Anda di halaman 1dari 47

1.

Leptospirosis

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh patogen spirochaeta,
genus Leptospira. Leptospirosis merupakan zoonosis dengan distribusi luas di seluruh dunia,
terutama pada wilayah dengan iklim tropis dan subtropis. Hewan terpenting dalam
penularan leptospirosis adalah jenis binatang pengerat, terutama tikus.

a. Gejala klinis :

Gejala klinis leptospira di bagi menjadi dua fase

1. Fase leptospiremi atau septikemia


Fase ini di tandai demam yang muncul dengan tiba-tiba, menggil, sakit kepala, mialgia,
ruam kulit, mual, muntah, dan tampak lemah. Demam tinggi yang bersifat remiten bisa
mencapai 40°C. Conjunctival suffusion merupakan tanda khas yang biasanya timbul pada
hari ke-3 atau ke-4.
Pada fase ini mungkin dijumpai adanya hepatomegali, akan tetapi splenomegali
kurang umum dijumpai.
2. Fase imun
Fase kedua ini ditandai dengan leptospiuria demam tinggi segera disertai jaundice dan
perdarahan pada kulit, membrana mukosa, bahkan paru. Selain itu ini sering juga
dijumpai adanya hepatomegali, purpura, dan ekimosis. Gagal ginjal, oliguria, syok, dan
miokarditis juga bisa terjadi dan berhubungan dengan mortalitas penderita.
Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan (nonikterik) dan berat
(ikterik).

Perbedaan gambaran klinik leptospira fase ikterik dan non ikterik

Sindroma, Fase Gambaran Klinik Spesimen


Laboratorium
Leptospirosis anikterik Demam tinggi, nyeri Darah, LCS
Fase leptospiremia kepala, mialgia, nyeri
perut, mual, muntah,
conjunctival suffusion.
Fase imun Demam ringan, nyeri
kepala,muntah,meningitis Urin
aseptik.

Leptospirosis ikterik Demam, nyeri kepala, Darah,LCS(minggu 1)


Faseleptospiremia dan mialgia, ikterik, gagal Urin (minggu 2)
fase imun (sering ginjal,hipotensi,manifesta
overlapping siperdarahan,pneumonitis
hemorrargik, leukositosis
Tabel. 1.perbedaan gambaran klinik leptospira fase ikterik dan non ikterik
b. Patogenesis
Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara, yang
tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar bakteri
leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan
mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat melalui
kontak dengan kulit sehat (intak)
terutama bila kontak lama dengan air. Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan
mengalami multiplikasi di darah dan jaringan.
Sementara leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan
dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari infeksi. Leptospira
virulen mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer adalah kerusakan
dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis serta merusak organ.
Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel
dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira mempunyai
aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan
aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit,
sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan
hati. Di dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan
lumen tubulus.Pada leptospirosis berat,vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro
dan meningkatkan permeabilitas kapiler,sehingga menyebabkan kebocoran cairan
dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler
salah satu penyebab gagal ginjal.
c. Penatalaksanaan

Indikasi Regimen dan dosis

Leptospirosis ringan (mild Doxycycline (kapsul) 100 mg


illness/ suspect case) 2x/ hari selama 7 hari; atau
Amoxicillin atau Ampicillin
(kapsul) 2 gr/ hari selama 7
Hari
Leptospirosis berat (severe Penicillin G (injeksi) 2 juta
case/ probable case) unit IV / 6 jam selama 7 hari;
Ceftrioxine (injeksi) 1 gr IV/
hari selama 7 hari
Kemoprofilaksis Doxycycline (kapsul) 100 mg
2x/ hari selama 7 hari; atau
Amoxicillin atau Ampicillin
(kapsul) 2gr/ hari selama 7
Hari

2. Demam Typoid

a. Definisi

Typhoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh salmonella
typhi, salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B, salmonella typhi C. Penyakit ini
mempunyai tanda – tanda khas berupa perjalanan yang cepat yang berlangsung kurang lebih 3
minggu disertai gejala demam, nyeri perut, dan erupsi kulit. Penyakit ini termasuk dalam
penyakit daerah tropis dan penyakit ini sangat sering di jumpai di Asia termasuk di Indonesia.
( Widodo Djoko, 2014 )
b. Gejala Klinis

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam
berlangsung 3 minggu bersifat febris, remiten dan suhu tidak terlalu tinggi.Pada awalnya suhu
meningkat secara bertahap menyerupai anak tangga selama 2-7 hari, lebih tinggi pada sore dan
malam hari,tetapi demam bisa pula mendadak tinggi. Dalam minggu kedua penderita akan terus
menetap dalam keadaan demam, mulai menurun secara tajam pada minggu ketiga dan mencapai
normal kembali pada minggu keempat.

Pada penderita bayi mempunyai pola demam yang tidak beraturan, sedangkan pada anak
seringkali disertai menggigil. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan nyeri, perut kembung,
konstipasi dan diare.Konstipasi dapat merupakangangguan gastrointestinal awal dan kemudian
pada minggu kedua timbul diare. Selain gejala – gejala yang disebutkan diatas, pada penelitian
sebelumnya juga didapatkan gejala yang lainnya seperti sakit kepala , batuk, lemah dan tidak
nafsu makan.

Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan demam tifoid antara lain adalah
pembesaran beberapa organ yang disertai dengan nyeri perabaan, antara lain hepatomegali dan
splenomegali.Penelitian yang dilakukan di Bangalore didapatkan data teraba pembesaran pada
hepar berkisar antara 4 – 8 cm dibawah arkus kosta (Lesser dkk,2012)

c. Patofisiologi

Penularan salmonella typii dapat melalui makanan, jari tangan/kuku, muntah, lalat dan
melalui feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman Salmonella
thypii kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat
akan hinggap di makanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut
kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar
kuman Salmonella thypii masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut.

Salmonella thyposa masuk melaui saluran pencernaan kemudian masuk ke lambung.


Basil akan masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung
dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam
jaringan limfoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel
retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi
darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung
empedu ke organ terutama hati dan limpa serta berkembangbiak sehingga organ-organ tersebut
membesar ( Widodo Djoko, 2014 )

d. Penatalaksanaan

1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan :

a. Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi

b. menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan seraca oral maupun parenteral

c. diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah serat

d. konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas

e. kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran) kemudian catat
dengan baik direkam medik pasien

2. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengrangi keluhan


gastrointestinal

3. Terapi definitive dengan pemberian antibiotic antibiotik lini pertama untuk demam tifoid
adalah kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang hamil)
atau trimetropim-sulfametoxazole (kortimoksasol)

4. bila pemberian antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antibiotik lini
kedua yaitu seftriakson, sefiksim.

3. Definisi Bakteremia

Bakteremia adalah kondisi adanya bakteri di dalam darah berdasarkan hasil kultur darah
positif. Didapatkannya bakteri dari kultur darah di laboratorium dapat disebabkan oleh adanya
infeksi maupun non-infeksi, seperti kontaminasi. Bakteremia yang merefleksikan infeksi (true
infection) akan menyebabkan respon fisiologis yang mengindikasikan adanya infeksi berat,
seperti sepsis.

Sepsis disebabkan oleh respon imunitas yang dipicu oleh infeksi bakteri, jamur, parasit
atau virus. Infeksi dapat berasal dari dalam rumah sakit (nosokomial), atau lingkungan
(community acquired). beberapa studi memperlihatkan mikroorganisme penyebab infeksi
tersering adalah Staphylococcus, diikuti oleh Streptococcus dan infeksi jamur, terutama spesies
Candida.

Sepsis awalnya didefinisikan sebagai kecurigaan atau infeksi yang terbukti, disertai
kondisi klinis SIRS (systemic inflammatory response syndrome), tetapi definisi tersebut kini
ditinggalkan. Sesuai konsensus mengenai sepsis terbaru, sepsis didefinisikan sebagai keadaan
disfungsi/gagal organ yang mengancam nyawa, disebabkan oleh respon pejamu yang tidak
teregulasi terhadap infeksi. Penilaian disfungsi/gagal organ pada anak menggunakan beberapa
sistem penilaian, antara lain, Pediatric Multiple Organ Dysfunction Score (P-MODS), Pediatric
Logistic Organ Dysfunction (PELOD), Pediatric Logistic Organ Dysfunction–2 (PELOD-2), dan
pada konsensus terbaru diperkenalkannya sistem Pediatric Sequential Organ Failure Assessment
(pSOFA) yang diadaptasi dari sistem Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) dengan hasil
validasi menunjukkan bahwa pSOFA memberikan hasil yang sama baik dengan sistem penilaian
yang lain. Di Indonesia saat ini, PELOD-2 merupakan sistem penilaian disfungsi organ yang
direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam mendiagnosis sepsis pada
anak.

a. Patofisiologi

Sepsis menggambarkan suatu sindrom klinis kompleks yang timbul saat sistem imunitas
pejamu teraktifasi terhadap infeksi. Molekul patogen mengaktifkan sistem kekebalan tubuh,
melepaskan mediator inflamasi dan memicu pelepasan sitokin yang penting dalam eliminasi
patogen. Sitokin proinflamasi, seperti TNF, IL-1, interferon gamma (IFN-γ) bekerja membantu
sel dalam menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Dengan demikian, proses
eliminasi lebih efektif, sekaligus memicu pelepasan sitokin anti inflamasi, seperti interleukin-1
receptor antagonis (IL-1 ra), IL-4, dan IL-10. Sitokin anti inflamasi berperan menghentikan
proses inflamasi dengan memodulasi, koordinasi, atau represi terhadap respon yang berlebihan
(mekanisme umpan balik). Sitokin pro-inflamasi juga berperan dalam pelepasan nitrogen
monoksida (nitric oxide, NO) yang penting dalam eliminasi patogen, tetapi efek NO lainnya
adalah vasodilatasi vaskuler.

Pada keadaan sepsis, produksi NO yang berlebih menyebabkan dilatasi pembuluh darah
dan menyebabkan syok septik. Ketika sistem imun tidak efektif mengeliminasi antigen, proses
inflamasi menjadi tidak terkendali dan menyebabkan kegagalan sistem organ. Hal tersebut sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Bone9 yang menyatakan bahwa kerusakan organ multipel
tidak disebabkan oleh infeksi tetapi akibat dari inflamasi sistemik dengan sitokin sebagai
mediator.

Ikatan Dokter Anak Indonesia memublikasi pedoman nasional diagnosis dan tata laksana sepsis
anak pada tahun 2016. Berdasarkan pedoman tersebut, diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan
adanya (1) infeksi, yang meliputi faktor predisposisi infeksi, tanda atau bukti infeksi yang sedang
berlangsung, dan respon inflamasi; (2) tanda disfugsi / gagal organ.

Kecurigaan infeksi didasarkan pada predisposisi infeksi, tanda infeksi, dan reaksi
inflamasi. Faktor predisposisi infeksi, antara lain, faktor genetik, usia, status nutrisi, status
imunisasi, komorbiditas, dan riwayat terapi. Tanda klinis infeksi dinilai dari pemeriksaan klinis
dan laboratoris dengan penanda (biomarker) infeksi, seperti pemeriksaan darah tepi, morfologi
darah tepi, c-reactive protein, dan prokalsitonin. Respon inflamasi dapat terjadi tidak hanya
disebabkan oleh penyakit infeksi.

Secara klinis respon inflamasi dapat berupa :

- Demam (suhu inti >38,5°C atau suhu aksila >37,9°C) atau hipotermia (suhu inti dibawah
<36°C)
- Takikardia (peningkatan denyut jantung sesuai usia tanpa adanya stimulus eksternal, obat
kronis, atau nyeri; atau peningkatan denyut jantung yang tidak dapat dijelaskan lebih dari
0,5 sampai 4 jam).
- Bradikardia (penurunan denyut jantung sesuai usia tanpa adanya stimulus vagal eksternal,
beta-blocker, atau penyakit jantung kongenital; atau penurunan denyut jantung yang tidak
dapat dijelaskan selama lebih dari 0,5 jam).
- Takipneu: peningkatan frekuensi napas.
b. Penatalaksanaan

Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM dan
ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok
septik adalah resusitasi awal, vasopressor/ inotropik, dukungan hemodinamik, pemberian
antibiotik awal, kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologi), tata
laksana suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi.

Surviving Sepsis Guidelines dipresentasikan pada pertemuan tahunan SCCM dan


dipublikasikan di Critical Care Medicine dan Intensive Care Medicine dimana didapatkan
banyak perkembangan baru pada revisi yang terbaru.
Berikut adalah Surviving Sepsis Guidelines 2017
Dan berikut adalah pediatric sepsis guidelines :

4. Meningitis Bakteri
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan
dalam selaput otak) dan arakhnoid, suatu membran yang menyelimuti otak dan spinal cord
(sumsum tulang belakang). Meningitis dapat terjadi karena infeksi bakteri, virus, fungi, juga
karena kejadian noninfeksi seperti inflamasi karena pengobatan, cochlear implant, atau
keganasan. Meningitis bakteri adalah penyakit infeksi parah yang disebabkan oleh bakteri pada
selaput otak dan sumsum tulang belakang dan dapat menghasilkan eksudat berupa pus.
Organisme penyebab meningitis bakteri pada anak terbagi atas beberapa
golongan umur, yaitu:
1. Neonatus: Escherichia coli, Streptococcus beta hemolitikus, Listeria monocytogenesis.
2. Anak di bawah 4 tahun: Haemophilus influenza, Meningococcus, Pneumococcus.
3. Anak di atas 4 tahun dan orang dewasa: Meningococcus, Pneumococcus.

a. Gejala klinis
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan
gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala panas tinggi,
mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi,
biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Pada anak-anak dan dewasa
biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut
dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan
serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen

b. Patofisiologi
Bakteri yang umumnya menyebabkan meningitis adalah patogen di nasofaring, dimana
faktor predisposisi seperti infeksi saluran nafas bagian atas harus ada sebelum bakteri beredar
dalam darah. Meningitis bakteri juga dapat muncul akibat infeksi telinga, gigi, atau paraspinal.
Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan
yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus
kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan
fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid
menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem
ventrikulus

c. Penatalaksanaan
Prinsip terapi meningitis bakteri adalah pemberian terapi antibiotic secara tepat dan cepat.
Hal ini dapat menurunkan angka kematian. Terapi awal pada pasien yang diduga mengalami
meningitis bakteri akut tergantung pada gejala-gejala awal yang diketahui, analisis diagnosis
cepat, serta ketersediaan antimikroba dan terapi adjuvan Terapi suportif dengan pemberian
cairan, elektrolit, analgesik, dan antipiretik diindikasikan pada pasien yang mengalami
meningitis bakteri akut
5. Bronkopneumonia
a. Definisi

Bronkopneumonia suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari parenkim paru
yang melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak bercak
(patchy distribution) yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus,
jamur, dan benda asing, biasanya sering disebabkan oleh bakteri streptokokus pneumonia dan
Hemofilus influenza. Bronkopneumonia merupakan salah satu pneumonia yang mempunyai pola
penyebaran bercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronki dan meluas ke
parenkim paru yang berdekatan disekitarnya,lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi.
b. Gejala Klinis

Bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan gejala klinik. Gejala-gejala klinis tersebut antara


lain:

a. Adanya retraksi epigastrik, interkostal, suprasternal

b. Adanya pernapasan yang cepat dan pernapasan cuping hidung

c. Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas selama beberapa hari

d. Demam tinggi (±1 minggu) selama batuk, demam bersifat naik turun sepanjang hari,
dispneu, kadang disertai muntah dan diare

e. Batuk biasanya tidak pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk, beberapa hari
yang mula-mula kering kemudian menjadi produktif

f. Pada auskultasi ditemukan ronkhi basah halus nyaring

g. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya leukositosis dengan predominan PMN

h. Pada pemeriksaan rontgen thoraks ditemukan adanya infiltrat interstitial dan infiltrat
alveolar serta gambaran bronkopneumonia

c. Patofisiologi

Bronkhopneumonia adalah peradangan paru, biasanya dimulai di bronkiolus terminalis.


Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercakbercak
konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Penyakit ini seringnya bersifat sekunder, mengikuti
infeksi dari saluran nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan
sistem pertahanan tubuh. Pada bayi dan orang-orang yang lemah, pneumonia dapat muncul
sebagai infeksi primer.

Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara,
antara lain inhalasi langsung dari udara; aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan
orofaring; perluasan langsung dari tempat lain; dan penyebaran secara hematogen.Bila
pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme penyebab terhisap ke paru perifer melalui
saluran napas menyebabkan reaksi jaringan berupa edema yang mempermudah proliferasi dan
penyebaran kuman.

d. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yaitu terapi suportif berupa pemberian O2 1 L/menit sudah tepat. Oksigen
diberikan untuk mengatasi hipoksemia, menurunkan usaha untuk bernapas, dan mengurangi
kerja miokardium. Oksigen penting diberikan kepada anak yang menunjukkan gejala adanya
tarikan dinding dada (retraksi) bagian bawah yang dalam; SpO2 <90%; frekuensi napas 60
x/menit atau lebih; merintih setiap kali bernapas untuk bayi muda; dan adanya head nodding
(anggukan kepala). Pemberian Oksigen melalui nasal pronge yaitu 1- 2 L/menit atau 0,5 L/menit
untuk bayi muda.

Untuk kebutuhan cairan, sesuai dengan berat badan, sehingga pasien diberikan cairan N4D5,
sedangkan untuk mengatasi demamnya pasien diberikan antipiretik parasetamol yang diberikan
selama pasien demam. Dosis yang digunakan adalah 10-15 mg/kgBB/kali pemberian. Dapat
diulang pemberiannya setiap 4-6 jam.

Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis,


antibiotik ceftriaxone yang merupakan antibiotik sefalopsorin generasi ketiga dengan aktivitas
yang lebih luas terhadap bakteri gram negatif. Dosis ceftriaxone yaitu 50-100 mg/KgBB/hari,
dalam dua dosis pemberian. Antibiotik ceftriaxone diberikan sebanyak 350 mg dua kali sehari
secara intra vena.

6. OTITIS MEDIA AKUT


a. DEFINISI

Otitis media adalah suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah. Otitis
media akut didefinisikan bila proses peradangan pada telinga tengah yang terjadi secara cepat
dan singkat (dalam waktu kurang dari 3 minggu) yang disertai dengan gejala lokal dan sistemik.

b. ETIOLOGI

Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang paling sering
ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh Haemophilus influenza, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus grup A, dan Staphylococcus aureus. Beberapa mikroorganisme lain
yang jarang ditemukan adalah Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia pneumaniae, dan Clamydia
tracomatis.

c. PATOFISIOLOGI

Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh. Sumbatan pada
tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya penyakit ini. Dengan terganggunya
fungsi tuba Eustachius, terganggu pula pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah
sehingga kuman masuk dan terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba Eustachius ini
menyebabkan terjadinya tekanan negatif di telingah tengah, yang menyebabkan transudasi cairan
hingga supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Makin
sering anak-anak terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi dan
anak terjadinya OMA dipermudah karena:

1. morfologi tuba eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal
2. sistem kekebalan tubuh masih dalam perkembangan
3. adenoid pada anak relatif lebih besar dibanding orang dewasa dan sering terinfeksi
sehingga infeksi dapat menyebar ke telinga tengah.
4. Beberapa faktor lain mungkin juga berhubungan dengan terjadinya penyakit telinga
tengah, seperti alergi, disfungsi siliar, penyakit hidung dan/atau sinus, dan kelainan
sistem imun.
d. KLASIFIKASI

Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga tengah, yaitu:

1. Stadium Oklusi Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membran timpani akibat
tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang tampak normal atau berwarna
suram.
2. Stadium Hiperemis Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di sebagian
atau seluruh membran timpani, membran timpani tampak hiperemis disertai edem.
3. Stadium Supurasi Stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah disertai
hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani
sehingga membran timpani tampak menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar.
4. Stadium Perforasi Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah
keluar dari telinga tengah ke liang telinga.
5. Stadium Resolusi Pada stadium ini membran timpani berangsur normal, perforasi
membran timpani kembali menutup dan sekret purulen tidak ada lagi. Bila daya tahan
tubuh baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa
pengobatan.

Ada juga yang membagi OMA menjadi 5 stadium yang sedikit berbeda yaitu:
1. stadium kataralis;
2. stadium eksudasi;
3. stadium supurasi;
4. stadium penyembuhan
5. stadium komplikasi.

e. DIAGNOSIS

Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut:

1. Penyakitnya muncul mendadak (akut);


2. Ditemukannya tanda efusi di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di
antara tanda berikut: menggembungnya gendang telinga, terbatas / tidak adanya gerakan
gendang telinga, adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga, cairan yang keluar
dari telinga
3. Adanya tanda / gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah
satu di antara tanda berikut: kemerahan pada gendang telinga, nyeri telinga yang
mengganggu tidur dan aktivitas normal.
Diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.
Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan usia pasien. Pada anak – anak
umumnya keluhan berupa rasa nyeri di telinga dan demam. Biasanya ada riwayat infeksi
saluran pernafasan atas sebelumnya. Pada remaja atau orang dewasa biasanya selain nyeri
terdapat gangguan pendengaran dan telinga terasa penuh. Pada bayi gejala khas adalah panas
yang tinggi, anak gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering memegang telinga
yang sakit. Beberapa teknik pemeriksaan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
OMA, seperti otoskop, otoskop pneumatik, timpanometri, dan timpanosintesis. Dengan
otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang menggembung, perubahan warna gendang
telinga menjadi kemerahan atau agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga
Untuk mengkonfirmasi penemuan otoskopi pneumatik dilakukan timpanometri.
Timpanometri dapat memeriksa secara objektif mobilitas membran timpani dan rantai tulang
pendengaran.1 Timpanometri merupakan konfirmasi penting terdapatnya cairan di telinga
tengah. Timpanometri juga dapat mengukur tekanan telinga tengah dan dengan mudah
menilai patensi tabung miringotomi dengan mengukur peningkatan volume liang telinga luar.
Timpanometri punya sensitivitas dan spesifisitas 70-90% untuk deteksi cairan telinga tengah,
tetapi tergantung kerjasama pasien. Timpanosintesis, diikuti aspirasi dan kultur cairan dari
telinga tengah, bermanfaat pada anak yang gagal diterapi dengan berbagai antibiotika, atau
pada imunodefisiensi. Timpanosintesis merupakan standar emas untuk menunjukkan adanya
cairan di telinga tengah dan untuk mengidentifikasi patogen yang spesifik.
Menurut beratnya gejala, OMA dapat diklasifikasi menjadi OMA berat dan tidak berat.
OMA berat apabila terdapat otalgia sedang sampai berat, atau demam dengan suhu lebih atau
sama dengan 39oC oral atau 39,5oC rektal, atau keduanya. Sedangkan OMA tidak berat
apabila terdapat otalgia ringan dan demam dengan suhu kurang dari 39oC oral atau 39,5oC
rektal, atau tidak demam.
f. PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan OMA adalah mengurangi gejala dan rekurensi. Pada fase inisial
penatalaksanaan ditujukan pada penyembuhan gejala yang berhubungan dengan nyeri dan
demam dan mencegah komplikasi supuratif seperti mastoiditis atau meningitis. Penatalaksanaan
medis OMA menjadi kompleks disebabkan perubahan patogen penyebab. Diagnosis yang tidak
tepat dapat menyebabkan pilihan terapi yang tidak tepat. Pada anak di bawah dua tahun, hal ini
bisa menimbulkan komplikasi yang serius. Diagnosis yang tidak tepat dapat menyebabkan pasien
diterapi dengan antibotik yang sebenarnya kurang tepat atau tidak perlu. Hal ini dapat
menyebabkan meningkatnya resistensi antibiotik, sehingga infeksi menjadi lebih sulit diatasi.

Penatalaksanaan OMA di bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil Padang tergantung pada


stadium penyakit yaitu:
1. Stadium Oklusi : diberikan obat tetes hidung HCL efedrin 0,5%, dan pemberian
antibiotik.
2. Stadium Presupurasi : analgetika, antibiotika (biasanya golongan ampicillin atau
penisilin) dan obat tetes hidung.
3. Stadium Supurasi : diberikan antibiotika dan obat-obat simptomatik. Dapat juga
dilakukan miringotomi bila membran timpani menonjol dan masih utuh untuk mencegah
perforasi.
4. Stadium Perforasi : Diberikan H2O2 3% selama 3-5 hari dan diberikan antibiotika yang
adekuat. Pada tahun 2004, American Academy of Pediatrics dan the American Academy
of Family Physicians mengeluarkan rekomendasi penatalaksanaan OMA. Petunjuk
rekomendasi ini ditujukan pada anak usia 6 bulan sampai 12 tahun. Pada petunjuk ini di
rekomendasikan bayi berumur kurang dari 6 bulan mendapat antibiotika, dan pada anak
usia 6-23 bulan observasi merupakan pilihan pertama pada penyakit yang tidak berat
atau diagnosis tidak pasti, antibiotika diberikan bila diagnosis pasti atau penyakit berat.
Pada anak diatas 2 tahun mendapat antibiotika jika penyakit berat. Jika diagnosis tidak
pasti, atau penyakit tidak berat dengan diagnosis pasti observasi dipertimbangkan
sebagai pilihan terapi.

7.ENTEROKOLITIS

a. Definisi

Enterokolitis nekrotikans (EKN) ditandai dengan kematian jaringan luas (nekrosis) pada lapisan
intestinal, terutama di ileus terminalis. EKN umumnya terjadi pada bayi prematur yang lahir
kurang dari 32 minggu usia kehamilan dan BBLSR kurang dari 1500 gram, terjadi dua minggu
pertama setelah lahir.

b. Epidemiologi

Angka kejadian EKN sangat bervariasi antar negara bagian di Amerika Serikat, berkisar antara 3-
28 % dengan rata-rata 6-10% terjadi pada bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 gram. Insiden Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt,
(Asian) Chinese (PRC)
EKN berbanding terbalik dengan usia kehamilan saat lahir dan berat lahir, artinya semakin cukup
usia kehamilan atau semakin cukup berat lahir, semakin rendah risiko terjadinya EKN. EKN
lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dan beberapa penulis melaporkan angka kejadian lebih
banyak pada ras negroid. Walapun kebanyakan neonatus yang menderita EKN adalah bayi
dengan kelahiran prematur, namun 5-10% dari kasus yang dilaporkan, juga terjadi pada bayi
dengan usia kehamilan lebih dari 32 minggu.
c. Gejala klinis:

1. Sistemik:

- Distres pernapasan Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt

- Apnu atau bradikardia Formatted ...

- Letargi Formatted ...

- Instabilitas suhu Formatted ...

- Iritable Formatted ...

- Mengisap lemah Formatted ...

- Hipotensi/gangguan perfusi Formatted ...

- Asidosis Formatted ...

- Oliguria Formatted ...

- Perdarahan Formatted ...

2. Tanda abdomen Formatted ...

- Feses berdarah Formatted ...

- Distensi abdomen Formatted ...

- Residu lambung Formatted ...

- Muntah Formatted ...

- Eritema pada dinding abdomen Formatted ...

- Massa di abdomen yang menetap Formatted ...

- Asites Formatted ...


d. Pemeriksaan Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt,
(Asian) Chinese (PRC)

1. Radiologi Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt


Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt,
(Asian) Chinese (PRC)
2. Darah
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt,
3. Analisis feses (Asian) Chinese (PRC)
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt,
(Asian) Chinese (PRC)

e. Penanganan
1. Penanganan medik segera. Terapi harus diberikan segera bila tanda enterokolitis Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt

nekrotikan timbul. Terapi berdasarkan pemeriksaan sesuai perawatan intensif dan antisipasi
masalah yang dapat muncul seperti fungsi respirasi, kardiovaskular, fngsi metabolik, nutrisi,
infeksi, hematologi, fungsi ginjal, fungsi neurologi, fingsi saluran cerna.
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt,
(Asian) Chinese (PRC)

1.2. Intervensi bedah Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt

f. Patofisiologi

Enterokolitis nekrotikan (NEC) penyakit gastrointestinal di dapat yang paling sering terjadi diant
ara bayi baru lahir yang sakit dan merupakan kedaruratan bedah yang paling sering terjadi di ant
ara bayi baru lahir yang sakit dan merupakan kedaruratan bedah yang paling sering terjadi di ant
ara bayi baru lahir. Spektrum penyakitnya bervariasi dari rendah yang dapat sembuh sendiri sam
pai berat yang dicirikan dengan inflamasi dan nekrosis menyebar atau dalam satu bidang pada la
pisan mukosa dan submukosa usus. Patogenesis NEC adalah multifaktorial. Saat ini etiologi di b
agi ke dalam tiga mekanisme patologis utama yang dikombinasikan untuk menciptakan suatu ko
ndisi penyakit yang dimaksud:

1. Cedera iskemik pada usus


Cedera Iskemik pada usus menyebabkan suatu penurunan aliran darah ke usus. Asfiksia saat
lahir, sindrom distress pernapasan. Hipoperfusi usus merusak mukosa usus dan sel mukosa
yang melapisi usus menghentikan sekresi enzim protektif. Bakteri yang berploriferasi diban
tu oleh makanan enteral (substrat), menginvasi mukosa usus yang rusak. Invasi bakteri meng
akibatkan kerusakan usus lebih lanjut karena pelepasan toksin bakteri dan hidrogen. Gas mu
lanya membelah lapisan serosa dan submukosa usus. Gas tersebut juga dapat merobek ke dal
am vaskular mesenterika yang akan didistribusikan ke dalam sistem vena porta. Toksin bakt
erial yang berkombinasi dengan iskemia mengakibatkan nekrosis.

Nekrosis yang sangat tebal mengakibatkan perforasi dengan pelepasan udara bebas ke dalam
rongga peritonial dan peritonitis. Ini dianggap sebagai kedaruratan bedah.

8. ZOONOSIS

Penyakit zoonosis terdiri dari berbagai jenis penyakit menular yang secara biologis sangat
berbeda satu dengan lainnya . Karena banyaknya penyakit yang dapat digolongkan sebagai zoonosis dan
karena perbedaan yang kompleks antara penyakit zoonosis yang ada, ada beberapa cara penggolongan
penyakit zoonosis, antara lain berdasarkan cara penularan, berdasarkan reservoir utamanya, berdasarkan
asal hewan penyebarnya dan berdasarkan agen penyebabnya (SUHARSONO, 2002).

A. Berdasarkan agen penyebabnya zoonosis dapat dibedakan atas :

1 . Zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, misalnya antraks, brucellosis, leptospirosis, tuberkulosis,
listeriosis dan salmonelosis,

2. Zoonosis yang disebabkan oleh virus, misalnya rabies, Japanese encephalitis, nipah dan Avian
influenza,

3 . Zoonosis yang disebabkan oleh parasit misalnya toxoplasmosis, taeniasis dan scabies,

4. Zoonosis yang disebabkan oleh jamur misalnya ringworm,

5 . Zoonosis disebabkan oleh penyebab lainnya, misalnya BSE, yang disebabkan oleh prion yaitu suatu
molekul protein tanpa asam inti, baik DNA maupun RNA.

B. Berdasarkan asal hewan penularnya,

zoonosis dapat dibedakan atas zoonosis yang berasal dari satwa liar, zoonosis dari hewan yang tidak
dipelihara, yang ada di sekitar rumah (seperti tikus yang dapat menularkan leptospirosis) dan zoonosis
dari hewan yang telah dipelihara oleh manusia, baik yang ditularkan oleh ternak maupun oleh hewan
kesayangan (seperti anjing dan kucing).
Toxoplasma gondii merupakan parasit intraseluler obligat dari kelompok protozoa yang dapat
menginfeksi manusia dan seluruh hewan berdarah panas yang ditemukan hampir di seluruh dunia. Pada
umumnya infeksi tersebar secara oral melalui konsumsi produk hewani terinfeksi ookista yang tidak
dimasak sempurna, makanan mengandung parasit dalam bentuk bradizoit, kontak secara langsung dengan
kotoran kucing mengandung ookista ataupun terjadi transmisi vertikal melalui plasenta hematogen.
Toksoplasma dapat terjadi secara akut maupun kronik. Toksoplasma terbagi menjadi 5 kategori yaitu
toksoplasmosis pada pasien imunokompeten, toksoplasma pada masa kehamilan, toksoplasma kongenital,
toksoplasma pada pasien imunokompromais dan toksoplasma okuler.

c. Epidemiologi

Toxoplasma gondii hampir dapat ditemukan di seluruh dunia dan telah menginfeksi lebih dari 50%
populasi manusia di Indonesia. Sekitar 10–15% penduduk di Amerika Serikat menunjukkan hasil positif
dalam pemeriksaan serologi. Seropositif pada pasien HIV Aids memperkirakan sekitar 10–45%. Hasil
pemeriksaan IgM dan IgG anti Toxoplasma di Indonesia, tentang manusia 2–63%, kucing 35–73%, babi
11–36%, kambing 11–61%, anjing 75%. dan ternak lainnya di bawah 10%.
d. Etiologi

Toxoplasma gondii adalah parasit obligat intraseluler, ada tiga jenis, tachyzoite (bentuk proliferatif),
kista (mengandung bradyzoite) dan ookista (mengandung spozoit). Bentuk Tachyzoite terlihat seperti
bulan sabit dengan titik runcing, dan poin lainnya tentang bulat. Panjangnya 4-8 mikron, lebar 2-4
mikron, memiliki sel membran dan satu inti di dalamnya pusat. Kista terbentuk di dalam sel inang jika
tachyzoite yang membelah telah membentuk dinding. Kista memiliki ukuran yang bervariasi, ada yang
kecil yang hanya mengandung beberapa bradyzoite dan ada 200 mikron yang mengandung sekitar 3000
bradyzoite. Kista dalam tubuh inang dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung dan
otot lurik. Merupakan tahap istirahat dari T. gondii. Oocyst memiliki bentuk ovale, 11-14 × 9-11 mikron.
Oocyst memiliki dinding, berisi satu sporoblast yang dipecah menjadi dua sporoblast. Dalam
perkembangan selanjutnya, keduanya sporoblast membentuk dinding dan menjadi sporokista. Setiap
sporokista mengandung empat spozoit yang berukuran sekitar 8 × 2 mikron.

e. Patogenesis

Toksoplasmosis dapat bersifat akut atau kronis. Akut infeksi berhubungan dengan bentuk proliferatif
(tachyzoite), sedangkan infeksi kronis berhubungan dengan bentuk kista jaringan. Selama proses akut,
tachyzoite menyerang semua sel dalam tubuh kecuali sel berinti induk seperti sel darah merah.4,6
Tachyzoite memasuki sel inang melalui penetrasi aktif ke dalam inang plasmalemma atau dengan
fagositosis. Parasit yang mematuhi mikronema mampu mengenali dan menargetkan sel, menghasilkan
enzim untuk menghasilkan vuoles parasitophorus. Setelah mengumpulkan 64-128 parasit di setiap sel,
parasit akan keluar untuk menginfeksi sel tetangga. Dengan sistem kekebalan tubuh inang, dapat berubah
menjadi subpopulasi brakizoit tachyzoite.

f. Kategori toksoplasmosis

A. Toksoplasmosis pada Kehamilan

1. Manifestasi Klinis

Sebagian besar wanita hamil dengan infeksi akut tidak mengalami gejala spesifik. Punya
beberapa gejala malaise, subfebris, limfadenopati. Itu frekuensi penularan vertikal ke janin
meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan.

2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan IgG dan IgM idealnya harus dilakukan di trimester pertama kehamilan. IgG
serum dan IgM negatif dengan menunjukkan bahwa wanita hamil tidak terinfeksi, menghadapi
penyelidikan lebih lanjut yang dilakukan selama kehamilan untuk mengantisipasi terjadinya
serokonversi. Pada hasil IgG positif tetapi IgM negatif di kehamilan <18 minggu menunjukkan
infeksi terjadi di masa lalu, saat dalam kehamilan> 18 minggu dari hasil ini sulit untuk
menafsirkan apakah infeksi tersebut akut atau tidak kronis berlangsung sehingga avidity
diperlukan pemeriksaan.

Dalam hasilnya negatif tetapi pemeriksaan IgM positif IgG harus diulangi 1-3 minggu
kemudian, jika hasilnya tetap sama artinya IgM positif positif tidak memiliki klinis signifikansi,
sedangkan dalam kasus serokonversi IgG menjadi positif yang mengindikasikan infeksi terjadi
selama kehamilan sehingga janin berisiko tinggi terkena toksoplasmosis kongenital. Pada
pemeriksaan IgG dan IgM tindak lanjut positif pemeriksaan untuk memastikan infeksi akut atau
kronis tersebut avidity test yang sangat diperlukan, infeksi itu terjadi> 16 minggu sebelumnya,
sehingga pemeriksaan pada trimester pertama kehamilan menunjukkan infeksi terjadi sebelum
konsepsi berkurang risiko penularan dan risiko cacat janin adalah rendah.

3. Management

Spiramycin adalah Obat Pilihan untuk ibu toksoplasmosis. Dosis 3 g / hari P dalam dosis terbagi
24 kali / hari selama 3 minggu, berhenti selama 2 minggu lalu mengulangi siklus 5 mingguan selama
kehamilan.2, 24 Jika Regimen cairan amnion positif PCR harus diganti dengan pirimetamin 50 mg / hari
da sulfadiazine 3 g/ hari dalam 2-3 dosis terbagi selama 3 minggu diselingi dengan pemberian spiramisin
1 g 3 kali / hari untuk 3 minggu atau dapat diberikan pirimetamin 25 mg / hari dan sulfadiazin 4 g / hari
dalam dosis terbagi 2-4 kali /hari diberikan.

B. Toksoplasmosis Bawaan

1. Manifestasi klinis

Kasus toksoplasmosis kongenital telah dilaporkan di Indonesia. Lazuardi et al (1989)


melaporkan T.gondii antibodi pada 44,6% anak-anak dengan keterbelakangan mental, 44,6%
pada anak-anak dengan lesi mata dan 9,5% pada anak-anak dengan gejala umum. Risiko dan
tingkat keparahan gejala toksoplasmosis bawaan lebih parah jika infeksi terjadi pada awal
kehamilan. Klasik triad toksoplasmosis bawaan adalah chorioretinitis, hidrosefalus, dan
kalsifikasi intrakranial. Itu Keterlibatan sistem neurologis dan okular sering timbul kemudian jika
tidak ditemukan pada saat kelahiran. Kejang, keterbelakangan mental, dan kekakuan adalah hal
yang biasa gejala sisa.

2. Pemeriksaan Penunjang

IgM positif adalah bukti kuat infeksi bawaan, tetapi IgM negatif tidak mengecualikan
diagnosis. IgA serum lebih sensitif untuk mendeteksi bawaan toksoplasmosis dibandingkan IgM.
Ketika gejala dan bukti serologis toksoplasmosis terdeteksi selama kehamilan, infeksi janin sudah
bisa ditegakkan dengan deteksi IgM dan isolasi parasit dari darah janin atau amniotic Cairan pada
usia kehamilan 18 minggu. Pemeriksaan sebelum 20 minggu kehamilan sulit untuk ditegakkan
karena respons imunologis janin masih rendah. PCR aktif cairan ketuban dapat lebih akurat
mendiagnos infeksi pada janin sebelum usia kehamilan 20 minggu. Sensitivitas dari tes ini
adalah 64% dengan nilai prediksi negative 87,8%, spesifisitas dan nilai prediksi positif 100% .
Ultrasound antenatal dapat mengidentifikasi kelainan pada janin terinfeksi. Sekitar 36% janin
dengan kelainan dapat diidentifikasi. Kelainan itu dapat ditemukan ventrikel simetris bilateral
dilatasi, kalsifikasi intrakranial, peningkatan plasenta ketebalan, hepatomegali dan asites.

3. Pengelolaan

Pada bayi baru lahir dengan toksoplasmosis, dapat diberikan pirimetamin 1 mg / kg per hari
untuk 2 bulan diikuti oleh 1 mg / kg setiap 2 hari selama 10 bulan, sulfadiazin 50 mg / kg berat
badan per hari, serta asam folat 5–10 mg 3 kali seminggu untuk mencegah efek samping dari
pyrimethamine. Selain itu pemberian obat-obatan juga diperlukan tindak lanjut secara teratur.
Hitung darah lengkap 1-2 kali per minggu hingga setiap hari dosis pirimetamin dan 1-2 kali per
bulan untuk dosis pirimetamin dilakukan setiap 2 hari untuk memantau efek racun dari obat. Juga
diperlukan pemeriksaan pediatrik lengkap, termasuk pemeriksaan oftalmologi setiap 3 bulan
sampai usia 18 bulan dan sekali setahun, juga pemeriksaan neurologis setiap 3-6 bulan hingga
usia 1 tahun.

9. Human Immunodeficiency Virus (HIV)

a. Definisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas

yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah

putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus.Selama infeksi

berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap

infeksi.2 Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator

bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS

AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya

kekebalan tubuh akibat virus HIV. Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat

pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS

diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi

Kesehatan Dunia (World Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana pada

stadium penyakit HIV yang paling terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator AIDS.

Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh orang

yang sehat, infeksi tersebut dapat diobat

b. Patofisiologi Human Immunodeficiency Virus


Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper yang

mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama yang terlibat secara

langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi imunologik. Menurun atau

menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena virus HIV menginfeksi sel yang berperan

membentuk antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV

mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya

kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA
(Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel target.

Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV

dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.

c. Manifestasi klinis Human Immunodeficiency Virus

Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit dibedakan karena bermula

dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita penyakit lainnya. Secara umum dapat

dikemukakan sebagai berikut

a. Rasa lelah dan lesu

b. Berat badan menurun secara drastis

c. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam

d. Mencret dan kurang nafsu makan

e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut

f. Pembengkakan leher dan lipatan paha

g. Radang paru

h. Kanker kulit
a. nifestasi tumor

10. EKSANTEMA SUBITUM

a. Definisi Eksantema Subitum :

Penyakit eksantema adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai erupsi pada kulit yang
berhubungan dengan penyakit sistemik yang biasanyadisebabkan oleh infeksi. Mekanisme
terjadinya lesi kulit adalah kerusakan selakibat invasi organisme patogen, produksi toksin oleh
organisme, dan responimun pejamu.

b. Gejala Klinis Eksantema Subitum :


Penyebab penyakit eksantema sebagian besar adalah virus dengan
bentuk morfologik yang mirip satu sama lain sehingga sulit untukmembedakan secara
klinis.Tidak ada batas yang nyata yang dapatmembedakan penyebab infeksi, terutama dari aspek
gejala klinik. Berikutdeskripsi berbagai infeksi virus yang menimbulkan demam dan ruam.

c. Patofisiologi Eksantema Subitum :


HHV-6 dan HHV-7 sering terdeteksi dalam saliva manusia dan
kadang pada secret genital. Infeksi primer dapat disertai dengan gejala-gejala ataudapat tidak
bergejala. Viremia dapat dideteksi pada 4-5 hari pertama gejalaklinis muncul. Jumlah viru dalam
darah dihubungkan langsung dengankeparahan penyakit. Terdapat respon imun kompleks yang
tersusun dari induksi berbagai sitokin (interferon alfa dan gamma, IL-beta, TNF-α), respon
antibody,dan reaktivitas sel-T.Hilangnya viremia primer, demam dan munculnya ruam
dihubungkan dengan antibody anti-HHV neutralisasi serum dan menaikan jumlah sel
naturalkiller. Kadar antibodi tinggi pada dewasa, seiring dengan pelepasan virus dalamliur dan
deteksi asam nukleat virus dalam kelenjar ludah, dan deteksi asamnukleat virus dalam kelenjar
ludah dapat mendukung keadaan latensi virusyang lama. Sifat reaktivasi virus dapat terjadi pada
anak yang lebih tua atauorang dewasa terutama yang memiliki defek pada imunitas seluler
seperti penderita transplantasi atau AIDS.

d. Manifestasi Klinis Eksantema Subitum :


1. Demam muncul demam tinggi (39,4 – 41,20C) secara mendadak, demam biasanya
turun setelah 3-5 hari.
2. Ruam kemerahan setelah demam turun, timbul ruam kulit kemerahan (erupsi makula
danmakulopapular) di seluruh tubuh. Di mulai dari dada menyebar ke lengan,leher,
wajah dan ekstremitas. Ruam berwarna merah muda (rose-pink macula atau
makulopapular), tidak gatal, berdiameter 1-3 mm, menghilangdalam 1-2 hari tanpa
pigmentasi atau deskuamasi.
3. Limfadenopati terdapat limfadenopati servikal tetapi tidak meluas seperti pada
ruamrubella.
4. Tanda dan gejala terkait :
Adenopati oksipital atau servikal 30-35%
Gejala pernafasan 50-55%
Diare ringan 55-70%
Kejang 5-35%
Edema palpebra 26-30%
Faringitis papuler 65%

e. Diagnosis Eksantema Subitum :


Penegakan diagnosis dibuat dari gambaran klinis adanya demam tinggi selama 3-4 hari
dan setelah demam turun akan muncul ruam makulopapuler diseluruh tubuh, mulai dari badan,
menyebar ke lengan dan leher, dan melibatkan muka serta kaki. Ruam tidak menimbulkan rasa
gatal dan akan menghilang dalam waktu 2-3 hari tanpa adanya hiperpigmentasi.
Dapat terjadi pembengkakan limfonodi servikal, retroaurikular dan oksipital. Limpa juga
membesar. Pemeriksaan laboratorium menunjukan leukopenia dan leukositosisrelative. Adanya
HHV-6 dapat ditemukan dengan kultur darah, tes serologi atau PCR.

f. Pemeriksaan Penunjang Eksantema Subitum :


1.Pemeriksaan laboratorium dilakukan pemeriksan darah rutin. Hasilnya :
a.Leukositosis selama 24-36 jam pertama demam, jumlah leukositmencapai 16 ribu-
20ribu/mm3 disertai peningkatan neutrofil.
b.Leucopenia 3000-5000/mm3, biasanya saat demam hari ketiga dankeempat.
c.Neutropeni absolute dengan limfositosis relative. Terdapat buktilaboratorium hepatitis pada
beberapa kasus pasien dewasa.

2.Pemeriksaan serologisa.
a. Polymerase Chain Reaction
(PCR), Antibodi IgM terhadap HHV-6dapat terdeteksi 5-7 hari pertama setelah infeksi
primer.
g. Penatalaksanaan

Tidak ada terapi spesifik, pengobatan yang direkomendasikan bersifatsimtomatis. Antipiretik


dapat diberikan untuk membantu menurunkan demam,dapat menggunakan asetaminofen atau
ibuprofen. Pada bayi dan anak mudayang cenderung untuk konvulsi, pemberian sedatif ketika
muncul demamsebagai profilaksis kejang.
11. Candidiasis
a. Definisi
Kandidiasis merupakan sekelompok infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans ataupun
spesies lain dari genus kandida. Organisme ini khususnya menginfeksi kulit, kuku, membran
mukosa, dan traktus gastrointestinal, tetapi organisme ini juga dapat menyebabkan penyakit
sistemik (Janik, et al., 2008).
b. Patofisiologi
Infeksi kandida dapat terjadi apabila terdapat faktor predisposisi yang meliputi kondisi kulit
lokal, status nutrisi, perubahan status fisiologi, penyakit sistemik, dan penyebab iatrogenik
(Klenk, et al., 2003). Seperti pada pasien dengan penyakit sistemik contohnnya diabetes melitus,
dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi kandida. Kondisi ini dihubungkan dengan
perubahan metabolik seperti hiperglikema (Kundu, et al., 2012). Hiperglikemia menunjang
kolonisasi dan pertumbuhan dari kandida dan spesies jamur lainnya (Powers, 2008). Selain itu,
kondisi hiperglikemia juga dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan kemotaksis,
fagositosis, dan bakterisidal dari leukosit (Kundu, et al., 2012). Tingginya kadar glukosa darah
menyebabkan tingginya kadar glukosa kulit pada pasien diabetes melitus sehingga
mempermudah timbulnya infeksi kandida (Kuswadji, 2010).
c. Jenis Kandidiasis dan Gejala Klinis
Kandidiasis dapat dibagi menjadi beberapa jenis : (James, et al., 2006)
1. Kandidiasis Mukosa
a. Kandidiasis Oral/orofaringeal
Kandidiasis orofaringeal atau thrush merupakan kandidiasis yang berkembang di
mulut atau tenggorokan (CDC, 2016). Kandidiasis ini tampak sebagai bercak
putih diskret yang dapat menjadi konfluen pada mukosa bukal, lidah, palatum,
dan gusi (Klenk, et al.,2003).
b. Kandidiasis Vulvovaginal
Kandidiasis vulvovaginal, kadang disebut sebagai infeksi jamur (ragi) vagina,
merupakan infeksi yang umum terjadi ketika terdapat pertumbuhan berlebih dari
jamur kandida. Pasien biasanya memiliki keluhan sangat gatal atau pedih disertai
keluar cairan yang putih mirip krim susu/keju, kuning tebal, tetapi dapat cair
seperti air atau tebal homogen dan tampak pseudomembran abu-abu putih pada
mukosa vagin
c. Balanitis / Balanopostitis Kandidiasis
Balanitis kandidiasis merupakan kandidiasis yang teri pada glans penis,
sedangkan balanopostitis mengenai glans penis dan prepusium pada laki-laki
yang belum disirkumsisi. Gambaran klinis tampak erosi merah superfisialis dan
pustul berdinding tipis di atas glans penis, sulkus koronarius (balanitis) dan pada
prepusium penis yang tidak disirkumsisi (balanopostitis) (Hay, et al.,2010).
2. Kandidiasis Kutis
Kandidiasis kutis merupakan penyakit infeksi pada kulit yang disebabkan oleh jamur
genus kandida. Gambaran klinis kandidiasis kutis berdasarkan tempat yang terkena
dibagi menjadi : kandidiasis kutis intertriginosa, kandidiasis paronikia dan
onikomikosis, kandidiasis kutis generalisata, kandidiasis kutis granulomatosa, dan
diaper rash (Ramali, 2004).
a. Kandidiasis Kutis Intertrigo
Kandidiasis intertrigo merupakan infeksi pada kulit yang disebabkan oleh
Candida albicans, khususnya terletak di antara lipatan intertriginosa kulit yang
berdekatan. Gambaran klinis tampak sebuah bercak merah yang gatal, diawali
dengan vesikulopustul yang membesar dan pecah, menyebabkan maserasi dan
membentuk fisura pada area intertrigo yang terlibat.
b. Kandidiasis Mukokutaneus Kronik
Kandidiasis mukokutaneus kronik adalah infeksi heterogen pada rambut , kuku ,
kulit , dan selaput lendir yang terus berlanjut meskipun dengan terapi, ditandai
dengan infeksi kronik dari kandida, yang terbatas pada permukaan mukosa,
kulit, dan kuku.
c. Kandidiasis Paronikia
Kandidiasis paronikia merupakan inflamasi pada lipatan kuku, yang disebabkan
oleh Candida albicans. Tampak daerah lipatan kuku menjadi eritem, bengkak,
dan lunak, dengan discharge sesekali.
d. Kandidiasis Onikomikosis
Gejala yang paling umum dari infeksi jamur kuku adalah kuku menjadi menebal
dan berubah warna menjadi putih, hitam, kuning atau hijau. Saat infeksi
berlangsung kuku bisa menjadi rapuh. Jika tidak diobati, kulit bisa menjadi
meradang dan nyeri di bawah dan di sekitar kuku

e. Kandidiasis Kutaneus Kongenital


Kandidiasis kutaneus kongenital merupakan kondisi kulit pada bayi baru lahir
yang disebabkan oleh ketuban pecah dini yang bersamaan dengan jalan lahir
yang terinfeksi Candida albicans.
f. Diaper Rash
Diaper rash kandidiasis merupakan sebuah infeksi oleh Candida albicans pada
area diaper pada anak. Infeksi perineum yang umum pada bayi, pustular dan
eritem (Edward, 2008). Maserasi dari mukosa anal dan kulit perianal sering
merupakan manifestasi klinis pertama. Erupsi khas dimulai dengan papula
bersisik yang bergabung dan membentuk lesi yang jelas
g. Kandidiasis Kutis Generalisata
Lesi terdapat pada glabrous skin, biasanya juga di lipat payudara, intergluteal,
dan umbilicus. Sering disertai glossitis, stomatitis, dan paronikia. Lesi berupa
ekzematoid, dengan vesikel-vesikel dan pustul-pustul (Scheinfeld, 2016).
h. Kandidiasis Unspecified
Kondisi dimana Candida albicans, tumbuh diluar kendali di daerah kulit yang
lembab. Biasanya merupakan akibat dari sistem kekebalan tubuh yang lemah,
tetapi dapat pula akibat dari efek samping kemoterapi atau terapi antibiotik.
d. Penatalaksanaan
Pelaksanaannya dapat menggunakan KOH, pengecatan toluen blue dan Gram. Pada kasus ini
pemeriksaan direct menggunakan pengecatan Gram. Candida seperti halnya fungi lainnya
termasuk gram positif yang biasanya dapat dilihat menggunakan pengecatan Gram. Namun
demikian, pemeriksaan direct ini kurang sensitif karena seringkali didapatkan hasil false
negative. Untuk itu, pemeriksaan indirect/kultur diperlukan untuk memastikan ada tidaknya
Candida serta mengidentifikasi spesiesnya. Hingga saat ini pemeriksaan polymerase chain
reactions (PCR) untuk mendeteksi DNA Candida juga masih dianggap kurang sensitif jika
dibandingkan dengan menggunakan pemeriksaan kultur.

12. NEUROBLASTOMA

a. Pengertian

Neuroblastoma adalah tumor yang tumbuh dari sel-sel saraf muda yang ada di
berbagai area tubuh. Tumor ini paling sering tumbuh di medula adrenal (bagian tengah
kelenjar adrenal). Neuroblastoma merupakan neoplasma yang berasal dari sel embrional
neural dan salah satu tumor padat tersering yang dijumpai pada anak dan jarang sekali
ditemukan pada orang dewasa. Neuroblastoma paling sering berasal dari kelenjar
suprarenal tetapi dapat juga dijumpai di sepanjang jalur saraf simpatis. Neuroblastoma
adalah tipikal kanker yang dimulai dari bentuk awal sel-sel saraf pada embrio atau fetus.
Neuro berarti sel-sel saraf dan blastoma adalah kanker yang mempengaruhi sel-sel yang
imatur atau sedang berkembang.

b. Patofisiologi

Neuroblastoma timbul dari primordial sel pial neural yang bermigrasi selama
embriogenesis untuk membentuk medula adrenal dan ganglia simpatik. Sebagai hasilnya
neuroblastoma terjadi di medula adrenal atau dimana saja sepanjang simpatik ganglia,
terutama di retroperitoneum dan mediastinum posterior. Nomenklatur luas neuroblastoma
didasarkan pada spektrum diferensiasi selular. Neuroblastoma merupakan tumor yang
ganas dan buruk sedangkan ganglioneuroma merupakan tumor yang jinak dan tidak
berbahaya. Ganglioneuroblastoma mewakili keduanya karena memiliki diferensiasi buruk
dari neuroblasts dan sel ganglion matur.

c. Manifestasi Klinis

Gejala penyakit ini dapat bervariasi tergantung lokasi tumor. Sekitar 2/3 gejala diawali di
bagian perut atau kelenjar adrenal. Secara umum, beberapa tanda gejala neuroblastoma
adalah:
a. Badan terasa lemas, lesu, dan tidak bertenaga
b. Penurunan berat badan secara drastic
c. Muncul benjolan di perut, leher, atau dada
d. Nyeri punggung
e. Tumor pada dada dapat menyebabkan gangguan pernapasan atau gangguan menelan,
infeksi dan batuk kronis
f. Jika sudah menyebar (metastasis) bergejala yaitu demam, iritabel, kegagalan dalam
masa pertumbuhan, nyeri tulang, sitopeni, nodul kebiruan pada subkutan, proptosis
orbital dan ekimosis periorbital

d. Penatalaksanaan

Jika belum metastasis umumnya tidak memerlukan pengobatan pengobatan


minimal atau hanya reseksi. Reseksi untuk tumor stadium I. Untuk stadium II
pembedahan saja mungkin sudah cukup tetapi kemoterapi juga banyak digunakan dan
terkadang ditambah dengan radioterapi local IVS mempunyai angka regresi spontan yang
tinggi dan penatalaksanaannya mungkin hanya terbatas pada kemoterapi dosis rendah dan
observasi ketat. Neuroblastoma tahap III dan IV memerlukan terapi intensif, termasuk
kemoterapi, terapi radiasi, pembedahan, transplantasi sumsum tulang autologus atau
alogenik, penyelamatan sumsum tulang, metaiodobenzilquainid (MIBG) dan imunoterapi
dengan antibodi monoklonal yang spesifik terhadap neuroblastoma. Sebuah modalitas
gabungan operasi, kemoterapi, dan radioterapi berdasarkan stadium penyakit dan umur
pasien pada presentasi digunakan untuk neuroblastoma.
A. Operasi
Operasi diterapkan untuk mengatasi neuroblastoma yang belum menyebar.
Namun jika tumor tumbuh dekat organ vital, misalnya di sekitar saraf tulang belakang
atau paru-paru, maka prosedur ini bisa berbahaya untuk dilakukan. Operasi hanya
bertujuan untuk mengangkat tumor sebanyak mungkin, dan penanganan lanjutan
berupa kemoterapi atau radioterapi akan dilakukan untuk menghilangkan sisa sel
kanker.
B. Kemoterapi
Jika operasi tidak bisa dijadikan sebagai pilihan utama untuk mengobati
neuroblastoma, misalnya karena ukurannya yang cukup besar atau telah menyebar,
maka dokter dapat menyarankan pasien menjalani kemoterapi. Prosedur yang
menggunakan bahan kimia ini bertujuan untuk menghentikan pertumbuhan sel kanker
dan menyusutkannya. Setelah ukuran tumor mengecil, operasi bisa dilakukan untuk
mengangkatnya.
C. Radioterapi
Tujuan metode pengobatan kanker ini sama dengan kemoterapi, yaitu untuk
menghancurkan sel kanker. Namun perbedaannya adalah radioterapi menggunakan
sinar berenergi tinggi. Pada penderita neuroblastoma stadium lanjut, terapi radiasi
bisa menjadi alternatif apabila operasi yang dikombinasikan dengan kemoterapi
belum bisa menghilangkan sel kanker.

13. LEUKEMIA LIMFOSITIK AKUT

a. DEFINISI
LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi dan akumulasi
sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang mengakibatkan organomegali (pembesaran alat-
alat dalam) dan kegagalan organ.
LLA lebih sering ditemukan pada anak-anak (82%) daripada umur dewasa (18%).
Insiden LLA akan mencapai puncaknya pada umur 3-7 tahun. Tanpa pengobatan sebagian anak-
anak akan hidup 2-3 bulan setelah terdiagnosis terutama diakibatkan oleh kegagalan dari
sumsum tulang.

b. GEJALA KLINIS

Tanda-tanda dan gejala dari leukemia limfositik akut adalah:

 Demam
 Kulit pucat
 Gusi berdarah
 Nyeri tulang atau sendi
 Pusing atau sakit kepala
 Mudah mengalami infeksi
 Sering muntah atau mimisan
 Muncul benjolan yang disebabkan oleh kelenjar getah bening
 Bengkak di sekitar leher, ketiak, perut, atau selangkangan
 Kelelahan atau penurunan energi secara signifikan
 Munculnya lebam-lebam di tubuh

c. PATOFISIOLOGI
Penyakit leukemia ditandai oleh adanya proliferasi tak terkendali dari satu atau beberapa
jenis sel darah. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pada kromosom sel induksistem
hemopoetik. Sel sistem hemopoetik adalah sel yang terus menerus berproliferasi,karena itu sel
ini lebih potensial untuk bcrtransformasi menjadi sel ganas dan lebih pekaterhadap obat toksik
seperti sitostatika dan radiasi. Penelitian morfologik
menunjukkan bahwa pada Leukemia Limfositik Akut (LLA) terjadi hambatan diferensiasi dan se
llimfoblas yang neoplastik memperlihatkan waktu generasi yang memanjang, bukanmemendek.
Oleh karena itu, akumulasi sel blas terjadi akibat ekspansi klonal dan
kegagalan pematangan progeni menjadi sel matur fungsional.
Akibat penumpukan sel blas di sumsumtulang, sel bakal hemopoetik mengalami tekanan
(sudoyo, 2007).
Kelainan paling mendasar dalam proses terjadinya keganasan adalah kelainan genetik sel.
Proses transformasi menjadi sel ganas dimulai saat DNA gen suatu selmengalami perubahan.
Akibat proliferasi sel yang tidak terkendali ini tcrjadi kenaikan kadarsatu atau beberapa jenis sel
darah dan penghambatan pembentukan sel darah lainnya denganakibat terjadinya anemia,
trombositopenia dan granulositopenia.
Perubahan kromosom yang terjadi merupakan tahap awal onkogenesis dan
prosesnyasangat kompleks, melibatkan faktor intrinsik (host) dan ekstrinsik (lingkungan).
Leukemia diduga mulai sebagai suatu proliferasi local dari sel neoplastik, timbuldalam
sumsum tulang dan limfe noduli (dimana limfosit terutama dibentuk) atau dalam lien,hepar dan
tymus. Sel neoplastik ini kemudian disebarkan melalui aliran darah yangkemudian tersangkut
dalam jaringan pembentuk darah dimana terus terjadi
aktifitas proliferasi, menginfiltrasi banyak jaringan tubuh, misalnya tulang dan ginjal.Gambarand
arah menunjukan sel yang inmatur. Lebih sering limfosit dan kadang-kadang
mieloblast. Normalnya tulang marrow diganti dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast.
Adanya proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akanmenimbulkan
anemia dan trombositipenia (aguayo dkk, 2006) .

d. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pada pasien ALL adalah

a.Transfusi darah, jika kadar Hb kurang dari 69%. Pada trombositopenia yang beratdan
pendarahan pasif dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda-tandaDIC dapat
diberikan heparin.

b.Kortosteroid (prednison, kortison, deksametason, dan sebagainya). Setelah dicapairemisi dosis


dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.

c. Sitostatika, selain sitistatika yang lama (6-merkaptispurin atau 6 mp, metotreksatatau MTX)
pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih paten seperti obatlainnya. Umumnya sitostatika
diberikan dalam kombinasi bersama-sama denganprednison. Pada pemberian obat-obatan ini
sering terdapat akibat samping berupaalopsia (botak), stomatitis, leucopenia, infeksi sekunder
atau kadidiasis. Bila jumlahleukosit kurang dari 2000 / mm3 pemberiannya harus hati-hati.

14. Lupus Eritematosus Sistemik


Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya
inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan
kerusakan jaringan.

Etiopatologi dari LES belum diketahui secara pasti namun diduga melibatkan interaksi yang
kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Interaksi antara jenis
kelamin, status hormonal, dan aksi Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA) mempengaruhi
kepekaan dan ekspresi klinis LES. Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti
gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan konstributor yang
penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatknya beban
antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari
T helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktifitas sel B dan memproduksi autoantibodi
patogenik. Respon imun yang terpapar faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet atau
infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun.

a. Gejala Konstitusional

Kelelahan

Keluhan umum yang dijumpai pada pasien SLE dan biasanya mendahului berbagai manifestasi
klinis

Penurunan Berat Badan

Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau
diakibatkangejala gastrointestinal.

Demam

Demam akibat SLE tidak disertai menggigil.

Lain-lain

dapat terjadi sebelum atau seiring dengan aktivitas penyakitnya seperti rambut rontok,hilangnya
nafsumakan,pembesaran kelenjar getah bening,bengkak,sakitkepala,mual dan muntah.

b. Manifestasi Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai pada pasien
SLE

-nyeri otot(mialgia)

-nyeri sendi(atralgia)

-artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi

c. Manifestasi Kulit

Lesi muko-kutaneus yang tampak sebagai bagian SLE dapat berupareaksi fotosenstivitas,diskoid
LE(DLE),subacute cutaneus lupuserythematosus(SCLE),lupus
profunda/panniculitis,alopecia,lesivaskular berupa eritema periungual,livedo

reticularis,teleangiestasia,fenomena raynaud’s atau vaskulitis atau

bercak yang menonjol berwarna putih perak dan dapat pula berupabercak eritema pada palatum
mole dan durum,bercak atrofis,eritemaatau depigmentasi pada bibir.
Manifestasi Paru

-Radang interstitial parenkim paru (pneumonitis),emboli paru,hipertensi pulmonum,perdarahan


paru atau shrinking lungsyndrome

–Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjutmenjadi kronik

Manifestasi Kardiologis

--Perikardium,miokardium,endokarium ataupun pembuluh darahkoroner dapat terlibat.

Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhannyeri substernal,

frictonrub,gambaran¸silhouette sign,fotodada

-penyakit jantung koroner dapat dijumpai pada pasien SLE danbermanifestasi sebagai angina
pektoris,infark miokard ataugagal jantung kongestif

-Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakankomplikasi lain.

Manifestasi Renal

–Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yangsebagian besar terjadi setelah 5 tahun
menderita SLE

–Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidaktampak sebelum terjadi kegagalan
ginjal atau sindroma nefrotik

–Pemeriksaan terhadap protein urin >500 mg/24 jam atau 3+semi kuantitatif

Manifestasi Gastrointestinal

–Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus,mesentric vasculitis,inflamatory


bowel disease (IBS),pankreatitis dan penyakit hati.

–Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat pasien dalamkeadaan tertekan
dan sifatnya episodik

–Keluhan dispepsia lebih banyak dijumpai pada yang memakai glukokortikoid.

–Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pda SLE,disertai dengan
peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.

Manifestasi Hemik-Limfatik
–Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir seringdijumpai pada pasien SLE, dengan
karekteristik tidak nyeritekan,lunak dan ukuran bervariasi sampai 3-4cm.

–Splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran hati.

–Anemia dapat dijumpai pada suatu periode dalamperkembangan penyakit SLE

–Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperanatarai prose imundan non-imun

–Pada anemia yang bukan diperantarai prose imun di antaranyaberupa anemia


karena penyakit kronis,defisiensi besi,sickle cellanemia dan anemia sideroblastik

c. Penatalaksanaan

Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan mengembalikan fungsi
ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih berguna terutama bila organ dalam juga terkena.
Kortikosteroid bisa diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau
diberikan intra vena. Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila
diberikan dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari
penyakitnya untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari kortikosteroid
adalah penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah membengkak, katarak, dan kematian
(nekrosis) dari persendian yang besar.

15. reumatoid atritis juveline sistemik

Merupakan penyakit artritis kronis pada anak-anak dibawah 16 tahun. Ditandai dengan
peradangan pada sinovium yang di pengaruhi oleh respon autoimun abdormal sehingga terjadi
inflamasi dan destruksi sendi yang progresif, penyakit ini merupakan penyakit aktif yang dapat
terus berkembang sampai usia dewasa dengan akibat berpotensi menyebabkan keterbatasan
fungsional dan menurunkan kualitas hiduo seseorang

a. Gejala klinis reumatoid atritis juveline sistemik

Gejala demam timbul setiap hari atau dua kali sehari dan sering disertai ruam macular
berwarna salem yang timbul dibadan dan sebelah paha yang cepet menghilang, kehilangan nafsu
makan, artalgia, mialgia dan hepatosplenomegali dengan gambaran labotarium menunjukan
leukositosis (>20.000 nm3, anemia no hemolitik, LED meningkat, tes ANA negatif dan kadar
feritin yang tinggi

b. Patofiologi reumatoid atritis juveline sistemik

Artritis reumatoid ditandai dengan peradangan sinovial kronis yang nonsupuratif.


Jaringan sinovial yang terkena menjadi edema, hiperemis, serta diinfiltrasi oleh limfosit dan sel
plasma. Bertambahnya cairan sendi menimbulkan efusi. Penonjolan dari membran sinovial yang
menebal membentuk vili yang menonjol ke dalam ruang sendi, reumatoid sinovial yang
hiperplastik dapat menyebar dan melekat pada kartilago artikuler sehingga terbentuk pannus.
Pada sinovitis kronis dan proliferasi sinovial yang berkelanjutan, kartilago artikuler dan struktur
sendi lainnya dapat mengalami erosi dan rusak secara progresif. Terdapat variasi waktu yang
dibutuhkan untuk terjadinya proses kerusakan sendi yang permanen pada sinovitis. Pada anak,
proses kerusakan kartilago artikuler terjadi lebih lambat dibandingkan pada dewasa, sehingga
anak yang menderita JRA tidak pernah mendapat cedera sendi permanen walaupun
sinovitisnya lama. Penghancuran sendi terjadi lebih sering pada anak dengan faktor reumatoid
positif atau penyakit tipe sistemik. Bila penghancuran sendi telah dimulai, dapat terjadierosi
tulang subkhondral, penyempitan ruang sendi, penghancuran tulang, deformitas dan subluksasi
atau ankilosis persendian. Mungkin dijumpai tenosinovitis dan miositis. Osteoporosis, periostitis,
pertumbuhan epifisis yang dipercepat, dan penutupan epifisis yang prematur dapat terjadi di
dekat sendi yang terkena. Nodul reumatoid lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan orang
dewasa, terutama pada faktor reumatoid positif, dan memperlihatkan bahan fibrinoid yang
dikelilingi oleh sel radang kronis. Pada pleura, perikardium dan peritoneum dapat terjadi serositis
fibrinosis non spesifik. Nodul reumatoid secarahistologis tampak seperti vaskulitis ringan
dengan sedikit sel radang yangmengelilingi pembuluh darah keci
c. Penatalaksanaan reumatoid atritis juveline sistemik

Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan


fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut

1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug) Diberikan sejak awal untuk menangani


nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen,
naproksen, piroksikam, dikofenak.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug) yaitu: hidroksiklorokuin, metotreksat,
sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin.
3. Kortikosteroid Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai
“bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek DMARDs yang
baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi, pemasangan bidai, latihan, dan
sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka
dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi,
arthrodesis, total hip replacement

16. DHF
1. Definisi

DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue, sejenis virus yang tergolong
arbovirus dan masuk ke tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti betina. Penyakit
ini lebih dikenal dengan sebutan Demam Berdarah Dengue (DBD).

(Aziz Alimul, 2006: 123).


DHF adalah infeksi arbovirus( arthropoda-borne virus) akut, ditularkan oleh nyamuk
spesies Aedes (IKA- FKUI, 2005: 607 )

Dari beberapa pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa DHF merupakan penyakit
yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigita nyamuk Aedes Aegypti,
biasanya menyerang anak di bawah usia 15 tahun dan dapat menimbulkan kematian.

2. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue yang tergolong arbovirus yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus ( IKA-FKUI, 2005: 607).

3. Gejala klinis

Terdapat tiga jenis demam dengue: demam berdarah klasik, dengue hemorrhagic fever,
dan dengue shock syndrome. Masing-masing memiliki gejala yang berbeda.

a. Gejala demam berdarah klasik


Gejala dari demam berdarah klasik biasanya diawali dengan demam selama 4 hingga 7
hari setelah digigit oleh nyamuk yang terinfeksi, serta:
 Demam tinggi, hingga 40 derajat C
 Sakit kepala parah
 Nyeri pada retro-orbital (bagian belakang mata)
 Nyeri otot dan sendi parah
 Mual dan muntah
 Ruam
Ruam mungkin muncul di seluruh tubuh 3 sampai 4 hari setelah demam, kemudian berkurang
setelah 1 hingga 2 hari. Anda mungkin mengalami ruam kedua beberapa hari kemudian.

b. Gejala dengue hemorrhagic fever


Gejala dari dengue hemorrhagic fever meliputi semua gejala dari demam berdarah klasik,
ditambah:
 Kerusakan pada pembuluh darah dan getah bening
 Perdarahan dari hidung, gusi, atau di bawah kulit, menyebabkan memar berwarna
keunguan

Jenis penyakit dengue ini dapat menyebabkan kematian.

c. Gejala dengue shock syndrome


Gejala dari dengue shock syndrome, jenis penyakit dengue yang paling parah, meliputi
semua gejala demam berdarah klasik dan dengue hemorrhagic fever, ditambah:
 Kebocoran di luar pembuluh darah
 Perdarahan parah
 Shock (tekanan darah sangat rendah)

Jenis penyakit ini biasanya terjadi pada anak-anak (dan beberapa orang dewasa) yang mengalami
infeksi dengue kedua kalinya. Jenis penyakit ini sering kali fatal, terutama pada anak-anak dan
dewasa muda.

4. Patofisiologi

Manifestasi terjadi DHF ialah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah,


menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diatesis hemoregic. Pada
kasus berat, renjatan terjadi secaraakut nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya
plasma melalui endotel dinding pembuluh darah pada penderita dengan renjatan berat, volume
plasma dapat menurun sampai lebih 30%. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat
kehilangan plasma, bila tidak segera diatasi dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis
metabolic dan kematian. Kelainan yang paling sering ditemukan ialah perdarahan di kulit berupa
ptekie, perdarahan di saluranpencernaan, paru, dan jaringan periodrenal, hati membesar, terdapat
perlemakan, yang disertai perdarahan atau sarang nekrosis hemoregik (IKA-FKUI, 2005:610).

5. Manifestasi Klinik

Menurut Aziz Alimul (2006:123) manifestasi Klinik DHF sangat bervariasi yaitu:

1. Demam, penyakit ini didahului oleh demam yang tinggi atau panas mendadak berlangsung 3-8
hari kemudian turun secara cepat.

2. Ruam biasannya 5-12 jam sebelum naiknya suhu pertama kali, dan berlangsung selama 3-4
hari.

3. Pembesaran hati yang terjadi pada permulaan demam (sudah dapat diraba sejak permulaan
sakit).

4. Syok yang ditandai nadi lemah, cepat, disertai tekanan nadi yang menurun (menjadi 20 mmHg
atau kurang), tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80mmHg atau kurang)
disertai kulit yang terasa dingin dan lembab, terutama pada ujung hidung, jari dan kaki.

Menurut WHO DHF dibagi dalam 4 derajat yaitu:

1. Derajat I : Demam disertai gejala klinik khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
dalam uji tourniquet positif, trombositopenia, himokonsentrasi.

2. Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.
3. Derajat III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, ditandai oleh nadi cepat dan lemah, tekanan
darah turun (20 mm Hg) atau hipotensi disertai dengan kulit dingin dan gelisah.

4. Derajat IV : Kegagalan sirkulasi, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.

6. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pada DHF umumnya dijumpai trombositopenia (100.000/UL atau kurang) dan


hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari meningginya nilai hematokrit sebanyak 20% atau lebih
dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa konvalensi. (IKA FKUI, 2005: 612).

7. Penatalaksanaan

Dasar penatalaksanaan penderita DBD adalah pengganti cairan yang hilang sebagai
akibat dari kerusakan dinding kapiler yang menimbulkan peninggian permeabilitas sehingga
mengakibatkan kebocoran plasma. Selain itu, perlu juga diberikan obat penurun panas
(Rampengan, 2007). Secara umum Demam Berdarah Dengue (DBD) dibagi 4 derajat, terapi
yang biasa dilakukan, yaitu :

1. Penggantian volume cairan pada DBD Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma
yang terjadi pada fase penurunan suhu sehingga dasar pengobatannya adalah penggantian
volume plasma yang hilang. Penggantian cairan awal dihitung untuk 2–3 jam pertama,
sedangkan pada kasus syok lebih sering sekitar 30–60 menit. Tetesan 24–48 jam berikutnya
harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah volume urin. Apabila
terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan
harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan
dehidrasi untuk diare ringan sampai sedang yaitu cairan rumatan ditambah defisit 6% (5-8%)
seperti tertera tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Kebutuhan cairan pada rehidrasi ringan-sedang

Berat Badan (Kg) Jumlah Cairan (ml/kg BB/hari)

<7 200
7-11 165
12-18 132
>18 88
(Hadinegoro dkk., 2002)
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur

dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi
yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan

disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan
dapat diperhitungkan dari tabel 3 berikut ini:

Tabel 3. Kebutuhan cairan rumatan

Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)


10 100 per Kg BB
10-20 1000 + 50 x BB (untuk BB diatas 10 kg)
>20 1500 + 20 x BB (untuk BB diatas 20 kg)

Dengan melihat keterangan tabel diatas dapat diperhitungkan misalnya jika anak dengan
berat badan 40 kg maka cairan rumatan yang diberikan adalah sebanyak 2300 ml dan jumlah
cairan rumatan ini diperhitungkan untuk 24 jam. Oleh karena kecepatan perembesan plasma
tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), volume cairan
pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari
pemantauan kadar hematokrit (Rampengan, 2007).

2. Antipiretika.

Antipiretikum yang diberikan ialah parasetamol, tidak disarankan diberikan golongan


salisilat karena dapat menyebabkan bertambahnya pendarahan (Rampengan, 2007). Dosis
parasetamol dapat dikelompokkan menurut umur tiap kali pemberian yang ditampilkan pada
tabel 4 berikut ini :

Tabel 4. Dosis parasetamol menurut kelompok umur pada tiap kali pemberian

Umur (tahun) Dosis (mg) Tablet (500 mg)


<1 60 1/8
1-3 60-125 1/8-1/4
4-6 125-250 1/4-1/2
6-12 250-500 1/2-1

3. Antikonvulsan

Apabila timbul kejang – kejang diatasi dengan pemberian antikonvulsan.


a.Diazepam: diberikan dengan dosis 0,5 mg/KgBB/kali secara intravena dan dapat diulang
apabila diperlukan.

b.Phenobarbital: diberikan dengan dosis, pada anak berumur lebih dari satu tahun diberikan
luminal 75 mg dan dibawah satu tahun 50 mg secara intramuscular. Bila dalam waktu 15 menit
kejang tidak berhenti dapat diulangi dengan dosis 3mg/Kg BB secara intramuskular (Anonim,
1985).

4. Pengamatan Penderita

Pengamatan penderita dilakukan terhadap tanda–tanda dini syok. Pengamatan ini


meliputi: keadaan umum, denyut nadi, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan monitoring Hb, Hct
dan trombosit (Anonim, 1985).
Daftar Pustaka

Widodo J. Demam Tifoid. Dalam : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi
B, Syam AF, penyunting, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Edisi ke 6, Jakarta: Interna
Publishing : 2014

Lesser CF, Miller SI. Salmonellosis. Dalam: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
penyunting. Harrison’s principle of interna medicine. Edisi ke 18 NewYork: Mc Graw-
Hill:2012.

Samuel Andy, 2014, BRONKOPNEUMONIA ON PEDIATRIC PATIENT, Universitas


Lampung : J Agromed Unila (Volume 1 Nomor 2)

Jacky Munilson, Yan Edward, Yolazenia . Penatalaksanaan Otitis Media Akut . Bagian
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang . Sumatera Barat .

Zubarioglu. Umut, Etc. 2017. New Frontiers of Necrotizing Enterocolitis: From


Pathophysiology to Treatment. Scientific research publishing.

Ajzenberg D, Cogne N, Paris L, Bessieres MH, Thulliez Pfilliseti D (2002). Genotype of 86


Toxoplasma gondii isolates associated with human congenital Toxoplamosis, and correlation with
clinical findings. J Infect Dis, 186: 684–9.

Becker J, Singh D, Sinert RH (2010). Toxoplasmosis. Available at:


http://www.emedicine.medscape.com/article/787505. Accessed on October 28, 2010

Chahaya (2003). Epidemiologi “Toxoplasma Gondii”. Bagian kesehatan lingkungan Fakultas


Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, hlm 1–13.

Collins. J .D . and P.G . Wall . 2004 . Food safety and animal production systems : Controlling
zoonoses at farm level . Rev . Sci . Tech. Off. Int. Epiz . 23 : 685 - 700.

Demar M, Ajzenberg D, Maubon D, Djossou F, Panchoe D, Punwasi D (2007). Fatal outbreak of


human Toxoplamosis along the mahoni river epidemiological, clinical, and parasitological aspects.
Clin Infect Dis, 45: e88–95.

Hokelek M (2009). Toxoplasmosis. Available at:


http://www.emedicine.medscape.com/article/229969. Accessed: February 6, 2010
Montoya JG (2002). Laboratory diagnosis of Toxoplasma gondii infection and Toxoplamosis. J Infect
Dis, 185: S73–82.

Montoya JG, Remington JS (2008). Management of Toxoplasma gondii infection during pregnancy.
Clin infect Dis, 47: 554–66.

Suharsono. 2002. Zoonosis. Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Penerbit Kanisius. I : 180 him
., 2:128 him.

Waree P (2008). Toxoplamosis pathogenesis and immune respone. Thammasat Medical Journal, 8:
487–95.

Yamamoto JH, Vallochi AL, Silveira C, Filho JK, Nussenblatt RB, Neto EC (2000). Discrimination
between patients with acquired Toxoplamosis and congenital Toxoplamosis on the basis of the
immune response to parasite antigens. J Infect Dis, 181: 2018–22.

Yellita (2004). Mekanisme interaksi Toxoplasma gondii dengan sel host. Pengantar falsafah sains
Institut Pertanian Bogor, hal 1–12

https://e-journal.unair.ac.id/IJTID/article/viewFile/2008/1657

Anda mungkin juga menyukai