Exit Price Accounting merupakan sistem akuntansi yang menggunakan harga jual untuk
mengukur posisi keuangan dan kinerja suatu badan usaha/perusahaan. Menurut Edwards and
Bell (1961) exit value adalah harga maksimum dari aset yang saat ini ditahan apabila dijual dan
dikurangi dengan biaya transaksi. Dengan sebutan lain exit value disebut juga dengan nilai
realisasi bersih (net relizable value) dari asset.
A. SUPPORT
1. MacNeal’s Argument
MacNeal berpendapat bahwa laporan keuangan yang berbasis pada biaya historis tidak
mampu memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan pemegang saham, sehingga para
akuntan ditutntut untuk menyesuaiakan dengan kebutuhan pemegang saham akan inforrmasi,
yauitu informasi mengenai kekayaan bersih dan perubahannya dalam periode tertentu. Secara
ideal, solusinya adalah para akuntan melaporakan seluruh laba atau rugi karena aktivitas
perusahaan dan melaporkan nilai aset secara selektif sesuai dengan harga pasar dalam kondisi
persaingan.
Raymond Chamber dan Robert Sterling berpendapat bahwa exit value memiliki pertalian
keputusan. Karenanya selama periode akuntansi, manajemen memutuskan untuk
mempertahankan, menjual, atau menggantikan aktivanya. Manajemen menyatakan bahwa exit
value menyediakan informasi yang lebih baik bagi pengguna untuk mengevaluasi likuiditas dan
kemampuan perusahaan untuk membiasakan mengubah rangsangan ekonomi. Karena
manajemen memiliki pilihan untuk menjual aktiva, maka exit price memberikan titk tengah
taksiran risiko.
Sterling (1970) percaya bahwa tidak ada satu metode pun yang tepat untuk menentukan
laba, sebab masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Sterling berfikir untuk menemukan
metode terbaik apa yang dapat digunakan untuk mengukur laba. Menurut Sterling kandungan
informasi akuntansi yang ada di dalam laporan keuangan tetap harus memiliki kualitas reliabel
dan relevan. Kualitas informasi yang relevan sangat dibutuhkan ketika keadaan pasar produk
dalam kondisi bersaing. Dalam hal ini Sterling berpendapat bahwa pemakai laporan keuangan
yang berbeda memiliki masalah yang berbeda, sehingga calon keputusan pun berbeda.
Kesimpulannya adalah metode penilaian apa yang akan digunakan, tergantung dari calon
keputusan para pemakai laporan keuangan
4. Other Features
1. Additivity
Chamber menyatakan bahwa penyajian laporan keuangan yang disesuaikan menjadi exit price
mendukung CoCoA. Posisi keuangan pada suatu saat menunjukkan hubungan antara aset dan
sumbernya (kewajiban). Kewajiban disajikan dengan setara uang tunai sekarang sebagai
tandingannya set juga disajikan juga dengan setara dengan uang tunai beli sekarang (current
cash Equivalent). Current cash equivalent menurut Chambler adalah exit price.
2. Allocation
Menurut Thomas (1974:112-114) laporan keuangan penuh dengan alokasi, tetapi laporan laba
rugi bukan perubahan karena alokasi tetapi perubahan aset dan kewajiban menjadi harga jual
dalam satu periode tertentu. Laba bersih menunjukkan jumlah perubahan daya beli aset. Laba
bersih menunjukkan jumlah perubahan (tidak termasuk tambahan investasi dan pengurangan
investasi oleh pemegang saham). Perubahan-perubahan ini menurut Thomas tidak harus dari
hasil operasi, tetapi juga selisih harga historis dengan xit price.
3. Reality
Exit price adalah kenyataan. Pernyataan-pernyataan tidak perlu dibuat karena setiap nilai
menunjukkan kondisi yang nyata. Didalam akuntansi konvensional penyusuna aktiva tetap
merupakan alokasi biaya harga beli aktova tetap yang dialokasikan secara periodik dan
dibebankan pada pendapatan. Perlakuan ini tidak sesuai dengan kenyataan, sebab pada
kenyataannya nilai aktiva tetap justru naik. Bila mengalami penurunan, maka seharusnya yang
menjadi beban biaya adalah selisih antara historis dengan harga barunya (exit price).
4. Objectivity
Sering orang mengatakan bahwa harga pasar (exit price) tidak objektif. Berdasarkan penelitian
menunjukkan bahwa exit price justru lebih objektif. Parker (1975) melakukan penelitian
mengenai kualitas daya banding informasi akuntansi dan kualitas informasi akuntansi yang
objektif antara penggunaan harga historis (nilai buku) dengan exit price.
B. CRITICISMS
1. Profit Concept
Yang diinginkan oleh pemegang saham dari laporan keuangan adalah menjawab 5 pertanyaan
berikut:
a. Bagaimana agar perusahaan dapat tampak lebih baik dari periode sebelumnya
b. Bagaimana perusahaan mencapainya, apa yang dikerjakan oleh manajemen, bagaimana
manajemen mengerjakannya, apakah terdapat aspek-aspek kinerja yang menonjol
secara menyakinkan misal bidang produksi, pemasaran dan lain-lain fungsi perusahaan
c. Bagaimana kinerja perusahaan bila dibanding dengan perusahaan yang lain yang sama
d. Apa yang dikerjakan perusahaan untuk masa yang akan datang
e. Bagaimana dapat menghasilkan manfaat bagi pemegang saham
Dalam mejawab kelima pertanyaan tersebut, solusi exit price tidak relevan, karena tidak
memberi informasi mengenai laba perusahaan. Weston (dalam Sterling) mengatakan bahwa
exit price hanya cocok apabila perusahaan direncanakan untuk dilikuidasi. Apabila tidak maka
informasi exit price tidak relevan. Namun penggunaan exit price dengan alasan realistis tealh
dikemukakan oleh Chambler yang menyampaikan konsep alaba. Bell (1971:27-28) didukung
oleh Sterling (1970) dan Mattesaich (1971) mendukung exit price dengan fokus pada
perencanaan jangka panjang perusahaan yang disajikan dengan exit prixe dianggap relevan
karena mencerminkan pengembalian kas di masa yang akan datang (cash Equivalent).
Para pendukung exit price menyatakan bahwa dalam pengukuran akuntansi, jika ingin bersifat
objektif, harus berdasarkan kejadian masa lampau dan saat ini. Perhitungan antisipatif tidak
dapat ditambahkan bersama-sama. Bagaimanapun kritikus menunjukkan bahwa pendapat
Chamber mengenai current cash equivalent of assets ditentukan pada asumsi dari likuidasi
bertahap dan teratur. Jika itu terjadi, sesuatu tentang masa depan diasumsikan ketika current
cash and equivalent dicatat pada tanggal neraca. Realizable value untuk aset yang yang harus
dijual langsung dalam likuidasi, mungkin menyimpang jauh dari likuidasi yang bertahap. Jika
pada kenyataannya, antisipasi tidak dapat dihindari dalam memastikan current cash equivalent,
sehingga model exit price melanggar prinsip dari exclusion of anticipatory calculations.
Larson dan Schattke telah menyatakan bahwa cash equivalents dari aset individual dijual secara
terpisah dan aset yang sama dijual sepaket mungkin cukup berbeda. Faktor intangible dikaitkan
hanya denan gabungan set aset. Berdasarkan argument, cash equivalent dari aset dapat cukup
berbeda, bergantung pada prosedur yang digunakan dalam menjual. Larson dan Shattke
menyimpulkan bahwa current cash equivalents tidak aditif. Begitu pula teori Chamber tidak
mengakui kemampuan dari perusahaan untuk beradaptasi dalam hal kombinasi aset. Exit price
accounting, seperti yang diusulkan Chambers dan Sterling, tidak memberikan pertimbangan
cukup untuk faktor intangible.
4. Other weaknesses
Kelemahan exit value, seperti halnya entry prices, penentuan exit value juga mengakibatkan
masalah pengukuran, yakni :
• Masalah dasar penentuan harga jual untuk aktiva, seperti properti, tanah, dan
peralatan, dimana tidak terdapat pasar.
• Gagasan bahwa exit price harus didasarkan pada harga yang timbul dari penjualan pada
kondisi bisnis normal, bukan atas paksaan likuidasi, sulit diterapkan pada aktiva tetap.
• Exit price atau selling price tidak konsisten dengan physical capital maintenance
concepts. Exit price adalah jenis dari opportunity cost, yang mengukur pengorbanan
dari menahan aktiva daripada biaya yang diperkirakan untuk menggantinya. Sementara
itu, pemeliharaan modal fisik didasarkan pada konsep keberlangsungan, bukan likuidasi.