Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Vulvovaginitis adalah inflamasi pada vagina dan vulva, yang paling sering diakibatkan

oleh infeksi bakteri, jamur, atau parasit. Vulvovaginitis menyebabkan adanya duh vagina, iritasi,

dan gatal. Vulvovaginitis merupakan salah satu alasan paling sering mengapa wanita

mengunjungi ahli ginekologi (Leber, 2009).

Bakterial vaginosis merupakan penyebab paling penting vulvovaginitis. Gardnerella

vaginalis merupakan bakteri yang paling sering menyebabkan bakterial vaginosis pada wanita

usia reproduktif. Pernah disebutkan bahwa 50% wanita yang aktif seksual pernah terkena

infeksi G.vaginalis, tapi hanya sedikit yang menimbulkan gejala. Sekitar 50% ditemukan pada

pemakai IUD dan 86% ditemukan bersama dengan infeksi Trichomonas. Memperkirakan jumlah

pasien dengan bakterial vaginosis sangat sulit karena Gardnerella vaginalis bisa didapatkan

dari vagina pada 30-50% wanita yang tidak bergejala (Djuanda dkk., 2007; Leber, 2009).

Pasien biasanya mengeluh adanya sekret vagina yang berwarna putih abu-abu yang

membentuk lapisan tipis pada dinding vagina dan berbau amis. G.vaginalis merupakan flora

normal yang melekat pada dinding vagina dan beberapa peneliti menyatakan terdapat

hubungan yang erat antara bakteri ini dengan patogenesis dari bakterial vaginosis. Faktor lain

yang dapat menyebabkan terjadinya bakterial vaginosis adalah busa sabun, produk pembersih

vagina, multipel seksual partner, seringnya coitus, dan penggunaan IUD (Stoppler, 2011).

Bakterial vaginosis merupakan 60% dari seluruh infeksi pada vagina, terutama pada

wanita dewasa muda yang mempunyai aktifitas seksual yang aktif (usia reproduktif). Bakterial
vaginosis merupakan kondisi yang sering terjadi, dilaporkan bahwa hampir 29% wanita di

Amerika Serikat menderita bakterial vaginosis. Bakterial vaginosis ditemukan pada 16% wanita

hamil dan 60% pada wanita yang menderita penyakit menular seksual (Stoppler, 2011).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara menegakkan diagnosis bakterial vaginosis?
2. Bagaimana terapi bakterial vaginosis?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui cara penegakan diagnosis bakterial vaginosis
2. Mengetahui terapi bakterial vaginosis

1.4 Manfaat

Penulisan makalah laporan kasus dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

dokter muda mengenai Bakterial Vaginosis dalam hal pelaksanaan anamnesa, pemeriksaan

fisik dan penunjang, penegakkan diagnosa, serta penatalaksanaan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Bakterial vaginosis dideskripsikan sebagai kondisi vagina yang diakibatkan oleh

pertumbuhan bakteri anaerob dan Gardnerella vaginalis yang berlebihan. Bakteri anaerob dan

Gardnerella vaginalis juga merupakan flora normal selain Lactobacillus, yang merupakan flora

normal dominan pada vagina, namun pertumbuhan berlebih dari kedua bakteri tersebut

menimbulkan duh yang tipis, homogen, berbau amis, berwarna abu-abu ang melekat pada

dinding vagina dan sering terdapat pada introitus. Meskipun demikian, untuk menemukan

penyebab lain dari vaginitis, epitel vagina terlihat normal dan leukosit biasanya tidak muncul.
Bau amin amis yang diproduksi oleh bakteri anaerob dikuatkan ketika KOH 10% ditambahkan

pada duh (Danforth et al., 2003).

Sindrom yang dikenal sebagai bakterial vaginosis telah mengalami perubahan nama

beberapa kali sejak pertengahan tahun 1950. Nama vaginitis non spesifik awalnya digunakan

untuk membedakan sindrom vaginitis spesifik yang terkait dengan Trichomonas vaginalis dan

jamur. Ketika Gardner dan Dukes menemukan bahwa Haemophilus vaginalis (sekarang dikenal

dengan Gardnerella vaginalis) merupakan agen etiologis dari bakterial vaginosis, nama sindrom

ini diubah. Istilah vaginosis diperkenalkan untuk menegaskan bahwa bakterial vaginosis tidak

seperti vaginitis spesifik, dimana ada peningkatan duh tanpa ada inflamasi yang signifikan, hal

ini ditandai dengan tidak ditemukannya leukosit polimorfonuklear. Istilah bakterial vaginosis

mulai digunakan untuk menandai bahwa sindrom ini lebih disebabkan oleh bakteri daripada

jamur atau parasit, namun identitas dari bakteri ini belum sepenuhnya jelas. Karena banyak

vaginosis yang berhubungan dengan flora ini bersifat anaerob, istilah vaginosis anaerob juga

pernah diusulkan. Namun yang paling akhir, nama bakterial vaginosislah yang

direkomendasikan sebagai istilah yang digunakan (Spiegel, 1991).

2.2 Etiologi

Banyak penelitian telah membuktikan hubungan antara Gardnerella vaginalis dengan

bakteri lain dalam mengakibatkan bakterial vaginosis. Bakterial vaginosis diketahui sebagai

infeksi polimikrobial yang sinergis. Beberapa bakteri yang berhubungan meliputi spesies

Lactobacillus, Prevotella, dan anaerob yang meliputi Mobiluncus, Bacteroides,

Peptostreptococcus, Fusobacterium, Veillonella, dan spesies Eubacterium. Mycoplasma

hominis, Ureaplasma urealyticum, dan Streptococcus viridans juga memainkan peran dalam

bakterial vaginosis. Atopobium vaginae sekarang dianggap sebagai patogen yang terkait

dengan bakterial vaginosis (Curran, 2010)

2.2.1 Normal Vaginal Flora


Flora vagina pada wanita usia reprouktif asimptomatik yang normal meliputi berbagai

spesies aerob dan fakultatif serta obligat anaerob. Dari kesemuanya, anaerob spesies anaerob

merupakan yang predominan dan melebihi spesies aerob dengan perbandingan 10:1. Tabel

berikut ini merupakan pembagian flora normal vagina.

Aerob Lactobacillus spp

Gram positif Propionibacterium spp

Lactobacillus spp Eubacterium spp

Diphtheroids Bifidobacterium spp

Staphylococcus aureus Gram negatif

Staphylococcus epidermidis Prevotella spp

Group B Streptococcus Bacteroides spp

Enterococcus faecalis Bacteroides fragilis

Staphylococcus spp Fusobacterium spp

Gram negatif Veillonella spp

Escherichia coli Jamur

Klebsiella spp Candida albicans dan spesies lain

Proteus spp

Enterobacter spp

Acinetobacter spp

Citrobacter spp

Pseudomonas spp

Anaerob

Kokus gram positif

Peptostreptococcus spp

Clostridium spp

Batang gram positif


Fungsi dan alasan adanya kolonisasi bakteri di vagina masih belum diketahui.

Bakteri-bakteri tersebut melakukan hubungan simbiosis dengan host dan dapat

berubah tergantung pada lingkungan mikro. Pada ekosistem vagina, beberapa

mikroorganisme membentuk substansi seperti asam laktat dan hidrogen

peroksida yang menghambat organisme yang bukan flora normal.

2.2.2 Gardnerella vaginalis

Gardnerella vaginalis mula-mula dikenal sebagai Haemophilus vaginalis

kemudian diubah menjadi genus Gardnerella atas dasar hasil penyelidikan

mengenai fenotipik dan asam deoksi-ribonukleat. Tidak mempunyai kapsul, tidak

bergerak, dan berbentuk batang Gram negatif atau Gram variabel, tes katalase,

oksidase, reduksi nitrat, indole dan semuanya negatif (Djuanda dkk., 2007).

Kuman ini bersifat anaerob fakultatif, dengan produk akhir utama pada

fermentasi berupa asam asetat; banyak galur yang juga menghasilkan asam

laktat dan asam format. Ditemukan juga galur anaerob obligat (Djuanda dkk.,

2007).

Gardnerella vaginalis tumbuh dengan bentuk kecil, bulat, cembung,

membentuk koloni abu-abu pada agar cokelat, juga bisa tumbuh pada agar

HBT. Sebuah media selektif untuk Gardnerella vaginalis adalah agar darah asam

colistin-oxolinic. Untuk pertumbuhannya dibutuhkan tiamin, riboflavin, niasin,

asam folat, biotin, purin, dan pirimidin (AAFP, 2006; Djuanda dkk., 2007).

Bakteri ini mempunyai dinding sel gram positif, tapi karena dinding selnya

sangat tipis, di mikroskop akan terlihat seperti dinding sel gram positif atau gram

negatif. (AAFP, 2006).


Gambar 2.1 Gambaran mikroskopis Gardnerella vaginalis

Gambar 2.2 Mikrograf bakterial vaginosis, sel squamous serviks ditutupi

dengan bakteri berbentuk batang yaitu Gardnerella vaginalis

Gardner dan Dukes menemukan hubungan yang erat antara Gardnerella

vaginalis dengan bakterial vaginosis, demikian pula studi lainnya, akan tetapi

beberapa studi tidak berhasil mendukung hasil ini (Spiegel, 1991).

2.3 Epidemiologi

Bakterial vaginosis lebih sering ditemukan pada wanita yang

memeriksakan kesehatannya dibanding vaginitis jenis lain. Frekuensi tergantung

pada tingkat sosial ekonomi penduduk. Pernah disebutkan bahwa 50% wanita

yang aktif seksual pernah terkena infeksi G.vaginalis, tapi hanya sedikit yang

menimbulkan gejala. Sekitar 50% ditemukan pada pemakai IUD dan 86%

ditemukan bersama dengan infeksi Trichomonas (Djuanda dkk., 2007).


Bakterial vaginosis terjadi pada sepertiga wanita di Amerika Serikat, yaitu

sekitar 21 juta wanita. Setiap tahun, 10 juta wanita datang ke dokter dengan

keluhan sekret vagina. Peningkatan prevalensi ini diduga berhubungan dengan

merokok, obesitas, single/tidak pernah menikah, kehamilan, dan riwayat abortus.

Gardnerella vaginalis didapatkan pada hampir 100% wanita dengan keluhan

bakterial vaginosis dan hampir 70% pada wanita tanpa keluhan bakterial

vaginosis. Gardnerella vaginalis dapat diisolasi pada hampir 80% uretra pria

yang merupakan pasangan seksual dari wanita dengan bakterial vaginosis.

Tetapi, tidak dianjurkan memberikan terapi pada pria tersebut karena tidak

terbukti dapat merubah angka kejadian bakterial vaginosis pada pasangan

wanitanya (Curran, 2010).

Insiden bakterial vaginosis pada pasien yang mengunjungi klinik

kandungan adalah sekitar 10-25% dan yang mengunjungi klinik penyakit menular

seksual adalah sekitar 30-65%. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

bakterial vaginosis lebih sering terjadi pada wanita keturunan Afrika-Amerika

daripada wanita kulit putih non Hispanik, tetapi belum bisa dijelaskan dengan

pasti. Infeksi dan atau kolonisasi Gardnerella vaginalis lebih sering terjadi pada

wanita usia reproduktif dan sangat jarang pada pria, meskipun kolonisasi

Gardnerella vaginalis bisa didapatkan pada pria yang merupakan pasangan

seksual dari wanita dengan bakterial vaginosis. Penelitian terbaru oleh Bradshaw

et al menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara Gardnerella vaginalis

dengan nongonococcal urethritis (Curran, 2010).

Faktor risiko yang mempengaruhi yang dapat berkembang menjadi

bakterial vaginosis antara lain penggunaan antibiotik, penggunaan antiseptic

pada vagina, penggunaan IUD, vaginal douching, berganti-ganti pasangan


seksual, pasangan seksual baru, seks melalui oral, seks saat menstruasi,

aktivitas seksual dengan wanita lain, usia muda pada saat berhubungan seksual,

merokok, ras kulit hitam (Stoppler, 2011; Curran, 2010; Schorge et al., 2008).

2.4 Patogenesis

Meskipun penyebab dari bakterial vaginosis belum diketahui dengan

pasti, kondisi ini diduga karena perubahan keseimbangan flora normal di vagina

akibat peningkatan Ph lokal yang mungkin merupakan akibat dari berkurangnya

Lactobacillus yang memproduksi hidrogen peroksida. Normalnya, di dalam

vagina terdapat Lactobacillus dalam jumlah yang banyak. Sedangkan hampir

semua bakteri anaerob hanya memiliki enzim katalase peroksidase dalam jumlah

sedikit sehingga tidak bisa menghilangkan hidrogen peroksida (Curran, 2010;

Eschenbach et al., 1989).

Pada bakterial vaginosis, jumlah Lactobacillus berkurang, sehingga

terjadi peningkatan jumlah bakteri anaerob, termasuk G.vaginalis. Lactobacillus

merupakan bakteri yang membantu metabolisme glikogen menjadi asam laktat di

dalam vagina dan menjaga Ph normal vagina. Kadar Ph normal membantu

melawan proliferasi bakteri patogen. Jika mekanisme pertahanan ini gagal, maka

banyak bakteri patogen di dalam vagina (misalnya: Bacteroides sp,

Peptostreptococcus sp, Gardnerella vaginalis, G.mobiluncus, Mycoplasma

hominis) akan berploriferasi dan menimbulkan keluhan. Sekitar 50% wanita

terdapat G.vaginalis sebagai flora di vaginanya tapi tidak berkembang menjadi

infeksi (Curran, 2010).

Sekret vagina pada bakterial vaginosis berisi beberapa asam amino

seperti putresin, kadaverin, metilamin, isobutilamin, fenetilamin, dan tiramin.


Dimana dengan bertambahnya produksi amin akan menaikkan Ph vagina yang

menjadikan suasana yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri G.vaginalis.

Dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis sebagai pembentuk asam amino dan

kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam vagina yang mengubah asam

amino menjadi amin sehingga menaikkan Ph sekret vagina sampai suasana

yang menyenangkan bagi pertumbuhan G.vaginalis. Beberapa amin diketahui

menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan

sekret vagina berbau (Leber, 2009 ; Djuanda, dkk, 2007).

Gardnerella vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro,

kemudian menambah deskuamasi sel epitel vagina, sehingga terjadi perlekatan

sekret pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasif dan respons inflamasi

lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam

sekret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis tidak ditemukan imunitas

(Djuanda dkk., 2007).

2.10 Gambaran Klinis

Dari anamnesa didapatkan :

 Bau vagina merupakan gejala yang paling sering dan sering dijadikan

penanda pada Bakterial Vaginosis. Bau bisa didapatkan hanya setelah

coitus. Kondisi alkali dari semen menyebabkan pelepasan volatile amin

dari duh vagina dan menyebabkan bau amis.

 Peningkatan duh vagina mulai dari ringan hingga sedang

 Jarang ditemukan iritasi atau radang pada vulva

 Jarang terjadi disuria maupun dispareunia

 Faktor predisposisi Bakterial Vaginosis :

o Sedang menggunakan antibiotik


o Penurunan produksi estrogen

o Penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim

o Vaginal Douching

o Berhubungan seksual dengan pasangan baru atau berhubungan

seksual dengan lebih dari satu pasangan dalam satu bulan

(Curran, 2010)

Dari Pemeriksaan fisik didapatkan :

 Duh vagina

o Putih atau abu – abu, tipis, dan homogen serta melekat pada

mukosa vagina

o Mungkin tidak terlihat pada pengambilan duh di fornix posterior

karena melekat pada mukosa vagina

o Dapat ditemukan buih – buih kecil pada cairan duh

 Didapatkan peningkatan refleks cahaya pada dinding vagina, indikasinya

tampak sangat basah namun biasanya sedikit atau sama sekali tidak ada

bukti peradangan yang muncul

 Labia, introitus, cervix, dan duh cervix tampak normal

(Curran, 2010)

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Berbagai macam tes yang menggambarkan perubahan ekologi vagina

telah digunakan untuk mendiagnosa BV. (Keane, 2006). Metode diagnosis yang

umumnya digunakan adalah kriteria klinik Amsel dan metode pengecatan Gram.

(Keane, 2006; Mastrobattista, 2000; Romero, 1993;)

Selama ini kriteria Amsel merupakan metode yang paling sering

digunakan dan dianggap sebagai baku emas dalam mendiagnosis BV. (Myziuk,
2003; Ison and Hay 2002; Gratacos et al, 1999). Kriteria Amsel menggunakan

kriteria klinik, yaitu seseorang terdiagnosis BV jika memenuhi tiga dari empat

kriteria, yaitu :

1) sekret vagina homogen

2) Ph vagina > 4,5

3) bau amis bila sekresi vagina dicampur kalium hidroksida; dan

4) ditemukannya clue cells pada sediaan preparat basah salin.

(Cunningham, 2005).

Metode ini cukup mudah dikerjakan serta hanya memerlukan alat yang

sederhana selain harus tersedianya mikroskop untuk memeriksa preparat basah.

(Keane, 2006) Namun metode ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya

subjektivitas dan pengalaman pemeriksa yang sangat menentukan interpretasi

penilaian. Misalnya pada penilaian sekret vagina dan tes amin. Disamping itu

juga dibutuhkan ketrampilan dan ketelitian pemeriksa serta waktu yang cukup

lama untuk mempersiapkan, mengidentifikasi, dan menghitung clue cells dalam

sediaan preparat basah. Hal ini membuat pemeriksaan ini kurang praktis untuk

dilakukan di klinik. Pengukuran Ph juga dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya

darah, sperma, riwayat vaginal douching, sekret servik yang lebih alkalis, dll.

(Schwebke, 1999)

Tingginya prevalensi kasus BV asimtomatis membutuhkan adanya

metode pemeriksaan lain yang tidak hanya mengacu pada gambaran klinis

penderita. Metode pengecatan Gram telah cukup lama dikenal dan diterima

sebagai salah satu metode untuk mendeteksi perubahan flora vagina yang

ternyata berkorelasi secara konsisten dengan diagnosis BV. (Schwebke, 1999)

Diantaranya adalah kriteria Spiegel dan Nugent (Schwebke, 1999). Bersama


kriteria Amsel, metode pengecatan Gram dianggap sebagai baku emas

pemeriksaan BV.(Schwebke, 1999) Namun kedua teknik pemeriksaan tersebut

masih belum dapat ditentukan mana yang merupakan standar baku emas dalam

arti yang sebenarnya. (Chaudry et al, 2004).

Poin penting dari metode pengecatan Gram adalah penghitungan jumlah

kuman pada pemeriksaan sekret vagina. Metode ini menggambarkan perubahan

ekologi vagina dan pengaruhnya terhadap perubahan komposisi flora vagina.

(Ison and Hay, 2002). Metode pengecatan lebih praktis dan objektif dengan

melihat dan menghitung kuman secara langsung. Selain itu tidak dipengaruhi

oleh menstruasi atau hubungan seks yang dapat mengubah Ph dan variasi

teknik seperti interpretasi clue cells.(Mastrobattista, 2000). Kekurangan dari

metode ini cukup memakan waktu dan membutuhkan keahlian pemeriksa. (Ison

and Hay, 2002; Schwebke, 1999)

Kriteria Nugent menggunakan sistem skor (1-10) berdasarkan kualitas

Lactobacilli (large Gram-positive rods), Gardnerella (small Gram-variable

coccobacilli), dan Mobiluncus (curved rods). Pada metode ini, skor 0–3

diinterpretasikan sebagai normal, 4–6 sebagai intermediate flora, dan 7–10

sebagai BV. (Schwebke, 1999). Kategori Intermediate menggambarkan transisi

antara kondisi normal dan BV. (Ison and Hay, 2002) Hal ini membuat kriteria

Nugent menjadi kurang praktis dan membingungkan pemeriksa pada saat harus

mendiagnosis sebagai BV+ atau tidak, terutama saat akan memberikan terapi.

Pemeriksaan sekret vagina dengan kriteria Spiegel memiliki metode yang

lebih sederhana karena penilaian didasarkan hanya pada jumlah Lactobacillus.

(Spiegel, 1983). Dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan kriteria ini tidak

menggunakan kategori intermediate, hanya BV positif atau normal, sehingga


lebih memudahkan pemeriksa dalam menegakkan diagnosis BV dan

memutuskan untuk menterapi pasien.

Pada prinsipnya, setiap morfotipe bakteri diamati pada pemeriksaan di

bawah mikroskop dengan perbesaran objektif 100 kali (dari rerata 10 lapangan

pandang)

1+ : < 1 per lapangan pandang

2+ : 1-5 per lapangan pandang

3+ : 6-30 per lapangan pandang

4+ : >30 per lapangan pandang

Lactobacillus : Kuman bentuk batang besar Gram positif

Gardnerella vaginalis : Kuman bentuk batang kecil Gram variabel

Flora campuran : Organisme lainnya yang dikategorikan hanya dengan

morfologinya, seperti basil Gram negatif, curved rods,

kokus Gram positif, dan fusiformis.

Namun pada kriteria Spiegel dapat disederhanakan sebagai berikut :

Dalam rerata 10 lapangan pandang mikroskop dengan perbesaran objektif 100

kali ditemukan :

· Lactobacillus ≥ 6 per lapangan pandang dengan atau tanpa Gardnerella

 Normal

· Lactobacillus ≤ 5 per lapangan pandang dengan flora campuran BV

2.10 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk bakterial vaginosis adalah Candiddiasis dan

Trichomoniasis. The International Statistical Classification of Diseases and

Related Health Problems mengklasifikasikan penyebab Vaginitis, yaitu:


Candida Vaginitis

Candida vaginitis atau biasa disebut candidiasis merupakan infeksi yang

disebabkan oleh jamur dan menyebabkan pengeluaran sekret vagina berlebih,

keputihan yang seperti keju dan sering menyebabkan iritasi pada vagina dan kulit

sekitar vagina.

Atropic Vaginitis

Biasanya menyebabkan keputihan yang tidak berbau, vagina yang kering,

dan adanya keluhan nyeri pada saat berhubungan seksual. Atropic Vaginitis

biasanya disebabkan karena adanya penurunan hormon akibat menopause.

Trichomonas Vaginalis

Bisa menyebabkan keputihan yang banyak, berbau amis, nyeri pada saat

buang air kecil (BAK), nyeri pada saat berhubungan seksual, dan ditandai

peradangan pada genitalia eksterna (Wikipedia, 2011(b)).

2.10 Komplikasi

Pada kebanyakan kasus, bakterial vaginosis tidak menimbulkan

komplikasi setelah pengobatan. Namun pada keadaan tertentu, dapat terjadi

komplikasi yang berat. Bakterial vaginosis sering dikaitkan dengan penyakit

radang panggul (Pelvic Inflamatory Disease/PID), dimana angka kejadian

bakterial vaginosis tinggi pada penderita PID.

Pada penderita bakterial vaginosis yang sedang hamil, dapat

menimbulkan komplikasi antara lain : kelahiran prematur, ketuban pecah dini,

bayi berat lahir rendah, dan endometritis post partum. Oleh karena itu, beberapa

ahli menyarankan agar semua wanita hamil yang sebelumnya melahirkan bayi

prematur agar memeriksakan diri untuk screening vaginosis bakterial, walaupun

tidak menunjukkan gejala sama sekali.


Gravett dkk. Menemukan bahwa wanita dengan vaginosis bakterial akan

mempunyai risiko persalinan preterm 3-8 kali lebih tinggi daripada wanita dengan

flora normal; wanita yang melahirkan prematur ternyata lebih banyak yang

mengalami infeksi vaginosis bakterial dibandingkan dengan wanita yang

melahirkan aterm; juga terjadinya ketuban pecah dini lebih sering terjadi pada

wanita dengan vaginosis bacterial (46%) daripada wanita tanpa vaginosis

bakterial (4%).

Bakterial vaginosis disertai peningkatan resiko infeksi traktus urinarius.

Prinsip bahwa konsentrasi tinggi bakteri pada suatu tempat meningkatkan

frekuensi di tempat yang berdekatan. Terjadi peningkatan infeksi traktus genitalis

atas berhubungan dengan bakterial vaginosis.

2.9 Terapi

Tiga regimen terapi telah diajukan oleh 2006 Centers for Disease Control

dan pencegahan BV untuk wanita tidak hamil. (Tabel 3-3). Angka penyembuhan

dengan tiga regimen tersebut berkisar antara 80 sampai 90 persen dalam 1

minggu,tetapi dalam 3 bulan,30 persen wanita didapatkan mengalami

peningkatan kembali atau rekurensi dari jumlah flora. Sedikitnya setengah dari

pasien memiliki episode gejala dengan berubahnya flora normal

tersebut,beberapa berhubungan dengan kontak heteroseksual. (Amsel, 1983;

Gardner, 1955; Wilson, 2004). Terapi pada laki-laki pasangan seksual,tidak

memiliki makna terhadap wanita yang mengalami rekurensi ini,dan juga tidak

direkomendasikan. Dalam hal lain,terapi seperti untuk menginduksi kuman

lactobacilli,gel pengasam,dan penggunaan probiotik tidak mempunyai efek yang

konsisten.
Tabel 3-3 Rekomendasi terapi untuk bakterial vaginosis
Agent Dosis
Metronidazole 500 mg oral dua kali sehari untuk 7 hari
Metronidazole gel 5 g (1 full applicator) intravaginal sekali

0.75% sehari untuk 5 hari


Clindamycin cream 5 g (1 full applicator) intravaginal sebelum

2% tidur untuk 5 hari

Ada 2 hal yang harus diperhatikan dalam pengobatan bakterial vaginosis

yaitu pasien harus di KIE untuk menghabiskan antibiotik yang diberikan sekalipun

pada pertengahan pengobatan biasanya gejala sudah menghilang serta

mengobati pasangan pasien dengan bakterial vaginosis apabila didapatkan

adanya kekambuhan (Swierzewski, 2008).

2.10 Pencegahan
Para ahli masih mencari tahu langkah yang terbaik untuk mencegah BV.

Berikut adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko.

1. Jaga keseimbangan bakteri yang ada di daerah vagina. Cuci daerah

vagina dan anus setiap hari dengan sabun yang lembut. Usap daerah

tersebut menggunakan handuk kering setelah bersih diri. Tetap jaga

jangan sampai lembab dengan menggunakan celana dalam berbahan

katun,juga hindari penggunaan celana yang terlalu ketat.


2. Hindari douche. Douche dapat menghilangkan beberapa bakteri normal di

vagina yang melindungi dari infeksi flora asing. Hal ini dapat

meningkatkan risiko BV.


3. Pemeriksaan rutin daerah panggul. Lakukan pemeriksaan rutin daerah

panggul dengan dokter untuk skrining adanya IMS atau tidak.

Melakukan seks aman juga sangat penting untuk mencegah terjadinya

BV,terdapat 3 cara :
1. Abstain. Jangan melakukan hubungan seks. Cara terbaik untuk

mencegah IMS adalah tidak melakukan hubungan seksual baik

genital-genital, genital-anal, maupun genital-oral.


2. Be faithful. Setia. Berhubungan seks hanya dengan satu pasangan

dapat menurunkan risiko. Be faithful to each other.


3. Use condoms. Gunakan kondom. Apabila kedua cara tersebut diatas

tidak dapat dipenuhi,maka cara terakhir untuk melindungi diri adalah

dengan menggunakan kondom setiap melakukan hubungan seksual.

(CDC, 2000)

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Umum Pasien

Nama : Nn. NA
Umur : 21 tahun

Agama : Islam

Suku : Jawa

Bangsa : Indonesia

Status perkawinan : Belum Menikah

Pekerjaan :-

Pendidikan :-

Alamat : Jl. Semboja 27 Kepanjen Malang

No. RM : 10957916

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama : keputihan yang berbau dan gatal

Pasien mengeluhkan keputihan yang gatal, bau, warna putih kadang coklat. Satu

tahun yang lalu mendapat pengobatan di dokter lalu sembuh, namun sekarang

kambuh lagi. Pasien mengaku sering memakai pantyliner dan menggunakan

antiseptik pada vagina.

3.3 Status Obstetri

 Paritas : P0000 Ab000

 KB sekarang :-

3.4 Status Ginekologis

 Menarche : 11 tahun tahun


 Siklus haid: teratur, 28 hari
 Jumlah : Sedang
 Lama : 6 hari
 Warna : Merah
 Bau : Amis darah
 HPHT : 15 Februari 2011
 Merasa sakit : Sebelum dan selama haid
 KB :-
3.5 Pemeriksaan Fisik

STATUS GENERALIS

KU : Baik, compos mentis

TB/BB : 150 cm/54 kg

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Nadi : 88 x/ menit

Respiratory Rate : 20 x/ menit

Tax : 36,6 C

Kepala/Leher : conjunctiva pucat -/-, sklera ikterik -/-

pembesaran kelenjar leher Θ

pembesaran kelenjar thyroid Θ

Thorax : Cor : - Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V MCL (S)

- Perkusi : RHM : SL (D), LHM : ICS V MCL (S)

- Auskultasi : S1 S2 single, murmur Θ

Paru: - Inspeksi : Pergerakan simetris

- Palpasi : Stem fremitus D=S

- Perkusi : s s

s s

s s

- Auskultasi : v v Rh: - - Wh: - -

v v - - - -

v v - - - -

Abdomen: Inspeksi : flat


Palpasi : supel, flat, TFU tidak teraba.

Hepar tidak teraba, lien tidak teraba

Liver span 8 cm

Perkusi : Meteorismus Θ

Auskultasi : BU  N

Genetalia Eksterna : flek (-), clot (-), fluksus (-), flour (+) minimal 

putih, homogen, berbau amis

Ekstremitas : edema - -

- -

PEMERIKSAAN DALAM

Inspekulo : Tidak dilakukan

VT : Tidak dilakukan

RT : TSA cukup, mukosa licin, massa (-) nyeri (-)

CURF : Bentuk dan ukuran normal,

AP : Dextra massa (-), nyeri (-)

Sinistra massa (-), nyeri (-)

CD : Massa (-), nyeri (-)

3.6 Diagnosis Awal

Vulvovaginitis

3.7 Diagnosis Banding

Candida vaginitis, Trichomoniasis, Bakterial vaginosis

3.8 Planning Diagnosis

VVP

3.9 Hasil Pemeriksaan Penunjang


a. HASIL PEMERIKSAAN VVP (23 Februari 2011)

Preparat Basah:

- Trichomonas vaginalis : tidak ditemukan

- Jamur : tidak ditemukan

- Eritrosit : tidak ditemukan

- Leukosit : + (positif)

- Epitel : + (positif)

- Lain-lain : - (negatif)

Preparat Kering:

- Diplococcus gram negatif : tidak ditemukan

- Batang gram negatif : tidak ditemukan

- Coccus gram positif : + (positif)

- Batang gram positif : tidak ditemukan

- Coccobacil : tidak ditemukan

- Clue cell : tidak ditemukan

- Lain-lain : - (negatif)

3.10 Diagnosis Akhir

Vulvovaginitis non spesifik

3.11 Planning Terapi

- klindamisin 2x300 mg selama 7 hari

- loratadine 1x1 prn gatal

3.12 Monitoring

-
3.13 KIE

- menjaga higienitas daerah genital

- tidak menggunakan sabun antiseptik untuk membersihkan vagina

- minum obat sampai habis meskipun keluhan sudah berkurang

- kontrol jika obat habis

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bakterial vaginosis dalam kasus ini ditegakkan melalui anamnesa,

pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesa

didapatkan keluhan utama pasien datang ke Poli Gynekologi RSSA pada tanggal

23 Februari 2011 adalah adanya keputihan yang berulang. Dimana pada

anamnesa lebih lanjut didapatkan bahwa keputihan ini sudah pernah dialami satu
tahun yang lalu dan telah mendapatkan pengobatan dari dokter. Pasien

mengatakan setelah mengkonsumsi obat tersebut keluhan keputihan

menghilang, tapi saat ini kambuh lagi. Pada saat ini pasien mengaku keputihan,

dimana keputihan tersebut berbau amis, berwarna putih kadang – kadang coklat

dan disertai gatal di sekitar genital yang sangat mengganggu saat keputihannya

sedang banyak. Pasien juga mengaku sering memakai pantyliner dan

menggunakan antiseptik pada vagina. Pasien tidak mengeluhkan adanya

gangguan pada BAB dan BAK yang merupakan salah satu ciri dari infeksi yang

disebabkan oleh Trichomonas vaginalis. Pada pasien ini tidak dilakukan Whiff

test, karena pemeriksaan ini hanya mengkonfirmasi bau amis yang terdapat

pada sekret dengan meneteskan KOH sehingga membentuk Volatile amin yang

menimbulkan fishy odor. Namun pada pasien ini bau amis tersebut sudah dapat

tercium tanpa menambahkan KOH, sehingga lebih efisien untuk tidak melakukan

Whiff test.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan bahwa keadaan umum, tanda – tanda

vital, kepala, leher, thorak, dan abdomen dalam batas normal. Sedangkan dari

pemeriksaan genitalia eksterna didapatkan adanya fluor albus yang homogen

dan berbau amis. Tidak dilakukan pemeriksaan menggunakan inspekulo dan

pemeriksaan Vaginal Touche pada pasien ini karena pasien belum menikah.

Sehingga untuk pemeriksaan dalam dilakukan dengan pemeriksaan Rectal

Touche dan didapatkan TSA cukup, mukosa licin, tidak didapatkan massa

maupun nyeri tekan. Pada adneksa dan cavum douglasi dalam batas normal,

tidak ditemukan massa dan nyeri.

Untuk menegakkan diagnosis, pada tahap selanjutnya dilakukan

pemeriksaan penunjang yaitu Vulvovaginal Preparat (VVP). Pada pasien ini tidak
dilakukan uji PAP Smear karena pasien belum menikah mengaku belum pernah

melakukan coitus. Untuk pemeriksaan vulvovaginal diambil sekret dari portio

menggunakan kapas lidi, lalu digoreskan pada 2 objek glass yang telah tersedia

dan diberi label, salah satunya diberikan 1 tetes normal saline sebagai preparat

basah dan diperoleh Leukost 1+, Epitel +, serta bakteri Coccus gram positif 1+.

Berdasarkan teori yang ada, pada pemeriksaan preparat basah pada penderita

dengan bakterial vaginosis didapatkan adanya sel darah putih serta adanya

epitel dan adanya bakteri Gardnerella vaginalis yang berbentuk bulat, cembung

yag merupakan strain gram negatif dan bersifat fakultatif anaerob. Namun, pada

VVP didapatkan bakteri yang ada yaitu bakteri coccus gram positif.

Diagnosa awal pada pasien ini adalah Vulvovaginitis dengan diagnosa

banding Candida Vaginitis, Trichomoniasis dan Bakterial Vaginosis. Pada

anamnesa dan pemeriksaan fisik ditemukan gambaran klinis berupa keputihan

berulang, berwarna putih dan berbau serta riwayat penggunaan pantyliner dan

antiseptik untuk vagina (vaginal douching). Pada pemeriksaan penunjang

menggunakan Vulvovaginal Preparat (VVP) pada preparat kering didapatkan

coccus gram positif bernilai positif satu (+1) dan pada preparat basah tidak

ditemukan Trichomonas maupun jamur sehingga diagnosa Candida Vaginitis

maupun Trichomoniasis dapat disingkirkan. Apabila terdapat flora campuran baik

morfotype Gardnerella maupun bakteri gram negatif ataupun gram positif seperti

curve rods, batang gram negative, fusiform, serta coccus gram positif dan

morfotype Lactobacillus tidak ditemukan atau ditemukan dalam jumlah yang

sedikit (+1 atau +2), maka preparat diinterpretasikan sebagai Bakterial Vaginosis

(Spiegel, 1991). Kultur untuk G. vaginalis tidak direkomendasikan karena

organisme tersebut juga dapat ditemukan pada wanita tanpa BV termasuk wanita
yang belum aktif secara seksual (American Academy of Pediatrics, 2003). Maka

pada akhirnya, diagnosa yang ditegakkan pada pasien Nn. NA adalah

Vulvovaginitis non spesifik atau Bakterial Vaginosis (BV).

Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah antibiotik klindamisin 2x300

mg selama 7 hari dan loratadine 1x1 bila gatal. Dengan KIE untuk menjaga

higienitas daerah genital, tidak menggunakan antiseptik pada vagina, meminum

antibiotik sampai habis walaupun keluhan telah berkurang atau hilang, dan

kembali untuk kontrol bila obat telah habis. Hal ini telah sesuai dengan teori yang

telah disebutkan sebelumnya dimana terapi causativ Bakterial Vaginosis

dilakukan dengan pemberian antibiotik yang pada kasus ini pasien diberi

Klindamisin per oral yang merupakan salah satu regimen untuk BV dan terapi

simtomatis dilakukan dengan pemberian loratadine. KIE yang diberikan juga

telah merujuk pada faktor predisposisi Bakterial Vaginosis yang dialami pasien

tersebut.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kasus Nn. NA, 21 tahun datang berobat dengan keluhan utama

keputihan. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang mengarahkan suatu diagnosa Bakterial Vaginosis.


1. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan VVP untuk membantu

menentukan terapi selanjutnya, dimana hasilnya mengarah pada

diagnosa Bakterial Vaginosis.

2. Pasien dilakukan terapi, yaitu peberian antibiotik Klindamisin 2x300 mg

selama 7 hari.

5.2 Saran

 Diperlukan ketepatan dan ketelitian dalam melakukan anamnesa dan

pemeriksaan fisik, terutama dalam mendiagnosis keputihan, mengingat

banyaknya diagnosis banding dari keluhan tersebut.

 Diperlukan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang baik pada

pasien dan keluarga untuk mengoptimalkan kesejahteraan pasien baik

sebelum, selama, maupun setelah pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai