Anda di halaman 1dari 27

Diskusi Kasus

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI SEGMEN ST

(IMA-EST)

Disusun Oleh:

Mutiara Suci Utami Asri 1840312768


Febrina Adriani Purba 1840312769
Galuh Yudhi Widya Saputra 1840312206
Muhammad Syukra 1840312204

Preseptor:

Dr. Eka Fithra Elfi, Sp.JP (K)

BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada


Allah SWT dan shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas diskusi kasus ini
dengan judul “Infark miokard akut dengan elevasi segmen st (IMA-EST)”
yang merupakan salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu Kardiologi dan
Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M.
Djamil Padang.

Dalam usaha penyelesaian tugas diskusi kasus ini, penulis mengucapkan


terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Eka Fithra Elfi, Sp. JP(K) selaku
pembimbing dalam penyusunan tugas ini.

Kami menyadari bahwa didalam penulisan ini masih banyak kekurangan.


Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua saran dan
kritik yang membangun guna penyempurnaan referat ini. Akhir kata, semoga
referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Padang, 7 Juli 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang

Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyebab kematian nomor


satu setiap tahunnya.Setiap tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena
PTM (63% dari seluruh kematian). Lebih dari 9 juta kematian yang disebabkan
oleh penyakit tidak menular terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian
“dini” tersebut terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Secara
global PTM tersering penyebab kematian adalah penyakit kardiovaskuler Penyakit
kardiovaskuler adalah penyakit yang disebabkan gangguan fungsi jantung dan
pembuluh darah, seperti:Penyakit Jantung Koroner, Penyakit Gagal jantung atau
Payah Jantung, Hipertensi dan Stroke.1
Pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 17,3 juta kematian disebabkan
oleh penyakit kardiovaskuler. Lebih dari 3 juta kematian tersebut terjadi sebelum
usia 60 tahun dan seharusnya dapat dicegah. Kematian “dini” yang disebabkan
oleh penyakit jantung terjadi berkisar sebesar 4% di negara berpenghasilan tinggi
sampai dengan 42% terjadi di negara berpenghasilan rendah. Komplikasi
hipertensi menyebabkan sekitar 9,4 kematian di seluruh dunia setiap tahunnya.
Hipertensi menyebabkan setidaknya 45% kematian karena penyakit jantung dan
51% kematian karena penyakit stroke. Kematian yang disebabkan oleh penyakit
kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner dan stroke diperkirakan akan
terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030. 1
Menurut definisi kardiovaskuler dari WHO, penyakit kardiovaskuler
adalah penyakit yang disebabkan gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah.
Ada banyak macam penyakit kardiovaskuler, tetapi yang paling umum dan paling
terkenal adalah penyakit jantung koroner dan stroke. 2
Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia
miokard yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa nyeri
dada, perubahan segmen ST pada Electrocardiogram (EKG), dan perubahan
biomarker jantung. Keadaan iskemia yang akut dapat menyebabkan nekrosis
miokardial yang dapat berlanjut menjadi Infark Miokard Akut. Nekrosis atau
kematian sel otot jantung Sindrom koroner akut disebabkan karena adanya
gangguan aliran darah ke jantung. Daerah otot yang tidak mendapat aliran darah
dan tidak dapat mempertahankan fungsinya, dikatakan mengalami infark. 2
Menurut WHO tahun 2008, penyakit jantung iskemik merupakan
penyebab utama kematian di dunia (12,8%) sedangkan di Indonesia menempati
urutan ke tiga. Di negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang
Sindrom koroner akut (SKA) masih menjadi masalah kesehatan publik yang
bermakna. Sindrom coroner akut merupakan salah satu kasus penyebab rawat inap
di Amerika Serikat, tercatat 1, 36 juta adalah kasus SKA, 0, 81 juta di antaranya
adalah infark miokardium, dan sisanya angina pektoris tidak stabil. Infark
Miokard Akut (IMA) adalah salah satu diagnosis yang paling sering di negara
maju. Laju mortalitas awal dalam 30 hari pada IMA adalah 30% dengan separuh
kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Infark Miokard Akut
terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa ST elevasi dan IMA dengan ST
elevasi.43
Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di
Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan sekitar 883.447 atau sebesar 0,5%,
sementara berdasarkan diagnosis dokter ditemukan gejala sebesar 1,5% atau
sekitar 2.650.340 orang. Berdasarkan diagnosis dokter estimasi jumlah penderita
di Provinsi Jawa Barat Sebanyak 0,5% atau sekitar 160.812 orang, sedangkan di
Provinsi Maluku Utara paling sedikit, yaitu 1.436 orang (0,2%). Berdasarkan
diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita terbanyak terdapat di Provinsi Jawa
Timur sebanyak 375.1227 orang atau sekitar (1,3%), sedangkan jumlah penderita
paling sedikit ditemukan di Provinsi Papua Barat, yaitu sebanyak 6.690 orang
(1,2%). Prevalensi jantung koroner yang terdiagnosis di Jawa Tengah sebesar 0,5
persen, dan berdasar terdiagnosis dan gejala sebesar 1,4 persen, sedangkan di
Kota Surakarta angka prevalensi PJK yang terdiagnosis adalah 0,7 %.54
Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasarkan hasil EKG menjadi
Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) dan Infark Miokard non ST-elevasi
(NSTEMI). Pada Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) terjadi oklusi total
arteri koroner sehingga menyebabkan daerah infark yang lebih luas meliputi
seluruh miokardium, yang pada pemeriksaan EKG ditemukan adanya elevasi
segmen ST, sedangkan pada Infark Miokard non ST-elevasi (NSTEMI) terjadi
oklusi yang tidak menyeluruh dan tidak melibatkan seluruh miokardium, sehingga
pada pemeriksaaan EKG tidak ditemukan adanya elevasi segmen ST.35
Penyumbatan arteri koroner secara total pada STEMI mengakibatkan
pasien membutuhkan revaskularisasi cepat untuk mencegah infark luas. Mayoritas
kematian akibat STEMI terjadi diluar rumah sakit, 45-65% gejala timbul pada jam
pertama dan 80% gejala timbul dalam 24 jam. Terapi reperfusi yang cepat dapat
menyelamatkan kerusakan jantung sehingga fungsi jantung dapat dipertahankan.
Tatalaksana STEMI adalah Percutaneous Coronary Intervention (PCI) pada
pasien dengan gejala < 12 jam atau terapi farmakologis dengan pemberian
fibrinolitik.6,
Berdasarkan data-data diatas, penulis tertarik mengambil kasus tentang
Infark Miokard Akut ST-Elevasi (STEMI).

1.2 Batasan Masalah

Batasan penulisan ini membahas mengenai definisi, klasifikasi, diagnosis,


dan penatalaksanaan berbagai kasus Infark Miokard Akut ST-Elevasi (STEMI).
1.3 Tujuan Penulisan

Menambah pengetahuan mengenai Infark Miokard Akut ST-elevasi


(STEMI).
1.4 Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk


pada berbagai literatur.
BAB II

ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien laki- laki 55 tahun dirawat di bagian jantung RSUP Dr. M.

Djamil Padang dengan keluhan utama nyeri dada sejak 5 jam sebelum masuk

rumah sakit. Pasien merupakan rujukan RSI Siti Rahmah dengan diagnosis

STEMI anterior, mendapat terapi loading aspilet 160 mg dan clopidogrel 300 mg.

Nyeri terasa memberat dan menyesak di ulu hati menjalar ke punggung.

Nyeri dirasakan seperti tertindih, menjalar ke ulu hati, dengan durasi nyeri selama

30 menit. Nyeri dada pertama kali dirasakan pasien dan terjadi ketika istirahat.

Saat nyeri pasien berkeringat dingin, mual, tapi tidak sampai muntah. Pasien tidak

ada merasakan sesak nafas, tidak ada riwayat sesak saat aktivitas atau terbangun

malam hari karena sesak. Pasien tidak merasakan jantung berdebar-debar, pusing,

maupun pingsan. Faktor resiko penyakit kardiovaskular yaitu pasien merupakan

seorang perokok aktif selama 29 tahun, riwayat hipertensi tidak ada, riwayat

diabetes melitus tidak ada, riwayat keluarga tidak ada, riwayat dislipidemia tidak

ada. Pasien tidak memiliki riwayat asma, gastritis serta stroke.

Keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran

komposmentis, tekanan darah 100/70 mmHg, denyut nadi 80 kali/menit dan

reguler, frekuensi pernafasan 20 kali/menit dan suhu 36,50 C. Konjungtiva tidak

anemis, sklera terlihat tidak ikterik dan tekanan vena jugularis didapatkan 5+0

cmH2O. Pada pemeriksaan jantung didapatkan iktus kordis tidak terlihat, iktus

kordis teraba kuat angkat. Perkusi jantung didapatkan batas jantung kanan pada

linea sternalis dextra, batas atas RIC II dan batas kiri 1 jari medial LMCS di RIC
V. Pada auskultasi ditemukan S1 dan S2 reguler, tidak terdengar murmur maupun

gallop. Pemeriksaan paru didapatkan inspeksi simetris kiri dan kanan, palpasi

didapatkan fremitus kiri dan kanan sama, perkusi didapatkan sonor kiri dan kanan,

dan auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler, tidak ada rhonki -/- dan wheezing

-/-. Pada pemeriksaan abdomen, tidak distensi, hepar dan lien tidak teraba serta

bising usus normal. Ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema pretibial pada

tungkai.

Gambar 1. EKG tanggal 1 Juli 2020

Pemeriksaan EKG pada tanggal 1 Juli 2020 (Gambar 1) menunjukkan SR,


QRS rate 78x permenit, axis normal, gelombang P normal, PR interval 0,17s, ST
elevasi di lead I, aVL, V1- V5, T inverted di lead III, AVR, AVF, dan V1, LVH (-
), RVH (-).
Gambar 2. Rontgen thorax tanggal 24 Juli 2019

Berdasarkan pemeriksaan rontgen thorax (gambar 2), didapat Cardio

Thoracic Ratio (CTR) sebesar 50%, segmen aorta normal, segmen pulmonal

normal, infiltrat (+) dan kranialisasi (-).

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb 14,4 g/dl, leukosit

14.040/mm3, trombosit 257.000/mm3, hematokrit 39%, ureum 21 mg/dl, creatinin

0,8 mg/dl, natrium 134 mmol/l, kalium 3,2 mmol/l, kalsium 8,3 mg/dl, Troponin I

437u/l, dan gula darah sewaktu 172 mg/dl. Pemeriksaan laboratorium memberikan

kesan leukositosis, hipokalemia, dan troponin I rule in MCI .

Padapenilaian skor TIMI didapatkan anterior ST Elevasi (1), angina (+1),,

berat badan >65 kg (1), time to treatment >4 jam (1), sehingga skor TIMI 4/14.

Pasien ini didiagnosa dengan STEMI anterior extensive onset 5 jam TIMI

4/14. Pasien diberikan tatalaksana berupa IVFD RL 500cc/ 24 jam, oksigen 2l/

menit nasal kanul, nitrogliserin sublingual tablet 300 mcg, aspilet 160 mg
(loading), clopidogrel 600mg atau ticagrelor 180 mg (loading),, atorvastatin 1x40

mg. Selanjutnya pasien direncakan untuk early PCI.

Pasien telah dilakukan PTCA 1 stent di proksimalmid LAD pada CAD 1

VD incomplete di mild LAD.Pasien diberikan terapi aspilet 1x 100 mg, ticagrelor

2x 90 mg, ISDN 5 mg (kp) atorvastatin 1x40 mg, ramipril 1x2,5 mg, bisoprolol 1x

2,5 mg, injeksi lovenox 0,6 cc, injeksi lansoprazol 1x 30 mg.

Pada tanggal 6 Juli 2020 pasien sudah tidak merasakan nyeri dada. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sakit sedang, kesadaraan

komposmentis, tekanan darah 100/70 mmHg, HR 80x permenit, pernafasan 18x

permenit, saturasi 99%. Pasien direncanakan untuk mobilisasi dan rawat jalan

dengan terapi pulang ASA 1x160mg, brilinta 2x90mg, atorvastatin 1x40 mg,

ramipril 1x2,5mg, bisoprolol 1x2,5mg


BAB III

DISKUSI

Pasien laki- laki berusia 55 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil

Padang pada tanggal 24 Juli 2019 pukul 14.05 WIB dengan keluhan utama nyeri

dada sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan seperti tertindih di

pertengahan dada menjalar ke ulu hati, muncul saat istirahat, dan dirasakan selama

30 menit, keluhan muncul saat pasien sedang beristirahat. Keluhan ini disertai

dengan keringat dingin, mual, dan pasien tidak merasakan sesak nafas dan

muntah. Pasien tidak memiliki riwayat nyeri dada sebelumnya.

Nyeri dada yang dirasakan pasien merupakan nyeri dada khas infark, yaitu

nyeri dirasakan di pertengahan dada (retrosternal/substernal) dan dirasakan saat

istirahat dengan durasi lebih dari 20 menit.5,6 Nyeri yang terjadi pada pasien ini

disebabkan adanya proses iskemik sel-sel miokardium akibat trombus yang

menyumbat arteri koroner secara total dari plak ateroskelosis yang ruptur.
Gambar 3.1Proses terbentuk trombus6

Total oklusi pada arteri koroner menyebabkan berkurang-hilangnya

perfusi ke miokardium. Hipoksia yang terjadi pada miokardium akan

meningkatkan metabolisme anaerob yang akan melepaskan mediator seperti

adenosin dan laktat sehingga terjadi asidosis intraseluler. Keadaan ini akan

menyebabkan kromatin menggumpal dan terjadi denaturasi protein. Mediator

seperti adenosin dan laktat akan dihantarkan ke ujung-ujung saraf aferen terus-

menerus sehingga menimbulkan sensasinyeri.6

Nyeri dada juga dapat disebabkan oleh kelainan non iskemik seperti aorta

diseksi, mioperikarditis,pleuritis, emboli paru, kostokondritis, gangguan

gastrointestinal, dan psikogenik sehingga penting untuk mengetahui karakteristik

nyeri dada pasien.6,7

Tabel 3.1 Diagnosis Banding Nyeri Dada Non Iskemik5,6

Kelainan Karakteristik Nyeri Dada


Diseksi aorta Nyeri tajam seperti disayat/dirobek yang
menjalar
umumnya ke punggung (a. torakalis) atau
sesuai lokasi diseksi
Mioperikarditis Nyeri memberat saat berbaring dan membaik
saat
duduk atau membungkuk
Pleuritis Nyeri tajam yang berhubungan dengan
respirasi atau
Batuk
Emboli paru Nyeri dada peluritis terlokalisasi yang disertai
sesak
nafas hebat.
Ganguan Disertai/diawali nyeri/nyeri tekan/lepas perut
gastrointestinal sesuai
(GERD,akut proyeksi organ abdomen, memburuk/muncul
kolesistitis dll) setelah makan/menelan, atau heart burn
Kostokondritis Nyeri terlokalisir yang meningkat dengan
penekanan
(palpasi)

Selain nyeri dada, keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan kelainan

organ lain terutama yang juga berhubungan dengan sistem kardiovaskular juga

perlu ditanyakan. Keluhan seperti sesak napas, ortopnea, dipsnea nocturnal

paroksismal, udem pada tungkai, perlu ditanyakan untuk menyingkirkan

kecurigaan gagal jantung pada pasien.Pasientidak mengeluhkan sesak nafas, saat

beraktivitas dan berbaring. Pasien terbangun malam hari karena sesaknya tidak

ada, pasien tidak mengeluhkan kaki sembab, dan tidak memiliki riwayat sesak

nafas sebelumya. Hal ini dapat menyingkirkan adanya kongesti paru yang terjadi

akibat gagal jantung.

Pasien juga tidak mengeluhkan berdebar-debar, pingsan, kemungkinan

pasien ini tidak mengalami aritmia. Hal ini perlu ditanyakan karena hipoksia

miokardium dapat menurunkan adenosin tripospat (ATP) yang menyebabkan

gangguan elektrolit dan memicu perubahan potensial membran sehingga timbul

aritmia. Namun, pasien harus dipasang monitor EKG karena bisa sajarasa

berdebar-debar pada pasien dapat terabaikan karena nyeri dada yang lebih

dominan.6

Riwayat penyakit dahulu seperti asma, gastritis, dan stroke tidak ada.

Asma perlu ditanyakan pada pasien SKA karena akan diberikan pengobatan

seperti beta bloker yang harus berhati-hati dalam pemberiannya. Penghambatan

reseptor beta dapat menyebabkan vasokonstriksi pada bronkus dan dapat

mecetuskan eksaserbasi asma, sehingga pemilihan beta bloker kardio selektif

harus dipertimbangkan. Selain itu, pasien SKA juga akan diberikan antiplatelet
seperti aspirin sebagai tatalaksana awal. Aspirin merupakan golongan AINS yang

non selektif sehingga aktivasi siklooksigenase (COX-1) terganggu pada lambung

dan menghambat prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Hal ini dapat

memperberat gastritis yang diderita pasien. Adanya stroke dapat memperkuat

kemungkinan adanya kejadian aterosklerosis yang sama (sekuele) pada pembuluh

darahkoroner.6

Faktor risiko kardiovaskuler yang dimiliki pasien ini adalah usia tua,

menopause, dan diabetes mellitus tipe 2. Ketika menopause, terjadi penurunan

aktivitas ovarium, selama belum menopause ada peran hormon, yaitu hormone

estrogen, estrogen memiliki efek protektif pada sistem kardiovaskular karena ada

peningkatan prevalensi penyakit kardiovaskular pada wanita pascamenopause.

Estrogen juga memiliki efek yang baik pada distribusi lemak

tubuhdanpeningkatan sensitivitas insulin.8

Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda vital baik, turgor baik dan akral hangat

menandakan tidak ada gangguan perfusi jaringan. JVP normal, batas jantung

dalam batas normal, rhonki dan gallop tidak ada, tidak ada distensi/ascites, dan

tidak ada edema pada pasien ini dapat mempertajam kemungkinan belum terjadi

komplikasi seperti gagal jantung.

PEMERIKSAAN EKG

Pemeriksaan EKG menjadi salah satu poin diagnosis setelah gejala klinis.

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada

iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin (dalam

10 menit) sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.8

Pada pemeriksaan EKG 12 lead pasien saat datang menunjukkan irama


sinus rhytm, rate 78x/menit, axis normal, gelombang P normal, PR interval 0.16s,

T inverted di V1-V4, ST elevasi di V2, V3, dan V4, LVH (-), RVH (-). Pada

EKG didapatkan kesan infark miokard di anterior.

Pada pasien ada terdapat kelainan EKG yakni STEMI. Nilai ambang

elevasi segmen ST untuk STEMI pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV.

Nilai ambang untuk diagnostik berbagai sadapan beragam, bergantung pada usia

dan jenis kelamin (Tabel 3.2). Penilaian elevasi ST dilakukan pada titik J dan

ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan (Tabel 3.3). Depresi segmen ST

yang resiprokal, sadapan yang berhadapan permukaan tubuh segmen elevasi ST

dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI tejadi di min-anterior.8

Tabel 3.2. Nilai ambang untuk diagnostik elevasi ST. 8

3.3. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG7

Lokasi elevasi segmen ST Lokasi Anatomis

V1-V4 Anterior/anteroseptal

V1-V2 Septal

I, aVL,V5-V6 Lateral

V1-V6 Anterior ekstensif

II, III, aVF Inferior


V3R-V4R Ventrikel kanan

V7-V9 Posterior

PEMERIKSAAN THORAKS

Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan untuk menentukan diagnosis,

identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta. Gambaran rontgen toraks pasien di

IGD didapatkan CTR 50%, segmen aorta normal, segmen pulmonal normal,

pinggang jantung normal, dan apeks tertanam. terdapat infiltrat dan kranialisasi (-

). Kesan dari rontgen toraks tidak ditemukan kardiomegali.

PEMERIKSAANLABORATORIUM

Pemeriksaan marker jantung pada STEMI tetap harus dilakukan meskipun

disgnosis kerja STEMI harus ditegakkan lebih awal dari gejala klinis dan

pemeriksaan EKG. CKMB dan Troponin I/T digunakan sebagai marker yang

menunjukan terjadinya nekrosis miosit jantung, namun tidak dapat memberi

informasi tentang penyebab nekrosis miosis adalah karena iskemia atau non

iskemia. Peningkatan kadar troponin I akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam

dan dapat menetap hingga 2-3 hari atau hingga 2 minggu apabila terjadi infark

yang luas. Peningkatan kadar troponin juga terjadi pada keadaan takiaritmia atau

bradiaritmia berat, miokarditis, emboli paru, dissecting aneurism,

gangguanginjalakut, stroke atau perdaraan subaraknoid dan penyakit kritis

terutama pada sepsis.8,17


Pemeriksaan CKMB dapat dilakukan jika pemeriksaan troponin tidak ada.

CKMB dapat meningkat dalam 4-6 jam dan mencapai puncak saat 12 jam, dapat

menetap hingga 2 hari. Berikut ini adalah gambar waktu timbulnya berbagai

marker jantung.8

Gambar 3.9Waktu timbulnya berbagai marker jantung8

Hasil laboratorium pada pasien ini menunjukan terdapat peningkatan kadar

troponin I yaitu 437 u/L. Hal lain yang perlu dilakukan pada pasien yang

didiagnosis dengan STEMI adalah melakukan stratifikasi risiko pasien.

Stratifikasi risiko pada pasien akan menentukan prognosis pasien. Stratifikasi

risiko dapat dilakukan dengan merujuk kepada skor TIMI (Tabel 3.4 dan 3.5). 18

Tabel 3.4. Skor Risiko TIMI18

Kriteria Pasien Skor


Usia ≥75 tahun
65-74 tahun Usia 53 tahun 0
Riwayat DM atau hipertensi atau angina DM 1
Tekanan darah sistolik<100mmHg 116 mmHg 0
Denyut jantung>100x/menit 70x/menit 0
Kelas Killip II-IV Kelas I 0
Elevasi ST anterior atau LBBB ST elevasi segemen 1
anterior
Berat badan <67kg 55 kg 0
Waktu hingga pengobatan awal>4jam 6 jam 1
Tabel 3.5. Risiko mortalitas dalam 30 hari18

Skor Risiko TIMI untuk STEMI


Skor Risiko
Dalam memprediksi kematian dalam 30 hari
(%)
0 0,8
1 1,6
2 2,2
3 4,4
4 7,3
5 12,4
6 16,1
7 23,4
8 26,8
>8 35,9

Pada pasien ini didapatkan skor TIMI pasien sebesar 3/14. Hal ini

menandakan risiko mortalitas pasien dalam 30 hari adalah 4.4%. Semakin tinggi

skor TIMI seorang pasien, risiko mortalitas pasien akan semakin besar. Pada

pasien ini Killip juga digunakan untuk melihat resiko gagal jantung. Pada pasien

ini kelasnya adalah Kilip I dengan mortalitas 30 hari 6% (Tabel3.6)

Tabel 3.6. Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas Killip18

Kelas Killip Temuan Klinis Mortalitas


I Tidak terdapat gagal jantung (tidak terdapat 6%
ronkhi maupun S3)
II Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 dan 17%
ronkhi basah pada setengah lapangan paru
III Terdapat edema paru ditandai oleh ronkhi basah di 38%
seluruh lapangan paru
IV Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh tekanan 81%
darah sistolik <90 mmHg dan tanda hipoperfusi
Jaringan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,

pemeriksaan EKG, pemeriksaan rontgen toraks, pasien ini didiagnosis dengan

STEMI anterior ekstensive onset 5 jam TIMI 4/14. Tatalaksana pasien digunakan

algoritma tatalaksana SKA oleh PERKI 2018:

Gambar 3. Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA

Sesuai algoritma,pasien ini definitif SKA dengan elevasi segmen ST dan

diberikan terapi reperfusi dengan tujuan membatasi luasnya daerah infark

miokard, hal yang sangat menentukan prognosis pasien.. Ada dua terapi reperfusi

yang dapat diberikan untuk pasien SKA yaitu dengan primary PCI atau dengan

obat fibrinolitik. Semakin cepat waktu kedatangan pasien ke pelayanan kesehatan

dan sedikitnya delay hingga pasien ditindak merupakan tujuan yang harus dicapai

pada penatalaksanaan pasien. Jika tidak memungkinkan untuk dilakukan PPCI

pada pasien, maka pasien harus dipertimbangkan untuk dirujuk ke fasilitas yang

dapat melakukan PPCI. Algoritma penatalaksanaan pasien dijelaskan dalam

Gambar 4 :
Gambar 4. Algoritma tatalaksana pasien STEMI.

PrimaryPCI

Terapi IKP primer dilakukan pada pasien yang sampai ke tim IKP dari

KMP kurang dari 12 jam. IKP pada STEMI hanya dilakukan pada lesi culprit,

yaitu lesi yang berhubungan dengan daerah infark. Penggunaan stent dianjurkan

untuk menurunkan thrombosis.8

Pasien yang akan melakukan IKP primer dianjurkan mengonsumsi


antiplatelet ganda (Dual Antiplatelet Theraphy/DAPT) berupa Aspirin oral dan

Penyekat P2Y12/ADP (Prasurgel, ticagrelor, atau Clopidogrel). 8

Rescue PCI/ rescue IKP dilakukan segera ketika pasien tidak berhasil

dengan fibrinolitik sebelumnya. Respon fibrinolitik yang tidak berhasil terlihat

dari resolusi segmen ST <50% dalam waktu 60-90 menit

seetelahpemebrianfibrinolitik, atau terjasi ketidakstabilan hemodinamik/elektrolit,

perburukan iskemia, atau nyeri dada persisten. 8

Tabel 3.7. Dosis ko-terapi antiplatelet dan antikoagulan pada pasien yang

menjalani IKP primer atau belum menjalani reperfusi17


Pada pasien ini terlihat di IGD RSUP Dr. M. Djamil diberikan loading

ASA 160 mg, antiplateletdan rencana asuhan berupa Primary PCI / IKPPrimer.

Terapi fibrinolitik diberikan pada semua pasien tanpa kontraindikasi

(Tabel 3.9) fibrinolitik yang datang pada waktu <12 jam. Apabila pasien datang

dalam waktu 2 jam dengan infark miokard luas dan risiko perdarahan rendah dan

prediksi waktu hingga sampai di meja kateterisasi >90 menit maka pasien

diberikan fibrinolitik. Fibrin spesifik agen merupakan pilihan pertama, seperti

tenecteplase, alteplase, reteplase dibandingkan agen tidak spesifik fibrin

(streptokinase). (Tabel 3.10) Antiplatelet aspirin oral dan clopidogrel juga

diberikan. Terapi reperfusi medikamentosa yang dianjurkan selanjutnya adalah

statin, yakni rosuvastatin 10- 20mg atau atorvastatin 20-40mg.8


Gambar 3.10Langkah-langkah pemberian fibrinolitik pada STEMI9
Tabel 3.8 Kontraindikasi absolut dan relatif pada pemberian fibrinolitik. 8

Absolut Relatif
 Stroke hemoragik atau stroke yang  TIA dalam 6 bulan terakhir
penyebabnya belum diketahui,  Pemakaian antikoagulan oral
 Kehamilan atau dalam 1
dengan awitan kapanpun
minggu postpartum
 Stroke iskemik 6 bulan terakhir  Tempat tusukan yang tidak
 Kerusakan sistem saraf sentral dan dapat dikompresi
 Resusitasi traumatik
neoplasma
 Hipertensi
 Trauma operasi/ trauma kepala refrakter(TDS>180 mmHg)
yangberat dalam 3 minggu terakhir  Penyakit hati lanjut Infeksi
 Perdarahan saluran cerna dalam 1 endokarditis
 Ulkus peptikum yang aktif.
bulan terakhir
 Penyakit perdarahan Diseksi aorta

Tabel 3.9. Dosis fibrinolitik dan ko-terapi antitrombotik.8


Selain itu, ada empat hal yang perlu diperhatikan selama pemberian

fibrinolitik yaitu PAHA (Perdarahan, Alergi, Hipotensi, Aritmia). Perdarahan

perupakan komplikasi mayor dari terapi fibrinolitik, karena pengobatan pasien

IMA yang juga memakai anti agregasi platelet dan antikoagulan menyebabkan

pasien semakin rentan akan perdarahan. Perdarahan intrakranial terjadi <1%,

namun merupakan komplikasi yang fatal. Identifikasi dini lokasi dan sumber

perdarahan segera untuk melakukan kontrol perdarahan. Berikan protamine

sebagain antidotum Heparin, lakukan CT scan kepala jika dicurigai perdarahan

intrakranial, cek pemeriksaan darah tepi, APTT dan fibrinogen. Jika hemodinamik

terganggu berikan transfusi PRC (Packed Red Cells) dan jika fibrinogen <1 gr/L.

Bila STEMI terjadi dalam waktu 12 jam setelah awitan simptom, maka

reperfusi perlu dilakukan secepatnya. Tetapi bila STEMI sudah melampaui 12 jam

dari awitan symptom, tidak ada lagi jaringan yang bisa diselamatkan, infark

miokard telah komplit dan keluhan pasien hilang. Terapi reperfusi hanya

diberikan kalau masih ada tanda-tanda iskemia berupa nyeri dada, elevasi segmen

ST, atau terjadi left bundle branch block baru. Jika PPCI tidak bisa dilakukan,

pasien diterapi dengan obat fibrinolitik. Sebelum dilakukan terapi fibrinolitik,

pasien harus dipastikan tidak memiliki kontraindikasi.

Pasien ini didiagnosa dengan STEMI anterior extensive onset 5 jam TIMI

4/14. Pasien diberikan tatalaksana berupa IVFD RL 500cc/ 24 jam, oksigen 2l/

menit nasal kanul, nitrogliserin sublingual tablet 300 mcg, aspilet 160 mg

(loading), clopidogrel 600mg atau ticagrelor 180 mg (loading),, atorvastatin 1x40

mg. Selanjutnya pasien direncakan untuk early PCI.

Pasien telah dilakukan PTCA 1 stent di proksimal mid LAD pada CAD 1
VD incomplete di mild LAD.Pasien diberikan terapi aspilet 1x 100 mg, ticagrelor

2x 90 mg, ISDN 5 mg (kp) atorvastatin 1x40 mg, ramipril 1x2,5 mg, bisoprolol 1x

2,5 mg, injeksi lovenox 0,6 cc, injeksi lansoprazol 1x 30 mg,Atorvastatin 1x40 mg

diberikan untuk stabilisasi plak. Ramipril berguna untuk menghambat enzim

pengubah angiotensin (angiotensin I menjadi angiotensin II) kemudian mengalami

vasodilatasi dan terjadi penurunan resistensivaskular sehingga dapat

meningkatkan supply.

Pada tanggal 6 Juli 2020, pasien sudah tidak merasakan nyeri dada. Pasien

direncanakan untuk mobilisasi dan rawat jalan dengan terapi pulang ASA 1x160mg,

brilinta 2x90mg, atorvastatin 1x40 mg, ramipril 1x2,5mg, dan bisoprolol 1x2,5mg.

Edukasi yang dapat kita berikan pada pasien ini berupa edukasi kepatuhan terhadap

pengobatan, pengaturan aktivitas fisik, pengaturan pola makan, dan pengendalian

diabetes mellitus.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Sindroma Koroner Akut diklasifikasikan menjadi infark miokard


dengan elevasi segmen ST (STEMI), infark miokard non-elevasi
segmen ST (NSTEMI) dan unstable Angina Pectoris(UAP)
2. Diagnosis STEMI harus ditegakkan segera dari klinis dan EKG dalam
10 menit awal mengingat time is muscle pada kasusini.
3. Terdapat dua strategi terapi reperfusi yang cepat dapat menyelamatkan
kerusakan jantung sehingga fungsi jantung dapat dipertahankan, yaitu
primary PCI / Intervensi Perkutan Primer (IKP) dan medikamentosa
fibrinolitik. Penentuan strategi terapi yaitu berdasarkan waktu tempuh
dari kontak medis pertama (KMP, sejak pasien mulai dinilai
dokter/tenagamedis).
4. Edukasi penting diberikan pada pasien untuk kepatuhan terapi jangka
panjang dan prevensisekunder.
DAFTAR PUSTAKA

1. Auliyana, Dina. Acute Coronary Syndrom. Fakultas Kesehatan Universitas


Muhammadiyah.2016.
2. Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran. Data Riset
Kesehatan Dasar. In: RI PKK, editor.; 2013.
3. Kementrian Kesehatan RI. Penyakit Jantung Penyebab Kematian Tertinggi, Kemenkes
Ingatkan CERDIK 2017. -Diakses.
4. Widya J. Sindrom Koroner Akut 2014.
https://josephinewidya.wordpress.com/2014/04/30/definisi-etiologi-faktor-risiko-dan-
klasifikasi-sindrom-koroner-akut/ -Diakses 11 Mei 2017.
5. Menon, Venu. Acute Myocardial Infarction. In: Manual of Cardiovascular Medicine. 4th
Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business; 2013. p. 2-
35.
6. Rhee J, Sabattne M, Lilly L. Acute Coronary Syndromes. In: Pathophysiology of heart
disease. 5th Ed. Boston: Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 163-80.
7. Storm J, Libby P. Atherosclerosis. In: Pathophysiology of heart disease. 5th Ed. Boston:
Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 113-33.
8. Juzar D, Danny S, Irmalita. Pedoman Tata Laksana Sindroma Koroner Akut. Edisi
Keempat.: PERKI; 2018. p. 1-76.
9. Rijnbeek P, Herpen Gv, Bots M, al. e. ormal values of the electrocardiogram for ages 16-90
years. N J Electrocardiol. 2014;47:914-21.
10. Jensen P, Gronroos N, Chen L, al. e. Incidence of and risk factors for sick sinus syndrome
in the general population. J Am Coll Cardiol. 2014;64:531-8.
11. Stambler B, Rahimtoola S, Ellenbogen K. Pacing for atrioventricular conduction system
disease. En: Ellenbogen K., Kay G., Lau C., Wilkoff B., editors. Cardiac pacing,
defibrillation and resynchronization therapy. Philadelphia: Saunders Elsevier;2007. 429-72.
12. INA-ECG. AV Block Derajat I / 1st Degree AV Block. http://www.ina-
ecg.com/2015/04/first-degree-av-block.html -Diakses 13 Juli 2019.
13. Monfredi O, Dobrzynski H, T TM, Boyett M, Morris G. The anatomy and physiology of
the sinoatrial node−a contemporary review. Pacing Clin Electrophysiol. 2010;33:1392-406.
14. INA-ECG. Wenckebach AV Block / Mobitz 1 AV Block. http://www.ina-
ecg.com/2015/04/2nd-degree-av-block-type-1.html -Diakses 13 Juli 2018.
15. INA-ECG. Hay AV Block / Mobitz 2 AV Block. http://www.ina-ecg.com/2015/04/2nd-
degree-av-block-type-2.html -Diakses 13 juli 2019.
16. INA-ECG. 3rd Degree AV Block / Total AV Block. http://www.ina-ecg.com/2015/04/3rd-
degree-av-block.html -Diakses 13 Juli 2019.
17. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes M, Bucciarelli-Ducci C, dkk. 2017 ESC Guidelines
for management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment
elevation. . Eur Heart J. 2018;39(4):121-77.
18. Morrow D, Antman E, Charlesworth A, Cairns R, Murphy S, Lemos Jd, et al. TIMI risk
score for ST- elevation myocardial infarction: A convenient, bedside, clinical score for risk
assessment at presentation: An intravenous nPA for treatment of infracting myocardium
early II trial substudy. Circulation. 2000;102(17):2031-7.

Anda mungkin juga menyukai