Anda di halaman 1dari 5

Inilah Sosok yang Banyak Menulis tentang Tana Luwu

Catatan Jelang Hari Jadi Luwu dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu

Hari Jadi Luwu ke-752 dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu ke-74, sebentar lagi akan
dirayakan. Perayaan tahun ini rencananya akan dilaksanakan di Luwu Timur sebagai salah
satu daerah yang dulunya berada dalam wilayah Kabupaten Luwu.

Seperti diketahui perayaan Hari Jadi Luwu dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu telah
disepakati untuk dilaksanakan secara bergantian oleh masing-masing kabupaten/kota yang
berada di wilayah Kedatuan Luwu, khususnya wilayah hasil pemekaran Kabupaten Luwu
yakni Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur.

Besarnya wilayah kabupaten Luwu membuat daerah ini telah dimekarkan dan menjadi 4
kabupaten/kota. Untuk diketahui, pada masa lampau Luwu merupakan sebuah kerajaan
besar, khususnya di Sulawesi Selatan. Bahkan berdasarkan berbagai literatur disebutkan
bahwa Luwu merupakan kerajaan tertua yang ada di jazirah Sulawesi.

Sebagai sebuah kerajaan besar dan tertua tentunya Luwu menyimpan berbagai khazanah,
khususnya sejarah dan kebudayaan yang belum digali dengan baik. Sementara di sisi lain,
sumber-sumber tentang Luwu cukup sulit ditemukan.

Ditambah lagi perhatian pemerintah masih dianggap minim dalam mendukung penggalian
data-data sejarah dan kebudayaan Luwu. Belum lagi jika data-data tersebut harus
diproduksi menjadi sebuah buku. Jika pun dilaksanakan, secara kualitas dan kuantitas
masih jauh dari harapan.

Realitas ini memang cukup memprihatinkan. Terlebih jika melihat masih kurangnya animo
masyarakat Luwu, khususnya generasi muda untuk membaca dan mengapresiasi karya-
karya tentang Luwu.

Karena itu, dalam rangka memperingati Hari Jadi Luwu ke-752 dan Hari Perlawanan Rakyat
Luwu ke-74 ini pemerintah di empat kabupaten/kota seyogyanya kembali memberikan
perhatian terhadap penggalian dan produksi pengetahuan sejarah dan budaya Luwu. Tentu
bukan hanya sebatas retorika semata yang hanya untuk konsumsi pidato atau media.

Sosok yang banyak menulis tentang Luwu

Dari segelintir orang Luwu yang menulis tentang Tana Luwu, nama Idwar Anwar merupakan
penulis yang paling banyak menulis tentang Tana Luwu. Siapa sebenarnya sosok ini?

Berdasarkan data yang arung.co peroleh dari dari situs www.idwaranwar.com , Wija To
Luwu yang dikenal sebagai penulis, wartawan, sastrawan, budayawan dan juga politisi
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, lahir 6 Oktober di Kota Palopo, ibu kota terakhir
Kedatuan Luwu.
Lelaki yang akrab disapa Edo ini menyelesaikan pendidikannya di SD Negeri 77 Palopo,
SMP Negeri 3 Palopo dan SMA Negeri 2 Palopo. Idwar kemudian hijrah ke Makassar untuk
kuliah di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.

Sejak mahasiswa aktif di berbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus antara lain;
sebagai Ketua Himab Unhas, Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Unhas, Aliansi
Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD), dan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Unhas.

Idwar juga pernah menjadi Presidium Pusat Aktivis 98 (PENA 98), Pengurus KNPI Sulsel
(2010-2013), Sekretaris Panitia Seminar Internasional La Galigo di Barru (2002) dan
Masamba (2003), menjadi Tim Perumus Temu Budaya Nusantara Dialog Budaya Nusantara
(2002), Peserta Mufakat Budaya Indonesia (2018), bahkan sempat menjadi Dosen Luar
Biasa di almamaternya. Dan kini sebagai Pembina Posko Perjuangan Rakyat (POSPERA)
Sulsel.

Di dunia politik, Idwar pernah menjadi Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Palopo,
Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Palopo (2010-2015) dan Anggota BP Pemilu DPD PDI
Perjuangan Sulsel. Saat ini ia aktif sebagai Sekretaris DPD Banteng Muda Indonesia Sulsel
(2017-2020) dan anggota Komite Kehormatan DPD PDI Perjuangan Sulsel (2015-2020).

Selain aktif berorganisasi, sejak mahasiswa sampai saat ini Idwar aktif menulis dan ratusan
tulisannya dimuat di berbagai media, berupa artikel, resensi buku, esai, puisi dan cerpen.
Naluri menulis juga tersalurkan di dunia jurnalistik dengan menjadi wartawan dan redaktur di
beberapa media.

Aktif dalam dunia literasi, Idwar mendirikan Rumah Baca Arung, menjadi pemateri dalam
berbagai acara bedah buku, pelatihan jurnalistik dan penulisan kreatif, serta menjadi
pengurus lembaga pengembangan minat baca. Diantaranya, menjadi Ketua Gerakan
Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Palopo (2011-2014), Ketua Asosiasi Penulis
Profesional Indonesia Palopo, Pengurus GPMB Provinsi Sulsel, dan pengurus Ikatan
Penerbit Indonesia (IKAPI) Sulsel.

Dalam dunia kesenian dan kebudayaan, Idwar kerap membacakan karya-karyanya di


berbagai tepat. Aktif sebagai Ketua Dewan Kesenian Palopo (2005-2015) dan di LAPAKSS -
Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Indonesia Sulsel (2017-2021).

Selain karya-karyanya tentang Luwu, Idwar juga menerbitkan Kumpulan Cerpen, antara lain
Mata Ibu, Kota Tuhan, dan Ibu, Temani Aku Menyulam Surga. Juga Kumpulan Sajak Zikir
dan Kado Cinta. Menulis beberapa buku biografi dan profil antara lain, Profil Anggota DPRD
Palopo 2009-2014 dan 2014-2019, Profil Anggota DPRD Majene 2014-2019, Profil Anggota
DPRD Selayar 2009-2014, Profil Anggota DPRD Enrekang 2014-2019, H.M Yunus Kadir:
Nurani Muhammadiyah, dan Wayan Koster: Tulus Mengabdi untuk Bali.

Idwar ikut dalam beberapa buku antologi bersama, baik cerpen maupun puisi, antara lain
Melerai Jarak (Antologi Cerpen) dan Antologi Puisi Bersama, Kata-kata yang Tak
Menua, Janji di Bulan Desember, Tentang Yang, Kuantar Kau ke Makassar, Mendengar
Tangis I La Galigo dan Bertemu dan Saat Berjumpa di Kertas.

Menjadi penulis/kontributor/editor pada beberapa buku, antara lain Husni Djamaluddin yang
Saya Kenal: Catatan dari teman-teman, Biografi Guru-guru Besar Universitas Hasanuddin,
La Galigo: Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia. Tercatat dalam buku 50 Seniman
Sulawesi Selatan dan Karyanya dan buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia yang
diterbitkan Yayasan Puisi Indonesia (2017).
Idwar Anwar bahkan tercatat sebagai penulis yang pertama kali melakukan penulisan
ulang Epos La Galigo menjadi Novel Populer yang rencananya sebanyak 12 jilid. Ia
juga menjadi orang pertama yang menyusun Ensiklopedi Sejarah Luwu dan
Ensiklopedi Kebudayaan Luwu.

Menjadi pemerakarsa/pelopor sekaligus orang yang pertama kali menyusun dan


menerbitkan Buku Pelajaran Muatan Lokal (MULOK) Sejarah dan Kebudayaan Luwu
untuk tingkat SD, SMP dan SMA yang saat ini dipelajari dihampir semua sekolah se Tana
Luwu.

Beberapa penghargaan yang pernah diraihnya antara lain, sebagai Pemuda Berprestasi di
Bidang Kebudayaan tahun 2009, Penghargaan Bidang Kepemudaan dari Pemerintah
Kota Palopo tahun 2014 dan Penggiat Literasi dari Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan 2018.

Buku-buku Tentang Luwu yang Ditulisnya

Sebagai putra yang lahir di Tana Luwu, Idwar Anwar memang telah berkomitmen untuk
menulis buku apa saja tentang tanah kelahirannya. Dalam sebuah wawancara dengan
Arung.co, Idwar menyebutkan, apa yang dilakukannya merupakan upaya untuk membayar
utang kulturanya.

“Sebagai orang yang lahir dan besar di Tana Luwu, tentu saya memiliki utang kultural yang
harus saya tuntaskan sesuai kemampuan yang saya miliki. Karena itulah, melalui dunia tulis
menulis yang selama ini saya geluti, saya berkomitmen untuk menuliskan berbagai hal
tentang Luwu, utamanya mengenai sejarah dan budaya serta berbagai kekayaan nilai
tradisional yang dimiliki maskarakat Luwu,” ungkapnya.

Karena komitmen itulah, Idwar senantiasa menyempatkan diri untuk menulis sesuatu
tentang Luwu. Beberapa karyanya tentang Luwu antara lain; Belanda dan Kekejamannya di
Luwu, Jepang dan Kekejamannya di Luwu, Kelaskaran di Tana Luwu, Mesjid Jami’ Palopo,
Sejarah Pendidikan di Luwu, Palopo Tempo Doeloe, Jatuhnya Benteng Batu Pute, Maccera’
Tasi: Ritual Penghormatan Pada Alam Semesta di Tana Luwu, dan Sejarah Luwu: Catatan
Ringkas Sejarah Luwu Sebelum Kemerdekaan.

Buku berupa novel yakni Novel Merah di Langit Istana Luwu; Novel Opu Daeng Risaju dan
Novel Andi Jemma. Novel Merah di Langit Istana Luwu merupakan novel pertama yang
berlatar belakang peristiwa 23 Januari 1946. Dengan konsep ini Idwar menawarkan
pembelajaran sejarah Luwu melalui novel. Demikian halnya dengan Novel Opu Daeng
Risaju dan Andi Jemma yang disebutnya sebagai A Historical of Novel.

Karya lain berupa novel yaitu La Galigo: Turunnya Manusia Pertama (Jilid 1); La Galigo:
Mutiara Tompoq Tikkaq (jilid 2) dan La Galigo: Lahirnya Kembar Emas (jilid 3). Karya
merupakan karya yang diangkat dari Sureq Galigo.

Dan Idwar menjadi orang pertama yang menjadi Sureq Galigo menjadi sebuah novel.
Semangatnya adalah untuk mendekatkan masyarakat, khususnya generasi muda dengan
karya terpanjang di dunia itu. Karenanya, novel ini lebih mudah dibaca dan dipahami.

Adapula Kumpulan Cerita Rakyat Tana Luwu (Jilid 1). Buku ini juga merupakan buku
pertama yang memuat cerita rakyat Luwu dalam sebuah buku.
Buku lainnya, Perang Kota: Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946 dan Jejak-Jejak
Suara Rakyat Menelusuri Sejarah DPRD Kota Palopo.

Buku Perang Kota merupakan buku pertama yang memuat khusus tentang peristiwa
perlawanan rakyat Luwu pada 23 Januari 1946. Demikian pula dengan buku Jejak Suara
Rakyat yang merupakan buku pertama yang memuat tentang sejarah DPRD Luwu,
khususnya Kota Palopo.

Terdapat pula buku Palopo dalam Spektrum Waktu. Buku ini merupakan buku pertama yang
memuat sejarah perkembangan kota yang bersumber dari penutur yang hidup pada
masanya masing-masing. Buku ini sederhana tapi unik, sehingga enak dibaca dan
menampilkan data otentik tentang suasana Kota Palopo dalam beberapa masa.

Ensiklopedi Sejarah Luwu (2005) dan Ensiklopedi Kebudayaan Luwu (2006). Kedua buku ini
juga menjadi buku ensiklopedi pertama tentang sejarah dan kebudayaan Luwu. Buku ini
cukup tebal, kurang lebih 600 an halaman dan memuat ribuan entri tentang peristiwa
sejarah, tokoh dan anasir kebudayaan Luwu.

Dan buku yang terakhir adalah Buku-buku Pelajaran Mulok Sejarah dan Kebudayaan
Luwu untuk SD, SMP dan SMA. Buku ini pun merupakan buku pertama yang berformat
buku pelajaran Muatan Lokal Sejarah dan Kebudayaan Luwu. Buku ini awalnya dipelajari
dihampir semua sekolah di Tana Luwu.

Namun dengan berbagai alasan, sampai saat ini mungkin hanya beberapa sekolah yang
mengajarkannya. “Jadi, jika ada yang mengatakan buku pelajaran Sejarah dan Kebudayaan
Luwu belum ada, itu ada dua kemungkinan. Apakah mereka berbohong dengan macam-
macam alasan atau memang mereka tidak mengetahuinya,” ungkap Idwar. (ed)

Idwar Anwar yang dikenal sebagai seniman dan budayawan Luwu ini selama ini memang
memiliki komitmen dalam mengangkat berbagai khazanah kekayaan sejarah dan budaya
yang dimiliki Tana Luwu. Ini terbukuti dengan puluhan buku yang telah ditulis dan
diterbitkannya. Belum lagi berbagai tulisan yang tersebat di berbagai media tentang Luwu.

Bahkan Idwar menjadi penggagas dan penulis pertama Buku Teks Pelajaran Sejarah dan
Kebudayaan Luwu yang dipelajari di sekolah-sekolah mulai tingkat SD/MI, SMP/MTs hingga
SMA/SMK di Tana Luwu. Buku ini telah dipelajari di beberapa sekolah di seluruh Tana Luwu
yakni Kota Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, dan Kabupaten Luwu Timur.

“Buku itu merupakan buku teks pelajaran pertama di Tana Luwu tentang sejarah dan
kebudayaan Luwu yang diajarkan di sekolah-sekolah di Tana Luwu,” jelas Idwar.
Idwar Anwar menulis dan menerbitkan tiga buah buku sebagai kado perayaan hari penting
dalam sejarah perjalanan Tana Luwu. Ketiga buku itu yakni Ensiklopedi Sejarah Luwu (cetak
ulang), Perang Kota: Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946 dan Merah di Langit Istana
Luwu.

Baca juga: Idwar: 23 Januari Collective Memories Rakyat Luwu

Menurut salah satu tokoh muda kelahiran Palopo ini, ketiga buku tersebut merupakan
beberapa di antara hasil karyanya tentang Luwu. Buku Ensiklopedi Sejarah Luwu
merupakan buku yang ditulisnya dan diterbitkan pada 2005 yang kemudian diterbitkan
ulang.

“Buku ini memang merupakan cetakan ulang.Terbitan sebelumnya banyak beredar di luar
Luwu. Banyak yang selalu bertanya tentang buku itu, makanya diterbitkan ulang. Buku ini
juga merupakan buku ensiklopedi pertama tentang sejarah Luwu,” ungkap Idwar.

Selain itu, Idwar juga menulis buku Perang Kota, Perlawanan Raryat Luwu 23 Januari 1946
dan Merah di Langit Istana Luwu. Buku Perang Kota merupakan buku pertama yang
mengangkat khusus mengenai perlawanan rakyat Luwu pada 23 Januari 1946 silam. Buku
ini juga sudah dicetak dan beredar ribuan eksemplar.

Baca juga: Luwu: Merentas Jagad Kebudayaan

Sementara buku terakhir yang ditulis Idwar berjudul Merah di Langit Istana Luwu merupakan
sebuah novel yang berlatar perlawanan rakyat Luwu. Berdasarkan penuturan Idwar, buku ini
ditulis sebagai upaya untuk lebih mendekatkan masyarakat, khususnya generasi muda
dengan sejarah Luwu.

“Melalui novel, saya berharap pengenalan sejarah Luwu bisa semakin diketahui oleh
masyarakat, khususnya bagi generasi muda. Model ini memang cukup baik sebagai upaya
pengenalan sejarah Luwu di kalangan muda,” ujar mantan Sekretaris DPC PDI Perjuangan
Kota Palopo ini.

Disebutkan pula, upaya yang selama ini dilakukannya memang merupakan perjuangan yang
harus terus dilakukannya. Kecintaannya pada tanah kelahirannya membuat Sekretaris
Banteng Muda Indonesia (BMI) Sulsel ini terus berupaya mengangkat dalam karya-karyanya
berbagai khazanah tentang Luwu, sebuah kerajaan besar dan tertua, khususnya di Sulsel.

“Bagi saya, komitmen itu sampai saat ini belum pudar. Ini tanggungjawab, sekaligus utang
kultural saya sebagai orang yang lahir dan besar di Tana Luwu yang harus dibayar dengan
berbuat yang terbaik. Saya tidak punya kekayaan, jabatan atau hal lain yang bisa saya
berikan, kecuali kemampuan menulis itu. Jadi hanya itu yang bisa saya berikan,”
pungkasnya. (ed)

Anda mungkin juga menyukai