Anda di halaman 1dari 15

1.

Absorpsi
Absorbsi secara klasik didefinisikan sebagai suatu fenomena yang memungkinkan
suatu zat aktif melalui jalur pemberian obat melalui sistem peredaran darah, dan
penyerapan obat terjadi secara langsung dengan mekanisme perlintasan membran.
Fenomena ini bukan satu-satunya faktor penentu masuknya zat aktif kedalam tubuh,
pentingnya juga memperhatikan bentuk sediaan, perlunya zat aktif yang berada dalam
bentuk yang sesuai agar dapat menembus membran dan pentingnya kelarutan atau
keterlarutan zat aktif padat. Jadi kelarutan merupakan faktor yang dapat mengubah pH
ditempat penyerapan serta konsentrasi zat aktif juga merupakan faktor penentu laju
penyerapan.

a. Rute Pemberian Obat


Terdapat 2 rute pemberian obat yang utama, enteral dan parenteral. Beberapa
rute pemberian obat lain selain parenteral dan enteral ialah inhalasi, transdermal
(perkutan) atau intranasal untuk absorpsi sistemik. Ketersediaan sistemik dan mula
kerja obat dipengaruhi oleh aliran darah ke site pemakaian, karakteristik fisiko kimia
obat dan produk obat, dan kondisi patofisiologi pada site absorpsi. Rute pemberian
obat ditentukan oleh sifat dan tujuan dari penggunaan obat sehingga dapat
memberikan efek terapi yang tepat.
Beberapa obat tidak diberikan secara oral karena ketidakstabilan obat
dalam saluran cerna atau peruraian obat oleh enzim pencernaan dalam usus.
Absorpsi obat setelah injeksi subkutan lebih lambat dibanding injeksi intravena.
Apabila suatu obat diberikan melalui rute pemberian ekstravaskuler seperti oral,
topikal, intranasal, inhalasi dan rektal, maka obat pertama harus diabsorpsi ke dalam
sirkulasi sistemik dan kemudian berdifusi atau ditranspor ke site aksi sebelum
menghasilkan aktivitas biologis atau teurapetik. Prinsip umum dan kinetika absorpsi
dari site ekstravaskuler tersebut mengikuti prinsip yang sama seperti dosis oral,
walau fisiologis site pemakaian berbeda.

b. Sifat Membran Sel


Untuk absorpsi obat sistemik, obat harus melintasi epitel intestinal melalui atau
antar sel epitel untuk mencapai sirkulasi sistemik. Permeabilitas suatu obat pada site
absorpsi ke dalam sirkulasi sistemik berkait dengan struktur molekul obat dan sifat
fisik dan biokimia membran sel. Sekali obat dalam plasma, obat harus melintasi
membran biologis untuk mencapai site aksi. Oleh karena itu, membran biologis
bertindak sebagai sawar untuk pelepasan obat.

Absorpsi transeluler merupakan suatu proses pergerakan obat melintasi suatu


sel. Beberapa molekul obat yang tidak mampu melintasi membran sel, tetapi bisa
melewati celah antarsel dikenal dengan absorpsi obat paraseluler. Beberapa obat
kemungkinan diabsorbsi melalui mekanisme campuran yang melibatkan suatu atau
lebih proses .

Membran merupakan struktur utama dalam sel, mengelilingi keseluruha n sel


dan bertindak sebagai pembatas antara sel dan cairan interstisial. Secara fungsional,
membran sel merupakan partisi semipermeabel yang bertindak sebagai sawar
selektif untuk lintasan molekul. Pergerakan transmembran obat dipengaruhi oleh
komposisi dan struktur membran plasma. Membran sel terutama tersusun dari
fosfolipid dalam bentuk dua lapis yang terpisahkan dengan gugus karbohidrat dan
protein. Ada teori yang menjelaskan bahwa obat larut lemak cenderung lebih mudah
untuk penetrasi ke membran daripada molekul polar.

c. Perjalanan Obat Melintasi Membran Sel


Perjalanan obat dalam melewati membran sel memiliki bebrapa cara di
antaranya ada difusi pasif, transport yang dipelantarai pembawa yang terdiri dari
transport aktif, difusi yang terfasilitasi dan transpor intestinal yang diperantarai
pembawa yang di uraikan dalam tahapan berikut.

 Difusi Pasif
Secara teoritis, obat lipofilik dapat melintasi sel atau mengelilinginya. Jika obat
memiliki berat molekul rendah dan lipofilik, lipid membran sel bukan merupakan
sawar untuk difusi dan absorpsi obat. Difusi pasif merupakan proses dimana
molekul berdifusi secara spontan dari suatu daerah konsentrasi tinggi ke suatu
daerah konsentrasi rendah. Disebut pasif karena tidak ada energi eksternal yang
dikeluarkan.

Difusi pasif merupakan proses absorpsi utama untuk sebagian obat. Tenaga
pendorong untuk difusi pasif ini adalah konsentrasi obat yang lebih tinggi pada sisi
mukosa dibandingkan dalam darah. Menurut hukum Fick, terdapat beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi laju difusi pasif obat seperti derajat kelarutan obat
dalam lemak, koefisien partisi, K, dimana obat yang lebih larut lemak akan memiliki
nilai K yang lebih besar. Luas permukaan membran juga mempengaruhi laju absorpsi
obat.

Disamping berdifusi ke dalam sel, obat juga berdifusi ke dalam ruang sekitar
sel sebagai suatu mekanisme absorpsi. Pada difusi paraseluler, molekul obar dengan
BM lebih kecil dari 500 berdifusi ke dalam penghubung yang ketat atau ruang antar
sel epitelial usus.

 Transport yang Diperantarai Pembawa


Suatu obat lipofilik dapat melintasi sel dan ke sekitarnya. Jika obat mempunyai
berat molekul rendah dan lipofilik, membran sel lipid bukan merupakan penghalang
difusi dan absorpsi. Dalam usus, obat dan molekul lain dapat melintasi sel epitel usus
dengan mekanisme difusi atay diperantarai pembawa. Sejumlah sistem transpor
yang diperantarai pembawa khusus adad i dalam tuuh, terutama dalam usus untuk
absorpsi ion dan nutrien yang diperlukan tubuh.

 Transpor Aktif
Transpor aktif merupakan proses transmembran yang diperantarai oleh
pembawa yang memainkan peran penting dalam sekresi ginjal dan bilier dari
berbagai obat dan metabolit. Beberapa obat yang tidak larut lemak yang
menyerupai metabolit fisiologi alami diabsorpsi dari saluran cerna dari
proses ini. transpor aktif ditandai dengan transpor obat melawan perbedaan
konsentrasi dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Oleh karena itu, sistem
ini merupakan suatu sistem yang memerlukan energi. Transpor aktif merupakan
proses khusus yang memerlukan pembawa yang mengikat obat membentuk
kompleks obat-pembawa yang membawa obat lewat membran dan kemudian
melepaskan obat disisi lain dari membran. Obat yang diabsorpsi yang
diperantarai pembawa, laju absorbsi obat meningkat dengan konsentrasi obat
sampai molekul pembawa menjadi jenuh sempurna. Pada konsentrasi obat
yang lebih tinggi, laju absorbsi obat konstran atau orde nol.

 Difusi yang Terfasilitasi


Merupakan sistem transpor yang diperantarai pembawa, berbeda dengan
transpor aktif, obat bergerak oleh karena perbedaan konsentrasi yaitu
bergerak dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Sistem ini tidak
memerlukan energi, namun karena diperantarai pembawa, maka sistem dapat
jenuh dan secara struktur selektif bagi obat tertentu dan memperlihatkan
kinetika persaingan bagi obat-obat dengan struktur serupa.

 Transpor Intestinal yang Diperantarai Pembawa


Beberapa obat di absorpsi melalui pembawa ini karena kesamaan struktur
dengan substrat alami menurut Shargel, 2012:

1. Transpor Vesikuler
Merupakan proses penangkapan partikel atau bahan terlarut oleh sel.
Pinositosis dan fagositosis merupakan bentuk transpor vesikuler yang
berbeda dari tipe materi yang dicerna. Transpor vesikuler ini merupakan
proses yang diusulkan untuk absorpsi daru vaksin sabin polio yang
diberikan secara peroral dan berbagai molekul protein yang besar.
2. Transpor Lewat Pori (Konvektif)
Molekul yang sangat kecil dapat melintasi membran secara cepat, jika
membran mempunyai celah atau pori. Walau pori tersebut tidak teramati
secara langsung dengan mikroskop, model permeasi obat melalui pori
yang bersifat aqueous digunakan untuk menjelaska n eksresi obat lewat
ginjal dan pengambilan obat ke dalam hati. Molekul-molekul kecil
bergerak melewati kanal dengan difusi yang lebih cepat dibandingkan
pada bagian membran.
3. Pembentukan Pasangan Ion
Obat elektrolit kuat merupakan molekul terion dan bermuatan. Obat
elektrolit kuat mempertahankan muatannyapada semua nilai pH fisiologis
dan penembusan membran rendah. Bila obat terion dihubungkan dengan
suatu ion dengan muatan berlawanan, terbentuk pasangan ion dengan
keseluruhan muatan pasangan adalah netral. Komplek netral ini berdifusi
dengan lebih mudah lewat membran.

d. Absorpsi Obat Oral


Rute absorpsi obat secara oral merupakan rute paling lazim dan populer dari
pendosisan obat. Karena obat dapat absorbsi dengan mudah bila dilakukan secara
oral. Ada beberapa faktor penunjangp pada bentuk pembuatan obat oral salah
satunya bentuk sediaan obat harus di rancang untuk mempertimbangka n rentang
pH yang ekstrem, ada atau tidak adanya makanan, degradasi enzim, perbedaan
permeabilitas obat dalam darah yang berbeda dalam usus, dan motilitas saluran
cerna.

 Pertimbangan Anatomis dan Fisiologis


Proses fisiologis pada saluran cerna dapat dipengaruhi oleh diet, kandungan
saluran cerna, hormon, sistem saraf viseral, penyakit dan obat-obat. Proses fisiologi
utama yang terjadi dalam sistem GI adalah sekresi, pencernaan dan absorpsi. Proses
absorpsi adalah masukan unsur dari lumen ke usus ke dalam tubuh.

Obat-obat yang diberikan secara oral melintasi berbagai bagian saluran enteral
yang meliputi rongga mulut, esofagus, lambung, duodenum, jejunum, ileum, kolon dan
akhirnya keluar dari tubuh melalui anus. Total waktu transit yang meliput i pengosongan
lambung, transit usus halus dan transit kolonik yaitu 0,4 sampai 5 hari (Kirwan dan
Smith, 1974). Bagian terpenting dalam absorpsi adalah usus halus. Waktu transit
dalam usus halus untuk sebagian besar subjek sehat berentang dari 3 sampai 4 jam.

 Absorbsi Obat dalam Saluran Cerna


Obat kemungkinan diabsorbsi melalui difusi pasif dari semua bagian saluran cerna
meliputi absorpsi sublingual, bukal, GI dan rektal. Untuk sebagian besar obat, site
optimul untuk absorbsi obat setelah pemakaian oral adalah bagian atas usus halus atau
daerah duodenum. Anatomi duodenum yang khas memberi luas permukaan yang besar
dari duodenum disebabkan adanya lipatan-lipatan pada membran mukosa yang
merupakan tonjolan-tonjolan kecil yang dikenal dengan vili. Selanjutnya bagian
duodenum mengalami perfusi tinggi dengan jaringan kapiler, yang membantu
mempertahankan suatu perbedaan konsentrasi dari lumen usus dan sirkulasi plasma.

 Motilitas Gastrointestinal
Motilitas GI cenderung memindahkan obat sepanjang jalur cerna, sehingga
obat tidak tinggal pada site absorpsi. Waktu transit obat dalam saluran cerna
bergantung pada sifat fisikokimia dan farmakologis obat, tipe bentuk sediaan,
dan berbagai faktor fisiologis.

 Waktu Pengosongan Lambung


Secara anatomis, obat yang ditelan akan mencapai lambung secara cepat.
Selanjutnya lambung mengosongkan isinya ke dalam usus halus. Oleh karena
itu duodenum mempunyai kapasitas terbesar untuk absorpsi obat dari saluran
cerna. Suatu penundaan dalam proses pengosongan lambung akan
memperlambat proses absorpsi obat dan memperpanja ng waktu mulai kerja
obat.

Beberapa faktor yang menunda pengosongan lambung meliputi konsumsi makanan


tinggi lemak, minuman dingin dan obat antikolinergik.

 Motilitas Intestinal
Pergerakan peristaltik normal mencampur kandungan duodenum,
membawa partikel obat kontak dengan sel mukosa usus. Obat haru memiliki
cukup waktu tinggal pada site absorbsi untuk proses absorbsi optimum. Jika
motilitas tinggi pada saluran intestinal seperti saat diare, obat mempunya
waktu tinggal yang sangat singkat dan sedikit kesempatan untuk absorbsi yang
memadai.

 Perfusi Saluran Cerna


Aliran darah ke saluran cerna merupakan hal penting untuk membawa obat ke
sirkulasi sistemik dan kemusia ke tempat kerja. Segera setelah obat di absorpsi
dari usus halus, obat masuk melalui pembuluh mesenterika menuju vena prota
hepatika dan liver sebelum mencapai sirkulasi sistemik.

 Pengaruh Makanan pada Absorpsi Obat dari Saluran Cerna


Adanya makanan dalam saluran cerna dapat mempengar uhi
bioavailabilitas obat dari suatu produk obat oral. Makanan yang mengandung
asam amino, asam lemak dan berbagai nutrien kemungkina n mempengaruhi
pH usus dan kelarutan obat. Beberapa pengaruh makanan pada
bioavailabilitas suatu obat dari produk obat meluputi :

1) Penundaan pengosongan lambung


2) Perangsangan aliran empedu
3) Perubahan pH saluran cerna
4) Peningkatan aliran darah
5) Perubahan metabolisme luminan dari senyawa obat
6) Interaksi fisika atau kimia makanan dengan produk obat atau senyawa
obat.
Waktu pemberian obat berkait dengan makan sangat penting, karena
makanan berlemak dapat menunda waktu pengosongan lambbung diatas 2 jam.
Produk yang digunakan utnuk mengendalikan asam lambung biasanya
digunakan sebelum makan, untuk mengantisipasi rangsangan sekresi asam
lambung oleh makanan.

 Fenomena Dua Puncak


Fenomena dua puncak berhubungan dengan perbedaan dalam
pengosongan lambung dan laju alir intestinal selama proses absorpsi
setelah dosis tunggal. Integritas obat juga merupakan faktor dalam
fenomena dua puncak.

e. Pengaruh Penyakit pada Absorpsi Obat


Absorpsi obat dapat dipengaruhi oleh beberapa penyakit yang menyebabkan
perubahan pada alirah darah intestinal, waktu pengosongan lambung, motilitas
saluran cerna dan perubahan pada hal lainnya. Beberapa penyakit yang dapat
mempengaruhi absorbsi yaitu :

1) Pasien akhloridria tidak mempunyai produksi asam lambung yang memadai.


Kekurangan produksi asam lambung menyebabkan obat bersifat basa lemah
tidak dapat membentuk garam larut dan tetap di dalam lamb ung dan tidak di
absorpsi.
2) Pasien dengan penyakit parkinson mengalami kesulitan menelan dan sangan
menurunkan motilitas pencernaan.
3) Pasien dengan antidepresan trisiklik dan obat antipsikotik megalami penurunan
motilitas saluran cerna atau bahkan obstruksi intestina l. Penundaan absorpsi
obat terjadi terutama pada produk lepas-lambat.
4) Pasien dengan gagal jantung kongestif mengalami penurunan aliran darah dan
mengalami edema pada dinding perut. Selain itu motilitas intestina l lambat.
Penurunan aliran darah ke usus dan penurunan motilitas intestina l
mengakibatkan penurunan absorbsi obat.
2. Distribusi
Distribusi obat adalah proses-proses yang berhubungan dengan transfer senyawa
obat dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam tubuh. Setelah melalui proses absorpsi,
senyawa obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulas i darah. Molekul
obat dibawa oleh darah ke satu target (reseptor) untuk aksi obat dan ke jaringan lain
(non-reseptor), di mana dapat terjadi efek samping yang merugika n. Cairan tubuh total
berkisar antara 50-70% dari berat badan. Cairan tubuh dapat dibagi menjadi:
1. Cairan ekstraseluler, yang terdiri atas plasma darah (4,5% dari berat badan), cairan
interstisial (16%) dan limfe (1-2%).

2. Cairan intraseluler (30-40% dari berat badan), yang merupakan jumlah cairan
dalam seluruh sel-sel tubuh.
3. Cairan transeluler (2,5%), yang meliputi cairan serebrospinalis, intraokule r,
peritoneal, pleura, sinovial dan sekresi alat cerna.
Pada umumnya molekul obat berdifusi secara cepat melalui jaringan kapiler halus
ke ruang jaringan yang terisi cairan interstisial. Cairan interstisial plus cairan plasma
disebut cairan ekstraseluler (berada di luar sel). Selanjutnya dari cairan interstinal,
molekul obat berdifusi melintasi membran sel ke dalam sitoplasma.
Membran sel tersusun atas protein dan dua lapis fosfolipid, yang bertindak sebagai
sawar lemak untuk ambilan obat. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi
membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam
lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusi nya terbatas, terutama di
cairan ekstra sel. Obat yang tidak larut dalam lemak tersebut bersifat polar sehingga akan
terikat pada protein plasma (albumin) dan membent uk kompleks obat-protein yang
terlalu besar untuk berdifusi melintasi membran sel.
Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh adalah:
1. Perfusi darah melalui jaringan
Obat dibawa ke seluruh jaringan tubuh oleh aliran darah sehingga semakin cepat
obat mencapai jaringan, semakin cepat pula obat terdistribusi ke dalam jaringan.
Kadar obat dalam jaringan akan meningkat sampai akhirnya terjadi keadaan yang
disebut keadaan mantap (steady state). Kecepatan distribusi obat masuk ke
jaringan sama dengan kecepatan distribusi obat keluar dari jaringan tersebut.
Pada keadaan ini, perbandingan kadar obat dalam jaringan dengan kadar obat
dalam darah menjadi konstan dan keadaan ini disebut keseimbanga n distribusi.
Oleh karena itu, pada jaringan tubuh yang mendapat suplai darah relatif paling
banyak dibandingkan ukurannya akan menyebabkan terjadinya keseimbangan
distribusi yang paling cepat.
Tabel 1. Besarnya aliran darah ke berbagai jaringan tubuh pada seseorang
dengan berat badan 70 kg (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008).
Jaringan/organ Aliran darah (perfussion rate)
tubuh (mL/menit/mL jaringan)

Paru-paru 10 (mewakili seluruh curah


jantung)

Ginjal 4

Hati 0,8

Jantung 0,6

Otak 0,5

Lemak 0,03

Otot (istirahat) 0,025

Tulang 0,02

Distribusi obat dibedakan atas dua fase berdasarkan penyebarannya di dalam


tubuh, yaitu:
a. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang
perfusinya sangat baik, seperti jantung, hati, ginjal dan otak (waktu distribusi
kurang dari 2 menit).
b. Distribusi fase kedua jauh lebih luas lagi, yaitu mencakup jaringan yang
perfusinya tidak sebaik organ pada fase pertama, misalnya pada otot, visera,
kulit dan jaringan lemak (waktu distribusi 2-4 jam).

Perfusi darah melalui jaringan dan organ bervariasi sangat luas. Perfusi yang
tinggi adalah yang terjadi pada daerah paru-paru, hati, ginjal, jantung, otak dan
daerah yang perfusinya rendah adalah lemak dan tulang. Sedangkan perfusi pada
otot dan kulit merupakan perfusi sedang. Perubahan dalam aliran kecepatan darah
pada penderita sakit jantung akan mengubah perfusi organ seperti hati, ginjal dan
berpengaruh terhadap kecepatan eliminasi obat.
2. Ikatan obat pada protein plasma
Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas
yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Ikatan protein pada obat akan
mempengaruhi intensitas kerja, lama kerja, dan eliminasi obat. Bahan obat yang
terikat pada protein plasma tidak dapat berdifusi dan pada umumnya tidak
mengalami biotransformasi dan eliminasi. Sebenarnya hanya zat aktif yang tidak
terikat dengan protein plasma yang dapat berdifusi dan memberika n efek
farmakologis, sedangkan kompleks zat aktif dengan protein tidak dapat melintasi
membran, namun kompleks ini hanya bersifat sementara. Apabila molekul zat aktif
yang bebas telah dimetabolisme atau ditiadakan maka, kompleks ini akan
melepaskan bentuk zat bebasnya.
Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat
terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh
protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.
Walaupun ikatan antara zat aktif dan protein plasma tidak terlalu kuat, namun tidak
disangsikan lagi bahwa fenomena tersebut berperan pada distribusi zat aktif dalam
jaringan, karena konsentrasi zat aktif dalam cairan interstit ia l ekstraselular dapat
lebih rendah dari konsentrasi dalam plasma.

Albumin adalah protein plasma yang paling banyak (40 g/L). Albumin tersebut
memungkinkan terjadinya ikatan pada sebagian besar senyawa obat, terutama
dalam bentuk anion (asam asetil salisilat, sulfonamide, dan anti- vitamin K ).
Bentuk kation juga mempunyai afinitas yang tidak dapat diabaikan. Peran globulin
tidak terlalu nyata dan hanya berpengaruh pada senyawa tertentu seperti steroida dan
tiroksin. Protein lain yang dapat berinteraksi dengan obat yaitu α1-Asam
glikoprotein (orosomukoid),yaitu suatu globulin (BM > 44.000 Da). Protein ini
memiliki konsentrasi plasa yang rendah (0.4 -1 %),dan mengiakt obat-obat basa
kationik seperti propanolol, imipramin, dan lidokain. Globilin (α-, β-, δ- globulin)
bertanggungjawab untuk transport dalam plasma dari bahan-bahan endogen
seperti kortikosteroid, globulin ini mempunya i kapasitas yang rendah tapi afinitas
tinggi terhadap bahan endogen tersebut. Eritrosit juga dapat berikatan dengan obat
(Terdiri dari kurang lebih 45% volume darah). Protein ini dapat berikatan baik
dengan senyawa endogen dan eksogen, seperti Fenitroin, Fenobarbital, dan
Amobarbital.
Tabel 2. Beberapa obat yang mempunyai afinitas yang kuat terhadap protein
plasma
Nama Obat Afinitas (%)
Fenibutazon 98
Sulfonamida 96
Digitoksin 95
Etil Biskumasetat 90
Tiopental 75
Salisilat 64
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ikatan protein plasma dengan
molekul obat adalah:
a. Interaksi dengan obat lain
Ikatan plasmatik bersifat tidak spesifik sehingga dapat berikatan
dengan beberapa molekul obat. Hal tersebut dapat menimbulkan terjadinya

persaingan antar molekul obat untuk berikatan dengan plasma. Molekul yang
mempunyai ikatan protein lebih stabil akan menyingkirkan molekul obat lain
dari sisi aktif plasma sehingga meningkatkan jumlah bentuk bebasnya.
Contohnya Kuinidin dan beberapa obat lainnya yang termasuk antidisritmia
verapamil dan amiodaron menggantikan digoksin sehingga mengurangi
ekskresi ginjal, dan akibatnya menyebabkan disritmia parah akibat toksisitas
Digoksin. Selain itu, ada juga persaingan Fenilbuta zon dengan Dikumarol, di
mana afinitas plasmatik Fenilbutazon lebih tinggi dibandingkan Dikumarol. Hal
ini menyebabkan meningkatnya jumlah bentuk bebas Dikumarol dan
menyebabkan pendarahan (aktivitas Dikumarol sebagai anti-koagulan).
b. Obat
Sifat-sifat fisikokimia obat juga mempengaruhi tercapainya keseimbangan
distribusi pada jaringan tertentu. Jika suatu jaringan dapat menampung atau
mengikat lebih banyak obat, dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mencapai keseimbangan distribusi. Ambilan obat oleh suatu jaringan
ditentukan oleh faktor yang disebut koefisien partisi (Kp), yaitu:
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑜𝑏𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑗𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛
Kp =
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑜𝑏𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ

Berdasarkan rumus tersebut, semakin besar nilai Kp, maka semakin


panjang waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan distribus i. Jadi,
sifat fisikokimia obat yang menyebabkan makin banyaknya ambila n suatu obat
oleh suatu jaringan adalah sifat lipofilik yang tinggit (sangat mudah larut dalam
lemak). Membran-membran yang memisahkan jaringan atau organ dari darah
bersifat lipoid sehingga hanya obat-obat yang lipofilik saja yang dapat
menembus membran dengan mudah. Molekul- molekul obat yang terionisasi
tidak mudah melewati membran tersebut.

Contohnya Asam salisilat (suatu asam lemah dengan pKa = 3,0) terionisa s i
lebih dari 99% pada plasma (pH = 7,4) dan oleh karena itu, Asam salisilat
masuk ke cairan serebro-spinalis secara lambat sekali. Kebanyakan membran
diperkirakan berpori-pori yang dapat dilalui oleh molekul polar yang kecil saja
dan tidak dapat dilalui oleh molekul besar. Sebaliknya, otot memiliki pori-pori
yang relatif besar. Contohnya Gentamisin akan diabsorpsi dengan baik bila
disuntikkan secara intramuskular tetapi tidak akan diabsorpsi bila diberikan
per oral.
c. Protein
Fraksi obat terikat dapat berubah dengan adanya perubahan konsentrasi
protein plasma pasien. Apabila pasien memiliki konsentrasi protein plasma yang
rendah maka untuk setiap pemberian dosis obat, konsentrasi obat bioaktif bebas
kemungkinan lebih tinggi dari yang diharapkan.

Mekanisme Keadaan Sakit


Penurunan Sintesis Protein Penyakit Liver
Peningkatan katabolisme protein Trauma, Pembedahan
Distribusi albumin dalam ruang Terbakar
ekstravaskular
Eliminasi protein yang besar Penyakit Renal
Tabel 3. Faktor-faktor yang menurunkan konsentrasi protein plasma
(Shargel et al., 2012).

a) Kondisi fisiologis dan patofisiologis pasien


Tabel 4. Kondisi yang mempengaruhi konsentrasi protein dalam
plasma (Shargel et al., 2012).
Albumin α 1 – Glikoprotein
Menurunkan Usia (geriatrik, neonatus) Konsentrasi fetal
Bakteri Pneumonia Sindrom nefrotik
Luka bakar Sirosis hati Kontrasepsi oral
Fibrosis sistik
Penyakit saluran cerna
Histoplasmosis
Lepra Abses hati
Neoplasma maligna Malnutrisi
(berat) Gagal ginjal Kehamilan
Pembedahan Trauma
Sindrom nefrotik
Pankreatitis
Meningkatkan Tumor Benign Usia (geriatrik)
Olahraga Hipotiroid Neurosis Penyakit Celiac
Paranoia Psikosis Penyakit Chron
Schizophrenia Kecelakaan Infark
Miokard Stres
Trauma Pembedahan
Gagal renal
Artritis Reumatoid

dalam darah yang lebih tinggi, sedangkan obat dengan nilai VD yang besar akan
menghasilkan kadar dalam darah yang rendah.
Di dalam praktiknya, terlihat bahwa obat-obat yang terdistribusi secara
meluas dalam tubuh akan mempunyai nilai VD yang besar, sebaliknya obat- obat
yang kurang terdistribusi ke seluruh tubuh akan menunjukkan nilai nilai VD yang
kecil, yang menujukkan adanya ikatan yang sangat kuat antara obat tersebut
dengan protein plasma. Nilai VD < 5 L menunjukkan bahwa obat dipertahankan
dalam kompartemen vaskular. Nilai VD < 15 L menunjukka n bahwa obat
terbatas pada cairan ekstraselular. Sementara volume distribus i yang besar (Nilai
VD > 15 L) menunjukkan distribusi di seluruh cairan tubuh total atau konsntrasi
pada jaringan tertentu. Volume distribusi dapat digunakan untuk menghitung
bersihan (clearance) obat.
Bersihan (clearance) adalah konsep yang penting dalam farmakokinetik.
Bersihan (Clp) merupakan volume darah atau plasma yang dibersihkan dari obat
dalam satuan waktu dan dirumuskan dengan:
Clp = VD x Kel

Konstanta kecepatan eliminasi (Kel) adalah fraksi obat yang ada pada
suatu waktu yang akan tereliminasi dalam satuan waktu, yang dapat
dihitung dengan rumus:
0,69
Kel =
𝑡

Bersihan juga menunjukkan kemampuan hati dan ginjal untuk


membuang atau membersihkan obat.
1. Aryandhito W, Leo R, dan Linda D. Katzung, B. G. Farmakologi Dasar
dan Klinik. Edisi 10. 2011. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

2. Shargel, Leon, Susanna Wu-Pong, dan Andrew B. C. Biofarmasetika


dan Farmakokinetika Terapan. Edisi 5. 2012. Surabaya: Universitas
Airlangga Press.

3. Mike J. Neal. 2005. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima.


Jakarta: Erlangga.

4. Setyawati, A. Interaksi Obat dalam Ganiswara, S.G.,Farmakologi dan


Terapi, Edisi IV, 862. 2005 Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai