CRS Stemi Kelompok 1 Jantung
CRS Stemi Kelompok 1 Jantung
(IMA-EST)
Disusun Oleh:
Preseptor:
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyebab kematian nomor satu setiap
tahunnya. Setiap tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena PTM (63% dari
seluruh kematian). Lebih dari 9 juta kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular
terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian “dini” tersebut terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Secara global PTM tersering penyebab kematian
adalah penyakit kardiovaskuler Penyakit kardiovaskuler adalah penyakit yang disebabkan
gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah, seperti:Penyakit Jantung Koroner, Penyakit
Gagal jantung atau Payah Jantung, Hipertensi dan Stroke.1
Pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 17,3 juta kematian disebabkan oleh
penyakit kardiovaskuler. Lebih dari 3 juta kematian tersebut terjadi sebelum usia 60 tahun
dan seharusnya dapat dicegah. Kematian “dini” yang disebabkan oleh penyakit jantung
terjadi berkisar sebesar 4% di negara berpenghasilan tinggi sampai dengan 42% terjadi di
negara berpenghasilan rendah. Komplikasi hipertensi menyebabkan sekitar 9,4 kematian di
seluruh dunia setiap tahunnya. Hipertensi menyebabkan setidaknya 45% kematian karena
penyakit jantung dan 51% kematian karena penyakit stroke. Kematian yang disebabkan
oleh penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner dan stroke diperkirakan
akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030.1
Menurut definisi kardiovaskuler dari WHO, penyakit kardiovaskuler adalah
penyakit yang disebabkan gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah. Ada banyak
macam penyakit kardiovaskuler, tetapi yang paling umum dan paling terkenal adalah
penyakit jantung koroner dan stroke. 2
Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard yang
terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa nyeri dada, perubahan segmen
ST pada Electrocardiogram (EKG), dan perubahan biomarker jantung. Keadaan iskemia
yang akut dapat menyebabkan nekrosis miokardial yang dapat berlanjut menjadi Infark
Miokard Akut. Nekrosis atau kematian sel otot jantung Sindrom koroner akut disebabkan
karena adanya gangguan aliran darah ke jantung. Daerah otot yang tidak mendapat aliran
darah dan tidak dapat mempertahankan fungsinya, dikatakan mengalami infark.2
Menurut WHO tahun 2008, penyakit jantung iskemik merupakan penyebab utama
kematian di dunia (12,8%) sedangkan di Indonesia menempati urutan ke tiga. Di negara
industri dan negara-negara yang sedang berkembang Sindrom koroner akut (SKA) masih
menjadi masalah kesehatan publik yang bermakna. Sindrom coroner akut merupakan salah
satu kasus penyebab rawat inap di Amerika Serikat, tercatat 1, 36 juta adalah kasus SKA, 0,
81 juta di antaranya adalah infark miokardium, dan sisanya angina pektoris tidak stabil.
Infark Miokard Akut (IMA) adalah salah satu diagnosis yang paling sering di negara maju.
Laju mortalitas awal dalam 30 hari pada IMA adalah 30% dengan separuh kematian terjadi
sebelum pasien mencapai rumah sakit. Infark Miokard Akut terdiri dari angina pektoris tak
stabil, IMA tanpa ST elevasi dan IMA dengan ST elevasi.43
Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia
pada tahun 2013 diperkirakan sekitar 883.447 atau sebesar 0,5%, sementara berdasarkan
diagnosis dokter ditemukan gejala sebesar 1,5% atau sekitar 2.650.340 orang. Berdasarkan
diagnosis dokter estimasi jumlah penderita di Provinsi Jawa Barat Sebanyak 0,5% atau
sekitar 160.812 orang, sedangkan di Provinsi Maluku Utara paling sedikit, yaitu 1.436
orang (0,2%). Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita terbanyak terdapat di
Provinsi Jawa Timur sebanyak 375.1227 orang atau sekitar (1,3%), sedangkan jumlah
penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Papua Barat, yaitu sebanyak 6.690 orang
(1,2%). Prevalensi jantung koroner yang terdiagnosis di Jawa Tengah sebesar 0,5 persen,
dan berdasar terdiagnosis dan gejala sebesar 1,4 persen, sedangkan di Kota Surakarta angka
prevalensi PJK yang terdiagnosis adalah 0,7 %.54
Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasarkan hasil EKG menjadi Infark
Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) dan Infark Miokard non ST-elevasi (NSTEMI). Pada
Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) terjadi oklusi total arteri koroner sehingga
menyebabkan daerah infark yang lebih luas meliputi seluruh miokardium, yang pada
pemeriksaan EKG ditemukan adanya elevasi segmen ST, sedangkan pada Infark Miokard
non ST-elevasi (NSTEMI) terjadi oklusi yang tidak menyeluruh dan tidak melibatkan
seluruh miokardium, sehingga pada pemeriksaaan EKG tidak ditemukan adanya elevasi
segmen ST.35
Penyumbatan arteri koroner secara total pada STEMI mengakibatkan pasien
membutuhkan revaskularisasi cepat untuk mencegah infark luas. Mayoritas kematian akibat
STEMI terjadi diluar rumah sakit, 45-65% gejala timbul pada jam pertama dan 80% gejala
timbul dalam 24 jam. Terapi reperfusi yang cepat dapat menyelamatkan kerusakan jantung
sehingga fungsi jantung dapat dipertahankan. Tatalaksana STEMI adalah Percutaneous
Coronary Intervention (PCI) pada pasien dengan gejala < 12 jam atau terapi farmakologis
dengan pemberian fibrinolitik.6,
Berdasarkan data-data diatas, penulis tertarik mengambil kasus tentang Infark
Miokard Akut ST-Elevasi (STEMI).
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini disusun dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai
literatur.
BAB II
ILUSTRASI KASUS
M. Djamil Padang dengan keluhan utama nyeri dada sejak 20 jam sebelum masuk
rumah sakit. Pasien merupakan rujukan RSUD Muaro Labuh dengan diagnosis
STEMI anterior + DM tipe II, mendapat terapi loading aspilet 320 mg, clopidogrel
150 mg, ISDN 5 mg, injeksi OMZ 1 amp IV, ondansetron 3x1, sucralfate 3x1 cth.
Nyeri dirasakan selama 30 menit. Nyeri dada pertama kali dan dirasakan ketika
istirahat. Saat nyeri pasien berkeringat dingin, mual, tapi tidak sampai muntah.
Riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada. Pasien tidak ada merasakan sesak
nafas, tidak ada riwayat sesak saat aktivitas atau terbangun malam hari karena
tidak ada, riwayat diabetes melitus ada >10 tahun, rutin minum glimepiride 4 mg,
metformin 3x500 mg, riwayat keluarga tidak ada, riwayat dislipidemia tidak ada,
riwayat merokok tidak ada. Pasien tidak memiliki riwayat asma, gastritis serta
stroke.
anemis, sklera terlihat tidak ikterik dan tekanan vena jugularis didapatkan 5+0
cmH2O. Pada pemeriksaan jantung didapatkan iktus kordis tidak terlihat, iktus
kordis teraba kuat angkat. Perkusi jantung didapatkan batas jantung kanan pada
linea sternalis dextra, batas atas RIC II dan batas kiri 1 jari medial LMCS di RIC
palpasi didapatkan fremitus kiri dan kanan sama, perkusi didapatkan sonor kiri
dan kanan, dan auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler, tidak ada rhonki -/-
dan wheezing -/-. Pada pemeriksaan abdomen, tidak distensi, hepar dan lien tidak
teraba serta bising usus normal. Ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema pada
tungkai.
Thoracic Ratio (CTR) sebesar 58%, segmen aorta normal, segmen pulmonal
0,7 mg/dl, natrium 143 mmol/l, kalium 4,8 mmol/l, klorida serum 110 mmol/l,
kalsium 8,8 mg/dl, Troponin I 1060,6 u/l, dan gula darah sewaktu 262 mg/dl.
Pada penilaian skor TIMI didapatkan anterior STE / LBBB (1), diabetes (+),
angina (+) (1), time to treatment >4 jam (1) sehingga skor TIMI 3/14.
Pasien ini didiagnosa dengan STEMI anterior extensive onset 20 jam TIMI
3/14 dan DM tipe II. Pasien diberikan tatalaksana berupa IVFD RL 500cc/ 24 jam,
aspilet 160 mg(loading), brilinta 180 mg (loading), atorvastatin 1x40 mg, ramipril
1x2,5 mg, critically ill insulin, KCl 10 mcq, injeksi lovenox 0,6 cc, injeksi ranitidine
2x50 mg, laxadin 1x10 cc. Selanjutnya pasien direncakan untuk early PCI pada
Pasien telah dilakukan PTCA 1 stent di proksimal mid LAD pada CAD 1
VD dengan lesi non signifikan di distal LCX. Pasien diberikan terapi ASA 1x160mg
Pada tanggal 26 Juli 2019 pasien sudah tidak merasakan nyeri dada. Pada
permenit, saturasi 99%. Pasien direncanakan untuk mobilisasi dan rawat jalan
dengan terapi pulang ASA 1x160mg, brilinta 2x90mg, atorvastatin 1x40 mg,
DISKUSI
Pasien wanita berusia 53 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang
pada tanggal 24 Juli 2019 pukul 14.05 WIB dengan keluhan utama nyeri dada sejak
20 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan berat di pertengahan dada,
muncul saat istirahat, dan dirasakan selama lebih dari 20 menit, dengan intensitas
sedang (VAS 4/10). Keluhan ini disertai dengan keringat dingin, mual, dan muntah.
Nyeri dada yang dirasakan pasien merupakan nyeri dada khas infark, yaitu
istirahat dengan durasi lebih dari 20 menit.5,6 Nyeri yang terjadi pada pasien ini
menyumbat arteri koroner secara total dari plak ateroskelosis yang ruptur.
metabolisme anaerob yang akan melepaskan mediator seperti adenosin dan laktat
menggumpal dan terjadi denaturasi protein. Mediator seperti adenosin dan laktat
sensasi nyeri.6
Nyeri dada juga dapat disebabkan oleh kelainan non iskemik seperti aorta
organ lain terutama yang juga berhubungan dengan sistem kardiovaskular juga perlu
udem pada tungkai, perlu ditanyakan untuk menyingkirkan kecurigaan gagal jantung
pada pasien. Pasien tidak mengeluhkan sesak nafas, saat beraktivitas dan berbaring.
Pasien terbangun malam hari karena sesaknya tidak ada, pasien tidak mengeluhkan
kaki sembab, dan tidak memiliki riwayat sesak nafas sebelumya. Hal ini dapat
pasien ini tidak mengalami aritmia. Hal ini perlu ditanyakan karena hipoksia
aritmia. Namun, pasien harus dipasang monitor EKG karena bisa saja rasa berdebar-
debar pada pasien dapat terabaikan karena nyeri dada yang lebih dominan.6
Riwayat penyakit dahulu seperti asma, gastritis, dan stroke tidak ada. Asma
perlu ditanyakan pada pasien SKA karena akan diberikan pengobatan seperti beta
asma, sehingga pemilihan beta bloker kardio selektif harus dipertimbangkan. Selain
itu, pasien SKA juga akan diberikan antiplatelet seperti aspirin sebagai tatalaksana
awal. Aspirin merupakan golongan AINS yang non selektif sehingga aktivasi
yang bersifat sitoprotektif. Hal ini dapat memperberat gastritis yang diderita pasien.
aktivitas ovarium, selama belum menopause ada peran hormon, yaitu hormone
estrogen, estrogen memiliki efek protektif pada sistem kardiovaskular karena ada
Estrogen juga memiliki efek yang baik pada distribusi lemak tubuh dan
Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda vital baik, turgor baik dan akral hangat
menandakan tidak ada gangguan perfusi jaringan. JVP normal, batas jantung dalam
batas normal, rhonki dan gallop tidak ada, tidak ada distensi/ascites, dan tidak ada
edema pada pasien ini dapat mempertajam kemungkinan belum terjadi komplikasi
PEMERIKSAAN EKG
Pemeriksaan EKG menjadi salah satu poin diagnosis setelah gejala klinis.
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada
Pada pemeriksaan EKG 12 lead pasien saat datang menunjukkan irama sinus
inverted di V1-V4, ST elevasi di V2, V3, dan V4, LVH (-), RVH (-). Pada EKG
Pada pasien ada terdapat kelainan EKG yakni STEMI. Nilai ambang elevasi
segmen ST untuk STEMI pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Nilai
ambang untuk diagnostik berbagai sadapan beragam, bergantung pada usia dan jenis
kelamin (Tabel 3.2). Penilaian elevasi ST dilakukan pada titik J dan ditemukan pada
sadapan yang berhadapan permukaan tubuh segmen elevasi ST dapat dijumpai pada
pasien STEMI kecuali jika STEMI tejadi di min-anterior.8
V1-V4 Anterior/anteroseptal
V1-V2 Septal
I, aVL,V5-V6 Lateral
V7-V9 Posterior
PEMERIKSAAN THORAKS
IGD didapatkan CTR 58%, segmen aorta normal, segmen pulmonal normal,
pinggang jantung normal, dan apeks tertanam. terdapat infiltrat dan kranialisasi (-).
disgnosis kerja STEMI harus ditegakkan lebih awal dari gejala klinis dan
pemeriksaan EKG. CKMB dan Troponin I/T digunakan sebagai marker yang
informasi tentang penyebab nekrosis miosis adalah karena iskemia atau non
iskemia. Peningkatan kadar troponin I akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam dan
dapat menetap hingga 2-3 hari atau hingga 2 minggu apabila terjadi infark yang
luas. Peningkatan kadar troponin juga terjadi pada keadaan takiaritmia atau
akut, stroke atau perdaraan subaraknoid dan penyakit kritis terutama pada sepsis.8,17
CKMB dapat meningkat dalam 4-6 jam dan mencapai puncak saat 12 jam, dapat
menetap hingga 2 hari. Berikut ini adalah gambar waktu timbulnya berbagai marker
jantung.8
troponin I yaitu 1060,6 ng/L. Hal lain yang perlu dilakukan pada pasien yang
risiko pada pasien akan menentukan prognosis pasien. Stratifikasi risiko dapat
dilakukan dengan merujuk kepada skor TIMI (Tabel 3.4 dan 3.5).18
Tabel 3.4. Skor Risiko TIMI18
Pada pasien ini didapatkan skor TIMI pasien sebesar 3/14. Hal ini
menandakan risiko mortalitas pasien dalam 30 hari adalah 4.4%. Semakin tinggi
skor TIMI seorang pasien, risiko mortalitas pasien akan semakin besar. Pada pasien
ini Killip juga digunakan untuk melihat resiko gagal jantung. Pada pasien ini
Jaringan
pemeriksaan EKG, pemeriksaan rontgen toraks, pasien ini didiagnosis dengan STEMI
diberikan terapi reperfusi dengan tujuan membatasi luasnya daerah infark miokard,
hal yang sangat menentukan prognosis pasien.. Ada dua terapi reperfusi yang dapat
diberikan untuk pasien SKA yaitu dengan primary PCI atau dengan obat fibrinolitik.
delay hingga pasien ditindak merupakan tujuan yang harus dicapai pada
pasien, maka pasien harus dipertimbangkan untuk dirujuk ke fasilitas yang dapat
Terapi IKP primer dilakukan pada pasien yang sampai ke tim IKP dari KMP
kurang dari 12 jam. IKP pada STEMI hanya dilakukan pada lesi culprit, yaitu lesi
menurunkan thrombosis.8
Rescue PCI/ rescue IKP dilakukan segera ketika pasien tidak berhasil
dengan fibrinolitik sebelumnya. Respon fibrinolitik yang tidak berhasil terlihat dari
Tabel 3.7. Dosis ko-terapi antiplatelet dan antikoagulan pada pasien yang menjalani
160 mg, antiplatelet dan rencana asuhan berupa Primary PCI / IKP Primer.
3.9) fibrinolitik yang datang pada waktu <12 jam. Apabila pasien datang dalam
waktu 2 jam dengan infark miokard luas dan risiko perdarahan rendah dan prediksi
waktu hingga sampai di meja kateterisasi >90 menit maka pasien diberikan
3.10) Antiplatelet aspirin oral dan clopidogrel juga diberikan. Terapi reperfusi
Absolut Relatif
Stroke hemoragik atau stroke yang TIA dalam 6 bulan terakhir Pemakaian
penyebabnya belum diketahui, dengan antikoagulan oral Kehamilan atau dalam 1
awitan kapanpun minggu post partum
Stroke iskemik 6 bulan terakhir Tempat tusukan yang tidak dapat
Kerusakan sistem saraf sentral dan dikompresi
neoplasma Resusitasi traumatik
Trauma operasi/ trauma kepala yang Hipertensi refrakter(TDS>180
berat dalam 3 minggu terakhir Perdarahan mmHg)
saluran cerna dalam 1 bulan terakhir Penyakit hati lanjut Infeksi endokarditis
Penyakit perdarahan Diseksi aorta Ulkus peptikum yang aktif.
perupakan komplikasi mayor dari terapi fibrinolitik, karena pengobatan pasien IMA
yang juga memakai anti agregasi platelet dan antikoagulan menyebabkan pasien
merupakan komplikasi yang fatal. Identifikasi dini lokasi dan sumber perdarahan
pemeriksaan darah tepi, APTT dan fibrinogen. Jika hemodinamik terganggu berikan
transfusi PRC (Packed Red Cells) dan jika fibrinogen <1 gr/L.
Bila STEMI terjadi dalam waktu 12 jam setelah awitan simptom, maka
reperfusi perlu dilakukan secepatnya. Tetapi bila STEMI sudah melampaui 12 jam
dari awitan symptom, tidak ada lagi jaringan yang bisa diselamatkan, infark miokard
telah komplit dan keluhan pasien hilang. Terapi reperfusi hanya diberikan kalau
masih ada tanda-tanda iskemia berupa nyeri dada, elevasi segmen ST, atau terjadi
left bundle branch block baru. Jika PPCI tidak bisa dilakukan, pasien diterapi
Pasien diberikan terapi inisial loading ASA 160 mg, Clopidogrel 300 mg,
ranitidin 1x150mg dan Oksigen 4L/menit dan direncanakan PPCI. Terapi yang akan
diberikan IVFD RL 500 cc/24 jam, ASA 160mg , Clopidogrel 300mg, Atorvastatin
1 x 40 mg, Lovenox 2 x 0,6 cc, Ramipril 1 x 1,25 mg, dan Ranitidin 2 x 50 mg,
supply.
PTCA 1 stent di proksimal mid LAD pada CAD 1 VD dengan lesi non signifikan di
Pada tanggal 26 Juli 2019, pasien sudah tidak merasakan nyeri dada. Pasien
direncanakan untuk mobilisasi dan rawat jalan dengan terapi pulang ASA 1x160mg,
brilinta 2x90mg, atorvastatin 1x40 mg, ramipril 1x2,5mg, bisoprolol 1x2,5mg, dan
insulin. Edukasi yang dapat kita berikan pada pasien ini berupa edukasi kepatuhan
PENUTUP
4.1 Kesimpulan