Anda di halaman 1dari 77

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY “A” DENGAN DIAGNOSA MEDIS CKD

(CHRONIC KIDNEY DISEASE ) ANEMIA DI RUANG HEMODIALISA RSUP


SANGLAH,DEMPASAR,BALI
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan pembuatan ASKEP dengan judul “Asuhan
Keperawatan Dengan Diagnosa Medis Anemia Pada Pasien Hemodialisa’dengan baik dan
tepat waktu. Adapun pembutan ASKEP ini dilakukan sebagaian pemenuhan tugas
pelatihan hemodialisa yang bertujuan memberikan manfaat yang berguna bagi ilmu
pengetahuan.
Penulis mengucapkan terimkasih pada semua pihak yang telah terlibat dan
membantu dalam pembuatan ASKEP sehingga semua dapat terselesaikan dengan baik dan
lancer.Selain itu,penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
terhadap kekurangan dalam makalah agar selanjutnya penulis dapat memberikan karya
yang lebih baik dan sempurna.Semoga dapat berguna dan bermanfaat bagi pengetahuan
para pembaca.

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Anemia merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang masih sering
ditemukan dan merupakan masalah gizi utama di Indonesia (Rasmaliah,2004).
Anemia dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana kadar haemoglobin
(Hb) dalam darah kurang dari normal, yang berbeda untuk setiap kelompok umur
dan jenis kelamin. Anemia kurang besi adalah salah satu bentuk gangguan gizi
yang merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia,
terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Konsumsi zat besi dari
makanan sering lebih rendah dari dua pertiga kecukupan konsumsi zat besi yang
dianjurkan, dan susunan menu makanan yang dikonsumsi tergolong pada tipe
makanan yang rendah absorbsi zat besinya (Rasmaliah,2004).
Anemia merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada
penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease=CKD). Prevalensi anemia
mencapai 58,5% pada penderita CKD derajat 3 sampai 5 yang tidak menggunakan
dialisis (Cases-Amenos et al., 2014). Penyebab utama anemia pada CKD adalah
defisiensi dan hiporesponsif terhadap eritropoietin. Pasien anemia mengalami
penurunan penghantaran oksigen akibat rendahnya hemoglobin yang berperan
sebagai penghantar oksigen menyebabkan iskemia pada ginjal. Anemia juga
merupakan faktor risiko dari hipertrofi ventrikel kanan (Left Ventricle
Hypertrophy=LVH), gagal jantung, dan mortalitas kardiovaskular (Mehdi dan
Toto, 2009).
Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat pada negara
maju dan berkembang (WHO, 2008). Penderita anemia diperkirakan mencapai
18,4% laki-laki dan 23,9% perempuan di Indonesia. Prevalensi anemia
berdasarkan kelompok usia 12-59 bulan sebanyak 28,1%, 25-34 tahun sebanyak
16,9% dan >75 tahun sebanyak 46% (Riskesdas, 2013). Sebanyak 20-30% kasus
anemia merupakan anemia karena penyakit kronis (Oliveira et al., 2014).
Cronic Kidney Disease (CKD) adalah kondisi irreversible dimana fungsi ginjal

menurun dari waktu ke waktu. CKD biasanya berkembang secara perlahan dan

progresif, kadang sampai bertahun-tahun, dengan pasien sering tidak menyadari

bahwa kondisi mereka telah parah. Kondisi fungsi ginjal memburuk, kemampuan

untuk memproduksi erythropoietin yang memadai terganggu, sehingga terjadi

penurunan produksi baru sel-sel darah merah dan akhirnya terjadi anemia (Denise,

2011).

Sebagian besar pasien GGK mengalami kematian akibat komplikasi

kardiovaskular, hanya sebagian kecil yang mencapai tahap terminal (stadium V) yang

memerlukan pengobatan pengganti ginjal. Hemodialisis (HD) masih merupakan terapi

pengganti ginjal utama disamping peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal di

sebagian besar negara di dunia. HD dapat didefinisikan sebagai suatu proses

pemisahan atau penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu membran

semipermeabel yang dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal baik yang

kronik maupun akut (Setiati, 2014).

Pada proses Hemodialisis terjadi difusi larutan antara darah dan dialisat yang

mengalir kearah berlawanan, dan dipisahkan oleh membran semipermeabel. Masalah

yang paling sering muncul adalah instabilitas kardiovaskuler selama dialisis, dan

sulitnya mendapatkan akses vaskular. Selain itu, pada proses hemodialisis dapat

terjadi defisiensi erythropoietin, dan terjadi kehilangan darah yaitu terjadinya retensi

darah pada dialiser atau tubing pada mesin hemodialisa sehingga menyebabkan

penurunan kadar Hb dalam darah (Muttaqin, 2012). Hemoglobin (Hb) adalah

metalprotein pengangkut oksigen yang mengandung besi dalam sel merah dalam

darah. Molekul Hb terdiri dari globin, apoprotein dan empat gugus heme, suatu

molekul organik dengan satu atom besi. Hb adalah protein yang kaya akan zat besi.
Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk

oxihemoglobin di dalam sel darah merah (Evelyn, 2009).

B. Metode
 Tanya Jawab

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengetahuan tentang asuhan keperawatan
anemia pada pasien yang melakukan hemodialisa .

2. Tujuan Khusus
2.1. Mengidentifikasi anemia pada pasien yang hemodialisa
2.2. Mengetahui tindakan pada pasien anemia yang hemodialisa
D. Manfaat

1. Bagi Rumah Sakit


Dapat bermanfaat untuk memberikan informasi kepada pasien
tentang anemia. Dan juga bisa meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
pada pasien anemia yang melakukan hemodialisa.
2. Bagi Masyarakat
Dapat berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang
anemia pada pasien yang akan melakukan memodialisa.
3. Bagi pasien
Dapat memberikan informasi sebagai acuan dalam mengontrol Hb
agar tidak terjadi Anemia.
4. Bagi Perawat
Bisa digunakan untuk dokumen dan bahan masukan yang
bermanfaat untuk mengembangkan ilmu dan juga dapat digunakan sebagai
bahan acuan tindakan keperawatan selanjutnya
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Penyakit

I. ANEMIA

1. Pengertian
Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel

darah merah dan hematokrit dibawah normal, secara fisiologis, anemia

terjadi apa bila terdapat kekurangan jumlah haemoglobin untuk

mengangkut oksigen ke jaringan. (Smeltzer,Suzanne C, 2001)

Anemia adalah penurunan kapasitas darah dalam membawa

oksigen akibat penurunan produksi sel darah merah, dan / atau penurunan

hemoglobin (Hb) dalam darah. Anemia sering didefinisikan sebagai

penurunan kadar Hb dalam darah sampai di bawah rentang normal 13,3

gr% (pria), 11,5 gr% (wanita dan 11 gr% (anak-anak) (Fraser, Diane M,

2009).

Anemia adalah penurunan kapasitas darah dalam membawa

oksigen; hal tersebut dapat terjadi akibat penurunan Sel Darah Merah

(SDM), dan / atau penurunan hemoglobin (Hb) dalam darah. (Fraser

Diane dan Cooper A Margaret, 2009)

Sesuai dengan pengertian anemia menurut para ahli, penulis dapat

menyimpul kananemia adalah menurunnya jumlah sel darah merah

ataukonsentrasihemoglobin dalam sirkulasi darah menurun.


2. Anatomi dan Fisiologi
2.1. Anatomi sistem hematologi

Sistem hematologi tersusun atas darah dan tempat darah diproduksi,

termasuk sumsum tulang dan nodus limpa.Darah adalah organ

khusus yang berbeda dengan organ lainkarena berbentuk

cairan.Darah merupakan medium transport tubuh, volume darah

manusia sekitar 7% - 10% berat badan normal dan berjumlah

sekitar 5 liter. Keadaan jumlah darah pada tiap-tiap orangtidak

sama, bergantung pada usia, pekerjaan, serta keadaan jantung atau

pembuluh darah. Darah terdiri atas 2 komponen utama, yaitu

sebagai berikut :

1) Plasma darah, bagian cair darah yang

sebagian besar terdiri atas air, elektrolit, dan

protein darah.

2) Butir-butir darah (blood corpuscles), yang

terdiri atas komponen-komponen berikut ini.

3) Eritrosit : sel darah merah (Sel Darah

Merah ± red blood cell).

Gambar 2.1 Sel Darah

4) Leukosit : sel darah putih (Sel Darah Putih


± white blood cell).

5) Trombosit : butir pembekuan darah ±

platelet.

Tabel 2.1

Kriteria kadar / nilai HB pada Anemia

No Jenis kelamin/ usia Kadar hemoglobin


1 laki-laki Hb <13gr/dl
2 perempuan dewasa tidak hamil Hb <12gr/dl
3 Perempuan Hb <11gr/dl
4 Anak usia 6-14 tahun Hb <12gr/dl
5 Anak usia 6 bulan-6 tahun Hb <11gr/dl

Untuk kriteria anemia di klinik, rumah sakit,atau praktik klinik pada

umumnya dinyatakan anemia bila terdapat nilai sebagai berikut.

1. Hemoglobin<10gr/dl

2. Hematokrit <30%

3. Eritrosit <2,8juta

Tabel 2.2

Pembagian derajat anemia menurut WHO dan NCI (National Cancer Institute)

DERAJAT WHO NCI

Derajat 0 (nilai normal) >11.0 g/dL Perempuan 12.0 - 16.0 g/dL

Derajat 1 (ringan) 9.5 - 10.9 g/dL Laki-laki 14.0 - 18.0 g/dL


Derajat 2 (sedang) 8.0 - 9.4 g/dL 10.0 g/dL - nilai normal
Derajat 3 (berat) 6.5 - 7.9 g/dL 8.0 - 10.0 g/dL
Derajat 4 (mengancam jiwa) < 6.5 g/dL 6.5 - 7.9 g/dL
< 6.5 g/Dl
2.2. Sel Darah Merah (Eritrosit)

Sel darah merah merupakan cairan bikonkaf dengan diameter sekitar 7

mikron.Bikonkavitas memungkinkan gerakan oksigen masuk dan keluar

sel secara cepatdengan jarak yang pendek antara membran dan inti

sel.Warna kuning kemerahan-merahan, karena di dalamnya mengandung

suatu zat yang dsebut Hemoglobin. Komponen eritrosit adalah membrane

eritrosit, sistem enzim; enzim G6PD ( Glucose6-Phosphatedehydrogenase)

dan hemoglobin yang terdiri atas heme dan globin.Jumlah eritrosit normal

pada orang dewasa kira-kira 11,5-15 gr dalam 100 cc darah. Normal Hb

wanita 11,5 mg% dan Hb laki-laki 13,0 mg%.

Sel darah merah memiliki bermacam antigen :

1) Antigen A, B dan O

2) Antigen Rh

Proses penghacuran sel darah merah terjadi karena proses penuaan dan

proses patologis. Hemolisis yang tejadi pada eritrosit akan mengakibatkan

terurainya komponen hemoglobin yaitu komponen protein dan komponen

heme.

2.3. Sel Darah Putih (Leukosit)

Bentuknya dapat berubah-ubah dan dapat bergerak dengan perantaraan

kaki kapsul(pseudopodia). Mempunyai macam-macam inti sel, sehingga ia

dapat dibedakan menurut inti selnya serta warna bening (tidak berwarna).

Sel darah putih dibentuk di sumsum tulang dari sel-sel bakal.

Jenis jenis dari golongan sel ini adalah golongan yang tidak bergranula,

yaitu
limfosit T dan B ; monosit dan makrofag; serta golongan yang bergranula

yaitu :

3) Eosinofil

4) Basofil

5) Neutrofil

Fungsi sel darah putih :

1) Sebagai serdadu tubuh, yaitu membunuh kuman dan memakan bibit

penyakit, bakteri yang masuk ke dalam tubuh jaringan RES (sistem retikulo

endotel).

2) Sebagai pengangkut, yaitu mengangkut/ membawa zat lemak dari dinding

ususmelalui limpa terus ke pembuluh darah

Jenis sel darah putih

1) Agranulosit

Memiliki granula kecil di dalam protoplasmanya, memiliki diameter 10-

12mikron. Dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan pewarnaannya :

a) Neutrofil

Granula yang tidak berwarna mempunyai inti sel yang terangkai,

kadangseperti terpisah pisah, protoplasmanya banyak berbintik-

bintik halus/granula, serta banyaknya sekitar 60-70%.

b) Eusinofil

Granula berwarna merah, banyaknya kira-kira 24%.


c) Basofil
Granula berwarna biru dengan pewarnaan basa, sel ini lebih kecil

daripadaeosinofil, tetapi mempunyai inti yang bentuknya teratur.

Eusinofil, neutrofil dan basofil berfungsi sebagai fagosit dalam mencerna

dan menghancurkan mikroorganisme dan sisa-sisa sel.

2) Granulosita

a) Limfosit

Limfosit memiliki nucleus bear bulat dengan menempati sebagian

besar sel limfosit berkembang dalam jaringan limfe.

1) Limfosit T

Limfosit T meninggalkan sumsum tulang dan berkembang lama,kemudian

bermigrasi menuju timus. Setelah meninggalkan timus, sel-sel ini beredar

dalam darah sampai mereka bertemu dengan antigen dimana mereka telah

di program untuk mengenalinya. Setelah dirangsang oleh antigennya, sel-

sel ini menghasilkanbahan-bahankimia yang menghancurkan

mikrooranisme dan memberitahu sel darah putih lainnya bahwa telah

terjadi infeksi.

2) Limfosit B

Terbentuk di sumsum tulang lalu bersirkulasi dalam darah

sampaimenjumpai antigen dimana mereka telah diprogram

untuk mengenalinya.Pada tahap ini limfosit B mengalami pematangan lebih

lanjut dan menjadi sel plasma serta menghasilkan antibodi.


b) Monosit

Monosit dibentuk dalam bentuk imatur dan mengalami proses

pematanganmenjadi makrofag setelah msuk ke jaringan. Fungsinya

sebagai fagosit. Jumlahnya 34% dari total komponen yang ada di sel darah

putih.

2.4. Keping Darah (Trombosit)

Trombosit adalah bagian dari beberapa sel-sel besar dalam sumsum tulang

yang terbentuk cakram bulat, oval, bikonveks, tidak berinti, dan hidup

sekitar 10 hari. Trombosit berperan penting dalam pembentukan bekuan

darah. Fungsi lain dalam trombosit yaitu untuk mengubah bentuk dan

kualitas setelah berikatan dengan pembuluh darah yang cedera.

2.5. Plasma darah

Bagian darah yang encer tanpa sel-sel darah, warnanya bening kekuning-

kuningan.Hampir 90% plasma terdiri atas air. Plasma diperoleh dengan

memutar sel darah, plasma diberikan secara intravenauntuk:

mengembalikan volume darah, menyediakan substansi yang hilang dari

darahklien.

2.6. Limpa

Limpa merupakan organ ungu lunak kurang lebih berukuran satu kepalan

tangan. Limpa terletak pada pojok atas kiri abdomen dibawah kostae.

Limpa memiliki permukaan luar konveks yang berhadapan dengan


diafragma dan permukaan medialyang konkaf serta berhadapan dengan

lambung, fleksura, linealis kolon dan ginjalkiri.Limpa terdiri atas kapsula

jaringan fibroelastin, folikel limpa (masa jaringan limpa),dan pilpa merah (

jaringan ikat, sel eritrost, sel leukosit). Suplai darah oleh arterilinealis yang

keluar dari arteri coeliaca.

Fungsi Limpa

a) Pembentukan sel eritrosit (hanya pada janin).

b) Destruksi sel eritrosit tua.

c) Penyimpanan zat besi dari sel-sel yang dihancurkan.

d) Produksi bilirubin dari eritrosit.

e) Pembentukan limfosit dalam folikel limpa.

f) Pembentukan immunoglobulin.

g) Pembuangan partikel asing dari darah.

2.7. Fisiologi Sistem Hematologia.

Sebagai alat pengangkut yaitu :

1. Mengambil O2/zat pembakaran dari paru-paru untuk diedarkan

keseluruh jaringan tubuh.

2. Mengangkat CO2 dari jaringan untuk dikeluarkan melalui paru-paru.

3. Mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk diedarkan dan

dibagikankeseluruh jaringan/alat tubuh.

4. Mengangkat/mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh

untuk dikeluarkan melalui kulit dan ginjal.


5. Mengatur keseimbangan cairan tubuh.

6. Mengatur panas tubuh.

7. Berperan serta dala, mengatur pH cairan tubuh

8. Mempertahankan tubuh dari serangan penyakit infeksi.

9. Mencegah

perdarahan. (Handayani,

2008)

3. Etiologi

3.1. Berdasarkan ukuran sel darah merah ( Varney H,2006)

A. Anemia mikrositik (penurunan ukuran sel darah


merah)

a) Kekurangan zat besi

b) Talasemia (tidak efektifnya eritropoiesis dan meningkatnya

hemolisis yang mengakibatkan tidak ade kuatnya kandungan

hemoglobin)

c) Ganguan hemoglobin E (jenis hemoglobin genetik yang banyak di

temukan di Asia Tenggara)

d) Keracuanan timah

e) Penyakit kronis (infeksi, tumor)

B. Anemia normositik (ukuran sel darah merah normal)

a) Sel darah merah yang hilang atau rusak meningkat

b) Kehilangan sel darah merah akut.

c) Gangguan hemolisis darah

d) Penyakit sel sabit hemoglobin (sickle cell disease)

e) Ganggauan C hemoglobin

f) Sterocitosis banyak di temukan di eropa utara


g) Kekurangan G6PD (glucose-6-phosphate dehi-drogenase)
h) Anemia hemolitik (efek samping obat)

i) Anemia hemolisis autoimun.

C. Penurunan produksi sel darah merah

a) Anemia aplastik (gagal sumsum tulang belakang yamg mengancam

jiwa)

b) Penyakit kronis (penyakit hati, gagal ginjal, infeksi, tumor)

D. Ekpansi berlebihan volume plasma pada kehamilan dan hidrasi

berlebihan

3.2. Anemia defisiensi zat besi (Fe)

Merupakan anemia yang terjadi karena kekurangan zat besi yang

merupakan bahan baku pembuat sel darah dan hemoglobin. Kekurangan zat

besi (Fe) dapat disebabkan oleh berbagai hal yaitu :

A. Asupan yang kurang mengandung zat besi.

B. Penurunan resorbsi karena kelainan pada usus atau karena banyak

mengkonsumsi teh.

C. Kebutuhan yang meningkat

D. Jika kebutuhan Fe tidak dipasok denang pemberian nutrisi yang

mencukupi, maka akan mengalami defisiensi Fe.

3.3. Anemia megaloblastik

Merupakan anemia yang terjadi karena kekurangan asam folat atau disebut

dengan anemia defisiensi asam folat. Asam folat merupakan bahan esensial

untuk sintesis DNA dan RNA yang penting untuk metabolisme inti sel.
DNA diperlukan untuk sintesis, sedangkan RNA untuk pematangan sel.

Berdasarkan bentuk sel darah, anemia megaloblastik tergolong dalam

anemia makrositik, seperti pada anemia pernissiosa. Ada beberapa penyebab

penurunan asam folat yaitu :

A. Masukan yang kurang.

B. Gangguan absorbsi. Adanya penyakit/ ganggguan pada gastrointestinal

dapat menghambat absorbsi bahan makanan yang diperlukan tubuh.

C. Pemberian obat yang antagonis tehadap asam folat. Obat-obat tersebut

dapat menghambat kerja asam folat dalam tubuh, karena mempunyai

sifat yang bertentangan.

3.4.Anemia pernisiosa

Merupakan anemia yang terjadi karena kekurangan vitamin B12.Anemia

pernisiosa ini tergolong anemia defisiensi asam folat. Bentuk sel darahnya

tergolong anemia makrositik normokromik, yaitu ukuran sel darah merah

yang besar dengan bentuk abnormal tetapi kadar Hb normal.VitaminB12

(kobalomin) berfungsi untuk pematangan normoblas, metabolisme jaringan

saraf dan purin. Selain asupan yang kurang, anemia pernisiosa dapat

disebabkan karena adanya kerusakan lambung, sehingga lambung tidak

dapat mngeluarkan secret yang berfungsi untuk absorbsi B12.

3.5. Anemia pascaperdarahan

Terjadi sebagai akibat dari perdarahan yang passif (perdarahan terus-

menerus dalam jumlah banyak) seperti pada kecelakaan, operasi dan


persalinan dengan perdarahan hebat yang dapat terjadi secara mendadak

maupun menahun. Akibat kehilangan darah yang mendadak maka akan

terjadi reflek cardiovascular yang fisiologis berupa kontraksi arteriol,

pengurangan aliran darah ke organ yang kurang vital dan penambahan aliran

darah ke organ vital (otak dan jantung). Kehilangan darah yang mendadak

lebih berbahaya dibandingkan dengan kehilangan darah dalam waktu lama.

Selain reflek kardiovaskuler, akan terjadi pergeseran cairan ekstravaskuler

ke intravaskuler agar tekanan osmotic dapat dipertahankan. Akibatnya,

terjadi hemodialisis dengan gejala :

1. Rendahnya Hemoglobin, eritrosit, dan hematokrit

2. Leucositosis

3. Kadang terdapat gagal jantung

4. Kelainan cerebral akibat hiposekmia

5. Menurunnya aliran darah ke ginjal, sehingga dapat menyebabkan

oliguria/anuria.

3.6. Anemia aplastik

Merupakan anemia yang ditandai dengan pansitopenia (penurunan jumlah

semua sel darah) darah tepidan menurunya selularitas sumsum

tulang.Berdasarkan bentuk sel darahnya, anemia ini termasuk anemia

normisitik seperti anemia pasca perdarahan. Beberapa penyebab terjadinya

anemia aplastik adalah:

1. Menurunnya jumlah sel induk yang merupakan bahan dasar sel darah

merah. Penurunan sel induk terjadi karena bawaan,selain karena bawaan


penurunan sel induk bisa terjadi karena adanya pemakaian obat-obatan

seperti bisulfan, kloranfenikol, dan klopromazina. Obat-obat tersebut

mengakibatkan penekanan pada sumsum tulang.

2. Lingkungan mikro (micro environment) seperti radiasi dan kemoterapi

yang lama dapat mengakibatkan sembab yang fibrinus dan infiltrasi

sel.

3. Penurunan poitin, sehingga yang berfungsi merangsang tumbuhnya

sel-sel darah dalam sumsum tulang tidak ada.

4. Adanya sel inhibitor (T. limposit) sehingga menekan / menghambat

maturasi sel-sel induk pada sumsum tulang.

3.7. Anemia hemolitik

Merupakan anemia yang terjadi karena umur eritrosit yang lebih pendek/

prematur.Secara normal, eritrosit berumur antara 100-120 hari. Adanya

penghancuran eritrosit yang berlebihan akan mempengaruhi fungsi hepar,

sehingga ada kemungkinan terjadinya peningkatan bilirubin. Selain itu,

sumsum tulang dapat membentuk 6-8 kali lebih banyak system eritropoetik

dari biasanya, sehingga banyak dijumpai eritrosit dan retikulosit pada darah

tepi.Kekurangan bahan pembentuk sel darah, seperti vitamin, protein, atau

adanya infeksi dapat mengyebabkan ketidakseimbangan antara

penghancuran dan pembentukan system eritropoetik. Penyebab anemia

hemolitik diduga adalah :

1. Congenital, misalnya kelainan rantai Hemoglobin dan difisiensi enzim

G6PD
2. Didapat, misalnya infeksi, sepsis, penggunaan obat-obatan, dan

keganasan sel

3.8. Anemia sickle cell

Merupakan anemia yang terjadi karena sintesa Hemoglobin abnormal dan

mudah rusak, serta merupakan penyakit keturunan (hereditary

hemoglobinopathy).Anemia sickle cell ini menyerupai anemia hemolitik.

4. Manifestasi Klinis

Selain beratnya anemia, bebagai faktor mempengaruhi berat dan adanya

gejala:( Smelzer, Suzanne C, 2001 )

1. Kecepatan kejadian anemia

2. Durasinya (misal. Kronisitas)

3. Kebutuhan metabolisme pasien

4. Adanya kelainan lain atau kecacatan

5. Komplikasi tertentu atau keadaan penyerta yang mengakibatkan anemia.

Semakin cepat perkembangan anemia, semakin berat gejalanya. Pada orang

yang normal penurunan hemoglobin, hitung darah merah, atau hematokirt

tanpa gejala yang tampak atau ketidakmampuan yang jelas secara bertahap

biasanya dapat ditoleransi sampai 50%, sedangkan kehilangan cepat

sebanyak 30% dapat menyebabkan kolaps vaskuler pada individu yang

sama. Individu yang telah mengalami anemia selama waktu yang cukup

lama dengan kadar hemoglobin antara 9 dan 11 mg/dl, hanya mengalami

sedikit gejala atau tidak ada gejala sama sekali selain takikardi ringan saat
latihan. Dispnea latihan biasanya terjadi hanya dibawah 7,5 g/dl, kelemahan

hanya terjadi dibawah 6 g/dl, dispnea istirahat dibawah 3 g/dl, dan gagal

jantung hanya pada kadar sangat rendah 2-2,5 g/dl.

Pasien yang biasanya aktif lebih berat mengalami berat mengalami gejala,

dibanding orang yang tenang. Pasien dengan hipotiroidisme dengan

kebutuhan oksigen yang rendah bisa tidak bergejala sama sekali, tanpa

takikardia atau peningkatan curah jantung, pada kadar hemoglobin dibawah

10 g/dl.

Tanda dan gejala anemia sebenarnya bisa dideteksi . Sebenarnya kita bisa

mengenali tanda anemia itu salah satu cara untuk bisa menangani semenjak

awal anemia ini dan juga memberikan pengobatan anemia itu sendiri. Tanda

anemia bisa berupa :

a) Klien terlihat lemah, letih, lesu, hal ini karena oksigen yang dibawa

keseluruh tubuh berkurang karena media transport hemoglobin berkurang

sehingga tentunya yang membuat energy berkurang dan dampaknya

adalah lemah, letih dan lesu

b) Mata berkunang-kunang. Hampir sama prosesnya dengan hal diatas,

karena darah yang membawa oksigen berkurang, aliran darah serta

oksigen ke otak berkurang pula dan berdampak pada indra penglihatan

dengan pandangan mata yang berkunang-kunang

c) Menurunnya daya pikir, akibatnya adalah sulit untuk berkonsentrasi

d) Daya tahan tubuh menurun yang ditandai dengan mudah terserang sakit

e) Pada tingkat lanjut atau anemia yang berat maka klien bisa menunjukkan

tanda-tanda detak jantung cepat dan bengkak pada tangan dan kaki.
5. Patofisiologi disertai WOC ( Smelzer, Suzanne C, 2001 )

Anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan sel

darah merah secara berlebihan atau keduanya.Kegagalan sumsum dapat

terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau

kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui.Sel darah merah dapat

hilang melalui perdarahan atau hemplisis (destruksi), hal ini dapat akibat

efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah

yang menyebabkan destruksi sel darah merah.

Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau

dalam system retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Hasil

samping proses ini adalah bilirubin yang akan memasuki aliran darah.

Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan

dengan peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar

diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera).

Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada

kelainan hemplitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma

(hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas

haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk

mengikat semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal

dan kedalam urin (hemoglobinuria).

Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan oleh

penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak

mencukupi biasanya dapat diperoleh dengan dasar:

a) hitung retikulosit dalam sirkulasi darah


b) derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum tulang dan cara

pematangannya, seperti yang terlihat dalam biopsi; dan ada tidaknya

hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia


WOC 2.1

menurutCorwin, (2009)
6. Pemeriksaan penunjang

6.1. Jumlah darah lengkap (JDL) : hemoglobin dan hematokrit


menurun.

Jumlah eritrosit : menurun, menurun berat (aplastik);

6.2. MCV (molume korpuskular rerata) dan MCH (hemoglobin

korpuskular rerata) menurun dan mikrositik dengan eritrosit

hipokronik, peningkatan.Pansitopenia (aplastik).

6.3. Jumlah retikulosit : bervariasi, misal; menurun, meningkat

(respons sumsum tulang terhadap kehilangan darah /hemolisis).

Pewarna sel darah merah : mendeteksi perubahan warna dan

bentuk (dapat mengindikasikan tipe khusus anemia).

6.4. Laju Endap Darah : Peningkatan menunjukkan adanya reaksi

inflamasi, misal : peningkatan kerusakansel darah merah : atau

penyakit malignasi Masa hidup sel darah merah : berguna dalam

membedakan diagnosa anemia, misal : pada tipe anemia tertentu,

sel darah merah mempunyai waktu hidup lebih pendek.

6.5. Tes kerapuhan eritrosit : menurun. Sel Darah Putih : jumlah sel

total sama dengan sel darah merah (diferensial) mungkin

meningkat (hemolitik) atau menurun (aplastik)

Jumlah trombosit : menurun caplastik; meningkat; normal atau

tinggi (hemolitik)

6.6. Hemoglobin elektroforesis:mengidentifikasi tipe struktur


hemoglobin.

Bilirubin serum (tak terkonjugasi): meningkat (hemolitik).

6.7. Folat serum dan vitamin B12 membantu mendiagnosa anemia

sehubungan dengan defisiensimasukan/absorpsi:


Besi serum :tak adatinggi (hemolitik)

BC serum : meningkat

Feritin serum : meningkat

Masa perdarahan : memanjang (aplastik) LDH

serum : menurun

Tes schilling : penurunan eksresi vitamin B12


urine

Guaiak :mungkin positif untuk darah pada

urine, feses, dan isi gaster,

menunjukkan perdarahan

akut/kronis.

6.8. Analisa gaster : penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak

adanya asam hidroklorik bebas.

6.9. Aspirasi sumsum tulang/pemeriksaan/biopsi : sel mungkin tampak

berubah dalam jumlah, ukuran, dan bentuk, membentuk,

membedakan tipe anemia, misal: peningkatan megaloblas, lemak

sumsum dengan penurunan sel darah (aplastik).

6.10. Pemeriksaan andoskopik dan radiografik : memeriksa sisi

perdarahan : perdarahan Gastro Intestinal (Doenges 2009).

7. Penatalaksanaan

7.1. Keperawatan

a) Anemia kekurangan zat besi. Bentuk anemia ini diobati dengan

suplemen zat besi, yang mungkin Anda harus minum selama beberapa

bulan atau lebih. Jika penyebab kekurangan zat besi kehilangan darah

- selain dari haid


- sumber perdarahan harus diketahui dan dihentikan. Hal ini mungkin

melibatkan operasi.

b) Anemia kekurangan vitamin. Anemia pernisiosa diobati dengan

suntikan - yang seringkali suntikan seumur hidup vitamin B12.

Anemia karena kekurangan asam folat diobati dengan suplemen asam

folat.

c) Anemia penyakit kronis. Tidak ada pengobatan khusus untuk anemia

jenis ini. Suplemen zat besi dan vitamin umumnya tidak membantu

jenis anemia ini. Namun, jika gejala menjadi parah, transfusi darah

atau suntikan eritropoietin sintetis, hormon yang biasanya dihasilkan

oleh ginjal, dapat membantu merangsang produksi sel darah merah

dan mengurangi kelelahan.

d) Aplastic anemia. Pengobatan untuk anemia ini dapat mencakup

transfusi darah untuk meningkatkan kadar sel darah merah.

Transplantasi sumsum tulang jika sumsum tulang berpenyakit dan

tidak dapat membuat sel-sel darah sehat. Perlu obat penekan kekebalan

tubuh untuk mengurangi sistem kekebalan tubuh dan memberikan

kesempatan sumsum tulang ditransplantasikan berespon untuk mulai

berfungsi lagi.

e) Anemia terkait dengan penyakit sumsum tulang. Pengobatan berbagai

penyakit dapat berkisar dari obat yang sederhana hingga kemoterapi

untuk transplantasi sumsum tulang.

f) Anemias hemolitik. Mengelola anemia hemolitik termasuk

menghindari obat-obatan tertentu, mengobati infeksi terkait dan

menggunakan obat- obatan yang menekan sistem kekebalan, yang


dapat menyerang sel-sel darah merah. Pengobatan singkat dengan

steroid, obat penekan kekebalan atau gamma globulin dapat membantu

menekan sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel darah merah.

g) Sickle cell anemia. Pengobatan untuk anemia ini dapat mencakup

pemberian oksigen, obat menghilangkan rasa sakit, baik oral dan

cairan infus untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah komplikasi.

Dokter juga biasanya menggunakan transfusi darah, suplemen asam

folat dan antibiotik. Sebuah obat kanker yang disebut hidroksiurea

(Droxia, Hydrea) juga digunakan untuk mengobati anemia sel sabit

pada orang dewasa.

7.2. Medis

Penatalaksanaan anemia ditunjukan untuk mencari penyebab dan mengganti

darah yang hilang.

a) Transpalasi sel darah merah.

b) Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi.

c) Suplemen asam folat dapat merangsang pembentukan sel darah merah.

d) Menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang

membutuhkan oksigen

e) Obati penyebab perdarahan abnormal bila ada.

f) Diet kaya besi yang mengandung daging dan sayuran hijau.

Pengobatan (untuk pengobatan tergantung dari penyebabnya) :

1. Anemiadefisiensi besi

a) Mengatur makanan yang mengandung zat besi, usahakan makanan yang

diberikan seperti ikan, daging, telur dan sayur.

b) Pemberian preparat fe
c) Perrosulfat 3x200mg/hari/per oral sehabis makan

d) Peroglukonat 3x200mg/hari/oral sehabis makan.


2. Anemia pernisiosa : pemberian vitamin B12

3. Anemia asam folat : asam folat 5 mg/hari/oral

4. Anemia karena perdarahan : mengatasi perdarahan dan dengan


syok

pemberian cairan dan transfuse darah.

8. Komplikasi

Komplikasi: (Betz dan Sowden, 2009)

1. Perkembangan otot buruk

2. Kemampuan memperoleh informasi yang didengar menurun

3. Interaksi sosial menurun

4. Daya konsentrasi menurun

Infeksi sering terjadi dan dapat berlangsung fatal pada masa anak-anak

kematian mendadak dapat terjadi karena krisis sekuestrasi dimana terjadi

pooling sel darah merah ke RES dan kompartemen vaskular sehingga

hematokrit mendadak menurun.Pada orang dewasa menurunnya faal paru dan

ginjal dapat berlangsung progresif.

Komplikasi lain berupa infark tulang, nekrosis aseptik kaput femoralis,

serangan-serangan priapismus dan dapat berakhir dengan impotensi karena

kemampuan ereksi. Kelainan ginjal berupa nekrosis papilla karena sickling dan

infaris menyebabkan hematuria yang sering berulang-ulang sehingga akhirnya

ginjal tidak dapat mengkonsentrasi urine.Kasus-kasus Hemoglobin Strait juga

dapat mengalami hematuria. (Noer Sjaifullah H.M, 2007)

a) Jantung :Menyebabkan gagal jantung kongestif

b) Paru :Menyebabkan infark paru, pneumonia, pneumonia,

pneomokek
c) SSP :Menyebabkan trombosis serebral

d) Genito urinaria :Menyebabkan disfungsi ginjal,pria pismus

e) Gastro Intestinal : Menyebabkan kolesisfitis,fibrosis hati dan abses

hati

f) Ocular : Menyebabkan ablasia retina,penyakit

pembuluh darah perifer, pendarahan

g) Skeletal :Menyebabkan nekrosis aseptic kaput femoris dan

kaput humeri, daktilitis (biasanya pada anak kecil)

h) Kulit :Menyebabkan ulkus tungkai kronis.

II. Konsep Gagal Ginjal Kronis (GGK)

1. Pengertian

Gagal Ginjal Kronis adalah suatu kondisi penurunan fungsi ginjal

yang menyebabkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan

sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan (Eric scott,

2010).

Gagal Ginjal Kronik adalah kegagalan fungsi ginjal untuk

mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit

akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi

penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin,

2012).

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama

lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan

ginjal seperti proteinuria. Diagnosis penykit ginjal kronik adalah apabila


laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m². Klasifikasi

penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat

penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat

penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan

rumus Kockcroft-Gault :

LFG (ml/menit/1,73m²) = ( 140 – umur ) x berat badan *)

72 x kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Penyakit ginjal kronik (PGK) atau Chronic Kidney disease (CKD)

menjadi problem kesehatan yang besar di seluruh dunia. Perubahan yang

besar ini mungkin karena berubahnya penyakit yang mendasari patogenesis

dari PGK. Beberapa dekade yang lalu penyakit glomerulonefritis

merupakan penyebab utama dari PGK. Saat ini infeksi bukan merupakan

penyebab yang penting dari PGK. Dari berbagai penelitian diduga bahwa

hipertensi dan diabetes merupakan dua penyebab utama dari PGK (Zhang

dan Rothenbacher, 2008).

2. Etiologi

Penyakit gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh penyakit

sistemik, seperti diabetes melitus, glomerulonefritis kronik, pielonefritis,

hipertensi yang tidak dapat dikontrol, obstruksi traktus urinarius, lesi

herediter, seperti penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskuler; infeksi;

medikasi; atau agen toksik. Lingkungan dan agen berbahaya yang

mempengaruhi gagal ginjal kronik mencakup timah,kadmium, merkuri,

dan kromium (Smeltzer dan Bare, 2008).


Gagal ginjal kronik merupakan kelanjutan dari beberapa jenis

penyakit sebagai berikut : (Smeltzer and Bare, 2008)

1. Penyakit jaringan ginjal kronis seperti glomerulonefritis.

Glomerulonefritis atau yang biasa disebut radang pada glomerulus (unit

penyaring ginjal) dapat merusak ginjal, sehingga ginjal tidak bisa lagi

menyaring zat-zat sisa metabolisme tubuh dan menjadi penyebab gagal

ginjal.

2. Penyakit endokrin misalnya komplikasi diabetes, diabetes tipe 1 dan tipe

2.

3. Infeksi kronis, misalnya pielonefritis dan tuberkulosis. Pielonefritis

adalah infeksi bakteri pada salah satu atau kedua ginjal.

4. Kelainan bawaan seperti kista ginjal.

5. Obstruksi ginjal, misalnya batu ginjal.

6. Penyakit vaskuler seperti nefrosklerosis dan penyakit darah tinggi.

Nefrosklerosis Maligna adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan

tekanan darah tinggi (hipertensi maligna), maligna atau penurunan

tekanan darah yang berlebihan menyebabkan aliran darah ginjal

berkurang sehingga arteri-arteri yang terkecil (arteriola) di dalam ginjal

mengalami kerusakan dan dengan segera terjadi gagal ginjal.

7. Penyakit jaringan pengikat misalnya lupus. Lupus ini terjadi ketika

antibodi dan komplemen terbentuk di ginjal yang menyebabkan terjadinya

proses peradangan yang biasanya menyebabkan sindrom nefrotik

(pengeluaran protein yang besar) dan dapat cepat menjadi penyebab

gagal ginjal.
8. Obat-obatan yang merusak ginjal misalnya pemberian terapi

aminoglikosida dalam jangka panjang

Semua faktor tersebut akan merusak jaringan ginjal secara bertahap dan

menyebabkan gagalnya ginjal. Apabila seseorang menderita gagal ginjal akut

yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, maka akan terbentuk

gagal ginjal kronik (Smeltzer and Bare, 2008).

3. Patofisiologi

Pada pasien dengan gagal ginjal kronik tergantung penyakit yang

mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertropi struktural

dan fungsional nepron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, penyakit

gagal ginjal kronik terjadi secara progresif dan melalui beberapa tahapan,

yaitu : berkurangnya cadangan ginjal, insifisiensi ginjal, penyakit ginjal tahap

akhir (Ignatavicius dan Workman, 2010).

Perjalanan penyakit gagal ginjal kronik biasanya diawali dengan

pengurangan cadangan ginjal yaitu fungsi ginjal sekitar 3 – 50 %.

Bekurangnya fungsi ginjal tanpa akumulasi sampah metabolik dalam darah

sebab nefron yang tidak rusak akan mengkompensasi nefro yang rusak.

Walaupun tidak ada manifestasi gagal ginjal pada tahap ini, jika terjadi infeksi

atau kelebihan (overload) cairan atau dehidrasi, fungsi renal pada tahap ini

dapat terus menurun (Smeltzer and Bare, 2008).

Apabila penanganan tidak adekuat, proses gagal ginjal berlanjut

hingga klien berada pada tahap akhir. Klien penyakit ginjal tahap akhir sekitar

90% nefronnya hancur, dan GFR hanya 10% yang normal sehingga fungsi
ginjal normal tidak dapat dipertahankan. Ginjal tidak dapat mempertahankan

homeostasis sehingga terjadi peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam

darah, terjadi penimbunan cairan tubuh dan ketidak seimbangan elektrolit

serta asam basa (Ignativicius & Workman, 2010).

Akibatnya timbul berbagai manifestasi klinik dan komplikasi pada

seluruh sistem tubuh. Semakin banyak tertimbun sisa akhir metabolisme, maka

gejala akan semakin berat. Klien akan mengalami kesulitan dalam

menjalankan aktivitas sehari hari akibat timbulnya berbagai manifestasi klinik

tersebut (Ignativicius & Workman, 2010).

4. Klasifikasi

Klasifikasi gagal ginjal kronik dibagi menjadi 5 stadium : (Brunner&Suddart,

2013).

1. Stadium I

Kerusakan ginjal dengan GFR normal (90 atau lebih). Namun,

berdasarkan tes terdapat kerusakan pada ginjal. Hasil tes bisa jadi

menunjukkan adanya peradangan pada ginjal atau adanya darah dalam urin

(hematuria).

2. Stadium II

Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60 - 89).

Ditemukan adanya kerusakan atau gangguan pada ginjal. Pada penderita GFR

dengan angka yang sama, namun tidak ditemukan adanya kerusakan ginjal,

maka dianggap tidak mengalami gagal ginjal kronik.

3. Stadium III

Penurunan lanjut pada GFR (30 - 59). Pada kondisi ini ditemukan

adanya penurunan fingsi ginjal yang ringan. Pada tahap ini diperlukan
pemeriksaan ginjal secara berkala. Penyakit gagal ginjal stadium III masih

dibagi atas gagal ginjal stadium 3a dan gagal ginjal stadium 3b. Pada stadium

3a laju GFR adalah 45-59. Terjadi penurunan fungsi ginjal ringan, sehingga

harus diadakan pemeriksaan setiap tahun. Pada stadium 3b laju GFR adalah

30-44. Terjadi penurunan fungsi ginjal parah sehingga harus diadakan

pemeriksaan ginjal berkala setiap enam bulan sekali.

4. Stadium IV

Penurunan berat pada GFR (15 - 29). Pasien sudah mengalami gejala

gagal ginjal kronik. Kondisi ini membuat ginjal harus terus dipantau dan

diperiksa setiap enam bulan.

5. Stadium V

Gagal ginjal terminal (GFR dibawah 15). Kondisi ini sudah masuk

level gagal ginjal, karena ginjal telah mengalami kehilangan seluruh

fungsinya. Pemeriksaan ginjal secara berkala harus dilakukan setiap tiga bulan

sekali.

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik menurut (Baughman, 2009) dapat dilihat dari berbagai

fungsi sistem fungsi tubuh :

1. Manifestasi Kardiovaskuler

Hipertensi, pitting edema, edema periorbital, friction rub pericardial,

pembesaran vena leher, gagal jantung kongestif, perikarditis, disritmia,

kardiomiopati, efusi pericardial, temponade pericardial.

2. Manifestasi dermatologis/system integumen

Gatal-gatal hebat (pruritus), warna kulit abu-abu, mengkilat dan

hiperpigmentasi, serangan uremik tidak umum karena pengobatan dini dan


agresif, kulit kering, bersisik, ecimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan

kasar, memar (purpura).

3. Manifestasi Gastrointestinal

Nafas berbau amonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual,

muntah dan cegukan, penurunan aliran saliva, haus, rasa kecap logam pada

mulut, kehilangan kemampuan penghidu dan pengecap, parotitis dan

stomatitis, peritonitis, konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran

gastrointestinal.

4. Manifestasi Neuromuskular

Perubahan tingkat kesadaran, kacau mental, ketidakmampuan

berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.

5. Perubahan Hematologis

Kecenderungan perdarahan

6. Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum

7. Pasien secara bertahap akan lebih mengantuk, karakter pernafasan menjadi

kusmaul, dan terjadi koma dalam, sering dengan konvulsi (kedutan mioklonik)

atau kedutan otot.

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penyakit gagal ginjal kronik meliputi: (Setiati, 2014)

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

3. Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal

4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular


5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Tabel 2.1 Rencana tatalaksana penyakit gagal ginjal kronik sesuai dengan
derajatnya
Derajat LFG Rencana Tatalaksana
(ml/mnt/1,73m²)
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi pemburukan
(progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskular
2 60 – 89 Menghambat pemburukan
(progression) fungsi ginjal
3 30 – 59 Evaluasi dan terapi
4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti
ginjal
5 ˂ 15 Terapi pengganti ginjal

7. Komplikasi

Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2009)

yaitu:

1. Komplikasi Hematologis (anemia karena penurunan erithropoietin)

Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi

eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan

pemberian eritropoietin subkutan atau intravena. Hal ini hanya bekerja

bila kadar besi, folat, dan vitamin B12 adekuat dan pasien dalam

keadaan baik. Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk melawan

eritropoietin yang diberikan sehingga terjadi anemia aplastik.


Eritropoietin adalah hormon glikoprotein yang merupakan

stimulan bagi eritropoiesis, sebuah lintasan metabolisme yang

menghasilkan eritrosit. Sintesis dominan eritropoietin terjadi pada sel

di area interstitial peri-tubular didalam ginjal, selain hati dan otak. sel

– sel ini membuat dan melepaskan eritropoietin ketika tingkat oksigen

terlalu rendah. Tingkat oksigen yang rendah mungkin mengindikasikan

anemia, suatu jumlah sel – sel darah merah yang berkurang, atau

molekul – molekul hemoglobin yang membawa oksigen keseluruh

tubuh (Mary LT, 2012).

2. Penyakit vascular dan hipertensi

Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal

ginjal kronik. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi

mungkin merupakan faktor risiko yang paling penting. Sebagaian besar

hipertensi pada penyakit ginjal kronik disebabkan hipervolemia akibat

retensi natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk bisa

menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme jantung tripel.

Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi

natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika fungsi ginjal

memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat.

3. Dehidrasi

Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan

air akibat hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap mempertahankan

sebagian filtrasi, namun kehilangan fungsi tubulus, sehingga mengekskresi

urin yang sangat encer, yang dapat menyebabkan dehidrasi.

4. Kulit
Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi.

Keluhan ini sering timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau tersier serta

dapat disebabkab oleh deposit kalsium fosfat pada jaringan. Gatal dapat

dikurangi dengan mengontrol kadar fosfat dan dengan krim yang mencegah

kulit kering. Bekuan uremik merupakan presipitat kristal ureum pada kulit dan

timbul hanya pada uremia berat. Pigmentasi kulit dapat timbul dan anemia

dapat menyebabkan pucat.

5. Gastrointestinal

Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering

terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal. Namun

gejala mual, muntah, anoreksia, dan dada terbakar sering terjadi. Insidensi

esofagitis serta angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat menyebabkan

perdarahan. Insidensi pankreatitis juga lebih tinggi. Gangguan pengecap dapat

berkaitan dengan bau napas yang menyerupai urin.

6. Endokrin

Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido,

impotensi, dan penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada wanita, sering

terjadi kehilangan libido, berkurangnya ovulasi, dan infertilitas. Siklus

hormon pertumbuhan yang abnormal dapat turut berkontribusi dalam

menyebabkan retardasi pertumbuhan pada anak dan kehilangan massa otot

pada orang dewasa.

7. Neurologis dan psikiatrik

Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan,

kehilangan kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi
neurologis (mencakup tremor, asteriksis, agitasi, meningismus, peningkatan

tonus otot dengan mioklonus, klonus pergelangan kaki, hiperefleksia, plantar

ekstensor, dan yang paling berat kejang). Aktifitas Na+/K+ ATPase terganggu

pada uremia dan terjadi perubahan yang tergantung hormon paratiroid

(parathyroid hormone, PTH) pada transpor kalsium membran yang dapat

berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi yang abnormal. Gangguan

tidur seringterjadi. Kaki yang tidak biasa diam (restless leg) atau kram otot

dapat juga terjadi dan kadang merespons terhadap pemberian kuinin sulfat.

Gangguan psikiatrik seperti depresi dan ansietas sering terjadi dan terdapat

peningkatan risiko bunuh diri.

8. Imunologis

Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi

sering terjadi. Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun dan dialisis

dapat mengaktivasi efektor imun, seperti komplemen, dengan tidak tepat.

9. Lipid

Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat

penurunan katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien yang

menjalani dialisis peritoneal daripada pasien yang menjalani hemodialisis,

mungkin akibat hilangnya protein plasma regulator seperti apolipoprotein A-1

di sepanjang membran peritoneal.

10. Penyakit jantung

Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika

kadar ureum atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder

yang berat. Kelebihan cairan dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi

ventrikel kiri atau kardiomiopati dilatasi. Fistula dialisis arteriovena yang


besara dapat menggunakan proporsi curah jantung dalam jumlah besar

sehingga mengurangi curah jantung yang dapat digunakan oleh bagian tubuh

yang tersisa.

III. Konsep Hemodialisis

1) Pengertian Hemodialisis

Hemodialisis dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengubahan

komposisi solut darah oleh larutan lain (cairan dialisat) membran

semipermeabel (membran dialisis). Saat ini terdapat berbagai definisi

hemodialisis, tetapi pada prinsipnya hemodialisis adalah suatu proses

pemisahan atau penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu

membran yang semipermeabel yang dilakukan pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal baik yang kronik maupun akut (Setiati, 2014).

Sistem hemodialisis terdiri dari sistem vaskuler eksternal yang akan

dilewati saat darah pasien di transfer ke dalam sistem pipa polietilena steril

menuju ke filter dialisis/ dialiser menggunakan pompa mekanik. Darah

pasien akan ditransfer menuju sistem vaskuler eksternal tersebut melalui

akses vaskuler, yang merupakan akses permanen ke aliran darah untuk

hemodialisis (Dipiro et al, 2011).

2) Tujuan Hemodialisis
Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut

diantaranya adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi

(membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin,

dan sisa metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam

mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat

ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita

penurunan fungsi ginjal serta Menggantikan fungsi ginjal sambil

menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan Madjid, 2009).

Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang

melalui membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi

elektrokimia. Tujuan utama Hemodialisis adalah untuk mengembalikan

suasana cairan ekstra dan intrasel yang sebenarnya merupakan fungsi dari

ginjal normal. Dialisis dilakukan dengan memindahkan beberapa zat

terlarut seperti urea dari darah ke dialisat, dan dengan memindahkan zat

terlarut lain seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam darah. Konsentrasi zat

terlarut dan berat molekul merupakan penentu utama laju difusi. Molekul

kecil, seperti urea, cepat berdifusi, sedangkan molekul yang susunan yang

kompleks serta molekul besar, seperti fosfat, β2microglobulin, dan

albumin, dan zat terlarut yang terikat protein seperti pcresol, lebih lambat

berdifusi. Disamping difusi, zat terlarut dapat melalui lubang kecil (pori-

pori) di membran dengan bantuan proses konveksi yang ditentukan oleh

gradien tekanan hidrostatik dan osmotik – sebuah proses yang dinamakan

ultrafiltrasi (Cahyaning, 2009).

Ultrafiltrasi saat berlangsung, tidak ada perubahan dalam

konsentrasi zat terlarut; tujuan utama dari ultrafiltrasi ini adalah untuk
membuang kelebihan cairan tubuh total. Sesi tiap dialisis, status fisiologis

pasien harus diperiksa agar peresepan dialisis dapat disesuaikan dengan

tujuan untuk masing-masing sesi. Hal ini dapat dilakukan dengan

menyatukan komponen peresepan dialisis yang terpisah namun berkaitan

untuk mencapai laju dan jumlah keseluruhan pembuangan cairan dan zat

terlarut yang diinginkan. Dialisis ditujukan untuk menghilangkan komplek

gejala (symptoms) yang dikenal sebagai sindrom uremi (uremic syndrome),

walaupun sulit membuktikan bahwa disfungsi sel ataupun organ tertentu

merupakan penyebab dari akumulasi zat terlarut tertentu pada kasus uremia

(Lindley, 2011).

3) Indikasi Hemodialisa

A. Indikasi Hemodialisa Cito (AEIOU)

1. Asidosis Metabolik (A=Asidosis)

Pada asidosis metabolik atau perubahan pH darah menjadi asam

memerlukan hemodialisis. Biasanya kondisi ini dapat ditangani dengan

menetralkan keasaman pH darah dengan natrium bikarbonat. Meskipun

hemodialisis dibutuhkan pada kasus ini terutama apabila terdapat resiko

overload cairan. Terutama apabila didapatkan pH darah dibawah 7,2 dan

kegagalan refraktori terhadap natrium bikarbonat, atau tidak dapat

diberikan natrium bikarbonat (HCO3) karena resiko overload cairan atau

timbul aritmia.

2. Ketidakseimbangan Elektrolit (E=Elektrolit)

Kondisi seperti hiperkalemia, dimana kadar kalium atau potassium

dalam darah meningkat maka menjadi indikasi dilakukan hemodialisis.


Terutama tingginya kalium atau potassium yang terdeteksi dengan

perubahan EKG.

3. Keracunan Akut (I=Ingesti)

Dimana terdapat substansi asing yang bersifat toksik masuk

ke tubuh maka dapat dihilangkan dengan hemodialisa. Contoh

keracunan atau intoksikasi yang dapat ditangani dengan hemodialisa

adalah penggunaan lithium sebagai pengobatan gangguan mood, dan

penggunaan anti nyeri aspirin. Terutama pada penyebab penyait

gagal ginjal seperti salisilat dan etilen glikol.

4. Overload Cairan (O=Overload)

Dimana dalam tubuh terdapat kelebihan cairan yang mana

tidak dapat tertangani dengan pemberian diuretik. Contohnya, pada

edema paru, dapat diberikan nitrat dan dosis tinggi lasix (160-200

mg intravena) berikan lambat untuk mencegah ototoksik.

5. Uremia (U=Uremia)

Dimana kadar urea dan sisa metabolisme meningkat di

darah. Meningkatnya uremia ini dapat berasal dari komplikasi

peradangan pada pericardium jantung (pericarditis), enselophati,

kejang (seizure), disfungsi platelet dengan perdarahan berat. Ada

juga yang menambahkan, GFR dibawah 15 mL/menit.

Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu : (Daugirdas

et al, 2007).

1) Difusi

Proses difusi pada HD berfungsi untuk membuang produk limbah yang

terdapat dalam darah. Akibat perbedaan konsentrasi antara darah dan dialisat
akan menyebabkan produk limbah dalam darah, yang mempunyai konsentrasi

tinggi, bergerak melewati membran menuju dialisat yang mempunyai

konsentrasi lebih rendah. Jika darah dan dialisat dibiarkan dalam kedaan statis

satu sama lain melalui membran, konsentrasi produk limbah dalam dialisat

akan menjadi sama dengan yang di dalam darah, dan pembuangan lebih lanjut

dari produk limbah tidak akan terjadi. Oleh karena itu, selama proses HD,

untuk mencegah konsentrasi kesetimbangan, gradien konsentrasi antara darah

dan dialisat harus dimaksimalkan dengan terus mengisi kompartemen dialisat

dengan cairan dialisis segar dan mengganti darah dialisis dengan darah yang

belum terdialisis. Biasanya arah aliran dialisat dipompa ke dialiser berlawanan

dengan arah aliran darah, hal ini berguna untuk memaksimalkan perbedaan

konsentrasi antara produk limbah dengan dialisat.

2) Ultrafiltrasi

Ultrafiltrasi selama HD diperlukan untuk mengeluarkan akumulasi air,

baik yang berasal dari konsumsi cairan maupun metabolisme makanan selama

periode interdialitik. Ultrafiltrasi terjadi ketika air didorong oleh tekanan

hidrostatik ataupun tekanan osmotik melalui membran. Air akan terbawa

bersama dengan zat terlarut yang melalui pori-pori membrane.

3) Osmosis

Berpindahnya air karena tenaga kimiawi yang terjadi karena adanya

perbedaan tekanan osmotic (osmolalitas) darah dan diasilat. Proses osmosis ini

lebih banyak ditemukan pada peritoneal dialysis.


Gambar 2.1. Prinsip Kerja HD (Dipiro et al, 2011)

Pada proses hemodialisis, darah pasien dipompakan ke dializer dengan

kecepatan 300-600 ml/menit. Sedangkan dialisat dipompakan dengan kecepatan

500-1000 ml/menit. Laju pemindahan cairan dari pasien dikontrol dengan cara

menyesuaikan tekanan dalam kompartemen dialisat (Dipiro et al, 2011).

Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan

konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh

melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan

gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi

(tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat

ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi

pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan

penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Elizabeth, et all,

2011).

4) Penatalaksanaan pasien yang menjalani hemodialisa


Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya

memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan penyakit

ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisis dapat meningkatkan kesejahteraan

kehidupan pasien yang gagal ginjal (Anita, 2012).

Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar

tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk

terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2

gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan protein dengan nilai biologis tinggi.

Asupan kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan,

karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak

dianjurkan untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah

urin yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120

mEq/hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium

akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum.

Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan terjadi

kenaikan berat badan yang besar.

Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian melalui

ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung,

antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk

memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan jaringan dapat

dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Resiko timbulnya efek toksik

akibat obat harus dipertimbangkan (Hudak & Gallo, 2010).

5) Komplikasi hemodialisa
Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut

(Brunner&Suddart, 2008) :

1. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.

2. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang terjadi jika udara memasuki

sistem vaskuler pasien.

3. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya

sirkulasi darah di luar tubuh.

4. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme

meninggalkan kulit.

5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral

dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadinya

lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.

6. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat

meninggalkan ruang ekstrasel.

7. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

Terapi hemodialisis juga dapat mengakibatkan komplikasi sindrom

disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan

intrakranial, kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat

dialisis dan hipoksemia, namun komplikasi tersebut jarang terjadi (Brunner &

Suddarth, 2008).

6) Pengaruh Hemodialisa terhadap kadar Hemoglobin

Dampak dari pasien yang menjalani terapi hemodialisis salah satunya

adalah anemia. Anemia muncul ketika kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt. Anemia

akan berat lagi apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi tetapi apabila ginjal

sudah mencapai stadium akhir, anemia akan relatif menetap. Anemia pada gagal
ginjal kronik terutama diakibatkan oleh berkurangnya erithropoetin. Anemia

merupakan kendala yang cukup besar bagi upaya mempertahankan kualitas hidup

pasien gagal ginjal kronik (Lewis, 2017).

Pada proses Hemodialisis terjadi difusi larutan antara darah dan dialisat

yang mengalir kearah berlawanan, dan dipisahkan oleh membran semipermeabel.

Masalah yang paling sering muncul adalah instabilitas kardiovaskuler selama

dialisis, dan sulitnya mendapatkan akses vaskular. Selain itu, pada proses

hemodialisis dapat terjadi defisiensi erythropoietin, dan terjadi kehilangan darah

yaitu terjadinya retensi darah pada dialiser atau tubing pada mesin hemodialisa

sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb dalam darah (Muttaqin, 2012).

B. Asuhan keperawatan

1. Pengkajian

A. Identitas pasien, meliputi :

Nama, Umur : biasa nya yang terserang anemia umumnya adalah dewasa, Jenis

Kelamin : biasa nya yang dominan terkena Anemia adalah perempuan, Agama,

Status perkawinan, Pendidikan, Pekerjaan, Tanggal Masuk, No. Register,

Diagnosa medis

Penanggung jawab, meliputi :

Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan pasien

B. Alasan Masuk

Klien mengeluh pusing,lemah,mual dan muntah,badan terasa letih,pucat,akral

dingin.
C. Riwayat Kesehatan

a) Riwayat Kesehatan Sekarang

a. Keletihan, kelemahan, malaise umum

b. Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.

c. Klien mengatakan bahwa ia depresi

d. Sakit kepala

e. Nyeri mulut & lidah

f. Kesulitan menelan

g. Dyspepsia, anoreksia

h. Klien mengatakan BB menurun

i. Nyeri kepala,berdenyut, sulit berkonsentrasi

j. Penurunan penglihatan

k. Kemampuan untuk beraktifitas menurun

b) Riwayat kesehatan dahulu

Pengkajian riwayat dahulu yang mendukung dengan melakukan serangkaian

pertanyaan, meliputi:

a. Apakah sebelumnya klien pernah menderita anemia.

b. Apakah meminum suatu obat tertentu dalam jangka lama.

c. Apakah pernah menderita penyakit malaria.

d. Apakah pernah mengalami pembesaran limfe.

e. Apakah pernah mengalami penyakit keganasan yang tersebar seperti

kanker payudara, leukimia, dan multipel mieloma.

f. Apakah pernah kontak dengan zat kimia toksik dan penyinaran dengan

radiasi.

g. Apakah pernah menderita penyakit menahun yang melibatkan ginjal dan


hati.

h. Apakah pernah menderita penyakit infeksi dan defisiensi endoktrin.

i. Apakah pernah mengalami kekurangan vitamin penting, seperti vitamin

B12 asam folat, vitamin C dan besi.

c) Riwayat Kesehatan Keluarga

a. Kecendrungan keluarga untuk anemia.

b. Adanya anggota keluarga yang mendapat penyakit anemia congenital.

c. Keluarga adalah vegetarian berat.

d. Social ekonomi keluarga yang rendah.

GENOGRAM

Untuk mengetahui riwayat penyakit dari keluarga dan klien.

d) PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : Composmentis

GCS : 15 ( E:4 V:5 M:6)

TTV : TD :Biasanya menurun

N :Biasana meningkat

P :Biasanya cepat

S :Biasanya meningkat

Pemeriksaan Fisik

1) Kepala

Bagaimana kesimetrisan,warna rambut,kebersihan kepala,rambut kering,

mudah putus, menipis, ada uban atau tidak, sakit kepala, pusing,

2) Mata
Sclera tidak ikterik,konjungtiva anemis,pupil isokor.

3) Telinga

Kesimetrisan telinga, fungsi pendengaran, kebersihan telinga.

4) Hidung

Kesimetrisan,fungsi penciuman, kebersihan, apakah ada perdarahan pada

hidung atau tidak.

5) Mulut

Keadaan mukosa mulut, kebersihan mulut, keadaan gigi, kebersihan gigi,

stomatitis (sariawan lidah dan mulut)

6) Leher

Kesimetrisan, adanya pembesaran kelenjar tyroid / tidak, adanya

pembesaran kelenjar getah bening.

7) Thorax

Paru-paru :

I :Pergerakan dinding dada, takipnea,orthopnea, dispnea (kesulitan

bernapas), napas pendek, dan cepat lelah saat melakukan aktivitas

jasmani merupakan menifestasi berkurangnya pengiriman oksigen.

P :Taktil premitus simetris

P :Sonor

A :Bunyi nafas vesikuler, bunyi nafas tambahan lainnya.

Jantung

I :jantung berdebar-debar, Takikardia dan bising jantung

menggambarkan beban jantung dan curah jantung meningkat

P :Tidak teraba adanya massa

P :pekak
A :Bunyi jantung murmur sistolik

8) Abdomen

I : Kesimetrisan,diare,muntah,melena / hematemesis.

A : Suara bising usus

P : Terdapat bunyi timpani,

P : Terabanya pembesaran hepar / tidak, adanya nyeri tekan /

tidak.

9) Genitalia

Normal / abnormal

10) Integumen

Mukosa pucat,kering dan Kulit kering

11) Ekstermitas

Pucat pada kulit, dasar kuku, dan membrane mukosa, Kuku mudah

patah dan berbentuk seperti sendok, kelemahan dalam melakukan

aktifitas.

12) Punggung

Kesimetrisan punggung,warna kulit, dan keberishan.

13) Persyarafan

 Nervus I (Olfaktorius) :

Suruh klien menutup mata dan menutuo salah satu lubang hidung,

mengidentifikasi dengan benar bau yang berbeda (misalnya jeruk

nipis dan kapas alkohol)

 Nervus II (Optikus) :

Persepsi terhadap cahaya dan warna, periksa diskus optikus,

penglihatan perifer.
 Nervus III (Okulomotorius) :

Kelopak mata terhadap posisi jika terbuka, suruh klien mengikuti

cahaya

 Nervus IV (Troklearis) :

Suruh klien menggerakan mata kearah bawah dan kearah dalam.

 Nervus V (Trigeminus) :

Lakukan palpasi pada pelipis dan rahang ketika klien merapatkan

giginya dengan kuat, kaji terhadap kesimetrisan dan kekuatan,

tentukan apakan klien dapat merasakan sentuhan diatas pipi (bayi

muda menoleh bila area dekat pipi disentuh) dekati dari samping,

sentuh bagiang mata yang berwarna dengan lembut dengan sepotong

kapas untuk menguji refleks berkedip dan refleks kornea.

 Nervus VI (Abdusen) :

Kaji kemampuan klien untuk menggerakan mata secara lateral.

 Nervus VII (Fasialis) :

Uji kemampuan klien untuk mengidentifikasi larutan manis (gula),

asam (lemon). Kaji fungsi motorik dengan cara tersenyumdan

menglihatkan giginya.

 Nervus VIII (Vestibulocochlearis) :

Uji pendengaran.

 Nervus IX (Glosofaringeus) :

Uji kemampuan klien untuk mengidentifikasi rasa pada lidah.

 Nervus X (Vagus) :

Kaji klien refleks menelan, sentuhkan tong spatel pada lidah ke

posterior faring untuk menentukan refleks muntah, jangan


menstimulasi jika ada kecurigaan epiglotitis.

 Nervus XI (Asesorius) :

Suruh klien memutar kepala kesamping dengan melawan tahanan,

minta klien untuk mengangkat bahunya kemudian kita tahan apakah

klien mampu untuk melawannya.

 Nervus XII (Hipoglasus) :

Minta klien untuk mengeluarkan lidahnya,periksa deviasi garis

tengah, dengarkan kemampuan anak untuk mengucapkan ‘R’.


e) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia terdiri dari : pengobatan

(Bakta, 2006).

1. pemeriksaan penyaring (terdiri dari pengukuran kadar Hb, indeks

eritrosit, dan apusandarah tepi).

2. pemeriksaan darah seri anemia (meliputi hitung leukosit, trombosit,

retikulosit, dan lajuendap darah).

3. pemeriksaan sumsum tulang, dan pemeriksaan khusus sesuai jenis

anemia. Selain itu, diperlukan pulaa pemeriksaan non-hematologik

tertentu seperti pemeriksaan faal hati, faal ginjal, atau faal tiroid.

Tahap diagnosis anemia terdiri dari

1. menentukan adanya anemia

2. menentukan jenis anemia,

3. menentukan etiologi anemia, dan

4. menentukan ada tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi

hasil pengobatan (Bakta, 2006).

Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya

perti anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, dan anemia sideroblastik.

Perbedaan yang ditemukan diantaranya seperti derajat anemia, (Bakta,

2006)

a) Jumlah darah lengkap(JDL) : Hemoglobin& Hematokrit menurun

b) Jumlah eritrosit : menurun , menurun berat (aplastik), mikrositik

dengan eritosit hipokromik, peningkatan, pansiitopenia (aplastik)

c) Jumlah retikulosit bervariasi :menurun, meningkat (hemolisis)


d) Pewarnaan Sel darah merah: mendeteksi perubahan warna & bentuk

(dapat mengindikasikan tipe khusus anemia)

e) Laju endap darah : peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi

f) Massa hidup Sel darah merah : untuk membedakan diagnosa anemia

g) Tes kerapuhan eritrosit : Menurun

h) Sel darah putih : jumlah sel total sama dengan Sel darah merah

(diferensial) mungkin meningkat (hemolitik) atau menurun (aplastik)

i) Jumlah trombosit : menurun (aplastik), meningkat, normal/tinggi

(hemolitik)

j) Hemoglobinelektroforesis : mengidentifikasi tipe struktur Hb

k) Bilirubin Serum (tidak terkonjugasi) : meningkat (hemolitik)

l) Folat serum dan vitamin B12 : membantu mendiagnosa anemia

m) Besi serum : tak ada, tinggi (hemolitik

n) Masa perdarahan : memenjang (aplastik)

o) Tes Schilling : penurunan eksresi vitamin B12 urin

p) Guaiiac : mungkin positif untuk darah pada urin, feses, dan isi gaster,

menunjukkan perdarahan akut/kronis.

q) Analisa gaster : penurunan sekresi dengan peningkatann pH dan tak

adanya asam hidrokolorik bebas.

r) Aspirasi sum-sum tulang/pemeriksaan biopsy : sel mungkin tampak

berubah dalam jumlah, ukuran, bentuk, membedakan tipe anemia

s) Pemeriksaan endoskopoi dan radiografik : memeriksa sisi perdarahan,

perdaraha Gastro Intestinal


2. Kemungkinan diagnosa yang muncul

1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen

pengangkut O2.

2. Intoleransi Akatifitas berhubungan dengan ketidakseimbagan suplai &

kebutuhan O2.

3. Ketidak seimbangan Nutisi Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena

faktor biologis psikologis atau ekonimi.

4. Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang

informasi.

5. Defisit perawatan diri b/d Kelemahan


No SDKI SLKI SIKI
1. perfusi jaringan tidak Efektif Tujuan Manajemen Sensasi Perifer
b.d penurunan konsentrasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x 24 Observasi
hemoglobin.. jam diharapkan perfusi perifer meningkat.  Pemantauan hasil laboratorium
KH:  Pemantauan tanda vital
1. Warna kulit pucat menurun Terapiutik
2. Edema perifer menurun  Pemberian produk darah
3. Kelemahan otot membaik
 Pengaturan posisi
4. Pengisian kapiler membaik
 Pencegahan luka tekan
 Pengambial sampale darah vena
Edukasi
 Promosi latihan fisik

5. INTERVENSI ( RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN )


Tabel 2.3
Intervensi keperawatan
2. Intoleransi Akatifitas b.d. Tujuan : Manajemen Energi
ketidakseimbagan suplai & Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Observasi :
kebutuhan O2 1 x 24 jam diharapkan toleransi aktivitas  Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
meningkat. mengakibatkan kelelahan.
Kriteria Hasil :  Monitor pola dan jam tidur
1. Kemudahan dalam melakukan aktivitas  Monitor kelelahan fisik dan emosional
sehari – hari meningkat Edukasi
2. Kekuatan tubuh bagian atas dan bawah  Anjurkan tirah baring
meningkat
 Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3. Keluhan lelah menurun
Terapiutik
4. Dispnea saat aktivitas menurun
 Sediakan lingkungan nyaman dan rendah
stimulus
 Lakukan latih rentang gerak pasif dan/ atau aktif
 Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
 Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur,jika tidak
dapat berpindah atau berjalan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asuhan keperawatan
Ketidak sek
3. Defisit Nutrisi berhubungan Tujuan : Menejemen Nutrisi
dengan ketidakmampuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x Observasi
memasukkan atau 24 jam status nutrisi terpenuhi.  Identifikasi status nutrisi
mencerna nutrisi oleh  Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
karena faktor biologis KH:  Identifikasi perlunya prnggunaan selang
psikologis atau ekonimi  Porsi makan yang dihabiskan meningkat nasogastrik
 Berat badan atau IMT meningkat  Monitor asupan makanan
 Frekuensi makan meningkat  Monitor berat badan
 Nafsu makan meningkat Terapiutik
 Persaan cepat kenyang meningkat  Lakukan oral hygine sebelum makan,jika perlu
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu
yang sesuai
 Hentikan pemberian makanan melalui selang
nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi
 Anjurkan posisi duduk jika mampu
 Ajarkan diet yang di programkan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi unt7uk
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien
yang dibutuhkan.
4. Defisit Pengetahuan Tujuan : Edukasi kesehatan
b.d kurang informasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi :
selama 1 x 24 jam diharapkan tingkat  Identifikasi kesiapan dan kemampuan
pengetahuan membaik menerima informasi
KH:  Identifikasi faktor – faktor yang
1. Perilaku sesuai anjuran meningkat dapat meningkatkan dan
2. Kemampuan menjelaskan pengetahuan suatu menurunkan motivasi perilaku
topik meningkat perilaku hidup bersih dan sehat
3. Pertanyaan tentang masalah yang di hadapi Terapiutik :
menurun  Sediakan materi dan media
4. Persepsi yang keliru terhadap masalah pendidikan kesehatan
menurun
 Jadwalkan pendidikan kesehatan
5. Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat
sesuai kesepakatan
menurun
6. Perilaku menurun  Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi
 Jelaskan faktor resiko yang dapat
mempengaruhi kesehatan
 Ajarkan prilaku hidup bersih dan
sehat
 Ajarkan strategi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat
5. Defisit perawatan diri b/d Tujuan Dukungan Perawatan Diri
kelemahan. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 Obeservasi
jam diharapkan perawatan diri meningkat  Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri
1. Kemampuan mandi meningkat sesuai usia
2. Kemampuan mengenakan pakaian  Monitor tingkat kemandirian
meningkat  Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan
3. Kemampuan makan meningkat diri,berpakaian berhiasdan makan
4. Kemampuan ke toilet (BAB / BAK)
5. Verbalisasi keinginan melakukan Terapiutik :
perawatan diri meningkat  Sediakan lingkungan yang terapiutik
6. Mempertahankan kebersihan  Saiapkan keperluan pribadi
meningkat.  Fasilitasi untuk menerima keadaan
ketergantungan
 Jadwalkan rutinitas perawatan diri
Edukasi
 Anjurkan melakukan perawatan diri secara
konsisten sesuai kemampuan
6 Hipervolemia b/d peningkatan Keseimbangan Cairan Manajemen hipervolemia
volume cairan intravaskuler Tujuan : Observasi :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24  Periksa tanda dan gejala hipervolemia
jam diharapkan keseimbangan cairan  Identifikasi penyebab hipervolemia
meningkat.  Monitor status hemodinamika
1. Asupan cairan meningkat  Monitor intake dan output cairan
2. Haluaran urine meningkat
 Monitor tanda hemokonsentrasi
3. Edema menurun
Terapiutik
4. Asites menurun
 Timbang berat badan setiap hari pada waktu
yang sama
 Batas asupan cairan dan garam
 Tinggikan kepala 30-40 0

Edukasi
 Ajukan melapor jika haluaran urine < 0.5
ml/kg/jam dalam 6 jam
 Anjurkan melapor jika BB bertambah >1 kg
dalam sehari
 Ajarkan cara membatasi cairan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian deuretik
7. Implementasi

Implementasi adalah suatu serangkaian tindakan yang dilakukan oleh perawat

untukmembantu klien dari masalah status kesehatan yang di hadapi kedalam suatu

kasus kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang

diharapkan ( Potter & Perry, 2012)

8. Evaluasi

Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan

pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara

berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan

lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Bakta . 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Jakarta: SalembaMedika

Betz & sowden, 2009.Buku saku keperawatan Edisi 3 Alih Bahasa dr. Jan

Tamboyang EGC: Jakarta

Carpenito & M0yet, 2012. Handbook Of Nursing Diagnosis. Ed USA : Lippincot

Williams & Wilkins Inc.

Corwin. 2009. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta :

EGC

Fraser Diane & Cooper Margaret .2009 Rencana Asuhan Keperawatan Medical

Bedah. Jakarta.EGC

Handayani Wiwik dan Andi Sulistyo. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien

dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta : Salemba Medika

Marlyn D.2009 Rencana Asuhan Keperawatan EGC : Jakarta

Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media

AesculapiusJakarta

Noer sjaifullah 2006.Standar Perawatan Pasien. Monica Ester : Jakarta.

Potter & Perry 2012, Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi

keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2.

EGC : Jakarta

Smeltzer, Suzanne C, 2001, Keperawatan Medikal Bedah, EGC : Jakarta


Varney H. 2006. Bukuajar asuhan keperawatan padaklien dengan gangguansitem

hematologi. Jakarta : Salemba Medika.


BAB III

TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN

I. Identitas diri klien

Nama : Ny. A

Umur : 31 Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Status perkawinan : Menikah

Golongan Darah :B

Agama : Hindu

Pekerjaan : IRT

Pendidikan : SMP

Alamat : Krobokan Kelod

No. MR : 13007396

Tanggal masuk :

Sumber informasi : Suami

Diagnosa Medis : ANEMIA

Identitas Penaanggung Jawab

Nama : Tn. W

Umur : 39 Tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

Agama : Hindu

Pekerjaan : Petani
Ruang : Hemodialisa
Tgl pengkajian : 04-10-2021

II. ALASAN MASUK

Klien datang ke RSUD Dr. Achmad Mochtar melalui IGD pada tanggal 03Juni

2018 Jam 11:30 dengan keluhan badan terasa pucat, lemas kurang lebih 5 hari

yang lalu.

B. RIWAYAT KESEHATANG

1. Riwayat Kesehatan Sekarang

Pengkajian tanggal 06 Juni 2018 pada pukul 08.00WIB, Klien mengatakan

muka dan telapak tangan pucat,badanmasih terasa lemas dan hanya

berbaring di tempat tidur,kepala terasa pusing,tidak nafsu makan hanya

bisa habis ½ porsi, mata berkunang-kunang, Klien tidak mampu untuk

kekamar mandi,badan terasa berbau,belum ada mandi,dan klien dibantu

untuk mobilisasi dan hanya dapat berbaring di tempat tidur,mual tidak ada,

muntah tidak ada, BAB hitam tidak ada,gusi berdarah tidak ada,nyeri

tekan tidak ada dan klien sudah melakukan transfusi darah 1 kolf.

2. Riwayat Kesehatan Dahulu

Klien mengatakan belum pernah di rawat sebelumnya dengan penyakit

serupa yang di alami klien saat ini di rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai