Anda di halaman 1dari 10

STRATEGI BISNIS:

KEY PARTNERSHIP

KELOMPOK 4:

CLAUDIA RARA ANGGITHA (117182044)


MARCELLITA OKTAVIANI (117182053)
ROBERT GOREVI SANJAYA (117182056)

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS
TARUMANAGARA
JAKARTA
2019
1.1 Apa itu Key Partnership?
Key resources merupakan elemen yang sangat penting, karena tidak ada organisasi atau
perusahaan yang dapat berjalan tanpa bekerja sama dengan pihak lain. Bahkan, tidak sedikit
perusahaan yang keberhasilannya ditentukan oleh mitra mereka. Contohnya, Microsoft yang maju
karena kemampuannya untuk membangun kemitraan.
Ostwerlader (2004) mendefinisikan kemitraan, yaitu: kesepakatan kerja sama yang
diprakarsai secara sukarela antara dua atau lebih perusahaan yang independent untuk
menyelesaikan proyek tertentu atau aktivitas bersama-sama secara spesifik dengan
mengkoordinasikan kemampuan, sumber daya, dan atau kegiatan yang diperlukan. Dari definisi
tersebut kita mengetahui bahwa kemitraan:
1. Melibatkan dua atau lebih pihak
2. Suatu bentuk kesepakatan
3. Kesepakatan dalam bentuk kegiatan dan sumber daya

Dalam melakukan kemitraan, organisasi memiliki empat tujuan:

1. Optimasi operasi: fokus pada kompetensi dan kegiatan inti. Kegiatan dan kompetensi
non inti diserahkan kepada mitra. Bentuk semacam ini dikenal dengan istilah
alihdaya/outsourcing.
2. Mendapatkan sumber daya yang tidak dimiliki: salah satu bentuk sumber daya paling
lumrah untuk didapatkan dari mitra kerja antara lain: basis data konsumen, brand yang
kuat, atau teknologi dan paten teknologi
3. Mendapatkan pengetahuan secara organisasi: organisasi membutuhkan pengetahuan
untuk menjalankan operasinya, dan pengethuan tersebut dimiliki oleh mitra. Bentuk
kemitraan semacam ini dikenal sebagai joint operation.
4. Akuisisi pasar, baik untuk mengembangkan ataupun membuka pasar baru: bentuk yang
paling sering dijumpai ialah joint venture untuk mengembangkan pasar internasional.
Khusus kemitraan dalam pengembangan pasar, organisasi yang bermitra bisa bekerja
sama namun tetap bersaing pada saat penjualan.

Osterwalder (2010) menyederhanakan perspektif ini dalam empat bentuk kemitraan, antara
lain: aliansi strategis antara non-pesaing, coopetition (kemitraan strategis antarpesaing), joint
venture (usaha patungan untuk mengembangkan bisnis baru), dan hubungan buyer-supplier untuk
menjamin ketersediaan pasokan.

Osterwalder dan Pigneur mengklasifikasikan motivasi para pihak yang bermitra dalam tiga
kelompok:

1. Optimisasi dan skala ekonomis


Perusahaan melakukan kemitraan memiliki tujuan untuk mengoptimalkan
operasionalnya untuk mencapai skala ekonomi dengan cara menekan biaya. Sangat
sulit bagi perusahaan untuk beroperasi hanya dengan mengandalkan sumber daya
sendiri.
Contoh: perusahaan manufaktur mobil, sangat tidak mungkin untuk membuat sendiri
semua komponen yang dibutuhkan. Apabila hanya mengandalkan sumber daya sendiri,
perusahaan harus menanggung biaya operasional yang tinggi sehingga sulit untuk
mencapai skala ekonomi. Dalam kasus ini, perusahaan akan dapat beroperasi secara
lebih efisien apabila bermitra dengan pabrik ban atau komponen lain.
2. Pengurangan resiko dan ketidakpastian
Kemitraan dapat membantu mengurangi resiko dalam lingkungan kompetitif yang
bercirikan ketidakpastian. Bukan sesuatu yang tidak biasa bagi pesaing untuk
membentuk aliansi strategis dalam satu area sambil tetap bersaing di area lainnya.
Contoh: Blu-ray adalah format optical disc yang dikembangkan secara bersama oleh
sekelompok pabrikan barang elektronik, PC, dan media terkemuka dunia. Kelompok
ini bersama-sama membawa teknologi Blu-ray memasuki pasar, meskipun masing-
masing anggotanya saling bersaing menjual produk Blu-ray nya sendiri.
3. Akuisisi sumber daya dan kegiatan tertentu
Hanya sedikit perusahaan yang memiliki semua sumber daya atau melakukan semua
aktivitas yang digambarkan oleh model bisnisnya. Kebanyakkan mereka lebih suka
memperluas kemampuan dengan mengandalkan perusahaan lain untuk melengkapi
sumber dayanya atau melaksanakan aktivitas-aktivitas tertentu. Kemitraan seperti ini
muncul karena adanya kebutuhan untuk memperoleh pengetahuan, lisensi, atau akses
kepada pelanggan.
Contoh: Sebuah pabrikan telepon seluler, misalnya dapat memberikan lisensi sistem
operasi untuk pesawat telepon, bukan mengembangkannya sendiri secara in-house.
Penjamin asuransi dapat mengandalkan perantara independen dalam menjual polisnya,
bukan mengembangkan tenaga penjualnya sendiri.

1.2 Kaitan Key Partners dengan Elemen Lain


Dalam BMC, Key partners memiliki kaitan erat dengan elemen-elemen lain. Ketika
organisasi dalam model bisnisnya telah menetapkan value proposition, maka pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana membuat agar value proposition tersebut dapat diwujudkan? Dan
jawabannya adalah ada pada key activities dan key resources. Dalam kedua elemen tersebut,
perusahaan dapat memutuskan untuk mengadakannya sendiri atau mempercayakannya kepada
mitra kerja (membuat atau membeli). Apabila perusahaan menetapkan untuk “membeli”, maka
perusahaan harus menetapkan siapa yang harus menjadi mitra.

1.3 Contoh Perusahaan (Kaskus)


Kaskus menjadi fenomena di dunia media sosial di Indonesia. Situs ini mnejadi situs lokal
yang paling sering dikunjungi. Kaskus merupakan singkatan dari “Kasak Kusuk” sebuah forum
komunitas maya, Kaskus memberikan nilai kepada konsumen dalam bentuk tempat sosialisasi atau
sering disebut dengan istilah “nongkrong” dalam kebebasan berbagi informasi. Kebutuhan
bersosialisasi tersebut terus meningkat seiring peningkatan jumlah internet dan kemampuan
perusahaan penggerak media sosial untuk menciptakan tren. Para Kaskuser dapat dengan leluasa
mengutarakan apa yang ada dibenaknya dan bisa berinteraksi dengan anggota lain melalui media
tulisan (posting) dalam suatu forum (thread). Tulisan dan forum diskusi itu dibuat dan diramaikan
justru oleh Kaskuser itu sendiri. Kaskuser yang memberikan infromasi terkini tentang fakta-fakta
unik, berita terbaru, dan trend saat ini akan mendapatkan reputasi yang memberikan kepuasan
tersendiri, ditunjukkan dengan naiknya atau turunnya reputasi (Kaskuser akan memberikan
“cendol” kepada Kaskuser yang menulis dengan baik dan memberikan “bata” kepada Kaskuser
yang selalu membuat kegaduhan”.
Kaskus merupakan perusahaan yang tidak menarik pembayaran dari konsumen langsung.
Tetapi, Kaskus dapat bertahan untuk mengelola bisnisnya ialah para konsumen yang tidak
membayar akan disubsidi oleh konsumen yang membayar. Kaskuser maupun non-Kaskuser
(pengguna internet secara umum) bebas mengakses segala informasi yang ada dalam situs tersebut.
Hanya saja, Kaskuser dapat berinteraksi (menulis sesuatu), sedangkan non-Kaskuser tidak. Untuk
menutupi biaya operasional maupun biaya investasi yang timbul, Kaskus mencari beberapa opsi
pendapatan, antara lain:
1. KasPay: sistem pembayaran secara online dalam forum jual beli. Kaskuser cukup
melakukan penyimpanan sejumlah uang dan dapat menggunakannya di kemudian hari
sebagai alat pembayaran. Kaskus akan bekerja sama dengan beberapa bank mitra untuk
kemudahan transaksi

Gambar 2.1 KasPay


2. Kaskus Ads: Kaskus mengundang perusahaan-perusahaan untuk beriklan di situs
tersebut. Pendapatan dari iklan merupakan pendapatan terbesar Kaskus dengan nilai
mencapai Rp 4 milyar/bulan atau mencapai Rp 48 milyar/tahun. Namun, tantangannya
adalah para Kaskuser tidak menyukai jika terlalu banyak halaman yang terpakai
sebagai banner iklan.

Gambar 2.2 Kaskus Ads


3. Kaskus donatur: Kaskus memberikan fitur tambahan bagi Kaskuser yang berkontribusi
kepada perusahaan. Misalkan, mendapat status donatur, menggunakan fitur quick
replay, kapasitas ruang simpan pesan yang lebih besar, bisa melihat Kaskuser lain yang
memberikan reputasi kepada si donatur, akses lebih cepat, dan ada akses khusus ke
forum donatur.

Gambar 2.3 Kaskus Donatur


4. E-pulsa: salah satu fitur yang memudahkan anggotanya untuk membeli pulsa.
Gambar 2.4 E-Pulsa

Kaskus dapat tumbuh menjadi situs lokal yang terbesar, memiliki keleluasaan dalam
mendapatkan sejumlah uang tanpa membebankannya kepada konsumen. Hal ini dapat dilakukan
karena peran Kaskuser sebagai konsumen dan mitra secara bersamaan. Beberapa argumentasi
penguat untuk alasan ini:

1. Pada saat proses binis sedang berlangsung, Kaskus memainkan peran sebagai fasilitator,
sedangkan konsumen mengambil dua peran secara timbal balik, sebagai penerima dan
penyedia informasi. Kaskuser sebagai konsumen membutuhkan informasi sedangkan
Kaskuser sebagai penyedia informasi dengan sukarela membagikannya. Kaskus bisa saja
menjadi penyedia informasi seperti koran, namun kini konsumen mempunyai keinginan
yang kuat untuk berkontribusi aktif dalam komunitas; menjadi lebih aktif. Perubahan
tersebut ditangkap oleh Kaskus dan menjadikan suatu patron bahwa: satu kegiatan penting
bisa saja diserahkan kepada mitra lain, dalam hal ini ialah konsumen.
2. Kaskus banyak menggunakan sumber daya yang memang berasal dari Kaskuser itu sendiri
secara sukarela. Salah satu sumber daya yang dibutuhkan oleh Kaskus ialah sumber daya
manusia, moderator (memiliki peran vital karena berfungsi untuk menjaga ketertiban dan
kelancaran proses komunikasi dalam forum yang ada), dan programmer. Moderator dalam
Kaskus adalah Kaskuser itu sendiri. Syarat mutlak menjadi moderator ialah aktif dalam
kegiatan Kaskus, moderator Kaskus juga bersifat sukarela atau tidak pernah mendapatkan
upah atas pekerjaannya.

Kaskus menangkap peluang untuk bermitra dengan konsumen dalam bentuk partisipasi aktif.
Partisipasi aktif dalam bentuk ‘posting-an’ yang menarik dapat mengundang jumlah
pengunjung yang lebih banyak lagi. Ketika jumlah pengunjung lebih banyak maka kesempatan
untuk bekerja sama dengan pengiklan menjadi semakin besar. Ketika Kaskus sudah
sedemikian besar seperti sekarang, bahkan memiliki potensi yang lebih besar lagi, maka dapat
mengundang sumber dana (revenue stream) lainnya. Contohnya adalah kemitraan dengan PT
Global Digital Prima (Grup Djarum) yang dapat membuat Kaskus merencanakan menambah
250 server dan menambah 80 personel. Semua dimulai dari kemitraan yang lebih tinggi, hingga
proses membesarkan bisnis secara berkelanjutan.

Gambar 2.5 Business Model Canvas Kaskus

1.4 Contoh Perusahaan Sendiri (Astra Honda Motor)


Saat ini mayoritas sepeda motor diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang berafiliasi
dengan perusahaan otomotif dunia (khususnya Jepang). Perusahaan-perusahaan yang telah lama
berinvestasi di Indonesia, bergabung dengan perusahaan lokal menciptakan merek-merek sepeda
motor, antara lain: Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki, TVS, dan Bajaj. Persaingan antar
perusahaan sangat ketat terutama untuk merek Honda dan Yamaha. Sampai dengan Januari 2012,
kedua perusahaan telah menguasai lebih dari 90% pangsa pasar industri sepeda motor di Tanah
Air (AISI,2012). Honda mampu meraih lebih dari 50% pangsa pasar atau menjual 382.635 unit
sepeda motor dari total 653.239 unit yang terjual pada bulan Januari. Sedangkan Yamaha mampu
untuk meraih lebih dari 30% pangsa pasar atau menjual 206.704 unit kendaraan. Kedua perusahaan
ini sepanjang tahun 2011 saling bersaing dalam memenangkan pangsa pasar yang ada.
Sumber keunggulan AHM, salah satunya adalah dalam pengelolaan key partnership.
Model bisnis AHM sangat menekankan pada pentingnya memperlakukan para pemasok, dealer,
dan stakeholder lainnya sebagai mitra bisnis yang seimbang. Hal tersebut karena AHM
menerapkan sistem produksi yang disebut sebagai Just-In-Time (JIT). Konsep ini tidak akan
berhasil jika diterapkan tanpa adanya “kemitraan”.
Model bisnis AHM pada dasarnya terletak pada kekuatan untuk bisa memberikan value
proposition kepada pelanggan. Dari sisi produk, AHM selalu berupaya untuk memberikan sepeda
motor dengan tingkat keamanan yang tinggi, irit bahan bakar, teknologi tercanggih, dan harga jual
kembali yang tinggi. Selain itu, AHM juga memberikan nilai lebih kepada pelanggan berupa
kemudahan pembelian yang disertai dengan pelayanan perbaikan kerusakan dan perawatan yang
andal. Semua nilai ini diantarkan dalam produk-produknya melalui 1.600 dealer penjualan yang
dimilikinya. Model bisnis melalui produk sepeda motor yang andal tersebut sebenarnya bukanlah
sesuatu yang unik dalam industry. Keunikan dari model bisnis AHM justru terletak dari sistem
produksi dalam rantai pasok yang diterapkannya.
Karena permintaan sepeda motor di pasar semakin meningkat dan memaksa AHM untuk
meningkatkan kapasitas produksinya, mereka memberlakukan sistem yang dikenal dengan nama
Just-In-Time (JIT). Secara sederhana, JIT merupakan suatu filosofi dalam manufaktur yang
berdasarkan pada perencanaan untuk mengeliminasi semua waste dan meningkatkan produktivitas
secara berkelanjutan. Proses pertama akan diawali dengan adanya data pemesanan dari dealer yang
berisi tipe dan jumlah unit pemesanan. Setelah terdata, maka pesanan tersebut akan dimasukkan
dalam jadwal produksi. Ketika jadwal sudah ada, maka proses produksi akan menarik informasi
mundur dari produk jadi dengan menggunakan Kanban. Masing-masing supplier akan memenuhi
kebutuhan setiap work center sesuai dengan jadwal. Dalam praktiknya, AHM melakukan
koordinasi antar dealer dengan memberlakukan sistem pemesanan sebelum produksi benar-benar
dilakukan. Dealer diminta untuk melakukan pemesanan sebulan sebelumnya lalu mereka akan
mendapatkan nomor rangka sekaligus kepastian pengiriman. Apabila dua minggu setelah
pemesanan, sepeda motor yang dipesan tersebut terlihat tidak akan laku terjual maka pesanan dapat
diubah.
Metode pull system pada prinsipnya merupakan inovasi yang dilakukan AHM untuk
mengantisipasi persaingan dengan peningkatan efisiensi. AHM sudah meninggalkan metode push
system, dimana mereka harus melakukan penyimpanan sediaan dalam jumlah yang besar dalam
bentuk komponen atau barang jadi. Sekarang, dengan menggunakan metode pull system, AHM
bisa melakukan produksi tanpa memerlukan gudang ataupun hanya menggunakan gudang
distribusi sementara. Saat AHM baru menaikkan kapasitas produksi 1.200 unit sepeda motor per
hari, stok material turun 35% menjadi Rp 650 juta komponen. Kini, saat produksi telah meningkat
menjadi 10.000 unit per hari, kendala operasional yang timbul dari tinggi persediaan dapat
dikurangi. Belajar dari pengalaman AHM, jelas terlihat bahwa untuk mengimplementasikan sistem
tersebut membutuhkan salah satu kunci penting yaitu hubungan kerja sama yang baik dengan mitra
usaha. AHM jelas membutuhkan pihak lain (pemasok/dealer), tanpa kedua pihak tersebut tentu
saja sistem tidak akan berjalan dengan optimal.
Salah satu kunci untuk membina hubungan kerja yang baik dengan pemasok dan dealer
ialah komunikasi. Kelancaran dalam berkomunikasi menjadi salah satu hal yang dipersiapkan
ketika mengimplementasikan sistem JIT. Untuk memudahkan komunikasi antara AHM dengan
dealer, kini tersedia berbagai jenis media mulai dari internet, telepon, fax, bahkan kurir. Setiap
malam, dealer wajib mengirimkan data penjualan sehingga tim pemasaran dapat melihatnya di
dashboard monitoring. Jalur komunikasi khusus juga disediakan kepada dealer utama. Bekerja
sama dengan Indosat, AHM menyediakan sarana Virtual Private Network (VPN) untuk
berkomunikasi dengan mereka.
Jika melihat motifnya dalam bermitra, kemitraan yang dibangun AHM memiliki motivasi
bagaimana perusahaan dapat lebih optimal dalam beroperasi dan mencapai skala ekonomis melalui
penekanan biaya.

Gambar 2.6 Business Model Canvas AHM

Anda mungkin juga menyukai