Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini
merupakan salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju
dan berkembang, termasuk Indonesia. Diperkirakan bahwa diseluruh dunia,
PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar
36% dari seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka
kematian akibat kanker.(Departemen Kesehatan RI, 2006)
Di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini penyakit kardiovaskuler
khususnya PJK, bersama kanker dan penyakit ginjal merupakan penyakit
paling banyak menyedot anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan
(BPJS). World Health Organization (WHO) melaporkan 17,5 juta orang
meninggal akibat penyakit kardiovaskuler pada tahun 2012, atau diperkirakan
3 dari 10 kematian terjadi akibat penyakit jantung. Penyakit Jantung Koroner
(PJK) berkontribusi sebagai penyebab kematian pada lebih dari separuh
jumlah pasien dengan penyakit kardiovaskuler (53%).(Ginanjar, 2012)
Penyakit jantung koroner bermanifestasi secara luas, mulai dari
asimtomatik hingga sindrom koroner akut (SKA) yang meliputi ST-Elevation
Myocardial Infarction (STEMI), Non- ST-Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI) dan angina tidak stabil (unstable angina pectoris/UAP).(Ginanjar,
2012)
Sindrom koroner akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan
ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya
oksigen ke otot jantung (miokardium). Sindrom koroner akut ini merupakan
sekumpulan manifestasi atau gejala akibat gangguan pada arteri koronaria.
Sindrom Koroner Akut (SKA) memiliki angka morbiditas dan mortalitas
yang sangat tinggi. (Satoto, 2019; Torry, Panda, & Ongkowijaya, 2013)
Sindrom koroner akut atau infark miokard akut merupakan salah satu
diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari)
pada SKA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum
pasien mencapai rumah sakit. Angka kematian di rumah sakit akibat STEMI
di Eropa mencapai 6 - 14%. Sementara itu, di Indonesia berdasarkan hasil
survei nasional pada tahun 2013 menunjukkan bahwa terdapat 883.447 orang
yang menderita sindrom koroner akut, dengan estimasi jumlah penderita
terbanyak terdapat pada Provinsi Jawa Barat (160.182 orang) dan Jawa Timur
(144.279 orang) (Kemenkes RI, 2014). Kabupaten Malang yang merupakan
bagian dari Provinsi Jawa timur memiliki angka kejadian SKA hingga bulan
Juli 2017 yaitu sebesar 1.311 kejadian. (Ginanjar, 2012; Refialdinata, 2019)
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang Sindrom Koroner Akut
2. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Sindrom Koroner Akut
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Anatomi

B. Landasan Teori Sindrom Koroner Akut


1. Defenisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi
yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan
proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable
angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa
elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI),
dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi
segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI). (Departemen
Kesehatan RI, 2006)
Sindrom koroner akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang
melibatkan ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh
kurangnya oksigen ke otot jantung (miokardium). Sindrom koroner akut
ini merupakan sekumpulan manifestasi atau gejala akibat gangguan pada
arteri koronaria. Sindrom Koroner Akut (SKA) memiliki angka
morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi. (Satoto, 2019; Torry et al.,
2013)
2. Patogenesis Sindrom Koroner Akut
3.
BAB III
LANDASAN TEORI TENTANG ASKEP ASC
A. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat
dan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu; gejala klinis nyeri dada spesifik,
gambaran EKG (elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim
jantung. (Departemen Kesehatan RI, 2006)
1. Pemeriksaan Fisik
Anamnesis pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu
dilakukan anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari
jantung atau luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari
jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan.
Tanyakan pula adakah riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor
risikonya antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok,
stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.(Satoto, 2019)
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri
dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian
besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri
dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya karena
gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien SKA.
(Departemen Kesehatan RI, 2006)
Hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,
seperti aktivitas fisik berat, stress, emosi atau penyakit medis atau bedah.
Walaupun SKA dengan STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam,
variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah
bangun tidur. (Satoto, 2019)
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
 Lokasi: substernal, retrosternal dan prekordial.
 Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir.
 Penjalaran:biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/ interscapula, perut dan dapat pula ke lengan kanan.
 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.
 Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin dan sesudah
makan.
 Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin,
lemas dan cemas.(Departemen Kesehatan RI, 2006; Satoto, 2019)
Diagnosis banding nyeri dada SKA dengan STEMI antara lain perkarditis
akut, emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis, dan gangguan
gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. Infark
miokard akut dengan elevasi segmen ST tanpa nyeri lebih sering
dijumpai pada diabetes melitus dan usia lanjut.(Satoto, 2019)
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
estremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor
pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari APTS/NSTEMI.
Hipertensi tak terkontrol, anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat,
kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti penyakit paru.
(Departemen Kesehatan RI, 2006)
Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksial bunyi
jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik
apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan
pericardial friction rub. Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki
dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di
karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien
memiliki kemungkinan juga penderita penyakit jantung koroner (PJK).
(Departemen Kesehatan RI, 2006; Satoto, 2019)
2. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan
kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih
lanjut, dengan berbagai ciri dan katagori:
 Angina pektoris tidak stabil: depresi segmen ST dengan atau tanpa
inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu
nyeri, tidak dijumpai gelombang Q.
 Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T
dalam
3. Petanda Biokimia Jantung
Pemeriksaan laborat harus dilakukan namun tidak boleh menghambat
reperfusi. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)
MB dan cardiac spesifik troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara
serial.(Satoto, 2019)
Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT)
mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin
C, TnI dan TnT berkaitan dengan konstraksi dari sel miokrad. Susunan
asam amino dari Troponin C sama dengan sel otot jantung dan rangka,
sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau
TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard dan kebutuhan
revaskularisasi dalam 30 hari, adalah sama.(Departemen Kesehatan RI,
2006)
Kadar serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan indikator
penting dari nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari kedua petanda
tersebut adalah relative rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal
(<6 jam) setelah onset serangan. Risiko yang lebih buruk pada pasien
tnpa segment ST elevasi lebih besar pada pasien dengan peningkatan
nilai CKMB. Peningkatan kadar enzim 2 kali lipat nilai normal
menunjukkan adanya nekrosis jantung.(Departemen Kesehatan RI, 2006;
Satoto, 2019)
B. Penyimpangan KOM

BAB IV
PENATALAKSANAAN
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. (2006). Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit
jantung Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta: an Klinik Dirjen
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Ginanjar, E. (2012). Fungsi Ginjal dan Kematian Akibat Sindrom Koroner Akut.
Jakarta.
Refialdinata, J. (2019). Pengetahuan Mengenai Faktor Risiko dan Perilaku Pasien
Sindrom Koroner Akut. Jurnal Kesehatan Lentera ’Aisyiyah, 2(1), 54–63.
Satoto, H. H. (2019). Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner. Jurnal
Anestesiologi Indonesia, 6(3), 209–224.
Torry, S. R. V, Panda, A. L., & Ongkowijaya, J. (2013). Gambaran Faktor Risiko
Penderita Sindrom Koroner Akut.

Anda mungkin juga menyukai