Kata kunci: Kolitis ulseratif; Penyakit Crohn; Anemia; Defisiensi besi; Saturasi
transferin; Anemia penyakit kronis; Penyakit radang usus (kolitis)
1. Pendahuluan
Anemia merupakan suatu komplikasi sistemik yang paling sering terjadi dan
merupakan manifestasi ekstraintestinal dari penyakit radang usus (kolitis).1-3 Pada
sebagian besar kasus, anemia yang terkait dengan penyakit radang usus (kolitis)
merupakan contoh unik dari kombinasi antara defisiensi besi kronis dan anemia
penyakit kronis (ACD). Penyebab lain anemia yang lebih jarang terjadi pada
penyakit radang usus (kolitis), meliputi: defisiensi vitamin B12 dan folat, efek
toksik dari obat-obatan, dan lain- lain. Dampak anemia terhadap kualitas hidup
pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) cukup besar. Kondisi ini
mempengaruhi berbagai aspek kualitas hidup seperti fungsi fisik, fungsi
emosional, dan fungsi kognitif, kemampuan untuk bekerja, rawat inap
(hospitalisasi), dan biaya perawatan kesehatan. Anemia pada penyakit radang usus
(kolitis) bukan hanya tampak pada hasil pemeriksaan laboratorium; penyakit ini
merupakan komplikasi dari penyakit radang usus (kolitis) yang membutuhkan
pendekatan diagnostik dan terapi yang tepat.
Anemia dapat rekuren kembali dengan cepat setelah terapi yang berhasil,
meskipun penggunaan anti-inflamasi telah digunakan secara luas. Tindakan
pencegahan harus dipertimbangkan oleh karena anemia adalah suatu kondisi
medis yang serius yang dapat mengancam jiwa (jika transfusi darah tidak tersedia
1
atau tidak kompatibel). Pencegahan anemia serta pemeliharaan cadangan zat besi
dan vitamin akan sangat diperlukan.
Tujuan dari konsensus ini yang diprakarsai oleh Organisasi Crohn dan
Colitis Eropa (ECCO) adalah untuk membangun pedoman konsensus Eropa
sehubungan dengan diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan defisiensi besi dan
anemia defisiensi besi (IDA), tetapi juga untuk anemia non-defisiensi besi dan
kondisi terkait.
2
Pernyataan yang diusulkan dan teks pendukung disampaikan ke platform online
untuk diskusi online dan dua prosedur votingonline, di antara semua peserta
konsensus untuk prosedur voting pertama dan juga untuk semua perwakilan
nasional Organisasi Crohn dan Colitis Eropa (ECCO) untuk prosedur pemungutan
suara kedua. Kelompok kerja akhirnya bertemu di Frankfurt pada 28 Juni 2013
untuk diskusi tatap muka dan memberikan suara dan persetujuan atas pernyataan
tersebut. Secara teknis ini dilakukan dengan memproyeksikan pernyataan dan
merevisinya di layar sampai tercapai konsensus. Konsensus ditetapkan sebagai
kesepakatan oleh lebih dari 80% peserta, disebut Pernyataan Konsensus dan
dinomori untuk kenyamanan dalam dokumen. Naskah fnal ditulis oleh kelompok
kerja bersama dengan anggota kelompok kerja dan direvisi untuk konsistensi oleh
CG dan AD. Pembaruan pedoman konsensus saat ini direncanakan dalam sekitar
4 tahun.
2. Diagnosis Anemia
Hemoglobin Hematokrit
Kelompok Usia atau Jenis Kelamin
[g/dL] [mmol / dL] [%]
Anak-anak ½ hingga 5 tahun 11,0 6,83 33
Anak-anak 5 hingga 11 tahun 11,5 7,14 34
Anak-anak 12 hingga 13 tahun 12,0 7,45 36
Wanita yang tidak hamil 12,0 7,45 36
Wanita hamil 11,0 6,83 33
Pria 13,0 8,07 39
3
Kadar hemoglobin normal bervariasi sesuai dengan usia dan jenis kelamin.
Faktor-faktor lain juga mempengaruhi kadar hemoglobin seperti kehamilan,
ketinggian yang cukup tinggi, merokok, dan etnisitas. Batas bawah konsentrasi
hemoglobin normal diketahui lebih rendah pada etnis Afrika-Amerika [11,5 g/dL
untuk wanita, 12,9 g/dL untuk pria] dan pada orang tua. Kita perlu untuk
mempertimbangkan faktor modulasi tersebut bila mana hendak
menginterpretasikan kadar hemoglobin dan hematokrit. Defenisi anemia pada
penyakit radang usus (kolitis) tidak berbeda dengan kondisi lain dan adalah masuk
akal bahwa cut-off Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berlaku. Pasien dengan
penyakit radang usus (kolitis) harus secara teratur diperiksa sehubungan dengan
keberadaan anemia karena prevalensinya cukup tinggi, dampaknya terhadap
kualitas hidup, dan komorbiditas yang dapat ditimbulkannya. Sekitar dua pertiga
dari pasien tersebut mengalami anemia saat diagnosis ditegakkan. Selama masa
tindak lanjut, prevalensi dan penyebab anemia dapat mengalami perubahan. Pada
anak-anak, anemia bahkan lebih sering tejadi [sekitar 70%] jika dibandingkan
dengan orang dewasa [sekitar 30–40%].
4
Pemeriksaan diagnostik hitung darah lengkap dan protein C-reaktif (CRP) telah
menjadi bagian dari rekomendasi sebelumnya pada penyakit radang usus (kolitis).
Garis waktu yang disarankan didasarkan pada pendapat ahli dan mempengaruhi
praktek klinis umum, tetapi tidak berlaku untuk pasien- pasien rawat inap
(hospitalisasi). Pada pasien-pasien dengan reseksi usus halus yang luas, penyakit
ileum Crohn yang ekstensif, kantong ileum-anal, bukti defisiensi vitamin B12 atau
defisiensi asam folat harus diperiksa lebih sering daripada sekali setahun.
Tujuan dari rekomendasi ini adalah untuk mengatur ambang batas yang
sesuai untuk memicu tindakan dan memberi saran tentang pemeriksan yang
diperlukan. Pemeriksaan awal anemia harus mengikuti algoritma sederhana yang
banyak digunakan dalam hematologi [Gambar 1]. Mulai dari evaluasi rata-rata
volume corpuscular (MCV), penyebab paling umum anemia pada penyakit radang
usus (kolitis) dapat diketahui: mikrositosis menunjukkan anemia akibat restriksi
zat besi [defisiensi besi yang sesungguhnya atau fungsional], makrositosis dapat
menunjukkan defisiensi B12atau folat, dan anemia normositosis menunjukkan
suatu anemia penyakit kronis (ACD). Dengan demikian, rata-rata volume
corpuscular (MCV) dan rata-rata hemoglobin korpuskuler (MCH) adalah variabel
yang berguna dan tersedia dalam hitung darah lengkap.
5
Dalam anemia penyakit kronis (ACD), mereka mungkin normal atau rendah.
Makrositosis adalah indikasi defisiensi vitamin, tetapi juga dapat terjadi sebagai
akibat dari tatalaksana thiopurine [azathioprine atau 6-mercaptopurine], obat-
obatan lain, penyalahgunaan alkohol, hipotiroidisme, atau retikulositosis.
Jumlah trombosit dan sel darah putih juga tersedia dalam pemeriksaan
hitung darah lengkap dan membantu membedakan anemia terisolasi dari
pansitopenia. Bentuk reseptor transferrin yang bercabang dan larut turut
bersirkulasi dalam plasma dan konsentrasinya berbanding lurus dengan total
massa tubuh reseptor transferin selular. Hal ini meningkat pada plasma dalam
situasi di mana sumsum tulang membutuhkan lebih banyak zat besi, baik dalam
6
aktivitas eritropoietik yang meningkat dan dalam defisiensi besi [defisiensi besi
yang sesungguhnya atau fungsional]. Kenaikan reseptor transferin larut (sTfR)
adalah indikator yang baik dari eritropoiesis akibat defisiensi besi, di mana hal ini
sangat membantu dalam mendeteksi defisiensi besi yang terjadi bersamaan
dengan inflamasi [dengan feritin serum normal atau bahkan lebih tinggi].
Persentase sel-sel merah hipokromik, konsentrasi hemoglobin retikulosit, dan
faktor ukuran sel darah merah (eritrosit) juga penanda yang berguna untuk
penegakan diagnosis erithropoiesisakibat defisiensi besi. Faktor sel darah merah
(eritrosit) adalah parameter baru yang menggabungkan volume eritrosit dan
volume retikulosit. Karena aktivitas penyakit tidak selalu dikaitkan dengan
peningkatan protein fase akut [terutama pada kolitis ulseratif] dan mungkin tidak
disertai gejala klinis, endoskopi mungkin diperlukan untuk mengevaluasi aktivitas
penyakit pada pasien- pasien denganprotein C-reaktif (CRP) rendah atau negatif.
7
Dengan adanya inflamasi, kadar feritin serum dapat tinggi meskipun terdapat besi
yang kosong.23,24 Dalam kasus tersebut, 100 µg/L dianggap sebagai level cut-off
yang tepat.18,25 Hingga 8 minggu setelah terapi besi intravena, serum kadar ferritin
berkorelasi kurang baik dengan cadangan zat besi tubuh; terapi besi menginduksi
sintesis feritin dan membuat kadar yang tidak tepat tinggi.26 Defisiensi besi tanpa
anemia dapat menyebabkan berbagai gejala klinis, termasuk kelelahan, gangguan
tidur, sindrom kaki gelisah, kehilangan perhatian, ketidakpuasan, agitasi, atau
infertilitas wanita.27–29 Konsentrasi reseptor transferin larut (sTfR) dalam serum
merupakan indikator suplai zat besi yang tersedia untuk eritropoiesis dan, tidak
seperti ferritin, inflamasi kronis tidak berpengaruh pada kadar reseptor transferin
larut (sTfR).22Penelitian terbaru termasuk meta-analisis menunjukkan bahwa
reseptor transferin larut (sTfR) dan reseptor transferin larut (sTfR) / log feritin
index adalah mampu membedakan anemia defisiensi besi dan anemia penyakit
kronis (ACD) dengan akurasi diagnostik yang agak tinggi.30–
32Pemeriksaanreseptor transferin larut (sTfR), persentase sel merah hipokromik
dan hemoglobin retikulosit [dua pemeriksaan terakhir yang berguna dalam
diagnosis defisiensi besi fungsional, lihat di bawah] dapat dipertimbangkan dalam
kasus yang tidak pasti.
8
Penelitian yang lebih baru juga menunjukkan bahwa peradangan memiliki efek
mendalam pada metabolisme besi. Pada pasien-pasien dengan peradangan aktif,
berbagai sitokin meningkatkan produksi hepcidin di hati, yang mengurangi ekspor
besi dari makrofag ke dalam sistem retikulotil melalui reduksi ferroportin,
sehingga mengurangi saturasi transferin dan transportasi besi ke erythroblast,
menciptakan suatu situasi defisiensi besi fungsional untuk eritopopoiesis dan
mengurangi eritropoiesis. Sitokin inflamasi juga mengurangi produksi
erythropoietin dan menghambat eritropoesis. Peningkatan hepcidin juga
mengurangi absorpsi besi dari duodenum. Mekanisme gabungan dapat
menyebabkan anemia penyakit kronis (ACD) dengan defisiensi besi fungsional
(FID) dan sering terjadi pada banyak penyakit dengan peradangan, seperti kanker,
penyakit radang usus (kolitis), penyakit rheumathoid, dan lain- lain. Defisiensi zat
besi fungsional didefinisikan sebagai situasi dengan penyimpanan besi normal
atau tinggi, pengurangan transfer besi dari makrofag, kejenuhan transferrin rendah
dalam plasma dan ketersediaan zat besi terbatas di sumsum tulang, yang
mengurangi eritropoiesis. anemia penyakit kronis (ACD) dengan defisiensi besi
fungsional (FID) kemungkinan jika serum feritin di atas 100 µg/L dan saturasi
transferin (TfS) di bawah 20%. Peningkatan sel-sel merah hipokromik dan / atau
penurunan hemoglobin retikulosit menunjukkan defisiensi besi fungsional (FID),
tetapi karena pemeriksaan ini tidak tersedia di banyak pusat, diagnosis defisiensi
besi fungsional (FID) biasanya dibuat dari kombinasi TSAT rendah dan S-ferritin
normal atau tinggi. Selain itu, feritin serum reseptor transferin larut (sTfR) / log
mungkin berguna untuk menyingkirkan defisiensi besi yang sesungguhnya [jika
rasio <1]. Rata-rata volume corpuscular (MCV) mungkin rendah atau normal
dalam anemia penyakit kronis (ACD). Jika defisiensi besi fungsional (FID) tidak
hadir, rata-rata volume corpuscular (MCV) biasanya normal, tetapi ini mungkin
juga terjadi dengan defisiensi besi fungsional (FID). anemia penyakit kronis
(ACD) ± defisiensi besi fungsional (FID) selalu memberikan jumlah retikulosit
yang rendah.
9
Namun, tidak semua pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) dengan
anemia menunjukkan tanda-tanda defisiensi besi fungsional (FID). Pada seorang
pasien individu mungkin ada semua mekanisme di atas yang terlibat dalam
menghasilkan anemia, tetapi kadang-kadang satu aspek kurang menonjol atau
tidak terdeteksi. Oleh karena itu, anemia penyakit kronis mungkin ada dengan
atau tanpa defisiensi besi fungsional (FID).
3. Anemia penyakit kronis (ACD) tanpa defisiensi besi fungsional (FID): anemia
penyakit inflamasi kronis tanpa tanda-tanda defisiensi besi fungsional (FID).
4. Anemia akibat restriksi zat besi [IRA]: defenisi ini sekarang banyak digunakan
untuk setiap anemia di mana aktivitas eritropoetic berkurang karena
terbatasnya ketersediaan zat besi di sumsum tulang, baik oleh defisiensi besi
yang sebenarnya atau defisiensi besi fungsional (FID).
10
3. Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi
Kualitas hidup membaik dengan koreksi anemia, dan peningkatan ini tidak
tergantung pada aktivitas klinis. Keputusan untuk melengkapi zat besi pada pasien
tanpa anemia lebih kontroversial dan akan tergantung pada riwayat pasien, gejala
dan preferensi individu. Meskipun ada bukti manfaat dalam mengobati defisiensi
besi tanpa anemia dalam kondisi lain seperti kelelahan kronis dan gagal jantung,
bukti tersebut belum tersedia dalam konteks penyakit radang usus (kolitis).
Terapi umum anemia defisiensi besi (IDA) dengan zat besi oral memiliki
keterbatasan yang relevan pada pasien-pasien dengan penyakit radang usus
(kolitis). Besi intravena lebih efektif, menunjukkan respons yang lebih cepat, dan
11
lebih baik ditoleransi daripada besi oral. Oleh karena itu, persiapan zat besi
intravena lebih disukai dalam koreksi anemia terkait penyakit radang usus (kolitis)
dan direkomendasikan juga dalam pedoman internasional sebelumnya. Besi
intravena aman, efektif, dan ditoleransi dengan baik baik dalam koreksi anemia
defisiensi besi (IDA) dan pemeliharaan cadangan zat besi pada pasien-pasien
dengan penyakit radang usus (kolitis). Beberapa persiapan besi intravena saat ini
tersedia untuk tatalaksana anemia defisiensi besi (IDA). Formulasi tersebut
berbeda dengan kimia kompleks dan dapat dikelompokkan menjadi kompleks besi
labil, semi labil, dan stabil. Uji coba besar yang dipublikasikan pada pasien-
pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) tersedia dari besi sukrosa,
carboxymaltose besi dan iso- maltosida besi 1000, Dosis tunggal hingga 7 mg/kg
besi sukrosa telah diuji; dosis berulang dibatasi hingga 200-300 mg per episode
tatalaksana. Untuk carboxymaltose besi, dosis tunggal adalah 500-1000 mg
(hingga 20 mg/kg berat badan [BB]) . Obat ini dapat di absorpsi dalam waktu 15
menit. Serial data kecil juga tersedia untuk ferumoxytol 53,54 yang berlisensi
untuk digunakan pada penyakit ginjal kronis dan saat ini sedang menjalani uji
coba Tahap III dalam sejumlah kondisi lain yang terkait dengan defisiensi besi,
termasuk penyakit radang usus (kolitis) [ClinicalTrials.gov identifer:
NCT01114139, NCT01114217, dan NCT01114204]. Formulasi besi intravena
yang tersedia saat ini tidak diciptakan sama dan belum ada perbandingan langsung
antara formulasi yang berbeda. Jadi, perbandingan langsung formal dari formulasi
intravena yang tersedia saat ini sehubungan dengan kemanjuran, efek samping,
dan parameter lainnya tampaknya tidak tepat, karena efek dosis, pemilihan pasien,
dan parameter lain dalam berbagai percobaan tidak dapat dibandingkan.
Dosis uji diperlukan untuk persiapan dextran besi karena membawa risiko
untuk reaksi anafilaksis yang serius. Risiko kelebihan zat besi pada pasien yang
perdarahan kronis [seperti pada penyakit radang usus (kolitis)] secara intrinsik
rendah, meskipun saturasi transferin di atas 50% dan serum feritin di atas 800
µg/L harus digunakan sebagai batas atas untuk membimbing terapi. Besi
12
intramuskular sudah jarang diberikan karena suntikan yang menyakitkan, merusak
jaringan dan berhubungan dengan efek samping yang tidak dapat diterima.
13
3.2.3. Pernyataan Anemia 2E oleh Organisasi Crohn dan Colitis Eropa
(ECCO)
Oral besi efektif pada pasien-pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) dan
dapat digunakan pada pasien-pasien dengan anemia ringan, yang penyakitnya
tidak aktif secara klinis, dan yang sebelumnya tidak toleran terhadap besi oral
[tingkat bukti 1].
Efek samping dari besi oral tergantung dosis. Penyerapan zat besi dari
saluran pencernaan terbatas, dan besi yang tidak diserap terpapar ke permukaan
usus ulseratif. Kerusakan mukosa telah dijelaskan dalam penyakit radang usus
(kolitis). Penelitian pada model binatang penyakit radang usus (kolitis)
menunjukkan bahwa luminal iron dapat memperburuk aktivitas penyakit,
menginduksi. karsinogenesis, dan mengubah mikrobiota usus. Dalam sebuah
penelitian baru-baru ini pada anak-anak Afrika, suplementasi zat besi diet
mempengaruhi mikrobiota dan meningkatkan calprotektin feses. Kebanyakan
penelitian tentang besi oral dilakukan dengan sulfat besi. Data awal pada
formulasi besi baru [seperti maltol besi] menunjukkan keefektifan dengan efek
samping yang diinginkan, bahkan pada pasien-pasien dengan penyakit radang
usus (kolitis) dengan riwayat intoleransi terhadap sulfat besi.
Penyerapan zat besi setiap hari dari makanan adalah 0,52 mg pada orang
dewasa. Kondisi ini dapat meningkat menjadi 20 mg ketika persediaan besi habis
14
dan zat besi ditambahkan sebagai suplemen. Pada wanita lanjut usia dan wanita
hamil, tatalaksana besi oral dosis rendah [20-100 mg] efektif dalam mengoreksi
anemia. Dosis rendah maltol besi dalam penyakit radang usus (kolitis) juga
efektif. Dosis yang lebih tinggi dikaitkan dengan lebih banyak efek samping dan
kepatuhan yang lebih rendah.
Setelah pengisian zat besi yang efektif, anemia berulang cepat, yaitu
sebesar 50% dalam 10 bulan. Oleh karena itu, pasien- pasien dengan penyakit
radang usus (kolitis) harus dimonitor untuk defisiensi besi setiap 3 bulan
menggunakan kombinasi hemoglobin, ferritin, saturasi transferin, dan protein C-
reaktif (CRP).
Korelasi yang baik terdapat antara tingkat penyakit usus dan aktivitas di
satu sisi dan jumlah kehilangan darah serta tingkat keparahan anemia di sisi lain.
Oleh karena itu, penting untuk pencegahan rekurensi anemia adalah tatalaksana
penyakit yang mendasarinya. Meskipun tampaknya jelas, langkah ini kadang-
kadang sulit dalam praktik klinis.
Selain itu, efek jangka panjang untuk mengurangi anemia tergantung pada
kemampuan untuk mengontrol infarkasi usus secara memadai.
15
Rekurensi defisiensi besi yang cepat pada pasien asimtomatik harus memacu
kecurigaan seorang dokter pada aktivitas inflamasi subklinis.
Anemia tampaknya sering rekuren dan cepat setelah terapi besi intravena.
Kecepatan rekurensi berhubungan dengan ukuran penyimpanan besi pasca
perawatan [seperti yang dibuktikan oleh serum ferritin]. Tingkat feritin serum
16
pasca terapi> 400 μg /L mencegah rekurensi defisiensi besi dalam 1–5 tahun
berikutnya lebih baik daripada tingkat apa pun di bawah nilai tersebut. Dengan
demikian, disarankan bahwa penggantian zat besi intravena mungkin bertujuan
pada kadar feritin hingga 400 μg /L.
Karena anemia defisiensi besi sering berulang dan cepat, terapi penahan
besi dapat mencegah rekurensi anemia. Penelitian FERGImain mengevaluasi
apakah carboxymaltose besi dapat mencegah anemia pada pasien yang
sebelumnya telah berhasil diobati untuk penyakit radang usus (kolitis)-yang
terkait dengan anemia. FERGImain adalah uji coba acak, plasebo terkontrol
termasuk pasien non-anemia yang telah menyelesaikan FERGIcor. Serum ferritin
dinilai setiap 2 bulan dan pasien menerima 500 mg carboxymaltose besi ketika
kadar ferritin turun di bawah 100 μg /L. Analisis Kaplan-Meier pada pasien yang
mengalami anemia menunjukkan tingkat yang secara signifikan lebih rendah pada
tatalaksana carboxymaltose yang diolah dibandingkan dengan pasien yang diobati
dengan plasebo (27% vs 40%, rasio hazard 0,62 [interval konfidensi 95%: 0,38-
1,00]). Karena pemisahan kurva Kaplan-Meier terus meningkat sampai akhir
masa penelitian, manfaat lebih lanjut dari carboxymaltose besi diantisipasi di luar
8 bulan. Dari catatan, gejala gastrointestinal dan penyakit radang usus (kolitis)
kurang sering terjadi pada ferri kelompok carboxymaltose, dan tingkat kejadian
buruk yang sebanding antara carboxymaltose besi dan plasebo.
Meski penelitian itu tidak kuat untuk mendeteksi suguhan efek terapi pada
kualitas hidup, tren positif dalam hal peningkatan karakteristik fisik diamati dalam
mendukung carboxymaltose besi. Penelitian FERGImain menunjukkan bahwa
carboxymaltose besi mencegah rekurensi anemia pada pasien-pasien dengan
penyakit radang usus (kolitis).
17
Berbeda dengan strategi 'nonton dan tunggu' tradisional, FERGImain
memperkenalkan konsep 'proaktif' yang baru. Analisis biaya lebih memilih
pendekatan 'proaktif' untuk tatalaksana anemia karena biaya perawatan kesehatan
rata-rata tahunan lebih dari dua kali lebih tinggi untuk anemia jika dibandingkan
dengan pasien-pasien dengan penyakit radang usus (kolitis) non-anemia [USD
19,113 vs USD 7678] .
Tidak jarang bahwa lebih dari satu penyebab anemia ada pada pasien
tertentu. Anemia non-defisiensi besi dapat mendahului diagnosis awal penyakit
radang usus (kolitis).
18
Untuk diagnosis banding harus ditekankan bahwa penyebab anemia non-
defisiensi besi pada penyakit radang usus (kolitis) bisa umum, kadang-kadang,
atau tidak biasa [Tabel 4].
Anemia penyakit kronis (ACD) adalah anemia yang paling sering pada
pasien-pasien rawat inap (hospitalisasi) dan berkembang pada pasien yang
menderita penyakit yang berhubungan dengan aktivasi kronis imunitas yang
diperantarai sel, seperti infeksi kronis, gangguan peradangan yang dimediasi
imun, atau keganasan. Anemia penyakit kronis (ACD) ditandai dengan rata-rata
volume corpuscular (MCV) normal dan rendah dan jumlah retikulosit yang rendah
atau normal. Kepentingan klinis khusus juga merupakan penyebab anemia non-
defisiensi besi yang terkait dengan terapi penyakit radang usus (kolitis), hingga
aplasia, hingga hemolisis autoimun, dan B12 atau defisiensi asam folat. Perawatan
anemia non-defisiensi besi mungkin termasuk penyesuaian tatalaksana penyakit
radang usus (kolitis), suplemen nutrisi [B12, asam folat], tatalaksana penyebab lain
seperti infeksi, inflamasi atau keganasan, penggunaan agen perangsang
erithropoiesis [agen perangsang erithropoiesis (ESA)] dan, dalam kasus luar biasa,
pendekatan individual seperti kolektomi, splenektomi, atau ginjal [untuk
hiperoksaluria sekunder] atau transplantasi sumsum tulang.
19
5.2. Inisiasi Agen Perangsang Erithropoiesis
20
Respons eritroid terhadap besi intravena [IV] dapat diperiksa dengan
jumlah retikulosit setelah infus besi. Pasien-pasien dengan diagnosis anemia
penyakit kronis, yang anemia tidak, atau hanya sebagian berespon terhadap anti-
tumor necrosis factor (anti-TNF) dan IV besi, dapat dipertimbangkan untuk
tatalaksana agen perangsang erithropoiesis (ESA). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa mayoritas pasien-pasien dengan penyakit radang usus
(kolitis) berespon terhadap tatalaksana agen perangsang erithropoiesis (ESA)
dengan peningkatan hemoglobin dan peningkatan kualitas hidup. Untuk
meminimalkan efek samping yang merugikan [thrombosis vena dan / atau
kejadian kardiovaskular] tatalaksana terbatas pada hemoglobin maksimal 12 g/dL
pada kasus kanker atau insufisiensi ginjal. Tidak ada penelitian agen perangsang
erithropoiesis (ESA) jangka panjang pada penyakit radang usus (kolitis), oleh
karena itu tindakan pencegahan yang sama berlaku. Besi intravena bersamaan
harus mencegah defisiensi besi fungsional dan kadar feritin harus di atas 200
µg/L. Tingkat rendah transferin dan EPO rendah berhubungan dengan respon
yang tidak adekuat terhadap besi intravena dan dapat digunakan untuk pemilihan
pasien.
Defisiensi cobalamin dan folat dapat terjadi pada penyakit radang usus
(kolitis), terutama setelah reseksi ileum. Defisiensi folat dan cobalamin
meningkatkan makrositosis, dan kadar serum harus diperiksa pada pasien-pasien
dengan rata-rata volume corpuscular (MCV) tinggi. Dalam kasus yang
meragukan, pemeriksaan homocysteine atau methyl malonate dapat dilakukan.
Peningkatan homosistein menunjukkan defisiensi jaringan baik B12 atau folat
dengan sensitivitas yang lebih besar daripada pemeriksaan B12 serum. Metil
malonat spesifik untuk defisiensi B12 dan juga memiliki sensitivitas yang lebih
21
baik. Tingkat serum vitamin B12 dan asam folat harus diperiksa setidaknya setiap
tahun, atau jika ada makrositosis. Pasien yang berisiko kekurangan vitamin B12
atau asam folat [misalnya penyakit usus kecil atau reseksi] membutuhkan
pengawasan yang lebih ketat. Garis waktu yang direkomendasikan didasarkan
pada pendapat ahli dan refeksi praktik klinis umum, tetapi tidak berlaku untuk
pasien-pasien dengan reseksi usus halus luas, penyakit ileum Crohn ekstensif, atau
kantong ileum-anal.
Di masa lalu, transfusi sel darah merah (eritrosit) adalah umum dalam
tatalaksana anemia pada penyakit radang usus (kolitis). Persyaratan transfusi
seperti itu sudah punah dengan pengenalan besi intravena dan agen perangsang
erithropoiesis (ESA). Kebijakan saat ini membatasi transfusi ke situasi khusus,
seperti anemia dengan ketidakstabilan hemodinamik, anemia akut yang parah, dan
atau kegagalan semua perawatan lainnya. Pemicu untuk transfusi adalah variabel
antara dokter dan rumah sakit.
22
Sejauh mana transfusi darah mempengaruhi fungsi kekebalan dan apakah mereka
secara efektif terkait dengan kematian pada pasien yang menjalani operasi atau
sedang dirawat di unit perawatan intensif, tetap kontroversial. Transfusi darah
secara luas digunakan sebagai intervensi segera untuk koreksi cepat anemia berat
atau mengancam jiwa. Namun, transfusi tidak memperbaiki patologi yang
mendasari dan tidak memiliki efek yang bertahan lama. Pilihan lain [termasuk
besi intravena dengan atau tanpa agen perangsang erithropoiesis (ESA)] harus
dipertimbangkan sebelum dan setelah transfusi karena ini hanya sementara dan
tidak mempertahankan hemoglobin normal.
23
Dalam penyakit radang usus (kolitis) aktif, mediator inflammatorik dapat
mengubah metabolisme besi, eritropoiesis, dan kelangsungan hidup eritrosit yang
mengarah ke apa yang disebut anemia penyakit kronis. Untuk mengelola jenis
anemia ini, langkah yang paling penting adalah untuk menimbulkan remisi
sempurna. Karena aktivitas gangguan tidak selalu dikaitkan dengan peningkatan
protein fase akut dan tidak disertai gejala klinis, endoskopi mungkin juga
diperlukan. untuk mengevaluasi aktivitas penyakit pada pasien-pasien dengan
protein C-reaktif (CRP) yang rendah.
24