Anda di halaman 1dari 36

INFEKSI HIV/AIDS PADA KEHAMILAN

DISUSUN OLEH :

MONALIZA HERIANTI KENDE

20180811024019

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul ”Infeksi HIV/AIDS Pada Kehamilan”. Makalah ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Maternitas II.

Saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, saya memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga saya sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Jayapura, 10 Februari 2020

Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar........................................................................................................................2

Daftar Isi...................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 5


I. LATAR BELAKANG ................................................................................................... 5
II. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 6
III. Tujuan ............................................................................................................................ 7
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 8
A. Definisi ........................................................................................................................... 8
B. Etiologi ......................................................................................................................... 10
C. Patofisiologi ................................................................................................................. 10
D. Epidemiologi ................................................................................................................ 12
E. Manifestasi Klinis........................................................................................................ 13
F. Cara Penularan ........................................................................................................... 16
G. Periode Prenatal .......................................................................................................... 17
H. Periode Intrapartum ................................................................................................... 19
I. Periode Pascapartum .................................................................................................. 19
J. Pengaruh kehamilan pada perjalanan penyakit HIV/AIDS ................................... 20
K. Pengaruh infeksi HIV pada kehamilan .................................................................... 20
L. Diagnosis ...................................................................................................................... 20
Bayi dan Anak ......................................................................................................... 20
Wanita ...................................................................................................................... 22
M. Pemeriksaan Laboratorium ....................................................................................... 23
N. Penanganan ................................................................................................................. 23
Pemberian ARV....................................................................................................... 23
Pengobatan alternatif .............................................................................................. 24
O. Pencegahan .................................................................................................................. 25
P. Penatalaksanaan ......................................................................................................... 26
Q. Asuhan Keperawatan ................................................................................................. 27
i. Pengkajian................................................................................................................ 27
ii. Diagnosa Keperawatan ........................................................................................... 29
iii. Intervensi Keperawatan ...................................................................................... 29
iv. Implementasi ........................................................................................................ 33
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 35
A. Kesimpulan .................................................................................................................. 35
B. Saran ............................................................................................................................ 35
Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 36
BAB I

PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan golongan RNA spesifik yang


menyerang sistem imun manusia, penurunan sistem imun pada orang yang terinfeksi HIV
menyebabkan AIDS. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) ialah sekumpulan tanda
atau gejala klinis pada penderita HIV akibat infeksi oportunistik karena penurunan sistem
kekebalan tubuh (Kemenkes RI, 2014). HIV dapat menular melalui hubungan seksual yang
tidak aman, pemakaian jarum suntik secara bergantian, dan dari ibu hamil yang terinfeksi
HIV ke bayinya (Efendi & Makhfudli, 2009).

Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester pertama.
Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mua, muntah, nafsu makan
berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat kondisi
klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS.

Jumlah kasus HIV-AIDS pada kehamilan di Indonesia dan di dunia semakin meningkat.
Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya kasus pada penggunaan narkoba suntikan yang pada
umumnya digunakan pada usia subur (usia reproduksi). Penelitian yang dilakukan oleh
Yayasan Pelita Ilmu dan Bagian Kebidanan FKUI di daerah pemukiman kumuh di Jakarta
menunjukkan bahwa infeksi HIV-AIDS di kalangan ibu hamil yang mengikuti layanan
testing dan konseling sukarela melebihi 2%.

Kehamilan dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) perlu mendapat


perhatian yang serius. Penanganan yang tepat diperlukan untuk membantu ibu hamil dengan
HIV positif tetap sehat selama masa kahamilannya dan menurunkan risiko transmisi HIV ke
bayi yang dikandungnya. Untuk itu dikembangkan sebuah program yang dikenal dengan
Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT), yang dinilai efektif dalam menurunkan
transmisi HIV dari ibu ke bayi.

Orang-orang yang terinfeksi positif HIV yang mengetahui status mereka mungkin dapat
memberikan manfaat. Namun, seks tanpa perlindungan antara orang yang yang berisiko
membawa HIV sero-positif sebagai super infeksi, penularan infeksi seksual, dan kehamilan
yang tidak direncanakan dapat membuat penurunan kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini
jelas bahwa banyak pasangan yang harus didorong untuk melakukan tes HIV untuk
memastikan status mereka dengan asumsi bahwa mereka mungkin terinfeksi karena pernah
memiliki hubungan seksual dengan seseorang yang telah diuji dan ditemukan sero-positif
HIV.

Perjalanan penyakit bayi yang tertular HIV dari ibunya lebih progresif dibandingkan
dengan penderita dewasa karena paparan pertama terjadi pada saat respons imun masih dalam
tahap perkembangan. Kelainan respons imun yang timbul antara lain limfopenia CD4,
berbagai defek limfosit B dan T, hipergamaglobulinemia poliklonal. Selain itu infeksi HIV
juga akan mempengaruhi tumbuh kembang anak selanjutnya. Anak yang menderita HIV
dilaporkan lebih sering mengalami penyakit infeksi bakteri ataupun virus. Anak yang tertular
HIV dari ibunya juga mengalami keterlambatan pubertas dibandingkan anak seusianya. Oleh
karena itu infeksi HIV pada kehamilan menjadi sangat penting dengan dasar pertimbangan
efek terhadap kehamilan, lebih dari 90% kasus HIV anak ditularkan dari ibunya, anak yang
akan dilahirkan akan menjadi yatim piatu dan sebagian besar wanita yang terinfeksi HIV-
AIDS berada pada usia subur.

II. Rumusan Masalah


1) Apa definisi Kehamilan dan HIV/AIDS ?
2) Apa etiologi dari virus HIV/AIDS pada Kehamilan ?
3) Bagaimana patofisiologi dari virus HIV/AIDS pada Kehamilan ?
4) Bagaimana epidemiologi dari virus HIV/AIDS pada Kehamilan ?
5) Apa saja manifestasi klinis dari virus HIV/AIDS pada Kehamilan ?
6) Bagaimana cara penularan dari virus HIV/AIDS pada Kehamilan ?
7) Bagaimana periode pranatal virus HIV/AIDS pada Kehamilan ?
8) Bagaimana periode intrapartum virus HIV/AIDS pada Kehamilan ?
9) Bagaimana periode pascapartum virus HIV/AIDS pada Kehamilan ?
10) Apa saja pengaruh Kehamilan pada perjalanan HIV/AIDS ?
11) Apa saja pengaruh infeksi virus HIV pada Kehamilan ?
12) Apa diagnosis pada bayi dan anak dan pada infeksi virus HIV/AIDS pada
Kehamilan ?
13) Bagaimana cara pemeriksaan diagnostik virus HIV/AIDS pada Kehamilan ?
14) Bagaimana penanganan virus HIV/AIDS pada Kehamilan ?
15) Bagaimana pencegahan virus HIV/AIDS pada Kehamilan ?
16) Apa saja penatalaksanaan dari virus HIV/AIDS pada Kehamilan ?
17) Bagaimana Asuhan Keperawatan dari Infeksi Virus HIV/AIDS pada
Kehamilan ?
III. Tujuan
1) Mengetahui apa definisi Kehamilan dan HIV/AIDS.
2) Mengetahui apa etiologi dari virus HIV/AIDS pada Kehamilan.
3) Mengetahui dan memahami bagaimana patofisiologi dari virus HIV/AIDS
pada Kehamilan.
4) Mengetahui dan memahami bagaimana epidemiologi dari virus HIV/AIDS
pada Kehamilan.
5) Mengetahui apa saja manifestasi klinis dari virus HIV/AIDS pada Kehamilan.
6) Mengetahui dan memahami bagaimana cara penularan dari virus HIV/AIDS
pada Kehamilan.
7) Mengetahui dan memahami bagaimana periode pranatal virus HIV/AIDS pada
Kehamilan.
8) Mengetahui dan memahami bagaimana periode intrapartum virus HIV/AIDS
pada Kehamilan.
9) Mengetahui dan memahami bagaimana periode pascapartum virus HIV/AIDS
pada Kehamilan.
10) Mengetahui apa saja pengaruh Kehamilan pada perjalanan HIV/AIDS.
11) Mengetahui apa saja pengaruh infeksi virus HIV pada Kehamilan.
12) Mengetahui apa diagnosis pada bayi dan anak dan pada infeksi virus
HIV/AIDS pada Kehamilan.
13) Mengetahui dan memahami bagaimana cara pemeriksaan diagnostik virus
HIV/AIDS pada Kehamilan.
14) Mengetahui dan memahami bagaimana penanganan virus HIV/AIDS pada
Kehamilan.
15) Mengetahui dan memahami bagaimana pencegahan virus HIV/AIDS pada
Kehamilan.
16) Mengetahui apa saja penatalaksanaan dari virus HIV/AIDS pada Kehamilan.
17) Mengetahui dan memahami bagaimana Asuhan Keperawatan dari Infeksi
Virus HIV/AIDS pada Kehamilan.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Definisi

Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau fetus didalam tubuh, setelah
penyatuan sel telur dan spermatozoon. Kehamilan ditandai dengan berhentinya haid; mual
yang timbul pada pagi hari (morning sickness); pembesaran payudara dan pigmentasi
puting; pembesaran abdomen yang progresif. Tanda-tanda absolut kehamilan adalah
gerakan janin, bunyi jantung janin, dan terlihatnya janin melalui pemerikasaan sinar-X,
atau USG. Kehamilan atau persalinan merupakan proses alamiah (normal) dan bukan
proses patologis, tetapi kondisi normal dapat menjadi patologi/ abnormal. Menyadari hal
tersebut dalam melakukan asuhan tidak perlu melakukan intervensi-intervensi yang tidak
perlu kecuali ada indikasi.

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel


sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi
berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan
terhadap infeksi. Tahap yang lebih lanjut dari infeksi HIV adalah acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). Hal ini dapat memakan waktu 10-15 tahun untuk
orang yang terinfeksi HIV hingga berkembang menjadi AIDS; obat anti retroviral dapat
memperlambat proses lebih jauh. HIV ditularkan melalui hubungan seksual (anal atau
vaginal), transfusi darah yang terkontaminasi, berbagi jarum yang terkontaminasi, dan
antara ibu dan bayinya selama kehamilan, melahirkan dan menyusui.

Menurut Andy (2011), Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired


Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom)
yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.
Virus penyebab adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang
secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan
manusia dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Orang yang
terinfeksi virus ini menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena
tumor/kanker. Meskipun penanganan yang ada dapat memperlambat laju perkembangan
virus, namun penyakit ini belum bisa disembuhkan.
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS
pada wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah
terinfeksi HIV. Pada negara berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual
suaminya di luar rumah. Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang
masih rendah, dan isteri sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah
seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan.

Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus (HIV)


dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil lebih sering
dapat menularkan HIV kepada mereka yang tidak terinfeksi dari pada wanita yang tidak
hamil International Microbicides Conference 2010, abstract.

Pada pemeriksaan antenalal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil memiliki otonomi
untuk menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV, setelah diberikan penjelasan
yang memuaskan mereka dan dokter harus menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu
hamil yang diperiksa dan ternyata HIV sero-positif, perlu diberi kesempatan untuk
konseling mengenai pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko penularan dari ibu ke anak,
tentang pemeriksaan dan terapi selama hamil, rencana persalinan, masa nifas dan masa
menyusui.

Dengan kemajuan pengobatan masa kini, penderita HIV dapat hidup lebih panjang
dan risiko penularan dari ibu ke anak berkurang. Dokter dengan HIV positif tidak perlu
memberitahukan pasiennya tentang dirinya, tetapi harus berhati-hati melakukan tindakan-
tindakan medik yang mengandung risiko, seperti pembedahan obstetrik dan ginekologi,
serta berhati-hati dengan alat-alat yang digunakan. Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh
transmisi heteroseksual. Kehamilan pada ibu dengan AIDS menimbulkan dilema, yaitu
perkembangan penyakit, pilihan penatalaksanaan, dan kemungkinan transmisi vertikal
pada saat persalinan. Transmisi infeksi lewat plasenta ke janin lebih dari 80%. Antibodi
ibu melewati plasenta, dan dapat diteliti melalui uji bayi mereka. Uji antiboti bayi dapat
menentukan status HIV ibu. Uji terbaru untuk bayi adalah reaksi rantai polimer
(polymerase chain reaction, PCR) yang mengidentifikasi virus HIV neonatus. Diperlukan
pemeriksaan virus HIV yang terintegrasi pada pemeriksaan rutin ibu hamil untuk
melindunginya.
B. Etiologi
1) Hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan.
2) Perempuan yang menggunakan obat bius injeksi dan bergantian memakai alat suntik.
3) Individu yang terpajan ke cairan vagina sewaktu berhubungan kelamin dengan orang
yang terinfeksi HIV.
4) Orang yang melakukuan transfusi darah dengan orang yang terinfeksi HIV. Berarti
setiap orang yang terpajan darah yang tercemar melalui transfusi atau jarum suntik
yang terkontaminasi.
C. Patofisiologi
HIV merupakan retrovirus yang ditransmisikan dalam darah, sperma, cairan
vagina, dan ASI. Cara penularan telah dikenal sejak 1980-an dan tidak berubah yaitu
secara; seksual hubungan seksual, kontak dengan darah atau produk darah, eksposur
perinatal, dan menyusui. HIV muncul sebagai epidemic global pada akhir tahun 1970.
Pada tahun 2007 diperkirakan 33 juta orang diseluruh dunia hidup dengan HIV, 2 juta
orang meninggal dari komplikasi AIDS, dan 15 juta anak-anak menjadi yatim piatu
akibat kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka karena AIDS.
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,
tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman.
HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai
reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang
mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas
yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul gp 120 dari selubung
virus. Diantara sel tubuh yang memiliki CD4, sel limfosit T memiliki molekul CD4
yang paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus
pada limfosit T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari membran sel limfosit
T yang disebabkan oleh protein gp41 dari HIV, sehingga seluruh komponen virus
harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali selubungnya. Setelah masuk
ke dalam sel, akan dihasilkan enzim reverse transcriptase.
Dengan adanya enzim reverse transcriptase, RNA virus akan diubah menjadi
suatu DNA. Karena reverse transcriptase tidak mempunyai mekanisme proofreading
(mekanisme baca ulang DNA yang dibentuk) maka terjadi mutasi yang tinggi dalam
proses penerjemahan RNA menjadi DNA ini. Dikombinasi dengan tingkat reproduktif
virus yang tinggi, mutasi ini menyebabkan HIV cepat mengalami evolusi dan sering
terjadi resistensi yang berkelanjutan terhadap pengobatan. Bersamaan dengan enzim
reverse trancriptase, akan dibentuk RNAse. Akibat aktivitas enzim ini, maka RNA
yang asli dihancurkan. Sedangkan seuntai DNA yang tadi telah terbentuk akan
mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polymerase.
DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel
limfosit T dan menyisip ke dalam DNA sel penjamu dangan bantuan enzim integrase,
dan DNA ini disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam
keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada
aktivitas dan diferensiasi sel penjamu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak
terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu DNA ini untuk keluar dari DNA inang dan
menjadi aktif, serta selanjutnya terjadi replikasi dalam kecepatan yang tinggi.
Keadaan laten ini dapat berlangsung selama 1 sampai 12 tahun dari infeksi
awal HIV dan dalam keadaan ini pasien tidak mempunyai gejala (asimptomatik). Pada
stadium laten ini, HIV dan respon imun anti HIV dalam tubuh pasien dalam keadaan
steady state. Infeksi akut dengan cepat meningkatkan viral load dan menyebabkan
viremia yang ringan sampai moderat. Walaupun viral load cenderung menurun
dengan cepat setelah infeksi akut pada orang dewasa, viral load menurun lebih lambat
pada anak-anak yang terinfeksi secara vertical (2-3 bulan setelah terinfeksi, jumlah
viral load dalam tubuh mereka menetap sekitar 750.000/mL) dan dapat tidak
mencapai level steady state sampai mereka berumur 4-5 tahun.
Hal ini disebabkan karena imaturitas sistem imun mereka. Walaupun bayi-bayi
mempunyai sejumlah antigen presenting cell dan sel-sel efektor lebih banyak daripada
orang dewasa, produksi sitokin, proliferasi dan sitotoksisitas sel-sel tersebut pada
mereka jauh lebih berkurang karena infeksi HIV ini.
Siklus Replikasi HIV16 Infeksi HIV pada limfosit T-CD4 diatas
mengakibatkan perubahan pada fungsi dan penghancuran sel T-CD4, hingga
populasinya berkurang. Mekanisme disfungsi dan penurunan jumlah sel limfosit T-
CD4 ini diduga melalui proses pengaruh sitopatik langsung HIV (single cell killing),
pembentukkan sinsitium, respon imun spesifik, limfosit T sitolitik yang spesifik untuk
HIV, mekanisme autoimun dan anergi. Dengan menurunnya jumlah dan fungsi sel T-
CD4 yang merupakan ‘orchestrator’ dari suatu sistem imun, maka individu yang
terinfeksi HIV akan lebih berisiko untuk terkena infeksi opportunistik, infeksi
sistemik berat, penyakit sistem organ yang kemudian berakhir dengan kematian.
D. Epidemiologi
Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu
memecahkan masalah penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu
alternatif dalam upaya menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus
meningkat adalah upaya pencegahan yang dilakukan semua pihak yang
mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi yang
memungkinkan dapat terserang HIV.
Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung 20 tahun. Sejak tahun 2000
epidemi tersebut sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi
berisiko tinggi (dengan prevalens > 5%), yaitu pengguna Napza suntik (penasun),
wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Situasi demikian menunjukkan bahwa pada
umumnya Indonesia berada pada tahap concentrated epidemic. Situasi penularan ini
disebabkan kombinasi transmisi HIV melalui penggunaan jarum suntik tidak steril
dan transmisi seksual di antara populasi berisiko tinggi. Di Tanah Papua (Provinsi
Papua dan Papua Barat), keadaan yang meningkat ini ternyata telah menular lebih
jauh, yaitu telah terjadi penyebaran HIV melalui hubungan seksual berisiko pada
masyarakat umum (dengan prevalensi > 1%). Situasi di Tanah Papua menunjukkan
tahapan telah mencapai generalized epidemic.
Epidemi HIV yang terkonsentrasi ini tergambar dari laporan Departemen
Kesehatan (Depkes) tahun 2006. Sejak tahun 2000 prevalens HIV mulai konstan di
atas 5% pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Dari beberapa tempat
sentinel, pada tahun 2006 prevalens HIV berkisar 21% – 52% pada penasun, 1%-22%
pada WPS, dan 3%-17% pada waria. Situasi epidemi HIV juga tercermin dari hasil
Estimasi Populasi Dewasa Rawan Tertular HIV pada tahun 2006. Diperkirakan ada 4
juta sampai dengan 8 juta orang paling berisiko terinfeksi HIV dengan jumlah terbesar
pada sub-populasi pelanggan penjaja seks (PPS), yang jumlahnya lebih dari 3,1 juta
orang dan pasangannya sebanyak 1,8 juta. Sekalipun jumlah sub-populasinya paling
besar namun kontribusi pelanggan belum sebanyak penasun dalam infeksi HIV.
Gambaran tersebut dapat dilihat dari hasil estimasi orang dengan HIV dan AIDS
(ODHA) di Indonesia tahun 2006, yang jumlahnya berkisar 169.000-217.000, dimana
46% diantaranya adalah penasun sedangkan PPS (Peria Penjajah Seks)14%.
Prevalensi HIV-AIDS menurun dikalangan wanita hamil pendapat ini
berdasarkan hasil survey di daerah perkotaan Kenya terutama di Busnia, Meru,
Nakura, Thika, dimana rata-rata prevalensi HIV menurun tajam dari kira-kira 28%
pada tahun 1999 menjadi 9% pada tahun 2003. Di wilayah India prevalensi secara
nasional dikalangan wanita hamil masih rendah di daerah miskin padat penduduk
yaitu Negara bagian utara Uttar Pradesh dan Bihar. Tetapi peningkatan angka
penularan relatif kecil dapat berarti sejumlah besar orang terinfeksi karena wilayah
tersebut dihuni oleh seperempat dari seluruh populasi India. Prevalensi HIV lebih dari
1% ditemukan dikalangan wanita hamil, di wilayah industri di bagian barat dan
selatan India.
Namun data terbaru dari Afrika Selatan memperlihatkan bahwa prevalensi
HIV dikalangan wanita hamil saat ini telah mencapai angka tertinggi, yaitu 29,5%
dari seluruh wanita yang mengunjungi klinik bersalin yang positif terinfeksi HIV
ditahun 2004. Prevalensi tertinggi adalah dikalangan wanita usia 25-34 tahun atau
lebih yaitu satu dari tiga wanita yang diperkirakan akan terinfeksi HIV. Tingkat
prevalensi yang tertinggi melebihi 30% dikalangan wanita hamil masih terjadi juga
pada empat Negara lain di wilayah Botswana, Lesotho, Nambia dan Swaziland.
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV sangat luas spektrumnya, karena itu ada
beberapa macam klasifikasi. Yang paling umum dipakai adalah klasifikasi yang
dibuat oleh Center for Disease Control (CDC), USA, sebagai berikut :
 Stadium awal infeksi HIV
 Stadium tanpa gejala Stadium ARC (AIDS related compleks)
 Stadium AIDS
 Stadium gangguan susunan saraf pusat
Masa Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu terjadinya infeksi sampai munculnya gejala
pertama pada pasien. Pada infeksi HIV hal ini sulit diketahui. Dari penelitian pada
sebagian besar kasus dikatakan masa inkubasi rata-rata 5-10 tahun, dan bervariasi
sangat lebar, yaitu antara 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun. rata-rata 21 bulan pada
anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa walaupun belum ada gejala, tetapi yang
bersangkutan telah dapat menjadi sumber penularan.
 Stadium awal infeksi
Gejala ini serupa dengan gejala infeksi virus umumnya yaitu berupa demam,
sakit kepala, sakit tenggorokan, mialgia, pembesaran kelenjar dan rasa lemah. Pada
sebagian orang, infeksi dapat berat disertai kesadaran menurun.10 Sindrom ini akan
menghilang dalam beberapa minggu. Dalam waktu 3-6 bulan kemudian tes serologi
baru akan positif, karena telah terbentuk antibodi. Masa 3-6 bulan ini disebut window
periode, dimana penderita dapat menularkan naamun secara laboratorium hasil tes
HIV-nya negatif.
 Stadium tanpa gejala
Fase akut akan diikuti fase kronik asimptomatik yang lamanya bisa bertahun-
tahun (5-7 tahun). Virus yang ada didalam tubuh secara pelan-pelan terus menyerang
sistem pertahanan tubuhnya. Walaupun tidak ada gejala, kita tetap dapat mengisolasi
virus dari darah pasien dan ini berarti bahwa selama fase ini pasien juga infeksius.
Tidak diketahui secara pasti apa yang terjadi pada HIV pada fase ini. Mungkin terjadi
replikasi lambat pada sel-sel tertentu dan laten pada sel-sel lainnya. Tetapi jelas
bahwa aktivitas HIV terjadi dan ini dibuktikan dengan menurunnya fungsi sistem
imun dari waktu ke waktu. Mungkin sampai jumlah virus tertentu tubuh masih dapat
mengantisipasi sistem imun.
 Stadium AIDS related compleks
Stadium ARC (AIDS Related Complex) adalah bila terjadi 2 atau lebih gejala
klinis yang berlangsung lebih dari 3 bulan, antara lain :
i. Berat badan turun lebih dari 10%
ii. Demam lebih dari 38 derajat
iii. Keringat malam hari tanpa sebab yang jelas
iv. Diare kronis tanpa sebab yang jelas
v. Rasa lelah berkepanjangan
vi. Herpes zoster dan kandidiasis mulut
vii. Pembesaran kelenjar limfe, anemia, leucopenia, limfopenia,
trombositopenia
viii. Ditemukan antigen HIV atau antibody terhadap HIV.
 Stadium AIDS
Dalam stadium ini kekebalan tubuh penderita telah demikian rusaknya,
sehingga pada tahap ini penderita mudah diserang infeksi oportunistik antara lain :
TBC, kandidiasistoxoplasmosis, pneumocystis, disamping itu juga dapat terjadi
sarkoma kaposi (kanker pembuluh darah kapiler) dan limfoma.
Gejala AIDS dikatakan lengkap bila gejala ARC ditambah dengan satu atau
lebih penyakit oportunistik seperti pneumonia pneumocystis carinii, sarcoma Kaposi,
infeksi sitomegalovirus.
Orang dewasa dicurigai menderita AIDS bila dijumpai minimal 2 gejala
mayor dan 1 gejala minor. 3 Gejala-gejala mayor tersebut adalah :
i. Penurunan berat badan lebih dari 10%
ii. Diare kronik lebih dari 1 bulan
iii. Demam lebih dari 1 bulan (terus-menerus/intermitten)

Sedangkan yang termasuk gejala-gejala minor yaitu :

i. Batuk lebih dari 1 bulan


ii. Dermatitis
iii. Herpes zoster rekuren
iv. Kandidiasis orofaring
v. Limfadenopatia umum
vi. Herpes simpleks diseminata yang kronik & progresif
Anak-anak diduga menderita AIDS bila didapati minimal 2 gejala mayor dan
minor dengan catatan tidak ada riwayat imunosupresi, misalnya kanker atau
malnutrisi berat.
Adapun gejala mayor tersebut yaitu :
i. Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat dan abnormal.
ii. Diare kronik lebih dari 1 bulan Demam lebih dari 1 bulan.
Sedangkan yang termasuk gejala-gejala minor yaitu :
1. Limfadenopatia umum
2. Kandidiasis orofaring Infeksi umum (otitis, faringitis)
3. Batuk persisten
4. Dermatitis umum Infeksi HIV maternal
 Stadium gangguan susunan saraf pusat
Virus AIDS selain menyerang sel limfosit T4 yang merupakan sumber
kekebalan tubuh, ternyata juga menyerang organ-organ tubuh lain. Organ yang paling
sering adalah otak dan susunan saraf lainnya. Selain itu akibat infeksi oportunistik
juga dapat menyebabkan gangguan susunan saraf pusat.
F. Cara Penularan
Ada beberapa cara penularan HIV/AIDS yaitu sebagai berikut :
a. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun
Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan
ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan
dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV
tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan
seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti
terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan
tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan
merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV (Yopan,
2012).
b. Transmisi Non Seksual
o Transmisi Parenral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang
telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat
juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan
terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat
sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat
sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko
tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90% (Yopan, 2012).
o Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar
50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui.
Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah (Yopan,
2012).
c. Penularan Masa Prenatal
HIV dapat ditularkan dari ibu ke bayinya dengan tiga cara yaitu di dalam uterus
(lewat plasenta), sewaktu persalinan dan melalui air susu ibu. Pada bayi yang
menyusui kira-kira separuhnya transmisi terjadi sewaktu sekitar persalinan,
sepertiganya melalui menyusui ibu dan sebagian kecil di dalam uterus. Bayi terinfeksi
yang tidak disusui ibunya, kira-kira dua pertiga dari transmisi terjadi sewaktu atau
dekat dengan persalinan dan sepertiganya di dalam uterus (Ayu, 2012).
 Kehamilan
Menurut Ayu (2012), kehamilan bisa berbahaya bagi wanita dengan HIV atau
AIDS selama persalinan dan melahirkan. Ibu sering akan mengalami masalah-
masalah sebagai berikut :
1) Keguguran
2) Demam, infeksi dan kesehatan menurun.
3) Infeksi serius setelah melahirkan, yang sukar untuk di rawat dan mungkin
mengancam jiwa ibu.
 Melahirkan
Setelah melahirkan cucilah alat genitalia 2 kali sehari dengan sabun dan air
bersih sehingga terlindungi dari infeksi (Yopan, 2012).
 Menyusui
Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%. Infeksi HIV kadang-
kadang ditularkan ke bayi melalui air susu ibu (ASI). Saat ini belum diketahui dengan
pasti frekuensi kejadian seperti ini atau mengapa hanya terjadi pada beberapa bayi
tertentu tetapi tidak pada bayi yang lain. Di ASI terdapat lebih banyak virus HIV pada
ibu-ibu yang baru saja terkena infeksi dan ibu-ibu yang telah memperlihatkan tanda-
tanda penyakit AIDS. Setelah 6 bulan, sewaktu bayi menjadi lebih kuat dan besar,
bahaya diare dan infeksi menjadi lebih baik. ASI dapat diganti dengan susu lain dan
memberikan makanan tambahan. Dengan cara ini bayi akan mendapat manfaat ASI
dengan resiko lebih kecil untuk terkena HIV (Yopan, 2012).
G. Periode Prenatal
Insiden HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (ACOG, 1992a).
Riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, dan pemeeriksaan laboratorium harus
meregleksikan perkiraan ini jika wanita dan bayi baru lahir akan menerima perawatan
yang tepat. Individu yang berada pada kategori infeksi HIV meliputi :
1. wanita dan pasangan dari daerah geografi tempat HIV umum terjadi;
2. wanita dan pasangan yang menggunakan obat-obatan intravena;
3. wanita dengan PMS persisten dan PMS rekuren;
4. wanita yang menerima transfuse darah antara tahun 1987 dan 1985;
5. setiap wanita yang yakin bahwa ia mungkin terpapar HIV.
Informasi tentang HIV dan ketersediaan pemeriksaan HIV harus ditawarkan
kepada wanita berisiko tinggi pada saat pertama kali mereka dating ke perawatan
prenatal. Hasil negative pada pemeriksaan HIV prenatal pertama bukan suatu garansi
bahwa titer selanjutnya akan negative.
Pemeriksaan prenatal juga dapat menunjukkan adanya gonrorea, C. trachomatis,
hepatitis B, Micobacterium tuberculosis, kandidiasis (infeksi orofaring atau infeksi
vaginal kronis), sitomegalovirus (CMV), dan toksoplasmosis. Sekitar setengah jumlah
penderita AIDS mengalami peningkatan titer.
Beberapa ketidaknyamanan prenatal (mis., keletihan, anoreksia, dan penurunan
berat badan. Menyerupai tanda dan gejala infeksi HIV. Diagnosis banding semua
keluhan akibat kehamilan dan gejala infeksi dibenarkan. Tanda-tanda utama
perburukan infeksi HIV meliputi penurunan berat badan, lebih dari 10% berat badan
sebelum hamil, diare kronis selama lebih dari satu bulan, dan demam (intermiten atau
konstan) selama lebih dari satu bulan
Untuk menyokong sistem imun wanita hamil, konseling diberikan, mencakup
nutrisi optimum, tidur, istirahat, latihan fisik, dan reduksi stress. Apabila infeksi HIV
didiagnosis, wanita diberi penjelasan tentang teknik berhubungan seksual yang lebih
aman. Penggunaan kondom dan spermisida 9 non-oksinol dianjurkan untuk
meminimalkan pemaparan HIV lebih jauh jika pasangan wanita tersebut merupakan
sumber infeksi. Hubungan seksual orogenital tidak dianjurkan. Hal yang sama penting
ialah merujuk wanita tersebut menjalani rehabilitasi untuk menghentikan
penyalahgunaan substansi. Penyalahgunaan alcohol atau obat-obatan lain
mengganggu sistem imun tubuh dan meningkatkan risiko AIDS dan kondisi terkait :
1. sistem imun tubuh harus rusak dulu sebelum HIV dapat menimbulkan
penyakit
2. alcohol dan obat-obatan mengganggu banyak terapi medis dan terapi alternatif
untuk AIDS
3. dan obat-obatan mempengaruhi pertimbangan pengguna yang menjadi lebih
cenderung terlibat dalam aktivitas yang membuatnya berisiko mengidap AIDS
aatau meningkatkan pemaparan terhadap HIV
4. alcohol dan penyalahgunaan obat menyebabkan stress, termasuk masalah
tidur, yang membahayakan fungsi sistem imun.
Terapi farmakologi untuk infeksi HIV berkembang dengan pesat sejak virus
tersebut ditemukan. Obat primer yang disetujui untuk terapi infeksi HIV adalah
3’azido-3’-deoksitimidin (zidovudin, AZT [Retrivirl]). Walaupun obat ini
menjanjikan hasil yang baik bagi terapi infeksi HIV, penggunaannya dalam
kehamilan dibatasi karena adanya potensi efek mutagenic atau toksik potensial pada
janin. Azitomidin saat ini dipelajari pada beberapa penelitian terkendali pada wanita
hamil, yang memiliki hitung sel T-helper kurang dari 400 sel/mm3 dan terbukti secara
signifikan mengurangi risiko transmisi HIV dari wanita terinfeksi ke janinnya.
H. Periode Intrapartum
Perawatan wanita bersalin tidak secara sustansial berubah karena infeksi
asimptomatik HIV. Model kelahiran yang akan dilakukan didasarkan hanya pada
pertimbangan obstetric karena virus menembus plasenta pada tahap awal kehamilan.
Focus utama adalah mencegah persebaran nosokomial HIV dan melindungi
tenaga keperawatan kesehatan. Risiko tranmisi HIV dianggap rendah selama proses
kelahiran per vaginam terlepas dari kenyataan bahwa bayi terpapar pada darah, cairan
amniotic, dan sekresi vagina ibunya.
Pemantauan janin secara elektronik dan eksternal lebih dipilih jika pemantauan
diperlukan. Ada kemungkinan inokulasi virus ke neonates jika pengambilan sampel
darah dilakukan pada kulit kepala janin atau elektroda dipasang pada kulit kepala
janin. Selain itu, individu yang melakukan salah satu prosedur ini berisiko tertusuk
jarum pada jarinya.
I. Periode Pascapartum
Hanya sedikit diketahui tentang kondisi klinis wanita yang terinfeksi HIV
selama periode pascapartum. Walaupun periode pascapartum awal tidak signifikan,
follow-up yang lebih lama menunjukkan frekuensi penyakit klinis yang tinggi pada
ibu yang anaknya menderita penyakit. Konseling tentang pengalihan pengasuhan anak
dibutuhkan jika orang tua tidak lagi mampu merawat diri mereka.
Terlepas dari apakah infeksi terdiagnosis, roses keperawatan diterapkan dengan
cara yang peka terhadap latar belakang budaya individu dan dengan menjunjung nilai
kemanusiaan. Infeksi HIV merupakan suatu peristiwa biologi, bukan suatu
komentarmoral. Sangat penting untuk diingat, ditiru, dan diajarkan bahwa reaksi
(pribadi) terhadap gaya hidup, praktik, atau perilaku tidak boleh mempengaruhi
kemampuan perawat dalam member perawatan kesehatan yang efektif, penuh kasih
sayang, dan obyektif kepada semua individu.
Bayi baru lahir dapat bersama ibunya, tetapi tidak boleh disusui. Tindakan
kewaspadaan universal harus diterapkan, baaik untuk ibu maupun bayinya,
sebagaimana yang dilakukan pada semua pasien. Wanita dan bayinya dirujuk ke
tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam terapi AIDS dan kondisi terkait.
J. Pengaruh kehamilan pada perjalanan penyakit HIV/AIDS
Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi resiko kematian,
progresivitas menjadi AIDS atau progresivitas penurunan sel CD4 pada wanita yang
terinfeksi HIV. Pengaruh kehamilan terhadap sel CD4 pertama kali dilaporkan oleh
Burns, dkk. Pada kehamilan normal terjadi penurunan jumlah sel CD4 pada awal
kehamilan untuk mempertahankan janin.
Pada wanita yang tidak menderita HIV, presentase sel CD4 akan meningkat
kembali mulai trisemester ketiga hingga 12 bulan setelah melahirkan. Sedangkan pada
wanita yang terinfeksi HIV penurunan tetap terjadi pada kehamilan dan setelah
melahirkan walaupun tidak bermakna secara statistik. Nemun penelitian dari
European Collaborative Study dan Swiss HIV Pregnancy Cohort dengan jumlah
sample yang lebih besar, menunjukkan presentase penurunan sel CD4 selama
kehamilan sampai 6 bulan setelah melahirkan tetap stabil. Kehamilan ternyata hanya
sedikit meningkatkan kadar virus (viral load) HIV. Kadar virus HIV meningkat
terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun secara statistik tidak bermakna.
Kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas penyakit menjadi AIDS.
Italian Seroconversion Study Group membandingkan wanita terinfeksi HIV dan
pernah hamil ternyata tidak menunjukkan perbedaan resiko menjadi AIDS atau
penurunan CD4 menjadi kurang dari 200.
K. Pengaruh infeksi HIV pada kehamilan
Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan bahwa
HIV tidak menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir rendah atau
gangguan pertumbuhan intra uterin. Sedangkan di negara berkembang, infeksi HIV
justru meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas, gangguan pertumbuhan intra uterin
dan kematian janin intra uterin terutama pada stadium lanjut. Selain karena kondisi
fisik ibu yang lebih buruk juga karena kemungkinan penularan perinatalnya lebih
tinggi.
L. Diagnosis
 Bayi dan Anak
Pada bayi pemeriksaan serologis standar seperti IgG anti-HIV dan Western
Blot tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sebelum usia 18 bulan. Hal
ini disebabkan masih dapat ditemukannya IgG anti-HIV ibu yang melewati plasenta
di darah bayi, bahkan sampai usia 24 bulan. Sedangkan IgA dan IgM anti-HIV tidak
dapat melewati plasenta, sehingga dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis bila
ditemukan pada bayi. Akan tetapi, sensitivitas kedua pemeriksaan ini masih rendah.
Pada bayi di bawah usia 18 bulan, pemeriksaan yang dapat dilakukan antara
lain kultur HIV, teknik PCR (Polymerase chain Reaction) untuk mendeteksi DNA
atau RNA HIV dan deteksi antigen p24. Infeksi HIV ditegakkan bila dua sample dari
dua kali pemeriksaan yang berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV
menunjukkan hasil positif. Disebut tidak terinfeksi bila dua macam sampel tes yang
berbeda menunjukkan hasil negatif.
Pada bayi usia 18 bulan keatas, infeksi HIV ditegakkan jika pemeriksaan
antibodi menetap atau bayi meninggal akibat penyakit terkait HIV. Disebut tidak
terinfeksi bila dua kali pemeriksaan antibodi menunjukkan negatif. Pemeriksaan
antibodi ini kemudian dilanjutkan dengan konfirmasi pemeriksaan Western Blot.
Bila timbul kecurigaan anak terinfeksi HIV, penting untuk melakukan
konseling pada ibunya dan meminta persetujuan sebelum melakukan tes darah ibu.
Bila ibu positif terinfeksi, maka perlu juga melakukan tes pada suaminya. Selanjutnya
konseling pasca tes juga diperlukan bila hasilnya pada anaknya terbukti positif agar
orangtua mengetahui gambaran mengenai penyakit anaknya, cara melakukan
perawatan di rumah, menjaga kualitas hidup anak sebaik mungkin, cara pencegahan
penularan perinatal pada anak selanjutnya dan bekerja sama dengan pihak-pihak lain
seperti psikolog, lembaga sosial, tokoh agama dan petugas-petugas kesehatan lainnya.
Di Indonesia untuk mendefinisikan kasus HIV pada anak dipakai kriteria
WHO/UNAIDS :
 Anak berumur 18 bulan atau kurang :
Ditemukan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 2 gejala minor
dengan ibu yang HIV positif. Gejala ini bukan disebabkan oleh
keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
 Anak berumur diatas 18 bulan :
Menunjukkan tes HIV yang positif, dan sekurang-kurangnya
didapatkan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor dibawah ini dengan ibu
HIV positif dan gejala tersebut bukan disebabkan oleh keadaan lain
yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
Gejala mayor :

1. Berat badan menurun atau gagal tumbuh.


2. Diare terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan.
3. Demam terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan.
4. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah atau menetap
Gejala minor :
1. Limfadenopati generalisata atau hepatosplenomegali.
2. Kandidiasis oral atau tenggorokan.
3. Infeksi bakteri dan/atau virus yang berulang (misalnya otitis media
akut, faringitis.
4. Batuk kronis.
5. Dermatitis yang luas.
6. Ensefalitis. Manifestasi lain yang mungkin timbul tetapi tidak
termasuk dalam kriteria diagnosis, antara lain masalah persarafan,
keterlambatan perkembangan, pembesaran kelenjar parotis pada
kedua sisi, abses berulang, meningitis dan herpes simplex yang
berulang dan persisten.
 Wanita
Infeksi HIV pada wanita seringkali terdeteksi pada masa kehamilan, waktu
dilakukan uji saring HIV antenatal. Uji serologis HIV-1 antibodi spesifik IgG
merupakan tes dengan spesifikasi yang tinggi. Sera yang reaktif terhadap anti HIV
pada uji saring, sebaiknya diuji ulang dan hasilnya dikonfirmasikan dengan sistem uji
lainnya. Untuk diagnostik, contoh sera harus diambil ulang untuk mengkonfirmasi ada
tidaknya infeksi. Pada umumnya wanita yang terinfeksi menampilkan kondisi sera
yang reaktif 6-8 minggu setelah infeksi, meskipun pada beberapa kasus antibodi
tersebut tidak timbul setelah 6-9 bulan kemudian.
Hasil negatif tes antibodi berarti wanita tersebut tidak terkena infeksi HIV
lebih dari 6 bulan yang lalu, tetapi dapat juga berarti uji negatif palsu (false negatif),
bila wanita itu diuji pada waktu periode jendela (window periode) antara infeksi dan
serokonversi.
M. Pemeriksaan Laboratorium
Tes-tes saat ini tidak membedakan antara antibody ibu/bayi, dan bayi dapat
menunjukkan tes negative pada usia 9 sampai 15 bulan. Penelitian mencoba
mengembangkan prosedur siap pakai yang tidak mahal untuk membedakan respons
antibody bayi dan ibu :
 Hitung darah lengkap (HDL) dan jumlah limfosit total: Bukan diagnostic
pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar imunologis.
 EIA atau ELISA dan tes Western Blot: Mungkin positif, tetapi invalid
 Kultur HIV (dengan sel mononuclear darah perifer dan, bila tersedia,
plasma).
 Tes reaksi rantai polymerase dengan leukosit darah perifer: Mendeteksi
DNA viral pada adanya kuantitas kecil dari sel mononuclear perifer
terinfeksi.
 Antigen p24 serum atau plasma: peningkatan nilai kuantitatif dapat menjadi
indikatif dari kemajuan infeksi (mungkin tidak dapat dideteksi pada tahap
sanagt awal infeksi HIV)
 Penentuan immunoglobulin G, M, dan A serum kualitatif (IgG, IgN, dan
IgA): Bukan diagnostic pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar
imunoogis.
N. Penanganan
 Pemberian ARV
Pemberian Antiretrovirus (ART) Antiretrovirus direkomendasikan untuk
semua wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang sedang hamil untuk mengurangi resiko
transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat
sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga 20%
dengan terapi antiretrovirus. Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan
adalah menekan perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki
kualitas hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV.
Pada kehamilan, keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan
potensi toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek
penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama
antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit. Efek samping tersebut diduga akan
meningkat pada pemberian kombinasi antiretrovirus, seperti efek teratogenesis
kombinasi antiretrovirus dan antagonis folat yang dilaporkan Jungmann.
Pilihan obat ARV yang tersedia di Indonesia adalah :
 Tenofovir (TDF) 300 mg„
 Lamivudin (3TC) 150 mg„
 Zidovudin (ZDV/AZT) 100 mg„
 Efavirenz (EFV) 200 mg dan 600 mg„
 Nevirapine (NVP) 200 mg„
 Kombinasi dosis tetap (KDT)
 TDF + FTC 300 mg/200 mg„
 TDF + 3TC + EFV 300 mg/150 mg/600 mg
 Pengobatan alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau
mengubah arah perkembangan penyakit. Akupunktur telah digunakan untuk
mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy)
seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri, namun tidak menyembuhkan infeksi HIV.
Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak
terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada
perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek
samping negatif yang serius (Yopan, 2012).
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral
kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun
tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan
berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen
vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat. Pemakaian
seleniumdengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV
melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai
terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak
dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas (Yopan, 2012).
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alternatif
memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun
dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat
psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling
penting dari pemakaiannya (Yopan, 2012).
O. Pencegahan
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui tiga cara, dan
bisa dilakukan mulai saat masa kehamilan, saat persalinan, dan setelah persalinan.
cara tersebut yaitu :
1. Penggunaan obat Antiretroviral selama kehamilan, saat persalinan dan
untuk bayi yang baru dilahirkan.
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load menjadi lebih rendah
sehingga jumlah virus yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang
efektif untuk menularkan HIV. Resiko penularan akan sangat rendah (1-
2%), apabila terapi ARV ini dipakai. Namun jika ibu tidak memakai ARV
sebelum mulai sakit melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi
separuh penularan ini. AZT dan 3TC dipakai selama waktu persalinan, dan
untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah lahir. Satu tablet nevirapine
pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi diberi pada
bayi 2-3 hari setelah lahir. Menggabungkan nevirapine dan AZT selama
persalinan mengurangi penularan menjadi hanya 2%. Namun, resistensi
terhadap nevirapine dapat muncul pada hingga 20% perempuan yang
memakai satu tablet waktu hamil. Hal ini mengurangi keberhasilan ART
yang dipakai kemudian oleh ibu. Resistensi ini juga dapat disebarkan pada
bayi waktu menyusui. Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih
terjangkau di negara berkembang.
2. Penanganan obstetrik selama persalinan
Persalinan sebaiknya dipilih dengan menggunakan metode Sectio caesaria
karena metode ini terbukti mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke
bayi sampai 80%. Apa bila pembedahan ini disertai dengan penggunaan
terapi anti retroviral, maka resiko dapat diturunkan sampai 87%.
Walaupun demikian, pembedahan ini juga mempunyai resiko karena
kondisi imunitas ibu yang rendah yang bisa memperlambat penyembuhan
luka. Oleh karena itu, persalinan per vagina atau sectio caesaria harus
dipertimbangkan sesuai kondisi gizi, keuangan, dan faktor lain.
3. Penatalaksanaan selama menyusui
Pemberian susu formula sebagai pengganti ASI sangat dianjurkan untuk
bayi dengan ibu yang positif HIV. Karena sesuai dengan hasil penelitian,
didapatkan bahwa +/- bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi.
P. Penatalaksanaan
Belum ada penyembuhan untuk AIDS jadi yang dilakukan adalah pencegahan
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tapi, apabila terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu :
1. Pengendalian infeksi oportunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan dan pemulihan infeksi
opurtuniti, nosokomial atau sepsis, tindakan ini harus dipertahankan
bagi pasien di lingkungan peralatan yang kritis.
2. Terapi AZT (Azidotimidin)
Obat ini menghambat replikasi antiviral HIV dengan menghambat
enzim pembalik transcriptase.
3. Terapi antiviral baru
Untuk meningkatkan aktivitas sistem imun dengan menghambat
replikasi virus atau memutuskan rantai reproduksi virus pada
prosesnya. Obat-obat ini adalah : didanosina, ribavirin,
diedoxycytidine, recombinant CD4 dapat larut.
4. Vaksin dan rekonstruksi virus, vaksin yang digunakan adalah
interveron.
5. Menghindari infeksi lain, karena infeksi dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat replikasi HIV.
6. Rehabilitasi
Bertujuan untuk memberi dukungan mental-psikologis, membantu
mengubah perilaku risiko tinggi menjadi perilaku kurang berisiko atau
tidak berisiko, mengingatkan cara hidup sehat dan mempertahankan
kondisi tubuh sehat.
7. Pendidikan
Untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan makanan yang
sehat, hindari stres, gizi yang kurang, obat-obatan yang mengganggu
fungsi imun. Edukasi ini juga bertujuan untuk mendidik keluarga
pasien bagaimana menghadapi kenyataan ketika anak mengidap AIDS
dan kemungkinan isolasi dari masyarakat.
Q. Asuhan Keperawatan
i. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dalam melakukan asuhan keperawatan secara
keseluruhan. Pengkajian terdiri dari tiga tahapan yaitu : pengumpulan data,
pengelompokan data atau analisa data dan perumusan diagnosa keperawatan
(DepKes RI 1991)
a) Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan kegiatan dalam menghimpun informasi (data-
data) dari klien. Data yang dapat dikumpulkan pada klien yaitu data sebelum
dan selama kehamilan
 Identitas Pasien
 Riwayat Kesehatan
Masa lalu
Sekarang
Menstruasi
Reproduksi
 Keluhan Utama
 Data Psikologi
Kondisi ibu hamil dengan HIV/AIDS takut akan penularan
pada bayi yang dikandungnnyaa. Bagi keluarga pasien
cenderung untuk menjauh sehingga akan menambah tekanan
psikologi pasien.
 Pemeriksaan Fisik
 Breating
Kaji pernafasan bumil, apabila ibu telah terinfeksi sistem
pernafasan maka sepanjang jalur pernafasan akan mengalami
gangguan. Misalnya RR meningkat, kebersihan jalan nafas.
 Blood
Pemeriksaan darah meliputi pemeriksaan virus HIV/AIDS.
 Brain
Tingkat kesadaran bumil dengan HIV/AIDS terkadang
mengalami penurunan karena proses penyakit. Hal itu dapat
disebabkan oleh gangguan imunitas pada bumil.
 Bowel
Keadaan sistem pencernaan pada bumil akan mengalami
gangguan. Kebanyakan gangguan tersebut adalah diare yang
lama. Hal itu disebabkan oleh penurunan sistem imun yang
berada ditubuh sehingga bakteri yang ada disaluran pencernaan
akan mengalami gangguan. Hal itu dapat menyebabkan infeksi
saluran pencernaan.
 Bladder
Kaji tingkat urin klien apakah ada kondisi patologis seperti
perubahan warna urine jumlah dan bau. Hal itu dapat
mengidentifikasikan bahwa ada gangguan pada sistem
perkemihan. Biasanya saat imunitas menurun resiko infeksi
pada uretra pasien.
 Bone
Kaji respon klien, apakah mengalami kesulitan bergerak,
refleks pergerakan. Pada ibu hamil kebutuhan akan kalsium
meningkat, periksa apabila ada resiko osteoporesis. Hal itu
dapat memburuk dengan bumil HIV/AIDS.
b) Analisa Data
Data Etiologi Problem :
DS : biasanya pasien buang air besar selama berhari-hari, lemas, pusing
DO : wajah pucat, matanya cowong, kulit dan mukosa kering, tekanan turgor
menurun, diare (infeksi virus HIV yang menyerang usus).
Kekurangan volume cairan
DS : biasanya pasien mengeluh lemas
DO : pasien terlihat kurus, mual, muntah dan diare yang berlebihan
Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan
DS : biasanya pasien mengeluh nyeri pada bagian perut
DO :
P : nyeri meningkat ketika beraktifitas
Q : nyeri
R : nyeri di daerah abdomen kuadran kiri bawah
S : skala nyeri 8
T : nyeri hilang timbul, infeksi virus HIV pada usus
Nyeri
S : nyeri pada daerah perianal
O : kulit perianal terlihat merah dan sedikit lecet, diare yang berlebihan
Kerusakan integritas kulit
S : biasanya pasien mengeluh cemas
O : pasien menangis, takut bayinya akan tertular virus HIV
Ansietas
S : merasa cemas dan takut, persepsi tidak dapat diterima masyarakat, resiko
tinggi isolasi social.
ii. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi
dan pola hidup yang beresiko.
2) Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi
HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.
4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan
menurunnya absorbsi zat gizi.
5) Diare berhubungan dengan infeksi GI.
6) Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang
keadaan yang orang dicintai.
iii. Intervensi Keperawatan
Diagnosa keperawatan 1
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi
dan pola hidup yang beresiko.
o Intervensi Keperawatan :
 Monitor tanda-tanda infeksi baru.
 Gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci
tangan sebelum memberikan tindakan.
 Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap
lingkungan yang patogen.
 Kumpulkan spesimen untuk tes lab
 Atur pemberian anti infeksi sesuai metode pemberian.
o Rasional :
 Untuk pengobatan dini
 Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh
di rumah sakit.
 Mencegah bertambahnya infeksi.
 Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan.
 Mempertahankan kadar darah yang terapeutik pada pasien, dan
pasien akan bebas infeksi oportunistik dan mendapat kriteria
hasil komplikasinya dengan kriteria tak ada tanda-tanda
infeksi baru, lab tidak ada infeksi oportunis, tanda vital dalam
batas normal, tidak ada luka atau eksudat.
Diagnosa 2
Tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV,
adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
o Intervensi Keperawatan :
 Anjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah
transmisi HIV dan kuman patogen lainnya.
o Rasional :
 Pasien dan keluarga mau dan memerlukan informasikan ini
o Kriteria Hasil :
Infeksi HIV tidak ditransmisikan, tim kesehatan memperhatikan
universal precautions dengan kriteriaa kontak pasien dan tim
kesehatan tidak terpapar HIV, tidak terinfeksi patogen lain seperti
TBC.
Diagnosa 3
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.
o Intervensi Keperawatan :
 Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas
 Berikan bantuan perawatan yang pasien tidak mampu lakukan
sendiri
 Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu
istirahat.
o Rasional :
 Respon bervariasi dari hari ke hari
 Mengurangi kebutuhan energi
 Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan
metabolik
o Kriteria Hasil :
 Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas
dyspnea dan takikardi selama aktivitas
Diagnosa 4
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan
menurunnya absorbsi zat gizi.
o Intervensi Keperawatan :
 Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.
 Monitor BB, intake dan ouput
 Atur antiemetik yang sesuai
 Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
o Rasional :
 Intake menurun dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan
mulut
 Menentukan data dasar
 Mengurangi muntah
 Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien
o Kriteria Hasil :
Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah
dikontrol, pasien makan Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP), serum
albumin dan protein dalam batas normal, BB mendekati seperti
sebelum sakit.
Diagnosa 5
Diare berhubungan dengan infeksi GI
o Intervensi Keperawatan :
 Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
 Auskultasi bunyi usus
 Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil)
 Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
o Rasional :
 Mendeteksi adanya darah dalam feses
 Hipermotiliti mumnya dengan diare
 Mengurangi motilitas usus, yang pelan, emperburuk
perforasi pada intestinal.
 Menghilangkan distensi
o Kriteria hasil :
Pasien merasa nyaman dan mengnontrol diare, komplikasi minimal
dengan kriteria perut lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna
normal, kram perut hilang,
Diagnosa 6
Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang
keadaan yang orang dicintai.
o Intervensi Keperawatan :
 Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
 Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
 Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
o Rasional :
 Memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif
dengan keluarga.
 Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas
 Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak
sederhana.
o Kriteria Hasil :
Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan
adaptasi terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien
dan keluarga berinteraksi
iv. Implementasi
Diagnosa 1
 Memonitor tanda-tanda infeksi baru.
 Menggunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan
sebelum memberikan tindakan.
 Menganjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan
yang patogen.
 Mengumpulkan spesimen untuk tes lab.
 Mengatur pemberian anti infeksi
Diagnosa 2
 Menganjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah
transmisi HIV dan kuman patogen lainnya.
Diagnosa 3
 Memonitor respon fisiologis terhadap aktivitas
 Memberikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
 Menjadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
Diagnosa 4
 Memonitor kemampuan mengunyah dan menelan.
 Memonitor BB, intake dan ouput
 Mengatur antiemetik yang sesuai
 Merencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
Diagnosa 5
 Mengkaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
 Mengauskultasi bunyi usus
 Mengatur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil)
 Memberikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
Diagnosa 6
 Mengkaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
 Membiarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
 Mengajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Penularan HIV dapat melalui hubungan seksual, terjadi secara horizontal
maupun vertikal (dari ibu ke anak). Transmisi horisontal dapat terjadi melalui darah
(diantaranya transfusi darah atau produk darah yang tercemar HIV, penggunaan alat
yang tidak steril disarana pelayanan kesehatan, penggunaan alat yang tidak steril
dilayanan kesehatan tradisional ) dan melalui hubungan seks (misalnya pelecehan
seksual pada anak, pelacuran anak ).
Kurang lebih 10% penularan HIV terjadi melalui transmisi horizontal. Dan
yang cukup penting adalah penularan secara vertikal dari ibu ke anak. Penularan
vertikal dapat terjadi selama intra uterine, intra partum maupun post partum.
Penatalaksanaan klinis penyakit HIV pada kehamilan terus dikembangkan
untuk menekan transmisi secara vertikal. Pemberian antiretrovirus bertujuan untuk
mengurangi viral load agar menjadi sangat rendah atau dibawah tingkat yang dapat
terdeteksi untuk jangka waktu yang lama. Rekomendasi cara persalinan dikeluarkan
oleh Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat untuk mengurangi
transmisi HIV dari ibu ke anak dan persalinan dengan seksio sesarea dipikirkan dapat
mengurangi paparan bayi dengan cairan servikovaginal yang mengandung HIV.
Selain itu WHO, Unicef dan UNAIDS mengeluarkan rekomendasi untuk
menghindari air susu ibu yang terkena HIV jika alternatif susu lain tersedia dan aman.
Cara yang efektif untuk mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke anak tergantung
pada saat kapan wanita tersebut mengetahui status HIV-nya sehingga dapat ditentukan
penatalaksanaannya secepat mungkin. Oleh karena itu peranan konseling dan tes HIV
bagi ibu hamil sangatlah penting sebagai salah satu cara untuk deteksi dini terhadap
infeksi HIV.
B. Saran
HIV/AIDS adalah virus yang paling berbahaya bagi manusia, khususnya yang
tinggal pada daerah yang endemik. Oleh sebab itu, kita harus sangat berhati-hati dan
menjaga tubuh kita agar tidak terkena ataupun tertular dari virus ini. Jika terdapat
gejala-gejala demikian, baiklah langsung kita berobat untuk mengatasi masalah yang
lebih lanjut.
Daftar Pustaka

file:///C:/Users/TOSHIBA/Downloads/4873-1-7525-1-10-20130301.pdf

http://yopangumilar.blogspot.com/2012/03/makalah-askep-pada-ibu-hamil-dengan.html

http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/hiv-dalam-kehamilan.html

https://www.academia.edu/16755308/KEHAMILAN_DENGAN_HIV

https://angelinaps88.blogspot.com/2018/03/ibu-hamil-dengan-human-
immunodeficiency.html

http://maria-biologywimamadiun.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai