Anda di halaman 1dari 73

1

A. PENDAHULUAN

B. Latar Belakang

PT. Sinar Jaya Sultra Utama (SJSU) merupakan salah satu perusahaan

pertambangan nikel yang melakukan kegiatan penambangan bijih nikel laterit pada

daerah Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi

Tenggara. Penambangan yang dilakukan dengan menggunakan sistem tambang

terbuka (open mine), dengan luasan IUP Operasi Produksi ± 301 Ha yang terdiri

dari 8 blok. Namun saat ini PT. Sinar Jaya Sultra Utama telah melakukan kegiatan

penambangan pada pit A dengan luasan 23 Ha yang terdapat di Blok A, Blok B

dengan luasan 17 Ha serta pada Blok C dengan luasan 20 Ha. Dengan sistem dan

manajemen serta penerapan unsur K3 (kesehatan dan keselamatan kerja) pada

perusahaan, membuat perusahaan ini lebih berkembang dengan banyaknya

pengapalan yang dilakukan.

PT. Sinar Jaya Sultra Utama melakukan kegiatan penambangan yang meliputi

proses pembersihan lahan, pengupasan tanah penutup (stripping), kemudian

penggalian dan pemuatan sampel ke stockpile maupun sample house, serta

dilanjutkan dengan kegiatan preparasi sampel dan analisis laboratorium.

Pengupasan tanah penutup merupakan salah satu kegiatan penambangan pada

PT. Sinar Jaya Sultra Utama yang perlu diperhatikan, dimana tanah penutup yang

telah dikupas perlu dipindahkan/ditempatkan pada tempat penampungan material

yang disebut disposal.

Rancangan atau design berperan sebagai penentu persyaratan, spesifikasi,

dan kriteria teknik untuk mencapai sasaran serta urutan teknis pengerjaannya. Salah
2

satu hasil rancangan pada perencanaan tambang adalah perencanaan tempat

penempatan penimbunan topsoil maupun overburden. Disposal merupakan tempat

pembuangan yang dirancang/direncanakan untuk menampung material buangan

overburden dan material lain dari tambang. Disposal biasanya dibuat pada lubang-

lubang bekas penambangan yang kemudian apabila lubangnya sudah penuh, maka

permukaan dari disposal ini akan ditutupi dengan lapisan tanah penutup untuk

dijadikan daerah penghijauan.

Tujuan dari perancangan disposal adalah mencegah terjadinya kecelakaan

pada saat pengoperasian disposal berupa tabrakan antar alat berat maupun terjatuh

dari ketinggian karena kegagalan kestabilan di disposal, serta mencegah terjadinya

loose material apabila terjadi hujan. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis

tertarik melakukan penelitian dengan judul “Perencanaan Desain Disposal Blok D

pada PT. Sinar Jaya Sultra Utama Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi

Tenggara”

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Berapa jumlah volume overburden pada Blok D PT. Sinar Jaya Sultra Utama ?

2. Berapa nilai faktor keamanan lereng pada perencanaan disposal Blok D

PT. Sinar Jaya Sultra Utama ?

3. Bagaimana model desain disposal pada Blok D PT. Sinar Jaya Sultra Utama ?
3

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Mengetahui jumlah volume overburden pada Blok D PT. Sinar Jaya Sultra

Utama.

2. Menentukan nilai faktor keamanan lereng pada perencanaan disposal Blok D

PT. Sinar Jaya Sultra Utama.

3. Menentukan desain model disposal pada Blok D PT. Sinar Jaya Sultra Utama.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menghasilkan rancangan desain disposal pada Blok D PT. Sinar Jaya Sultra

Utama, dimana dapat menjadi rujukan dan masukan kepada perusahaan dalam

melakukan pembuatan disposal pada blok yang diteliti.

2. Menambah pengetahuan dan wawasan serta membandingkan secara langsung

teori yang didapatkan diperkuliahan dengan kondisi yang ada di lapangan

terutama dalam kegiatan perencanaan disposal tambang.


4

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemodelan dan Perhitungan Cadangan

Pemodelan endapan mineral dan perhitungan cadangan merupakan hal

penting dalam proses penambangan sumber daya mineral. Pemodelan dan

perhitungan cadangan endapan mineral tersebut dijadikan sebagai dasar evaluasi

untuk menghasilkan keputusan apakah suatu endapan layak atau tidak layak

ditambang. Pemodelan endapan mineral diharapkan sedapat mungkin mendekati

keadaan sebenarnya. Oleh karena itu, diperlukan penaksiran dan pendekatan

dengan metode-metode tertentu. Salah satu bentuk model endapan dapat dibuat

berdasarkan penampang vertikal yang dibuat dari estimasi data pemboran. Data

hasil pemboran tersebut harus dianalisis menggunakan beberapa parameter agar

korelasi yang dibuat dapat mendekati kondisi yang sebenarnya (Salinita, 2014).

B. Kegiatan Penambangan

Menurut Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara, pada pasal 1 dijelaskan bahwa Pertambangan adalah sebagian atau

seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan

mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi

kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan

dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Sedangkan penambangan adalah

bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan atau batubara

serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.


5

Menurut Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara, pada pasal 1 dijelaskan bahwa Operasi Produksi adalah tahapan

kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan,

pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian

dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan. Dapat disimpulkan bahwa,

kegiatan operasi produksi ini didalamnya sudah memuat kegiatan penambangan,

yakni pembongkaran, penggalian, dan pemuatan bahan galian. Dalam operasi

produksi dikenal istilah IUP Operasi Produksi, dimana IUP Operasi Produksi

adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk

melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.

C. Pengupasan Tanah Penutup

Kegiatan pengupasan lapisan tanah penutup yaitu pemindahan suatu lapisan

tanah atau batuan yang berada diatas cadangan bahan galian, agar bahan galian

tersebut menjadi tersingkap. Untuk mewujudkan kondisi kegiatan pengupasan

lapisan tanah penutup yang baik diperlukan alat yang mendukung dan sistimatika

pengupasan yang baik. Pekerjaan pengupasan lapisan tanah penutup merupakan

kegiatan yang mutlak harus dikerjakan pada pertambangan terutama pada kegiatan

penambangan yang menggunakan sistem tambang terbuka.

Tanah penutup atau overburden adalah semua material yang menutup bijih

nikel yang bernilai ekonomis. Ketebalan dari overburden pada setiap blok tidak

menetap, mulai dari 1 meter hingga puluhan. Tujuan dari pengupasan overburden

ini adalah agar ore nikel tersingkap di permukaan sehingga ore yang digali tidak
6

bercampur lagi dengan overburden. Overburden yang dikupas tersebut selanjutnya

akan disimpan di wastedump atau disposal dengan menggunakan dumptruck

(Raemaka, 2018).

Penanganan lapisan overburden memiliki dampak penting pada pekerjaan

penambangan terbuka dan harus direncanakan dengan baik. Material overburden

bisa berupa tanah, batu lunak dan keras. Berbagai peralatan yang besar dapat

digunakan untuk pemindahan lapisan penutup pada penambangan terbuka, sesuai

dengan jenis tanah dan topografi (Oggeri, 2019)

D. Definisi Disposal

Waste dump atau disposal adalah daerah pada suatu operasi tambang terbuka

yang dijadikan tempat membuang material kadar rendah atau material bukan bijih.

Material tersebut perlu digali dari pit demi memperoleh bijih atau material kadar

tinggi. Suatu kegiatan pertambangan umumnya memindahkan tanah penutup untuk

mengambil bahan galian yang berada di dalam bumi. (Mulyanti, 2016)

Menurut Nurwaskito (2016), disposal adalah tempat pembuangan yang

dirancang/direncanakan untuk menampung material buangan overburden dan

material lain dari tambang. Disposal biasanya dibuat pada lubang-lubang bekas

penambangan ataupun bekas penambangan quarry yang kemudian apabila

lubangnya sudah penuh, maka permukaan dari disposal ini akan ditutupi dengan

lapisan tanah penutup untuk dijadikan daerah penghijauan. Tujuan dari

perancangan disposal adalah mencegah terjadinya kecelakaan pada saat


7

pengoperasian disposal berupa tabrakan antar alat berat maupun terjatuh dari

ketinggian karena kegagalan kestabilan di disposal.

E. Longsoran yang Sering Terjadi pada Lereng Tambang

Lereng tambang yang tidak stabil akan mengalami longsoran sampai lereng

tersebut menemukan keseimbangan yang baru dan menjadi stabil. Kekuatan yang

menyebabkan ketidakstabilan dalam hal ini hanya berat tanah itu sendiri, dan gaya

menolak yang berasal dari kekuatan geser dari tanah. Kekuatan eksternal biasanya

tidak terlibat. Cara kegagalan akan terjadi tidak pasti dan biasanya tidak dapat

ditentukan sebelumnya (Wesley, 2009)

Macam-macam lonsoran yang sering terjadi pada lereng tambang adalah

longsoran busur, longsoran bidang, longsoran baji, dan longsoran guling (Irwandy,

2016).

1. Longsoran Busur (Circular Failure)

Longsoran jenis ini banyak terjadi pada lereng tanah dan batuan lapuk atau

sangat terkekarkan dan di lereng-lereng timbunan. Bentuk bidang gelincir pada

longsoran busur, sesuai dengan namanya, akan menyerupai busur bila digambarkan

pada penampang melintang.


8

Gambar 1. Skema lonsoran busur (Hoek dan Bray, 1981


idalam Irwandy, 2016)

a. Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Busur

Longsoran busur banyak terjadi pada lereng batuan lapuk atau sangat

terkekarkan dan di lereng-lereng timbunan. Bentuk bidang gelincir pada longsoran

busur, sesuai namanya, akan menyerupai busur bila digambarkan pada penampang

melintang. Longsoran jenis ini juga sering terjadi jika ukuran fragmen tanah atau

massa batuan sangat kecil dibandingkan dengan ukuran lereng. Oleh karena itu,

lereng yang tersusun dari material pasir, lanau, atau partikel lain yang ukurannya

lebih kecil memiliki kemungkinan besar untuk mengalami longsoran busur.

b. Analisis Longsoran Busur

Longsoran busur dapat dianalisis menggunakan diagram yang dibuat oleh

Hoek dan Bray. Cara ini merupakan cara yang sangat mudah, cepat dan hasilnya

dapat dipertanggungjawabkan. Metode grafik Hoek dan Bray sendiri tergantung

pada:

1) Jenis tanah dan batuan, dalam hal ini tanah dan batuan dianggap homogen dan

kontinu.

2) Longsoran yang terjadi menghasilkan bidang luncur berupa busur lingkaran


9

3) Tinggi permukaan air tanah pada lereng seperti pada gambar 3, antara lain:

a) Kondisi air tanah nomor 1 yaitu kering

b) Kondisi air tanah nomor 2 yaitu air permukaan 8 kali dari ketinggian lereng

dibelakang toe dari slope

c) Kondisi air tanah nomor 3 yaitu air permukaan 4 kali dari ketinggian lereng

dibelakang toe dari slope

d) Kondisi air tanah nomor 4 yaitu air permukaan 2 kali dari ketinggian lereng

dibelakang toe dari slope

e) Kondisi air tanah nomor 5 yaitu jenuh

Gambar 2. Kondisi air tanah dalam lereng Circular failure


i(Irwandy, 2016)
10

Hoek dan Bray membuat 5 buah diagram untuk tiap-tiap kondisi air tertentu,

mulai dari sangat kering hingga jenuh. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

(untuk lebih jelasnya lihat pada gambar 3)

1) Tentukan kondisi air tanah yang ada dan sesuaikan dengan gambar 3 untuk

memilih diagram yang akan digunakan. Pilih yang paling tepat atau paling

mendekati.
c
2) Hitung angka , kemudian cocokan angka tersebut pada lingkaran
γH tan ɸ

terluar dari diagram (chart) yang dipilih

3) Ikuti jari-jari mulai dari angka yang diperoleh pada langkah sebelumnya

sampai memotong kurva yang menunjukkan kemiringan lereng

4) Dari titik pada langkah ketiga, kemudian ditarik ke kiri dan ke bawah untuk

tan ɸ c
mencari angka-angka dan
FK γ·H ·FK

5) Hitung faktor keamanan (FK) dari kedua angka yang diperoleh dari langkah

keempat dan pilih yang paling tepat.

Gambar 3. Diagram Cara Menghitung Kestabilan Lereng


untuk Circular Failure (Hardianti, 2010)
11

2. Longsoran Bidang (Plane Failure)

Longsoran bidang relatif jarang terjadi. Namun, jika ada kondisi yang

menunjang terjadinya longsoran bidang, longsoran yang terjadi mungkin akan lebih

besar (secara volume) dari pada longsoran lain. Longsoran ini disebabkan oleh

adanya struktur geologi yang berkembang, seperti kekar (joint) ataupun patahan

yang dapat menjadi bidang luncur.

Gambar 4. Skema Longsoran Bidang (Hoek dan Bray,


n1981 dalam Irwandy, 2016)

a. Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Bidang

Untuk kasus longsoran bidang dengan bidang gelincir tunggal, persyaratan

berikut ini harus terpenuhi:

1) Bidang gelincir mempunyai strike sejajar atau hampir sejajar (maksimal 20º)

dengan strike lereng

2) Jejak bagian bawah bidang lemah yang menjadi bidang gelincir harus muncul

di muka lereng. Dengan kata lain, kemiringan bidang gelincir lebih kecil

daripada kemiringan lereng

3) Kemiringan bidang gelincir lebih besar daripada sudut gesek dalamnya


12

4) Harus ada bidang release yang menjadi pembatas di kanan dan kiri blok yang

menggelincir.

Analisis dua dimensi selalu mempertimbangkan unit ketebalan yang arahnya

tegak lurus dengan garis muka lereng. Oleh karena itu, bidang gelincir dapat

dipresentasikan sebagai garis kemiringan tertentu dan blok yang menggelincir dapat

dipresentasikan sebagai suatu luasan pada penampang vertikal tegak lurus dengan

strike lereng. Kondisi umum longsoran bidang dapat dilihat pada gambar 5 berikut.

Gambar 5. Kondisi Umum Longsoran Bidang (Wyllie, 2005)

Keterangan:
ѱ𝑝 = Sudut kemiringan lereng (°)
ѱ𝑓 = Sudut kemiringan bidang lemah (°)
ɸ = Sudut gesek dalam (°)

b. Analisis longsoran bidang

Posisi rekahan tarik perlu diperhatikan dalam analisis longsoran ini. Asumsi-

asumsi yang digunakan dalam analisis ini sebagai berikut:

1. Bidang gelincir dan rekahan tarik memiliki strike yang sejajar dengan strike

lereng

2. Posisi rekahan pada bidang adalah vertikal dan terisi air sedalam Zw

3. Air membasahi bidang gelincir lewat bagian bawah bidang rekahan tarik dan

merembes sampai di jejaknya di permukaan lereng


13

4. Gaya W (berat blok yang menggelincir), U (gaya angkat oleh air), dan V (gaya

tekan air di dalam rekahan tarik) bekerja di titik pusat blok sehingga

diasumsikan tidak ada momen akibat rotasi

5. Kuat geser (𝜏) dari bidang gelincir adalah 𝜏 = 𝑐 + 𝜎. 𝑡𝑎𝑛ɸ;

dengan c = kohesi, ɸ = sudut gesek dalam, serta 𝜎 = tekanan normal

6. Terdapat bidang release di sisi kanan dan kiri blok sehingga tak ada hambatan
di bagian kanan dan kiri blok yang menggelincir.

Gambar 6. Posisi Rekahan Tarik (Tension Crack) pada Lereng Batuan (Wyllie, 2005)

Persamaan yang digunakan untuk menentukan faktor keamanan sebagai

berikut:

𝑐𝐴 (𝑊 · 𝑐𝑜𝑠ѱ𝑝 −𝑈−𝑉 · 𝑠𝑖𝑛ѱ𝑝 ) · 𝑡𝑎𝑛ɸ


F= (1)
𝑊 · 𝑠𝑖𝑛ѱ𝑝 + 𝑉 · 𝑠𝑖𝑛ѱ𝑝
14

Dengan:

𝐴 = ( 𝐻 + 𝑏 · 𝑡𝑎𝑛ѱ𝑆 − 𝑧) 𝑐𝑜𝑠𝑒𝑐 ѱ𝑃 (2)

Keterangan:
H = Tinggi lereng
z = Kedalaman rekahan tarik
b = Jarak antara kepala lereng (crest) dan rekahan tarik
Ѱs = Kemiringan lereng yang berada diatas kepala lereng
1
𝑈= . 𝛾𝑤 . 𝑧𝑤 (𝐻 + 𝑏. 𝑡𝑎𝑛ѱ𝑠 − 𝑧)𝑐𝑜𝑠𝑒𝑐 ѱ𝑝 (3)
2

Keterangan:
γw = Berat jenis air
zw = Kedalaman air dalam rekahan
1 2
𝑉= 𝛾 .𝑧 . (4)
2 𝑤 𝑤

1 2 1
𝑊 = 𝛾𝑟 [(1 − 𝑐𝑜𝑡ѱ𝑓 𝑡𝑎𝑛ѱ𝑝 ) (𝑏𝐻 + 𝐻 𝑐𝑜𝑡ѱ𝑓 ) + 𝐵2 (𝑡𝑎𝑛ѱ𝑠 − 𝑡𝑎𝑛ѱ𝑝 )]
2 2
(untuk rekahan tarik dibelakang crest) (5)

1 𝑧 2
𝑊 = 2 𝛾𝑟 . 𝐻 2 [(1 − ℎ) . 𝑐𝑜𝑡ѱ𝑃 (𝑐𝑜𝑡ѱ𝑃 . 𝑡𝑎𝑛ѱ𝑓 − 1)]

(rekahan tarik di muka lereng) (6)

Bila diinginkan adanya perbandingan antara geometri lereng, kedalaman air

dalam rekahan tarik, dan pengaruh dari kuat geser yang berbeda, persamaan (1)

dapat dimodifikasi menjadi:

2𝐶
( )𝑃+(𝑄 𝑐𝑜𝑡ѱ𝑝 −𝑅 (𝑃 +𝑆)) 𝑡𝑎𝑛ɸ
𝛾𝐻
F= (7)
𝑄 + 𝑅𝑆 . 𝑐𝑜𝑡ѱ𝑝

Dengan:

𝑧
𝑃 = (1 − 𝐻) 𝑐𝑜𝑠 𝑒𝑐ѱ𝑝 (8)
15

𝑧 2
𝑄 = [(1 − (𝐻) ) 𝑐𝑜𝑡ѱ𝑝 − 𝑐𝑜𝑡ѱ𝑓 ] 𝑠𝑖𝑛ѱ𝑝

(rekahan tarik di belakang crest) (9)

𝑧 2
𝑄 = {(1 − ) 𝑐𝑜𝑠ѱ𝑝 ( 𝑐𝑜𝑡ѱ𝑝 𝑡𝑎𝑛ѱ𝑓 − 1)}
𝐻

(rekahan tarik dimuka lereng) (10)

𝛾𝑤 · 𝑍𝑤 ·𝑍
𝑅= (11)
𝛾 ·𝑍 ·𝐻

Jika lereng batuan tersebut berada di daerah rawan gempa dan percepatan

yang ditimbulkan gempa dapat dimodelkan menjadi statis 𝛼W, perhitungan faktor

keamanan dapat dilakukan dengan memasukkan pengaruh gempa dengan cara

memodifikasi persamaan (1) menjadi persamaan (12)

𝑐𝐴+ {𝑊 ( 𝑐𝑜𝑠ѱ𝑝 − 𝛼 𝑠𝑖𝑛ѱ𝑝 ) −𝑈− 𝑠𝑖𝑛ѱ𝑝 } 𝑡𝑎𝑛ɸ


F= (12)
𝑊 ( 𝑠𝑖𝑛ѱ𝑝 + 𝛼 𝑐𝑜𝑠ѱ𝑝 + 𝑉. 𝑐𝑜𝑠ѱ𝑝

Keterangan:
F = Safety factor
A = Luas bidang kontak (m)
U = Gaya angkat oleh air (t/m)
V = Gaya tekan air dalam rekahan (t/m)
W = Berat blok yang tergelincir (t/m)
H = Tinggi lereng (m)
C = Kohesi (Mpa atau t/m2)
Ѱf = Sudut kemiringan lereng (°)
Ѱp = Sudut kemiringan bidang lemah (°)
ɸ = Sudut gesek dalam (°)
Z = Kedalaman rekahan tarik
Zw = Kedalaman rekahan tarik yang terisi air
γr = Berat jenis batuan (t/m3)
γw = Berat jenis air (t/m3), 1 t/m3
α = Faktor gempa
16

3. Longsoran Baji (Wedge Failure)

Longsoran baji merupakan jenis longsoran yang sering terjadi di lapangan.

Sama halnya dengan longsoran bidang, longsoran baji juga diakibatkan oleh adanya

struktur geologi yang berkembang. Perbedaan pada longsoran baji adalah adanya

struktur geologi yang berkembang dan saling berpotongan.

Gambar 7. Skema longsoran baji (Hoek dan Bray, 1981


dalam Irwandy, 2016)

a. Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Baji

Berbeda dengan longsoran bidang, longsoran baji akan terjadi bila ada dua

bidang lemah atau lebih yang saling berpotongan sedemikian rupa sehingga

membentuk baji terhadap lereng (Gambar 8). Persyaratan lain yang harus terpenuhi

untuk terjadinya longsoran baji adalah bila sudut yang dibentuk garis potong kedua

bidang lemah tersebut dengan bidang horizontal lebih kecil dari sudut lerengnya

dan sudut garis kedua bidang lemah tersebut lebih besar daripada sudut gesek

dalamnya.
17

Gambar 8. Kondisi Geometri untuk Longsoran Baji (Wyllie, 2005)

b. Analisis Longsoran Baji

Bila tahanan bidang gelincir (permukaan bidang lemah yang berpotongan)

hanya tergantung pada friksi (tanpa kohesi), penentuan faktor keamanan (FS) dapat

menggunakan persamaan berikut ini:

(𝑅𝐴 + 𝑅𝐵 ) tan ɸ
Faktor keamanan (FS) = (13)
𝑊 𝑆𝑖𝑛ѱ 𝑖

Keterangan: 𝑅𝐴 dan 𝑅𝐵 adalah reaksi kearah normal bidang A dan B

Dengan membuat penampang tegak lurus garis potong kedua bidang lemah

tersebut, akan diperoleh persamaan sebagai berikut.

1 1
𝑅𝐴 sin (𝛽 − ξ) = 𝑅𝐵 sin (𝛽 + ξ) (14)
2 2
18

1 1
𝑅𝐴 cos (𝛽 − ξ) + 𝑅𝐵 cos (𝛽 + ξ) = 𝑊 cos ѱ𝑖 (15)
2 2

Bila kedua persamaan di atas diselesaikan, akan diperoleh:

𝑊 cos ѱ𝑖 sin 𝛽
𝑅𝐴 + 𝑅𝐵 = 1 (16)
sin ξ
2

Dengan mensubstitusikan persamaan-persamaan tersebut akan diperoleh

persamaan sebagai berikut:

sin 𝛽 tan ɸ
FS = 1 (17)
sin ξ tan ѱ𝑖
2

Gambar 9. Gaya-gaya pada Longsoran Baji (Wyllie, 2005)

Apabila ternyata ketahanan geser bidang gelincir juga dipengaruhi oleh

kohesi dan dijumpai pula adanya rembesan air di bidang-bidang lemah tersebut,

penentuan faktor keamanan harus mempertimbangkan kedua faktor tersebut.

Dengan membuat asumsi untuk air bahwa air hanya masuk di sepanjang garis

potong bidang lemah dengan muka atas lereng dan merembes keluar di sepanjang
19

garis potong bidang lemah dengan muka lereng, serta baji bersifat impermeabel,

persamaan yang digunakan untuk menentukan faktor keamanan (Hook et al., 1993)

sebagai berikut:

3 γ𝑤 γ𝑤
FS = γ (𝑐𝐴 𝑋 + 𝑐𝐵 𝑌) + (𝐴 − ) tan ɸ𝐴 + (𝐵 − 𝑌) tan ɸ𝐵 (18)
𝑟𝐻 2γ𝑟 2γ

4. Longsoran Guling (Toppling Failure)

Longsoran guling umumnya terjadi pada lereng yang terjal dan pada batuan

yang keras, dimana struktur bidang lemahnya berbentuk kolom. Longsoran guling

ini terjadi apabila bidang-bidang lemah yang terdapat pada lereng mempunyai

kemiringan yang berlawanan dengan kemiringan lereng.

Gambar 10. Skema longsoran guling (Hoek dan Bray, 1981


dalam Irwandy, 2016)

c. Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Guling

Longsoran guling umumnya terjadi pada lereng yang terjal dan pada batuan

yang keras dengan sttuktur bidang lemahnya yang berbentuk kolom. Longsoran

guling ini terjadi apabila bidang-bidang lemah yang hadir di lereng mempunyai

kemiringan yang berlawanan dengan kemiringan lereng. Adapun bentuk longsoran

guling ini dapat dilhat pada gambar 11 berikut.


20

Gambar 11. Bentuk Umum dari Longsoran Guling: (a) Block Toppling, (b) Flexural
Toppling, dan (c) Block-flexure Toppling (Wyllie, 2005)

d. Analisis Longsoran Guling


Analisis ini menggunakan asumsi bahwa longsoran guling yang terjadi

mempunyai n buat balok yang berbentuk teratur dan lebar Δx dan tinggi 𝑦𝑛 . Untuk

keperluan analisis, penomoran blok dimulai dari bawah ke atas. Sudut kemiringan

lereng adalah ѱ𝑓 dan kemiringan muka atas lereng ѱ𝑏 , sedangkan dip dari bidang-

bidang lemah adalah 90-𝛼. Undak-undakan yang terjadi (akibat longsoran)

berbentuk teratur dan mempunyai kemiringan 𝛽. Konstanta 𝑎1 , 𝑎2 dan b (Gambar

12) selanjutnya dapat dihitung dengan persamaan berikut.

𝑎1 = ∆𝑥 · tan(ѱ𝑓 − ѱ𝑝 ) (19)

𝑎2 = ∆𝑥 · tan(ѱp − ѱs ) (20)

b = ∆𝑥 tan(ѱ𝑏 − ѱ𝑝 ) (21)
21

Tinggi balok ke-n 𝑦𝑛 dihitung dengan persamaan berikut.

𝑦𝑛 = 𝑛 (𝑎1 − 𝑏) (untuk blok dari crest ke bawah) (22)

𝑦𝑛 = 𝑦𝑛−1 − 𝑎2 − 𝑏 (untuk blok di atas crest) (23)

Gambar 12. Mode Longsoran Guling untuk Model Kesetimbangan Batas (Wyllie, 2005)

Berdasarkan model pada gambar diatas terdapat 3 grup blok yang mempunyai

tingkat kemantapan yang berbeda yaitu:

1. Satu set blok yang stabil (di bagian atas), ketika sudut gesek dalam material

lebih besar dari dip bidang (ɸ𝑝 > ѱ𝑝 )

2. Satu set blok yang akan terguling (di bagian tengah)

3. Satu set blok di daerah toe, yang terdorong oleh blok toppling di atasnya. Blok

ini mungkin stabil, terguling atau tergelincir (slide), tergantung dari kemiringan

dan geometri blok. Dengan geometri yang berbeda mungkin saja set blok yang

mantap dan yang akan tergelincir berubah menjadi terguling semua.


22

Gambar 13. Kondisi Kesetimbangan Batas Blok ke-n yang Akan Terguling dan
Tergelincir (Wyllie, 2005)

F. Standar Faktor Keamanan Lereng

Kestabilan lereng, baik lereng alami maupun lereng buatan (buatan manusia)

serta lereng timbunan, dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat dinyatakan

secara sederhana sebagai gaya-gaya penahan dan gaya-gaya penggerak yang

berhubungan dengan kestabilan lereng tersebut. Kestabilan lereng merupakan

faktor vital dalam perencanaan dan operasional tambang terbuka dan kuari. Dalam

penyusunan suatu rencana tambang selain faktor cadangan, teknis penambangan,

ekonomi dan lingkungan, faktor kestabilan lereng juga menjadi faktor penting yang

harus diperhatikan dengan seksama (Fikri, 2018).

Potensi geser dari waste dump adalah parameter kritis dalam analisis stabilitas

lereng. Dimana, Material pada lereng yang lemah biasanya memiliki kekuatan geser

yang rendah tetapi meningkatkan kekuatan seiring waktu menjadi lebih kompak.
23

Oleh karena itu, evaluasi kekuatan geser dengan ketetapan rasioal adalah suatu

kondisi untuk analisis stabilitas lereng (Kainthola, 2011).

Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan dan studi-studi yang

menyeluruh tentang keruntuhan lereng, maka dibagi 3 kelompok rentang Faktor

Keamanan (FK) ditinjau dari intensitas kelongsorannya (Bowles, 1989), seperti

yang diperlihatkan pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Faktor Keamanan Lereng (Bowles, 1989 dalam Irwandy, 2016)


FK Kondisi lereng
FK > 1,25 Keruntuhan jarang terjadi (lereng relatif stabil)
1,07 < FK ≤ 1,25 Keruntuhan pernah terjadi (lereng kritis)
FK < 1,07 Keruntuhan biasa terjadi (lereng labil)

G. Prinsip Dasar Metode Irisan

Metode irisan merupakan metode yang sangat populer dalam analisis

kestabilan lereng. Metode ini telah terbukti sangat berguna dan dapat diandalkan

dalam praktek rekayasa serta membutuhkan data yang relatif sedikit dibandingkan

dengan metode lainnya, seperti metode elemen hingga (finite element), metode beda

hingga (finite difference) atau metode elemen diskrit (discrete element). Salah satu

karakteristik metode irisan yaitu geometri dari bidang gelinciran harus ditentukan

atau diasumsikan terlebih dahulu.

Untuk menyederhanakan perhitungan, bidang runtuh biasanya dianggap

berupa sebuah busur lingkaran, gabungan busur lingkaran dengan garis lurus, atau

gabungan dari beberapa garis lurus. Setelah geometri dari bidang runtuh ditentukan,

massa diatas bidang runtuh dibagi menjadi sejumlah irisan tertentu. Tujuannya
24

untuk mempertimbangkan adanya variasi kekuatan geser dan tekanan air pori

sepanjang bidang runtuh (Irwandy, 2016).

Sketsa model lereng untuk bidang runtuh yang berupa sebuah busur

lingkaran dan bidang runtuh gabungan diperlihatkan pada gambar 14 berikut:

Gambar 14. Model Lereng dengan Bidang Runtuh yang Berbentuk Sebuah Busur
Lingkaran (Krahn, 2004)
25

Metode analisis stabilitas lereng berdasarkan permukaan slip umum bertujuan

untuk penentuan dari faktor minimum keamanan bidang miring. Metode-metode

ini didasarkan pada prinsip membatasi keseimbangan dan metode irisan (Sarma,

2014). Berdasarkan kondisi kesetimbangan yang dapat dipenuhi, metode irisan

dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, diantaranya:

1. Metode yang tidak memenuhi semua kondisi kesetimbangan gaya dan momen,

antara lain yaitu metode irisan biasa (Fellenius), metode Bishop yang

disederhanakan, dan metode Janbu yang disederhanakan

2. Metode yang memenuhi semua kondisi kesetimbangan gaya dan momen, antara

lain yaitu Metode Spencer, Metode Morgenstern-Price dan Metode

kesetimbangan batas umum.

Terdapatnya sejumlah variasi dari metode irisan disebabkan oleh perbedaan

asumsi-asumsi yang digunakan (Tabel 2) dan kondisi kesetimbangan yang dapat

dipenuhi (Tabel 3).

Tabel 2. Asumsi-asumsi yang digunakan oleh beberapa metode irisan


Metode Asumsi
Resultan gaya antar-irisan sama dengan nol dan
Irisan Biasa (Fellenius)
bekerja sejajar dengan permukaan bidang runtuh.
Bishop Yang
Gaya geser antar-irisan sama dengan nol (X=0).
Disederhanakan
Gaya geser antar-irisan sama dengan nol (X=0).
Janbu Yang
Faktor koreksi digunakan sebagai faktor empiris
Disederhanakan
untuk memasukkan efek dari gaya geser antar irisan.
Kemiringan dari resultan gaya geser dan normal antar
Spencer
irisan adalah sama untuk semua irisan.
Kemiringan gaya geser antar irisan besarnya
Morgenstern-Price
sebanding dengan fungsi tertentu yang diasumsikan.
Kesetimbangan Batas Sudut gaya antar irisan besarnya sebanding dengan
Umum fungsi tertentu yang diasumsikan.
Sumber: (Irwandy, 2016)
26

Tabel 3. Kondisi kesetimbangan yang dipenuhi


Kesetimbangan Gaya Kesetimbangan
Metode
Vertikal Horizontal Momen
Irisan Biasa (Fellenius) Tidak Tidak Ya
Bishop Yang Disederhanakan Ya Tidak Ya
Janbu Yang Disederhanakan Ya Ya Tidak
Spencer Ya Ya Ya
Morgenstern-Price Ya Ya Ya
Kesetimbangan Batas Umum Ya Ya Ya
Sumber: (Irwandy, 2016)

H. Prinsip Dasar Metode Fellinius

Metode Fellenius (Ordinary Method of Slice) diperkenalkan pertama kali

oleh Fellenius (1927,1936) bahwa gaya memiliki sudut kemiringan paralel dengan

dasar irisan faktor keamanan dihitung dengan kesetimbangan momen. Fellenius

menganggap gaya-gaya yang bekerja pada sisi kanan-kiri dari sembarang irisan

mempunyai resultan nol pada arah tegak lurus bidang longsor.

Fellenius mengemukakan metodenya dengan menyatakan asumsi bahwa

keruntuhan terjadi melalui rotasi dari suatu blok tanah pada permukaan longsor

berbentuk lingkaran (sirkuler) dengan titik O sebagai titik pusat rotasi. Metode ini

juga menganggap bahwa gaya normal P bekerja ditengah-tengah slice.

Diasumsikan juga bahwa resultan gaya-gaya antar irisan pada tiap irisan adalah

sama dengan nol, atau dengan kata lain bahwa resultan gaya-gaya antar irisan

diabaikan.

Jadi total asumsi yang dibuat oleh metode ini adalah:

1. Posisi gaya normal P terletak di tengah alas irisan : n

2. Resultan gaya antar irisan sama dengan


27

nol : n – 1

Total : 2n – 1

Dengan anggapan-anggapan ini maka dapat diuji persamaan keseimbangan

momen untuk seluruh irisan terhadap titik pusat rotasi dan diperoleh suatu nilai

Faktor Keamanan.

Gambar 15. Lereng dengan Busur Lingkaran Bidang Longsor


28

Pada gambar 15, diperlihatkan suatu lereng dengan sistem irisan untuk berat

sendiri massa tanah (W) serta analisis komponen gaya-gaya yang timbul dari berat

massa tanah tersebut, yang terdiri dari gaya-gaya antar irisan yang bekerja di

samping kanan irisan (Er dan Xt). Pada bagian alas irisan, gaya berat (W) diuraikan

menjadi gaya reaksi normal Pw yang bekerja tegak lurus alas irisan dan gaya

tangensial Tw yang bekerja sejajar irisan. Besarnya lengan gaya (W) adalah x = R

sin α, dimana R adalah jari-jari lingkaran longsor dan sudut α adalah sudut pada

titik O yang dibentuk antara garis vertikal dengan jari-jari lingkaran longsor.

Dengan menggunakan prinsip dasar serta asumsi-asumsi yang telah

dikemukakan di atas, maka selanjutnya dapat diuraikan analisis Faktor

Keamanannya sebagai berikut:

Kriteria Keruntuhan Mohr–Coulomb:

s = c’ + σ’ tan Ø’ (24)

Dengan:
s = Kuat geser tanah
c’ = Kohesi tanah efektif
σ’ = Tegangan normal efektif
Ø’ = sudut geser dalam tanah efektif

Tegangan Normal Efektif dinyatakan sebagai:

σ’= σ - u (25)

Dengan:
σ = Tegangan normal total
u = Tekanan air pori

Kemudian tegangan normal total yang bekerja pada bidang longsor dinyatakan

sebagai:

𝑃𝑤
σ= (26)
𝑙·1
29

Dengan:
Pw = Gaya normal akibat berat sendiri tanah
𝑙 = lebar alas irisan
1 = satu satuan lebar bidang longsor

Substitusi persamaan (25) ke dalam persamaan (24) menghasilkan:

s = c’ + (σ – u) tan Ø’ (27)

Substitusi persamaan (25) pada persamaan (26) menghasilkan:

𝑃𝑤
s = c’ + ( 𝑙·1 − u ) tan Ø (28)

Agar lereng menjadi stabil maka gaya-gaya yang diperlukan untuk

mengakibatkan longsor haruslah lebih kecil dari pada gaya-gaya yang ada sehingga

faktor keamanan akan menjadi lebih besar atau sama dengan satu.

Dengan kata lain:

𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝐺𝑒𝑠𝑒𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐴𝑑𝑎


FK = 𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝐺𝑒𝑠𝑒𝑟 𝑃𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑎𝑏 𝐿𝑜𝑛𝑔𝑠𝑜𝑟 (29)

Dengan:
FK > 1,5 menunjukkan lereng stabil
FK = 1,5 kemungkinan lereng tidak stabil
FK < 1,5 menunjukkan lereng tidak stabil

Atau dalam bentuk rumus dinyatakan sebagai:


𝑠
F= (30)
τ

Dan tegangan geser adalah:


𝑠
τ= (31)
F

Gaya geser yang diperlukan adalah:

S=τ.l.1 (32)

Dengan:
s = Tegangan geser
S = Gaya geser
30

Jika persamaan (31) disubstitusikan pada persamaan (32), maka diperoleh:

𝑠 ·𝑙 ·1
S= (33)
𝐹

Atau:
1
S = 𝐹 (s . l) (34)

Dengan mensubstitusi persamaan (27) ke dalam persamaan (33), diperoleh:

1 𝑃𝑤
S =[𝐹 (𝑐´ + { − 𝑢} tan Ø´ ) l] (35)
𝑙

1 𝑃𝑤·l
S =[𝐹 (𝑐´ · 𝑙 + { − 𝑢 · 𝑙} tan Ø´ )] (36)
𝑙

1
S = [𝐹 (𝑐´ · 𝑙 + {𝑃𝑤 − 𝑢 · 𝑙}tan Ø´ )] (37)

Komponen gaya tangensial atau gaya yang bekerja sejajar irisan (Tw) adalah:

Tw = τ . l . 1 (38)

Substitusi persamaan (30) pada persamaan (38) menghasilkan:


𝑠
Tw = l.1 (39)
F

Persamaan (38) identik dengan persamaan (32) sehingga Tw dapat dinyatakan

sebagai:

Tw = S (40)

Dengan memasukkan harga s dari persamaan (37) maka persamaan (40) dapat

dinyatakan kembali menjadi:

1
Tw = [𝐹 (𝑐´ · 𝑙 + {𝑃𝑤 − 𝑢 · 𝑙}tan Ø´ )] (41)

Komponen gaya normal (Pw) yang bekerja pada pusat alas irisan akibat berat

sendiri tanah (W) adalah:

Pw = W · cos α (42)
31

Komponen gaya tangensial (Tw) akibat berat massa tanah adalah:

Tw = W · sin α (43)

Selanjutnya dengan menguji kesetimbangan momen dari seluruh irisan terhadap

titik pusat rotasi yaitu titik O maka diperoleh suatu bentuk persamaan:

∑M = 0 (44)

∑ W · lw − ∑ Tw · R = 0 (45)

Dengan: lw = x = R. sin α

1
Tw =[𝐹 (𝑐´ · 𝑙 + {𝑃𝑤 − 𝑢 · 𝑙}tan Ø´ )] (46)

Dengan memasukkan nilai lw dan Tw ke dalam persamaan (45) diperoleh:

1
Σ W · R sin α - Σ [𝐹 (𝑐´ · 𝑙 + {𝑃𝑤 − 𝑢 · 𝑙}tan Ø´ )] R= 0 (47)

1
Σ W · R sin α = Σ [𝐹 (𝑐´ · 𝑙 + {𝑃𝑤 − 𝑢 · 𝑙}tan Ø´ )] R (48)

1
Σ W · sin α = 𝐹 Σ [(𝑐´ · 𝑙 + {𝑃𝑤 − 𝑢 · 𝑙}tan Ø´ )] (49)

F pada ruas kanan ditukarkan dengan komponen momen l gaya penggerak

longsor yaitu Σ W sin α maka diperoleh suatu persamaan Faktor Keamanan sebagai

berikut:

Σ [(𝑐´ · 𝑙+ {𝑃𝑤−𝑢 · 𝑙}tan Ø´ )]


FK = (50)
Σ W · sin α

Selanjutnya dengan mensubstitusikan besarnya nilai komponen gaya normal

akibat berat tanah (W) pada persamaan (42) ke dalam persamaan (50) maka

diperoleh Persamaan Faktor Keamanan akibat berat tanah (W) sebagai berikut:

Σ [(𝑐´ · 𝑙+ {W · cos α −𝑢 · 𝑙}tan Ø´ )]


FK = (51)
Σ W · sin α
32

Ini merupakan rumus dasar Faktor Keamanan akibat berat sendiri tanah (W)

yang dirumuskan oleh Fellenius yang didapat dengan cara meninjau kesetimbangan

momen seluruh irisan terhadap titik pusat rotasi O.

Nilai Faktor Keamanan ini adalah sama dengan perbandingan antara seluruh

komponen momen penahan longsor dengan momen penyebab longsor untuk

seluruh irisan yang dapat dinyatakan sebagai berikut:

∑ 𝑀𝑜𝑚𝑒𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐿𝑜𝑛𝑔𝑠𝑜𝑟


FMw = ∑ 𝑀𝑜𝑚𝑒𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑎𝑏 𝐿𝑜𝑛𝑔𝑠𝑜𝑟 (52)

(Pangemanan, 2014)

Jika terdapat gaya–gaya selain berat lereng tanahnya sendiri, seperti beban

bangunan di atas lereng, maka momen akibat beban ini diperhitungkan sebagai Md.

Cara ini telah banyak digunakan dalam prakteknya. Karena cara hitungannya yang

sederhana dan kesalahan yang terjadi pada sisi yang aman (Hardiyatmo, 2010).

I. Faktor Pengembangan (Swell Factor)

Material di alam (insitu) ditemukan dalam keadaan padat dan terkonsolidasi

dengan baik, tetapi bila digali atau diberai akan terjadi pengembangan volume.

Perbandingan antara volume alam (insitu) dengan volume berai (loose volume)

dikenal dengan istilah faktor pengembangan/faktor pemuaian/faktor pemekaran

(swell factor).

Faktor pengembangan (SF) dalam % dapat ditentukan berdasarkan

perbandingan volume dan perbangingan densitas, dalam bentuk rumus dapat

dinyatakan sebagai berikut (Londong, 2016):


33

𝐵𝑎𝑛𝑘 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒
Swell Factor (SF) =( ) (53)
𝐿𝑜𝑜𝑠𝑒 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒

Densitas 𝐿𝑜𝑜𝑠𝑒
Swell Factor (SF) =( ) (54)
Densitas 𝐵𝑎𝑛𝑘
34

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian direncanakan berlangsung selama kurang lebih 1 bulan

di PT. Sinar Jaya Sultra Utama. Lokasi PT. Sinar Jaya Sultra Utama secara

administratif berada dalam wilayah Desa Waturambaha, Kecamatan Lasolo,

Kabupaten Konawe Utama, Provinsi Sulawesi Tenggara Negara Republik

Indonesia. Serta, secara geografis perusahaan ini terletak pada koordinat

122°19’36,44”–122°20’30” BT dan 3o23’16,80” LS. Batas-batas lahan yang

digunakan dalam penambangan bijih nikel oleh perusahaan yaitu berbatasan

sebelah Utara dengan Teluk Matarappe, sebelah Selatan dengan Hutan Lindung,

sebelah Barat dengan perairan Laut Teluk Dalam serta sebelah Timur dengan Teluk

Matarappe dan Laut Banda.

Untuk mencapai wilayah penelitian tersebut, jarak tempuh dari Kota Kendari

menuju lokasi penelitian dapat ditempuh melalui jalur darat. Dari Kota Kendari

menuju ibu kota Wanggudu dengan jarak tempuh ± 120 Km dapat ditempuh dengan

waktu ± 3 sampai 4 jam dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda

empat, sedangkan dari ibu kota Wanggudu menuju lokasi penelitian ditempuh

dengan jarak tempuh ± 100 Km waktu sekitar ± 3 jam menggunakan roda dua

maupun roda empat.


35

Gambar 16. Peta Lokasi Penelitian


36

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dan termasuk ke dalam jenis penelitian

kuantitatif. Penelitian ini lebih terarah ke penelitian terapan (Applied Research),

yaitu salah satu jenis penelitian yang bertujuan untuk mengaplikasikan ilmu yang

diperoleh. Pelaksanaan penelitian ini menggunakan data yang didapat dari

perusahaan yang kemudian dikembangkan sesuai dengan tujuan penelitian.

Dimana kegiatan yang dilakukan yaitu meliputi observasi langsung di lapangan

berdasarkan keadaan aktual serta pengambilan data lapangan.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian merupakan instrumen yang

sifatnya membantu penulis dalam proses pengumpulan data dan pengolahan hasil

penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Alat dan Bahan


No Nama Alat Kegunaan Gambar
1. ATK Untuk menulis hasil
pengamatan dilapangan

2. GPS Untuk menentukan titik


kordinat

3. Kamera Untuk dokumentasi


kegiatan pengamatan
lapangan
37

No Nama Alat Kegunaan Gambar


4. Pipa Besi Sebagai alat untuk
mengambil sampel
tanah

5. Palu Sebagai alat untuk


menumbuk pipa besi

6. Scoop Ujung Sebagai alat untuk


Runcing mengeluarkan sampel
tanah dalam pipa besi

7. Selotip Bening Sebagai alat untuk


membungkus sampel
tanah

8. Meteran Sebagai alat untuk


mengukur kedalaman
pengambilan sampel

9. Software Surpac Untuk membuat desain/


6.3 pemodelan disposal

10. Software ArcGIS Untuk membuat peta


10.5

11. Software Untuk pengolahan data


Microsoft Office
Excel 2016
12. Laptop Untuk mengelolah data
dan membuat laporan
38

D. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Studi literatur

Studi literatur merupakan bagian dari kegiatan penelitian yang bertujuan

untuk mengumpulkan, mempelajari dan membaca berbagai sumber pustaka.

Dimana literatur dapat berupa buku terkait judul penelitian, jurnal-jurnal serta

laporan penelitian yang menyangkut masalah yang sama, serta sumber lainnya yang

menunjang dan berhubungan dengan perencanaan desain disposal serta pendalaman

dan pemahaman materi.

2. Pengambilan Data

Pengambilan data penelitian dilakukan dengan melakukan pengumpulan data

primer dan data sekunder. Berdasarkan kegiatan ini akan didapatkan beberapa data

berupa:

a. Data Primer

1) Sampel Tanah

Pengambilan sampel tanah dilakukan secara langsung diarea penelitian

yaitu pada tiga tempat meliputi Blok D, disposal yang sudah ada dan pada pit B2

yang telah mine out dengan menggunakan tabung/pipa besi, sampel tanah yang

akan diambil merupakan sampel tanah tidak terganggu. Dalam pengambilan

sampel tanah tidak lupa dilakukan pengambilan data koordinat. Adapun tahapan

pengambilan sampel tanah, yaitu:


39

a) Permukaan tanah yang akan diambil terlebih dahulu digali untuk

membersihkan bagian yang lapuk dari tanah.

b) Melakukan pengambilan sampel tanah menggunakan tabung/pipa dengan cara

dipukul menggunakan palu besi. Sampel tanah yang dibutuhkan untuk analisis

laborarorium mekanika tanah yaitu ± 30 cm.

Gambar 17. Pengambilan Sampel Tanah

c) Tabung diangkat dengan cara tanah yang berada disekitar tabung digali

melewati kedalaman tabung. Tujuannya untuk mengurangi gangguan pada

sampel tanah yang diambil.

d) Membungkus sampel yang telah diambil tersebut menggunakan selotip bening.

Tujuannya untuk menjaga keaslian sampel tanah yang diambil.

b. Data Sekunder

1) Data Block Model

Data block model digunakan untuk mengetahui dan menghitung volume

overburden dari Blok D.


40

2) Data Topografi

Pengambilan data topografi didapat dari kegiatan survei lapangan yang

dilakukan dengan menggunakan peralatan survei oleh pihak perusahaan.

3) CoG Bijih Nikel Perusahaan

Cut off Grade atau kadar batas terendah yang masih bisa ditolerir. Data ini

merupakan ketentuan kadar batas dari unsur Ni yang telah ditetapkan oleh

perusahaan.

3. Pengujian Laboratorium Mekanika Tanah

Pengujian laboratorium merupakan tahap yang dilakukan setelah

pengambilan data primer yang bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan mekanik

tanah. Pengujian laboratorium mekanika tanah ini meliputi:

a. Sifat Fisik Tanah

Sifat fisik tanah yang dibutuhkan berupa nilai bobot isi tanah (γ). Adapun

prosedur pengujian sifat fisik tanah, yaitu:

1) Peralatan

a) Timbangan yang sesuai dengan cetakan benda uji dengan ketelitian 0,01
gram untuk kapasitas lebih kecil atau sama dengan 500 gram.

b) Cetakan benda uji yang memiliki diameter 6,302 cm dan tinggi 2,019 cm.
2) Cara Uji

a) Mempersiapkan peralatan pengujian, formulir pengujian dan sampel tanah.

b) Menimbang alat cetakan uji


41

Gambar 18. Penimbangan Cetakan

c) Mencetak sampel tanah menggunakan cetakan benda uji dan sampel tanah

diratakan berdasarkan cetakan uji cetakan benda uji.

Gambar 19. Mencetak dan Meratakan Sampel

d) Menimbang cetakan uji beserta benda uji


42

Gambar 20. Penimbangan Benda Uji

b. Sifat Mekanik Tanah

Untuk mengetahui sifat-sifat mekanik tanah maka dilakukan pengujian Uji

Geser Langsung (Direct Shear test). Sifat mekanik tanah yang dibutuhkan berupa

nilai kohesi tanah (c) dan nilai sudut geser dalam (∅). Adapun prosedur pengujian

sifat mekanik tanah, yaitu:

1) Peralatan

a) Kotak geser

b) Cetakan uji

c) Pisau pemotong

d) Batu pori

e) Pelat begerigi

f) Alat pembebanan vertikal

g) Arloji ukur deformasi

h) Alat pengukur waktu


43

2) Cara Uji

a) Cetak benda uji dan meratakan bagian atas dengan bagian bawah dengan

pisau (dapat dilihat pada gambar 19).

b) Memasang baut pengunci agar kotak geser bagian atas dan bawah menjadi

satu, memasukkan pelat bergerigi pada bagian bawah kotak geser dan

diatasnya dipasang batu pori, kemudian dipasang kertas filter.

Gambar 21. Pemasangan Baut Pengunci

c) Masukkan benda uji kedalam kotak geser dengan menggunakan alat

pengeluar benda uji yang ditekan, kemudian pasanga kertas filter, batu pori

dan landasan pembebanan pelat berlubang.


44

Gambar 22. Benda Uji di dalam Kotak Geser

d) Pemasangan rangka pembeban vertikal dengan beban pertama yang

digunakan yaitu 8.280 kg.

Gambar 23. Beban Vertikal

e) Pemasangan arloji ukur diposisikan berada pada posisi nol


f) Tahapan pergeseran benda uji yaitu buka baut pengunci kotak geser agar

bagian atas dan bagian bawah dapat bergeser, disetel cincin pembebanan

agar menempel pada kotak geser, setel arloji berada pada posisi nol, diputar

untuk memulai pergeseran dan dicatat pergeseran tiap waktu 15 detik.


45

Gambar 24. Pembacaan Pergeseran Benda Uji

g) Mengulangi langkah di atas pada sampel tanah yang baru dan beban vertikal

yang lebih besar (16.560 kg dan 24.840 kg).

h) Percobaan dilakukan tiga kali dangan beban vertikal yang berbeda pada tiap

1 tabung sampel tanah.

4. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan setelah semua data penelitian telah didapatkan.

Data tersebut kemudian diolah menggunakan beberapa program/aplikasi. Tahapan

pengolahan data yang dilakukan berupa:

a. Perhitungan volume overburden berdasarkan data block model menggunakan

bantuan software surpac 6.3

b. Perhitungan nilai faktor keamanan lereng pada perencanaan disposal dengan

menggunakan persamaan (41) dengan rumus sebagai berikut.

Σ [(𝑐´ · 𝑙+ {W · cos α −𝑢 · 𝑙}tan Ø´ )]


FK=
Σ W · sin α
46

Keterangan:
FK = Faktor keamanan
c = Kohesi tanah
l = Panjang sisi miring irisan
W = Berat irisan tanah ke – i (W = luas irisan × bobot isi )
∅ = Sudut geser dalam
𝛼 = Sudut kemiringan bidang gelincir pada irisan dasar ke – i

c. Pembuatan model desain disposal dengan menggunakan bantuan software

surpac 6.3
47

E. Bagan Alir Penelitian


Mulai

Studi Literatur

Pengambilan Data

Data Primer Data Sekunder


1. Sampel Tanah Disposal 1. Data Block Model
2. Data Topografi
3. CoG Ni Perusahaan

Pengolahan Data
a. Perhitungan volume overburden berdasarkan data block model
menggunakan bantuan software surpac 6.3
b. Perhitungan nilai faktor keamanan lereng
c. Pembuatan model desain disposal menggunakan bantuan software
surpac 6.3

Analisis Data
a. Analisis volume overburden
b. Analisis faktor keamanan disposal
c. Analisis model desain disposal

Selesai

Gambar 25. Bagan Alir Penelitian


48

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perhitungan Volume Overburden

Perhitungan volume overburden daerah penelitian yaitu pada blok D

dilakukan berdasarkan data hasil pengeboran rinci dengan spasi 25 yang dilakukan

oleh perusahaan. Perhitungan volume overburden tersebut dilakukan dengan

menggunakan bantuan aplikasi pemograman Surpac 6.3. Total volume overburden

dihitung menggunakan metode block model dengan size blok 5 x 5 x 1 m.

Gambar 26. Block Model dari Blok D Tampak Samping

Gambar block model di atas menunjukkan bahwa range kadar Ni dibawah

atau sama dengan 1.39 % merupakan material overburden dan ditandai dengan

warna biru, sedangkan range kadar Ni diatas atau sama dengan 1.40 % merupakan

ore dimana ditandai dengan warna merah muda. Berdasarkan batas kadar rata-rata

minimum Ni (CoG) yang ditetapkan oleh perusahaan sebesar 1.4 % blok D

memiliki total volume overburden sebesar 459.197 m3.


49

B. Penentuan Nilai Faktor Keamanan Lereng Disposal

Nilai dari faktor keamanan lereng merupakan hasil perbandingan antara

kekuatan yang diperlukan dalam menahan dengan gaya dorong yang ada. Jika nilai

faktor keamanan suatu lereng lebih besar daripada nilai faktor keamanan minimum

yang telah disyaratkan, maka lereng tersebut dapat dikategorikan aman. Begitupun

sebaliknya, jika nilai faktor keamanan suatu lereng lebih kecil daripada nilai faktor

keamanan minimum yang telah disyaratkan, maka lereng tersebut dapat

dikategorikan tidak aman.

Penentuan nilai faktor keamanan (FK) dilakukan dengan parameter data

mekanika tanah yang meliputi, bobot isi tanah (γ), kohesi (c), serta sudut geser

dalam (∅). Dimana parameter tersebut diperoleh dari pengambilan sampel tanah.

1. Data Sampel Tanah

Pengambilan sampel tanah bertujuan untuk mengetahui perubahan sifat fisik

dan mekanik tanah pada lereng timbunan disposal. Pengambilan sampel tanah

dilakukan pada 1 titik yaitu pada pit B2 yang merupakan daerah yang direncanakan

sebagai tempat disposal OB dari blok penelitian. Hasil pengambilan sampel tanah

di lapangan dapat dilihat pada tabel 5 berikut.

Tabel 5. Hasil Pengambilan Sampel Tanah


Lokasi Kedalaman
Sampel Tabung
S E Tabung
1 B 03°22’33.3’’ 122°20’04.4’’ 30 cm
50

2. Data Analisis Laboratorium

a. Sifat Fisik Tanah

Pengujian sifat fisik tanah adalah untuk menentukan nilai bobot isi tanah.

Bobot isi tanah dimaksudkan untuk mengetahui perbandingan antara berat tanah

basah dengan volume tanah dalam cetakan. Adapun hasil pengujian nilai bobot isi

tanah dapat dilihat pada tabel 6 dan lampiran 3

Tabel 6. Hasil Pengujian Bobot Isi Tanah


Sampel Tabung Bobot Isi (kN/cm3)
1 B 1,52

b. Sifat Mekanik Tanah

Sifat mekanik tanah dimaksudkan untuk menentukan nilai ketahanan geser

tanah dengan mengubah-ubah tegangan axial pada beberapa sampel.

Pengujian sifat mekanik tanah adalah untuk menentukan nilai kohesi dan sudut

geser dalam. Adapun hasil pengujian sifat mekanik tanah dapat dilihat pada tabel 7

dan lampiran 3

Tabel 7. Hasil Pengujian sifat mekanik tanah


Sampel Tabung Kohesi (kN/cm2) Sudut Geser Dalam (°)
1 B 0,100 28,102

Hasil pengujian sifat mekanik menunjukan bahwa nilai Kohesi dan Sudut

Geser Dalam menunjukan hasil yang relatif sama (lampiran 3). Hasil ini

disimpulkan bahwa pengaruh antar butir material sangat mempengaruhi besar kecil

nilai Kohesi (c) dan Sudut Geser (∅) yaitu semakin halus antar butir material maka

semakin besar nilai Kohesi (c) dan sebaliknya semakin kasar antar butir material

maka semakin besar nilai Sudut Geser (o).


51

3. Menghitung Faktor Keamanan (FK)

Perhitungan faktor keamanan lereng pada lokasi perencanaan disposal

dilakukan berdasarkan data geometri lereng meliputi, tinggi lereng 10 m, lebar berm

8 m, serta sudut lereng 30°, dimana faktor keamanan (FK) dihitung secara manual

menggunakan metode fellenius, sehingga diperoleh hasil perhitungan dapat dilihat

pada tabel 8 berikut.

Tabel 8. Nilai Faktor keamanan (FK)


h l x α Luas Sin Cos W (Luas x W W
Irisan
(m) (m) (m) (°) (m2) (α) (α) Bobot Isi) Sin α Cos α
1 1 1,1 1 -25 0,5 -0,42 0,90 7,453 -3,153 6,753
2 2,3 1,6 1,5 -15 2,475 -0,25 0,96 36,894 -9,556 35,640
3 3 1 1 -10 2,7 -0,17 0,98 40,248 -7,003 39,644
4 4,8 3 3 0 10,8 0 1 160,992 0 160,992
5 5,8 2 2 6 10,5 0,10 0,99 156,520 15,652 154,955
6 6,4 1,5 1,5 11 9 0,19 0,98 134,160 25,490 131,477
7 6,9 1,6 1,5 16 9,825 0,27 0,96 146,458 39,544 140,599
8 7,4 2,1 2 17 14,2 0,29 0,95 211,674 61,386 201,091
9 7,7 1,6 1,5 22 11,475 0,37 0,92 171,054 63,290 157,369
10 8,8 2,3 2 30 15,5 0,5 0,86 231,053 115,526 198,706
11 7,1 1,2 1 35 7,45 0,57 0,81 111,054 63,301 89,954
12 6 1,7 1,3 39 8,515 0,62 0,77 126,930 78,697 97,736
13 4,1 3 2,2 41 11,11 0,65 0,75 165,613 107,648 124,210
14 3 1,5 1 49 3,5 0,75 0,65 52,173 39,130 33,913
15 1,4 2,2 1,5 47 3,225 0,73 0,68 48,074 35,094 32,690
16 0 1,7 1 55 0,7 0,81 0,57 10,435 8,452 5,948
∑ 29,1 633,498 1611,67
52

Keterangan:
h : Tinggi irisan ke-i
l : Jumlah dari luas bangun datar pada irisan ke-i
Luas : Jumlah luas bangun datar pada setiap irisan
x : Lebar irisan ke-i
α : Sudut irisan ke-i

Diketahui:
Tan ∅ : 0,533
Boboi isi tanah (γ) : 1,52 gr/cm3
: 1,52 × 9,807 kN/cm3
: 14,91 kN/cm3
Kohesi tanah (c) : 0,100 kg/cm2
: 0,100 × 98,07 kN/cm2
: 9,8 kN/cm3
Sudut geser dalam (∅) : 20,120°

Σ [(𝑐´ · 𝑙+ {W · cos α − 𝑢 · 𝑙}tan Ø´ )]


FK =
Σ W · sin α

(9,8 · 29,1) + (1611,675 − 0 ) · 0,533


FK =
633,498

285,4 + 859,0225
FK =
633,498

1.144,4225
FK =
633,498

FK = 1,806

Intensitas kelongsoran berdasarkan nilai faktor keamanan (safety factor)

menggunakan metode fellenius (metode irisan biasa) dengan cara perhitungan

manual diperoleh lereng berada dalam kondisi stabil/aman (keruntuhan jarang

terjadi).
53

C. Pemodelan Desain Disposal

Disposal area bertujuan untuk menampung overburden yang telah dikupas di

pit dan nanti akan digunakan lagi untuk proses backfilling. Pemodelan desain

disposal dibuat berdasarkan lokasi tambang dengan area yang sudah mine out atau

dapat disebut dengan area yang sudah tidak dapat lagi ditambang karena

cadangannya yang sudah habis atau tidak ada revenue lagi sehingga sudah dapat

ditimbun.

Perancangan disposal harus sesuai dengan rekomendasi geoteknik agar tidak

terjadi kelongsoran pada tebing disposal. Luas area penambangan yang akan

dilakukan penimbunan sebesar 100.573 m2 atau 10,1 Ha, dengan luasan area

disposal seluas 36.420 m2 atau 3,6 Ha. Lokasi penempatan disposal dapat dilihat

pada gambar 27 dan gambar 28 berikut.

Gambar 27. Topografi Lokasi Disposal


54

Gambar 28. Peta Rancangan Disposal


55

1. Rekomendasi Lereng Disposal

Lereng disposal ini didesain berdasarkan rekomendasi geoteknik dengan

tinggi jenjang 10 m, lebar berm 8 m dan sudut 30°, dimana didapatkan berdasarkan

nilai faktor keamanan (FK) lereng yang telah dihitung sebesar 1,806 pada area pit

B2 yang direncanakan sebagai lokasi penempatan disposal peruntukan overburden

dari blok D.

Gambar 29. Rekomendasi Lereng Disposal

2. Penjadwalan Disposal

Ada satu disposal area yang dirancang untuk menampung overburden,

dimana berdasarkan topografi dan rekomendasi lereng yang telah dianalisis maka

dapat diketahui bahwa tipe/jenis disposal ini yaitu tipe finger disposal. Lokasi

disposal area yang direncanakan terletak pada blok B pit B2 yang telah mine out

dimana berjarak 628 m dari area blok D yang merupakan lokasi material

overburden yang akan dikupas (stripping). Disposal ini terdiri dari 5 bench dengan
56

kapasitas penampungan pada rancangan disposal yakni 468.298 BCM atau 487,810

LCM, yang artinya dapat menampung keseluruhan overburden dari blok D.

Gambar 30. Sequence Penimbunan Overburden

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh grafik rencana

penjadwalan penimbunan overburden seperti di atas. Dari grafik tersebut dapat

diketahui bahwa untuk rencana sequence penimbunan pada lokasi yang telah mine

out, maka akan dilakukan pembuatan sequence penimbunan yang dibagi dalam lima

tahapan, dapat dilihat pada tabel 9 berikut.


57

Tabel 9. Rencana Penimbunan Overburden


Elevasi (mdpl) Kapasitas Timbunan Luas Area
Tahap
From To BCM LCM m2 Ha
1 7 27 74.589 77.697 12,353 1,2
2 27 37 108.065 112.568 17,010 1,7
3 37 47 121.165 126.727 19,195 1,9
4 47 57 101.042 105.252 17,283 1,7
5 57 76 62.944 65.567 13,264 1,3

Tahap pertama rencana penimbunan akan dimulai dari elevasi terendah yaitu

elevasi ke 7 sampai dengan elevasi ke 27 yang memiliki kapasitas timbunan sebesar

74.589 BCM atau 77.697 LCM dengan luas area 12.353 m2/1,2 Ha. Tahap kedua

rencana penimbunan dilakukan dari elevasi ke 27 sampai dengan elevasi ke 37 yang

memiliki kapasitas timbunan sebesar 108.065 BCM atau 112.568 LCM dengan luas

area 17.010 m2/1,7 Ha. Selanjutnya, tahap ketiga rencana penimbunan dilakukan

dari elevasi ke 37 sampai dengan elevasi ke 47 yang memiliki kapasitas timbunan

sebesar 121.658 BCM atau 126.727 LCM dengan luas area 19.195 m2/1,9 Ha.

Tahap keempat rencana penimbunan dilakukan dari elevasi ke 47 sampai

dengan elevasi ke 57 yang memiliki kapasitas timbunan sebesar 101.042 BCM atau

105.252 LCM dengan luas area 17.283 m2/1,7 Ha. Serta terakhir, tahap kelima

rencana penimbunan dilakukan dari elevasi ke 57 sampai dengan elevasi

maksimum ke 76 yang memiliki kapasitas timbunan sebesar 62.944 BCM atau

65.567 LCM dengan luas area 13.264 m2/1,3 Ha.

Data overburden di atas didapatkan dari hasil pemodelan software surpac 6.3

yang volumenya dalam bentuk Bank Cubic Metre (BCM) dan setelah itu harus

dibagi dengan swell factor sebesar 0,96 untuk mengetahui volumenya dalam

keadaan Loose Cubic Metre (LCM). Design disposal baru yang akan diperuntukan
58

untuk penimbunan overburden yang berasal dari blok D PT. Sinar Jaya Sultra

Utama dapat dilihat pada gambar 31 dan gambar 32 berikut.

Gambar 31. Disposal Area Blok D

Gambar 32. Desain Disposal Area pada Pit B2 yang Mine Out
59

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Volume overburden yang akan dikupas pada blok D dan dipindahkan ke area

disposal yaitu sebesar 459.197 BCM/ 478.917 LCM.

2. Faktor keamanan (FK) lereng pada disposal yang direncanakan pada disposal

blok D telah dinyatakan dalam kondisi yang stabil (aman). Nilai faktor

keamanan yang diperoleh dengan cara perhitungan manual menggunakan

metode fellenius yaitu sebesar 1,80.

3. Desain disposal dari blok D terdiri dari lima bench, dimana memiliki luasan area

disposal sebesar 36.420 m2 atau 3,6 Ha, dengan total kapasitas penampungan

timbunan overburden yaitu sebesar 468.298 BCM atau 478.810 LCM.

B. Saran

Adapun saran yang dapat dituangkan pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Pengambilan sampel tanah sebaiknya dilakukan pemboran geoteknik agar

dapat menggambarkan kondisi lapisan tanah dibawah permukaan.

2. Perlu dilakukan pengawasan pada pengerjaan di lapangan untuk hendaknya

mengacu pada apa yang telah dirancang dan direncanakan agar aktifitas

penimbunan material lapisan penutup lebih terarah sesuai dengan banyaknya

overburden yang akan dikupas (stripping).


60

DAFTAR PUSTAKA

Alfat, S., Zulmasri, M. O. L., Asfar, S., Rianse, S. M., Eso, R. 2018. Slope Stability
Analysis Through Variational Slope Geometry using Fellenius Method.
International Seminar on Science and Technology. IOP Conf. Series:
Journal of Physics: Conf. Series 1242-012020.

Fikri, M. A., Bambang, H. 2018. Analisis Stabilitas Lereng Pada Pit Tambang Air
Laya Barat Section C-C’ PT. Bukit Asam Tbk. Sumatera Selatan. Jurnal
Bina Tambang. Vol 3 No. 2

Hardianto, A. A., Bambang, H. 2018. Analisis Rancangan Lereng Disposal Area


Pit D Pada PT. Aman Toebilah Putra Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera
Selatan. Jurnal Bina Tambang, Vol. 4 No. 2. ISSN : 2302-3333

Hardiyatmo, Hary, C., 2010. Mekanika Tanah 2. UGM Press, Yogyakarta.

Irwandy, A. 2016. Geoteknik Tambang. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.


ISBN : 978-602-03-2735-8

Kainthola, A., Verma, D., Gupte, S. S., Singh, T. N. 2011. A Coal Mine Dump
Stability Analysis. A Case Study‖, Int.Jour. Geomaterial, 1, pp. 1-13, 2011

Krahn, J., 2004. Stability Modeling with Slop/W, 1st Edition. Geo-Slope/W
International, Ltd. Canada.

Londong, C., Nurhakim., Dwiatmoko, U. M., Melati, S. 2016. Perencanaan


Disposal Pada Tambang Terbuka Batubara. Jurnal Geosapta, Vol. 2. No.
1. Hal: 49-55

Mulyanti, R. W., Yuliadi., Maryanto., 2016. Analisa Teknis dan Ekonomi Strategi
Short Distance Disposal West Block (Anoa South). Prosiding Teknik
Pertambangan. ISSN : 2460-6499

Nurwaskito, A., Widodo, S., Wicaksono, S. A. 2016. Analisis Faktor Keamanan


Geometri Lereng Disposal dan Mengetahui Jumlah Volume Disposal
Optimal. Jurnal Geomine, Vol. 4. No. 3. Hal: 98

Oggeri, C., Taddeo, M.F., Alberto, G., Raffaele, V. 2019. Overburden Management
in Open Pits: Options and Limits in Large Limestone Quarries.
International Journal of Mining Science and Technology 29. Hal: 218
Pangemanan, M. G. V. 2014. Analisis Kestabilan Lereng dengan Metode Fellenius.
Jurnal Sipil Statik, Vol. 2. No.1 Hal: 37-46. ISSN : 2337-6732
61

Raemaka, L. O., Firdaus., Suryawan, A. 2018. Perencanaan Penjadwalan Produksi


pada Penambangan Bijih Nikel Berdasarkan Target Produksi pada Front
X Blok Selatan PT. Ifishdeco site Tinanggea. Jurnal Riset Teknologi
Pertambangan (J-Ristam) Vol. 1 No. 1. Hal: 43-44. ISSN : 2621-3869

Salinita, S., Agus, N. 2014. Pemodelan Bijih Nikel Laterit Untuk Estimasi
Cadangan Pada PT. Anugerah Tompira Nikel Di Daerah Masama,
Kabupaten Banggai. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Vol. 10 No.
2. Hal 54.

Sarma, K. S. 2014. Stability Analysis of Embankments and Slopes. Geotechnique


23, No.3, pp. 423-433

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara

Wesley, D. L. 2009. Fundamentals of Soil Mechanics for Sedimentary and Residual


Soils. Copyright John Wiley & Sons, Inc. Hoboken, New Jersey.
ISBN : 978-0-470-37626-3

Wyllie, C. D., Mah, W. C. 2005. Rock Slope Engineering-Civil and Mining 4th
Edition. Spon Press Taylor & Francis Group. London, New York.
ISBN : 0-203-49908-5
62

LAMPIRAN
63

LAMPIRAN 1

PERHITUNGAN VOLUME OVERBURDEN BLOK D

1. Hasil report volume material overburden pada blok D

Tabel 8. Volume material pada blok D


Volume Tonase Ni Fe
Material
(m3) (Ton) (%) (%)
Overburden 459.197 780.634,9 1,29 41,30
Ore 666.359 1.059.510,81 1,68 31,72
Sub Total 1.125.556 1.840.145,71 1,52 35,63
Sumber: Block Model Blok D

2. Hasil report volume material overburden pada tahap penimbunan disposal

Tabel 9. Volume overburden pada tahapan penimbunan disposal


Cut Avg. Cut Avg. Fill Nett Nett
From To Fill Vol
Vol Area Area Vol Tonnage
(Mdpl) (Mdpl) 3 2 (m3)
(m ) (m ) (m3) (m3) (m3)
57 76 116 22 61352 6335 62944 107004.8
47 57 181 18 101223 10122 101042 171771.4
37 47 4 0 121661 12166 121658 206818.6
27 37 37 4 108102 10810 108065 183710.5
7 27 1 0 74591 5738 74589 126801.3
428 468,725 470,006 799,010
Sumber: Rancangan Disposal
64

LAMPIRAN 2

PERHITUNGAN SWELL FACTOR

1. Faktor pengembangan (swell factor) dapat ditentukan berdasarkan

perbandingan densitas menggunakan persamaan berikut.

𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐿𝑜𝑜𝑠𝑒
SF =
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐵𝑎𝑛𝑘

1,63
SF =
1,7

SF = 0,958

SF = 0,96

Sehingga, % Swell factor dapat diperoleh sebagai berikut.

% SF = 0,96 × 100 %

% SF = 96 %

2. Volume overburden dari kondisi bank diubah menjadi loose diperoleh dengan

cara seperti di bawah:

a. Volume total overburden blok D

Volume OB (BCM)
Volume OB (LCM) =
SF

459.197
Volume OB (LCM) =
0,96

Volume OB (LCM) = 478.917


65

b. Kapasitas timbunan disposal

Tabel 10. Volume Timbunan Overburden


Kapasitas Timbunan
BCM SF LCM
74.589 77.697
108.065 112.568
121.165 0,96 126.727
101.042 105.252
62.944 65.567
66

LAMPIRAN 3

HASIL PENGUJIAN LABORATORIUM MEKANIKA TANAH

1. Hasil Pengujian Sifat Fisik Tanah

Pengujian sifat fisik tanah yang dilakukan dengan tujuan untuk menentukan

nilai bobot isi tanah. Adapun nilai bobot isi tanah secara keseluruhan dapat dilihat

pada tabel 11 berikut.

Tabel 11. Hasil pengujian bobot isi tanah


Diameter Tinggi Volume Berat Berat Bobot
Sampel Tabung conto conto conto conto + ring Isi (γ)
(cm) (cm) (cm3) ring (gr) (gr) gr/cm3
1 B 6,302 2,019 62,945 124,100 28,430 1,520
2 C 6,302 2,019 62,945 131,630 28,430 1,640
3 D1 6,302 2,019 62,945 130,875 28,430 1,627
4 D2 6,302 2,019 62,945 131,560 28,430 1,638

2. Hasil Pengujian Sifat Mekanik Tanah

Pengujian sifat mekanik tanah dilakukan dengan tujuan untuk menentukan

nilai kohesi (c) dan nilai sudut geser dalam tanah (ϕ). Untuk menentukan nilai

tersebut dilakukan pengujian direct shear. Adapun nilai kohesi (c) dan sudut geser

dalam tanah (ϕ) dapat dilihat pada tabel 12 berikut.

Tabel 12. Hasil pengujian sifat mekanik tanah


Sampel Tabung Kohesi (c) gr/cm2 Sudut Geser Dalam 𝛟 (º)
1 B 0,100 28,102
2 C 0,130 27,112
3 D1 0,115 28,885
4 D2 0,124 26,839
67

3. Hasil Scan pengujian laboratorium mekanika tanah Dinas Sumberdaya Air dan

Bina Marga Prov. Sulawesi Tenggara

Gambar 33. Hasil pengujian laboratorium mekanika tanah Dinas Sumberdaya Air dan
Bina Marga Prov. Sulawesi Tenggara
68

Gambar 34. Hasil pengujian laboratorium mekanika tanah Dinas Sumberdaya Air dan
Bina Marga Prov. Sulawesi Tenggara
69

Gambar 35. Hasil pengujian laboratorium mekanika tanah Dinas Sumberdaya Air dan
Bina Marga Prov. Sulawesi Tenggara
70

Gambar 36. Hasil pengujian laboratorium mekanika tanah Dinas Sumberdaya Air dan
Bina Marga Prov. Sulawesi Tenggara
71

Gambar 37. Hasil pengujian laboratorium mekanika tanah Dinas Sumberdaya Air dan
Bina Marga Prov. Sulawesi Tenggara
72

LAMPIRAN 5

PERHITUNGAN LUAS IRISAN FAKTOR KEAMANAN LERENG

Nilai luas irisan pada perhitungan manual faktor keamanan dengan sudut

lereng 30° dapat dilihat pada tabel 13 berikut.

Tabel 13. Nilai Luas irisan dengan sudut lereng 30°


Irisan Luas Bangun 1 (m2) Luas Bangun 2 (m2) Luas Bangun 3 (m2) L-Total (m2)
1 1
L1 = × 0,5 × 1 L2 = × 0,5 × 1
1 2 2 - 0,5
L1 = 0,25 L2 = 0,25
1 1
L1 = × 0,4 × 1,5 L2 = 1,5 × 1 L3 = × 0,9 × 1,5
2 2 2 2,475
L1 = 0,3 L2 = 1,5 L3 = 0,675
1 1
L1 = × 0,2 × 1 L2 = 2,3 × 1 L3 = × 0,6 × 1
3 2 2 2,7
L1 = 0,1 L2 = 2,3 L3 = 0,3
1
L1 = × 1,2 × 3 L2 = 3 × 3
4 2 - 10,8
L1 = 1,8 L2 = 9
1 1
L1 = × 0,3 × 2 L2 = 4,5 × 2 L3 = × 1,2 × 2
5 2 2 10,5
L1 = 0,3 L2 = 9 L3 = 1,2
1 1
L1 = × 0,3 × 1,5 L2 = 5,4 × 1,5 L3 = × 0,9 × 1,5
6 2 2 9
L1 = 0,225 L2 = 8,1 L3 = 0,675
1 1
L1 = × 0,4× 1,5 L2 = 5,9 × 1,5 L3 = × 0,9 × 1,5
7 2 2 9,825
L1 = 0,3 L2 = 8,85 L3 = 0,675
1 1
L1 = × 0,6 × 2 L2 = 6,2 × 2 L3 = × 1,2 × 2
8 2 2 14,2
L1 = 0,6 L2 = 12,4 L3 = 1,2
1 1
L1 = × 0,6 × 1,5 L2 = 6,9 × 1,5 L3 = × 0,9 × 1,5
9 2 2 11,475
L1 = 0,45 L2 = 10,35 L3 = 0,675
1 1
L1 = × 1,1 × 2 L2 = 6,6 × 2 L3 = × 1,2 × 2
10 2 2 15,5
L1 = 1,1 L2 = 13,2 L3 = 1,2
1
L1 = × 0,7 × 1 L2 = 7,1 × 1
11 2 - 7,45
L1 = 0,35 L2 = 7,1
73

Irisan Luas Bangun 1 (m2) Luas Bangun 2 (m2) Luas Bangun 3 (m2) L-Total (m2)
1
L1 = × 1,1 × 1,3 L2 = 6 × 1,3
12 2 - 8,515
L1 = 0,715 L2 = 7,8
1
L1 = × 1,9 × 2,2 L2 = 4,1 × 2,2
13 2 - 11,11
L1 = 2,09 L2 = 9,02
1
L1 = × 1 × 1 L2 = 3 × 1
14 2 - 3,5
L1 = 0,5 L2 = 3
1
L1 = × 1,5 × 1,5 L2 = 1,4× 1,5
15 2 - 3,225
L1 = 1,125 L2 = 2,1
1
L1 = × 1 × 1,4
16 2 - - 0,7
L1 = 0,7

Anda mungkin juga menyukai