Leptospirosis
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh patogen spirochaeta,
genus Leptospira. Leptospirosis merupakan zoonosis dengan distribusi luas di seluruh dunia,
terutama pada wilayah dengan iklim tropis dan subtropis. Hewan terpenting dalam
penularan leptospirosis adalah jenis binatang pengerat, terutama tikus.
a. Gejala klinis :
2. Demam Typoid
a. Definisi
Typhoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh salmonella
typhi, salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B, salmonella typhi C. Penyakit ini
mempunyai tanda – tanda khas berupa perjalanan yang cepat yang berlangsung kurang lebih 3
minggu disertai gejala demam, nyeri perut, dan erupsi kulit. Penyakit ini termasuk dalam
penyakit daerah tropis dan penyakit ini sangat sering di jumpai di Asia termasuk di Indonesia.
( Widodo Djoko, 2014 )
b. Gejala Klinis
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam
berlangsung 3 minggu bersifat febris, remiten dan suhu tidak terlalu tinggi.Pada awalnya suhu
meningkat secara bertahap menyerupai anak tangga selama 2-7 hari, lebih tinggi pada sore dan
malam hari,tetapi demam bisa pula mendadak tinggi. Dalam minggu kedua penderita akan terus
menetap dalam keadaan demam, mulai menurun secara tajam pada minggu ketiga dan mencapai
normal kembali pada minggu keempat.
Pada penderita bayi mempunyai pola demam yang tidak beraturan, sedangkan pada anak
seringkali disertai menggigil. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan nyeri, perut kembung,
konstipasi dan diare.Konstipasi dapat merupakangangguan gastrointestinal awal dan kemudian
pada minggu kedua timbul diare. Selain gejala – gejala yang disebutkan diatas, pada penelitian
sebelumnya juga didapatkan gejala yang lainnya seperti sakit kepala , batuk, lemah dan tidak
nafsu makan.
Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan demam tifoid antara lain adalah
pembesaran beberapa organ yang disertai dengan nyeri perabaan, antara lain hepatomegali dan
splenomegali.Penelitian yang dilakukan di Bangalore didapatkan data teraba pembesaran pada
hepar berkisar antara 4 – 8 cm dibawah arkus kosta (Lesser dkk,2012)
c. Patofisiologi
Penularan salmonella typii dapat melalui makanan, jari tangan/kuku, muntah, lalat dan
melalui feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman Salmonella
thypii kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat
akan hinggap di makanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut
kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar
kuman Salmonella thypii masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut.
d. Penatalaksanaan
b. menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan seraca oral maupun parenteral
c. diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah serat
e. kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran) kemudian catat
dengan baik direkam medik pasien
3. Terapi definitive dengan pemberian antibiotic antibiotik lini pertama untuk demam tifoid
adalah kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang hamil)
atau trimetropim-sulfametoxazole (kortimoksasol)
4. bila pemberian antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antibiotik lini
kedua yaitu seftriakson, sefiksim.
3. Definisi Bakteremia
Bakteremia adalah kondisi adanya bakteri di dalam darah berdasarkan hasil kultur darah
positif. Didapatkannya bakteri dari kultur darah di laboratorium dapat disebabkan oleh adanya
infeksi maupun non-infeksi, seperti kontaminasi. Bakteremia yang merefleksikan infeksi (true
infection) akan menyebabkan respon fisiologis yang mengindikasikan adanya infeksi berat,
seperti sepsis.
Sepsis disebabkan oleh respon imunitas yang dipicu oleh infeksi bakteri, jamur, parasit
atau virus. Infeksi dapat berasal dari dalam rumah sakit (nosokomial), atau lingkungan
(community acquired). beberapa studi memperlihatkan mikroorganisme penyebab infeksi
tersering adalah Staphylococcus, diikuti oleh Streptococcus dan infeksi jamur, terutama spesies
Candida.
Sepsis awalnya didefinisikan sebagai kecurigaan atau infeksi yang terbukti, disertai
kondisi klinis SIRS (systemic inflammatory response syndrome), tetapi definisi tersebut kini
ditinggalkan. Sesuai konsensus mengenai sepsis terbaru, sepsis didefinisikan sebagai keadaan
disfungsi/gagal organ yang mengancam nyawa, disebabkan oleh respon pejamu yang tidak
teregulasi terhadap infeksi. Penilaian disfungsi/gagal organ pada anak menggunakan beberapa
sistem penilaian, antara lain, Pediatric Multiple Organ Dysfunction Score (P-MODS), Pediatric
Logistic Organ Dysfunction (PELOD), Pediatric Logistic Organ Dysfunction–2 (PELOD-2), dan
pada konsensus terbaru diperkenalkannya sistem Pediatric Sequential Organ Failure Assessment
(pSOFA) yang diadaptasi dari sistem Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) dengan hasil
validasi menunjukkan bahwa pSOFA memberikan hasil yang sama baik dengan sistem penilaian
yang lain. Di Indonesia saat ini, PELOD-2 merupakan sistem penilaian disfungsi organ yang
direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam mendiagnosis sepsis pada
anak.
a. Patofisiologi
Sepsis menggambarkan suatu sindrom klinis kompleks yang timbul saat sistem imunitas
pejamu teraktifasi terhadap infeksi. Molekul patogen mengaktifkan sistem kekebalan tubuh,
melepaskan mediator inflamasi dan memicu pelepasan sitokin yang penting dalam eliminasi
patogen. Sitokin proinflamasi, seperti TNF, IL-1, interferon gamma (IFN-γ) bekerja membantu
sel dalam menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Dengan demikian, proses
eliminasi lebih efektif, sekaligus memicu pelepasan sitokin anti inflamasi, seperti interleukin-1
receptor antagonis (IL-1 ra), IL-4, dan IL-10. Sitokin anti inflamasi berperan menghentikan
proses inflamasi dengan memodulasi, koordinasi, atau represi terhadap respon yang berlebihan
(mekanisme umpan balik). Sitokin pro-inflamasi juga berperan dalam pelepasan nitrogen
monoksida (nitric oxide, NO) yang penting dalam eliminasi patogen, tetapi efek NO lainnya
adalah vasodilatasi vaskuler.
Pada keadaan sepsis, produksi NO yang berlebih menyebabkan dilatasi pembuluh darah
dan menyebabkan syok septik. Ketika sistem imun tidak efektif mengeliminasi antigen, proses
inflamasi menjadi tidak terkendali dan menyebabkan kegagalan sistem organ. Hal tersebut sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Bone9 yang menyatakan bahwa kerusakan organ multipel
tidak disebabkan oleh infeksi tetapi akibat dari inflamasi sistemik dengan sitokin sebagai
mediator.
Ikatan Dokter Anak Indonesia memublikasi pedoman nasional diagnosis dan tata laksana sepsis
anak pada tahun 2016. Berdasarkan pedoman tersebut, diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan
adanya (1) infeksi, yang meliputi faktor predisposisi infeksi, tanda atau bukti infeksi yang sedang
berlangsung, dan respon inflamasi; (2) tanda disfugsi / gagal organ.
Kecurigaan infeksi didasarkan pada predisposisi infeksi, tanda infeksi, dan reaksi
inflamasi. Faktor predisposisi infeksi, antara lain, faktor genetik, usia, status nutrisi, status
imunisasi, komorbiditas, dan riwayat terapi. Tanda klinis infeksi dinilai dari pemeriksaan klinis
dan laboratoris dengan penanda (biomarker) infeksi, seperti pemeriksaan darah tepi, morfologi
darah tepi, c-reactive protein, dan prokalsitonin. Respon inflamasi dapat terjadi tidak hanya
disebabkan oleh penyakit infeksi.
- Demam (suhu inti >38,5°C atau suhu aksila >37,9°C) atau hipotermia (suhu inti dibawah
<36°C)
- Takikardia (peningkatan denyut jantung sesuai usia tanpa adanya stimulus eksternal, obat
kronis, atau nyeri; atau peningkatan denyut jantung yang tidak dapat dijelaskan lebih dari
0,5 sampai 4 jam).
- Bradikardia (penurunan denyut jantung sesuai usia tanpa adanya stimulus vagal eksternal,
beta-blocker, atau penyakit jantung kongenital; atau penurunan denyut jantung yang tidak
dapat dijelaskan selama lebih dari 0,5 jam).
- Takipneu: peningkatan frekuensi napas.
b. Penatalaksanaan
Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM dan
ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok
septik adalah resusitasi awal, vasopressor/ inotropik, dukungan hemodinamik, pemberian
antibiotik awal, kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologi), tata
laksana suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi.
4. Meningitis Bakteri
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan
dalam selaput otak) dan arakhnoid, suatu membran yang menyelimuti otak dan spinal cord
(sumsum tulang belakang). Meningitis dapat terjadi karena infeksi bakteri, virus, fungi, juga
karena kejadian noninfeksi seperti inflamasi karena pengobatan, cochlear implant, atau
keganasan. Meningitis bakteri adalah penyakit infeksi parah yang disebabkan oleh bakteri pada
selaput otak dan sumsum tulang belakang dan dapat menghasilkan eksudat berupa pus.
Organisme penyebab meningitis bakteri pada anak terbagi atas beberapa
golongan umur, yaitu:
1. Neonatus: Escherichia coli, Streptococcus beta hemolitikus, Listeria monocytogenesis.
2. Anak di bawah 4 tahun: Haemophilus influenza, Meningococcus, Pneumococcus.
3. Anak di atas 4 tahun dan orang dewasa: Meningococcus, Pneumococcus.
a. Gejala klinis
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan
gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala panas tinggi,
mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi,
biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Pada anak-anak dan dewasa
biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut
dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan
serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen
b. Patofisiologi
Bakteri yang umumnya menyebabkan meningitis adalah patogen di nasofaring, dimana
faktor predisposisi seperti infeksi saluran nafas bagian atas harus ada sebelum bakteri beredar
dalam darah. Meningitis bakteri juga dapat muncul akibat infeksi telinga, gigi, atau paraspinal.
Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan
yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus
kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan
fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid
menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem
ventrikulus
c. Penatalaksanaan
Prinsip terapi meningitis bakteri adalah pemberian terapi antibiotic secara tepat dan cepat.
Hal ini dapat menurunkan angka kematian. Terapi awal pada pasien yang diduga mengalami
meningitis bakteri akut tergantung pada gejala-gejala awal yang diketahui, analisis diagnosis
cepat, serta ketersediaan antimikroba dan terapi adjuvan Terapi suportif dengan pemberian
cairan, elektrolit, analgesik, dan antipiretik diindikasikan pada pasien yang mengalami
meningitis bakteri akut
5. Bronkopneumonia
a. Definisi
Bronkopneumonia suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari parenkim paru
yang melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak bercak
(patchy distribution) yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus,
jamur, dan benda asing, biasanya sering disebabkan oleh bakteri streptokokus pneumonia dan
Hemofilus influenza. Bronkopneumonia merupakan salah satu pneumonia yang mempunyai pola
penyebaran bercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronki dan meluas ke
parenkim paru yang berdekatan disekitarnya,lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi.
b. Gejala Klinis
c. Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas selama beberapa hari
d. Demam tinggi (±1 minggu) selama batuk, demam bersifat naik turun sepanjang hari,
dispneu, kadang disertai muntah dan diare
e. Batuk biasanya tidak pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk, beberapa hari
yang mula-mula kering kemudian menjadi produktif
g. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya leukositosis dengan predominan PMN
h. Pada pemeriksaan rontgen thoraks ditemukan adanya infiltrat interstitial dan infiltrat
alveolar serta gambaran bronkopneumonia
c. Patofisiologi
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara,
antara lain inhalasi langsung dari udara; aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan
orofaring; perluasan langsung dari tempat lain; dan penyebaran secara hematogen.Bila
pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme penyebab terhisap ke paru perifer melalui
saluran napas menyebabkan reaksi jaringan berupa edema yang mempermudah proliferasi dan
penyebaran kuman.
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yaitu terapi suportif berupa pemberian O2 1 L/menit sudah tepat. Oksigen
diberikan untuk mengatasi hipoksemia, menurunkan usaha untuk bernapas, dan mengurangi
kerja miokardium. Oksigen penting diberikan kepada anak yang menunjukkan gejala adanya
tarikan dinding dada (retraksi) bagian bawah yang dalam; SpO2 <90%; frekuensi napas 60
x/menit atau lebih; merintih setiap kali bernapas untuk bayi muda; dan adanya head nodding
(anggukan kepala). Pemberian Oksigen melalui nasal pronge yaitu 1- 2 L/menit atau 0,5 L/menit
untuk bayi muda.
Untuk kebutuhan cairan, sesuai dengan berat badan, sehingga pasien diberikan cairan N4D5,
sedangkan untuk mengatasi demamnya pasien diberikan antipiretik parasetamol yang diberikan
selama pasien demam. Dosis yang digunakan adalah 10-15 mg/kgBB/kali pemberian. Dapat
diulang pemberiannya setiap 4-6 jam.
Otitis media adalah suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah. Otitis
media akut didefinisikan bila proses peradangan pada telinga tengah yang terjadi secara cepat
dan singkat (dalam waktu kurang dari 3 minggu) yang disertai dengan gejala lokal dan sistemik.
b. ETIOLOGI
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang paling sering
ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh Haemophilus influenza, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus grup A, dan Staphylococcus aureus. Beberapa mikroorganisme lain
yang jarang ditemukan adalah Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia pneumaniae, dan Clamydia
tracomatis.
c. PATOFISIOLOGI
Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh. Sumbatan pada
tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya penyakit ini. Dengan terganggunya
fungsi tuba Eustachius, terganggu pula pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah
sehingga kuman masuk dan terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba Eustachius ini
menyebabkan terjadinya tekanan negatif di telingah tengah, yang menyebabkan transudasi cairan
hingga supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Makin
sering anak-anak terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi dan
anak terjadinya OMA dipermudah karena:
1. morfologi tuba eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal
2. sistem kekebalan tubuh masih dalam perkembangan
3. adenoid pada anak relatif lebih besar dibanding orang dewasa dan sering terinfeksi
sehingga infeksi dapat menyebar ke telinga tengah.
4. Beberapa faktor lain mungkin juga berhubungan dengan terjadinya penyakit telinga
tengah, seperti alergi, disfungsi siliar, penyakit hidung dan/atau sinus, dan kelainan
sistem imun.
d. KLASIFIKASI
Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga tengah, yaitu:
1. Stadium Oklusi Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membran timpani akibat
tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang tampak normal atau berwarna
suram.
2. Stadium Hiperemis Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di sebagian
atau seluruh membran timpani, membran timpani tampak hiperemis disertai edem.
3. Stadium Supurasi Stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah disertai
hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani
sehingga membran timpani tampak menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar.
4. Stadium Perforasi Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah
keluar dari telinga tengah ke liang telinga.
5. Stadium Resolusi Pada stadium ini membran timpani berangsur normal, perforasi
membran timpani kembali menutup dan sekret purulen tidak ada lagi. Bila daya tahan
tubuh baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa
pengobatan.
Ada juga yang membagi OMA menjadi 5 stadium yang sedikit berbeda yaitu:
1. stadium kataralis;
2. stadium eksudasi;
3. stadium supurasi;
4. stadium penyembuhan
5. stadium komplikasi.
e. DIAGNOSIS
Tujuan penatalaksanaan OMA adalah mengurangi gejala dan rekurensi. Pada fase inisial
penatalaksanaan ditujukan pada penyembuhan gejala yang berhubungan dengan nyeri dan
demam dan mencegah komplikasi supuratif seperti mastoiditis atau meningitis. Penatalaksanaan
medis OMA menjadi kompleks disebabkan perubahan patogen penyebab. Diagnosis yang tidak
tepat dapat menyebabkan pilihan terapi yang tidak tepat. Pada anak di bawah dua tahun, hal ini
bisa menimbulkan komplikasi yang serius. Diagnosis yang tidak tepat dapat menyebabkan pasien
diterapi dengan antibotik yang sebenarnya kurang tepat atau tidak perlu. Hal ini dapat
menyebabkan meningkatnya resistensi antibiotik, sehingga infeksi menjadi lebih sulit diatasi.
7.ENTEROKOLITIS
a. Definisi
Enterokolitis nekrotikans (EKN) ditandai dengan kematian jaringan luas (nekrosis) pada lapisan
intestinal, terutama di ileus terminalis. EKN umumnya terjadi pada bayi prematur yang lahir
kurang dari 32 minggu usia kehamilan dan BBLSR kurang dari 1500 gram, terjadi dua minggu
pertama setelah lahir.
b. Epidemiologi
Angka kejadian EKN sangat bervariasi antar negara bagian di Amerika Serikat, berkisar antara 3-
28 % dengan rata-rata 6-10% terjadi pada bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 gram. Insiden Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt,
(Asian) Chinese (PRC)
EKN berbanding terbalik dengan usia kehamilan saat lahir dan berat lahir, artinya semakin cukup
usia kehamilan atau semakin cukup berat lahir, semakin rendah risiko terjadinya EKN. EKN
lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dan beberapa penulis melaporkan angka kejadian lebih
banyak pada ras negroid. Walapun kebanyakan neonatus yang menderita EKN adalah bayi
dengan kelahiran prematur, namun 5-10% dari kasus yang dilaporkan, juga terjadi pada bayi
dengan usia kehamilan lebih dari 32 minggu.
c. Gejala klinis:
1. Sistemik:
e. Penanganan
1. Penanganan medik segera. Terapi harus diberikan segera bila tanda enterokolitis Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt
nekrotikan timbul. Terapi berdasarkan pemeriksaan sesuai perawatan intensif dan antisipasi
masalah yang dapat muncul seperti fungsi respirasi, kardiovaskular, fngsi metabolik, nutrisi,
infeksi, hematologi, fungsi ginjal, fungsi neurologi, fingsi saluran cerna.
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt,
(Asian) Chinese (PRC)
f. Patofisiologi
Enterokolitis nekrotikan (NEC) penyakit gastrointestinal di dapat yang paling sering terjadi diant
ara bayi baru lahir yang sakit dan merupakan kedaruratan bedah yang paling sering terjadi di ant
ara bayi baru lahir yang sakit dan merupakan kedaruratan bedah yang paling sering terjadi di ant
ara bayi baru lahir. Spektrum penyakitnya bervariasi dari rendah yang dapat sembuh sendiri sam
pai berat yang dicirikan dengan inflamasi dan nekrosis menyebar atau dalam satu bidang pada la
pisan mukosa dan submukosa usus. Patogenesis NEC adalah multifaktorial. Saat ini etiologi di b
agi ke dalam tiga mekanisme patologis utama yang dikombinasikan untuk menciptakan suatu ko
ndisi penyakit yang dimaksud:
Nekrosis yang sangat tebal mengakibatkan perforasi dengan pelepasan udara bebas ke dalam
rongga peritonial dan peritonitis. Ini dianggap sebagai kedaruratan bedah.
8. ZOONOSIS
Penyakit zoonosis terdiri dari berbagai jenis penyakit menular yang secara biologis sangat
berbeda satu dengan lainnya . Karena banyaknya penyakit yang dapat digolongkan sebagai zoonosis dan
karena perbedaan yang kompleks antara penyakit zoonosis yang ada, ada beberapa cara penggolongan
penyakit zoonosis, antara lain berdasarkan cara penularan, berdasarkan reservoir utamanya, berdasarkan
asal hewan penyebarnya dan berdasarkan agen penyebabnya (SUHARSONO, 2002).
1 . Zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, misalnya antraks, brucellosis, leptospirosis, tuberkulosis,
listeriosis dan salmonelosis,
2. Zoonosis yang disebabkan oleh virus, misalnya rabies, Japanese encephalitis, nipah dan Avian
influenza,
3 . Zoonosis yang disebabkan oleh parasit misalnya toxoplasmosis, taeniasis dan scabies,
5 . Zoonosis disebabkan oleh penyebab lainnya, misalnya BSE, yang disebabkan oleh prion yaitu suatu
molekul protein tanpa asam inti, baik DNA maupun RNA.
zoonosis dapat dibedakan atas zoonosis yang berasal dari satwa liar, zoonosis dari hewan yang tidak
dipelihara, yang ada di sekitar rumah (seperti tikus yang dapat menularkan leptospirosis) dan zoonosis
dari hewan yang telah dipelihara oleh manusia, baik yang ditularkan oleh ternak maupun oleh hewan
kesayangan (seperti anjing dan kucing).
Toxoplasma gondii merupakan parasit intraseluler obligat dari kelompok protozoa yang dapat
menginfeksi manusia dan seluruh hewan berdarah panas yang ditemukan hampir di seluruh dunia. Pada
umumnya infeksi tersebar secara oral melalui konsumsi produk hewani terinfeksi ookista yang tidak
dimasak sempurna, makanan mengandung parasit dalam bentuk bradizoit, kontak secara langsung dengan
kotoran kucing mengandung ookista ataupun terjadi transmisi vertikal melalui plasenta hematogen.
Toksoplasma dapat terjadi secara akut maupun kronik. Toksoplasma terbagi menjadi 5 kategori yaitu
toksoplasmosis pada pasien imunokompeten, toksoplasma pada masa kehamilan, toksoplasma kongenital,
toksoplasma pada pasien imunokompromais dan toksoplasma okuler.
c. Epidemiologi
Toxoplasma gondii hampir dapat ditemukan di seluruh dunia dan telah menginfeksi lebih dari 50%
populasi manusia di Indonesia. Sekitar 10–15% penduduk di Amerika Serikat menunjukkan hasil positif
dalam pemeriksaan serologi. Seropositif pada pasien HIV Aids memperkirakan sekitar 10–45%. Hasil
pemeriksaan IgM dan IgG anti Toxoplasma di Indonesia, tentang manusia 2–63%, kucing 35–73%, babi
11–36%, kambing 11–61%, anjing 75%. dan ternak lainnya di bawah 10%.
d. Etiologi
Toxoplasma gondii adalah parasit obligat intraseluler, ada tiga jenis, tachyzoite (bentuk proliferatif),
kista (mengandung bradyzoite) dan ookista (mengandung spozoit). Bentuk Tachyzoite terlihat seperti
bulan sabit dengan titik runcing, dan poin lainnya tentang bulat. Panjangnya 4-8 mikron, lebar 2-4
mikron, memiliki sel membran dan satu inti di dalamnya pusat. Kista terbentuk di dalam sel inang jika
tachyzoite yang membelah telah membentuk dinding. Kista memiliki ukuran yang bervariasi, ada yang
kecil yang hanya mengandung beberapa bradyzoite dan ada 200 mikron yang mengandung sekitar 3000
bradyzoite. Kista dalam tubuh inang dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung dan
otot lurik. Merupakan tahap istirahat dari T. gondii. Oocyst memiliki bentuk ovale, 11-14 × 9-11 mikron.
Oocyst memiliki dinding, berisi satu sporoblast yang dipecah menjadi dua sporoblast. Dalam
perkembangan selanjutnya, keduanya sporoblast membentuk dinding dan menjadi sporokista. Setiap
sporokista mengandung empat spozoit yang berukuran sekitar 8 × 2 mikron.
e. Patogenesis
Toksoplasmosis dapat bersifat akut atau kronis. Akut infeksi berhubungan dengan bentuk proliferatif
(tachyzoite), sedangkan infeksi kronis berhubungan dengan bentuk kista jaringan. Selama proses akut,
tachyzoite menyerang semua sel dalam tubuh kecuali sel berinti induk seperti sel darah merah.4,6
Tachyzoite memasuki sel inang melalui penetrasi aktif ke dalam inang plasmalemma atau dengan
fagositosis. Parasit yang mematuhi mikronema mampu mengenali dan menargetkan sel, menghasilkan
enzim untuk menghasilkan vuoles parasitophorus. Setelah mengumpulkan 64-128 parasit di setiap sel,
parasit akan keluar untuk menginfeksi sel tetangga. Dengan sistem kekebalan tubuh inang, dapat berubah
menjadi subpopulasi brakizoit tachyzoite.
f. Kategori toksoplasmosis
1. Manifestasi Klinis
Sebagian besar wanita hamil dengan infeksi akut tidak mengalami gejala spesifik. Punya
beberapa gejala malaise, subfebris, limfadenopati. Itu frekuensi penularan vertikal ke janin
meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan.
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan IgG dan IgM idealnya harus dilakukan di trimester pertama kehamilan. IgG
serum dan IgM negatif dengan menunjukkan bahwa wanita hamil tidak terinfeksi, menghadapi
penyelidikan lebih lanjut yang dilakukan selama kehamilan untuk mengantisipasi terjadinya
serokonversi. Pada hasil IgG positif tetapi IgM negatif di kehamilan <18 minggu menunjukkan
infeksi terjadi di masa lalu, saat dalam kehamilan> 18 minggu dari hasil ini sulit untuk
menafsirkan apakah infeksi tersebut akut atau tidak kronis berlangsung sehingga avidity
diperlukan pemeriksaan.
Dalam hasilnya negatif tetapi pemeriksaan IgM positif IgG harus diulangi 1-3 minggu
kemudian, jika hasilnya tetap sama artinya IgM positif positif tidak memiliki klinis signifikansi,
sedangkan dalam kasus serokonversi IgG menjadi positif yang mengindikasikan infeksi terjadi
selama kehamilan sehingga janin berisiko tinggi terkena toksoplasmosis kongenital. Pada
pemeriksaan IgG dan IgM tindak lanjut positif pemeriksaan untuk memastikan infeksi akut atau
kronis tersebut avidity test yang sangat diperlukan, infeksi itu terjadi> 16 minggu sebelumnya,
sehingga pemeriksaan pada trimester pertama kehamilan menunjukkan infeksi terjadi sebelum
konsepsi berkurang risiko penularan dan risiko cacat janin adalah rendah.
3. Management
Spiramycin adalah Obat Pilihan untuk ibu toksoplasmosis. Dosis 3 g / hari P dalam dosis terbagi
24 kali / hari selama 3 minggu, berhenti selama 2 minggu lalu mengulangi siklus 5 mingguan selama
kehamilan.2, 24 Jika Regimen cairan amnion positif PCR harus diganti dengan pirimetamin 50 mg / hari
da sulfadiazine 3 g/ hari dalam 2-3 dosis terbagi selama 3 minggu diselingi dengan pemberian spiramisin
1 g 3 kali / hari untuk 3 minggu atau dapat diberikan pirimetamin 25 mg / hari dan sulfadiazin 4 g / hari
dalam dosis terbagi 2-4 kali /hari diberikan.
B. Toksoplasmosis Bawaan
1. Manifestasi klinis
2. Pemeriksaan Penunjang
IgM positif adalah bukti kuat infeksi bawaan, tetapi IgM negatif tidak mengecualikan
diagnosis. IgA serum lebih sensitif untuk mendeteksi bawaan toksoplasmosis dibandingkan IgM.
Ketika gejala dan bukti serologis toksoplasmosis terdeteksi selama kehamilan, infeksi janin sudah
bisa ditegakkan dengan deteksi IgM dan isolasi parasit dari darah janin atau amniotic Cairan pada
usia kehamilan 18 minggu. Pemeriksaan sebelum 20 minggu kehamilan sulit untuk ditegakkan
karena respons imunologis janin masih rendah. PCR aktif cairan ketuban dapat lebih akurat
mendiagnos infeksi pada janin sebelum usia kehamilan 20 minggu. Sensitivitas dari tes ini
adalah 64% dengan nilai prediksi negative 87,8%, spesifisitas dan nilai prediksi positif 100% .
Ultrasound antenatal dapat mengidentifikasi kelainan pada janin terinfeksi. Sekitar 36% janin
dengan kelainan dapat diidentifikasi. Kelainan itu dapat ditemukan ventrikel simetris bilateral
dilatasi, kalsifikasi intrakranial, peningkatan plasenta ketebalan, hepatomegali dan asites.
3. Pengelolaan
Pada bayi baru lahir dengan toksoplasmosis, dapat diberikan pirimetamin 1 mg / kg per hari
untuk 2 bulan diikuti oleh 1 mg / kg setiap 2 hari selama 10 bulan, sulfadiazin 50 mg / kg berat
badan per hari, serta asam folat 5–10 mg 3 kali seminggu untuk mencegah efek samping dari
pyrimethamine. Selain itu pemberian obat-obatan juga diperlukan tindak lanjut secara teratur.
Hitung darah lengkap 1-2 kali per minggu hingga setiap hari dosis pirimetamin dan 1-2 kali per
bulan untuk dosis pirimetamin dilakukan setiap 2 hari untuk memantau efek racun dari obat. Juga
diperlukan pemeriksaan pediatrik lengkap, termasuk pemeriksaan oftalmologi setiap 3 bulan
sampai usia 18 bulan dan sekali setahun, juga pemeriksaan neurologis setiap 3-6 bulan hingga
usia 1 tahun.
a. Definisi
yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah
putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus.Selama infeksi
berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap
infeksi.2 Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator
AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh akibat virus HIV. Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat
pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS
Kesehatan Dunia (World Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana pada
stadium penyakit HIV yang paling terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator AIDS.
Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh orang
mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama yang terlibat secara
langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi imunologik. Menurun atau
menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena virus HIV menginfeksi sel yang berperan
membentuk antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV
mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya
kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA
(Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel target.
Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV
Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit dibedakan karena bermula
dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita penyakit lainnya. Secara umum dapat
g. Radang paru
h. Kanker kulit
a. nifestasi tumor
Penyakit eksantema adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai erupsi pada kulit yang
berhubungan dengan penyakit sistemik yang biasanyadisebabkan oleh infeksi. Mekanisme
terjadinya lesi kulit adalah kerusakan selakibat invasi organisme patogen, produksi toksin oleh
organisme, dan responimun pejamu.
2.Pemeriksaan serologisa.
a. Polymerase Chain Reaction
(PCR), Antibodi IgM terhadap HHV-6dapat terdeteksi 5-7 hari pertama setelah infeksi
primer.
g. Penatalaksanaan
12. NEUROBLASTOMA
a. Pengertian
Neuroblastoma adalah tumor yang tumbuh dari sel-sel saraf muda yang ada di
berbagai area tubuh. Tumor ini paling sering tumbuh di medula adrenal (bagian tengah
kelenjar adrenal). Neuroblastoma merupakan neoplasma yang berasal dari sel embrional
neural dan salah satu tumor padat tersering yang dijumpai pada anak dan jarang sekali
ditemukan pada orang dewasa. Neuroblastoma paling sering berasal dari kelenjar
suprarenal tetapi dapat juga dijumpai di sepanjang jalur saraf simpatis. Neuroblastoma
adalah tipikal kanker yang dimulai dari bentuk awal sel-sel saraf pada embrio atau fetus.
Neuro berarti sel-sel saraf dan blastoma adalah kanker yang mempengaruhi sel-sel yang
imatur atau sedang berkembang.
b. Patofisiologi
Neuroblastoma timbul dari primordial sel pial neural yang bermigrasi selama
embriogenesis untuk membentuk medula adrenal dan ganglia simpatik. Sebagai hasilnya
neuroblastoma terjadi di medula adrenal atau dimana saja sepanjang simpatik ganglia,
terutama di retroperitoneum dan mediastinum posterior. Nomenklatur luas neuroblastoma
didasarkan pada spektrum diferensiasi selular. Neuroblastoma merupakan tumor yang
ganas dan buruk sedangkan ganglioneuroma merupakan tumor yang jinak dan tidak
berbahaya. Ganglioneuroblastoma mewakili keduanya karena memiliki diferensiasi buruk
dari neuroblasts dan sel ganglion matur.
c. Manifestasi Klinis
Gejala penyakit ini dapat bervariasi tergantung lokasi tumor. Sekitar 2/3 gejala diawali di
bagian perut atau kelenjar adrenal. Secara umum, beberapa tanda gejala neuroblastoma
adalah:
a. Badan terasa lemas, lesu, dan tidak bertenaga
b. Penurunan berat badan secara drastic
c. Muncul benjolan di perut, leher, atau dada
d. Nyeri punggung
e. Tumor pada dada dapat menyebabkan gangguan pernapasan atau gangguan menelan,
infeksi dan batuk kronis
f. Jika sudah menyebar (metastasis) bergejala yaitu demam, iritabel, kegagalan dalam
masa pertumbuhan, nyeri tulang, sitopeni, nodul kebiruan pada subkutan, proptosis
orbital dan ekimosis periorbital
d. Penatalaksanaan
a. DEFINISI
LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi dan akumulasi
sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang mengakibatkan organomegali (pembesaran alat-
alat dalam) dan kegagalan organ.
LLA lebih sering ditemukan pada anak-anak (82%) daripada umur dewasa (18%).
Insiden LLA akan mencapai puncaknya pada umur 3-7 tahun. Tanpa pengobatan sebagian anak-
anak akan hidup 2-3 bulan setelah terdiagnosis terutama diakibatkan oleh kegagalan dari
sumsum tulang.
b. GEJALA KLINIS
Demam
Kulit pucat
Gusi berdarah
Nyeri tulang atau sendi
Pusing atau sakit kepala
Mudah mengalami infeksi
Sering muntah atau mimisan
Muncul benjolan yang disebabkan oleh kelenjar getah bening
Bengkak di sekitar leher, ketiak, perut, atau selangkangan
Kelelahan atau penurunan energi secara signifikan
Munculnya lebam-lebam di tubuh
c. PATOFISIOLOGI
Penyakit leukemia ditandai oleh adanya proliferasi tak terkendali dari satu atau beberapa
jenis sel darah. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pada kromosom sel induksistem
hemopoetik. Sel sistem hemopoetik adalah sel yang terus menerus berproliferasi,karena itu sel
ini lebih potensial untuk bcrtransformasi menjadi sel ganas dan lebih pekaterhadap obat toksik
seperti sitostatika dan radiasi. Penelitian morfologik
menunjukkan bahwa pada Leukemia Limfositik Akut (LLA) terjadi hambatan diferensiasi dan se
llimfoblas yang neoplastik memperlihatkan waktu generasi yang memanjang, bukanmemendek.
Oleh karena itu, akumulasi sel blas terjadi akibat ekspansi klonal dan
kegagalan pematangan progeni menjadi sel matur fungsional.
Akibat penumpukan sel blas di sumsumtulang, sel bakal hemopoetik mengalami tekanan
(sudoyo, 2007).
Kelainan paling mendasar dalam proses terjadinya keganasan adalah kelainan genetik sel.
Proses transformasi menjadi sel ganas dimulai saat DNA gen suatu selmengalami perubahan.
Akibat proliferasi sel yang tidak terkendali ini tcrjadi kenaikan kadarsatu atau beberapa jenis sel
darah dan penghambatan pembentukan sel darah lainnya denganakibat terjadinya anemia,
trombositopenia dan granulositopenia.
Perubahan kromosom yang terjadi merupakan tahap awal onkogenesis dan
prosesnyasangat kompleks, melibatkan faktor intrinsik (host) dan ekstrinsik (lingkungan).
Leukemia diduga mulai sebagai suatu proliferasi local dari sel neoplastik, timbuldalam
sumsum tulang dan limfe noduli (dimana limfosit terutama dibentuk) atau dalam lien,hepar dan
tymus. Sel neoplastik ini kemudian disebarkan melalui aliran darah yangkemudian tersangkut
dalam jaringan pembentuk darah dimana terus terjadi
aktifitas proliferasi, menginfiltrasi banyak jaringan tubuh, misalnya tulang dan ginjal.Gambarand
arah menunjukan sel yang inmatur. Lebih sering limfosit dan kadang-kadang
mieloblast. Normalnya tulang marrow diganti dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast.
Adanya proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akanmenimbulkan
anemia dan trombositipenia (aguayo dkk, 2006) .
d. PENATALAKSANAAN
a.Transfusi darah, jika kadar Hb kurang dari 69%. Pada trombositopenia yang beratdan
pendarahan pasif dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda-tandaDIC dapat
diberikan heparin.
c. Sitostatika, selain sitistatika yang lama (6-merkaptispurin atau 6 mp, metotreksatatau MTX)
pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih paten seperti obatlainnya. Umumnya sitostatika
diberikan dalam kombinasi bersama-sama denganprednison. Pada pemberian obat-obatan ini
sering terdapat akibat samping berupaalopsia (botak), stomatitis, leucopenia, infeksi sekunder
atau kadidiasis. Bila jumlahleukosit kurang dari 2000 / mm3 pemberiannya harus hati-hati.
Etiopatologi dari LES belum diketahui secara pasti namun diduga melibatkan interaksi yang
kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Interaksi antara jenis
kelamin, status hormonal, dan aksi Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA) mempengaruhi
kepekaan dan ekspresi klinis LES. Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti
gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan konstributor yang
penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatknya beban
antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari
T helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktifitas sel B dan memproduksi autoantibodi
patogenik. Respon imun yang terpapar faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet atau
infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun.
a. Gejala Konstitusional
Kelelahan
Keluhan umum yang dijumpai pada pasien SLE dan biasanya mendahului berbagai manifestasi
klinis
Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau
diakibatkangejala gastrointestinal.
Demam
Lain-lain
dapat terjadi sebelum atau seiring dengan aktivitas penyakitnya seperti rambut rontok,hilangnya
nafsumakan,pembesaran kelenjar getah bening,bengkak,sakitkepala,mual dan muntah.
b. Manifestasi Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai pada pasien
SLE
-nyeri otot(mialgia)
-nyeri sendi(atralgia)
c. Manifestasi Kulit
Lesi muko-kutaneus yang tampak sebagai bagian SLE dapat berupareaksi fotosenstivitas,diskoid
LE(DLE),subacute cutaneus lupuserythematosus(SCLE),lupus
profunda/panniculitis,alopecia,lesivaskular berupa eritema periungual,livedo
bercak yang menonjol berwarna putih perak dan dapat pula berupabercak eritema pada palatum
mole dan durum,bercak atrofis,eritemaatau depigmentasi pada bibir.
Manifestasi Paru
Manifestasi Kardiologis
frictonrub,gambaran¸silhouette sign,fotodada
-penyakit jantung koroner dapat dijumpai pada pasien SLE danbermanifestasi sebagai angina
pektoris,infark miokard ataugagal jantung kongestif
Manifestasi Renal
–Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yangsebagian besar terjadi setelah 5 tahun
menderita SLE
–Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidaktampak sebelum terjadi kegagalan
ginjal atau sindroma nefrotik
–Pemeriksaan terhadap protein urin >500 mg/24 jam atau 3+semi kuantitatif
Manifestasi Gastrointestinal
–Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat pasien dalamkeadaan tertekan
dan sifatnya episodik
–Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pda SLE,disertai dengan
peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.
Manifestasi Hemik-Limfatik
–Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir seringdijumpai pada pasien SLE, dengan
karekteristik tidak nyeritekan,lunak dan ukuran bervariasi sampai 3-4cm.
c. Penatalaksanaan
Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan mengembalikan fungsi
ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih berguna terutama bila organ dalam juga terkena.
Kortikosteroid bisa diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau
diberikan intra vena. Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila
diberikan dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari
penyakitnya untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari kortikosteroid
adalah penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah membengkak, katarak, dan kematian
(nekrosis) dari persendian yang besar.
Merupakan penyakit artritis kronis pada anak-anak dibawah 16 tahun. Ditandai dengan
peradangan pada sinovium yang di pengaruhi oleh respon autoimun abdormal sehingga terjadi
inflamasi dan destruksi sendi yang progresif, penyakit ini merupakan penyakit aktif yang dapat
terus berkembang sampai usia dewasa dengan akibat berpotensi menyebabkan keterbatasan
fungsional dan menurunkan kualitas hiduo seseorang
Gejala demam timbul setiap hari atau dua kali sehari dan sering disertai ruam macular
berwarna salem yang timbul dibadan dan sebelah paha yang cepet menghilang, kehilangan nafsu
makan, artalgia, mialgia dan hepatosplenomegali dengan gambaran labotarium menunjukan
leukositosis (>20.000 nm3, anemia no hemolitik, LED meningkat, tes ANA negatif dan kadar
feritin yang tinggi
16. DHF
1. Definisi
DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue, sejenis virus yang tergolong
arbovirus dan masuk ke tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti betina. Penyakit
ini lebih dikenal dengan sebutan Demam Berdarah Dengue (DBD).
Dari beberapa pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa DHF merupakan penyakit
yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigita nyamuk Aedes Aegypti,
biasanya menyerang anak di bawah usia 15 tahun dan dapat menimbulkan kematian.
2. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue yang tergolong arbovirus yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus ( IKA-FKUI, 2005: 607).
3. Gejala klinis
Terdapat tiga jenis demam dengue: demam berdarah klasik, dengue hemorrhagic fever,
dan dengue shock syndrome. Masing-masing memiliki gejala yang berbeda.
Jenis penyakit ini biasanya terjadi pada anak-anak (dan beberapa orang dewasa) yang mengalami
infeksi dengue kedua kalinya. Jenis penyakit ini sering kali fatal, terutama pada anak-anak dan
dewasa muda.
4. Patofisiologi
5. Manifestasi Klinik
Menurut Aziz Alimul (2006:123) manifestasi Klinik DHF sangat bervariasi yaitu:
1. Demam, penyakit ini didahului oleh demam yang tinggi atau panas mendadak berlangsung 3-8
hari kemudian turun secara cepat.
2. Ruam biasannya 5-12 jam sebelum naiknya suhu pertama kali, dan berlangsung selama 3-4
hari.
3. Pembesaran hati yang terjadi pada permulaan demam (sudah dapat diraba sejak permulaan
sakit).
4. Syok yang ditandai nadi lemah, cepat, disertai tekanan nadi yang menurun (menjadi 20 mmHg
atau kurang), tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80mmHg atau kurang)
disertai kulit yang terasa dingin dan lembab, terutama pada ujung hidung, jari dan kaki.
1. Derajat I : Demam disertai gejala klinik khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
dalam uji tourniquet positif, trombositopenia, himokonsentrasi.
2. Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.
3. Derajat III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, ditandai oleh nadi cepat dan lemah, tekanan
darah turun (20 mm Hg) atau hipotensi disertai dengan kulit dingin dan gelisah.
4. Derajat IV : Kegagalan sirkulasi, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.
6. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
7. Penatalaksanaan
Dasar penatalaksanaan penderita DBD adalah pengganti cairan yang hilang sebagai
akibat dari kerusakan dinding kapiler yang menimbulkan peninggian permeabilitas sehingga
mengakibatkan kebocoran plasma. Selain itu, perlu juga diberikan obat penurun panas
(Rampengan, 2007). Secara umum Demam Berdarah Dengue (DBD) dibagi 4 derajat, terapi
yang biasa dilakukan, yaitu :
1. Penggantian volume cairan pada DBD Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma
yang terjadi pada fase penurunan suhu sehingga dasar pengobatannya adalah penggantian
volume plasma yang hilang. Penggantian cairan awal dihitung untuk 2–3 jam pertama,
sedangkan pada kasus syok lebih sering sekitar 30–60 menit. Tetesan 24–48 jam berikutnya
harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah volume urin. Apabila
terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan
harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan
dehidrasi untuk diare ringan sampai sedang yaitu cairan rumatan ditambah defisit 6% (5-8%)
seperti tertera tabel 2 di bawah ini.
<7 200
7-11 165
12-18 132
>18 88
(Hadinegoro dkk., 2002)
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur
dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi
yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan
disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan
dapat diperhitungkan dari tabel 3 berikut ini:
Dengan melihat keterangan tabel diatas dapat diperhitungkan misalnya jika anak dengan
berat badan 40 kg maka cairan rumatan yang diberikan adalah sebanyak 2300 ml dan jumlah
cairan rumatan ini diperhitungkan untuk 24 jam. Oleh karena kecepatan perembesan plasma
tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), volume cairan
pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari
pemantauan kadar hematokrit (Rampengan, 2007).
2. Antipiretika.
Tabel 4. Dosis parasetamol menurut kelompok umur pada tiap kali pemberian
3. Antikonvulsan
b.Phenobarbital: diberikan dengan dosis, pada anak berumur lebih dari satu tahun diberikan
luminal 75 mg dan dibawah satu tahun 50 mg secara intramuscular. Bila dalam waktu 15 menit
kejang tidak berhenti dapat diulangi dengan dosis 3mg/Kg BB secara intramuskular (Anonim,
1985).
4. Pengamatan Penderita
Widodo J. Demam Tifoid. Dalam : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi
B, Syam AF, penyunting, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Edisi ke 6, Jakarta: Interna
Publishing : 2014
Lesser CF, Miller SI. Salmonellosis. Dalam: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
penyunting. Harrison’s principle of interna medicine. Edisi ke 18 NewYork: Mc Graw-
Hill:2012.
Jacky Munilson, Yan Edward, Yolazenia . Penatalaksanaan Otitis Media Akut . Bagian
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang . Sumatera Barat .
Collins. J .D . and P.G . Wall . 2004 . Food safety and animal production systems : Controlling
zoonoses at farm level . Rev . Sci . Tech. Off. Int. Epiz . 23 : 685 - 700.
Montoya JG, Remington JS (2008). Management of Toxoplasma gondii infection during pregnancy.
Clin infect Dis, 47: 554–66.
Suharsono. 2002. Zoonosis. Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Penerbit Kanisius. I : 180 him
., 2:128 him.
Waree P (2008). Toxoplamosis pathogenesis and immune respone. Thammasat Medical Journal, 8:
487–95.
Yamamoto JH, Vallochi AL, Silveira C, Filho JK, Nussenblatt RB, Neto EC (2000). Discrimination
between patients with acquired Toxoplamosis and congenital Toxoplamosis on the basis of the
immune response to parasite antigens. J Infect Dis, 181: 2018–22.
Yellita (2004). Mekanisme interaksi Toxoplasma gondii dengan sel host. Pengantar falsafah sains
Institut Pertanian Bogor, hal 1–12
https://e-journal.unair.ac.id/IJTID/article/viewFile/2008/1657