Anda di halaman 1dari 25

Case Report Session

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI SEGMEN ST

(IMA-EST)

Disusun Oleh:

Rahma Afifah 1840312212

Lisa Elfira 1840312688

Della Rayhani Putri 1840312689

R R Dyana Wisnu Satiti 1840312690

Preseptor:

dr. Masrul, Sp.PD, Sp.JP (K)

BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyebab kematian nomor satu setiap
tahunnya. Setiap tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena PTM (63% dari
seluruh kematian). Lebih dari 9 juta kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular
terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian “dini” tersebut terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Secara global PTM tersering penyebab kematian
adalah penyakit kardiovaskuler Penyakit kardiovaskuler adalah penyakit yang disebabkan
gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah, seperti:Penyakit Jantung Koroner, Penyakit
Gagal jantung atau Payah Jantung, Hipertensi dan Stroke.1
Pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 17,3 juta kematian disebabkan oleh
penyakit kardiovaskuler. Lebih dari 3 juta kematian tersebut terjadi sebelum usia 60 tahun
dan seharusnya dapat dicegah. Kematian “dini” yang disebabkan oleh penyakit jantung
terjadi berkisar sebesar 4% di negara berpenghasilan tinggi sampai dengan 42% terjadi di
negara berpenghasilan rendah. Komplikasi hipertensi menyebabkan sekitar 9,4 kematian di
seluruh dunia setiap tahunnya. Hipertensi menyebabkan setidaknya 45% kematian karena
penyakit jantung dan 51% kematian karena penyakit stroke. Kematian yang disebabkan
oleh penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner dan stroke diperkirakan
akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030.1
Menurut definisi kardiovaskuler dari WHO, penyakit kardiovaskuler adalah
penyakit yang disebabkan gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah. Ada banyak
macam penyakit kardiovaskuler, tetapi yang paling umum dan paling terkenal adalah
penyakit jantung koroner dan stroke. 2
Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard yang
terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa nyeri dada, perubahan segmen
ST pada Electrocardiogram (EKG), dan perubahan biomarker jantung. Keadaan iskemia
yang akut dapat menyebabkan nekrosis miokardial yang dapat berlanjut menjadi Infark
Miokard Akut. Nekrosis atau kematian sel otot jantung Sindrom koroner akut disebabkan
karena adanya gangguan aliran darah ke jantung. Daerah otot yang tidak mendapat aliran
darah dan tidak dapat mempertahankan fungsinya, dikatakan mengalami infark.2
Menurut WHO tahun 2008, penyakit jantung iskemik merupakan penyebab utama
kematian di dunia (12,8%) sedangkan di Indonesia menempati urutan ke tiga. Di negara
industri dan negara-negara yang sedang berkembang Sindrom koroner akut (SKA) masih
menjadi masalah kesehatan publik yang bermakna. Sindrom coroner akut merupakan salah
satu kasus penyebab rawat inap di Amerika Serikat, tercatat 1, 36 juta adalah kasus SKA, 0,
81 juta di antaranya adalah infark miokardium, dan sisanya angina pektoris tidak stabil.
Infark Miokard Akut (IMA) adalah salah satu diagnosis yang paling sering di negara maju.
Laju mortalitas awal dalam 30 hari pada IMA adalah 30% dengan separuh kematian terjadi
sebelum pasien mencapai rumah sakit. Infark Miokard Akut terdiri dari angina pektoris tak
stabil, IMA tanpa ST elevasi dan IMA dengan ST elevasi.43
Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia
pada tahun 2013 diperkirakan sekitar 883.447 atau sebesar 0,5%, sementara berdasarkan
diagnosis dokter ditemukan gejala sebesar 1,5% atau sekitar 2.650.340 orang. Berdasarkan
diagnosis dokter estimasi jumlah penderita di Provinsi Jawa Barat Sebanyak 0,5% atau
sekitar 160.812 orang, sedangkan di Provinsi Maluku Utara paling sedikit, yaitu 1.436
orang (0,2%). Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita terbanyak terdapat di
Provinsi Jawa Timur sebanyak 375.1227 orang atau sekitar (1,3%), sedangkan jumlah
penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Papua Barat, yaitu sebanyak 6.690 orang
(1,2%). Prevalensi jantung koroner yang terdiagnosis di Jawa Tengah sebesar 0,5 persen,
dan berdasar terdiagnosis dan gejala sebesar 1,4 persen, sedangkan di Kota Surakarta angka
prevalensi PJK yang terdiagnosis adalah 0,7 %.54
Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasarkan hasil EKG menjadi Infark
Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) dan Infark Miokard non ST-elevasi (NSTEMI). Pada
Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) terjadi oklusi total arteri koroner sehingga
menyebabkan daerah infark yang lebih luas meliputi seluruh miokardium, yang pada
pemeriksaan EKG ditemukan adanya elevasi segmen ST, sedangkan pada Infark Miokard
non ST-elevasi (NSTEMI) terjadi oklusi yang tidak menyeluruh dan tidak melibatkan
seluruh miokardium, sehingga pada pemeriksaaan EKG tidak ditemukan adanya elevasi
segmen ST.35
Penyumbatan arteri koroner secara total pada STEMI mengakibatkan pasien
membutuhkan revaskularisasi cepat untuk mencegah infark luas. Mayoritas kematian akibat
STEMI terjadi diluar rumah sakit, 45-65% gejala timbul pada jam pertama dan 80% gejala
timbul dalam 24 jam. Terapi reperfusi yang cepat dapat menyelamatkan kerusakan jantung
sehingga fungsi jantung dapat dipertahankan. Tatalaksana STEMI adalah Percutaneous
Coronary Intervention (PCI) pada pasien dengan gejala < 12 jam atau terapi farmakologis
dengan pemberian fibrinolitik.6,
Berdasarkan data-data diatas, penulis tertarik mengambil kasus tentang Infark
Miokard Akut ST-Elevasi (STEMI).
1.2 Batasan Masalah

Batasan penulisan ini membahas mengenai definisi, klasifikasi, diagnosis, dan


penatalaksanaan berbagai kasus Infark Miokard Akut ST-Elevasi (STEMI).
1.3 Tujuan Penulisan

Menambah pengetahuan mengenai Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI).


1.4 Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai
literatur.
BAB II

ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien perempuan 53 tahun dirawat di bagian jantung RSUP Dr.

M. Djamil Padang dengan keluhan utama nyeri dada sejak 20 jam sebelum masuk

rumah sakit. Pasien merupakan rujukan RSUD Muaro Labuh dengan diagnosis

STEMI anterior + DM tipe II, mendapat terapi loading aspilet 320 mg, clopidogrel

150 mg, ISDN 5 mg, injeksi OMZ 1 amp IV, ondansetron 3x1, sucralfate 3x1 cth.

Nyeri terasa memberat dan menyesak di ulu hati menjalar ke punggung.

Nyeri dirasakan selama 30 menit. Nyeri dada pertama kali dan dirasakan ketika

istirahat. Saat nyeri pasien berkeringat dingin, mual, tapi tidak sampai muntah.

Riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada. Pasien tidak ada merasakan sesak

nafas, tidak ada riwayat sesak saat aktivitas atau terbangun malam hari karena

sesak. Pasien tidak merasakan jantung berdebar-debar, pusing, maupun pingsan.

Faktor resiko penyakit kardiovaskular yaitu pasien menopause, riwayat hipertensi

tidak ada, riwayat diabetes melitus ada >10 tahun, rutin minum glimepiride 4 mg,

metformin 3x500 mg, riwayat keluarga tidak ada, riwayat dislipidemia tidak ada,

riwayat merokok tidak ada. Pasien tidak memiliki riwayat asma, gastritis serta

stroke.

Keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran

komposmentis, tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 75 kali/menit dan

reguler, frekuensi pernafasan 20 kali/menit dan suhu 36,50 C. Konjungtiva tidak

anemis, sklera terlihat tidak ikterik dan tekanan vena jugularis didapatkan 5+0

cmH2O. Pada pemeriksaan jantung didapatkan iktus kordis tidak terlihat, iktus

kordis teraba kuat angkat. Perkusi jantung didapatkan batas jantung kanan pada

linea sternalis dextra, batas atas RIC II dan batas kiri 1 jari medial LMCS di RIC

V. Pada auskultasi ditemukan S1 dan S2 reguler, tidak ditemukan murmur


maupun gallop. Pemeriksaan paru didapatkan inspeksi simetris kiri dan kanan,

palpasi didapatkan fremitus kiri dan kanan sama, perkusi didapatkan sonor kiri

dan kanan, dan auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler, tidak ada rhonki -/-

dan wheezing -/-. Pada pemeriksaan abdomen, tidak distensi, hepar dan lien tidak

teraba serta bising usus normal. Ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema pada

tungkai.

Gambar 1. EKG tanggal 24 Juli 2019


Pemeriksaan EKG pada tanggal 24 Juli 2019 (Gambar 1) menunjukkan SR,
QRS rate 78x permenit, axis normal, gelombang P normal, PR interval 0,16s, T
inverted di V1-V4.

Gambar 2. Rontgen thorax tanggal 24 Juli 2019


Berdasarkan pemeriksaan rontgen thorax (gambar 2), didapat Cardio

Thoracic Ratio (CTR) sebesar 58%, segmen aorta normal, segmen pulmonal

normal, infiltrat (+) dan kranialisasi (-).

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb 13,3 g/dl, leukosit

13.810/mm3, trombosit 357.000/mm3, hematokrit 40%, ureum 14 mg/dl, creatinin

0,7 mg/dl, natrium 143 mmol/l, kalium 4,8 mmol/l, klorida serum 110 mmol/l,

kalsium 8,8 mg/dl, Troponin I 1060,6 u/l, dan gula darah sewaktu 262 mg/dl.

Pemeriksaan laboratorium memberikan kesan leukositosis, gula darah sewaktu

meningkat dan troponin I rule in MCI .

Pada penilaian skor TIMI didapatkan anterior STE / LBBB (1), diabetes (+),

angina (+) (1), time to treatment >4 jam (1) sehingga skor TIMI 3/14.

Pasien ini didiagnosa dengan STEMI anterior extensive onset 20 jam TIMI

3/14 dan DM tipe II. Pasien diberikan tatalaksana berupa IVFD RL 500cc/ 24 jam,

aspilet 160 mg(loading), brilinta 180 mg (loading), atorvastatin 1x40 mg, ramipril

1x2,5 mg, critically ill insulin, KCl 10 mcq, injeksi lovenox 0,6 cc, injeksi ranitidine

2x50 mg, laxadin 1x10 cc. Selanjutnya pasien direncakan untuk early PCI pada

tanggal 25 Juli 2019.

Pasien telah dilakukan PTCA 1 stent di proksimal mid LAD pada CAD 1

VD dengan lesi non signifikan di distal LCX. Pasien diberikan terapi ASA 1x160mg

dan brilinta 2x90mg.

Pada tanggal 26 Juli 2019 pasien sudah tidak merasakan nyeri dada. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sakit sedang, kesadaraan

komposmentis, tekanan darah 130/70 mmHg, HR 60x permenit, pernafasan 18x

permenit, saturasi 99%. Pasien direncanakan untuk mobilisasi dan rawat jalan

dengan terapi pulang ASA 1x160mg, brilinta 2x90mg, atorvastatin 1x40 mg,

ramipril 1x2,5mg, bisoprolol 1x2,5mg, dan insulin.


BAB III

DISKUSI

Pasien wanita berusia 53 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang

pada tanggal 24 Juli 2019 pukul 14.05 WIB dengan keluhan utama nyeri dada sejak

20 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan berat di pertengahan dada,

muncul saat istirahat, dan dirasakan selama lebih dari 20 menit, dengan intensitas

sedang (VAS 4/10). Keluhan ini disertai dengan keringat dingin, mual, dan muntah.

Pasien tidak memiliki riwayat nyeri dada sebelumnya.

Nyeri dada yang dirasakan pasien merupakan nyeri dada khas infark, yaitu

nyeri dirasakan di pertengahan dada (retrosternal/substernal) dan dirasakan saat

istirahat dengan durasi lebih dari 20 menit.5,6 Nyeri yang terjadi pada pasien ini

disebabkan adanya proses iskemik sel-sel miokardium akibat trombus yang

menyumbat arteri koroner secara total dari plak ateroskelosis yang ruptur.

Gambar 3.1 Proses terbentuk trombus 6


Total oklusi pada arteri koroner menyebabkan berkurang-hilangnya perfusi

ke miokardium. Hipoksia yang terjadi pada miokardium akan meningkatkan

metabolisme anaerob yang akan melepaskan mediator seperti adenosin dan laktat

sehingga terjadi asidosis intraseluler. Keadaan ini akan menyebabkan kromatin

menggumpal dan terjadi denaturasi protein. Mediator seperti adenosin dan laktat

akan dihantarkan ke ujung-ujung saraf aferen terus- menerus sehingga menimbulkan

sensasi nyeri.6

Nyeri dada juga dapat disebabkan oleh kelainan non iskemik seperti aorta

diseksi, mioperikarditis, pleuritis, emboli paru, kostokondritis, gangguan

gastrointestinal, dan psikogenik sehingga penting untuk mengetahui karakteristik

nyeri dada pasien.6,7

Tabel 3.1 Diagnosis Banding Nyeri Dada Non Iskemik5,6

Kelainan Karakteristik Nyeri Dada


Diseksi aorta Nyeri tajam seperti disayat/dirobek yang
menjalar
umumnya ke punggung (a. torakalis) atau
sesuai lokasi diseksi
Mioperikarditis Nyeri memberat saat berbaring dan membaik
saat
duduk atau membungkuk
Pleuritis Nyeri tajam yang berhubungan dengan
respirasi atau
Batuk
Emboli paru Nyeri dada peluritis terlokalisasi yang disertai
sesak
nafas hebat.
Ganguan Disertai/diawali nyeri/nyeri tekan/lepas perut
gastrointestinal sesuai
(GERD,akut proyeksi organ abdomen, memburuk/muncul
kolesistitis dll) setelah makan/menelan, atau heart burn
Kostokondritis Nyeri terlokalisir yang meningkat dengan
penekanan
(palpasi)
Selain nyeri dada, keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan kelainan

organ lain terutama yang juga berhubungan dengan sistem kardiovaskular juga perlu

ditanyakan. Keluhan seperti sesak napas, ortopnea, dipsnea nocturnal paroksismal,

udem pada tungkai, perlu ditanyakan untuk menyingkirkan kecurigaan gagal jantung

pada pasien. Pasien tidak mengeluhkan sesak nafas, saat beraktivitas dan berbaring.

Pasien terbangun malam hari karena sesaknya tidak ada, pasien tidak mengeluhkan

kaki sembab, dan tidak memiliki riwayat sesak nafas sebelumya. Hal ini dapat

menyingkirkan adanya kongesti paru yang terjadi akibat gagal jantung.

Pasien juga tidak mengeluhkan berdebar-debar, pingsan, kemungkinan

pasien ini tidak mengalami aritmia. Hal ini perlu ditanyakan karena hipoksia

miokardium dapat menurunkan adenosin tripospat (ATP) yang menyebabkan

gangguan elektrolit dan memicu perubahan potensial membran sehingga timbul

aritmia. Namun, pasien harus dipasang monitor EKG karena bisa saja rasa berdebar-

debar pada pasien dapat terabaikan karena nyeri dada yang lebih dominan.6

Riwayat penyakit dahulu seperti asma, gastritis, dan stroke tidak ada. Asma

perlu ditanyakan pada pasien SKA karena akan diberikan pengobatan seperti beta

bloker yang harus berhati-hati dalam pemberiannya. Penghambatan reseptor beta

dapat menyebabkan vasokonstriksi pada bronkus dan dapat mecetuskan eksaserbasi

asma, sehingga pemilihan beta bloker kardio selektif harus dipertimbangkan. Selain

itu, pasien SKA juga akan diberikan antiplatelet seperti aspirin sebagai tatalaksana

awal. Aspirin merupakan golongan AINS yang non selektif sehingga aktivasi

siklooksigenase (COX-1) terganggu pada lambung dan menghambat prostasiklin

yang bersifat sitoprotektif. Hal ini dapat memperberat gastritis yang diderita pasien.

Adanya stroke dapat memperkuat kemungkinan adanya kejadian aterosklerosis yang

sama (sekuele) pada pembuluh darah koroner.6


Faktor risiko kardiovaskuler yang dimiliki pasien ini adalah usia tua,

menopause, dan diabetes mellitus tipe 2. Ketika menopause, terjadi penurunan

aktivitas ovarium, selama belum menopause ada peran hormon, yaitu hormone

estrogen, estrogen memiliki efek protektif pada sistem kardiovaskular karena ada

peningkatan prevalensi penyakit kardiovaskular pada wanita pascamenopause.

Estrogen juga memiliki efek yang baik pada distribusi lemak tubuh dan

peningkatan sensitivitas insulin.8

Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda vital baik, turgor baik dan akral hangat

menandakan tidak ada gangguan perfusi jaringan. JVP normal, batas jantung dalam

batas normal, rhonki dan gallop tidak ada, tidak ada distensi/ascites, dan tidak ada

edema pada pasien ini dapat mempertajam kemungkinan belum terjadi komplikasi

seperti gagal jantung.

PEMERIKSAAN EKG

Pemeriksaan EKG menjadi salah satu poin diagnosis setelah gejala klinis.

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada

iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin (dalam 10

menit) sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.8

Pada pemeriksaan EKG 12 lead pasien saat datang menunjukkan irama sinus

rhytm, rate 78x/menit, axis normal, gelombang P normal, PR interval 0.16s, T

inverted di V1-V4, ST elevasi di V2, V3, dan V4, LVH (-), RVH (-). Pada EKG

didapatkan kesan infark miokard di anterior.

Pada pasien ada terdapat kelainan EKG yakni STEMI. Nilai ambang elevasi

segmen ST untuk STEMI pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Nilai

ambang untuk diagnostik berbagai sadapan beragam, bergantung pada usia dan jenis

kelamin (Tabel 3.2). Penilaian elevasi ST dilakukan pada titik J dan ditemukan pada

2 sadapan yang bersebelahan (Tabel 3.3). Depresi segmen ST yang resiprokal,

sadapan yang berhadapan permukaan tubuh segmen elevasi ST dapat dijumpai pada
pasien STEMI kecuali jika STEMI tejadi di min-anterior.8

Tabel 3.2. Nilai ambang untuk diagnostik elevasi ST.8

3.3. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG7

Lokasi elevasi segmen ST Lokasi Anatomis

V1-V4 Anterior/anteroseptal

V1-V2 Septal

I, aVL,V5-V6 Lateral

V1-V6 Anterior ekstensif

II, III, aVF Inferior

V3R-V4R Ventrikel kanan

V7-V9 Posterior

PEMERIKSAAN THORAKS

Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan untuk menentukan diagnosis,

identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta. Gambaran rontgen toraks pasien di

IGD didapatkan CTR 58%, segmen aorta normal, segmen pulmonal normal,

pinggang jantung normal, dan apeks tertanam. terdapat infiltrat dan kranialisasi (-).

Kesan dari rontgen toraks ditemukan kardiomegali.


PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan marker jantung pada STEMI tetap harus dilakukan meskipun

disgnosis kerja STEMI harus ditegakkan lebih awal dari gejala klinis dan

pemeriksaan EKG. CKMB dan Troponin I/T digunakan sebagai marker yang

menunjukan terjadinya nekrosis miosit jantung, namun tidak dapat memberi

informasi tentang penyebab nekrosis miosis adalah karena iskemia atau non

iskemia. Peningkatan kadar troponin I akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam dan

dapat menetap hingga 2-3 hari atau hingga 2 minggu apabila terjadi infark yang

luas. Peningkatan kadar troponin juga terjadi pada keadaan takiaritmia atau

bradiaritmia berat, miokarditis, emboli paru, dissecting aneurism, gangguan ginjal

akut, stroke atau perdaraan subaraknoid dan penyakit kritis terutama pada sepsis.8,17

Pemeriksaan CKMB dapat dilakukan jika pemeriksaan troponin tidak ada.

CKMB dapat meningkat dalam 4-6 jam dan mencapai puncak saat 12 jam, dapat

menetap hingga 2 hari. Berikut ini adalah gambar waktu timbulnya berbagai marker

jantung.8

Gambar 3.9 Waktu timbulnya berbagai marker jantung8

Hasil laboratorium pada pasien ini menunjukan terdapat peningkatan kadar

troponin I yaitu 1060,6 ng/L. Hal lain yang perlu dilakukan pada pasien yang

didiagnosis dengan STEMI adalah melakukan stratifikasi risiko pasien. Stratifikasi

risiko pada pasien akan menentukan prognosis pasien. Stratifikasi risiko dapat

dilakukan dengan merujuk kepada skor TIMI (Tabel 3.4 dan 3.5).18
Tabel 3.4. Skor Risiko TIMI18

Kriteria Pasien Skor


Usia ≥75 tahun
65-74 tahun Usia 53 tahun 0
Riwayat DM atau hipertensi atau angina DM 1
Tekanan darah sistolik<100mmHg 116 mmHg 0
Denyut jantung>100x/menit 70x/menit 0
Kelas Killip II-IV Kelas I 0
Elevasi ST anterior atau LBBB ST elevasi segemen 1
anterior
Berat badan <67kg 55 kg 0
Waktu hingga pengobatan awal>4jam 6 jam 1

Tabel 3.5. Risiko mortalitas dalam 30 hari18

Skor Risiko TIMI untuk STEMI


Skor Risiko
Dalam memprediksi kematian dalam 30 hari
(%)
0 0,8
1 1,6
2 2,2
3 4,4
4 7,3
5 12,4
6 16,1
7 23,4
8 26,8
>8 35,9

Pada pasien ini didapatkan skor TIMI pasien sebesar 3/14. Hal ini

menandakan risiko mortalitas pasien dalam 30 hari adalah 4.4%. Semakin tinggi

skor TIMI seorang pasien, risiko mortalitas pasien akan semakin besar. Pada pasien

ini Killip juga digunakan untuk melihat resiko gagal jantung. Pada pasien ini

kelasnya adalah Kilip I dengan mortalitas 30 hari 6% (Tabel 3.6)


Tabel 3.6. Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas Killip18

Kelas Killip Temuan Klinis Mortalitas

I Tidak terdapat gagal jantung (tidak terdapat 6%

ronkhi maupun S3)

II Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 dan 17%

ronkhi basah pada setengah lapangan paru

III Terdapat edema paru ditandai oleh ronkhi basah di 38%

seluruh lapangan paru

IV Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh tekanan darah 81%

sistolik <90 mmHg dan tanda hipoperfusi

Jaringan

Berdasarkan anamesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,

pemeriksaan EKG, pemeriksaan rontgen toraks, pasien ini didiagnosis dengan STEMI

anterior onset 30 menit KILLIP 1 TIMI 3/14.Tatalaksana pasien digunakan algoritma

tatalaksana SKA oleh PERKI 2018:

Gambar 3. Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA


Sesuai algoritma,pasien ini definitif SKA dengan elevasi segmen ST dan

diberikan terapi reperfusi dengan tujuan membatasi luasnya daerah infark miokard,

hal yang sangat menentukan prognosis pasien.. Ada dua terapi reperfusi yang dapat

diberikan untuk pasien SKA yaitu dengan primary PCI atau dengan obat fibrinolitik.

Semakin cepat waktu kedatangan pasien ke pelayanan kesehatan dan sedikitnya

delay hingga pasien ditindak merupakan tujuan yang harus dicapai pada

penatalaksanaan pasien. Jika tidak memungkinkan untuk dilakukan PPCI pada

pasien, maka pasien harus dipertimbangkan untuk dirujuk ke fasilitas yang dapat

melakukan PPCI. Algoritma penatalaksanaan pasien dijelaskan dalam Gambar 4 :

Gambar 4. Algoritma tatalaksana pasien STEMI.


Primary PCI

Terapi IKP primer dilakukan pada pasien yang sampai ke tim IKP dari KMP

kurang dari 12 jam. IKP pada STEMI hanya dilakukan pada lesi culprit, yaitu lesi

yang berhubungan dengan daerah infark. Penggunaan stent dianjurkan untuk

menurunkan thrombosis.8

Pasien yang akan melakukan IKP primer dianjurkan mengonsumsi

antiplatelet ganda (Dual Antiplatelet Theraphy/DAPT) berupa Aspirin oral dan

Penyekat P2Y12/ADP (Prasurgel, ticagrelor, atau Clopidogrel).8

Rescue PCI/ rescue IKP dilakukan segera ketika pasien tidak berhasil

dengan fibrinolitik sebelumnya. Respon fibrinolitik yang tidak berhasil terlihat dari

resolusi segmen ST <50% dalam waktu 60-90 menit seetelah pemebrian

fibrinolitik, atau terjasi ketidakstabilan hemodinamik/elektrolit, perburukan iskemia,

atau nyeri dada persisten.8

Tabel 3.7. Dosis ko-terapi antiplatelet dan antikoagulan pada pasien yang menjalani

IKP primer atau belum menjalani reperfusi17


Pada pasien ini terlihat di IGD RSUP Dr. M. Djamil diberikan loading ASA

160 mg, antiplatelet dan rencana asuhan berupa Primary PCI / IKP Primer.

Terapi fibrinolitik diberikan pada semua pasien tanpa kontraindikasi (Tabel

3.9) fibrinolitik yang datang pada waktu <12 jam. Apabila pasien datang dalam

waktu 2 jam dengan infark miokard luas dan risiko perdarahan rendah dan prediksi

waktu hingga sampai di meja kateterisasi >90 menit maka pasien diberikan

fibrinolitik. Fibrin spesifik agen merupakan pilihan pertama, seperti tenecteplase,

alteplase, reteplase dibandingkan agen tidak spesifik fibrin (streptokinase). (Tabel

3.10) Antiplatelet aspirin oral dan clopidogrel juga diberikan. Terapi reperfusi

medikamentosa yang dianjurkan selanjutnya adalah statin, yakni rosuvastatin 10-

20mg atau atorvastatin 20-40mg.8


Gambar 3.10 Langkah-langkah pemberian fibrinolitik pada STEMI9

Tabel 3.8 Kontraindikasi absolut dan relatif pada pemberian fibrinolitik.8

Absolut Relatif
Stroke hemoragik atau stroke yang TIA dalam 6 bulan terakhir Pemakaian
penyebabnya belum diketahui, dengan antikoagulan oral Kehamilan atau dalam 1
awitan kapanpun minggu post partum
Stroke iskemik 6 bulan terakhir Tempat tusukan yang tidak dapat
Kerusakan sistem saraf sentral dan dikompresi
neoplasma Resusitasi traumatik
Trauma operasi/ trauma kepala yang Hipertensi refrakter(TDS>180
berat dalam 3 minggu terakhir Perdarahan mmHg)
saluran cerna dalam 1 bulan terakhir Penyakit hati lanjut Infeksi endokarditis
Penyakit perdarahan Diseksi aorta Ulkus peptikum yang aktif.

Tabel 3.9. Dosis fibrinolitik dan ko-terapi antitrombotik.8


Selain itu, ada empat hal yang perlu diperhatikan selama pemberian

fibrinolitik yaitu PAHA (Perdarahan, Alergi, Hipotensi, Aritmia). Perdarahan

perupakan komplikasi mayor dari terapi fibrinolitik, karena pengobatan pasien IMA

yang juga memakai anti agregasi platelet dan antikoagulan menyebabkan pasien

semakin rentan akan perdarahan. Perdarahan intrakranial terjadi <1%, namun

merupakan komplikasi yang fatal. Identifikasi dini lokasi dan sumber perdarahan

segera untuk melakukan kontrol perdarahan. Berikan protamine sebagain antidotum

Heparin, lakukan CT scan kepala jika dicurigai perdarahan intrakranial, cek

pemeriksaan darah tepi, APTT dan fibrinogen. Jika hemodinamik terganggu berikan

transfusi PRC (Packed Red Cells) dan jika fibrinogen <1 gr/L.

Bila STEMI terjadi dalam waktu 12 jam setelah awitan simptom, maka

reperfusi perlu dilakukan secepatnya. Tetapi bila STEMI sudah melampaui 12 jam

dari awitan symptom, tidak ada lagi jaringan yang bisa diselamatkan, infark miokard

telah komplit dan keluhan pasien hilang. Terapi reperfusi hanya diberikan kalau

masih ada tanda-tanda iskemia berupa nyeri dada, elevasi segmen ST, atau terjadi

left bundle branch block baru. Jika PPCI tidak bisa dilakukan, pasien diterapi

dengan obat fibrinolitik. Sebelum dilakukan terapi fibrinolitik, pasien harus

dipastikan tidak memiliki kontraindikasi.

Pasien diberikan terapi inisial loading ASA 160 mg, Clopidogrel 300 mg,

ranitidin 1x150mg dan Oksigen 4L/menit dan direncanakan PPCI. Terapi yang akan

diberikan berikutnya untuk pasien adalah obat fibrinolitik. Obat-obatan yang

diberikan IVFD RL 500 cc/24 jam, ASA 160mg , Clopidogrel 300mg, Atorvastatin

1 x 40 mg, Lovenox 2 x 0,6 cc, Ramipril 1 x 1,25 mg, dan Ranitidin 2 x 50 mg,

critical ill insulin, bisoprolol 1x2.5mg, brilinta 180 mg (loading).

Atorvastatin 1x40 mg diberikan untuk stabilisasi plak. Lovenox


(Enoxaparin) sebagai terapi antikoagulan diberikan untuk semua pasien yang

mendapat terapi antiplatelet dalam perawatan, dengan dosis 2 x 60mg subkutan

(sebelumnya dibolus 300 mg iv). Ramipril berguna untuk menghambat enzim

pengubah angiotensin (angiotensin I menjadi angiotensin II) kemudian mengalami

vasodilatasi dan terjadi penurunan resistensivaskular sehingga dapat meningkatkan

supply.

Selanjutnya pasien direncanakan untuk early PCI tanggal 25 Juli 2019.

PTCA 1 stent di proksimal mid LAD pada CAD 1 VD dengan lesi non signifikan di

distal LCX, diberikan ASA 1x160mg dan brilinta 2x90mg.

Pada tanggal 26 Juli 2019, pasien sudah tidak merasakan nyeri dada. Pasien

direncanakan untuk mobilisasi dan rawat jalan dengan terapi pulang ASA 1x160mg,

brilinta 2x90mg, atorvastatin 1x40 mg, ramipril 1x2,5mg, bisoprolol 1x2,5mg, dan

insulin. Edukasi yang dapat kita berikan pada pasien ini berupa edukasi kepatuhan

terhadap pengobatan, pengaturan aktivitas fisik, pengaturan pola makan, dan

pengendalian diabetes mellitus.


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Sindroma Koroner Akut diklasifikasikan menjadi infark miokard dengan elevasi


segmen ST (STEMI), infark miokard non-elevasi segmen ST (NSTEMI) dan
unstable Angina Pectoris (UAP)
2. Diagnosis STEMI harus ditegakkan segera dari klinis dan EKG dalam 10 menit
awal mengingat time is muscle pada kasus ini.
3. Terdapat dua strategi terapi reperfusi yang cepat dapat menyelamatkan kerusakan
jantung sehingga fungsi jantung dapat dipertahankan, yaitu primary PCI /
Intervensi Perkutan Primer (IKP) dan medikamentosa fibrinolitik. Penentuan
strategi terapi yaitu berdasarkan waktu tempuh dari kontak medis pertama (KMP,
sejak pasien mulai dinilai dokter/tenaga medis).
4. Edukasi penting diberikan pada pasien untuk kepatuhan terapi jangka panjang
dan prevensi sekunder.
DAFTAR PUSTAKA

1. Auliyana, Dina. Acute Coronary Syndrom. Fakultas Kesehatan Universitas


Muhammadiyah.2016.
2. Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran. Data Riset
Kesehatan Dasar. In: RI PKK, editor.; 2013.
3. Kementrian Kesehatan RI. Penyakit Jantung Penyebab Kematian Tertinggi,
Kemenkes Ingatkan CERDIK 2017. -Diakses.
4. Widya J. Sindrom Koroner Akut 2014.
https://josephinewidya.wordpress.com/2014/04/30/definisi-etiologi-faktor-risiko-dan-
klasifikasi-sindrom-koroner-akut/ -Diakses 11 Mei 2017.
5. Menon, Venu. Acute Myocardial Infarction. In: Manual of Cardiovascular Medicine.
4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business;
2013. p. 2-35.
6. Rhee J, Sabattne M, Lilly L. Acute Coronary Syndromes. In: Pathophysiology of
heart disease. 5th Ed. Boston: Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 163-80.
7. Storm J, Libby P. Atherosclerosis. In: Pathophysiology of heart disease. 5th Ed.
Boston: Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 113-33.
8. Juzar D, Danny S, Irmalita. Pedoman Tata Laksana Sindroma Koroner Akut. Edisi
Keempat.: PERKI; 2018. p. 1-76.
9. Rijnbeek P, Herpen Gv, Bots M, al. e. ormal values of the electrocardiogram for ages
16-90 years. N J Electrocardiol. 2014;47:914-21.
10. Jensen P, Gronroos N, Chen L, al. e. Incidence of and risk factors for sick sinus
syndrome in the general population. J Am Coll Cardiol. 2014;64:531-8.
11. Stambler B, Rahimtoola S, Ellenbogen K. Pacing for atrioventricular conduction
system disease. En: Ellenbogen K., Kay G., Lau C., Wilkoff B., editors. Cardiac
pacing, defibrillation and resynchronization therapy. Philadelphia: Saunders
Elsevier;2007. 429-72.
12. INA-ECG. AV Block Derajat I / 1st Degree AV Block. http://www.ina-
ecg.com/2015/04/first-degree-av-block.html -Diakses 13 Juli 2019.
13. Monfredi O, Dobrzynski H, T TM, Boyett M, Morris G. The anatomy and physiology
of the sinoatrial node−a contemporary review. Pacing Clin Electrophysiol.
2010;33:1392-406.
14. INA-ECG. Wenckebach AV Block / Mobitz 1 AV Block. http://www.ina-
ecg.com/2015/04/2nd-degree-av-block-type-1.html -Diakses 13 Juli 2018.
15. INA-ECG. Hay AV Block / Mobitz 2 AV Block. http://www.ina-
ecg.com/2015/04/2nd-degree-av-block-type-2.html -Diakses 13 juli 2019.
16. INA-ECG. 3rd Degree AV Block / Total AV Block. http://www.ina-
ecg.com/2015/04/3rd-degree-av-block.html -Diakses 13 Juli 2019.
17. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes M, Bucciarelli-Ducci C, dkk. 2017 ESC
Guidelines for management of acute myocardial infarction in patients presenting with
ST-segment elevation. . Eur Heart J. 2018;39(4):121-77.
18. Morrow D, Antman E, Charlesworth A, Cairns R, Murphy S, Lemos Jd, et al. TIMI
risk score for ST- elevation myocardial infarction: A convenient, bedside, clinical
score for risk assessment at presentation: An intravenous nPA for treatment of
infracting myocardium early II trial substudy. Circulation. 2000;102(17):2031-7.

Anda mungkin juga menyukai