Disusun Oleh:
Kelompok 3
Ilman Almuzakkir (2111604102)
Devi Praptita Sari (2111604103)
Gita Latifah Wahyuaji (2111604104)
Roisatin Qonitan (2111604105)
Salsabilla Felicia Riyanti (2111604106)
Waode Andini S. (2111604107)
Muhammad Sobari R. (2111604108)
Hana Putri L. (2111604109)
Sri Yuniarti R. (2111604110)
Nesa Anggun P. (2111604111)
Hafizah Sonia Z. (2111604112)
Ferdy Firdausy (2111604113)
Dinda Sahmal (2111604114)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu manifestasi dari Coronary
Artery Disease (CAD) yang pada tahun 2020 diperkirakan akan menjadi penyebab utama
kematian di negara-negara industri dan berkembang. Sindrom Koroner Akut (SKA)
merupakan sekelompok penyakit yang terjadi akibat penurunan suplai darah ke otot
jantung secara mendadak, diantaranya; ST-Elevasi Infark Miokard (STEMI), Non-ST-
Elevasi Miokard Infark (N-STEMI) dan Angina pectoris tidak stabil (Singh, Museedi&
Grossman, 2021; Bhatt et al., 2022).
Tingginya angka kematian dan perawatan rumah sakit masih menjadikan SKA
sebagai suatu masalah kardiovaskular yang utama walaupun teknologi dalam ilmu medis
untuk diagnosis dan penatalaksanaan penyakit ini sudah canggih. Setiap tahunnya, ada
sekitar 7 juta kematian disebabkan oleh SKA dan Coronary Artery Disease (CAD). Di
kawasan Asia-Pasifik, SKA merupakan penyebab utama dari mortalitas yang terjadi,
bahkan diperkirakan mencapai setengah dari beban kesehatan global. Selain itu, SKA
juga merupakan penyebab tertinggi insiden perawatan di rumah sakit dan rawat kembali
akibat serangan berulang sehingga dihubungkan juga dengan penyebab peningkatan biaya
untuk pasien dan sistem kesehatan (Marina et al., 2018; PERKI, 2018). Di Indonesia
penyakit SKA merupakan penyumbang kedua tertinggi kematian dengan kontribusi
sebesar 42,3% setelah penyakit stroke (Kemenkes RI, 2018). Data di atas menunjukan
bahwa penyakit SKA tidak dapat dianggap remeh karena akan meningkatkan angka
kematian dan kecacatan yang tinggi di Indonesia.
Penatalaksanaan yang tepat, terutama penatalaksanaan awal, akan mengurangi angka
rawatan rumah sakit, mortalitas, dan morbiditas pada pasien dengan SKA.
Penatalaksanaan yang tepat hanya bisa diberikan ketika diagnosis yang benar mampu
ditegakkan. Intervensi awal dan cepat setelah terjadinya serangan SKA sangat
mempengaruhi ketercapaian kondisi klinis pasien yang lebih baik. Sehingga, sangat
penting mengontrol penyebab keterlambatan Pra-rumah sakit untuk mengembangkan
mekanisme untuk mengurangi keterlambatan pra-rumah sakit (Ribeiro et al., 2010;
PERKI, 2018). Penyebab keterlambatan Pra-rumah sakit pasien SKA dikaitkan dengan
berbagai faktor penyebab. Faktor faktor tersebut diantaranya; pengetahuan penderita dan
keluarga serta kesiapsiagaan yang buruk, sosiodemografi, sarana transportasi yang tidak
memadai, perilaku pencarian pengobatan dan faktor klinis. Oleh karena itu, pentingnya
disini untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan pasien kritis dengan sindroma akut
koroner.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep teori dari Penatalaksanaan Pasien Kritis Dengan Sindroma Akut
Koroner?
2. Bagaimana pathway dari sindroma Akut Koroner?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep teori Penatalaksanaan Pasien Kritis Dengan Sindroma
Akut Koroner
2. Untuk mengetahui pathway Sindroma Akut Koroner
D. Waktu dan Tempat
Waktu: Senin, 13 November 2023
Tempat: Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1) Ostium superior vena cava, yaitu muara atau lubang yang terdapat
diruang atrium kanan yang menghubungkan vena cava superior dengan
atrium kanan.
2) Ostium inferior vena cava, yaitu muara atau lubang yang terdapat
diatrium kanan yang menghubungkan vena cava inferior dengan atrium
kanan.
3) Ostium coronary atau sinus coronaries, yaitu muara atau lubang yang
terdapat atrium kanan yang menghubungkan system vena jantung
dengan atrium kanan.
4) Ostium vena pulmonalis, yaitu muara atau lubang yang terdapat di
atrium kiri yang menghubungkan antara vena pulmonalis dengan atrium
kiri yang mempunyai 4 muara.
Bagian dalam kedua ruang ventrikel dibatasi oleh septal ventrikel, baik
ventrikel maupun atrium dibentuk oleh kumpulan otot jantung yang mana
bagian lapisan dalam dari masing-masing ruangan dilapisi oleh sel
endothelium yang kontak langsung dengan darah. Bagian otot jantung di
bagian dalam ventrikel yang berupa tonolan-tonjolan yang tidak beraturan
dinamakan trabecula. Kedua otot atrium dan ventrikel dihubungkan
dengan jaringan penghubung yang juga membentuk katup jantung
dinamakan sulcus coronary, dan 2 sulcus yang lain adalah anterior dan
posterior interventrikuler yang keduanya menghubungkan dan
memisahkan antara kiri dan kanan kedua ventrikel.
SKA merupakan suatu penyakit yang dinamis, dimana ada suatu proses transisi
dari spektrum penyakit akibat perubahan intralumen mulai dari oklusi parsial sampai
dengan total ataupun reperfusi. Adapun spektrum klinis dari SKA adalah sebagai
berikut (Young dan Libby, 2007):
Gagal jantung akut, juga dikenal sebagai gagal jantung akut (AHF), adalah
kondisi medis yang mengancam nyawa yang menyebabkan gejala dan tanda gagal
jantung menjadi lebih buruk secara cepat. AHF dapat terjadi dalam dua tampilan
klinis: gagal jantung akut pertama kali didiagnosis (de novo AHF) atau gagal jantung
dekompensasi akut (acute decompensated heart failure, atau ADHF) pada pasien
dengan gagal jantung kronik yang mengalami perburukan. Komplikasi sindrom
koroner akut (acute coronary syndrome/ACS), atau sindrom koroner akut, dapat
menyebabkan AHF.
AHF adalah kondisi medis yang mengancam nyawa di mana gejala dan tanda
gagal jantung meningkat dengan cepat. AHF disebabkan oleh ACS. AHF disebabkan
oleh interaksi kompleks antara gangguan struktural-fungsional miokardium,
hemodinamik, neurohormonal, dan genetik, yang pada akhirnya memengaruhi
pengisian dan ejeksi ventrikel. Pada pasien dengan faktor risiko seperti perempuan
usia lanjut, riwayat penyakit jantung, diabetes melitus tipe 2, hipertensi, dan/atau
penyakit ginjal, angka kejadian AHF pada ACS meningkat. Risiko kematian dan
rehospitalisasi yang tinggi pada AHF dapat dikurangi dengan diagnosis dan
pengobatan yang tepat. (Nency, Surya, & Kurnia, 2023).
E. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG, berfungsi untuk merekam sinyal-sinyal listrik yang bergerak melalui
jantung didalam tubuh. EKG seringkali dapat mendiagnosis bukti serangan
jantung sebelum kejadian atau yang sedang berlangsung.
2. Laboratorium
a) Laboratorium rutin : Hb, Ht, Leuko, Trombo, Natrium, Kalium, Ureum,
Kreatinin, Gula darah sewaktu, SGOT, SGPT.
b) Laboratorium Khusus : CK-MB, dan hs Troponin atau Troponin
3. Foto Polos Dada AP (rujuk ke fasilitas yang ada). Tujuannya untuk membuat
diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.
4. Ekokardiogram (rujuk ke fasilitas yang ada). Tes untuk mendiagnosis kondisi
penyakit jantung koroner. Alat ini menggunakan gelombang suara untuk
menghasilkan gambar jantung.
F. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien SKA meliputi farmakologis dan non
farmakologis.
1. Terapi Farmakologis
Prinsip dari terapi pada pasien SKA adalah dengan MONA (Morfin, Oksigen,
Nitrat, Aspirin). Oksigen harus diberikan pada pasien bila saturasi oksigen arteri
kurang dari 99% dimana oksigen yang diberikan 2-4 L/menit dengan nasal kanul.
Morfin sulfat diberikan 1-5 mg intravenadapat dilakukan pengulangan setiap 10-
30 menit. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif
dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Bila tidak ada NTG maka diberikan
isosorbid dinitrat (ISDN) dan dipakai sebagai pengganti. Aspirin diberikan 160-
320 mg diberikan segera pada semua pasien yang diketahui tidak toleransi
terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih dipilih mengingat absorpsi
sublingual (dibawah lidah) yang lebih cepat.
Pada pasien SKA maka obat yang diberikan adalah obat-obatan anti angina
yang bertujuan untuk meningkatkan aliran darah, baik dengan menambah suplai
oksigen maupun mengurangi kebutuhan miokardium akan oksigen. Jenis obatnya
yaitu :
a. Morfin Sulfat, untuk menghilangkan nyeri, meningkatkan vasodilatasi
pembuluh darah vena, dan mengurangi beban kerja jantung.
b. Nitrat, untuk melebarkan baik vena maupun arteri untuk reperfusi sirkulasi
perifer. Dengan adanya pelebaran vena maka akan sedikit darah yang
kembali ke jantung sehingga terjadi penurunan tekanan pengisian, selain itu
juga nitrogliserin juga berguna untuk mengurangi iskemia dan nyeri pada
dada.
c. Penghambat beta atau beta bloker, obat untuk anti nyeri pada dada dan anti
hipertensi. Kerja dari obat beta bloker ini adalah dengan mengurangi denyut
jantung dan kontraktilitas miokardium, selain itu juga mengurangi
kebutuhan pemakaian oksigen dan meredakan nyeri dada.
d. Penghambat rantai kalsium (antagonis Ca), obat ini bekerja dengan
menurunkan kontraktilitas jantung dan beban kerjanya sehingga mengurangi
keperluan jantung akan oksigen. Obat ini digunakan untuk pengobatan
angina pectoris, aritmia tertentu dan hipertensi.
e. Antikoagulan, untuk menghambat pembekuan darah namun obat ini tidak
dapat melarutkan pembekuan yang sudah ada, namun melarutkan bekuan
yang akan terbentuk.
f. Trombolitik, untuk melarutkan trombus atau emboli yang telah terbentuk di
dalam darah. Apabila pemberian trombolitik ini dilakukan dengan cepat
maka jaringan nekrosis akan menjadi minimal dan aliran darah jantung akan
kembali membaikJenis trombolitik yang biasa digunakan adalah
streptokinase, urokinase, jaringan plasminogen aktivator (t-PA, alteflase)dan
anisoylated plasminogen streptokinase complex (APSAC/anistreflase).
g. Antilipemik, untuk menurunkan kadar lipid yang abnormal pada darah
terutama pada kolesterol dan trigliserida untuk mengurangi aterosklerosis di
pembuluh darah.
2. Terapi Non Farmakologis
a. PTCA (Percutaneous Transluminal Coronary Angolpasty)
PTCA merupakan suatu tindakan yang dilakukan guna menghancurkan plak
atau ateroma yang menyumbat pembuluh darah ke jantung dengan
menggunakan kateter dengan ujung berbentuk balon dan dimasukkan ke
dalam arteri koronaria yang mengalami gangguan aliran darahBalon ini
kemudian dikembang kempiskan guna menghancurkan plak yang
menyumbat pembuluh darah itu. PTCA dilakukan pada pasien yang
mengalami sumbatan minimal 70 % pada lumen internal arteri koroner
besar.
b. CABG (Coronary Artery Bypass Graft)
Tehnik revaskularisasi arteri koroner dengan CABG (Coronary Artery
Bypass Graft), dimana tindakan ini merupakan tindakan operasi untuk
membuat alur pintas pada pembuluh darah jantung. Tindakan ini dilakukan
apabila kondisi angina pasien tidak mengalami perbaikan walaupun telah
diberikan terapi medis pada angina tidak stabil dan sumbatan yang tidak
dapat diatasi dengan PTCA, terdapat lesi pada arteri koronaria utama yang
lebih dari 60% dan pasien degan kegagalan PTCA.
G. Pathway
Aterosklerosis Koroner
H.
Ansietas
Prosedur Frekuensi jantung
berhubungan
Tidak dapat relaks meningkat, TD dan
Pecahnya atau Erosi Plak invasif dengan akibat
(operasi) RR meningkat
prosedur invasif
Risiko infeksi
Pengobatan dan Reperfusi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindrom koroner akut merupakan sekumpulan manifestasi atau gejala akibat
gangguan pada arteri koronaria. Sindrom koroner akut mencakup penyakit jantung
koroner yang bervariasi karena gejala awal serta manajemen awal sering serupa mulai
dari angina pektoris tidak stabil dan infark miokard tanpa ST-elevasi sampai infark
miokard dengan ST-elevasi. Sindrom Koroner Akut disebabkan karena
ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard yang menyebabkan
nekrosis miokard. Penyebab utama hal ini terjadi karena adanya faktor yang
mempengaruhi arteri koroner, tetapi juga dapat terjadi sebagai akibat dari proses
sekunder seperti hipoksemia atau hipotensi dan faktor-faktor yang meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard. Penyebab yang paling umum adalah pecah atau erosi
plak aterosklerotik yang mengarah pada penyelesaian oklusi arteri atau oklusi parsial
dengan embolisasi distal dari bahan trombolitik. SKA merupakan suatu penyakit yang
dinamis, dimana ada suatu proses transisi dari spektrum penyakit akibat perubahan
intralumen mulai dari oklusi parsial sampai dengan total ataupun reperfusi.
DAFTAR PUSTAKA
Nency, C., Surya, M. K., & Kurnia, A. (2023). Gagal Jantung Akut sebagai Komplikasi
Sindrom Koroner Akut. Cermin Dunia Kedokteran, 50(1), 30–35.
https://doi.org/10.55175/cdk.v50i1.336.
Suryono. 2016. Anatomi, Fisiologi, dan Patofiologis Bising Jantung. Jurnal FK UNEJ. 2(4):
13-16.
Tortora and Bryan. 2016. Principal Anatomy and Physiology. USA: Biological Science
Texbook.
Sarkees ML, Bavry AA. Non ST-elevation acute coronary syndrome. BMJ Clin Evid. 2010
Nov 15;2010:0209. PMID: 21406132; PMCID: PMC3217799.
Asikin, M., Nuralamsyah , M. & Susaldi, 2016. Keperawatan Medikal Bedah Sistem
KardioVaskular. Jakarta: Erlangga.
Ghani, L., (2014). Faktor Resiko Dominan Penyakit Jantung Koroner di Indonesia. Buletin
Penelitian Kesehatan. 44(3). 153-164.
Wenas, M. F., Jim, E. L., & Panda, A. L. (2017). Hubungan antara Rasio Kadar Kolesterol
Total terhadap High Density Lipoprotein (HDL) dengan Kejadian Sindrom Koroner
Akut di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. E-CliniC, 5(2), 1–6.
https://doi.org/10.35790/ecl.5.2.2017.18459.