Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma atau cedera medulla spinalis merupakan salah satu penyebab
gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia
muda. Kelainan yang lebih banyak dijumpai pada usia produktif ini seringkali
mengakibatkan penderita harus terbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda
karena tetraplegia atau paraplegia.
Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka
kejadian (insidensi) trauma ini sekitar 11,5 – 53,4 kasus per 100.000 penduduk
tiap tahunnya. Belum termasuk dalam data tersebut jumlah penderita yang
meninggal pada saat terjadinya cedera akut (Islam, 2006). Sedangkan 40% trauma
spinal ini disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak,
olahraga, kecelakaan kerja. Lokasi trauma dislokasi cervical paling sering pada
C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada usia dekade 3 (Japardi, 2002).
Cedera akut tulang belakang spinal cord merupakan penyebab yang paling
sering dari kecacatan dan kelemahan setelah trauma. Oleh karena itu, evaluasi dan
pengobatan pada cedera tulang belakang, spinal cord dan nerve roots memerlukan
pendekatan yang terintegrasi. Diagnosa dini, prevervasi fungsi spinal cord dan
pemeliharaan aligment dan stabilitas merupakan kunci keberhasilan manajemen.
Penanganan, rehabilitas spinal cord dan kemajuan perkembangan multidisipliner
tim trauma dan perkembangan metode modern dari fusi cervical dan stabilitas
merupakan hal penting harus dikenal masyarakat (Japardi, 2002).
Melihat fenomena semacam ini, tenaga medis khususnya perawat sangat
perlu mendapatkan pengetahuan dan pelatihan mengenai penanganan pasien
trauma spinalis agar nantinya dapat merencanakan asuhan keperawatan yang tepat
sehingga dapat mengurangi komplikasi dan meningkatkan kesehatan optimal
pasien.

1
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimanakan anatomi fisiologi medulla spinalis?
2. Apakah definisi trauma spinal?
3. Apakah etiologi/mekanisme trauma spinal?
4. Bagaimana patofisiologi trauma spinal?
5. Apakah manifestasi klinis trauma spinal?
6. Apakah komplikasi klien dengan trauma spinal?
7. Apakah pemeriksaan penunjang klien dengan trauma spinal?
8. Bagaimana penatalaksanaan klien trauma spinal?
9. Bagaimana asuhan keperawatan klien trauma spinal?

1.3 Tujuan
1. Memberikan penjelasan anatomi fisiologi medulla spinalis.
2. Memberikan penjelasan definisi trauma spinal.
3. Memberikan penjelasan etiologi/mekanisme trauma spinal.
4. Memaparkan patofisiologi trauma spinal.
5. Memberikan penjelasan manifestasi klinis trauma spinal.
6. Memberikan penjelasan komplikasi klien trauma spinal.
7. Memberikan penjelasan pemeriksaan penunjang klien trauma spinal.
8. Memberikan penjelasan penatalaksanaan klien trauma spinal.
9. Memberikan penjelasan asuhan keperawatan klien trauma spinal.

1.4 Manfaat
Dengan pembuatan makalah ini kami berharap dapat bermanfaat bagi
semua komponen kesehatan khususnya perawat supaya mengetahui dan
memahami tentang hal-hal yang berkenaan dengan trauma spinal yang angka
kejadiaanya juga cukup banyak, sehingga pada akhirnya dapat bermanfaat bagi
diri sendiri maupun klien dan keluarganya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi


Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi
medulla spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang
diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang
dipisahkan oleh disitus intervertebralis.
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut:
a. Vetebra Cervicalis
Vertebrata cervicalis ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak.
Veterbrata cervicalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai
prosesus spinosus paling panjang.
b. Vertebra Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk
jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
c. Vertebra Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,
berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus
vertebra yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luas
kearah fleksi.
d. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang
dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk
tulang bayi.
e. Os. Coccygeal
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami
rudimenter. Beberapa segmen ini membentuk 1 pasang saraf
coccygeal.

3
Gambar 2.1 Segmen Corda Spinalis

Lengkung kolumna vertebralis kalau dilihat dari samping maka kolumna


vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior yaitu
lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal
melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung
kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis,
disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari
hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala membengkak
ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan
badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung
servikal berkembang ketika anak-anak mengangkat kepalanya untuk melihat
sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia
merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak.
Fungsi dari kolumna vertebralis yaitu sebagai penunjang badan yang
kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga ke depan perantaraan tulang
rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan
memungkinkan membongkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk
menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu
berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belakang terlindung
terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan,
menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior

4
yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga. (Eveltan.
C. Pearah, 1997 dalam Ilham, 2008)
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medulla
oblongata, menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara
vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini medulla spinalis meruncing sebagai
konus medularis, dan kemudian sebuah sambungan tipis dasri piameter yang
disebut filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju
koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini,
pada bagian depannya dibelah oleh fisura anterior yang dalam, sementara bagian
belakang dibelah oleh sebuah fisura sempit.
Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan
lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota
badan atas dan bawah dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf
interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi
antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.
Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut:
1. Organ sensorik: menerima impuls, misalnya kulit
2. Serabut saraf sensorik: mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju
sel-sel dalam ganglion radix posterior dan selanjutnya menuju
substansi kelabu pada kornu posterior mendula spinalis.
3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung
menghantarkan impuls-impuls menuju kornu anterior medula spinalis.
4. Sel saraf motorik: dalam kornu anterior medula spinalis yang
menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag
motorik.
5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh
impuls saraf motorik.
6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus
pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal)
paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan
otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada
uretra dan rektum.

5
Berikut ini adalah fungsi dari tiap segmen saraf pada tulang belakang:

Gambar 2.2 Fungsi segmen tulang belakang

Level Function
C1-C6 Neck flexors
C1-T1 Neck extensors
C3, C4, Supply diaphragm (mostly C4)
C5
C5, C6 Shoulder movement, raise arm (deltoid); flexion of elbow (biceps);
C6 externally rotates the arm (supinates)
C6, C7 Extends elbow and wrist (triceps and wrist extensors); pronates wrist
C7, T1 Flexes wrist
Supply small muscles of the hand
T1 -T6 Intercostals and trunk above the waist
T7-L1 Abdominal muscles
L1, L2, Thigh flexion
L3, L4

6
L2, L3, Thigh adduction
L4 Extension of leg at the knee (quadriceps femoris)
L4, L5, Thigh abduction
S1 Dorsiflexion of foot (tibialis anterior)
Extension of toes
L5, S1, S2 Extension of leg at the hip (gluteus maximus)
Plantar flexion of foot
Flexion of toes
L4, L5, Flexion of leg at the knee (hamstrings)
S1, S2

2.2 Definisi
Trauma spinal yaitu gangguan pada serabut spinal (spinal cord) yang
menyebabkan perubahan secara permanen atau sementara, akan tetapi fungsi
motorik, sensorik atau autonomik masih normal.
Cedera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth,
2001).
Cedera medulla spinalis adalah kerusakan tulang dan sumsum yang
mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang
diklasifikasikan sebagai:
- komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
- tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai
daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong.
Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan,
sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan

2.3 Mekanisme Cedera


Ada 4 mekanisme yang mendasari :
a. Kompresi oleh tulang, ligamen, benda asing, dan hematoma. Kerusakan
paling berat disebabkan oleh kompresi dari fragmen korpus vertebra yang
tergeser ke belakang dan cedera hiperekstensi.

7
b. Tarikan/regangan jaringan: regangan berlebih yang menyebabkan
gangguan jaringan biasanya setelah hiperfleksi. Toleransi regangan pada
medulla spinalis menurun sesuai usia yang meningkat.
c. Edema medulla spinalis timbul segera dan menimbulkan gangguan
sirkulasi kapiler lebih lanjut serta aliran balik vena yang menyertai cedera
primer.
d. Gangguan sirkulasi merupakan hasil kompresi oleh tulang atau strukttur
lain pada sistem arteri spinal posterior atau anterior.
Kecelakaan automobil, terjatuh, olahraga, kecelakaan industri, tertembak
peluru, dan luka tusuk dapat menyebabkan trauma medulla spinal. Sebagian besar
pada medulla spinal servikal bawah (C4-C7, T1), dan sambungan torakolumbal
(T11-T12, L1). Medulla spinal torakal jarang terkena.
Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sesuai dengan
level,beratnya defisit neurologik, spinal cord syndrome, dan morfologi.
A. Level
Level neurologist adalah segmen paling kaudal dari medulla spinalis
yang masih dapat ditemukan keadaan sensoris dan motoris yang normal di
kedua sisi tubuh. Apabila level sensoris digunakan, ini menunjukan kearah
bagian segmen kaudal medulla spinalis dengan fungsi sensoris yang normal
pada ke dua bagian tubuh. Level motoris dinyatakan seperti sensoris, yaitu
daerah paling kaudal dimana masih dapat ditemukan motoris dengan tenaga
3/5 pada lesi komplit, mungkin masih dapat ditemukan fungsi sensoris
maupun motoris di bawah level sensoris/motoris. Ini disebut sebagai daerah
dengan “preservasi parsial”. Penentuan dari level cedera pada dua sisi adalah
penting.
Terdapat perbedaan yang jelas antara lesi di bawah dan di atas T1.
Cedera pada segmen servikal diatas T1 medulla spinalis menyebabkan
quadriplegia dan bila lesi di bawah level T1 menghasilkan paraplegia. Level
tulang vertebra yang mengalami kerusakan, menyebabkan cedera pada
medulla spinalis. Level kelainan neurologist dari cedera ini ditentukan hanya
dengan pemeriksaan klinis. Kadang-kadang terdapat ketidakcocokan antara
level tulang dan neurologis disebabkan nervus spinalis memasuki kanalis

8
spinalis melalui foramina dan naik atau turun didalam kanalis spinalis
sebelum benar-benar masuk kedalam medulla spinalis. Ketidakcocokan akan
lebih jelas kearah kaudal dari cedera. Pada saat pengelolaan awal level
kerusakan menunjuk pada kelainan tulang, cedera yang dimaksudkan level
neurologist.

B. Beratnya Defisit Neurologis


Cedera medulla spinalis dapat dikategorikan sebagai paraplegia tidak
komplit, paraplegia komplit, kuadriplegia tidak komplit, dan kuadraplegia
komplit. Sangat penting untuk menilai setiap gejala dari fungsi medulla
spinalis yang masih tersisa. Setiap fungsi sensoris atau motoris dibawah level
cedera merupakan cedera yang tidak komplit. Yang termasuk dalam cedera
tidak komplit adalah :
1. Sensasi (termasuk sensasi posisi) atau gerakan volunteer pada
ekstremitas bawah.
2. Sakra l sparing, sebagai contoh: sensasi perianal, kontraksi sphincter
ani secara volunter atau fleksi jari kaki volunter.
Suatu cedera tidak dikualifikasikan sebagai tidak komplit hanya
dengan dasar adanya reservasi refleks sacral saja, misalnya
bulbocavernosus, atau anal wink. Refleks tendo dalam juga mungkin
dipreservasi pada cedera tidak komplit.

C. Spinal Cord Syndrome


Beberapa tanda yang khas untuk cedera neurologist kadang-kadang
dapat dilihat pada penderita dengan cedera medulla spinalis. Pada sentral cord
syndrome yang khas adalah bahwa kehilangan tenaga pada ekstremitas atas,
lebih besar dibanding ekstremitas bawah, dengan tambahan adanya
kehilangan adanya sensasi yang bervariasi. Biasanya hal ini terjadi cedera
hiperekstensi pada penderita dengan riwayat adanya stenosis kanalis sevikalis
(sering disebabkan oleh osteoarthritis degeneratif). Dari anamnesis umumnya
ditemukan riwayat terjatuh ke depan yang menyebabkan tumbukan pada
wajah yang dengan atau tanpa fraktur atau dislokasi tulang servikal.

9
Penyembuhannya biasanya mengikuti tanda yang khas dengan
penyembuhan pertama pada kekuatan ekstremitas bawah. Kemudian fungsi
kandung kemih lalu kearah proksimal yaitu ekstremitas atas dan berikutnya
adalah tangan. Prognosis penyembuhannya sentral cord syndrome lebih baik
dibandingkan cedera lain yang tidak komplit. Sentral cord syndrome diduga
disebabkan karena gangguan vaskuler pada daerah medulla spinalis pada
daerah distribusi arteri spinalis anterior. Arteri ini mensuplai bagian tengah
medulla spinalis. Karena serabut saraf motoris ke segmen servikal secara
topografis mengarah ke senter medulla spinalis, inilah bagian yang paling
terkena.
Anterior cord syndrome ditandai dengan adanya paraplegia dan
kehilangan dissosiasi sensoris terhadap nyeri dan sensasi suhu. Fungsi
kolumna posterior (kesadaran posisi, vibrasi, tekanan dalam) masih
ditemukan. Biasanya anterior cord syndrome disebabkan oleh infark medulla
spinalis pada daerah yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Sindrom
ini mempunyai prognosis yang terburuk diantara cidera inkomplik.
Brown Sequard Sydrome timbul karena hemiksesi dari medulla
spinalis dan akan jarang dijumpai. Akan tetapi variasi dari gambaran klasik
cukup sering ditemukan. Dalam bentuk yang asli syndrome ini terdiri dari
kehilangan motoris opsilateral (traktus kortikospinalis) dan kehilangan
kesadaran posisi (kolumna posterior) yang berhubungan dengan kehilangan
disosiasi sensori kontralateral dimulai dari satu atau dua level dibawah level
cedera (traktus spinotalamikus). Kecuali kalau syndrome ini disebabkan oleh
cedera penetrans pada medulla spinalis, penyembuhan (walaupun sedikit)
biasanya akan terjadi.

D. Morfologi
Cedera tulang belakang dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi,
cedera medulla spinalis tanpa abnormalitas radiografik (SCIWORA), atau
cedera penetrans. Setiap pembagian diatas dapat lebih lanjut diuraikan
sebagai stabil dan tidak stabil. Walaupun demikian penentuan stabilitas tipe
cedera tidak selalu sederhana dan ahlipun kadang-kadang berbeda pendapat.

10
Karena itu terutama pada penatalaksanaan awal penderita, semua penderita
dengan deficit neurologist,harus dianggap mempunyai cedera tulang belakang
yang tidak stabil. Karena itu penderita ini harus tetap diimobolisasi sampai
ada konsultasi dengan ahli bedah saraf/ ortofedi.
Cedera servikal dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi dari
mekanisme cedera:
(1) pembebanan aksial (axial loading),
(2) fleksi,
(3) ekstensi,
(4) rotasi,
(5) lateral bending, dan
(6) distraksi.
Cedera yang mengenai kolumna spinalis akan diuraikan dalam urutan
anatomis, dari cranial mengarah keujung kaudal tulang belakang.
 Dislokasi atlanto – oksipita (atlanto – occipital dislokatiaon)
Cedera ini jarang terjadi dan timbul sebagai akibat dari
trauma fleksi dan distraksi yang hebat. Kebanyakan penderita
meninggal karena kerusakan batang otak. Kerusakan neurologist
yang berat ditemukan pada level saraf karanial bawah.kadang –
kadang penderita selamat bila resusitasi segera dilakukan ditempat
kejadian.
 Fraktur atlas (C-1)
Atlas mempunyai korpus yang tipis dengan permukaan
sendi yang lebar. Fraktur C-1 yang paling umum terdiri dari burst
fraktur (fraktur Jefferson). Mekanisme terjadinya cedera adalah
axial loading, seperti kepala tertimpa secara vertikal oleh benda
berat atau penderita terjatu dengan puncak kepala terlebih dahulu.
Fraktur jefferson berupa kerusakan pada cincin anterior maupun
posterior dari C-1, dengan pergeseran masa lateral. Fraktur akan
terlihat jelas dengan proyeksi open mouth dari daerah C-1 dan C-2
dan dapat dikomfirmasikan dengan CT Scan. Fraktur ini harus
ditangani secara awal dengan koral sevikal.

11
 Rotary subluxation dari C-1
Cedera ini banyak ditemukan pada anak –anak. Dapat
terjadi spontan setelah terjadi cedera berat/ ringan, infeksi saluran
napas atas atau penderita dengan rematoid arthritis. Penderita
terlihat dengan rotasi kepala yang menetap. .pada cedera ini jarak
odontoid kedua lateral mass C-1 tidak sama, jangan dilakukan
rotasi dengan paksa untuk menaggulangi rotasi ini, sebaiknya
dilakukan imobilisasi. Dan segera rujuk.
 Fraktur aksis(C-2)
Aksis merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyai
bentuk yang istimewah karena itu mudah mengalami cedera.
1. fraktur odontoid
Kurang 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid suatu
tonjolan tulang berbentuk pasak. Fraktur ini daoat
diidentifikasi dengan foto ronsen servikal lateral atau buka
mulut.
2. Fraktur dari elemen posterior dari C-2
Fraktur hangman mengenai elemen posterior C-2, pars
interartikularis 20 % dari seluruh fraktur aksis fraktur
disebabkan oleh fraktur ini. Disebabkan oleh trauma tipe
ekstensi, dan harus dipertahankan dalam imobilisasi
eksternal.
 Fraktur dislocation ( C-3 sampai C-7)
Fraktur C-3 sangat jarang terjadi, hal ini mungkin
disebabkan letaknya berada diantara aksis yang mudah mengalami
cedera dengan titik penunjang tulang servikal yang mobile, seperti
C-5 dan C-6, dimana terjadi fleksi dan ekstensi tulang servikal
terbesar.
 Fraktur vertebra torakalis ( T-1 sampai T-10)
Fraktur vertebra Torakalis dapat diklasifikasikan menjadi 4
kategori : (1) cedera baji karena kompresi bagian korpus anterior,
(2) cedera bursi, (3) fraktur Chance, (4) fraktur dislokasi.

12
Axial loading disertai dengan fleksi menghasilkan cedera kompresi
pada bagian anterior. Tip kedua dari fraktur torakal adalah cedera
burst disebabkan oleh kompresi vertical aksial. Fraktur dislokasi
relative jarang pada daerah T-1 sampai T-10.
 Fraktur daerah torakolumbal (T-11 sampai L-1) fraktur lumbal
Fraktur di daerah torakolumbal tidak seperti pada cedera
tulang servikal, tetapi dapat menyebabkan morbiditas yang jelas
bila tidak dikenali atau terlambat mengidentifikasinya. Penderita
yang jatuh dari ketinggian dan pengemudi mobil memakai sabuk
pengaman tetapi dalam kecepatan tinggi mempunyai resiko
mengalami cedera tipe ini. Karena medulla spinalis berakhir pada
level ini , radiks saraf yang membentuk kauda ekuina bermula pada
daerah torakolumbal

2.4 Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan
kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak
selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung
bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut
“whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsofleksi dan anterofleksi
berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah
maupun torakalis bawah misalnya pada waktu duduk dikendaraan yang sedang
cepat berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari
jarak tinggi menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,
hiperfleksi, tekanan vertikal (terutama pada T12 sampai L2), rotasi. Kerusakan
yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap Akibat
trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk
sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam
beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema, perdarahan peri
vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis

13
yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang
belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan
/menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa
medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa,
hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia adalah perdarahan dalam
medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.
Trauma ini bersifat “whiplash“ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan
berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi
medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh
penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra
meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang
terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis. Gejala yang didapat sama
dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam
kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis
dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis. Pada trauma whislap, radiks columna 5-
7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler
spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersebut disebut hematorasis atau
neuralgia radikularis traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma
tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah
radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T8 atau T9 yang
akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma dan
apakah trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi
berdasarkan lokasi trauma :

14
 Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal
 Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah;
kehilangan refleks brachioradialis
 Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi siku
masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep
 Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
 C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki
 Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
 T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut
 Cauda equina
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan usually pain and
hyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder
 S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total
Bila terjadi trauma spinal total atau complete cord injury, manifestasi yang
mungkin muncul antara lain total paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas
refleks (Merck,2010).

15
Gambar 2.3 Efek Trauma Spinal

2.6 Komplikasi
a. Neurogenik shock.
b. Hipoksia.
c. Gangguan paru-paru
d. Instabilitas spinal
e. Orthostatic Hipotensi
f. Ileus Paralitik
g. Infeksi saluran kemih
h. Kontraktur
i. Dekubitus
j. Inkontinensia blader
k. Konstipasi

16
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
1. X-Ray spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau
dislokasi)
2. CT Scan: untuk menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan
struktural.
3. MRI: untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan kompresi
4. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
patologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub
arakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
5. Foto rongent thorak: mengetahui keadaan paru (contoh : perubahan pada
diafragma, atelektasis)
6. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian
bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot
interkostal).
7. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

2.8 Penatalaksanaan Cedera Medulla Spinalis (Fase Akut)


Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medulla spinalis
lebih lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis.
Lakukan resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan
kardiovaskuler.
Farmakoterapi: Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan
edema medula.
 Airway
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar
dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita
yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya

17
pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan
jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu
tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher.
Dalam hal ini, dapat dilakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan
hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat
dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia.
Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa
orofaring.
 Breathing
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan
napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2 dapat
diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala
berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi
yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
 Sirkulasi
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi. Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah
mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur
kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh,
dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya
dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang
adekuat.
Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan
tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik
lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka
tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba
pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada
perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka.
Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%,
sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu,
karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak

18
dibandingkan keadaan edema otak akibat pemberian cairan yang berlebihan.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down
(kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di
kepala dan menaikkan tekanan intrakranial (Idmgarut,2009).

19

Anda mungkin juga menyukai