Anda di halaman 1dari 21

UNIVERSITAS INDONESIA

TREN DAN ISU KESEHATAN JIWA PADA KLIEN ABK,


KDRT, NARAPIDANA, DAN NAPZA

MAKALAH

KELAS D

KELOMPOK 2

Apridina Syahira 1706038696

Destia Anggraini R 1706977986

Hasna Nida 1606918742

Linda Rosa Arlina 1706038821

Nanda Thalia Prayogi 1706039351

Rizky Fadilah 1706978332

Wahyu Ning Tias 1706978446

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

DEPOK

2019

i
ABSTRAK

Kesehatan mental merupakan sebuah kondisi dimana individu terbebas dari segala
bentuk gejala-gejala gangguan mental. Individu yang sehat secara mental dapat
berfungsi secara normal dalam menjalankan hidupnya khususnya saat
menyesuaikan diri untuk menghadapi masalah-masalah yang akan ditemui
sepanjang hidup seseorang dengan menggunakan kemampuan pengolahan stres.
Kesehatan mental merupakan hal penting yang harus diperhatikan selayaknya
kesehatan fisik. Diketahui bahwa kondisi kestabilan kesehatan mental dan fisik
saling mempengaruhi. Gangguan kesehatan mental bukanlah sebuah keluhan yang
hanya diperoleh dari garis keturunan. Tuntutan hidup yang berdampak pada stress
berlebih akan berdampak pada gangguan kesehatan mental yang lebih buruk.
Trend dan issue keperawatan adalah sesuatu yang sedang dibicarakan banyak
orang mengenai praktek keperawatan baik itu berdasarkan fakta ataupun tidak,
dan tentunya menyangkut tentang aspek legal dan etik dalam keperawatan.

Kata kunci: isu, jiwa, kelompok, keperawatan, rentan, trend.

ii
DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar belakang .......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3. Tujuan ....................................................................................................... 2
1.4. Sistematika Penulisan ............................................................................... 2
BAB II ISI ............................................................................................................... 3
2.1. Trend dan Issue pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) .......................... 3
2.2. Trend dan Issue pada KDRT ....................................................................... 4
2.2.1. Trend dan Issue pada Klien KDRT Fisik.............................................. 5
2.2.2. Trend dan Issue pada Klien KDRT Seksual ......................................... 6
2.2.3. Trend dan Issue pada Klien KDRT Psikologis ...................................... 8
2.2.4. Trend dan Issue pada Klien KDRT Penelantaran Rumah ..................... 9
2.3. Trend dan Issue pada Narapidana............................................................... 10
2.4. Trend dan Issue pada NAPZA .................................................................... 12
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 14
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 14
3.2 Saran ............................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Setiap individu berpotensi untuk mengalami gangguan jiwa dan potensi ini
dapat meningkat pada kelompok-kelompok tertentu. Pembangunan sumberdaya
kesehatan jiwa dan peningkatan orang dengan gangguan jiwa yang tidak
sebanding mengindikasikan bahwa tindakan preventif perlu dilakukan untuk
mencegah peningkatan angka ODGJ baru (Andina, 2013). Dalam masalah
kesehatan jiwa, upaya preventif menjadi sangat penting karena individu yang
sudah mengalami onset sulit untuk pulih sepenuhnya seperti pada kondisi sebelum
onset. Oleh karena itu, kelompok yang rentan mengalami gangguan jiwa perlu
diprioritaskan dalam upaya preventif peningkatan angka ODGJ baru. Sebelum
melakukan tindakan pada kelompok yang rentan mengalami gangguan jiwa,
perawat perlu mengikuti dan mengetahui trend dan isu yang sedang berkembang
mengenai kelompok rentan. Kelompok rentan mengalami gangguan jiwa yang
dimaksud diantaranya adalah anak dengan kebutuhan khusus, korban kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), narapidana, dan pengguna NAPZA. Tulisan ini
akan membahas mengenai trend dan isu kesehatan jiwa pada anak dengan
kebutuhan khusus, korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), narapidana,
dan pengguna NAPZA.

1.2. Rumusan Masalah

- Apa sajakah tren isu keperawatan kesehatan jiwa pada anak dengan kebutuhan
khusus?
- Apa sajakah tren isu keperawatan kesehatan jiwa pada korban kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT)?
- Apa sajakah tren isu keperawatan kesehatan jiwa padapada narapidana?
- Apa sajakah tren isu keperawatan kesehatan jiwa pada penggunan NAPZA?

1
1.3. Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memamparkan trend dan isu


kesehatan dan keperawatan jiwa pada klien dari kelompok yang rentan mengalami
gangguan jiwa seperti anak dengan kebutuhan khusus, korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT), narapidana, dan pengguna NAPZA.
Tujuan khusus makalah ini, antara lain:
- Mengetahui trend dan isu kesehatan dan keperawatan jiwa pada anak dengan
kebutuhan khusus.
- Mengetahui trend dan isu kesehatan dan keperawatan jiwa pada korban
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
- Mengetahui trend dan isu kesehatan dan keperawatan jiwa pada narapidana.
- Mengetahui trend dan isu kesehatan dan keperawatan jiwa pada penggunan
NAPZA.

1.4. Sistematika Penulisan

Penulisan makalah ini dibuat dengan menggunakan metode studi literatur


review yang berkaitan dengan trend dan isu kesehatan dan keperawatan jiwa pada
klien dari kelompok yang rentan mengalami gangguan jiwa. Sumber literatur
kepustakaan yang digunakan diantaranya adalah bahan acuan pembelajaran
keperawatan jiwa, buku, dan artikel jurnal online. Penyusunan makalah dilakukan
oleh seluruh anggota kelompok dengan pembagian tugas yang sama dalam
pencarian literatur kepustakaan.

2
BAB II

ISI

2.1. Trend dan Issue pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Anak berkebutuhan khusus saat ini menurut penelitian mengalami


peningkatan bukan saja di negera berkembang namun di negara maju anak dengan
kebutuhan khusus juga meningkat. Salah satu negara tersebut ialah Amerika,
berdasarkan laporan "Changing Trends of Childhood Disability, 2001-2011",
jumlah anak Amerika yang berkebutuhan khusuh meningkat sebanyak 16%
selama 10 tahun. Selain cacat fisik, disabilitas yang semakin meningkat adalah
ADHD dan autisme.
Pada tahun 2008 CDC atau Centers for Disease Control and Prevention juga
merilis sebuah studi yang menunjukkan lonjakan pada ADHD dan
ketidakmampuan untuk belajar pada anak berkebutuhan khusus, dan pada tahun
2015 CDC merilis laporan lain yang mengatakan jika 1 dari 68 anak di Amerika
memiliki autis spectrum disorder atau autis meningkat 30 % dari dua tahun lalu.
Tren dan Issue terkini lainnya pada anak berkebutuhan khusus yaitu peran
pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, seperti yang diketahui anak
berkebutuhan khusus juga sangat membutuhkan pendidikan untuk meningkatkan
kemampuan dan keahlian yang mereka miliki, namun tidak jarang mereka sering
dipandang sebelah mata oleh pendidikan yang ada. Oleh karena itu, pada saat ini
pendidikan mulai gencar mendirikan sekolah yang membuat penyandang
disabilitas dapat bersekolah layaknya sekolah umum. Salah satu pendidikan
tersebut ialah pendidikan insklusif.
Di Indonesia pendidikan Inslusif telah diatur dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 tentang
pendidikan insklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istemewa. Dalam peraturan ini, yang dimaksud
dengan pendidikan insklusif yaitu sistem penyelenggaraan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan

3
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan
atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidika secara bersama-sama dengan
peserta didik pada umumnya. Meskipun demikian, pendidikan inklusif juga
memiliki beberapa tantangan dalam praktik di sekolah. Menurut Richard Rieser
(2000) dalam esai Special Educational Needs or Inclusive Education: The
Challenge of Disability Discrimination in Schooling mengungkapkan di negara
Inggris pun praktik pendidikan inklusif tidaklah mudah. Pendidikan Insklusif
memiliki banyak hambatan dari lingkungan yang tidak ramah dan menyulitkan
anak-anak difabel belajar.
Hambatan-hambatan tersebut diantaranya yaitu hambatan fisik, komunikasi,
sosial, dan kurikulum. Hambatan fisik, contohnya ketika tata arsitektural gedung
sekolah dan media pembelajaran yang mungkin tidak aksesibel untuk anak
difabel. Hambatan komunikasi seperti tidak adanya pemahaman mengenai
kebutuhan akan bahasa isyarat dan huruf braille. Hambatan dalam membangun
pertemanan, seperti yang kita ketahui anak difabel cenderung kesulitan berteman,
sehingga senantiasa dijauhi dan terisolasi dari anak yang lain. Banyak kasus
terjadi di sekolah-sekolah inklusi ketika anak difabel menjadi bahan olok-olok dan
menjadi bahan bullying di sekolah mereka. Terakhir, tantangan yang paling sering
terjadi adalah kurikulum. Saat ini, kurikulum di sekolah inklusi seperti materi,
metode, dan sistem evaluasi belajar masih diskriminatif terhadap anak-anak
difabel.

2.2. Trend dan Issue pada KDRT

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah masalah serius yang


berpengaruh pada jutaan orang di seluruh dunia (Phillips, Dunkley, Muller, &
Lorimer, 2015). Kekerasan ini merupakan hasil amarah ekstrim ataupun ketakutan
(Stuart, 2013). Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004, kekerasan dalam rumah
tangga ialah setiap perbuatan terutama terhadap perempuan, menimbulkan
kesengsaraan ataupun penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran terrmasuk ancaman dalam melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan yang melawan hukum di lingkup rumah tangga
(Presiden Republik Indonesia, 2004).

4
2.2.1. Trend dan Issue pada Klien KDRT Fisik

Kekerasan fisik merupakan segala bentuk cedera fisik baik langsung atau tidak
langsung, termasuk dalam memukul, menampar, mendorong, menyambar,
mencubit, menggigit, mencabut rambut, dll (Stuart, 2013). Selain itu, juga
termasuk meninju, mencekik, melempar benda, menghancurkan benda, merusak
properti, menyerang anak-anak dan melukai hewan peliharaan. (Morgan &
Chadwick, 2009). Penyebab KDRT ialah ketidaksetaraan gender,
ketidakseimbangan kekuasaan, dan perilaku mengendalikan dalam suatu
hubungan (Phillips et al., 2015). Pada masa 5 tahun usia pernikahan rawan terjadi
konflik dalam rumah tangga sehingga menimbulkan kekerasan dalam rumah
tangga (Wardani, Keliat, & Nuraini, 2012).
Setiap tahunnya, angka KDRT terus meningkat. Berdasarkan WHO tahun
2002, angka kekerasan tumah tangga antara 40-60% perempuan meninggal kerena
pembunuhan yang umumnyadilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri, dan
terus meningkat dari tahun 2001 hingga 2008 (Wardani et al., 2012). Dilanjutkan
oleh WHO tahun 2013 bahwa 35% wanita secara global telah mengalami
kekerasan pasangan intim atau non-pasangan secara fisik atau seksual. Selain itu,
38% pembunuhan wanita dan 6% pembunuhan pria di seluruh dunia dilakukan
oleh pasangan intimnya (Phillips et al., 2015). Kekerasan dalam rumah tangga
dikaitkan dengan kasus-kasus kekerasan fisik yang terjadi dalam hubungan intim
dan lingkungan rumah tangga (Morgan & Chadwick, 2009).Kira-kira satu dari
tiga perempuan Australia telah mengalami kekerasan fisik selama hidupnya
(Morgan & Chadwick, 2009). Survei Keselamatan Pribadi tahun 2012 oleh
Australian Bureau of Statistics (Phillips et al., 2015), menyatakan:
 49% pria dan 41% wanita berusia 18 tahun ke atas telah mengalami
beberapa bentuk kekerasan sejak usia 15 tahun
 62% perempuan dan 8 % laki-laki mengalami insiden penyerangan
fisik terakhir oleh laki-laki di rumah mereka
Kekerasan fisik yang terjadi di Indonesia terus meningkat, pada umumnya
terjadi pada istri dan anak. Berdasarkan Komnas Perempuan tahun 2015, jumlah

5
korban KDRT tahun 2013 terdapat 11.719 kasus, 22.512 kasus di tahun 2014 dan
25.522 kasus di tahun 2015 (Wardhani, 2017). Dalam kekerasan fisik di tahun
2018 didominasi terhadap istri 5.167 kasus dan anak 2,227 kasus, di ranah publik
atau komunitas mencapai 13% (466 kasus) dimana pelaku dan korban tidak
memiliki hubungan kekerabatan dan di ranah privat /personal 41% (3.982 kasus)
dimana pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah, kekerabatan,
perkawinan, ataupun relasi intim dengan korban (Komnas Perempuan, 2018).
Sedangkan, didaptkan persentase mengenai persepsi membenarkan suami
dalam memukul istri ialah terendah sebanyak 7% di Bosnia / Herzegovina dan
Jamaika hingga di 86% di Sierra Leone (mean 47% di seluruh negara), 23% dari
wanita seluruh negara percaya perlu menggunakan hukuman fisik untuk
membesarkan anak-anak dengan baik (5% di Montenegro hingga 57% di Sierra
Leone) dengan 58% mengalami kekerasan fisik dan 15% kekerasan fisik yang
parah (Lansford, Deater-deckard, Bornstein, Putnick, & Bradley, 2014).Masalah
lain yang ditemukan ialah keengganan korban dalam melapor. Laporan insiden
tidak dilakukan(Phillips et al., 2015), disebabkan oleh:
 Ketakutan pada pelaku,
 Takut tidak dipercaya atau disalahkan,
 Perasaan bingung, malu,
 Ketakutan secara psikologis,
 Tidak mau mengakui terjadinya insiden, dan
 Sikap masyarakat.

2.2.2. Trend dan Issue pada Klien KDRT Seksual

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan


seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): (a) Pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang
dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu

6
Setiap tahun, CATAHU selalu mencatat kekerasan terhadap perempuan dalam
3 ranah yakni: A) Ranah Personal/Privat. Artinya pelaku adalah orang yang
memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan,
perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. B) Ranah
Publik/Komunitas. Jika pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan,
darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru,
teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal. C)Ranah
Negara. Artinya pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas.
Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan,
aparat negara berada di lokasi kejadian, namun tidak berupaya untuk
menghentikan atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut.
Ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan
ditangani selama tahun 2017, yang terdiri dari 335.062 kasus bersumber pada data
kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama, serta 13.384 kasus yang
ditangani oleh 237 lembaga mitra pengadalayanan, tersebar di 34 Provinsi.
Komnas Perempuan mengirimkan 751 lembar formulir kepada lembaga mitra
pengadalayanan di seluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian
mencapai 32%, yaitu 237 formulir. Data Pengadilan Agama (PA) sejumlah
335.062 adalah kekerasan terhadap istri yang berujung pada perceraian.
Sementara dari 13.384 kasus yang masuk dari lembaga mitra pengadalayanan,
kekerasan yang terjadi di ranah privat/personal tercatat 71% atau 9.609 kasus.
Ranah publik/komunitas 3.528 kasus (26%), dan ranah negara 247 kasus (1,8%).
Dalam Ranah privat/ personal kekerasan seksual 31% (2.979 kasus). Untuk
kekerasan seksual di ranah privat/personal tahun 2018, incest (pelaku orang
terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga) merupakan kasus yang paling
banyak dilaporkan yakni sebanyak 1.210 kasus, kedua adalah kasus perkosaan
sebanyak 619 kasus, kemudian persetubuhan/eksploitasi seksual sebanyak 555
kasus. Dari total 1.210 kasus incest, sejumlah 266 kasus (22%) dilaporkan ke
polisi, dan masuk dalam proses pengadilan sebanyak 160 kasus (13,2%). Catatan
tahunan 2018 komnas perempuan juga menemukan bahwa pelaku kekerasan
seksual tertinggi di ranah privat/personal adalah pacar sebanyak 1.528 orang,
diikuti ayah kandung sebanyak 425 orang, kemudian diperingkat ketiga adalah

7
paman sebanyak 322 orang. Banyaknya pelaku ayah kandung dan paman selaras
dengan meningkatnya kasus incest. Ranah Publik/ Komunitas Kekerasan di ranah
publik mencapai angka 3.528 kasus (26%), di mana kekerasan seksual menempati
peringkat pertama sebanyak 2.670 kasus (76%). Ada 3 jenis kekerasan yang
paling banyak pada kekerasan seksual di ranah komunitas adalah pencabulan (911
kasus), pelecehan seksual (708 kasus), dan perkosaan (669 kasus). Ranah Negara
di ranah (yang menjadi tanggung jawab) Negara, dari sebanyak 247 kasus adalah
kasus kriminalisasi dalam konflik sumber daya alam, termasuk diantaranya
penggusuran di wilayah Bali, Jawa Barat, Jakarta, dan Sulawesi Selatan.

2.2.3. Trend dan Issue pada Klien KDRT Psikologis

Tindak kekerasan non-fisik atau psikologis sulit untuk ditemukan. Hal ini
terjadi karena tindakan psikis hanya dapat dirasakan langsung oleh sang korban,
sedangkan pada tindak kekerasan fisik bukan hanya mampu dirasakan korban,
melainkan juga dapat dilihat oleh siapa saja (Ishar, 2017). Kekerasan psikologis
merupakan jenis kekerasan yang mengarah pada serangan terhadap mental atau
psikologis seseorang, sehingga menimbulkan adanya perasaan tertekan, stres,
ataupun penyakit didalam hati lainnya (Hasan, 2011). Selain itu, kekerasan
psikologis dapat mengakibatkan ketakutan atau trauma, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya atau
penderitaan psikologis pada korban (Novirianti, D., Umar, P. F., & Soetono, B.,
2018).
Kekerasan terhadap psikis paling banyak dilaporkan kepada lembaga-lembaga
pendamping (Abdul & Azizah, 2008). Bahkan, hal tersebut banyak digunakan
oleh salah satu pihak di keluarga dalam mengajukan cerai gugat. Berbagai
ucapan-ucapan kotor yang menyakitkan, penghinaan, ancaman, dan bentakan
seringkali diberikan pada korban perempuan sebagai bentuk pelampiasan yang
mungkin saja disebabkan permasalahan diluar rumah tangga. Menurut Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat bahwa terjadi
peningkatan pada tindak kekerasan dengan korban perempuan hingga mencapai
321.752 kasus yang berhasil dilaporkan dan ditangani oleh berbagai lembaga
mitra pelayanan pada tahun 2015. Berdasarkan sumber data yang didapatkan

8
sebanyak 305.535 kasus bersumber dari data kasus yang behasil ditangani oleh
359 pengadilan agama, dan 16.217 kasus bersumber dari data kasus yang berhasil
ditangani oleh 232 lembagai mitra pengada layanan (Hariti, 2018).
Kekerasan bukan hanya dapat terjadi pada perempuan, melainkan siapa saja
dapat mengalaminya. Namun, fakta menunjukkan kekerasan psikologis terhadap
perempuan paling sering terjadi dibandingkan dengan kekerasan terhadap laki-
laki. Kekerasan psikologis terhadap perempuan di Indonesia merupakan tindak
kekerasan dengan persentase tertinggi ketiga yaitu 23 % dengan 2,6 ribu kasus
setelah kekerasan fisik 38% sebanyak 4,3 ribu kasus dan seksual 30% sebanyak
3,3 ribu kasus. Banyaknya kasus kekerasan di Indonesia menjadi salah satu hal
miris yang membuktikan bahwa hak masyarakat Indonesia untuk hidup aman dan
nyaman belum sepenuhnya merata. Maka dari itu, perlu adanya sebuah kesadaran
bagi para korban ataupun keluarga dalam memberikan pelaporan kepada lembaga
pendamping mengenai tindak kekerasan yang dialaminya. Pelayanan dan
perlindungan terhadap korban KDRT dilakukan dengan adanya kerjasama dari
pihak pemerintah, masyarakat atau lembaga sosial dalam mendampingi korban.
Selain itu, proses pendampingan juga dapat dilakukan oleh relawan pendamping,
advokat, pekerja sosial, tenaga kesehatan, pembimbing rohani dalam setiap proses
pemeriksaan mulai dari kepolisian hingga persidangan.

2.2.4. Trend dan Issue pada Klien KDRT Penelantaran Rumah

Penelantaran merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga


(KDRT) menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga. Menurut UU No. 23 Tahun 2004, penelantaran yang dimaksud
mencakup tidak memberikan kehidupan, perawatan, pemeliharaan, dan
kemandirian ekonomi seperti melarang bekerja sedangkan lingkup rumah tangga
yang dimaksud diantaranya adalah suami, isteri, anak, orang yang memiliki
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga (Republik Indonesia, 2004). Hal ini menunjukkan
bahwa UU Penghapusan KDRT memiliki ruang lingkup yang cukup luas hingga
melingkupi anggota keluarga lainya yang tinggal dalam satu atap seperti orangtua

9
atau saudara dari pasangan suami istri tersebut bahkan asisten rumah tangga yang
bekerja dan tinggal dalam rumah yang sama.
KDRT penelantaran merupakan kekerasan yang umumnya terjadi dalam ranah
privat atau personal. Pada tahun 2016, sebanyak 971 kasus (9%) dari 11.207 kasus
KDRT yang didapatkan oleh Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan
merupakan kekerasan ekonomi (Komnas Perempuan, 2016).Angkat tersebut
meningkat pada tahun 2017. Pada tahun 2017, sebanyak 978 kasus (10%) dari
10.205 kasus kekerasan dalam ranah privat merupakan kekerasan ekonomi
(Komnas Perempuan, 2017).Pada tahun 2018, sebanyak 1.244 kasus (13%) dari
9.609 kasus kekerasan di ranah privat adalah kasus kekerasan ekonomi (Komnas
Perempuan, 2018). Data tersebut menunjukkan bahwa kasus KDRT penelantaran,
berdasarkan data yang dihimpun oleh Lembaga layanan mitra Komnas
Perempuan, cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data tersebut
merupakan data kasus yang dapat dihimpun berdasarkan laporan dan tidak
menutup kemungkinan bahwa masih banyak kasus yang belum terhimpun
sehingga jumlah sebenarnya dapat lebih tinggi lagi dari data yang sudah
terhimpun.

2.3. Trend dan Issue pada Narapidana

Narapidana atau seseorang yang tinggal di lembaga permasyarakatan memiliki


keterbatasan dalam ruang gerak dan terisolasi dari masyarakat. Berbagai
permasalahan akibat keadaan ini dapat mempengaruhi kondisi kesehatan mental
bagi narapidana. Lebih dari 10 juta orang di dunia berada di lapas. Indonesia
merupakan negara ke 3 dengan jumlah napi terbanyak di Asia pada tahun 2018
sebanyak 248.765 orang dengan sebelumnya 161.692 pada tahun 2015
(Walmsley, 2018). Hal ini menjadikan kesehatan mental menjadi isu yang
memerlukan perhatian dalam kehidupan di lapas. Narapidana dikatakan memiliki
risiko tinggi untuk mengalami beberapa masalah kesehatan mental (Fazel, Hayes,
Bartellas, Clerici, & Trestman, 2016). Lapas sendiri merupakan lingkungan baru
bagi seseorang, dimana terjadi kehilangan otonomi, keterbatasan ruang gerak,
berkumpul dengan orang-orang yang tidak diinginkan sehingga secara akumulatif
menjadi stressor yang menekan (Charlotte & Jane, 2012).

10
Kehidupan yang dijalani narapidana di lapas mengalami perubahan yang
signifikan bagi dirinya. Hal ini disebabkan karena adanya rasa takut dan
kekhawatiran tinggi yang ditimbulkan dari anggapan adanya pemukulan,
penyiksaan, dan fasilitas yang minim di lapas. Selain itu, adanya stigma yang
akan terus melekat pada individu tersebut walau ia sudah terbebas dari masa
hukumannya. Proporsi dari permasalahan kesehatan mental yang ditimbulkan,
diantaranya dimulai dari bentuk depresi ringan hingga penyakit psikotik dan
gangguan kepribadian yang parah (Prisons & Probation Ombudsman, 2016).
Sebuah penelitian dilakukan terkait dengan prevalensi narapidana dengan
masalah kesehatan. Survei dilakukan pada tahun 2005 dan 2006 pada narapidana
dewasa di Inggris yang telah dijatuhi hukuman 4 tahun. Hasil tersebut ditemukan
bahwa 61% mengalami gangguan kepribadian, 10% gangguan psikotik, dan lebih
dari sepertiga menunjukkan gejala kecemasan. Selain itu, 21% melaporkan
bahwa narapidana memerlukan bantuan atau dukungan terkait kesehatan mental
mereka (Prisons & Probation Ombudsman, 2016). Selain itu, narapidana juga
mengalami penurunan harga diri. Hal ini dikarenakan kehilangan identitas diri
akibat perubahan dalam kehidupan di lapas dengan menjalani aturan yang telah
diterapkan. Narapidana juga akan selalu merasa dicurigai dan tidak dapat
melakukan sesuatu karena selalu merasa diawasi oleh petugas lapas sehingga
harga dirinya menjadi rendah (Muhith, 2015).
Narapidana termasuk kelompok yang rentan untuk mengalami masalah
kesehatan mental, bahkan menjadi seorang narapidana sendiri merupakan stressor
yang berat dalam kehidupannya. Perasaan sedih yang dialami narapidana karena
mendapatkan hukuman, seperti rasa malu, kehilangan kebebasan, dan sangsi
sosial dari masyarakat memberikan tekanan psikologis yang cukup kuat. Sebuah
survei dilakukan di Amerika tahun 2011-2012 menyatakan hampir seperempat
(24%) narapidana mengalami gangguan depresi mayor, gangguan bipolar (18%),
(13%) narapidana memiliki gangguan stres-pasca trauma (PTSD), seperti
antisosial, dan (9%) narapidana diberitahu menderita skizofrenia atau gangguan
psikotik lainnya.Selain itu didapatkan pula (11%) narapidana mengalami
kecemasan serta (13%) mengalami gangguan kepribadian (Bureau of Justice
Statistics, 2017).

11
2.4. Trend dan Issue pada NAPZA

Indonesia menjadi negara yang memiliki presentase cukup besar dalam


penyalahgunaan zat. Badan Narkotika Nasional setiap tahunnya selalu
memberikan perhitungan statistik mengenai jumlah pengguna penyalahguna.
Responden timbul dari berbagai macam kalangan dan usia. Banyak faktor yang
menyebabkan hal tersebut dan akhirnya selalu berpengaruh terhadap kerugian
ekonomi, sosial, dan kesehatan fisik maupun mental. Gangguan jiwa menjadi
salah satu kerugian mental yang didapatkan. Tenaga kesehatan diperlukan dalam
mengatasi hal tersebut.
Perhitungan statistik Kementerian Kesehatan RI tahun 2014 mengenai
penggunaan NAPZA di Indonesia dari 34 Provinsi di Indonesia, Jawa Timur
berada di posisi pertama. Jumlah kasus narkoba pada 2010 5.637 kasus, 2011
7.749 kasus, dan 7.448. Sesuai dengan jumlah tersangka 2010 6.395 jiwa, 2011
8.637jiwa, dan 2012 8.142 jiwa. Provinsi kedua penggunaan NAPZA berada di
Provinsi DKI Jakarta (Kesehatan, 2014).
Badan Narkotika Nasional memberikan perhitungan statistik melalui 2
kelompok pengguna NAPZA pada tahun 2017 (Nasional, 2017), yaitu:
Kelompok pekerja; Hasil BPS Februari 2017 Indonesia memiliki 124,54 juta
orang pekerja dan 7,01 juta orang pengangguran terbuka. Berdasarkan sampel dari
1000 orang/provinsi, 34 provinsi, 34 kabupaten dan kota didapatkan hasil:
Menurut usia pengguna NAPZA lebih banyak yang berusia <30 tahun
dibandingkan usia >30 tahun. Menurut pendidikan pengguna dari tamat SD dan
SMA lebih banyak.
Kelompok penyalahguna: Berdasarkan kelompok pekerja lebih tinggi dengan
59% atau sekitar 1.991.909 orang dibandingkan pelajar 24%, populasi umum
17%. Proporsi penyalahguna terbesar berasal dari coba pakai dengan 59,53% atau
sekitar 1.908.319 orang dibandingkan pecandu suntik 1,73%, pecandu non suntik
14,49%, dan teratur pakai 27,25%.
Narkoba memiliki berbagai macam jenis. Ganja menjadi jenis narkoba yang
paling banyak dikonsumsi dalam penyalahgunaan zat selama tahun 2017, yaitu

12
sebesar 1.742.285 jiwa (Nasional, 2017). Sesuai dengan data kemenkes dari tahun
2008-2012 ganja menjadi favorit dalam penyalahgunaan narkoba selanjutnya
shabu posisi kedua, ekstasi, dan heroin atau putaw (Kesehatan, 2014).
Penyalahgunaan zat dapat menimbulkan berbagai risiko. BNN menjelaskan
bahwa terdapat berbagai macam konsekuensi yang diakibatkan dari
penyalahgunaan zat, yaitu 25% gangguan kejiwaan atau depresi, 16% sakit paru-
paru, 15% HIV/AIDS, 15% sakit syaraf/sendi, dan 9% hepatitis C (Nasional,
2017). Terbukti bahwa sebagian besar penyalahguna zat berakibat dengan
gangguan jiwa. Hal ini dikarenakan NAPZA bersifat patologik, berlangsung pada
jangka waktu tertentu, dan gangguan fungsi sosial dan okipasional. NAPZA dapat
menimbulkan kecanduan dan akan merusak sistem saraf pusat sehingga disebut
zat psikotropik atau psikoaktif yang menimbulkan gangguan jiwa (Videbeck,
2011).
Pengguna penyalahgunaan zat memerlukan tempat rehabilitasi untuk
menyesuaikan dirinya seperti sebelum menyalahgunakan zat. Rehabilitasi adalah
proses pemulihan klien NAPZA pada jangka waktu pendek atau panjang dengan
mengubah perilaku untuk mengembalikan fungsi individu (Rahmawati,
Ratnawati, & Rachmawati, 2016). Survey yang dilakukan BNN menghasilkan
34% dilakukan pengobatan sendiri, 17% Lembaga Swadaya Masyarakat, 13%
Rumah sakit, 12% BNN, dan 5% rehab keagamaan (Nasional, 2017). Responden
penyalahguna melakukan pengobatan sendiri dengan cara pasang badan dan
membeli obat bebas seperti jamu, ramuan tradisional untuk mengobati kecanduan
narkoba atau sakau. Responden belum 100% mau untuk menempatkan dirinya di
tempat rehabilitasi karena alasan utamanya, yaitu malu.
Tempat rehabilitasi yang baik harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana
yang lengkap untuk menunjang kesehatan responden. Namun berdasarkan
penelitian perawat yang bekerja di BNN semakin sedikit dengan jumlah pecandu
yang semakin meningkat (Rahmawati et al., 2016). Sehingga perlu komitmen
dalam memberikan pelayanan keperawatan.
Kasus penyalahgunaan zat semakin meningkat tiap tahunnya. Banyak
kerugian yang dihasilkan baik dari segi individu, ekonomi, maupun sosia. Hal ini
menjadi perhatian khusus bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk memberantas

13
narkoba. Selain itu bagi pengguna penyalahgunaan zat perlu dimotivasi agar mau
di rehabilitasi di tempat yang disediakan, agar responden dapat kembali pulih
secara maksimal.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Keperawatan jiwa tidak hanya melingkupi klien kelompok sehat jiwa dan
risiko gangguan jiwa, tetapi juga melingkupi klien kelompok rentan. Kelompok
rentan mencakup klien anak berkebutuhan khusus (ABK), kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), narapidana, dan pengguna NAPZA. Berbagai permasalahan
mengenai kondisi kesehatan mental banyak terjadi pada kelompok rentan ini.
Dimulai dari anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Selain itu, disabilitas seperti ADHD dan autism juga mengalami
peningkatan, sehingga diperlukan peran dari pendidikan inklusif. Selanjutnya,
kekerasan dalam rumah tangga dibagi menjadi empat, yaitu kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Permasalahan
mengenai KDRT dapat menimbulkan gangguan psikologis yang cukup parah bagi
korbannya, namun walaupun begitu korban seringkali diam dan cenderung untuk
tidak melaporkan kekerasan yang diterima oleh dirinya.
Kelompok rentan selanjutnya adalah klien narapidana. Narapidana sendiri
merupakan seseorang yang terisolasi kehidupannya dari masyarakat, sehingga
banyak gangguan psikis yang dapat terjadi. Narapidana biasanya mengalami
kecemasan, depresi, dan gangguan psikologis lainnya. Kelompok rentan yang
terakhir adalah pengguna NAPZA. Pengguna NAPZA banyak terjadi pada
kalangan remaja dan dewasa muda karena sudah mulai memiliki uang sendiri,
proses menemukan jati diri, dan rasa penasaran atau ingin mencoba-coba . Akibat
dari penyalahgunaan NAPZA sendiri menimbulkan depresi dan berbagai penyakit
lainnya.

14
3.2 Saran

Sebagai seorang perawat professional perlu memahami mengenai trend


dan isu yang terjadi pada kelompok rentan. Perawat perlu memperluas dan
memperbaharui pengetahuannya dengan mengetahui masalah-masalah terkait
kelompok rentan. Sehingga, perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang
tepat pada kelompok rentan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

15
DAFTAR PUSTAKA
Andina, E. (2013). Perlindungan Bagi Kelompok Berisiko Gangguan
Jiwa. Aspirasi, 4(2). Retrieved from
https://jurnal.dpr.go.id/index.php/aspirasi/article/view/497/393
Komnas Perempuan. (2016). Kekerasan terhadap Perempuan Meluas: Negara
Urgen Hadir Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah
Domestik, Komunitas dan Negara. Jakarta: Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan. Retrieved from
https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-catatan-tahunan-tentang-
kekerasan-terhadap-perempuan-2016
Komnas Perempuan. (2017). Labirin Kekerasan terhadap Perempuan: Dari Gang
Rape hingga Femicide, Alarm bagi Negara untuk Bertindak Tepat. Jakarta:
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Retrieved from
https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2017%20Siaran%20Per
s/Lembar%20Fakta%20Catahu%202017.pdf
Komnas Perempuan. (2018). Labirin Kekerasan terhadap Perempuan: Dari Gang
Rape hingga Femicide, Alarm bagi Negara untuk Bertindak Tepat. Jakarta:
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Retrieved from
https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/SIARAN%20PER
S%202018/Lembar%20Fakta%20Catahu%207%20Maret%202018.pdf
Kesehatan, K. (2014). Gambaran umum penyalahgunaan narkoba di Indonesia.
Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan.
Lansford, J. E., Deater-deckard, K., Bornstein, M. H., Putnick, D. L., & Bradley,
R. H. (2014). Attitudes justifying domestic violence predict endorsement of
corporal punishment and physical and psychological aggression towards
children: A study in 25 low- and middle-income countries. The Journal of
Pediatrics, 164(5), 1208–1213. https://doi.org/10.1016/j.jpeds.2013.11.060
Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta: Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 No. 95. Retrieved from
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukumpidana/653-undang-undang-no-

16
23-tahun-2004tentang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumahtangga-uu-
pkdrt.html
Morgan, A., & Chadwick, H. (2009). Key issues in domestic violence. Retrieved
from https://aic.gov.au/publications/rip/rip07
Nasional, B. N. (2017). Survei nasional penyalahgunaan narkoba di 34 provinsi
tahun 2017. Pusat Penelitian Data Dan Informasi Badan Narkotika
Nasional Republik Indonesia.
Phillips, J., Dunkley, A., Muller, D., & Lorimer, C. (2015). Domestic violence :
issues and policy challenges. In Parliamentary Library. Retrieved from
https://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Pa
rliamentary_Library/pubs/rp/rp1516/DVIssues
Rahmawati, I. M., Ratnawati, R., & Rachmawati, S. D. (2016). Pengalaman
perawat dalam memberikan layanan keperawatan jiwa pada pecandu
NAPZA di pusat rehabilitasi BNNK Kediri. Ilmu Keperawatan, 4(2), 256–
270.
Stuart, G. W. (2013). Principles and practice of psychiatric nursing (10th ed.).
Saint Louis: Elsevier Inc.
Videbeck, S. L. (2011). Psychiatric-mental health nursing (5th ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Wardani, N. S., Keliat, B. A., & Nuraini, T. (2012). Peningkatan kemampuan
asertif dan penurunan persepsi melalui assertive training therapy pada
suami dengan risiko KDRT. Jurnal Keperawatan Indonesia, 15(1), 61–66.
Wardhani, A. R. (2017). Komunikasi antarpersonal perawat dalam menanganu
korban kekerasan anak dalam rumah tangga melalui komunikasi terapeutik
di UPTD panti sosial perlindungan anak Dharma Samarinda. eJournal
Ilmu Komunikasi, 5(4), 134–148.

17

Anda mungkin juga menyukai