek penghambatan peradangan pada respon erythropoietin
terhadap anemia serta penghambatan langsung dari aktivitas eritropoietik di
sumsum tulang.

8
Penelitian yang lebih baru juga menunjukkan bahwa peradangan memiliki efek
mendalam pada metabolisme besi. Pada pasien-pasien dengan peradangan aktif,
berbagai sitokin meningkatkan produksi hepcidin di hati, yang mengurangi ekspor
besi dari makrofag ke dalam sistem retikulotil melalui reduksi ferroportin,
sehingga mengurangi saturasi transferin dan transportasi besi ke erythroblast,
menciptakan suatu situasi defisiensi besi fungsional untuk eritopopoiesis dan
mengurangi eritropoiesis. Sitokin inflamasi juga mengurangi produksi
erythropoietin dan menghambat eritropoesis. Peningkatan hepcidin juga
mengurangi absorpsi besi dari duodenum. Mekanisme gabungan dapat
menyebabkan anemia penyakit kronis (ACD) dengan defisiensi besi fungsional
(FID) dan sering terjadi pada banyak penyakit dengan peradangan, seperti kanker,
penyakit radang usus (kolitis), penyakit rheumathoid, dan lain- lain. Defisiensi zat
besi fungsional didefinisikan sebagai situasi dengan penyimpanan besi normal
atau tinggi, pengurangan transfer besi dari makrofag, kejenuhan transferrin rendah
dalam plasma dan ketersediaan zat besi terbatas di sumsum tulang, yang
mengurangi eritropoiesis. anemia penyakit kronis (ACD) dengan defisiensi besi
fungsional (FID) kemungkinan jika serum feritin di atas 100 µg/L dan saturasi
transferin (TfS) di bawah 20%. Peningkatan sel-sel merah hipokromik dan / atau
penurunan hemoglobin retikulosit menunjukkan defisiensi besi fungsional (FID),
tetapi karena pemeriksaan ini tidak tersedia di banyak pusat, diagnosis defisiensi
besi fungsional (FID) biasanya dibuat dari kombinasi TSAT rendah dan S-ferritin
normal atau tinggi. Selain itu, feritin serum reseptor transferin larut (sTfR) / log
mungkin berguna untuk menyingkirkan defisiensi besi yang sesungguhnya [jika
rasio <1]. Rata-rata volume corpuscular (MCV) mungkin rendah atau normal
dalam anemia penyakit kronis (ACD). Jika defisiensi besi fungsional (FID) tidak
hadir, rata-rata volume corpuscular (MCV) biasanya normal, tetapi ini mungkin
juga terjadi dengan defisiensi besi fungsional (FID). anemia penyakit kronis
(ACD) ± defisiensi besi fungsional (FID) selalu memberikan jumlah retikulosit
yang rendah.

9
Namun, tidak semua pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) dengan
anemia menunjukkan tanda-tanda defisiensi besi fungsional (FID). Pada seorang
pasien individu mungkin ada semua mekanisme di atas yang terlibat dalam
menghasilkan anemia, tetapi kadang-kadang satu aspek kurang menonjol atau
tidak terdeteksi. Oleh karena itu, anemia penyakit kronis mungkin ada dengan
atau tanpa defisiensi besi fungsional (FID).

Definisi berikut bermanfaat dalam konteks ini :

1. Anemia penyakit kronis [anemia penyakit kronis (ACD)]: anemia yang


menyertai penyakit kronis dan terutama disebabkan oleh mekanisme
inflamasi.

2. Anemia penyakit kronis (ACD) dengan defisiensi besi fungsional: anemia


penyakit kronis (ACD) di mana defisiensi besi fungsional (FID) dapat
didiagnosis dengan TSat rendah dan S-ferritin normal atau meningkat [atau
peningkatan kadar sel-sel merah hipokromik dalam darah].

3. Anemia penyakit kronis (ACD) tanpa defisiensi besi fungsional (FID): anemia
penyakit inflamasi kronis tanpa tanda-tanda defisiensi besi fungsional (FID).

4. Anemia akibat restriksi zat besi [IRA]: defenisi ini sekarang banyak digunakan
untuk setiap anemia di mana aktivitas eritropoetic berkurang karena
terbatasnya ketersediaan zat besi di sumsum tulang, baik oleh defisiensi besi
yang sebenarnya atau defisiensi besi fungsional (FID).

10
3. Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi

3.1. Inisiasi Suplementasi Besi

3.1.1. Pernyataan Anemia 2A oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Suplemen zat besi dianjurkan pada semua pasien dengan penyakit radang usus
(kolitis) ketika anemia defisiensi besi (IDA) hadir [tingkat bukti 1].

Kualitas hidup membaik dengan koreksi anemia, dan peningkatan ini tidak
tergantung pada aktivitas klinis. Keputusan untuk melengkapi zat besi pada pasien
tanpa anemia lebih kontroversial dan akan tergantung pada riwayat pasien, gejala
dan preferensi individu. Meskipun ada bukti manfaat dalam mengobati defisiensi
besi tanpa anemia dalam kondisi lain seperti kelelahan kronis dan gagal jantung,
bukti tersebut belum tersedia dalam konteks penyakit radang usus (kolitis).

3.1.2. Pernyataan Anemia 2B oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Tujuan dari suplementasi zat besi adalah untuk menormalkan kadar hemoglobin
dan cadangan zat besi [tingkat bukti 1].

Semakin rendah hemoglobin awal, semakin lama waktu untuk normalisasi


hemoglobin. Peningkatan hemoglobin minimal 2 g/dL dalam waktu 4 minggu
tatalaksana adalah kecepatan respon yang dapat diterima.

3.2. Metode Suplementasi Zat Besi

3.2.1. Pernyataan Anemia 2C oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Pemberian besi intravena harus dipertimbangkan sebagai tatalaksana lini pertama
pada pasien-pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) yang aktif secara klinis,
dengan intoleransi sebelumnya terhadap besi oral, dengan hemoglobin di bawah
10g/dL, dan pada pasien yang membutuhkan agen perangsang erithropoiesis
(ESA) [tingkat bukti 1].

Terapi umum anemia defisiensi besi (IDA) dengan zat besi oral memiliki
keterbatasan yang relevan pada pasien-pasien dengan penyakit radang usus
(kolitis). Besi intravena lebih efektif, menunjukkan respons yang lebih cepat, dan

11
lebih baik ditoleransi daripada besi oral. Oleh karena itu, persiapan zat besi
intravena lebih disukai dalam koreksi anemia terkait penyakit radang usus (kolitis)
dan direkomendasikan juga dalam pedoman internasional sebelumnya. Besi
intravena aman, efektif, dan ditoleransi dengan baik baik dalam koreksi anemia
defisiensi besi (IDA) dan pemeliharaan cadangan zat besi pada pasien-pasien
dengan penyakit radang usus (kolitis). Beberapa persiapan besi intravena saat ini
tersedia untuk tatalaksana anemia defisiensi besi (IDA). Formulasi tersebut
berbeda dengan kimia kompleks dan dapat dikelompokkan menjadi kompleks besi
labil, semi labil, dan stabil. Uji coba besar yang dipublikasikan pada pasien-
pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) tersedia dari besi sukrosa,
carboxymaltose besi dan iso- maltosida besi 1000, Dosis tunggal hingga 7 mg/kg
besi sukrosa telah diuji; dosis berulang dibatasi hingga 200-300 mg per episode
tatalaksana. Untuk carboxymaltose besi, dosis tunggal adalah 500-1000 mg
(hingga 20 mg/kg berat badan [BB]) . Obat ini dapat di absorpsi dalam waktu 15
menit. Serial data kecil juga tersedia untuk ferumoxytol 53,54 yang berlisensi
untuk digunakan pada penyakit ginjal kronis dan saat ini sedang menjalani uji
coba Tahap III dalam sejumlah kondisi lain yang terkait dengan defisiensi besi,
termasuk penyakit radang usus (kolitis) [ClinicalTrials.gov identifer:
NCT01114139, NCT01114217, dan NCT01114204]. Formulasi besi intravena
yang tersedia saat ini tidak diciptakan sama dan belum ada perbandingan langsung
antara formulasi yang berbeda. Jadi, perbandingan langsung formal dari formulasi
intravena yang tersedia saat ini sehubungan dengan kemanjuran, efek samping,
dan parameter lainnya tampaknya tidak tepat, karena efek dosis, pemilihan pasien,
dan parameter lain dalam berbagai percobaan tidak dapat dibandingkan.

Dosis uji diperlukan untuk persiapan dextran besi karena membawa risiko
untuk reaksi anafilaksis yang serius. Risiko kelebihan zat besi pada pasien yang
perdarahan kronis [seperti pada penyakit radang usus (kolitis)] secara intrinsik
rendah, meskipun saturasi transferin di atas 50% dan serum feritin di atas 800
µg/L harus digunakan sebagai batas atas untuk membimbing terapi. Besi

12
intramuskular sudah jarang diberikan karena suntikan yang menyakitkan, merusak
jaringan dan berhubungan dengan efek samping yang tidak dapat diterima.

3.2.2. Pernyataan Anemia 2D oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Estimasi kebutuhan zat besi biasanya didasarkan pada nilai hemoglobin dasar dan
berat badan, dan lebih efektif untuk tatalaksana anemia defisiensi besi (IDA) pada
pasien-pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) daripada dosis individual
berdasarkan rumus Ganzoni tradisional [tingkat bukti 2].

Rumus Ganzoni menggambarkan total defisit besi tubuh dalam miligram


(berat badan dalam kg x [target hemoglobin-hemoglobin aktual dalam g/dL] x
0,24 + 500). Namun, formula ini tidak mudah, rentan terhadap kesalahan, tidak
konsisten digunakan dalam praktek klinis, dan kurang memperkirakan kebutuhan
zat besi. Percobaan FERGIcor membandingkan skema baru dan sederhana [Tabel
3] dengan penghitungan Ganzoni yang dihitung pada pasien anemia dengan
penyakit radang usus (kolitis). Regimen dosis karboksimoseose ferris sederhana
menunjukkan kemanjuran yang lebih baik. dan kepatuhan, serta keamanan yang
baik, dibandingkan dengan rejimen dosis sukrosa besi yang dihitung oleh
Ganzoni. Dalam pengaturan uji klinis ini, skema sederhana hanya digunakan
untuk dosis carboxymaltose besi. Dalam praktek klinis, bagaimanapun, juga
digunakan untuk dosis senyawa besi intravena lainnya. Keterbatasan skema ini
termasuk pasien-pasien dengan hemoglobin di bawah 7,0 g/dL, yang mungkin
membutuhkan tambahan 500 mg. Juga, perkiraan kebutuhan zat besi dalam
defisiensi besi tanpa anemia tidak tercakup. Minimal 500–1000 mg harus
dipertimbangkan.

Tabel 3. Skema Sederhana untuk Estimasi Total Kebutuhan Zat Besi

Hemoglobin g/dL Berat badan < 70 kg Berat badan ≥ 70 kg


10-12 [wanita] 1000 mg 1500 mg
10-13 [pria]
7–10 1500 mg 2000 mg

13
3.2.3. Pernyataan Anemia 2E oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa
(ECCO)
Oral besi efektif pada pasien-pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) dan
dapat digunakan pada pasien-pasien dengan anemia ringan, yang penyakitnya
tidak aktif secara klinis, dan yang sebelumnya tidak toleran terhadap besi oral
[tingkat bukti 1].

Anemia ringan telah didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia


(WHO) sebagai hemoglobin 11,0-11,9 g/dL pada wanita yang tidak hamil dan
11,0-12,9 g /L pada pria. Beberapa penelitian perbandingan menunjukkan bahwa
besi oral mungkin sama efektifnya dengan besi intravena dalam memperbaiki
hemoglobin. Namun, meta-analisis baru-baru ini telah melaporkan perbedaan
yang signifikan dalam feritin dan peningkatan hemoglobin yang mendukung rute
intravena.

Efek samping dari besi oral tergantung dosis. Penyerapan zat besi dari
saluran pencernaan terbatas, dan besi yang tidak diserap terpapar ke permukaan
usus ulseratif. Kerusakan mukosa telah dijelaskan dalam penyakit radang usus
(kolitis). Penelitian pada model binatang penyakit radang usus (kolitis)
menunjukkan bahwa luminal iron dapat memperburuk aktivitas penyakit,
menginduksi. karsinogenesis, dan mengubah mikrobiota usus. Dalam sebuah
penelitian baru-baru ini pada anak-anak Afrika, suplementasi zat besi diet
mempengaruhi mikrobiota dan meningkatkan calprotektin feses. Kebanyakan
penelitian tentang besi oral dilakukan dengan sulfat besi. Data awal pada
formulasi besi baru [seperti maltol besi] menunjukkan keefektifan dengan efek
samping yang diinginkan, bahkan pada pasien-pasien dengan penyakit radang
usus (kolitis) dengan riwayat intoleransi terhadap sulfat besi.

3.2.4. Pernyataan Anemia 2F oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Tidak lebih dari 100 mg besi elemental per hari dianjurkan pada pasien-pasien
dengan penyakit radang usus (kolitis) [tingkat bukti 2].

Penyerapan zat besi setiap hari dari makanan adalah 0,52 mg pada orang
dewasa. Kondisi ini dapat meningkat menjadi 20 mg ketika persediaan besi habis

14
dan zat besi ditambahkan sebagai suplemen. Pada wanita lanjut usia dan wanita
hamil, tatalaksana besi oral dosis rendah [20-100 mg] efektif dalam mengoreksi
anemia. Dosis rendah maltol besi dalam penyakit radang usus (kolitis) juga
efektif. Dosis yang lebih tinggi dikaitkan dengan lebih banyak efek samping dan
kepatuhan yang lebih rendah.

4. Pencegahan Anemia Defisiensi Besi

4.1. Pemantauan untuk Defisiensi Besi Berulang

4.1.1. Pernyataan Anemia 3A oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Pasien-pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) harus dipantau untuk
defisiensi besi berulang setiap 3 bulan untuk setidaknya satu tahun setelah
koreksi, dan antara 6 dan 12 bulan setelahnya [tingkat bukti 4].

Setelah pengisian zat besi yang efektif, anemia berulang cepat, yaitu
sebesar 50% dalam 10 bulan. Oleh karena itu, pasien- pasien dengan penyakit
radang usus (kolitis) harus dimonitor untuk defisiensi besi setiap 3 bulan
menggunakan kombinasi hemoglobin, ferritin, saturasi transferin, dan protein C-
reaktif (CRP).

4.1.2. Pernyataan Anemia 3B oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Anemia rekuren dapat menandakan aktivitas penyakit usus persisten bahkan jika
ada parameter remisi dan inflamasi klinis [protein C-reaktif (CRP) dll] normal
[tingkat bukti 5].

Korelasi yang baik terdapat antara tingkat penyakit usus dan aktivitas di
satu sisi dan jumlah kehilangan darah serta tingkat keparahan anemia di sisi lain.
Oleh karena itu, penting untuk pencegahan rekurensi anemia adalah tatalaksana
penyakit yang mendasarinya. Meskipun tampaknya jelas, langkah ini kadang-
kadang sulit dalam praktik klinis.

Selain itu, efek jangka panjang untuk mengurangi anemia tergantung pada
kemampuan untuk mengontrol infarkasi usus secara memadai.

15
Rekurensi defisiensi besi yang cepat pada pasien asimtomatik harus memacu
kecurigaan seorang dokter pada aktivitas inflamasi subklinis.

4.2. Tatalaksana Preventif untuk Anemia Defisiensi Besi

4.2.1. Pernyataan Anemia 3C oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Tujuan tatalaksana pencegahan adalah mempertahankan kadar hemoglobin dan
serum feritin dalam kisaran normal [tingkat bukti 3].

Defisiensi besi sudah dapat menyebabkan gejala dan merusak kualitas


hidup bahkan ketika anemia yang berkembang secara menyeluruh belum
ditemukan. Bahkan, merupakan hal yang umum dalam praktek klinis sehari-hari
untuk mencari defisiensi zat besi sebagai satu-satunya tanda aktivitas penyakit
pada pasien- pasien dengan penyakit radang usus (kolitis). Keputusan untuk
melengkapi zat besi pada pasien-pasien dengan ferropenia tetapi tanpa anemia
mungkin tergantung pada skenario klinis dan preferensi pasien. Argumen untuk
mengobati ferropenia terisolasi didasarkan pada kenyataan bahwa zat besi sangat
penting untuk semua sel tubuh. Gejala defisiensi besi dapat terjadi tanpa anemia.
Secara khusus, seperti penurunan kinerja fisik dan fungsi kognitif, kelelahan, sakit
kepala, gangguan tidur, kehilangan libido, atau sindrom kaki-gelisah dapat hadir
tanpa anemia dan pertumbuhan kuku, kerusakan kulit, dan regenerasi mukosa
dapat terpengaruh.

4.2.2. Pernyataan Anemia 3D oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Penyakit radang usus (kolitis) yang berkaitan dengan defisiensi besi dan anemia
berulang sering dan cepat, bahkan setelah tatalaksana dengan besi intravena.
Rekurensi defisiensi besi lebih rendah pada pasien-pasien dengan tingkat ferritin
pasca perawatan yang lebih tinggi [tingkat bukti 2].

Anemia tampaknya sering rekuren dan cepat setelah terapi besi intravena.
Kecepatan rekurensi berhubungan dengan ukuran penyimpanan besi pasca
perawatan [seperti yang dibuktikan oleh serum ferritin]. Tingkat feritin serum

16
pasca terapi> 400 μg /L mencegah rekurensi defisiensi besi dalam 1–5 tahun
berikutnya lebih baik daripada tingkat apa pun di bawah nilai tersebut. Dengan
demikian, disarankan bahwa penggantian zat besi intravena mungkin bertujuan
pada kadar feritin hingga 400 μg /L.

4.2.3. Pernyataan Anemia 3E oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Setelah tatalaksana anemia defisiensi besi yang sukses dengan besi intravena,
perawatan ulang dengan besi intravena harus dimulai segera setelah serum feritin
turun di bawah 100 µg/L atau hemoglobin di bawah 12 atau 13 g/dL [menurut
jenis kelamin] [tingkat bukti 2].

Karena anemia defisiensi besi sering berulang dan cepat, terapi penahan
besi dapat mencegah rekurensi anemia. Penelitian FERGImain mengevaluasi
apakah carboxymaltose besi dapat mencegah anemia pada pasien yang
sebelumnya telah berhasil diobati untuk penyakit radang usus (kolitis)-yang
terkait dengan anemia. FERGImain adalah uji coba acak, plasebo terkontrol
termasuk pasien non-anemia yang telah menyelesaikan FERGIcor. Serum ferritin
dinilai setiap 2 bulan dan pasien menerima 500 mg carboxymaltose besi ketika
kadar ferritin turun di bawah 100 μg /L. Analisis Kaplan-Meier pada pasien yang
mengalami anemia menunjukkan tingkat yang secara signifikan lebih rendah pada
tatalaksana carboxymaltose yang diolah dibandingkan dengan pasien yang diobati
dengan plasebo (27% vs 40%, rasio hazard 0,62 [interval konfidensi 95%: 0,38-
1,00]). Karena pemisahan kurva Kaplan-Meier terus meningkat sampai akhir
masa penelitian, manfaat lebih lanjut dari carboxymaltose besi diantisipasi di luar
8 bulan. Dari catatan, gejala gastrointestinal dan penyakit radang usus (kolitis)
kurang sering terjadi pada ferri kelompok carboxymaltose, dan tingkat kejadian
buruk yang sebanding antara carboxymaltose besi dan plasebo.

Meski penelitian itu tidak kuat untuk mendeteksi suguhan efek terapi pada
kualitas hidup, tren positif dalam hal peningkatan karakteristik fisik diamati dalam
mendukung carboxymaltose besi. Penelitian FERGImain menunjukkan bahwa
carboxymaltose besi mencegah rekurensi anemia pada pasien-pasien dengan
penyakit radang usus (kolitis).

17
Berbeda dengan strategi 'nonton dan tunggu' tradisional, FERGImain
memperkenalkan konsep 'proaktif' yang baru. Analisis biaya lebih memilih
pendekatan 'proaktif' untuk tatalaksana anemia karena biaya perawatan kesehatan
rata-rata tahunan lebih dari dua kali lebih tinggi untuk anemia jika dibandingkan
dengan pasien-pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) non-anemia [USD
19,113 vs USD 7678] .

5. Tatalaksana Anemia Non-Defisiensi Besi

5.1. Klasifikasi Anemia Non-Defisiensi Besi

5.1.1. Pernyataan Anemia 4A oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Karakterisasi anemia non-defisiensi besi berdasarkan nilai volume rata-rata
eritrosit (MCV) dan retikulosit direkomendasikan [tingkat bukti 5].

Kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk nilai cut-off


hemoglobin diterima secara luas dan harus digunakan juga untuk anemia non-
defisiensi besi. Faktor modulasi seperti kehamilan, ketinggian, dan usia harus
dipertimbangkan. Anemia pada penyakit radang usus (kolitis) mungkin memiliki
beberapa penyebab selain defisiensi besi. Penyebab anemia non-defisiensi besi
pada penyakit radang usus (kolitis) tidak berbeda dengan kondisi lain dan dengan
demikian dapat dikelompokkan berdasarkan rata-rata volume corpuscular (MCV)
dan retikulosit [Tabel 2]. Tatalaksana awal kerja anemia harus mengikuti
algoritma pada Gambar 1. Secara umum klasifikasi anemia ditunjukkan pada
Tabel 2.

Tidak jarang bahwa lebih dari satu penyebab anemia ada pada pasien
tertentu. Anemia non-defisiensi besi dapat mendahului diagnosis awal penyakit
radang usus (kolitis).

Risiko berkembangnya anemia berhubungan dengan aktivitas penyakit,


karena kehilangan darah dan anemia penyakit kronis dipicu oleh inflamasi usus.

18
Untuk diagnosis banding harus ditekankan bahwa penyebab anemia non-
defisiensi besi pada penyakit radang usus (kolitis) bisa umum, kadang-kadang,
atau tidak biasa [Tabel 4].

Tabel 4. Penyebab Anemia Non-Defisiensi Besi pada Penyakit Radang Usus


(Kolitis); diadaptasi dari referensi.

Sering Anemia penyakit kronis


Jarang Defisiensi cobalamin
Defisiensi folat
Anemia yang diinduksi oleh obat [sulfonalazin, 5-ASA, 6-MP, azathioprine]
Khusus Hemolisis
Sindrom myelodisplasia
Anemia aplastik
Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase

Singkatan: 5-ASA: asam 5-aminosalicylic; 6-MP: 6-merkaptopurin.

Anemia penyakit kronis (ACD) adalah anemia yang paling sering pada
pasien-pasien rawat inap (hospitalisasi) dan berkembang pada pasien yang
menderita penyakit yang berhubungan dengan aktivasi kronis imunitas yang
diperantarai sel, seperti infeksi kronis, gangguan peradangan yang dimediasi
imun, atau keganasan. Anemia penyakit kronis (ACD) ditandai dengan rata-rata
volume corpuscular (MCV) normal dan rendah dan jumlah retikulosit yang rendah
atau normal. Kepentingan klinis khusus juga merupakan penyebab anemia non-
defisiensi besi yang terkait dengan terapi penyakit radang usus (kolitis), hingga
aplasia, hingga hemolisis autoimun, dan B12 atau defisiensi asam folat. Perawatan
anemia non-defisiensi besi mungkin termasuk penyesuaian tatalaksana penyakit
radang usus (kolitis), suplemen nutrisi [B12, asam folat], tatalaksana penyebab lain
seperti infeksi, inflamasi atau keganasan, penggunaan agen perangsang
erithropoiesis [agen perangsang erithropoiesis (ESA)] dan, dalam kasus luar biasa,
pendekatan individual seperti kolektomi, splenektomi, atau ginjal [untuk
hiperoksaluria sekunder] atau transplantasi sumsum tulang.

19
5.2. Inisiasi Agen Perangsang Erithropoiesis

5.2.1. Pernyataan Anemia 4B oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Pasien- pasien dengan anemia penyakit kronis dengan respon insufisiensi terhadap
besi intravena dan meskipun terapi penyakit radang usus (kolitis) yang
dioptimalkan, dapat dipertimbangkan untuk tatalaksana agen perangsang
erithropoiesis (ESA) [tingkat bukti 1] dengan tingkat hemoglobin target tidak di
atas 12 g/dL [tingkat bukti 5].

Kehadiran anemia penyakit kronis merupakan indikator yang jelas dari


penyakit aktif. Oleh karena itu optimalisasi tatalaksana penyakit radang usus
(kolitis) harus mendahului setiap perawatan agen perangsang erithropoiesis
(ESA). Dalam dua uji besar, acak, plasebo-terkontrol memeriksa efek infiksimab
pada tingkat hemoglobin, fungsi fisik, dan kelelahan pada pasien- pasien dengan
ankylosing spondylitis atau rheumatoid arthritis, itu menunjukkan bahwa
tatalaksana infiksimab secara signifikan meningkatkan kadar hemoglobin
dibandingkan dengan placebo bahkan setelah disesuaikan untuk aktivitas
penyakit.

Pada pasien-pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) yang


memerlukan tatalaksana anti-tumor necrosis factor [tumor necrosis factor (TNF)],
respon terhadap terapi telah terbukti memperbaiki eritropoiesis dengan
meningkatkan secara signifikan kadar EPO dan sTFR serum. Menariknya,
infliximab adalah satu-satunya cara untuk mengobati anemia pada beberapa
pasien dengan penyakit radang usus (kolitis). Karena anemia penyakit kronis
mungkin merupakan hasil dari penurunan erithropoiesis sekunder untuk
peningkatan tingkat sitokin pro-inflammatorik [seperti tumor necrosis factor
(TNF)], anti-tumor necrosis factor (anti-TNF) dapat meningkatkan output
sumsum tulang. Sangat mungkin, bagaimanapun, bahwa penyembuhan mukosa
ulserasi daripada efek anti-tumor necrosis factor (anti-TNF) pada sumsum tulang
memicu hasil yang baik.

20
Respons eritroid terhadap besi intravena [IV] dapat diperiksa dengan
jumlah retikulosit setelah infus besi. Pasien-pasien dengan diagnosis anemia
penyakit kronis, yang anemia tidak, atau hanya sebagian berespon terhadap anti-
tumor necrosis factor (anti-TNF) dan IV besi, dapat dipertimbangkan untuk
tatalaksana agen perangsang erithropoiesis (ESA). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa mayoritas pasien-pasien dengan penyakit radang usus
(kolitis) berespon terhadap tatalaksana agen perangsang erithropoiesis (ESA)
dengan peningkatan hemoglobin dan peningkatan kualitas hidup. Untuk
meminimalkan efek samping yang merugikan [thrombosis vena dan / atau
kejadian kardiovaskular] tatalaksana terbatas pada hemoglobin maksimal 12 g/dL
pada kasus kanker atau insufisiensi ginjal. Tidak ada penelitian agen perangsang
erithropoiesis (ESA) jangka panjang pada penyakit radang usus (kolitis), oleh
karena itu tindakan pencegahan yang sama berlaku. Besi intravena bersamaan
harus mencegah defisiensi besi fungsional dan kadar feritin harus di atas 200
µg/L. Tingkat rendah transferin dan EPO rendah berhubungan dengan respon
yang tidak adekuat terhadap besi intravena dan dapat digunakan untuk pemilihan
pasien.

5.3. Unsur Nutrisi dan Suplemen Vitamin

5.3.1. Pernyataan Anemia 4C oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Defisiensi vitamin B12 dan folat harus diobati untuk menghindari anemia [tingkat
bukti 5].

Defisiensi cobalamin dan folat dapat terjadi pada penyakit radang usus
(kolitis), terutama setelah reseksi ileum. Defisiensi folat dan cobalamin
meningkatkan makrositosis, dan kadar serum harus diperiksa pada pasien-pasien
dengan rata-rata volume corpuscular (MCV) tinggi. Dalam kasus yang
meragukan, pemeriksaan homocysteine atau methyl malonate dapat dilakukan.
Peningkatan homosistein menunjukkan defisiensi jaringan baik B12 atau folat
dengan sensitivitas yang lebih besar daripada pemeriksaan B12 serum. Metil
malonat spesifik untuk defisiensi B12 dan juga memiliki sensitivitas yang lebih

21
baik. Tingkat serum vitamin B12 dan asam folat harus diperiksa setidaknya setiap
tahun, atau jika ada makrositosis. Pasien yang berisiko kekurangan vitamin B12
atau asam folat [misalnya penyakit usus kecil atau reseksi] membutuhkan
pengawasan yang lebih ketat. Garis waktu yang direkomendasikan didasarkan
pada pendapat ahli dan refeksi praktik klinis umum, tetapi tidak berlaku untuk
pasien-pasien dengan reseksi usus halus luas, penyakit ileum Crohn ekstensif, atau
kantong ileum-anal.

Beberapa obat yang biasa digunakan dapat mempengaruhi eritropoiesis,


keduanya secara tidak langsung seperti efek 'antifolik' salazopyrine [dengan
menghambat penyerapan folat] dan secara langsung seperti pada kasus
azathioprine atau 6-mercaptoprin. Selain defisiensi folat, sulfonalazin atau asam
5-aminosalisilat telah dikaitkan dengan derajat hemolisis atau aplasia minor.

5.4. Transfusi Darah

5.4.1. Pernyataan Anemia 4D oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Dalam tatalaksana anemia, transfusi sel darah merah (eritrosit) dapat
dipertimbangkan ketika konsentrasi hemoglobin di bawah 7 g/dL, atau di atas jika
gejala atau faktor risiko tertentu ditemukan [tingkat bukti 4]. Transfusi darah
harus diikuti oleh suplementasi besi intravena berikutnya [tingkat bukti 4].

Di masa lalu, transfusi sel darah merah (eritrosit) adalah umum dalam
tatalaksana anemia pada penyakit radang usus (kolitis). Persyaratan transfusi
seperti itu sudah punah dengan pengenalan besi intravena dan agen perangsang
erithropoiesis (ESA). Kebijakan saat ini membatasi transfusi ke situasi khusus,
seperti anemia dengan ketidakstabilan hemodinamik, anemia akut yang parah, dan
atau kegagalan semua perawatan lainnya. Pemicu untuk transfusi adalah variabel
antara dokter dan rumah sakit.

Keputusan untuk melakukan transfusi darah tidak semata-mata berdasarkan


tingkat hemoglobin, tetapi mempertimbangkan komorbiditas dan gejala.

22
Sejauh mana transfusi darah mempengaruhi fungsi kekebalan dan apakah mereka
secara efektif terkait dengan kematian pada pasien yang menjalani operasi atau
sedang dirawat di unit perawatan intensif, tetap kontroversial. Transfusi darah
secara luas digunakan sebagai intervensi segera untuk koreksi cepat anemia berat
atau mengancam jiwa. Namun, transfusi tidak memperbaiki patologi yang
mendasari dan tidak memiliki efek yang bertahan lama. Pilihan lain [termasuk
besi intravena dengan atau tanpa agen perangsang erithropoiesis (ESA)] harus
dipertimbangkan sebelum dan setelah transfusi karena ini hanya sementara dan
tidak mempertahankan hemoglobin normal.

5.5. Investigasi Anemia pada Pasien-pasien dengan Penyakit Radang Usus


(Kolitis) dengan Komorbiditas

5.5.1. Pernyataan Anemia 4E oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Tatalaksana anemia non-defisiensi besi pada penyakit radang usus (kolitis) harus
selalu mengeksklusikan penyakit penyerta lainnya seperti infeksi, malignansi, dan
efek samping obat [tingkat bukti 5].

Pasien-pasien dengan anemia non-defisiensi besi yang tidak dapat


dijelaskan atau / dan karakteristik anemia onset baru penyakit kronis harus selalu
juga dievaluasi untuk kemungkinan infeksi bersamaan yang mendasari.
Investigasi dapat dituntun oleh gejala pasien dan mungkin didasarkan pada
riwayat klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Selain itu,
kanker usus atau ekstraintestinal dengan anemia dapat mempersulit jalannya
penyakit radang usus (kolitis). Thiopurines menghasilkan makrositosis dan dapat
menyebabkan anemia ringan.

5.6. Penyesuaian dan Optimalisasi Terapi Penyakit Radang Usus (Kolitis)

5.6.1. Pernyataan Anemia 4F oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa


(ECCO)
Dalam kasus anemia penyakit kronis, tatalaksana penyakit radang usus (kolitis)
harus dioptimalkan dalam kombinasi dengan tatalaksana yang spesifik untuk
anemia [tingkat bukti 4].

23
Dalam penyakit radang usus (kolitis) aktif, mediator inflammatorik dapat
mengubah metabolisme besi, eritropoiesis, dan kelangsungan hidup eritrosit yang
mengarah ke apa yang disebut anemia penyakit kronis. Untuk mengelola jenis
anemia ini, langkah yang paling penting adalah untuk menimbulkan remisi
sempurna. Karena aktivitas gangguan tidak selalu dikaitkan dengan peningkatan
protein fase akut dan tidak disertai gejala klinis, endoskopi mungkin juga
diperlukan. untuk mengevaluasi aktivitas penyakit pada pasien-pasien dengan
protein C-reaktif (CRP) yang rendah.

5.6.2. Pernyataan Anemia 4G Organisasi Crohn dan Colitis Eropa (ECCO)


Thiopurines jarang menyebabkan anemia terisolasi. Jika penyebab anemia lainnya
dieksklusikan, dosis harus disesuaikan atau penghentian terapi harus
dipertimbangkan [tingkat bukti 4].

Azathioprine [AZA] dan 6-mercaptopurine adalah obat yang efektif untuk


penyakit usus besar [penyakit radang usus (kolitis)] tetapi mereka berhubungan
dengan sejumlah efek samping. Insiden efek samping terkait AZA berkisar antara
5% hingga 25%, dan toksisitas sumsum tulang adalah salah satu kejadian yang
paling serius. Faktanya, AZA telah dikaitkan dengan pansitopenia, anemia
hemolitik autoimun, leukopenia, trombositopenia, makrositosis, dan aplasia sel
darah merah (eritrosit) murni. Penelitian retrospektif telah melaporkan
keseluruhan frekuensi leukopenia pada 3,2%. Leukopenia terjadi ketika 6-
thioguanine [6-TG] terakumulasi dalam jaringan, termasuk jaringan sumsum
tulang. Genotipe dan aktivitas enzim thiopurine methyltransferase [TPMT] tidak
dapat menjelaskan sebagian besar kasus dengan leukopenia. Dalam sebuah
penelitian dengan 41 penyakit Crohn pasien mengembangkan leukopenia atau
trombositopenia selama AZA / 6-MP, tatalaksana hanya 27% kasus dapat
dijelaskan oleh varian TPMT yang paling sering. Selain itu, pemeriksaan aktivitas
enzim TPMT tidak selalu prediktif dan dipengaruhi oleh interaksi obat dan
transfuse darah. Beberapa kasus dapat dijelaskan dengan adanya varian TPMT
yang langka. Pada kasus lain, aktivitas jalur TPMT-6-TG yang meningkat dapat
terjadi akibat pemberian sulfasalazine, mesalamine, allopurinol, cotrimoxazole,
atau diuretik.

24

Anda mungkin juga menyukai