Anda di halaman 1dari 76

ASUHAN KEPERAWATAN ACUTE CORONARY SYNDROME (ACS), CONGESTIVE

HEART FAILURE (CHF) DAN TAMPONADE JANTUNG

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kegawatdaruratan

Disusun oleh:

Kelompok 2

Mirary Syellawati (NIM 30120121017K)

Selestina Welerubun (NIM 30120121034K

Lisye Amarthya Putri Zega (NIM 30120121038K)

Lisdayanti (NIM 30120121040K)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS
PADALARANG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Menurut (American Heart Association, 2018), Kegawatdaruratan merupakan kejadian
yang terjadi secara tiba-tiba yang harus mendapatkan pertolongan atau mendapatkan
tindakan yang segera mungkin guna untuk menyelamatkan jiwa atau nyawa dan bisa juga
untuk dapat mencegah kecacatan maupun kematian, biasanya kegawatdaruratan yang
paling lazim terjadi adalah cedera organ akibat kecelakaan maupun penyakit
kadiovaskuler. kardiovaskular didefinisikan sebagai kondisi yang dapat mempengaruhi
irama jantung, kekuatan kontraksi, aliran darah yang melalui bilik jantung, aliran darah
miokard, serta sirklasi perifer yang dapat memyebabkan permaslahan pada kesehatan
jantung seseorang di mana terjadi penyempitan atau penyumbatan terhadap pembuluh
darah yang kemudian bisa menyebabkan stroke hingga serangan jantung (Jumayanti et
al., 2020).
Penyakit jantung merupakan penyebab tersering kematian di seluruh dunia dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Beberapa penelitian menemukan bahwa sebanyak
50 % penderita gagal jantung kronik meninggal dalam kurun waktu empat tahun dan 50
% penderita dengan gagal jantung berat meninggal dalam waktu satu tahun. Di Inggris
lebih dari 300.000 korban tiap tahunnya. Kematian mendadak oleh karena penyakit
jantung mewakili sekitar 25-30 persen dari semua kematian kardiovaskular, dan
diperkirakan merenggut 70.000-90.000 jiwa tiap tahunnya.
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian yang paling sering di Inggris.
Total 220.000 kematian yang diakibatkan oleh penyakit jantung iskemik pada tahun
2007. Diperkirakan angka kejadian sindroma koroner akut (SKA) lebih dari 250.000 per
tahun. Kematian mendadak masih merupakan suatu komplikasi SKA yang sering terjadi:
sebanyak 50% dari pasien-pasien dengan infark miokard elevasi segmen ST (ST
elevation miokard infarction/STEMI) tidak dapat bertahan hidup, dengan sekitar dua per
tiga kematian terjadi dalam waktu yang singkat setelah serangan dan sebelum dirawat di
rumah sakit.
Dalam dekade terakhir ini telah terlihat sebuah kegagalan yang signifikan pada
keseluruhan kematian dalam 30 hari. Banyak pasien yang meninggal dalam 48 jam
setelah masuk rumah sakit, biasanya akibat syok kardiogenik karena kerusakan
ventrikular kiri yang luas. Banyak pasien yang bertahan sampai keluar rumah sakit dalam
kondisi yang baik, 90% hanya bertahan hidup paling kurang 1 tahun. Pasien yang
bertahan berada pada risiko yang tinggi dari kematian dini dapat diidentifikasi dengan
serangkaian gejala klinis yang parah, tetapi prognosisnya dapat ditingkatkan melalui
intervensi yang tepat.
Kegagalan sistem kardiovaskuler atau yang umumnya dikenal dengan istilah gagal
jantung adalah kondisi medis di mana jantung tidak dapat memompa cukup darah ke
seluruh tubuh sehingga jaringan tubuh membutuhkan oksigen dan nutrisi tidak terpenuhi
dengan baik. Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung
kanan (Mahananto & Djunaidy, 2017). 1 Data tahun 2015 menunjukkan bahwa 70 persen
kematian didunia 2 disebabkan oleh penyakit tidak menular yaitu sebanyak 39,5 juta dari
56,4 juta kematian. Dari seluruh kematian akibat Penyakit Tidak Menular (PTM)
tersebut, 45% disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah dengan total 17,7
juta dari 39,5 juta kematian (WHO,2015).
Tamponade jantung adalah sindrom klinik dimana terjadi penekanan yang cepat atau
lambat terhadap jantung akibat akumulasi cairan, nanah, darah, bekuan darah, atau ga di
perikardium, sebagai akibatadanya efusi, trauma, atau ruptur jantung (Spodick, 2003).
Insidenstamponade jantung di Amerika Serikat adalah 2 kasus per 10.000 populasi.Lebih
sering pada anak laki-laki (7:3) sedangkan pada dewasa tidak ada perbedaan bermakna
(laki-laki: perempuan - 1,25:1). Morbiditas dan mortalitas sangat tergantung dari
kecepatan diagnosis, penatalaksanaanyang tepat dan penyebab (Munthe, 2011).
Tamponade jantung terjadi bilarongga perikardial terisi dengan cairan dalam waktu yang
lebih cepatdaripada kemampuan kantong perikardial untuk meregang. Apabila
jumlahcairan meningkat secara pelan (contohnya pada hipotiroidisme), kantong
pericardial dapat melebar dan berisi satu liter cairan atau lebih sebelum terjadinya
tamponade. Apabila jumlah cairan meningkat secara cepat (contohnya pada trauma atau
ruptur miokardial), jumlah cairan sebanyak 100 mL dapat menyebabkan tamponade
(Spodick, 2003).
Dalam pelaksanaan gawat darurat dibutuhkan tim dengan pemahaman jika dalam
penanganan pasien dengan kondisi gawat darurat memiliki perbedaan dalam
penanganannya (Fulde, Gordian. 2009 dalam Insana Maria, dkk 2020).
Rumah sakit merupakan instasi yang memberikan pelayanan yang bersifat umum rawat
jalan, rawat inap, dan gawat darurat. Instalasi Gawat Darurat adalah instalasi yang
memberikan pertolongan pertama saat pasien datang ke rumah sakit dan mengalami
ancaman mortalitas dan abnormalitas secara terpadu (kemenkes, 2010).
Keperawatan gawat darurat yaitu pelayanan yang diberikan secara professional
keperawatan yang diberikan pada pasien saat mengalami urgent dan kritis. Asuhan
keperawatan gawat darurat yaitu susunan dari aktivitas praktik keperawatan gawat
darurat yang dilakukan pada pasien oleh perawat kompeten dalam memberikan asuhan
keperawatan gawat darurat. Asuhan ini diberikan untuk mengatasi masalah biologi,
sosial, dan psikologi baik aktual maupun potensial yang muncul secara mendadak
ataupun bertahap terutama pada pasien dengan ACS dan Tamponade Jantung (Insana
Maria, 2020).
ACS dan tamponade jantung membutuhkan intervensi atau tindakan darurat yang cepat
dan tepat karena dapat terjadi pada semua kelompok umur. Intervensi penyelamatan jiwa
sangatlah penting untuk mencegah kematian (Kose dkk, 2019). Maka dari itu kelompok
tertarik untuk membahas Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Acute coronary
syndrome(ACS), Congestive heart failure (CHF) dan Temponade Jantung.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan keperawatan kegawatandaruratan Acute coronary syndrome(ACS)
dan Temponade Jantung.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui dan memberikan asuhan keperawatan
kegawatdaruratan Acute coronary syndrome(ACS), Congestive heart failure
(CHF) dan Tamponade Jantung.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengidentifikasi konsep Acute Coronary
Syndrome(ACS)
b. Mahasiswa mampu mengidentifikasi asuhan keperawatan
kegawatandaruratan Acute Coronary Syndrome(ACS)
c. Mahasiswa mampu mengidentifikasi konsep Congestive heart failure
(CHF)
d. Mahasiswa mampu mengidentiikasi asuhan keperawatan
kegawatdaruratan Congestive heart failure (CHF)
e. Mahasiswa mampu mengidentifikasi konsep tamponade Jantung
f. Mahasiswa mampu mengidentifikasi asuhan keperawatan
kegawatandaruratan Tamponade jantung
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Acute Coronary Syndrome (ACS)


1. Definisi
ACS adalah Suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis
perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard
(Idrus Alwi, 2006).
Penyakit pembuluh darah arteri koroner adalah gangguan fungsi sistem
kardiovaskuler yang disebabkan karena otot jantung kekurangan darah akibat adanya
oklusi pembuluh darah arteri koroner dan tersumbatnya pembuluh darah jantung
(AHA, 2017).
Penyempitan lumen arteri terjadi karena adanya penumpukkan lemak, kalsifikasi
lemak, dan proliferasi sel-sel otot polos. Penyumbatan pada pembuluh darah koroner
disebabkan oleh adanya penumpukkan lemak dan kolesterol yang mengeras di
sepanjang dinding arteri. Kolestrol yang menumpuk ini akan menyumbat aliran darah
sehingga akan Poltekkes Kemenkes Jakarta I mengganggu kerja jantung untuk
memompa darah keseluruh tubuh, sehingga akan menyebabkan penyumbatan
pembuluh darah koroner, bersifat parsial maupun total (Lee, Kang, Song, Rho, &
Kim, 2015).
2. Anatomi Fisiologi
Arteri coroner adalah pembuluh darah yang menyuplai otot jantung, yang
mempunyai kebutuhan metabolism tinggi terhadap oksigen dan nutrisi. Jantung
mempunyai 70 sampai 80% oksigen yang dihantarkan melalui arteri coroner, sebagai
pembandingan bahwa organ lain hanya menggunakan rata-rata seperempat oksigen
yang dihantarkan. Arteri coroner muncul dari aorta dekat hulu vrntrikel (sering
disebut muara sinus valsava). Dinding sisi kiri jantung dengan yang lebih banyak
melalui arteri coroner utama kiri (left main coronary artery), yang kemudian terbagi
menjadi dua cabang besar ke depan (Left Anterior Descendens) dan kearah belakang
(Left Circumflex) sisi kiri jantung.
Arteri ini mengitari jantung dalam dua lekuk anatomis eksterna, yaitu sulkus
atrioventrikuler yang melingkari jantung diantara atrium dan ventrikel, dan sulkus
interventrikuler yang memisahkan kedua ventrikel. Petemuan kedua lekuk ini disebut
kruks jantung, dan merupakan salah satu bagian terpenting dari jantung. Nodus Atrio
Ventrikuler(AV node) berlokasi pada titik pertemuan, dan pembuluh darah yang
melewati kruks ini merupakan pembuluh darah yang memasok nutrisi untuk AV
node.
Arteri coroner kanan memberi nutrisi untuk jantung bagian kanan(atrium kanan,
ventrikel kanan dan dinding sebelah dalam ventrikel kiri) yang berjalan disisi kanan
pada sulkus atrio ventrikuler kanan. (Juliawan, 2012)

Gambar. 1 Arteri coroner (sumber: http://www.wayantulus.com/penyakit-jantung-


koroner)

3. Klasifikasi
a. ST Elevasi Miokard Infark (STEMI)\
ST-Elevation Miokard Infark(STEMI) terjadi karena sumbat yang komplit pada
arteri coroner. Jika tidak dilakukan pengobatan akan dapat menyebabkan
kerusakan miokardium yang lebih jauh. Pada fase akut pasien resiko tinggi untuk
mengalami fibrilasi ventrikel atau kakhikardia yang dapat menyebabkan
kematian. Bantuan medis harus segera dilakukan(Juliawan, 2012)
b. NON-ST Elevasi Miokard Infark (NONSTEMI)
NSTEMI yang sering disebut dengan istilah non Q-wave MI atau endocardial MI.
pada beberapa pasien dengan NSTEMI, mereka memiliki resiko tinggi untuk
terjadinya kemacetan pembuluh darah coroner, yang dapat menyebabkan
kerusakan miokardium yang lebih luas dan aritmia yang dapat menyebabkan
kematian. Resiko untuk terjadinya sumbatan dapat terjadi pada beberapa jam
pertama dan menghilang dalam seiring dengan waktu (Juliawan, 2012)
c. Unstable Angina Pectroris
Nyeri dada dalah gejala nonspesifik yang dapat menyebabkan penyakit jantung
atau noncardiac. Angina pectoris tidak stabil termasuk dalam spectrum presentasi
klinis yang disebut secara kolektif sebagai coroner akut sindrom(ACS), yang
berkisar dari ST-segment elevation myocardial infraction(STEMI) sampai Non
STEMI (NSTEMI). Angina pectroris tidak stabil dianggap sebagai ACSA dimana
tidak ada yang terdeteksi pelepasan snzim dan biomarker nekrosis miokard.
Istilah angina pectoris biasanya dicadangkan untuk sindro, nyeri yang ti,bul dari
dugaan iskemia miokard(Tan., 2015)
4. Etiologi
Etiologi penyakit jantung koroner adalah adanya penyempitan, penyumbatan, atau
kelainan pembuluh arteri koroner. Penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah
tersebut dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan
yeri. Dalam kondisi yang parah, kemampuan jantung memompa darah dapat hilang.
Hal ini dapat merusak sistem pengontrol irama jantung dan berakhir dan berakhir
dengan kematian (Hermawatirisa, 2014).
Dari faktor risiko tersebut ada yang dikenal dengan faktor risiko mayor dan
minor. Faktor risiko mayor meliputi hipertensi, hiperlipidemia, merokok, dan obesitas
sedangkan faktor risko minor meliputi DM, stress, kurang olahraga, riwayat keluarga,
usia dan seks. Menurut D.wang (2005) faktor risiko SKA pada wanita meliputi :
Obesitas, riwayat keluarga, diabetes mellitus, penggunaan kontrasepsi oral yang
disertai dengan riwayat merokok, kolesterol, merokok.
5. Manifestasi Klinis
a. Nyeri
1.) Gejala utama adalah nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus
menerus tidak mereda. Biasanya dirasakan diatas region sternal bawah dan
abdomen bagian atas.
2.) Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri tidak
tertahankan lagi.
3.) Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat menjalar kebahu
dan terus kebawah menuju lengan(biasanya lengan kiri), nyeri dapat menjalar
ke rahang atau leher.
4.) Nyeri dimulai secara spontan(tidak terjadi setelah kegiatan atau gangguan
emosional), menetap selama beberapa jam atau hari dan tidak hilang dengan
bantuan istirahta atau nitrogliserin.
5.) Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaphoresis berat,
pening atau sakit kepala terasa melayang dan mual muntah.
6.) Pasien dengan diabetes mellitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat
karena neuropati yang menyertai, diabetes dapat mengganggu neuroreseptor
b. Adanya perubahan TTV seperti tachicardia, tachipneu, hipertensi atau hipotensi
dan menurunkan saturasi oksigen(SaO2) atau kelainan irama jantung.

6. Faktor Resiko
American Heart Association / American College of Cardiologi (2017) membagi
faktor risiko kardiovaskular dalam 3 bagian,yaitu:
a. Faktor risiko utama yaitu faktor risiko yang menunjukkan hubungan kuantitatif
faktor risiko dengan risiko ACS, yaitu:
1. Merokok
Orang yang merokok mempunyai risiko 2 kali lebih banyak untuk
menderita penyakit kardiovaskular dibanding orang yang tidak merokok. Efek
merokok terhadap terjadinya aterosklerosis antara lain dapat menurunkan
kadar HDL, trombosit lebih mudah mengalami agregasi, mudah terjadi luka
endotel karena radikal bebas dan pengeluaran katekolamin berlebihan serta
dapat meningkatkan kadar LDL dalam darah. Kematian mendadak karena
SKA 2 – 3 kali lebih banyak pada perokok dibandingkan bukan perokok.
Orang yang merokok mempunyai risiko kematian 60% lebih tinggi, karena
merokok dapat menstimulasi pengeluaran katekolamin yang berlebihan
sehingga fibrilasi ventrikel mudah terjadi. Merokok dapat menaikkan kadar
karbon dioksida dalam darah, kemampuan mengikat oksigen menjadi
menurun dan jumlah oksigen yang rendah dapat mengganggu kemampuan
jantung untuk memompa, dan nikotin yang terkandung dalam rokok
menstimulasi diproduksinya katekolamin yang akan meningkatkan frekuensi
heart rate dan blood pressure. Merokok akan mengganggu respon vaskuler
sehingga meningkatkan adhesi dari platelet, yang akan meningkatkan risiko
terjadinya trombus (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
Trombus merupakan gumpalan darah yang menempel pada pembuluh
darah, hal ini terjadi karena permukaan pembuluh darah mengalami
kerusakan. Trombus yang menempel pada dinding pembuluh darah akan
berdampak pada gangguan aliran darah karena trombus dan berpotensi untuk
lepas yang selanjutnya akan berjalan dida lam aliran darah sehingga terjadilah
penutupan pembuluh darah secara mendadak.
2. Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai suatu peningkatan tekanan darah sistolik
dan atau tekanan darah diastolik yang tidak normal. Nilai yang dapat diterima
berbeda sesuai usia dan jenis kelamin. Hipertensi merupakan faktor risiko
yang secara langsung dapat menyebabkan kerusakan penbuluh darah.
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin
tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini
menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang
bermakna. Bila terdapat gejala, sifatnya non spesifik misalnya sakit kepala
atau pusing. Kalau hipertensi tetap tidak diketahui dan tidak dirawat, maka
akan mengakibatkan kematian karena SKA, payah jantung, stroke atau payah
ginjal. Diagnosis dini hipertensi dan perawatan yang efektif dapat mengurangi
kemungkinan morbiditas dan mortalitas.
Hipertensi adalah kondisi tekanan darah yang melebihi atau sama dengan
40 mmHg pada tekanan sistolik dan melebihi atau sama dengan 90 mmHg
pada tekanan diastolik (JNC VIII, 2013). Hipertensi merupakan beban tekanan
terhadap dinding arteri yang mengakibatkan semakin berat beban jantung
untuk memompakan darah ke seluruh jaringan, hal ini akan mengakibatkan
fungsi jantung akan semakin menurun dan dinding jantung akan semakin
menebal dan kaku (AHA, 2015). Selain itu pada kondisi menurunnya
kelenturan dinding arteri dan meningkatnya adhesi platelet, tingginya tekanan
juga akan mengakibatkan plak yang menempel pada dinding arteri akan
mudah terlepas dan mengakibatkan trombus (Hoo et al., 2016). Trombus
terjadi sesudah pecahnya plak aterosklerosis, kemudian mengaktivasi
koagulasi dan platelet. Apabila plak pecah akan terjadi perdarahan sub
endotelial sampai terjadi trombogenesis yang akan menyumbat baik secara
parsial maupun total pada arteri koroner.
Apabila trombus menutup pembuluh darah secara total akan menyebabkan
infark miokard dengan ST elevasi, sedangkan trombus yang menyumbat
secara parsial akan menyebabkan stenosis dan angina yang tidak stabil (Gray,
2005). AHA merekomendasikan target tekanan darah pada ACS adalah <
140/90 mmHg pada pasien berusia < 80 tahun dan < 150/90 mmHg pada
mereka yang berusia > 80 tahun. European Society of Cardiology (ESC) juga
merekomendasikan untuk menurunkan tekanan darah < 140/90 mmHg tanpa
mempertimbangkan usia, dan < 140/85 mmHg pada pasien dengan diabetes
melitus (Archbold, 2016).
3. Dislipidemia
Dislipidemia adalah meningkatnya kadar kolesterol dan bentuk ikatannya
dengan protein seperti trigliserida dan LDL, tetapi sebalikya kadar HDL
menurun. Dislipidemia tidak lepas dari keterpajanan terhadap asupan lemak
sehari – hari terutama asupan lemak jenuh dan kolesterol, yang dapat
meningkatkan insidens penyakit jantung koroner. WHO merekomendasikan
asupan lemak jenuh maksimal 10% dari 30% lemak keseluruhan yang
digunakan sebagai bahan kalori ( Hartono, 2004; Mann,2000).
Diit juga memiliki implikasi penting pada jumlah kolesterol dan LDL.
Baik pada laki-laki maupun wanita relatif mempunyai kadar yang sama
sampai sekitar usia 20 tahun, setelah itu tingkat titik kolesterol meningkat
lebih pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Namun, setelah menopause,
kadar kolesterol total dan tingkat LDL pada wanita meningkat karena tingkat
estrogen rendah. Selain kolesterol total, LDL, dan HDL merupakan komponen
penting dalam mendiagnosa ACS (AHA, 2013). Kadar HDL dan LDL telah
terbukti menjadi faktor risiko untuk penyakit jantung. Dalam beberapa
penelitian HDL dan trigliserida merupakan prediktor kuat untuk kematian
kardiovaskuler pada wanita dibandingkan LDL dan jumlah kolesterol (J. & S.,
2015).
4. Diabetes Melitus
Pada penderita diabetes terjadi kelainan metabolisme yang disebabkan
oleh hiperglikemi yang mana metabolit yang dihasilkan akan merusak endotel
pembuluh darah termasuk didalamnya pembuluh darah koroner. Pada
penderita diabetes yang telah berlangsung lama akan mengalami
mikroangiopati diabetik yaitu mengenai pembuluh darah besar, dimana pada
penderita ini akan sering mengalami triopati diabetik / mikrongopati yaitu
neuropati, retinopati dan nefropati. Dan bilamana makroangiopati ini terjadi
bersama – sama dengan neuropati maka terjadilah infark tersembunyi ataupun
angina yang tersembunyi yaitu tidak ditemukan nyeri dada, dimana keadaan
ini mencakup hampir 40% kasus.
Pada penderita DM terjadi percepatan aterosklerosis dan 75 – 80%
kematian penderita diabetes disebabkan oleh makroangiopati terutama yang
terjadi pada jantung, yaitu SKA.
5. Stress
Dalam kondisi stres yang kronis dan berkepanjangan syaraf simpatis akan
dipacu setiap waktu, dan adrenalin pun akan meningkat, yang akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah bersamaan dengan meningkatnya
kadar kolesterol dalam darah. Hal ini tentunya akan membebani jantung dan
merusak pembuluh darah koroner. Stress merupakan salah satu risiko koroner
yang kuat, tapi sukar diidentifikasi. Stres merupakan respon yang tidak
spesifik dari seseorang terhadap setiap tuntutan kehidupan (Selye, 1976 dalam
Stuart & Laraia, 2008). Chandola (2010, dalam European Heart Journal, 2010)
menyatakan bahwa ada korelasi antara stres psikologis dengan kejadian ACS.
Stres yang terus menerus berlangsung lama akan meningkatkan tekanan darah
dan kadar katekolamin sehingga mengakibatkan penyempitan pada arteri
koroner (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
Situasi kecemasan dan depresi akan merangsang hipotalamus untuk
mensekresikan adreno cortico tropin (ACTH), yang kemudian akan
menstimulasi korteks adrenal untuk mengeluarkan hormon kortisol yang
berdampak pada perubahan hemodinamik pasien ACS (Hare, Beierle,
Toufexis, Hammack, & Falls, 2014). Perubahan hemodinamik ini terjadi
karena adanya pengaturan sistem neurohormonal yang bersifat adaptif
maupun maladaptif. Sistem neurohormonal bersifat adaptif jika dapat
memelihara MAP selama terjadi penurunan cardiac output (CO). Dikatakan
maladaptif ketika terjadi peningkatan hemodinamik tubuh melebihi nilai
ambang batas normal, sehingga akan menstimulasi peningkatan kebutuhan
oksigen dan memicu cidera sel otot miokard (Onk et al., 2016).
b. Faktor risiko yang tidak dapat dirubah, yaitu:
1. Umur dan jenis kelamin
Semakin bertambahnya umur akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
penyakit jantung koroner. SKA lebih sering timbul pada usia lebih dari 35
tahun keatas dan pada usia 55 – 64 tahun terdapat 40% kematian disebabkan
oleh penyakit jantung koroner. Dikutip dari American Heart Association /
American College of Cardiologi (2001). Menurut Kusmana (2002), umur
merupakan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dimana seseorang
yang berumur lebih atau sama dengan 60 tahun memiliki risiko kematian
sebesar 10,13 kali dibandingkan yang berumur 25 – 49 tahun. Insidens SKA
dikalangan wanita lebih rendah daripada laki – laki, tetapi hal ini akan
berubah begitu memasuki periode menopause, dimana insidens penyakit ini
akan mendekati insiden pada pria. Hariri (1997) mengemukakan bahwa laki –
laki lebih dominan untuk terkena SKA sebesar 2,34 kali jika dibandingkan
dengan perempuan. Mempunyai peranan yang dominan terhadap penyakit
yang menyerang pembuluh darah. Penuaan pembuluh darah dikaitkan dengan
perubahan struktur dan fungsi keberadaan pembuluh darah, khususnya
pembuluh darah besar (Mengden, 2006; Nilson, 2008), seperti diameter
lumen, ketebalan dinding pembuluh darah, peningkatan kekakuan dinding
pembuluh darah dan perubahan fungsi endotel (Mengden, 2006, Najjar et al.,
2005).
Pembuluh darah yang paling sering terkena adalah yang bersifat elastis
seperti aorta sentralis dan arteri karotis (Science Blog, 2003, Lakatta, 2003;
Najjar et al., 2005). Lumen pembuluh darah besar akan mengalami dilatasi,
dindingnya semakin tebal dan semakin kaku (Lakatta, 2003; Najjar et al.,
2005). Perubahan ini dipengaruhi oleh perubahan struktur, mekanika, dan
biokimiawi oleh karena faktor umur yang kemudian berakibat pada
menurunnya arterial compliance dan Poltekkes Kemenkes Jakarta I kakunya
dinding pembuluh darah (Jani & Rajkumar, 2006; Laurent et al., 2006; Nilson,
2008). Najjar et al., (2005), yang mengutip pendapat O’Rourke dan Nicholas,
(2005), menyebutkan bahwa peningkatan kekakuan dinding pembuluh darah
adalah akibat dari siklus tekanan yang terus menerus dan putaran yang
berulang-ulang pada dinding elastis arteri, sehingga menekan jaringan
elastisnya untuk digantikan dengan jaringan kolagen. Selain itu, Lakatta dan
Levy, (2003), dalam review artikelnya menyebutkan juga bahwa kekakuan
arteri ini berkaitan dengan pengaruh regulasi endotel terhadap tonus otot polos
arteri (Lakatta, 2003). Selanjutnya kemungkinan kekakuan dinding ini
diperbesar oleh adanya specific gene polymorphism (Hanon et al., 2001;
Safar, 2005).
2. Genetik
Penelitian Rastogi (2004), menyatakan bahwa, orang yang mempunyai
riwayat keluarga positif penyakit jantung memiliki risiko 2,3 kali untuk
mendapatkan SKA dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai
riwayat keluarga. Riwayat orang tua atau dari beberapa generasi sebelumnya
yang menderita penyakit jantung Poltekkes Kemenkes Jakarta I koroner akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya aterosklerosis pada orang tersebut.
Tidak hanya faktor keturunan saja yang dapat menyebabkan ateroseklerosis
tetapi juga familal lipid mempunyai andil dalam meningkatkan penyakit
aterosklerosis tersebut. Riwayat keluarga dapat juga menggambarkan gaya
hidup seseorang yang dapat menyebabkan terjadinya stres dan kegemukan
(Santoso & Setiawan, 2005).
Penelitian Saxena (2011) di India menyatakan bahwa ada korelasi antara
kejadian hipertensi dengan riwayat keluarga aterosklerosis. Seseorang
memiliki risiko empat kali lebih besar terkena ACS, jika kita mempunyai
salah satu dari orang tua kita yang mempunyai riwayat penyakit
aterosklerosis.
c. Faktor risiko predispose
1. Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai berat badan lebih yang terutama disebabkan
oleh akumulasi lemak tubuh. Obesitas adalah apabila indeks masa tubuh
(IMT) > 27, dimana IMT adalah berat badan dalam kg dibanding tinggi dalam
m2. Orang dengan obesitas mempunyai risiko 2,68 kali untuk terjadinya SKA.
Dikutip dari American Heart Association / American College of Cardiologi
(2001). Studi Farmingham mengemukakan bahwa pada orang dengan obesitas
kemungkinan untuk mengalami payah jantung dan SKA lebih besar pada laki
– laki dibanding perempuan. Seseorang yang obesitas secara umum berisiko
mengalami hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia, yang merupakan faktor
dominan yang dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis.
Selain itu beban cairan tubuh yang cukup besar dan menurunnya
kemampuan beraktivitas secara bertahap akibat dari obesitas, lambat laun
akan menimbulkan meningkatnya beban kerja jantung dan menurunkan
fungsinya. Obesitas berhubungan dengan peningkatan volume darah dan
curah jantung yang disebabkan oleh peningkatan aktivitas metabolik yang
tinggi dan jaringan adiposa yang akan mempengaruhi perubahan
hemodinamik pasien ACS. Hasil perubahan hemodinamik tersebut
menyebabkan left ventrikel (LV) remodeling, peningkatan stres dinding
miokard sehingga berdampak pada ketidaknyamanan fisik (Plourde, Sarrazin,
Nault, & Poirier, 2014).
2. Inaktifitas fisik
Aktifitas fisik atau olahraga akan menstimulasi pembentukan pembuluh
darah kolateral yang berperan protektif terhadap kejadian miokard infark.
Penelitian Monica (1993) yang dilakukan terhadap 2040 orang di 3 kecamatan
wilayah Jakarta Selatan menunjukkan mereka yang teratur berolahraga atau
bekerja fisik cukup berat mempunyai presentase terendah untuk terkena
hipertensi ataupun SKA. Orang yang tidak berolahraga mempunyai risiko
terkena SKA 2 kali lebih besar dibanding yang berolahraga teratur atau
beraktifitas fisik cukup berat (Kusmana,2002 ).
7. Patofisiologi
Aterosklerosis dimulai ketika kolestrol berlemak tertimbun di intima arteri besar.
Timbunan ini dinamakan atheroma atau plak akan mengganggu absorbs nutrient oleh
sel-sel endotel yang menyusun lapisan dinding dalam pembuluh darah dan
menyumbat aliran darah karena timbunan menonjol ke lumen pembuluh darah.
Endotel pembuluh darah yang terkena akan mengalami nekrotik dan menjadi jaringan
parut, selanjutnya lumen menjadi sempit dan aliran darah terhambat. Pada lumen
yang menyemppit dan berdinding kasar, akan cenderung menjadi pembentukan
bekuan darah, hal ini menjelaskan bagaimana terjadinya koagulasi intravaskuler,
diikuti oleh penyakit tromboemboli yang merupakan penyakit aterosklerosis.
Mekanisme pembentukana lesi aterosklerosis adalah pembentukan thrombus pada
permukaan plak, kosolidasi thrombus akibat efek fibrin, perdarah kedalam plak, dan
penimbunan lipid terus menerus. Bila fibrosa pembungkus plak pecah, maka debris
lipid akan terhanyut dalam aliran darah dan menyumbat arteri coroner dan kapiler
disebelah distal plak yang pecah. Hal ini di dukung dengan struktur arteri coroner
yang rentan terhadap aterosklerosis, dimana arteri coroner tersebut berpilin dan
berkelok-kelok saat memasuki jantung, menimbulkan kondisi yang rentan untuk
terbentuknya atheroma.
Dari klasifikasinya, maka ACS dapat dilihat dari dua aspek, yaitu Iskemik dan
Infark. Iskemia dalah suatu keadaan kekurangan oksigen yang bersifat sementara dan
reversible. Penurunan suplai oksiegen akan meningkatkan mekanisme metabolism
anaerobic. Iskemia yang lama dapat menyebabkan kematian otot atau nekrosis.
Keadaan nekrosis yang berlanjut dapat menyebabkan kematian otot jantung (infark
miokard). Ventrikel kiri merupakan ruang jantung yang paling rentan mengalami
iskemia dan infark, hal ini disebabkan kebutuhan oksigen ventrikel kiri lebih besar
untuk berkontraksi. Metabolism anaerobic sangat tidak efektif selain energy yang
dihasilkan tidak cukup besar juga meningkatkan pembentukan asam laktat yang dapat
menurunkan PH sel (asidosis). Iskemia secara khas ditandai dengan perunbahan EKG
: T inversi, dan depresi segmen ST. gabungan efek hipoksia, menurunnya suplai
energy, serta adidosis dapat dengan cepat mengganggu fungsi ventrikel kiri. Kekuatan
kontraksi pada daerah yang terserang mengalami gangguan serabut ototnya
memendek, serta daya kecepatannya menurun. Perubahan kontraksi ini dapat
menyebabkan penurunan curah jantung. Iskemia dapat menyebabkan nyeri sebagai
akibat penimbunan asam laktat yang berlebihan. Angina pectoris merupakan nyeri
dada yang menyertai iskemia miokardium.
Angina pectoris dapat dibagi : angina pectoris stabil (stable angina), angina
pectoris tidak stabil(unstable angina), angina variant(angina prizmetal). Angina
pectoris stabil: nyeri dadad yang tergolong angina stabile adalah nyeri yang timbul
saat melakukan aktivitas, rasa nyeri tidak lebih dari 15 menit dan hilang dengan
istirahat. Angina pectoris tidak stabil (UAP): pada UAP nyeri dadad timbul pada saat
istrirahat, nyeri berlangsung lebih dari 15 menit dan terjadi peningkatan rasa nyeri.
Angina variant merupakan angina tidak stabil yang disebabkan oleh spasme arteri
coroner.
Iskemia yang berlangsunglebih dari 30 menit dapat meyebabkan kerusakan sel
yang irreversible dan kematian otot(nekrosis). Bagian miokardium yang mengalami
nekrosis atau infark akan berhenti berkontraksi secara permanen (yang sering disebut
infark). (juliawan, 2012)
Kebutuhan akan oksiegen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh pembuluh
darah yang terserang penyakit menyebabkan iskemia miokardium local. Iskemia yang
bersifat sementara akan menyebabkan perubahan reversible pada tingkat sel dan
jaringan, dan menekan fungsi miokardium (Oktavianus dan Sari, 2014).
Pathway
Aterosklerosis thrombosis
Kontraksi arteri koronaria

Aliran darah kejantung

Oksigen & nutrisi

Jaringan miokard iskemik

Nekrose lebih dari 30 menit

Suplai & kebutuhan oksigen


ke jantung tidak seimbang

Suplay oksigen ke miokard


Seluler hipoksia
Metabolisme anerob

Kerusakan
pertukaran Integritas sel berubah
oksigen Timbunan asam laktat Nyeri

Resiko penurunan curah


jantung
Kontraktilitas
Ansietas
Fatique

Intoleransi
aktivitas

COP Kegagalan pompa jantung

Gagal jantung

Resiko kelebihan cairan ekstravaskuler

8. Pemeriksaan Diagnositik
a. Elektrokardiogram (EKG) Befungsi untuk merekam sinyal-sinyal listrik yang
bergerak melalui jantung didalam tubuh. EKG seringkali dapat mendiagnosis
bukti serangan jantung sebelum kejadian atau yang sedan berlangsung
b. Ekokardiogram Tes untuk mendiagnosis kondisi penyakit jantung koroner. Alat
ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambar jantung anda.
c. CT scan jantung Dapat melihat deposit kalsium di arteri anda. Kelebihan kalsium
dapat mempersempit arteri sehingga ini dapat menjadi pertanda kemungkinan
penyakit arteri koroner. Selain itu melakukan X-ray dan ultrasound untuk
menyimpulkan kondisi anda.
9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan ACS dibagi dua
1.) Prehospital
a.) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
b.) Segera memanggil tim medis emergensi.
c.) Transportasi pasien ke Rumah Sakit.
2.) Hospital
a.) Cek TTV, evaluasi saturasi oksigen.
b.) EKG 12 lead.
c.) Pasang intravena.
d.) Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik singkat dan terarah.
e.) Lengkapi cek list fibrinolitik, cek kontraindikasi.
f.) Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit dan pembekuan darah.
g.) Pemeriksaan sinar X (≥ 30 menit setelah pasien sampai di IGD)
3.) Terapi Awal di IGD
a.) Segera berikan oksigen 4 LPM nasal kanul, terutama jika saturasi oksigen
kurang dari 94%
b.) Berikan aspirin 160-325mg dikunyah
c.) Nitrogliserin sub lingual atau spray
d.) Morvin IV jika nyeri dada tidak berkurang dengan nitrogliserin.
4.) Terapi Umum Pada ACS
a.) Oksigen
Oksiegen harus diberikan pada pasien dengan sesak nafas, tanda gagal
jantung, syok atau saturasi oksigen <94%
b.) Aspirin
Aspirin direkomendasikan pada pasien ACS kecuali terdapat
kontraindikasi. Diberikan 160-325mg dikunyah jika tidak ada alergi dan
tidak ada perdarahan lambung
c.) Nitrogliserin
Dapat diberikan tablet nitrogliserin sublingual sampai 3 kali dengan
interval 3-5 menit jika tidak ada kontraindikasi
d.) Analgetik
Analgetik morpin diberikan pada kasus ACS, jika pemberian nitrogliserin
sublingual atau spray tidak ada respon. Dosis bolus 2-4mg IV.
e.) Clopidogrel
Clopidogrel(antiagregasi platelet) dosis pertama 300mg dan dilanjutkan
dengan dosis harian 75mg. pasien yang dipersiapkan untuk invasif terapi
diberikan 600mg (PERKI, 2015)
f.) Terapi reperfusi pada STEMI
Reperfusi pada ACS akan mengembalikan aliran coroner pada arteri yang
berhubungan pada area infark, mengurangi ukuran infark dan menurunkan
mortalitas jangka panjang. Finrinolitik berhasil mengembalikan aliran
normal coroner pada 50-60% kasus. Sedangkan PCI dapat mengembalikan
aliran darah normal sampai 90% kasus, dan mafaat ini lebih besar
didapatkan pada pasien dengan syok kardiogenik. PCI juga menurunkan
resiko perdarahan intracranial dan stroke. Langkah pertama untuk perfusi
adalah evaluasi nilai waktu onset serangan, fibrinolitik, waktu yang
diperlukan dari transportasi kepada ahli intervensi (keteterisasi/PCI).
Langkah kedua adalah strategi terapi reperfusi (fibrinolysis/invansif)
Terapi fibrinolitik
Pemberian fibrinolitik lebih awal (door to drug < 30 menit) dapat
membatasi luasnya infark, fungsi ventrikel normal dan mengurangi angka
kematian. Bebrapa jenis obat misalnya: Aalteplase recombinant (activase),
Reteplase, Teneplase dan Streptokinase(streptase). Di Indonesia umumnya
tersedia streptokinase dengan dosis pemberian sebesar 1,5 juta unit
dilarutkan dalam 100ml Ns 0,9% atau dextrose 5% diberikan secara infus
dan selama 60 menit.
Kontraindikasi absolut terapi fibrinoliti adalah:
a.) Perdarahan intracranial kapanpun
b.) Struk iskemik < 3 bulan dan > 3 jam
c.) Kecurigaan diseksi aorta
d.) Tumor intrakrania
e.) Adanya kelainan AVM
f.) Perdarahan internal aktif atau gangguan system pembekuan darah
g.) Cidera kepala tertutup atau cidera wajah dalam 3 bulan terakhir.

Kontraindikasi relative terapi fibrinolitik adalah:

a.) Tekanan darah yang tidak terkontrol


b.) TD sistolik > 180mmHg, diastolic ≥110mmHg
c.) Riwayat stroke iskemik 3 bulan
d.) Trauma atau RJP lama (10 menit) atau operasi besar < 3 bulan
e.) Perdarahan internal dalam 2-4 minggu
f.) Penusukan pembuluh darah yang sulit dilakukan penekanan
g.) Pernah mendapat streptokinase 5 hari yang lalu atau lebih, atau
riwayat alergi terhadap obat tersebut
h.) Hamil
i.) Ulkus peptikus aktif
j.) Sedang menggunakan antikoagulan dengan hasil INR tinggi.
B. Konsep Dasar Keperawatan ACS
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Identitas klien mencakup : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama,
pekerjaan, suku, bangsa, status perkawinan, alamat, diagnose medis, no RM/CM,
tanggal masuk dan alasan masuk.
Pengkajian primer
1) Airways
a) Sumbatan atau penumpukan secret
b) Wheezing atau krekles
2) Breathing
a) Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
b) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal
c) Ronchi, krekles
d) Ekspansi dada tidak penuh
e) Penggunaan otot bantu nafas
3) Circulation
a) Nadi lemah , tidak teratur
b) Takikardi
c) TD meningkat / menurun
d) Edema
e) Gelisah
f) Akral dingin
g) Kulit pucat, sianosis
h) Output urine menurun
4) Disability
a) GCS
b) Exposure
c) Pemeriksaan EKG

Pengkajian sekunder

1) Aktifitas
Gejala :
a) Kelemahan
b) Kelelahan
c) Tidak dapat tidur
d) Pola hidup menetap
e) Jadwal olah raga tidak teratur

Tanda :

a) Takikardi
b) Dispnea pada istirahat atau aktifitas
2) Sirkulasi
Gejala : riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah tekanan
darah, diabetes mellitus.
Tanda :
a) Tekanan darah : Dapat normal / naik / turun, Perubahan postural dicatat
dari tidur sampai duduk atau berdiri.
b) Nadi : Dapat normal , penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat kualitasnya
dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratus (disritmia)
c) Bunyi jantung : Bunyi jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin menunjukkan
gagal jantung atau penurunan kontraktilits atau komplain ventrikel.
d) Murmur : Bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot jantung.
e) Friksi : Dicurigai Perikarditis.
f) Irama jantung dapat teratur atau tidak teratur.
g) Edema : Distensi vena juguler, edema dependent , perifer, edema
umum,krekles mungkin ada dengan gagal jantung atau ventrikel.
h) Warna : Pucat atau sianosis, kuku datar , pada membran mukossa atau
bibir.
3) Integritas ego
Gejala : menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati, perasaan
ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan, khawatir tentang
keuangan , kerja , keluarga.
Tanda : menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,
perilaku menyerang, focus pada diri sendiri, koma nyeri.
4) Eliminasi
Tanda : normal, bunyi usus menurun.
5) Makanan atau cairan
Gejala : mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau terbakar
Tanda : penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat, muntah, perubahan
berat badan.
6) Hygiene
Gejala atau tanda : kesulitan melakukan tugas perawatan.
7) Neurosensori
Gejala : pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau
istrahat ).
Tanda : perubahan mental, kelemahan.
8) Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala :
a) Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak berhubungan
dengan aktifitas), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin (meskipun
kebanyakan nyeri dalam dan viseral).
b) Lokasi : Tipikal pada dada anterior, substernal, prekordial, dapat menyebar
ke tangan, ranhang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti epigastrium,
siku, rahang, abdomen, punggung, leher.
c) Kualitas : “Crushing ”, menyempit, berat, menetap, tertekan, seperti dapat
dilihat .
d) Intensitas : Biasanya 10(pada skala 1 -10), mungkin pengalaman nyeri
paling buruk yang pernah dialami.

Catatan : nyeri mungkin tidak ada pada pasien pasca operasi, diabetes mellitus
, hipertensi, lansia.

9) Pernafasan:
Gejala :
a) Dispnea tanpa atau dengan kerja
b) Dispnea nocturnal
c) Batuk dengan atau tanpa produksi sputum
d) Riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis

Tanda :

a) peningkatan frekuensi pernafasan nafas sesak / kuat


b) pucat, sianosis
c) bunyi nafas ( bersih, krekles, mengi ), sputum
10) Interkasi social
Gejala : Stress, Kesulitan koping dengan stressor yang ada misal : penyakit,
perawatan di RS
Tanda : Kesulitan istirahat dengan tenang, Respon terlalu emosi (marah terus-
menerus, takut) dan menarik diri
11) Riwayat atau adanya faktor-faktor risiko :
a) Penyakit pembuluh darah arteri
b) Serangan jantung sebelumnya
c) Riwayat keluarga atas penyakit jantung/serangan jantung positif
d) Kolesterol serum tinggi (diatas 200 mg/l)
e) Perokok
f) Diet tinggi garam dan tinggi lemak
g) Kegemukan.( bb ideal : tb –100 ± 10 % )
h) Wanita pasca menopause karena terapi estrogen

2. Diagnose Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agent cidera iskehima jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri
coroner
b. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplay oksigen
c. Ansietas b.d ancaman kematian
d. Resiko penurunan cardiac output b.d gangguan stroke volume (preload, afterload,
kontraktilitas)
e. Resiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler
3. Intervensi Keperawatan

Tujuan dan Kriteria


NO Diagnosis keperawatan Intervensi keperawatan Rasional
Hasil
1. Nyeri akut b.d agent cidera Setelah dilakukan 1. Observasi rekasi nonverbal 1. Untuk mengetahui tingkat
iskehima jaringan sekunder tindakan keperawatan dari ketidaknyamanan ketidaknyamanan dirasakan
terhadap sumbatan arteri selama 1x24 jam 2. Kontrol lingkungan yang oleh pasien
coroner diharapkan nyeri dapat mempengaruhi nyeri 2. Untuk mengurangi tingkat
berkurang, dengan seperti suhu ruangan, ketidaknyamanan yang
kriteria hasil: pencahayaan, dan dirasakan pasien
1. Mampu kebisingan 3. Agar pasien mampu
mengontrol 3. Ajarkan tentang teknik non menggunakan teknik
nyeri ( tahu farmakologi nonfarmakologi dalam
penyebab nyeri, 4. Berikan analgetik untuk memanagement nyeri yang
mampu mengurangi nyeri dirasakan
menggunakan 4. Pemberian analgetik dapat
tehnik mengurangi rasa nyeri
nonfarmakologi pasien
untuk
mengurangi
nyeri )
2. Melaporkan
bahwa nyeri
berkurang
dengan
menggunakan
manajemen
nyeri
3. Mampu
mengenali nyeri
( skala,
intensitas,
frekuensi dan
tanda nyeri )
4. Menyatakan
rasa nyaman
setelah nyeri
berkurang
2. Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan 1. Catat denyut dan ritme 1. Menentukan respon pasien
ketidakseimbangan antara tindakan keperawatan jantung, serta perubahan terhadap aktivitas dan sapat
kebutuhan dan suplay selama 2x24 jam tekanan darah sebelum, mengindikasikan kekurangan
oksigen diharapkan pasien selama, dan setelah oksigen pada miokard,
mampu bertoleransi aktivitas sesuai indikasi. sehingga harus mengurangi
dengan aktivitas, Nyeri dada dan sesak nafas tingkat aktivitas, bedrest,
dengan kriteria hasil: mungkin terjadi. perubahan regimen
1. Berpartisipasi 2. Motivasi pasien untuk pengobatan, atau penggunaan
dalam aktivitas melakukan tirah baring. oksigen.
fisik tanpa disertai Batasi aktivitas yang 2. Mengurangi beban kerja
peningkatan menyebabkan nyeri dada miokard dan konsumsi
tekanan darah, atau respons jantung yang oksigen, serta mengurangi
nadi, dan RR buruk. Berikan aktivitas risiko komplikasi, misalnya
2. Mampu pengalihan yang bersifat perparahan infark miokard.
melakukan nonstres. Pasien tanpa komplikasi
aktivitas sehari- 3. Instruksikan pasien untuk infark miokard didorong
hari (ADLs) secara menghindari peningkatan untuk terlibat dalam aktivitas
mandiri tekanan abdominal, yang ringan diluar tempat
3. Mampu misalnya mengejan saat tidur, termasuk jalan-jalan
berpindah : dengan buang air besar. kecil 12 jam setelah kejadian.
atau bantuan alat 4. Jelaskan pola peningkatan 3. Kegiatan yang memerlukan
4. Status respirasi : tingkat aktivitas, misalnya untuk menahan nafas dan
pertukaran gas dan bangun untuk pergi ke toilet mengejan, misalnya manuver
ventilasi adekuat atau duduk dikursi, valsava, dapat mengakibatkan
5. Sirkulasi status ambulasi progresif, dan bradikardia sehingga terjadi
baik beristirahat setelah makan. penurunan curah jantung dan
5. Evaluasi tanda dan gejala selanjutnya mengalami
yang mencerminkan takikardia dengan
intoleransi terhadap tingkat peningkatan tekanan darah.
aktivitas yang ada atau 4. Kegiatan progresif
memberitahukan pada memberikan beban yang
perawat atau dokter. terkontrol pada jantung. Serta
meningkatkan kekuatan dan
mencegah kelelahan.
5. Palpitasi, denyut tidak teratur,
peningkatan nyeri dada, atau
dispnea mungkin
menunjukkan kebutuhan
untuk perubahan latihan atau
obat.
3. Ansietas b.d ancaman Setelah dilakukan 1. Identifikasi dan pahami 1. Koping terhadap rasa nyeri
kematian tindakan keperawatan persepsi pasien tentang dan trauma emosional dari
selama 2x24 jam ancaman atau situasi saat infark mikard sangat sulit.
diharapkan pasien ini. Dorong pasien untuk Pasien mungkin merasa takut
tidak mengalami mengekspresikan mati atau merasa cemas
kecemasan. Dengan perasaannya dan hindari terhadap kondisi lingkungan
kriteria hasil: menyangkal perasaan sekitar.
1. Pasien mampu marah, berduka, sedih, dan 2. Pasien mungkin tidak
mengidentifikasi takut yang dirasakan mengungkapkan
dan pasien kekhawatiran secara
mengungkapkan 2. Observasi adanya tanda langsung, tetapi katakata atau
gejala cemas verbal dan nonverbal tindakan dapat
2. Mengidentifikasi, ansietas, serta temani menyampaikan rasa agitasi,
mengungkapkan pasien saat ansietas. Cegah agresi, dan kebencian.
dan pasien jika menunjukkan Intervensi dari perawat dapat
menunjukkan perilaku destruktif. membantu pasien dalam
tehnik untuk 3. Orientasikan pasien dan mengontrol kembali
mengontrol keluarganya tentang perilakunya.
cemas prosedur rutin, serta 3. Prefiktabilitas dan informasi
3. Postur tubuh, aktivitas yang dapat mengurangi ansietas
ekspresi wajah, diperkirakan. Dorong pasien.
bahasa tubuh dan pasien untuk berpartisipasi 4. Informasi yang akurat
tingkat aktivitas jika memungkinkan. mengenai kondisi yang
menunjukkan 4. Jawab semua pertanyaan dialami dapat mengurangi
berkurangnya secara faktual. Berikan rasa takut, memperkuat
kecemasan informasi yang konsisten, hubungan perawat dan pasien,
ulangi jika dibutuhkan. serta membantu pasien dan
5. Berikan privasi pada keluarga dalam menghadapi
pasien dan keluarga. kondisi yang dialami.
6. Berikan waktu istirahat 5. Privasi memberikan waktu
dan tidur tanpa terganggu, yang diperlukan untuk
serta lingkungan yang mengekspresikan perasaan
tenang dengan mengontrol pribadi pasien, serta dapat
pengunjung dan jumlah meningkatkan perasaan saling
rangsangan eksternal. mendukung dan
7. Kolaborasi dengan tenaga mempromosikan perilaku
kesehatan lain dalam yang lebih adaptif.
memberikan obat anti- 6. Menyimpan energi dan
ansietas atau hipnotik meningkatkan koping adaptif.
sesuai indikasi, misalnya 7. Mendorong relaksasi dan
alprazolam (Xanax) dan istirahat, serta mengurangi
lorazepam (Ativan) ansietas.
4. Resiko penurunan cardiac Setelah dilakukan 1. Auskultasi bunyi jantung. 1. S3 biasanya berhubungan
output b.d gangguan stroke tindakan keperawatan Catat adanya gallop S3 dengan gagal jantung, namun
volume (preload, afterload, selama 3x8 jam dan S4, murmur, serta rub. adanya insufisiensi mitral
kontraktilitas) diharapkan tidak 2. Auskultasi suara nafas (regurgitasi) dan overload
terjadi penurunan 3. Pantau denyut dan ritme ventrikel kiri yang dapat
curah jantung Kriteria jantung. Dokumentasikan menyertai infark parah juga
Hasil : disritmia melalui telemetri. dicatat. S4 mungkin
1. Tanda vital dalam 4. Berikan makanan yang berhubungan dengan iskemia
rentang normal kecil dan mudah dicerna. miokard, kekakuan ventrikel,
( Tekanan Darah, Batasi asupan kafein dan hipertensi pulmonal atau
Nadi, Respirasi ) 5. Kolaborasi dengan tenaga sistemik. Murmur
2. Dapat kesehatan lain dalam mengindikasikan adanya
mentoleransi pemberian obat ± obatan gangguan aliran darah pada
aktivitas, tidak sesuai indikasi, misalnya jantung, misalnya gangguan
ada kelelahan obat antidisritmia. pada katup, defek septum,
3. Tidak ada edema atau getaran otot papilaritas
paru, perifer dan dan korda tendinea
tidak ada asites (komplikasi infark miokard)
4. Tidak ada Rub mengindikasikan adanya
penurunan infark yang disebabkan oleh
kesadaran peradangan, misalnya efusi
perikardial dan perikarditis.
2. Krakels menandakan adanya
kongesti pulmonal, yang
mungkin berkembang karena
penurunan fungsi miokard.
3. Denyut dan ritme jantung
berespon terhadap medikasi,
aktivitas, dan perkembangan
komplikasi. Disritmia
terutama kontraksi
ventrikular yang prematur
atau progressive heart blocks,
dapat mempengaruhi fungsi
jantung atau meningkatkan
kerusakan iskemik.
4. Makanan besar dapat
meningkatkan beban kerja
miokard dan menyebabkan
stimulasi vagal, yang
mengakibatkan bradikardia
atau denyut ektopik. Kafein
merupakan stimulan langsung
pada jantung yang dapat
meningkatkan denyut
jantung.
5. Disritmia biasanya diobati
sesuai dengan gejalanya.
Terapi ACE inhibitor sebagai
pengobatan awal, khususnya
pada infark miokard anterior
yang besar, aneurisma
ventrikel, atau gagal jantung,
dapat meningkatkan keluaran
vemtrikel, meningkatkan
kelangsungan hidup, dan
mungkin memperlambat
perburukan gagal jantung.
5. Resiko kelebihan volume Dalam waktu 3 x 8 1. Pantau tekanan darah, nadi, 1. Perubahan parameter dapat
cairan ekstravaskuler jam tidak terjadi irama jantung, suhu dan mengindikasikan perubahan
kelebihan volume suara nafas setidaknya status cairan atau elektrolit.
cairan, dengan kriteria setiap 4 jam. 2. Asupan yang melebihi
hasil: 2. Pantau asupan, keluaran dan keluaran dan peningkatan
1. Edema dapat berat jenis urine secara berat jenis urine dapat
berkurang cermat setidaknya setiap 4 mengindikasikan retensi atau
2. Pitting edema jam. kelebihan beban cairan.
negative 3. Pantau kretinin, kadar 3. Kreatinin mengindikasikan
3. Produksi urin > elektrolit, kadar hemoglobin fungsi ginjal, kadar elektrolit,
600 cc/hari dan hematokrit. hemoglopbin dan hematokrit
4. Berikan cairan sesuai membantu
intruksi, pantau kecepatan mengidentifikasikan status
aliran IV (intra vena) secara cairan.
cermat. 4. Kelebihan cairan IV dapat
memperburuk kondisi pasien
4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi menuju
status kesehatan yang baik/optimal. Pelaksanaan tindakan merupakan realisasi dari
rencana/intevensi keperawatan yang mencakup perawatan langsung atau tidak
langsung.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan untuk mengetahui
sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai. Evaluasi ini dilakukan dengan
cara membandingkan hasil akhir yang teramati dengan tujuan dan kriteria hasil yang
dibuat dalam rencana keperawatan. Evaluasi ini akan mengarahkan asuhan
keperawatan, apakah asuhan keperawatan yang dilakukan ke pasien berhasil
mengatasi masalah pasien ataukan asuhan yang sudah dibuat akan terus
berkesinambungan terus mengikuti siklus proses keperawatan sampai benar-benar
masalah pasien teratasi
C. Congestive Heart Failure (CHF)
1. Pengertian
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologi dimana jantung gagal
mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan
pengisian cukup (Ongkowijaya & Wantania, 2016).
Gagal jantung adalah sindrome klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai
oleh sesak napas dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh
kelainan struktur atau fungsi jantung. Gagal jantung disebabkan oleh gangguan yang
menghabiskan terjadinya pengurangan pengisian ventrikel (disfungsi diastolik) dan
atau kontraktilitas miokardial (disfungsi sistolik) (Sudoyo Aru,dkk 2009) didalam
(nurarif, a.h 2015).
Gagal jantung kongestif adalah keadaan ketika jantung tidak mampu lagi
memompakan darah secukupnya dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi tubuh untuk
keperluan metabolisme jaringan tubuh pada kondisi tertentu, sedangkan tekanan
pengisian kedalam jantung masih cukup tinggi (Aspani, 2016).
2. Etiologi
Secara umum penyebab gagal jantung dikelompokkan sebagai berikut : (Aspani,
2016)
a. Disfungsi miokard
b. Beban tekanan berlebihan-pembebanan sistolik (sistolic overload).
1) Volume : defek septum atrial, defek septum ventrikel, duktus arteriosus paten
2) Tekanan : stenosis aorta, stenosis pulmonal, koarktasi aorta
3) Disaritmia
c. Beban volume berlebihan-pembebanan diastolik (diastolic overload)
d. Peningkatan kebutuhan metabolik (demand oveload)

Menurut Smeltzer (2012) dalam Buku Ajar Keperawatan MedikalBedah, gagal


jantung disebabkan dengan berbagai keadaan seperti :

a. Kelainan otot jantung


Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan
fungsi otot jantung mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial dan
penyakit degeneratif atau inflamasi misalnya kardiomiopati. Peradangan dan
penyakit miocardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena
kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas
menurun.
b. Aterosklerosis koroner
Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat
penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya
mendahului terjadinya gagal jantung. Infark miokardium menyebabkan
pengurangan kontraktilitas, menimbulkan gerakan dinding yang abnormal dan
mengubah daya kembang ruang jantung.
c. Hipertensi Sistemik atau pulmonal (peningkatan after load)
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi
serabut otot jantung. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui
beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri
dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan
risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik
itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel.
d. Penyakit jantung lain
Terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara langsung
mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran
darah yang masuk jantung (stenosis katub semiluner), ketidakmampuan jantung
untuk mengisi darah (tamponade, pericardium, perikarditif konstriktif atau
stenosis AV), peningkatan mendadak after load. Regurgitasi mitral dan aorta
menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis
aorta menyebabkan beban tekanan (after load)
e. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya
gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal : demam, tirotoksikosis).
Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis
respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektronik dapat menurunkan
kontraktilitas jantung.
3. Maniestasi Klinik
a. Gagal Jantung Kiri
1) Kongesti pulmonal : dispnea (sesak), batuk, krekels paru, kadar saturasi
oksigen yang rendah, adanya bunyi jantung tambahan bunyi jantung S3 atau
“gallop ventrikel” bisa di deteksi melalui auskultasi.
2) Dispnea saat beraktifitas (DOE), ortopnea, dispnea nocturnal paroksismal
(PND).
3) Batuk kering dan tidak berdahak diawal, lama kelamaan dapat berubah
menjadi batuk berdahak.
4) Sputum berbusa, banyak dan berwarna pink (berdarah).
5) Perfusi jaringan yang tidak memadai.
6) Oliguria (penurunan urin) dan nokturia (sering berkemih dimalam hari)
7) Dengan berkembangnya gagal jantung akan timbul gejalagejala seperti:
gangguan pencernaan, pusing, sakit kepala, konfusi, gelisah, ansietas, sianosis,
kulit pucat atau dingin dan lembab.
8) Takikardia, lemah, pulsasi lemah, keletihan.
b. Gagal Jantung Kanan
Kongestif jaringan perifer dan viscelar menonjol, karena sisi kanan jantung tidak
mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomondasikan semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi
vena.
1) Edema ekstremitas bawah
2) Distensi vena leher dan escites
3) Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat
pembesaran vena di hepar.
4) Anorexia dan mual
5) Kelemahan
4. Klasifikasi Gagal Jantung
Klasifikasi Fungsional gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA),
sebagai berikut :
Tabel 2.1 : Klasifikasi Fungsional gagal jantung

Kelas 1 Tidak ada batasan : aktivitas fisik yang biasa tidak menyebabkan
dipsnea napas, palpitasi atau keletihan berlebihan
Kelas 2 Gangguan aktivitas ringan : merasa nyaman ketika beristirahat,
tetapi aktivitas biasa menimbulkan keletihan dan palpitasi.
Kelas 3 Keterbatasan aktifitas fisik yang nyata : merasa nyaman ketika
beristirahat, tetapi aktivitas yang kurang dari biasa dapat
menimbulkan gejala.
Kelas 4 Tidak dapat melakukan aktifitas fisik apapun tanpa merasa tidak
nyaman : gejala gagal jantung kongestif ditemukan bahkan pada
saat istirahat dan ketidaknyamanan semakin bertambah ketika
melakukan aktifitas fisik apapun.
Sumber : (Aspiani,2016)
5. Patofisiologi
Kekuatan jantung untuk merespon sters tidak mencukupi dalam memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh. Jantung akan gagal melakukan tugasnya sebagai organ
pemompa, sehingga terjadi yang namanya gagal jantung. Pada tingkat awal disfungsi
komponen pompa dapat mengakibatkan kegagalan jika cadangan jantung normal
mengalami payah dan kegagalan respon fisiologis tertentu pada penurunan curah
jantung. Semua respon ini menunjukkan upaya tubuh untuk mempertahankan perfusi
organ vital normal.
Sebagai respon terhadap gagal jantung ada tiga mekanisme respon primer yaitu
meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, meningkatnya beban awal akibat
aktifitas neurohormon, dan hipertrofi ventrikel. Ketiga respon ini mencerminkan
usaha untuk mempertahankan curah jantung. Mekanisme-mekanisme ini mungkin
memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir
normal pada gagal jantung dini pada keadaan normal.
Mekanisme dasar dari gagal jantung adalah gangguan kontraktilitas jantung yang
menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Bila curah
jantung berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme ini gagal, maka volume sekuncup
yang harus menyesuaikan. Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa
pada setiap kontraksi, yang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu preload (jumlah darah
yang mengisi jantung), kontraktilitas (perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada
tingkat sel yang berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar
kalsium), dan afterload (besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan
arteriol). Apabila salah satu komponen itu terganggu maka curah jantung akan
menurun.
Kelainan fungsi otot jantung disebabkan karena aterosklerosis koroner, hipertensi
arterial dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi. Aterosklerosis koroner
mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggu alirannya darah ke otot
jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark
miokardium biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Hipertensi sistemik atau
pulmonal (peningkatan afterload) meningkatkan beban kerja jantung pada gilirannya
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek (hipertrofi miokard) dapat
dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas
jantung.
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal
jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan
kontraktilitas menurun. Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara
terpisah. Gagal ventrikel kiri paling sering mendahului gagal jantung ventrikel kanan.
Gagal ventrikel kiri murni sinonim dengan edema paru akut. Karena curah ventrikel
brpasangan atau sinkron, maka kegagalan salah satu ventrikel dapat mengakibatkan
penurunan perfusi jaringan.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan kasus gagal
jantung kongestive di antaranya sebagai berikut :
a. Elektrokardiogram : Hiperatropi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis,
iskemia, disaritmia, takikardia, fibrilasi atrial.
b. Uji stress : Merupakan pemeriksaan non-invasif yang bertujuan untuk
menentukan kemungkinan iskemia atau infeksi yang terjadi sebelummnya.
c. Ekokardiografi
1) Ekokardiografi model M (berguna untuk mengevaluasi volume balik dan
kelainan regional, model M paling sering diapakai dan ditanyakan bersama
EKG)
2) Ekokardiografi dua dimensi (CT scan)
3) Ekokardiografi dopoler (memberikan pencitraan dan pendekatan
transesofageal terhadap jantung)
d. Katerisasi jantung : Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung kanan dan kiri dan stenosis katup atau insufisiensi
e. Radiografi dada : Dapat menunjukkan pembesaran jantung. Bayangan
mencerminkan dilatasi atau hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh
darah abnormal
f. Elektrolit : Mungkin beruban karena perpindahan cairan/penurunan fungsi ginjal
terapi diuretik
g. Oksimetrinadi : Saturasi oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung
kongestif akut menjadi kronis.
h. Analisa gas darah : Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratory
ringan (dini) atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir)
i. Blood ureum nitrogen (BUN) dan kreatinin : Peningkatan BUN menunjukkan
penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik BUN dan kreatinin merupakan indikasi
j. Pemeriksaan tiroid : Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid
sebagai pencetus gagal jantung
7. Penatalaksanaan Medis
Penatalakasanaan gagal jantung dibagi menjadi 2 terapi yaitu sebagai berikut :
a. Terapi farmakologi : Terapi yang dapat iberikan antara lain golongan diuretik,
angiotensin converting enzym inhibitor (ACEI), beta bloker, angiotensin receptor
blocker (ARB), glikosida jantung , antagonis aldosteron, serta pemberian laksarasia
pada pasien dengan keluhan konstipasi.
b. Terapi non farmakologi : Terapi non farmakologi yaitu antara lain tirah baring,
perubahan gaya hidup, pendidikan kesehatan mengenai penyakit, prognosis, obat-
obatan serta pencegahan kekambuhan, monitoring dan kontrol faktor resiko.
D. Konsep Asuhan Keperawatan CHF
1. Pengkajian keperawatan
a. Identitas :
1) Identitas pasien : Nama, umur, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat,
pekerjaan, suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit
(MRS), nomor register, dan diagnosa medik.
2) Identitas Penanggung Jawab Meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, alamat,
pekerjaan, serta status hubungan dengan pasien.
b. Keluhan utama
1) Sesak saat bekerja, dipsnea nokturnal paroksimal, ortopnea
2) Lelah, pusing
3) Nyeri dada
4) Edema ektremitas bawah
5) Nafsu makan menurun, nausea, dietensi abdomen
6) Urine menurun
c. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian yang mendukung keluhan utama dengan memberikan pertanyaan
tentang kronologi keluhan utama. Pengkajian yang didapat dengan gejala-gejala
kongesti vaskuler pulmonal, yakni munculnya dispnea, ortopnea, batuk, dan
edema pulmonal akut. Tanyakan juga gajala-gejala lain yang mengganggu pasien.
d. Riwayat penyakit dahulu
Untuk mengetahui riwayat penyakit dahulu tanyakan kepada pasien apakah pasien
sebelumnya menderita nyeri dada khas infark miokardium, hipertensi, DM, atau
hiperlipidemia. Tanyakan juga obat-obatan yang biasanya diminum oleh pasien
pada masa lalu, yang mungkin masih relevan. Tanyakan juga alergi yang dimiliki
pasien
e. Riwayat penyakit keluarga Apakah ada keluarga pasien yang menderita penyakit
jantung, dan penyakit keteurunan lain seperti DM, Hipertensi.
f. Pengkajian data
1) Aktifitas dan istirahat : adanya kelelahan, insomnia, letargi, kurang istirahat,
sakit dada, dipsnea pada saat istirahat atau saat beraktifitas.
2) Sirkulasi : riwayat hipertensi, anemia, syok septik, asites, disaritmia, fibrilasi
atrial,kontraksi ventrikel prematur, peningkatan JVP, sianosis, pucat.
3) Respirasi : dipsnea pada waktu aktifitas, takipnea, riwayat penyakit paru.
4) Pola makan dan cairan : hilang nafsu makan, mual dan muntah.
5) Eliminasi : penurunan volume urine, urin yang pekat, nokturia, diare atau
konstipasi.
6) Neuorologi : pusing, penurunan kesadaran, disorientasi.
7) Interaksi sosial : aktifitas sosial berkurang
8) Rasa aman : perubahan status mental, gangguan pada kulit/dermatitis.
g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan Umum : Kesadaran dan keadaan emosi, kenyamanan, distress, sikap
dan tingkah laku pasien.
2) Tanda-tanda Vital :
a) Tekanan Darah Nilai normalnya : Nilai rata-rata sistolik : 110-140 mmHg
Nilai rata-rata diastolik : 80-90 mmHg
b) Nadi Nilai normalnya : Frekuensi : 60-100x/menit (bradikardi atau
takikkardi)
c) Pernapasan Nilai normalnya : Frekuensi : 16-20 x/menit Pada pasien :
respirasi meningkat, dipsnea pada saat istirahat / aktivitas
d) Suhu Badan Metabolisme menurun, suhu menurun
3) Head to toe examination :
a) Kepala : bentuk , kesimetrisan
b) Mata: konjungtiva: anemis, ikterik atau tidak ?
c) Mulut: apakah ada tanda infeksi?
d) Telinga : kotor atau tidak, ada serumen atau tidak, kesimetrisan
e) Muka; ekspresi, pucat
f) Leher: apakah ada pembesaran kelenjar tiroid dan limfe
g) Dada: gerakan dada, deformitas
h) Abdomen : Terdapat asites, hati teraba dibawah arkus kosta kanan
i) Ekstremitas: lengan-tangan:reflex, warna dan tekstur kulit, edema,
clubbing, bandingakan arteri radialis kiri dan kanan.
j) Pemeriksaan khusus jantung :
(1) Inspeksi : vena leher dengan JVP meningkat, letak ictus cordis (normal
: ICS ke 5)
(2) Palpasi : PMI bergeser kekiri, inferior karena dilatasi atau hepertrofi
ventrikel
(3) Perkusi : batas jantung normal pada orang dewasa Kanan atas : SIC II
Linea Para Sternalis Dextra Kanan bawah : SIC IV Linea Para
Sternalis Dextra Kiri atas : SIC II Linea Para Sternalis sinistra Kiri
bawah : SIC IV Linea Medio Clavicularis Sinistra
(4) Auskulatsi : bunyi jantung I dan II BJ I : terjadi karena getaran
menutupnya katup atrioventrikular, yang terjadi pada saat kontraksi
isimetris dari bilik pada permulaan systole BJ II : terjadi akibat getaran
menutupnya katup aorta dan arteri pulmonalis pada dinding toraks. Ini
terjadi kira-kira pada permulaan diastole. (BJ II normal selalu lebih
lemah daripada BJ I)
4) Pemeriksaan penunjang
a) Foto thorax dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, edema
atau efusi pleura yang menegaskan diagnosa CHF
b) EKG dapat mengungkapkan adanya tachicardi, hipertrofi bilik jantung
dan iskemi (jika disebabkan AMI), ekokardiogram
c) Pemeriksaan laboratorium : Hiponatremia, hiperkalemia pada tahap lanjut
dari gagal jantung, Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin meningkat,
peninkatan bilirubin dan enzim hati.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon pasien
terhadap masalah kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Diagnosa
berdasarkan SDKI adalah :
a. Gangguan pertukaran gas (D.0003)
b. Pola nafas tidak efektif (D.0005)
c. Hipervolemia (D.0022)
d. Intoleransi aktivitas (D.0056)
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala bentuk treatment yang dikerjakan oleh perawat didasarkan pada pengetahuan dan
penilaian klinis untuk mencapai tujuan luaran yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Diagnosa berdasarkan
SIKI adalah :

No Diagnosa Tujuan Intervensi


1. Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas Observasi
berhubungan dengan keperawatan 4x24 jam diharapkan 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha
hambatan upaya napas pola napas membaik, dengan napas)
ditandai dengan pola kriteria hasil : 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis gurgling, mengi,
napas abnormal (SDKI 1. Dispnea menurun wheezing, ronkhi kering)
halaman 26) 2. Penggunaan otot bantu 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
napas menurun Terapeutik
3. Frekuensi napas membaik 1. Posisikan semi fowler atau fowler
4. Kedalaman napas membaik 2. Berikan minum hangat
(SLKI halaman 95) 3. Lakukan fisoterapi dada, jika perlu
4. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
2. Ajarkan tehnik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu (SIKI halaman 186)
2. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Manajemen Energi
berhubungan dengan keperawatan 4x24 jam diharapkan Observasi
ketidakseimbangan toleransi aktivitas meningkat, 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
antara suplai dan dengan kriteria hasil : mengakibatkan kelelahan
kebutuhan oksigen 1. Frekuensi nadi meningkat 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
ditandai dengan 2. Saturasi oksigen 3. Monitor pola dan jam tidur
dispnea saat atau meningkat 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
setelah aktivitas (SDKI 3. Dispnea saat aktivitas melakukan aktivitas
halaman 128) menurun Terapeutik
4. Tekanan darah membaik 1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
5. Frekuensi napas membaik (mis cahaya, suara, kunjungan)
(SLKI halaman 149) 2. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
3. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
4. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat jika ada tanda dan
gejala kelelahan tidak berkurang
4. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan (SIKI halaman 176)
3. Gangguan pertukaran Setelah dilakukan tindakan Terapi Oksigen
gas berhubungan keperawatan 4x24 jam diharapkan Observasi
dengan pertukaran gas meningkat, dengan 1. Monitor kecepatan aliran oksigen
ketidakseimbangan kriteria hasil : 2. Monitor posisi alat aliran oksigen
ventilasi-perfusi 1. Dispnea menurun 3. Monitor aliran oksigen secara periodic dan pastikan
ditandai dengan pola 2. Bunyi napas tambahan fraksi yang diberikan cukup
napas tambahan (SDKI menurun 4. Monitor efektifitas terapi oksigen (mis oksimetri,
halaman 22) 3. Gelisah menurun analisa gas darah), jika perlu
4. Pola napas membaik 5. Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan
5. Warna kulit membaik 6. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
(SLKI halaman 94) 7. Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan
atelektakasis
8. Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
9. Monitor integritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen
Terapeutik
1. Bersihkan secret pada mulut, hidung dan trakea, jika
perlu
2. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen
4. Berikan oksigen tambahan, jika perlu
5. Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi
6. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan
tingkat mobilitas pasien
Edukasi
1. Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan
oksigen di rumah
Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
2. Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas
dan/atau tidur (SIKI halaman 430)
4. Hipovolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen Syok Hipovolemik Observasi
berhubungan dengan keperawatan 4x24 jam diharapkan 1. Monitor status kardiopulmonal(frekuensi dan
kekurangan intake keseimbangan cairan meningkat, kekuatan nadi, frekuensi napas, RD, MAP)
cairan ditandai dengan dengan kriteria hasil : 2. Monitor status oksigenasi (oksimetrinadi, AGD)
volume urin menurun 1. Turgor kulit membaik 3. Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor
(SDKI halaman 64) 2. Dehidrasi menurun kulit, CRT)
3. Membran mukosa 4. Periksa tingkat kesadaran dan respon pupil)
membaik Terapeutik
4. Keluaran urin meningkat 1. Pertahankan jalan napas paten
(SLKI halaman 41) 2. Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi
oksigen >94%
3. Berikan posisi syok ( modified trendelenburg)
4. Pasang kateter urine untuk menilai produksi urin
5. Pasang selang nasogastrik untuk dekompresi
lambung
6. Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah
lengkap dan elektrolit
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian infuse cairan kristaloid 1-2 L
pada dewasa
2. Kolaborasi pemberian transfuse darah, jika perlu
(SIKI halaman 222)
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Proses
pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan pasien, faktor-faktor lain
yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan
kegiatan komunikasi (Dinarti & Muryanti, 2017)
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan. Evaluasi adalah
kegiatan yang disengaja dan terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan
anggota tim kesehatan lainnya (Padila, 2012).
Menurut Setiadi (2012) dalam buku Konsep & penulisan Asuhan Keperawatan,
Tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan
dengan melibatkan pasien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi
adalah untuk melihat kemampuan pasien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan
dengan kriteria hasil pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012).
E. Temponade jantung
1. Pengertian
Tamponade jantung merupakan suatu sindroma klinis akibat penumpukan cairan
berlebihan di rongga perikard yang menyebabkan penurunan pengisian ventrikel
disertai gangguan hemodinamik (Dharma, 2009: 67). Tamponade jantung merupakan
salah satu komplikasi komplikasi yang paling fatal dan memerlukan tindakan darurat.
Terjadi pengumpulan cairan di pericardium dalam jumlah yang cukup untuk
menghambat aliran darah ke ventrikel. (Mansjoer, (Mansjoer, dkk. 2001).
Jumlah cairan yang cukup untuk menimbulkan tamponade jantung adalah 250 cc
bila pengumpulan cairan tersebut berlangsung cepat, dan 100 cc bila pengumpulan
cairan tersebut berlangsung lambat, karena pericardium mempunyai kesempatan
untuk meregang dan menyesuaikan diri dengan volume cairan yang bertambah
tersebut (Muttaqin, 2009)
Dari beberapa definisi diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa tamponade
jantung adalah kompresi pada jantung yang disebabkan oleh peningkatan tekanan
intraperikardial akibat pengumpulan darah atau cairan dalam pericardium (250 cc bila
pengumpulan cairan tersebut berlangsung cepat, dan 100 cc bila pengumpulan cairan
tersebut berlangsung lambat) yang menyebabkan penurunan pengisian ventrikel
disertai gangguan hemodinamik, dimana ini merupakan salah satu komplikasi yang
paling fatal dan memerlukan tindakan darurat.
2. Anatomi Fisiologi Sitem Jantung
Pericardium merupakan kantung elastis membran yang dilapisi oleh membran serosa
skuamosa sederhana dan diisi dengan cairan serosa yang membungkus jantung dan
aorta serta pembuluh darah besar lainnya dan menjadi jangkar jantung di
mediastinum; kantung sendiri terdiri dari lapisan fibrosa (dengan lampiran ke
diafragma, sternum, dan kartilago kosta) dan lapisan parietalis dalam serosa
sedangkan lapisan serosa viseral meluas ke permukaan eksternal dari miokardium, itu
berfungsi sebagai penghalang pelindung dari penyebaran infeksi atau peradangan dari
struktur yang berdekatan ke dalam ruang perikardial dan berfungsi untuk
mengandung jantung dan batas overfilling dari ruang; lapisan membran serosa
mengeluarkan cairan perikardial yang melumasi permukaan jantung seperti cekungan
dan tonjolan dalam ruang perikardial. Dibagi menjadi dua lapisan yaitu : (Darling,
2012).
a. Pericardium Visceral (Epicardium)
Lapisan yang mengelilingi jantung, dan melekat padanya, adalah perikardium
visceral, atau epikardium. Jantung dapat meluncur dengan mudah pada
perikardium viseral, sehingga memungkinkan untuk berkontraksi dengan bebas.
Perikardium viseral memiliki lapisan luar dari sel mesothelial datar, yang terletak
di stroma jaringan penunjang fibrocollagenous. Jaringan penunjang ini
mengandung serat elastis, serta arteri besar yang memasok darah ke dinding
jantung, dan cabang vena besar yang membawa darah dari dinding jantung
(Darling, 2012)
b. Pericardium Parietalis
Lapisan luar dari pericardium, yang disebut perikardium parietalis, terdiri dari
lapisan luar yang kuat, jaringan ikat tebal (disebut perikardium fibrosa) dan
lapisan serosa dalam (pericardium serosa). Lapisan fibrosa perikardium parietalis
melekat pada diafragma dan berdifusi dengan dinding luar dari pembuluh darah
besar yang memasuki dan meninggalkan jantung. Dengan demikian, perikardium
parietalis membentuk kantung pelindung yang kuat untuk jantung dan berfungsi
juga untuk jangkar dalam mediastinum. Lapisan serosa dari perikardium
parietalis, sebagian besar terdiri dari mesothelium bersama-sama dengan jaringan
ikat kecil, membentuk epitel skuamosa sederhana dan mengeluarkan sejumlah
kecil cairan (biasanya sekitar 25 sampai 35 ml), yang membuat dua lapisan
perikardium dari bergesekan sama lain dan menyebabkan gesekan selama
kontraksi otot jantung. Di bagian atas jantung, lapisan viseral lipatan atas
bergabung dengan lapisan parietalis. Flip ini disebut refleksi pericardium
(Darling, 2012)

Gambar 2.1 Penampakan jantung dan pericardium


3. Etiologi
a. Perikarditis
b. Neoplasma
c. Uremia
d. Kanker paru end-stage
e. Miokard infark akut
f. Perdarahan ke dalam ruang pericardial akibat trauma, operasi, atau infeksi
4. Manifestasi klinis
Bila terjadi secara lambat dapat memberi kesempatan mekanisme kompensasi seperti
takikardi, peningkatan resistensi vascular perifer danpeningkatan volume
intravaskular. Bila cepat, maka dalam beberapa menit bisa fatal.
a. Tamponade jantung akut biasanya disertai gejala peningkatan tekanan vena
jugularis, pulsus paradoksus >10mmHg, tekanan nadi
b. Sedangkan pada yang kronis ditemukan peningkatan tekanan venajugularis,
takikardi, dan pulsus paradoksus (gambaran lain yang menandaiperubahan yang
tidak terduga tekanan vena).

Keluhan dan gejala yang mungkin ada yaitu adanya jejas trauma tajam dan tumpul di
daerah dada atau yang diperkirakan menembus jantung, gelisah, pucat, keringat
dingin, peninggian vena jugularis, pekak jantung melebar, suara jantung redup dan
pulsus paradoksus. Trias classic beck berupa distensis vena leher, bunyi jantung
melemah dan hipotensi didapat pada sepertiga penderita dengan tamponade.
(Mansjoer, dkk. 2000)

5. Patofisiologi
Tamponade jantung terjadi bila jumlah efusi perikardium menyebabkan hambatan
serius aliran darah ke jantung (gangguan diastolik ventrikel) penyebab tersering
adalah neolasma dan uremi. (Panggabean 2006:364). Neoplasma menyebabkan
terjadinya pertumbuhan sel secara abnormal pada otot jantung. Sehingga terjadi
hiperplasia sel yang tidak terkontrol, ynag menyebabkan pembentukan massa
(tumor). Hal ini yang dapat mengakibatkan ruang pada kantong jantung (perikardium)
dengan lapisan paling luar jantung (epikardium). Uremia juga mengakibatkan
temponade jantung(price, 2005 :945). Dimana orang yang mengalami uremia di
dalam darahnya terdapat toksik metabolik yang dapat menyebabkan inflamasi ( dalam
hal ini inflamasi terjadi pada perikardium). Selain itu, temponade jantung juga dapat
di sebabkan akibat trauma tumpul / tembus. Jika trauma ini mengenai ruang
perikardium akan terjadi perdarahan sehingga darah banyak terkumpul di ruang
perikardium. Hal ini mengakibatkan jantung terdesak oleh akumulasi ciran tersebut
6. Pathway Tamponade Jantung

Trauma tembus/Tajam pada area


precordial (parasternal kanan, sela iga II
kiri, grs mid-klavikula kiri, arkus kosta
kiri) atau trauma tumpul dada
7. Pemeriksaan penunjang
a. Rontgen dada
Menunjukkan gambaran “water bottle-shape heart”, kalsifikasi perkardial.
Kerusakan struktur dan jaringan,
termasuk
1) Kardiomegali bentuk pembuluh
bulat atau darah
segitiga, dengan gambaran paru yang bersih
2) Foto lateral kadang terlihat double fat stripe

Perembesan darah ke ruang pericardium


→akumulasi darah progresif

Menekan jantung → terjadi peningkatan


kekakuan ventrikel

Menghambat aktivitas jantung dan


mengganggu pengisian ventrikel

Distensi vena jugularis Ggn kontraktilitas jtg


Gambar 2.2 Foto Thorax AP : Jantung membesar berbentuk botol

Venous return↓
b. Laboratorium
Kontraksi jantung ↓
Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan etiologi terjadinya tamponade
CO↓
jantung, misalnya pemeriksaan berikut :
Suara jantung menjauh
1) Peningkatan creatine kinase dan isoenzim pada MI dan trauma jantung.
Tekanan arteri ↓
2) Profil renal dan CBC uremia dan penyakit infeksi yang berkaitan dengan
pericarditis
Hipotensi Perfusi jaringan ↓
3) Protrombin time (PT) dan aPTT (activated partial thromboplastin time)
menilai
Tekanan arteri ↓ resiko perdarahan selama intervensi misalnya drainase perikardial.
Kulit pucat dan dingin
c. Elektrokardiografi (EKG)
1) Didapatkan PEA (Pulseless Electric Activity), sebelumnya dikenal sebagai
Electromechanical Dissociation, merupakan dimana pada EKG didapatkan
irama sedangkan pada perabaan nadi tidakditemukan pulsasi. PEA Amplitude
gelombang P dan QRS berkurang pada setiap gelombang berikutnya.
2) PEA dapat ditemukan pada tamponade jantung, tension pneumothorax,
hipovolemia, atau ruptur jantung.
3) Dengan EKG 12 lead berikut suspek tamponade jantung :
a) Sinus tachycardia
b) Kompleks QRS Low-voltage
c) Electrical alternans : kompleks QRS alternan, biasanya rasio 2:1, terjadi
karena pergerakan jantung pada ruang pericardium. Electrical ditemukan
juga pada pasien dengan myocardial ischemia, acute pulmonary embolism,
dan tachyarrhythmias.
d) PR segment depression
4) EKG juga digunakan untuk memonitor jantung ketika melakukan aspirasi
perikardium.

Gambar 2.3 hasil EKG


d. Echocardiografi
Meskipun echocardiografi menyediakan informasi yang berguna, tamponade
jantung adalah diagnosis klinis. Berikut ini dapat diamati dengan echocardiografi
2-dimensi:
1) Zona ruang bebas posterior dan anterior ventrikel kiri dan di belakang atrium
kiri : Setelah operasi jantung, suatu pengumpulan cairan lokal posterior tanpa
efusi anterior yang signifikan dapat terjadi dan dapat membahayakan cardiac
output.
2) Kolapsnya diastolic awal dari dinding bebas ventrikel kanan
3) kompresi end diastolic / kolapsnya atrium kanan
4) Plethora vena cava inferior dengan inspirasi minimal atau tidak kolaps
5) Lebih dari 40% peningkatan inspirasi relatif dari sisi kanan aliran
6) Lebih dari 25% penurunan relatif pada aliran inspirasi di katup mitral
e. Pulse Oksimetri
Variabilitas pernapasan di pulse-oksimetri gelombang dicatat pada pasien dengan
paradoksus pulsus. Dalam kelompok kecil pasien dengan tamponade, Stone dkk
mencatat peningkatan variabilitas pernapasan di pulsa-oksimetri gelombang pada
semua pasien. Ini harus meningkatkan kecurigaan untuk kompromi hemodinamik.
Pada pasien dengan atrial fibrilasi, pulsa oksimetri-dapat membantu untuk
mendeteksi keberadaan paradoksus pulsus.
f. USG FAST
Untuk mendeteksi cairan di rongga perikardium.
Gambar 2.4 Sudut pandang Sub-xiphoid: temponade jantung

g. Penatalaksanaan
Pada keadaan ini dapat dilakukan perikardiosintesis. Sebuah jarum berongga
ukuran 16 sepanjang 6 inci ditusukkan di bawah prosesus xifoideus dan diarahkan
ke apeks jantung. Jarum tersebut kemudian dihubungkan dengan alat EKG 12
sadapan melalui klem aligator untuk membantu menentukan apakah jarumnya
mengenai jantung. Defleksi yang tajam akan terlihat pada pola EKG.
Perikardiosintesis dapat disertai dengan denyut jantung false-positive yang
signifikan karena klinisi bisa saja mengaspirasi darah yang berasal dari ventrikel
kanan sendiri. Petunjuk yang akan mengarahkan pengambilan keputusan adalah
bahwa darah yang bersal dari kantong perikardium biasanya tidak akan membeku.
Yang paling baik, perikardiosistesis adalah prosedur yang bersifat sementara
untuk memperbaiki fungsi jantung sambil menunggu pembedahan. Di beberapa
rumah sakit, lubang atau jendela pada selaput perikardium dibuat secara darurat di
UGD oleh dokter bedah atau dokter spesialis kardiotoraks. (Oman, 2008)

Gambar 2.5 Perikardiosintesis


Penatalaksanaan pra rumah sakit bagi temponade cardio pada tingkat EMP-A
memerlukan transportasi cepat ke rumah sakit. Ini merupakan satu dari beberapa
kedaruratan yang harus ditransport dengan sirine dan lampu merah.Perhatian ketat
harus dicurahkan untuk menghindari pemberian cairan berlebihan ke pasien.
Sering sukar membedakan antara temponade pericardium dan “tension
pneumotoraks” tanpa bantuan radiograph. EMT harus cermat mengamati
penderita dan mengingatkan dokter di rumah sakit terhadap kemungkinan
tamponade pericardium.
Pada tingkat paramedic EMT, setelah diagnositik dan konsultasi ke dokter rumah
sakit, tamponade pericardium dapat diaspirasi. Aspirasi dapat dilakukan dengan
menggunakan jarum interkardiak untuk suntikan ephineprin, dengan hanya
menarik penuh semprit yang kosong. Pendekatannya dari subxifoid, menuju
scapula kiri tepat seperti suntikan intrakardia. Perbedaannya dalam memasukkan
jarum selanjutnya. Pemasukan jarum harus dihentika tepat setelah memasuki
kantong pericardium, sebelum masuk ke ventrikel (lihat gambar). Identifikasi
lokasi ujung jarum dengan tepat dapat dibantu dengan menempatkan sadapan V
elektrograf ke batang baja. Jarum ini dengan klem “alligator”. Sewaktu jarum
dimasukkan, segera dapat diketahui arus luka sewaktu ujung jarum menyentuh
miokardium. Dengan menarik mundur sedikit ke kantong pericardium, EMT
kemudian dapat mengaspirasi darah tanpa mencederai myocardium.
Seratus lima puluh sampai 250 ml darah di kantong pericardium sudah cukup
untuk menimbulkan tamponade berat. Pengambilan beberapa milliliter bisa
mengurangi tekanan yang memungkinkan peningkatan curah jantung pasien,
peningkatan tekanan darah distal dan penurunan tekanan di sisi kanannya. Prasat
ini (mengeluarkan 50-75 ml darah) merupakan tindakan yang menyelamatkan
nyawa pada tamponade berat. Harus diingat bahwa terapi ini bukan definitif
melaikan hanya suatu tindakan sementara sampai penderita bisa dibawa ke kamar
operasi, tempat dapat dilakukan perikardiotomi formal sebelum penatalaksanaan
difinitive masalah jantung dengan anastesi lokal. Perlukaan pada pembuluh darah
jantung dan struktur vaskuler intertoraks ditangani dalam masa pra rumah sakit
seperti syok hemoragik lainnya dengan pakaian anti syok dan infus IV. (Boswick,
1997 : 80). Pemberian oksigen sesuai indikasi juga diperlukan untuk pasien
tamponade, agar mencegah terjadinya hipoksia jaringan akibat oksigen yang tidak
adekuat karena penurunan curah jantung.
h. Komplikasi
a. Gagal jantung
b. Syok kardiogenik
c. Henti jantung
d. Penimbunan cairan di paru-paru(edema paru-paru)
e. Kematian
F. Konsep Dasar Asuhan keperawatan Tamponade Jantung
6. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Data Subyektif
(a) Riwayat Penyakit Sekarang
 Cedera tumpul atau cedera tembus pada dada, leher punggung
atau perut.
 Perbaikan pada lesi jantung.
 Dispnea
 Cemas
 Nyeri dada
 Lemah
(b) Riwayat Kesehatan
 Penyakit jantung
 Penyakit infeksi dan neoplastik.
 Penyakit ginjal
2) Data Obyektif
(a) Airway
Tidak ditemukan adanya tanda dan gejala.
(b) Breathing
 Takipnea
 Tanda kusmaul: peningkatan tekanan vena saat inspirasi ketika
bernafas spontan
(c) Circulation
 Takikardi
 Peningkatan volume vena intravaskular.
 Pulsus paradoksus >10mmHg, tekanan nadi <100mmHg
 Pericardial friction rub
 Pekak jantung melebar
 Trias classic beck berupa: distensis vena leher, bunyi jantung
melemah / redup dan hipotensi didapat pada sepertiga
penderita dengan tamponade.
 Tekanan nadi terbatas
 Kulit lembab, bibir, jari tangan dan kaki sianosis
(d) Disability
Penurunan tingakat kesadaran
b. Pengkajian Sekunder
1) Exposure
Adanya jejas trauma tajam dan tumpul di daerah dada.
2) Five Intervensi
(a) Foto thorax menunjukkan pembesaran jantung
(b) EKG menunjukkan electrical alternas atau amplitude gelombang P
dan QRS yang berkurang pada setiap gelombang berikutnya
(c) Echocardiografi adanya efusi pleura
Hasil pemeriksaan Echocardiografi pada tamponade jantung
menunjukkan :
 Kolaps diastole pada atrium kanan
 Kolaps diastole pada ventrikel kanan
 Kolaps pada atrium kiri
 Peningkatan pemasukan abnormal pada aliran katup
trikuspidalis dan terjadi penurunan pemasukan dari aliran
katup mitral > 15 %
 Peningkatan pemasukan abnormal pada ventrikel kanan
dengan penurunan pemasukan dari ventrikel kiri
 Penurunan pemasukan dari katup mitral.
(d) Pseudo hipertropi dari ventrikel kiri
(e) Pemeriksaan Doppler: Analisis Doppler terhadap tanda morfologi
jantung dapat membantu dalam menegakkan keakuratan diagnosa
klinis dan mendukung pemeriksaan laboraturium dari pola
hemodinamik pada tamponade.
3) Give Comfort
Tidak terdapat tanda dan gejala
4) Head to Toe
(a) Kepala dan wajah: pucat, bibir sianosis
(b) Leher: peninggian vena jugularis
(c) Dada: ada jejas trauma tajam dan tumpul di daerah dada, tanda
kusmaul, takipnea, bunyi jantung melemah / redup dan pekak
jantung melebar
(d) Abdomen dan pinggang: tidak ada tanda dan gejala
(e) Pelvis dan perineum: tidak ada tanda dan gejala
(f) Ekstrimitas: pucat, kulit dingin, jari tangan dan kaki sianosis
5) Inspeksi Back / Posterior Surface
Tidak ada tanda dan gejala
7. Diagnosis Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif b.d hiperventilasi ditandai dengan takipnea, tanda
kusmaul
b. Penurunan curah jantung b.d perubahan sekuncup jantung ditandai dengan
distensi vena jugularis, perubahan EKG, TD menurun, kulit dingin, pucat,
jari tangan dan kaki sianosis
c. Perfusi jaringan (cerebral, perifer, cardiopulmonal, renal, gastrointestinal)
tidak efektif b.d suplai O2 menurun ditandai dengan nadi lemah, TTV
abnormal, penurunan kesadaran, kulit pucat, sianosis, akral dingin.
8. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Dan Intervensi Rasional


Keperawatan Kriteria Hasil
1. Pola nafas tidak efektif Setelah diberikan 1. Pantau ketat tanda-tanda vital 1. Perubahan pola nafas dapat
b.d hiperventilasi asuhan keperawatan terutama frekuensi pernafasan mempengaruhi tanda-tanda vital
ditandai dengan selama 1 x 15 menit
takipnea, tanda diharapkan pola 2. Monitor isi pernafasan, 2. Pengembangan dada dan
kusmaul. nafas efektif dengan pengembangan dada, penggunaan otot bantu
kriteria hasil : keteraturan pernafasan, nafas pernapasan mengindikasikan
- Takipnea tidak bibir dan penggunaan otot gangguan pola nafas
ada bantu pernafasan
- Tanda kusmaul 3. Mempermudah ekspansi paru

tidak ada 3. Berikan posisi semifowler jika

- TTV dalam tidak kontrainndikasi 4. Dengan latihan nafas dalam

rentang batas dapat meningkatkan pemasukan

normal (RR : 4. Ajarkan klien nafas dalam oksigen

16 – 20 X/
5. Berikan oksigen sesuai 5. Oksigen yang adekuat dapat
mnt).
indikasi menghindari resiko kerusakan
jaringan
6. Berikan obat sesuai indikasi
6. Medikasi yang tepat dapat
mempengaruhi ventilasi
pernapasan

2. Penurunan curah Setelah diberikan 1. Monitor TTV berkelanjutan 1. TTV merupakan indicator
jantung b.d perubahan asuhan keperawatan keadaan umum tubuh (jantung)
sekuncup jantung selama 3 x 10 menit 2. Auskultasi suara jantung, kaji
ditandai dengan diharapkan curah frekuensi dan irama jantung 2. Perubahan suara, frekuensi dan
distensi vena jugularis, jantung ke seluruh irama jantung dapat
perubahan EKG, TD tubuh adekuat 3. Palpasi nadi perifer dan periksa mengindikasikan adanya
menurun, kulit dingin, dengan kriteria pengisian perifer penurunan curah jantung
pucat, jari tangan dan hasil :
kaki sianosis. - TTV dalam 4. Kaji akral dan adanya sianosis 3. Curah jantung yang kurang

batas normal atau pucat mempengaruhi kuat dan

(Nadi : 60-100 lemahnya nadi perifer


5. Kaji adanya distensi vena
x/mnt, TD : 110-
jugularis 4. Penurunan curah jantung
140 mmHg).
- Nadi perifer menyebabkan aliran ke perifer
6. Berikan oksigen sesuai indikasi menurun
teraba kuat
- Suara jantung
normal. 7. Berikan cairan intravena sesuai 5. Tamponade jantung menghambat
- Sianosis dan indikasi atau untuk akses aliran balik vena sehingga terjadi
pucat tidak ada. emergency. distensi pada vena jugularis
- Kulit teraba
hangat 8. Periksa EKG, foto thorax, 6. Oksigen yang adekuat mencegah
- EKG normal echocardiografi dan doppler hipoksia
- Distensi vena sesuai indikasi.
jugularis tidak 7. Mencegah terjadinya kekurangan

ada. 9. Lakukan tindakan cairan


perikardiosintesis.
8. Pada tamponade jantung, terjadi
abnormalitas irama jantung dan
terdapat siluet pembesaran
jantung

9. Dengan perikardiosintesis cairan


dalam ruang pericardium dapat
keluar
3. Perfusi jaringan Setelah diberikan 1. Awasi tanda-tanda vital 1. Perubahan tanda-tanda vital
(cerebral, perifer, asuhan keperawatan secara intensif seperti takikardi akibat dari
cardiopulmonal, renal, selama 3 x 15 menit kompensasi jantung untuk
gastrointestinal) tidak diharapkan perfusi 2. Pantau adanya memenuhi suplai O2
efektif b.d suplai O2 jaringan adekuat ketidakadekuatan perfusi
menurun ditandai dengan kriteria (kulit : dingin dan pucat,
dengan nadi lemah, hasil : sianosis) 2. Menunjukkan adanya
TTV abnormal, - Nadi teraba kuat ketidakadekuatan perfusi
penurunan kesadaran, - TTV dalam 3. Pantau GCS jaringan
kulit pucat, sianosis, batas normal
akral dingin. (Nadi : 60-100 4. Anjurkan untuk bed rest/ 3. Penurunan perfusi terutama di

x/mnt, TD : 110- istirahat total otak dapat mengakibatkan

140 mmHg) penurunan tingkat kesadaran

- Tingkat
kesadaran 4. Menurunkan kebutuhan oksigen

composmentis
- Sianosis atau
pucat tidak ada
- Nadi teraba
lemah, terdapat
sianosis, 
- Akral teraba
hangat 
9. Implementasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi menuju status kesehatan yang baik/optimal. Pelaksanaan tindakan
merupakan realisasi dari rencana/intevensi keperawatan yang mencakup
perawatan langsung atau tidak langsung.
10. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan untuk
mengetahui sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai. Evaluasi ini
dilakukan dengan cara membandingkan hasil akhir yang teramati dengan tujuan
dan kriteria hasil yang dibuat dalam rencana keperawatan. Evaluasi ini akan
mengarahkan asuhan keperawatan, apakah asuhan keperawatan yang dilakukan ke
pasien berhasil mengatasi masalah pasien ataukan asuhan yang sudah dibuat akan
terus berkesinambungan terus mengikuti siklus proses keperawatan sampai benar-
benar masalah pasien teratasi
G. EKG yang mengancam jiwa
1. Pengkajian
a. Gambaran EKG, gambaran klinis dan laboratorium
1) Ventrikel Takikardi (VT)
Ini merupakan gambaran EKG akan adanya kelainan irama jantung yang bisa
mengancam jiwa penderitanya. Ventrikel takikardi ini terbagi menjadi 2
bagian yaitu: Ventrikel Takkikardi Monomorfik dan Ventrikel Takikardi
Polimorfik.
Adapun ciri-ciri gambaran Ventrikel Takikardi Monomorfik ini adalah:
komplek QRS memiliki bentuk dan amplitudo yang sama.
Dengan gambaran VT Monomorfik sebagai berikut:
a) Laju: 100-250 x/menit
b) Irama: Teratur (reguler)
c) Gelombang P: Tidak ada
d) Durasi QRS: memanjang (>0,12) dengan bentuk yang aneh
Sedangkan gambaran Ventrikel Takikardi Polimorfik adalah: bentuk
kompleks QRS memiliki bentuk dan amplitudo yang bervariasi, interval QT
normal atau memanjang.

a) Laju: 100-250x/menit
b) Irama: reguler atau irreguler
c) Gelombang P: tidak ada
d) Interval PR: tidak ada
e) Durasi QRS: memanjang (>0,12 detik) dengan bentuk yang aneh

2) Ventrikel Fibrasi (VF)


Ini merupakan salah satu gambaran EKG yang merupakan tanda irama henti
jantung yang dapat mengancam jiwa penderita. Dimana aktivitas listriknya
kacau yang terjadi tanpa adanya depolarisasi ventrikel atau kontraksi.
a) Laju: tidak dapat ditentukan
b) Irama: kacau
c) Gelombang P: tidak ada
d) Interval PR: tidak ada
e) Durasi QRS: tidak ada

3) Puseless Electrical Activity (PEA)


Gambaran ini juga kadang disebut electromechanical dissocation (EMD),
dimana biasanya pada monitor tampak aktivitas listrik namun tidak dapat
teraba kata lain ada aktivitas listrik jantung namun tidak terdeteksi dengan
pemeriksaan palpasi pada jantung. Umumnya tidak seteratur irama sinus
normal.

4) Asistole
Adalah irama jantung yang mengancam nyawa yang ditandai dengan tidak
adanya aktifitas elektrik pada gambaran EKG.

2. Penatalaksanaan keperawatan, medis dan obat-obatan


Prosedur
1) Periksa takikardi atau fibrilasi ventrikel
2) Rada nadi
3) Hubungkan defibrilator dengan su
4) Nyalakan, kontrol synchronizer off
5) Paddle diolesi dengan pasta/jelly
6) Set energi 360 joule
7) Tekan tombol pengisian
8) Letakan paddle diatas dada
9) Instruksikan kepada semua penolong untuk berdiri bebas
10) Tekan tombol pengeluaran pada paddle secara simultan
11) Periksa nadi dan irama jantung
12) Jika defibirilasi tidak berhasil, lakukan RJP 5 siklus
13) Lakukan defibrilasi ke-2 dan adrenalin
14) Periksa kembali nadi dan irama jantung
15) Jika defibrilasi ke-2 gagal, ulangi langkah 12 dan pertimbangkan
amiodarone/lidokain
16) Jika belum berhasil, ulangi langkah 5-15
Energi
1) 360 joule 1 kali
Jika tidak ada respon: RJP dan lanjutkan tindakan ABCD sekunder
ABCD sekunder: Pasang ETT, IV line, Pasang Monitor EKG, Drugs
Menindaklanjuti :
 Nilai status respirasi
 Monitor jantung
 Monitor TTV
 Akses intravena
 EKG 12 lead
Drugs
1) Adrenalin
Indikasi: Henti jantung
Dosis: 1 mg (IV flush NaCL 0,9% 20 cc, tangan di elevasi 10-20 detik)
diulangi setiap 3-5 menit
2) Sulfate Atropine (SA)
Indikasi:
a. Bradikardi tidak stabil
Dosis: 0,5 mg IV, diulangi 3-5 menit, tidak melebihi dosis total 0,04 mg/dl
(total 3 mg)
b. Henti jantung

Dosis: 1 mg

3) Amiodaron
Indikasi:
a. Anti-aritmia yang mengancam jiwa
b. VF atau VT tanpa nadi yang tidak berespon dengan Shock, RJP dan
Vasopressor
c. VT berulang, hemodinamik tidak stabil

Dosis:
a. Henti jantung VF/VT: 300 mg IV dalam 20 cc D5W selama 3-5 menit
b. Aritmia: 150 mg IV diencerkan dalam 10 cc NaCl 0,9% diberikan selama
10 menit
4) Lidokain
Indikasi : alternatif dari amiodarone untuk henti jantung VT/VF
Dosis: 1-1,5 mg/kgBB IV

HENTI JANTUNG (Cardiac Arrest)


- VF dan VT tanpa nadi (DRUG-SYOK-CPR)
- Asistol dan PEA (DRUGS-CPR)
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan suatu keadaan gawat darurat yang
ditandai dengan tanda gejala nyeri, tachikardia dan tachipneu. Faktor resiko yang dapat di
dirubah yang bisa menyebabkan terserang penyakit ini adalah merokok, hipertensi,
dyslipidemia, diabetes mellitus dan stress sedangkan faktor resiko yang tidak dapat
dirubah ialah umur, jenis kelamin dan faktor genetic. Tes diagnostic untuk menegakkan
diagnosa penyakit ini yaitu dengan pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), CT scan
jantung.
Temponade jantung ialah suatu sindroma klinis akibat adanya penumpukan cairan
berlebihan pada rongga pericardium yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan
pengisian ventrikel disertai dengan adanya gangguan hemodinamik. Penyakit ini dapat
disebabkan karena adanya pericarditis, neoplasma, miokard infark akut, kanker paru
stadium akhir dan perdarahan kedalam rongga pericardium akibat adanya trauma.
Manifestasi pada temponade jantung akut biasanya dijumpai gejla peningkatan tekanan
vena jugularis dan peningkatan tekanan nadi. Sedangkan pada temponade jantung kronis
dapat ditemui adanya peningkatan tekanan vena jugularis, takikardi. Pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosa penyakit ini adalah dengan rongtgen dada, tes
labolatorium, elektokardiografi (EKG), Ecokardiografi dan pulse oksimetri serta USG
FAST.
B. Saran
Penulis berharap makalah ini semoga mahasiswa dapat memahami bagaimana
asuhan Keperawatan kegawat daruratan pada pasien yang mengalami acute coronary
syndrome dan temponade jantung dan paham patofisiologi yang terjadi pada penyakit
tersebutt. Sehingga dapat berpikir kritis dalam melakukan tindakan Keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes RI. 2018.Riset Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI 2018

Nanda International.2017. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi Edisi


10. Jakarta: EGC

Moorhead, dkk. 2017. Nursing Outcome Classification. Jakarta : Elsevier

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. (2013). Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Mardjono. 2003. Neurologis Klinis Dasar. Dian rakyat: Jakarta

Manjoer .2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media aesculapius: Jakartas

Kementrian Kesehatan RI.2013 . Riset Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI

Bulechek, dkk .2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai