Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah

lebih rendah dari pada nilai normal. Sebagian besar penyebab anemia di indonesia

adalah kekurangan besi yang berasal dari makanan yang di makan setiap hari dan di

perlukan untuk pembentukan hemoglobin sehingga disebut anemia defisiensi besi.

Pada umumnya, anemia lebih sering terjadi pada wanita dan remaja putri

dibandingkan dengan pria. Anemia sering menyerang remaja putri disebabkan karena

keadaan stress, haid, atau terlambat makan. Selain itu penyebab anemia dipengaruhi

oleh kebutuhan tubuh yang meningkat, akibat mengidap penyakit kronis dan

kehilangan darah karena menstruasi dan infeksi parasit (cacing). Di negara

berkembang seperti Indonesia penyakit kecacingan masih merupakan masalah yang

besar untuk kasus anemia, karena diperkirakan cacing menghisap darah 2-100 cc

setaip harinya.

Khumaidi mengemukakan bahwa faktor faktor yang melatar belakangi tingginya

prevalensi anemia gizi besi di negara berkembang adalah keadaan sosial ekonomi

rendah meliputi pendidikan orang tua dan penghasilan yang rendah serta kesehatan

pribadi di lingkungan yang buruk. Meskipun anemia disebabkan oleh berbagai faktor,

namun lebih dari 50 % kasus anemia yang terbanyak diseluruh dunia secara langsung

disebabkan oleh kurangnya masukan zat gizi besi.

Anemia menyebabkan darah tidak cukup mengikat dan mengangkut oksigen dari

paru-paru ke seluruh tubuh. Bila oksigen yang diperlukan tidak cukup, maka akan

berakibat pada sulitnya berkonsentrasi, sehingga prestasi belajar menurun, daya tahan

fisik rendah sehingga mudah lelah, aktivitas fisik menurun, mudah sakit karena daya
tahan tubuh rendah, akibatnya jarang masuk sekolah atau bekerja.

Anemia merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat yang sering di

jumpai di seluruh dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Kelainan

tersebut merupakan penyebab disabilitas kronik yang berdampak besar terhadap

kondisi kesehatan, ekonomi dan kesejahteraan sosial. Penduduk dunia yang

mengalami anemia berjumlah sekitar 30% atau 2,20% miliar orang dengan sebagian

besar di antaranya tinggal di daerah tropis. Prevalensi anemia secara global sekitar

51%. Menurut hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi anemia defisiensi besi banyak

ditemukan pada remaja perempuan sebesar 22,7%, sedangkan anemia defisiensi besi

pada remaja laki laki sebesar 12,4%.

Gejala anemia secara umum menurut University of North Calorina (2002) adalah

cepat lelah, pucat (kuku, bibir, gusi, mata, kulit kuku, dan telapak tangan), jantung

berdenyut kencang saat melakukan aktivitas ringan, napas tersengal atau pendek saat

melakukan aktivitas ringan, nyeri dada, pusing, mata berkunang, cepat marah (mudah

rewel pada anak),dantangan serta kaki dingin atau mati rasa.

Nutrisi dan usia adalah sebagian faktor penting yang mempengaruhi proses

terjadinya anemia, khsusnya pada proses penurunan produksi sel darah merah. Pada

pasien dengan status nutrisi yang kurang, terjadi penurunan intake zat-zat yang

diperlukan untuk melakukan hematopoiesis seperti zat besi, folat, vitamin B12, seng,

dan riboflavin sehingga terjadilah anemia. Terdapat kelainan regulasi serta nutrisi

dalam tubuh pada pasien anemia. Kelainan nutrisi ini berupa kekurangan albumin,

folat, dan mikronutrisi. Anemia terjadi ketika asupan nutrisi tertentu tidak mencukupi

untuk memenuhi permintaan sintesis hemoglobin dan eritrosit. Anemia juga dapat

diakibatkan oleh peningkatan kehilangan nutrisi (misalnya kehilangan darah dan

infeksi parasit, infeksi kronis, perdarahan yang terkait dengan persalinan atau
menstruensi berat), gangguan penyerapan (misalnya kekurangan faktor instrinsik

untuk membantu penyerapan vitamin B12 atau asupan antinutrien yang tinggi seperti

fitrat, gangguan penyerapan zat besi), serta metabolisme nutrisi yang berubah

(misalnya kekurangan vitamin A yang memperngaruhi mobilisasi produksi besi).

Hal hal tersebut diperparah oleh timbulnya anemia pada kanker kolorektal. Pada

pasien kanker kolorektal, adanya perdarahan yang sedikit tetapi kronis atau

perdarahan akut pada keganasan saluran pencernaan menjadi sebagian penyebab

utama terjadinya anemia. Anemia pada pasien kanker kolorektal tentu harus

diperhatikan karena akan berpengaruh terhadap proses terapi dan memburuknya

overall survival pasien.

Kanker kolorektal (KKR) adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar

dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) sampai rektum (bagian kecil terakhir

dari usus besar sebelum anus). Menurut American Cancer Society, kanker kolorektal

(KKR) adalah kanker ketiga terbanyak dan merupakan kanker penyebab kematian

ketiga terbanyak pada pria dan wanita di Amerika Serikat.

Menurut World Cancer Report 2014, terdapat 8,2 juta kanker yang

mengakibatkan mortalitas pada tahun 2012 salah satunya kanker kolorektal 694.000

jiwa. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit keganasan dengan prevalensi dan

insidensi tertinggi di seluruh dunia dan diperkirakan sebanyak 1,2 juta orang di

diagnosis kanker kolorektal setiap tahunnya. Menurut Riset Kesehatan Dasar

(RIKESDAS) tahun 2018 morbiditas dan mortalitas kanker mengalami peningkatan

selama 5 tahun terakhir (2013-2018), prevalensi kanker di Indonesia mencapai

1,79/1000 penduduk, mengalami kanaikan dari tahun 2013 sebanyak 1,4/1000

penduduk.

Di Indonesia pasien kanker kolorektal kebanyakan berusia dibawah 50 tahun


yaitu sekitar 51% dari seluruh pasien, dan pasien dibawah 40 tahun mencapai 28,17%.

Kejadian kanker kolorektal di Indonesia lebih sering secara sporadik. Kanker sporadik

artinya tidak ada riwayat keluarga, tetapi dalam perjalanannya menjadi kanker.

Kehidupan di kota besar yang membuat banyak orang sulit menyesuaikan gaya hidup

sehat, juga menjadi penyebab terjadinya kanker kolorektal. Kurang olahraga, minum

alkohol, obesitas, dan kebiasaan merokok menjadi pemicu kanker jenis ini sehingga

angka kejadian kanker kolorektal di usia muda meningkat.

Resiko terjadinya kanker kolorektal mulai meningkat setelah usia 40 tahun dan

meningkat tajam pada usia 50-55 tahun, lebih dari 90% kasus KKR terjadi di atas usia

50 tahun. Angka kejadian pada usia 60-79 tahun 50 kali lebih tinggi dibandingkan

pada usia kurang dari 40 tahun. Umur median yang paling sering terjadi adalah usia

68 tahun pada laki laki dan 72 tahun pada perempuan. Akan tetapi risiko terjadinya

kanker kolorektal pada saat ini mengalami pergeseran usia, banyak kanker kolorektal

ditemukan pada usia yang lebih muda dibandingkan usia yang lebih tua. Hal ini

disebabkan oleh banyak faktor. Faktor yang diduga kuat adalah gaya hidup yang

kurang sehat.

Terdapat beberapa fakor yang menjadi penyebab terjadinya kanker kolorektal

antara lain faktor genetik. Berdasarkan studi yang dilakukan sekitar 20% kasus kanker

kolorektal diturunkan secara genetik. Faktor lain yang juga turut berkontribusi

terhadap terjadinya kanker kolorektal yaitu kurangnya aktifitas fisik secara obesitas,

keduanya paling sering dilaporkan sebagai faktor yang berhubungan dangan kanker

kolorektal. Faktor-faktor lain seperti pola makan yang tinggi lemak serta rendah serat,

merokok, dan mengkosumsi alkohol secara berlebihan juga meningkatkan risiko

terjadinya kanker kolorektal.

Anemia merupakan salah satu gejala dari kanker kolorektal, baik lokasi tumornya
di kolon kanan maupun di kolon kiri atau rektum.Anemia pada pasien keganasan

secara umum memang sering terjadi terkait dengan penyebab mekanisme yang

kompleks dan multifaktor. Pada keganasan kolorektal sebagaimana keganasan saluran

cerna yang lain, anemia yang terjadi dikaitkan dengan perdarahan akut ataupun kronik

selain juga merupakan akibat reaksi sel kanker dengan sistem imun dan sistem

inflamasi.

Terdapat beberapa penelitian yang membandingkan hasil pemeriksaan

laboratorium darah rutin menurut lokasi tumor keganasan kolorektal dengan

menggunakan variabel lokasi tumor, MCV (Mean Corpuscular Volume) dan atau

kadar hemoglobin. Penelitian di RSUP Kariadi menunjukkan hasil terdapat hubungan

antara derajat anemia dengan lokasi tumor pada kanker kolorektal. Anemia derajat

ringan lebih banyak ditemukan pada keganasan di kolon sisi kiri sedangkan anemia

derajat sedang dan berat lebih sering ditemukan pada keganasan di kolon sisi kanan.

Penelitian lain yang membedakan nilai MCV dan kadar hemoglobin berdasarkan

kolon kanan, memiliki kadar hemoglobin dan nilai MCV dibawah normal

dibandingkan dengan pasien dengan lokasi tumor di kolon kiri. Selain itu, penelitian

mengenai skrining kanker kolorektal menunjukkan bahwa setiap penderita dengan

anemia defisiensi besi dengan hemoglobin <11g% pada pria dan <10g% pada wanita

pasca menopouse serta nilai MCV <78 fL merupakan nilai prediktif tinggi adanya

kanker kolorektal.

Berdasarkan hal diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan usia dan

nutrisi terhadap kejadian anemia pada pasien kanker kolorektal pada pasien di RSI

Siti Rahmah Padang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut. Apakah terdapat hubungan usia dan status nutrisi terhadap kejadian

anemia pada pasien kanker kolorektal pada pasien di RSI Siti Rahmah Padang?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum dilakukan peneliti ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

usia dan status nutrisi terhadap kejadian anemia pada pasien kanker kolorektal di RSI

Siti Rahmah Padang.

1.3.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian ini :

1. Mengetahui karateristik penderita kanker kolorektal yang mengalami anemia

di RSI Siti Rahmah

2. Mengetahui usia pada penderita kanker kolorektal di RSI Siti Rahmah

3. Mengetahui status nutrisi pada penderita kanker kolorektal di RSI Siti

Rahmah

4. Mengetahui hubungan antara usia dan status nutrisi terhadap kejadian anemia

pada pasien kanker kolorektal di RSI Siti Rahmah Padang

1.4 Manfaat Penelitian

1. Institusi

Hasil penelitian diharapkan sebagai referensi maupun sumber informasi

tentang kanker kolorektal.

2. Penulis
Hasil penilitian diharapkan dapat bermanfaat dan digunakan sebagai dasar

penelitian selanjutnya mengenai kanker kolorektal sehingga dapat dijadikan

sebagai bahan penambah referensi serta bahan pertimbangan dalam

pengembangan penelitian lebih lanjut.

3. Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan

pengetahuan kepada masyarakat mengenai hubungan usia dan status nutrisi

terhadap kejadian anemia pada pasien kanker kolorektal di RSI Siti Rahmah

Padang. Sehingga masyarakat dapat meningkatkan derajat kesehatan agar

terhindar dari kanker kolorektal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia

2.1.1 Definisi Anemia

Anemia adalah suatu keadaan dimana menurunnya hemoglobin (Hb), hematokrit,

dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal. Kreamer menyatakan bahwa

penyebab anemia adalah akibat faktor gizi dan non gizi. Faktor gizi terkait dengan

defisiensi protein, vitamin, dan mineral, sedangkan faktor non gizi terkait penyakit

infeksi. Protein berperan dalam proses pembentukan hemoglobin, ketika tubuh

kekurangan protein dalam jangka waktu lama pembentukan sel darah merah dapat

terganggu dan ini yang menyebabkan timbul gejala anemia, sedangkan vitamin yang

terkait dengan defisiensi zat besi adalah vitamin C yang dapat membantu

mempercepat penyerapan besi di dalam tubuh serta berperan dalam memindahkan

besi ke dalam darah, mobilisasi simpanan besi terutama hemosiderin dalam limpa.

Anemia merupakan penyebab kecacatan kedua tertinggi di dunia. Hal tersebut

menjadikan anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius di seluruh

dunia. Anemia bisa menyerang siapa pun, tak terkecuali remaja yang masih berusia

dini. Anemia lebih sering terjadi pada remaja perempuan dibandingkan dengan remaja

laki-laki. Hal ini dikarenakan remaja putri kehilangan zat besi (Fe) saat menstruensi

sehingga membutuhkan lebih banyak asupan zat besi (Fe). Perilaku remaja putri yang

mengkonsumsi makanan nabati lebih banyak mengakibatkan asupan zat besi belum

mencukupi kebutuhan zat besi harian. Kebiasaan remaja putri yang ingin tampil

langsing menjadikan remaja tersebut membatasi asupan makanan hariannya yang

mengakibatkan remaja putri mudah terserang anemia.

Penelitian Mairita, Arifin, & Fadilah (2018) menjelaskan bahwa penyebab


anemia dapat dibagi menjadi dua jenis. Penyebab yang pertama menjelaskan bahwa

penyebab utama anemia adalah berkurangnya kadar hemoglobin dalam darah atau

terjadinya gangguan dalam pembentukan sel darah merah dalam tubuh. Berkurangnya

sel darah merah secara signifikan dapat disebabkan oleh terjadinya perdarahan atau

hancurnya sel darah merah yang berlebihan. Dua kondisi yang dapat memengaruhi

pembentukan hemoglobin dalam darah, yaitu efek keganasan yang tersebar seperti

kanker, radiasi, obat-obatan dan zat toksik, serta penyakit menahun yang melibatkan

gangguan pada ginjal dan hati, infeksi, dan defisiensi hormon endokrin.

2.1.2 Kriteria Anemia

Dalam menjelaskan definisi anemia, diperlukan adanya batas batas kadar

hemoglobin dan hematokrit sehingga bisa dianggap telah terjadi anemia. Batasan (cut

off point) ini sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, diantaranya adalah usia,

jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut, dan lain lain.14Batasan

yang umumnya digunakan adalah cutt off point kriteria WHO 1968, yang selanjutnya

membagi derajat keparahan anemia berdasarkan nilai hemoglobinnya.

Tabel 2.1. Kriteria Anemia menurut WHO

Kriteria Kadar Hemoglobin

Non Anemia Anemia Anemia

Anemia Ringan Sedang Berat

Laki laki dewasa >13 11,0-12,9 8,0-10,9 <8,0

Perempuan >12 11,0-11,9 8,0-10,9 <8,0

dewasa tidak hamil

Perempuan hamil >11 10,0-10,9 7,0-9,9 <7,0

Anak usia 6-14 >12 11,0-11,9 8,0-10,9 <8,0

tahun
Anak usia 6 bulan >11 10,0-10,9 7,0-9,9 <7,0

- 5 tahun

*dalam g/dL

Namun untuk memudahkan dalam melakukan tindakan sesuai diagnosis anemia,

pada praktiknya kriteria anemia pada rumah sakit dan klinik di Indonesia

adalah:141.Hemoglobin < 10g/dl2.Hematokrit < 30%3.Eritrosit < 2,8 x 106 /mm.

2.1.3 Patofisiologi Anemia

Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat digolongkan pada tiga

kelompok:

 Anemia akibat produksi sel darah merah yang berkurang atau gagal

 Anemia akibat penghancuran sel darah merah

 Anemia akibat kehilangan darah

2.1.3.1 Anemia Akibat Produksi Yang Berkurang Atau Gagal

Pada anemia tipe ini, tubuh memproduksi sel darah yang terlalu sedikit atau sel

darah merah yang diproduksi tidak berfungsi dengan baik. Hal ini terjadi akibat

adanya abnormalitas sel darah merah atau kekurangan mineral dan vitamin yang

dibutuhkan agar produksi dan kerja dari eritrosit berjalan normal. Kondisi kondisi

yang mengakibatkan anemia ini antara lain Sickle cell anemia, gangguan sumsum

tulang dan stem cell, anemia defisiensi zat besi, vitamin B12,dan Folat, serta

gangguan kesehatan lain yang mengakibatkan penurunan hormon yang diperlukan

untuk proses eritropoesis.

2.1.3.2 Anemia akibat penghancuran sel darah merah

Bila sel darah merah yang beredar terlalu rapuhdan tidak mampu bertahan

terhadap tekanan sirkulasi maka sel darah merah akan hancur lebih cepat sehingga

menimbulkan anemia hemolitik. Penyebab anemia hemolitik yang diketahui atara


lain:

 Keturunan, seperti sickle cell anemia dan thalassemia

 Adanya stressor seperti infeksi, obat obatan, bisa hewan, atau beberapajenis

makanan

 Toksin dari penyakit liver dan ginjal kronis

 Autoimun

 Pemasangan graft, pemasangan katup buatan, tumor, luka bakar, paparan

kimiawi, hipertensi berat, dan gangguan trombosis

 Pada kasus yang jarang, pembesaran lien dapat menjebak sel darah merah dan

menghancurkannya sebelum sempat bersirkulasi.

2.1.3.3 Anemia Akibat Kehilangan Darah

Anemia ini dapat terjadi pada perdarahan akut yang hebat ataupun pada

perdarahan yang berlangsung perlahan namun kronis. Perdarahan kronis umumnya

muncul akibat gangguan gastrointestinal (misal ulkus, hemoroid, gastritis, atau kanker

saluranpencernaan), penggunaan obat obatan yang mengakibatkan ulkus atau gastritis

(misal OAINS), menstruasi, dan proses kelahiran.

2.1.4 Usia Terhadap Anemia

Usia memiliki keterkaitan dalam proses kejadian anemia. Dalam survey National

Health And Nutrition Examination Survey ketiga (NHANES III), insidensi terjadinya

anemia pada pria dan wanita berusia lebih dari 65 tahun sekitar 11% dan 10%. Hal ini

patut diperhatikan karena kejadian anemia pada usia senja akan memberikan efek

lanjutan, diantaranya peningkatan resiko terjadinya sindroma geriatri seperti jatuh,

demensia, komplikasi, dependensi, gangguan kardiovaskuler, bahkan kematian.

Patofisiologi terjadinya anemia pada pasien usia lanjut saat ini belum bisa

dijelaskan dengan pasti. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa 1/3 dari kasus
anemia pada pasien usia lanjut di Amerika merupakan anemia karena kekurangan

nutrisi, berdasarkan studi kadar besi dalam darah 1/3 lainnya mengalami anemia

karena inflamasi, dan 1/3 sisanya didiagnosis dengan anemia yang tak terjelaskan

(unexplained anemia).

Anemia karena inflamasi lebih dikenal dengan anemia karena penyakit kronis.

Anemia jenis ini diketahui banyak berkaitan dengan timbulnya infeksi, gangguan

rheumatologi, keganasan, dan penyakit penyakit kronis lainnya. Ada 4 mekanisme

inflamasiyang diduga menjadi penyebab timbulnya anemia:

 Inflamasi menyebabkan eritropoesis menjadi tidak efektif dengan cara

menghambat proliferasi dan diferensiasi prekursor eritroid dan / atau penurunan

respons terhadap EPO (eritropoetin) sehingga timbul resistensi EPO.

 Inflamasi akan menurunkan jumlah produksi dari EPO itu sendiri.

 Inflamasi menyebabkan peningkatan kadar heptidin. Heptidin adalah peptida

yang disintesis oleh hepar yang berfungsi untuk menghambat absorpsi zat besi,

pelepasan besi dari makrofag, dan peningkatan proteolisis oleh ferroportin.

 Inflamasi akan memberikan efek negatif pada daya tahan eritrositPada proses

penuaan, sitokin sitokin pro inflamator, IL-6, dan protein fase akut akan

mengalami peningkatan kadar, bahkan pada orang yang sehat. IL-6 diketahui

akan menginduksi pelepasan dari Heptidin. Oleh karena itu peningkatan usia akan

meningkatkan angka kejadian anemia oleh karena proses inflamasi.

2.1.5 Nutrisi terhadap Anemia

Anemia merupakan manifestasi klinik yang penyebabnya multifaktorial, salah

satunya adalah masalah nutrisi. Seseorang dengan status gizi kurang akan memiliki

kecendrungan menderita anemia. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa

prevalensi anemia semakin meningkat dengan semakin memburuknya status gizi


seseorang. Sementara itu penelitian lain mengemukakan tidak ada hubungan yang

bermakna antara status gizi dengan pengukuran IMT dengan kadar Hb.

Status gizi kurang disebabkan oleh asupan makanan yang tidak sesuai dengan

kebutuhan tubuh. Berkurangnya asupan nutrisi bisa disebabkan berbagai sebab,

diantaranya ada gangguan dalam absorbsi makanan yang dikonsumsi atau kurangnya

konsumsi sumber makanan tertentu. Diet yang rendah besi, asam folat, atau vitamin

B12 akan menyulitkan tubuh untuk memproduksi cukup sel darah merah karena zat

zat tersebut diperlukan dalam proses pembuatannya sehingga timbul anemia.

Konsumsi vitamin C yang cukup juga akan membantu penyerapan zat besi sehingga

membantu pencegahan anemia.

Dalam mengukur status nutrisi seseorang diperlukan metode dan ukuran yang

objektif. Indeks Masa Tubuh (IMT) selain merupakan parameter status gizi.

Pengukuran IMT dilakukan dengan cara mengukur tinggi badan, dan berat badan

kemudian dimasukkan dalam rumus perhitungan :

2.2 Kanker Kolon

2.2.1 Definisi Kanker Kolorektal

Kanker kolorektal adalah suatu penyakit dimana sel-sel pada kolon atau rektum

menjadi abnormal dan membelah tanpa terkontrol membentuk sebuah massa tumor.

Penyebab kanker Kolorektal adalah interaksi antara faktor lingkungan dan faktor

genetik. Kanker kolorektal merupakan salah satu jenis kanker yang terjadi pada

mukosa kolon dimana penyakit ini mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang

tinggi.

Kanker kolorektal dapat berupa kanker kolon atau kanker rektum, bergantung

pada tempat munculnya kanker pertama kali. Keduanya memiliki banyak kesamaan
seperti proses pertumbuhan dan bentuk kanker. Kanker kolorektal merupakan

penyakit yang memiliki sifat degradatif dan degenaratif sehingga apabila tidak

ditangani dengan baik dan tepat akan dapat mengakibatkan hal yang membahayakan

pada tubuh manusia. Kanker kolorektal pada tahap pertumbuhan awalnya ditandai

dengan munculnya polip pada kolon dan berubah menjadi kanker.

2.2.1 Epidemiologi

Kanker kolorektal adalah kanker urutan ketiga yang banyak yang menyerang pria

dengan persentase 10,0% dan yang kedua terbanyak pada wanita dengan persentase

9,2% dari seluruh penderita kanker di seluruh dunia. Hampir 55 % kasus kanker

kolorektal terjadi di negara maju dengan budaya barat. Ada variasi geografis dalam

insidensi di seluruh dunia dimana insidensi tertinggi di perkirakan berada di Australia

dan Selandia Baru dengan Age Standardized Rate (ASR) 44,8 pada pria dan 32,2 pada

wanita per 100.000. Hal ini berkaitan karena Australia dan Selandia Baru adalah

negara tujuan migrasi, terdapat hubungan peningkatan risiko kanker kolorektal di

bandingkan dengan populasi dari negara asal.


Diagram 2.1 Epidemiologi Kanker Kolorektal

Kematian pasien kanker kolorektal lebih banyak terjadi di daerah yang kurang

berkembang dengan persentase 52% dari jumlah kematian pasien kanker kolorektal di

dunia. Tingkat kematian pasien kanker kolorektaltertinggi diperkirakan di Eropa

Tengah dan Timurdengan ASR20,3 per 100.000 untuk laki-laki dan11,7 per 100.000

untuk perempuan. Tingkat kematianterendahterdapatdi Afrika Barat dengan ASR 3,5

per 100.000 untuk laki-laki dan 3,0 per 100.000 untuk perempuan.

Diagram 2.2 Epidemiologi kanker kolorektal

Di Indonesia kanker kolorektal adalah keganasan yang sering terjadi baik pada

pria dan wanita setelah kanker prostat dan kanker payudara dengan persentase 11,5%

dari jumlah seluruh pasien kanker di Indonesia. Insidensi kanker kolorektal di

Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Insidensi kanker


kolorektal pada pria sebanding dengan wanita dan lebih banyak terjadi pada usia

produktif. Hal ini berbeda dengan data yang diperoleh di negara berat dimana kanker

biasanya terjadi pada pasien usia lanjut. Perbandingan insidensi pada laki-laki dan

perempuan adalah 3 berbanding 1 dan kurang dari 50% kanker kolon dan rektum di

temukan di rektosigmoid.

2.2.3 Anatomi kolon dan rektum

Secara anatomi, usus besar (kolon) manusia seperti terlihat pada gambar di bawah

ini, yakni terdiri dari sekum, appendix vermivormis, kolon ascenden, kolon

transversum, kolon descenden, rektum, dan anus, dengan panjang kira-kira 1,5 m

terbentang dari ujung distal ileum hingga anus, usus besar ini memiliki fungsi

mengabsorbsi air dan gram dan membentuk feses.

Gambar 2.1 Anatomi Kolon dan Rektum

2.2.4 Patofisiologi dan Faktor Resiko

Secara umum dinyatakan bahwa perkembangan kanker kolorektal merupakan

interaksi antara faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan yang
bermacam macam bereaksi dengan presdiposisi genetik atau defek yang didapat dan

berkembang menjadi kanker kolorektal. Terdapat 3 kelompok kanker kolorektal

berdasarkan perkembangannya, yaitu :

1. Kelompok yang diturunkan, dimana mencakup kurang dari 10% kasus kanker

kolorektal

2. Kelompok sporadis, yang mencakup sekitar 70%

3. Kelompok familial, mencakup 20%

Kelompok yang diturunkan adalah kelompok yang dilahirkan mutasi germline

pada salah satu alel dan terjadi mutasi somatik pada alel yang lain, contohnya adalah

FAP (Familial Adenomatus Polyposis) dan HNPCC (Hereditary Non-Polyposis

Colorectal Cancer). Kelompok sporadik terjadi bila ada dua mutasi somatik, dan satu

pada masing-masing alelnya. Kelompok familial tidak termasuk kedalam kategori

FAP & HNPCC dan lebih dari 35% terjadi pada umur muda. Meskipun kelompo

familial dari kanker kolorektal bisa terjadi karena kebetulan, akan tetapi faktor

lingkungan, penetrant mutations yang lemah atau currently germline mutations dapat

berperan.

Faktor resiko pada kebanyakan kanker kolorektal berhubungan dengan faktor

lingkungan, terutama dalam masalah diet. Pengaruh diet sebagai penyebab karsinoma

kolon berdasar atas pemikiran bahwa makanan yang kontak langsung dengan dinding

mukosa usus berpotensi menjadi prokarsinogenik. Konsumsi serat yang tinggi

diketahui sebagai faktor protektif terhadap kanker kolon dan menurunkan resiko

kanker kolon sebesar 40-50%. Rendahnya konsumsi folat, metionin, dan kalsium juga

diketahui dapat menurunkan resiko terjadinya kanker kolon lewat peningkatan sintesis

dan perbaikan DNA serta efek protektif. Sebaliknya, konsumsi tinggi lemak dan

alkohol merupakan faktor resiko terjadinya kanker kolon.


Mayoritas kanker kolorektal, tanpa peduli penyebabnya dipercaya berasal dari

polip adenomatosa. Berbagai polip kolon dapat berdegenarasi menjadi maligna

sehingga setiap polip kolon harus di lihat lagi. Radang kronik pada kolon seperti

kolitis ulseratif atau kronis amoeba kronik juga berisiko tinggi menjadi maligna.

Secara klinis, probabilitas dari suatu polip adenomatosa menjadi sebuah kanker

tergantung dari penampakan makroskopik lesi, gambaran histologi dan ukurannya.

Kanker berkembang lebih sering pada polip tipe mendatar. Kemungkinan suatu lesi

polipoid pada usus besar mengandung kanker invasif berhubungan dengan ukuran

polip, pada lesi lebih besar dari 2,5 cm kemungkinan mengandung lesi invasif.

2.2.5 Lokasi Kanker Kolorektal

Lokasi tumor pada kanker kolorektal mempengaruhi gejala klinis pada pasien.

Kanker kolorektal juga dapat diklasifikasikan berdasarkan bagian kolon, yaitu sekum,

kolon ascenden, kolon tranverse, kolon descenden, kolon sigmoid, dan rektum.

Penelitian deskriptif di Amerika Serikat yang melibatkan 763 pasien kanker

kolorektal menunjukkan 69% atau 526 pasien diantaranya terdapat keganasan di

kolon kiri dan sisanya 31% atau 237 pasien terdapat keganasan kolon di kanan.

Mengenai lokasi kanker kolorektal sendiri, dari letaknya paling sering terdapat pada

kolon rektosigmoid yaitu 70-75%.

Tabel 2.1. Presentase Letak Keganasan Kolorektal

Letak Persen

Sekum dan kolon ascendens 10%

Kolon transversum termasuk fleksura hepar dan lien 10%

Kolon descendens 5%

Rektosigmoid 75%
Penelitian di RSUP Kariadi menunjukkan distribudi lokasi kanker kolorektal pada

tahun 2010 sebagai berikut : kolon ascenden sebesar 12,5% kolon transversum 5,8%

kolon descendens 6,8% kolon sigmoid 14,4% rectum 60% dan anus 1,2%.

2.2.6 Gejala Klinis

Gejala klinis yang timbul biasanya bervariasi sesuai dengan lokasi anatomi lesi.

Lesi pada kolon kanan tidak menimbulkan gejala obstruktif atau perubahan yang

mencolok pada pola defekasi. Karena lesi kolon kanan biasanya berulserasi, maka

timbul kehilangan darah yang kronik namun tersembunyi tanpa adanya perubahan

dalam penampakan feses. Akibatnya pasien dengan lesi keganasan kolon ascendens

biasanya datang dengan gejala anemia seperti kelemahan, palpitasi, bahkan angina

pectoris. Gambaran anemia yang timbul adalah anemia mikrositik hipokromik yang

menunjukan adanya defisiensi zat besi.

Pada kesi keganasan di kolon tranversal dan descenden, ada kecenderungan

timbul gejala yang dipengaruhi terganggunya pengeluaran feses, seperti kram

abdomen, kadang kadang obstruksi, bahkan perforasi. Radiografi menunjukan lesi

karakteristik annular konstriktif (apple care dan napkin ring). Keganasan yang timbul

di bagian rektosigmoid seringkali berhubungan dengan hematochezia, tenesmus dan

pengecilan ukuran feses dengan anemia yang jarang.

2.2.7 Manifestasi Klinis

Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan

lokasi dari tumor dan ada tidaknya metastasis. Gejala muncul pada kanker kolorektal

yang terjadi sudah lama dan berprognosis buruk. Umumnya gejala pertama timbul

karena penyulit yaitu gangguan fungsi usus, obstruksi, perbedaan atau akibat

penyebaran.

Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung
tetap bersamar hingga lanjut sekali, sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi

karena lumen usus lebih besar da feses masih encer. Gejala klinis sering berupa sering

penuh, nyeri abdomen, perdarahan dan simptomatik anemia (menyebabkan

kelemahan, pusing dan penurunan berat badan).

Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola

defeksi sebagai akibat iritasi dan refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan

konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan

obstruksinya. Sedangkan, tumor pada rectum atau kolon sigmoid biasanya

prognosisnya lebih buruk.

2.3 Anemia pada Kanker Kolorektal

Anemia merupakan manifestasi yang sering ditemukan pada pasien keganasan

gastrointestinal. Jenis anemia yang umumnya terjadi adalah anemia defisiensi zat besi.

Patofisiologi terjadinya anemia merupakan kondisi yang multifaktorial, selain karena

reaksi imun dari keganasan, adanya perdarahan yang sedikit tapi kronis atau

perdarahan akut pada keganasan traktus digestivus diduga menjadi salah satu

penyebab utama terjadinya anemia pada karsinoma kolorektal.

Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa anemia akibat kanker kolorektal

tidak berkaitan dengan stadium klinis dari tumor itu sendiri. Lokasi lesi, infusiensi

jantung, hipoproteinemi, dan melena diduga menjadi faktor resiko kejadian anemia

tersebut. Selain itu, insidensi terjadinya anemia akibat kanker kolon meningkat pada

pasien KKR dengan kriteria wanita, tumor dengan lokasi kanan, dan lesi dengan

ukuran lebih besar atau sama dengan 3 cm.

Anemia pada pasien kanker kolorektal juga bisa disebabkan oleh faktor faktor

lain seperti penyakit kronis, terapi, ataupun kelainan hematologis yang dialami pasien.

Contoh penyakit kronis yang bisa menimbulkan anemia pada pasien kanker kolorektal
diantaranya :

2.3.1 Anemia akibat Diabetes Mellitus

Anemia adalah komplikasi umum yang di alami oleh penderita diabetes, terutama

pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal akibat nefropati diabetikum. Pasien

diabetes dengan mikroalbuminuria dua kali berisiko terjadi anemia dan pasien

diabetes dengan makroalbuminuria sepuluh kali berisiko terjadi anemia dibandingkan

dengan pasien fungsi ginjal baik dengan normoalbumin.

2.3.2 Anemia Akibat Penyakit Hati Kronik

Anemia pada sirosis hepatis disebabkan karena hipertensi portal yang

mengakibatkan terjadinya splenomegali kongestif sehingga terjadi hipersplenisme.

Gambaran morfologi eritrosit bisa bermacam-macam, anemia normokrom normositer,

hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer.

2.3.3 Anemia Akibat Penyakit Ginjal Kronik

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik akan terjadi penurunan fungsi ginjal

yang progresif, sehingga ditemukan kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan

kadar hemoglobin, hiperurisemia, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,

hiperfosfatemia dan asidosis metabolik. Penyebab utama anemia pada penyakit ginjal

kronik disebabkan karena defisiensi eritropoetin yang disekresikan oleh ginjal yang

berperan untuk stimulasi eritroeiesis.

2.3.4 Anemia Akibat Hiperplenisme

Hiperplenisme adalah keadaan dimana terjadi pembesaran limpa akibat dari suatu

penyakit. Pasien dengan hiperplenisme gambaran klinisnya akan mengalami anemia,

leukopenia, trombositopenia atau kombinasinya. Hal ini disebabkan limpa yang

membesar cenderung untuk menangkap dan menghancurkan sel-sel darah. Anemia

yang disebabkan oleh pembesaran limpa berkembang secara perlahan dan gejalanya
cenderung ringan.

2.3.5 Anemia Akibta Keganasan Hematologi

Keganan hematologi seperti leukemia dapat menyebabkan anemia. Pada pasien

leukemia terjadi jenis anemia hemolitik autoimun. Selain itu anemia pada keganasan

hematologis terjadi karena tidak diproduksinya sel darah merah yang cukup karena

produksi leukosit yang lebih dari batas normal sehingga mengisi sum sum tulang

mengganggu produksi dari sel darah merah dan trombosit.

2.4 Hubungan Usia dan Status Nutrisi terhadap Anemia pada Pasien

Kanker Kolorektal

Usia merupakan faktor resiko KKR yang tidak dapat dimodifikasi. Resiko KKR

mulai meningkat saat usia lebih dari 40 tahun dan meningkat tajam pada umur 50-55

tahun, resiko meningkat dua kali lipat setiap dekade berikutnya. Namun, saat ini

mulai terjadi pergeseran usia dimana pasien KKR ditemukan pada usia yang lebih

muda.

Status nutris juga berkaitan dengan insidensi KKR. Salah satu indikator status

nutrisi adalah dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT yang tinggi dihubungkan

dengan peningkatan resiko kanker kolon sebanyak dua kali lipat. Kurangnya aktifitas

fisik harian dan obesitas sentral diduga berhubungan dengan peningkatan resiko

terjadinya kanker kolon.

Anemia merupakan salah satu manifestasi penyakit keganasan dengan prevalensi

yang cukup sering. Timbulnya anemia pada pasien kanker akan memberikan

pengaruh negatif terhadap kualitas hidup pasien akibat timbulnya kelelahan yang di

induksi oleh kanker tersebut dan berpengaruh dalam proses terapi pasien. Penelitian di

Norwegia menyatakan kejadian anemia preoperaktif pada pasien kanker kolon

berpengaruh terhadap memburuknya overall survival pasien.


Seperti telah disebutkan bahwa usia dan status nutrisi memiliki peranan dalam

timbulnya anemia. Usia dan status nutris juga memiliki keterkaitan dalam

peningkatan kejadian kanker kolorektal. Pada penelitian sebelumnya diperoleh data

bahwa usia dan status nutrisi memiliki nilai yang bermakna dalam kejadian anemia

pada keganasana. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti hubungan antara usia dan

status nutrisi terhadap anemia pada pasien kanker kolorektal.

BAB III

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Teori

Berdasarkan dasar teori yang telah diuraikan, maka dikembangkan suatu

kerangka teori yaitu :

Usia

Faktor Genetik

Jhjhhj Lingkungan
Faktor

Diet
Kejadian
Kanker Anemia
Polip
Kolorektal
Adenomatosum

Riwayat Penyakit
Diabetes Melitus

Riwayat Penyakit
Hati Kronik

Riwayat Penyakit
Ginjal Kronik
Diagram 3.1 Kerangka Teori

3.2 Kerangka Konsep

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah usia dan nutrisi, variabel terikat

dalam penelitian ini adalah kejadian anemia pada pasien kanker kolorektal.

Kejadian anemia
Usia dan nutrisi pada pasien
kanker kolorektal

Diagram 3.2 Kerangka Konsep

3.3 Hipotesis

H0 : Tidak ada hubungan antara usia dan nutrisi terhadap kejadian anemia pada

pasien kanker kolorektal.

H1 : Ada hubungan antara usia dan nutrisi terhadap kejadian anemia pada kanker

kolorektal

Anda mungkin juga menyukai