Percakapan dengan
Abdul Moqsith Ghazali
7220 b
a
Abdul Moqsith Ghazali
a 73
b
Membela Kebebasan Beragama
Tetapi pada masa kemudian muncul kelompok seperti Khawarij yang meng-
haruskan putusan hukum berdasarkan hukum Tuhan, jika tidak akan di-
anggap sebagai kafir, sebagaimana telah ditetapkan dalam al-Quran. Apakah
itu bukan preseden ke arah adanya fondasi teologis bagi negara Islam?
Ayat itu turun bukan dalam rangka menjadikan hukum Tuhan sebagai
hukum positif negara, melainkan lebih bergerak pada jalur kultural. Orang
yang mengaku beragama Islam tentu harus menerapkan hukum-hukum
74
ab
Abdul Moqsith Ghazali
dasar Islam seperti salat dan lain-lain. Namun demikian, ayat ini tidak
diniatkan untuk memformalisasi hukum atau syariat Islam. Menurut saya,
apa yang dilakukan kelompok Khawarij adalah soal interpretasi terhadap
doktrin. Mengapa demikian? Karena banyak sekali ayat di dalam al-Quran
yang semula tidak diniatkan untuk kepentingan politik, belakangan
berubah menjadi landasan untuk melegitimasi kepentingan politik. Kata
khilâfah yang terdapat di dalam
al-Quran tidak dimaksudkan
untuk mendirikan khilâfah Kalau kita cari dari 47 atau 48 pasal
islâmiyah. Konsep khilâfah itu dalam Piagam Madinah tidak
sendiri sesungguhnya baru mun- ditemukan satu kutipan pun yang
cul belakangan. Jadi, karena per- berasal dari al-Quran. Hal ini
timbangan politik dan lain-lain menunjukkan bahwa dasar Piagam
konsepsi khilâfah islâmiyah bisa Madinah sama sekali bukan
saja dimunculkan. Bahkan kata pertimbangan keagamaan, melainkan
al-khulafâ’ al-râsyidûn yang di- pertimbangan politis.
klaim berdasar Hadits, setelah
saya cek, ternyata tidak pernah
diungkapkan oleh Nabi, tetapi muncul belakangan, tepatnya pada zaman
Umar bin Abdul Azis.
Sejak awal kita tidak pernah tahu apa sesungguhnya ‘jenis kelamin’ Indo-
nesia, apakah negara sekular atau negara agama. Banyak pihak mengatakan
bahwa dengan adanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Indonesia adalah
negara agama, dengan demikian agama pun masuk ke dalam konstitusi
negara. Sementara ada pihak lain yang mengatakan bahwa Indonesia
adalah negara sekular. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?
a 75
b
Membela Kebebasan Beragama
Lantas sebutan yang tepat untuk Indonesia ini negara seperti apa? Apakah
ada model baru untuk menjelaskan posisi Indonesia dalam konteks relasi
agama dan negara?
Model seperti ini, saya kira, khas Indonesia. Pada negara-negara lain
tidak ada prototipe negara seperti Indonesia yang di dalam Pancasila dan
UUD negaranya tidak mencantumkan sama sekali negara agama, meski
pada paraktiknya ada departemen khusus yang mengurusi soal-soal
keagamaan. Karena itu susah menyebut Indonesia sebagai negara agama
76
ab
Abdul Moqsith Ghazali
a 77
b
Membela Kebebasan Beragama
78
ab
Abdul Moqsith Ghazali
a 79
b
Membela Kebebasan Beragama
80
ab
Abdul Moqsith Ghazali
sebagai lembaga kajian atau “LSM plat merah”. Ia masih menyusu pada
negara. Sampai sekarang belum disapih.
Ketika perda syariah diformalkan, hukum dari perda ini tak ubah seperti
sarang laba-laba. Ia hanya bisa menjerat hewan-hewan kecil sementara yag
lebih besar tidak bisa. Kalau melihat kontennya, apakah formalisasi syariat
mampu mengatasi persoalan-persoalan mutakhir yang akan muncul?
a 81
b
Membela Kebebasan Beragama
Perda syariah, dalam beberapa segi, memiliki kesamaan dengan usaha mem-
publikkan agama, kendati jika melihat paparan Anda jelas tidak bisa dengan
cara formalisasi syariah seperti yang sekarang bermunculan. Adakah cara lain
yang lebih mungkin untuk menampakkan agama ke ruang publik?
Cara seperti itu lebih baik, sebab tidak dengan cara-cara memaksakan
agama menjadi regulasi formal. Berdakwah di televisi dengan berbagai
variasinya, yang bisa dikatakan populer, sah-sah saja.
Problem dan kekerasan yang terkait dengan isu perbedaan agama dan
keyakinan tidak ditangani pemerintah sesuai konstitusi. Padahal kewajiban
generik pemerintah: menghormati, melindungi, menjamin, dan mempro-
mosikan hak-hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan setiap warga,
terutama minoritas, bukan malah membiarkan atau malah mengkri-
minalisasi korban.
8210 b
a
Abdul Moqsith Ghazali
a 1183
b
Membela Kebebasan Beragama
bahwa politik representasi juga bisa berbahaya. Politik model ini tidak
berpatokan pada besar atau kecilnya suatu ormas, melainkan pada
keterwakilan semua ormas.
Kalau isi perda syariah tidak bertentangan dengan UUD ’45, saya
kira, tidak akan bermasalah. Kalau perda syariah sudah dijalankan dan
diputuskan berdasarkan prosedur-prosedur yang sahih dari sudut
demokrasi maka, menurut saya, tidak apa-apa. Karena saya yakin kalau
perda yang dibuat tidak bertentangan dengan konstitusi tidak akan muncul
perda yang “aneh-aneh”, tidak akan muncul perda jilbab, perda murtad
dan lain sebagainya. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK). Mudah-mudahan pimpinan yang baru bisa membatal-
kan perda-perda seperti itu.
8412 b
a
Abdul Moqsith Ghazali
Tetapi kalau kita lihat kasus Ahmadiyah dan Komunitas Eden, misalnya,
mereka justru menjadi korban dari ketidaksigapan pemerintah dalam
menegakkan amanat konstitusi. Jika demikian, apa yang bisa dilakukan untuk
mereduksi terjadinya tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama?
a 1385
b
Membela Kebebasan Beragama
Kalau konteksnya seperti itu, perlu langkah seperti apakah bagi kalangan
yang hendak menyemai nilai-nilai agama yang rasional, pluralis, dan damai
guna “memformalkan” tafsir atau wacana agama yang dianutnya –
setidaknya, kalau tidak bisa merebut wacana dominan dari MUI – sehingga
dapat terdiseminasi dan terimplementasi masyarakat luas?
Artinya perjuangan ini tidak bisa dilakukan hanya pada satu sektor.
Lebih dari itu, persoalan seperti yang Anda tanyakan sendiri baru muncul
dan dibicarakan pasca-Soeharto. Kini orang bebas membicarakan makna
kebebasan beragama dan lain-lain, yang sama sekali tidak dikenal pada
zaman Soeharto, Orba. Pada rezim Orba, segala urusan, termasuk juga
urusan agama, bergantung dan diserahkan kepada Soeharto. Pada masanya,
8614 b
a
Abdul Moqsith Ghazali
Negara sekarang tampak lemah dan tidak bisa menjamin dan memenuhi
hak-hak dan kebebasan warga negaranya untuk beragama dan berkeya-
kinan. Sebaliknya, pemerintah justru aktif merespon desakan MUI, sebagai
wadah aspirasi paham Islam mainstream, dengan memberangus hak-hak
dan kebebasan warga negara, terutama para pengikut al-Qiyadah al-
Islamiyah dan Ahmadiyah, termasuk membiarkan tindak kekerasan terjadi
terhadap mereka.
a 1587
b
Membela Kebebasan Beragama
Artinya, kondisi demikian bukanlah keadaan yang ideal bagi negara, lan-
taran negara semestinya menjalankan amanat konstitusi dan melaksanakan
ketentuan ICCPR sebagaimana kini telah diratifikasi.
8816 b
a
Abdul Moqsith Ghazali
a 1789
b
Membela Kebebasan Beragama
Kalau seluruh agama sama tidak akan ada pluralisme, yang ada justru
singularisme, ketunggalan. Itu yang tidak dipahami oleh MUI. Pluralisme,
menurut saya, sama sekali tidak identik dengan penyamaan agama. NU
dengan Muhammadiyah saja berbeda, apalagi Islam dan Kristen, pasti
akan lebih banyak perbedaan ketimbang persamaannya. Bahwa orang ingin
mencari persamaan antara Islam dengan yang lain, itu ya, dan wajar, karena
perbedaan di antaranya lebih banyak ketimbang persamaannya. Lebih susah
mencari persamaan ketimbang perbedaan. Tapi tidak berarti bahwa Islam
sama dengan Kristen. Jadi tuduhan menyamakan seluruh agama oleh MUI
adalah salah pada dirinya sendiri dan tidak realistis. Sebab, pada dasarnya,
di antara masing-masing agama tidak mungkin disamakan. Agama-agama
adalah fakta perbedaan itu sendiri, pluralitas. Pluralitas adalah fakta dan
pluralisme adalah sikap terhadapnya.
Pluralisme dianggap sebagi relativisme juga tidak tepat. Pluralisme
dan relativisme adalah dua hal yang berbeda. Pluralisme mengandaikan
adanya pluralitas, bahwa saya berbeda dengan Anda kemudian dicarikan
bagaimana cara mengatasi perbedaannya. Namun kemudian ada yang
memakai cara kekerasan dalam menyikapi perbedaan, misalnya bahwa
Anda salah dan sesat, karena itu harus dihabisi. Meski demikian, selalu
ada yang memakai cara pluralis dalam memandang perbedaan agama dan
kepercayaan; kita berbeda dan karena berbeda maka kita harus menghargai.
9018 b
a
Abdul Moqsith Ghazali
dari Islam, baik salat, zakat, puasa, maupun haji. Mungkin yang baru
adalah syahadatnya, asyhadu anna muhammadan rasûlullâh.
a 1991
b
Membela Kebebasan Beragama
Kalau begitu mesti ada kesepakatan bersama bahwa nilai dasar kolektif kita
bisa mengatasi keimanan masing-masing agama.
9220 b
a
Abdul Moqsith Ghazali
Al-Quran sendiri, menurut saya, tidak berkata seperti itu. Yang ada
adalah mushaddiqan limâ bayna yadayhi wa muhayminan ‘alayhi. Al-
Quran datang bukan untuk menghancurkan kitab Taurat dan Injil, tetapi
justru untuk membenarkan atau menjaga nilai-nilai yang ada di dalam
kitab-kitab sebelumnya. Makanya, pada surat terakhir al-Quran dinyata-
kan inna hâdzâ lafî al-shuhuf al-ûla shuhufi ibrâhîma wa mûsâ, se-
sungguhnya al-Quran ini sudah ada di dalam suhuf-suhuf sebelumnya,
a 2193
b
Membela Kebebasan Beragama
suhuf Ibrahim dan Musa. Jadi konten al-Quran tidaklah baru dan mestinya
tidak ada pertentangan teologis.
Bahwa kemudian di dalam al-Quran terdapat kritik terhadap orang-
orang yang menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan, itu soal lain. Ternyata
setelah saya cek ke dalam kitab-kitab tafsir, yang menyatakan bahwa Yesus
adalah Tuhan hanyalah satu sekte tertentu di dalam kekristenan. Paulus
sendiri tidak pernah berkata bahwa Yesus adalah Tuhan atau putera biologis
Tuhan. Ayat al-Quran yang berbunyi laqad kafara al-ladzîna qâlû inna ’l-
Lâha tsâlitsu tsalâtsah hanya ditujukan bagi Yakobit dan Nestorian. Tidak
untuk seluruh sekte yang terdapat di dalam kekristenan.
Tafsir seperti itulah yang diklaim banyak orang sebagai tafsir yang mengarah
pada penyamaan semua agama. Tafsir yang menyatakan bahwa Islam tidak
menggugurkan Yahudi dan Kristen melainkan memperkuat dan membenar-
kan ajaran-ajaran sebelumnya, berbalik 180 derajat dengan klaim kebenaran
agama yang dimiliki kalangan fundamentalis yang memiliki logika kalau
saya (agama yang saya anut) benar maka yang lain harus salah.
Ayat yang paling biasa dipakai dan dimaknai secara tekstual oleh kalangan
fundamentalis adalah inna al-dîna ‘inda ’l-Lâhi al-islâm. Penafsiran Anda
untuk ayat ini sendiri bagaimana?
9422 b
a
Abdul Moqsith Ghazali
a 2395
b
Membela Kebebasan Beragama
9624 b
a
Abdul Moqsith Ghazali
sama dengan Kristen yang mengajarkan bahwa kalau ditampar pipi kanan
“dikasih” pipi kirinya. Berbeda dengan ajaran itu, mereka lebih memilih
untuk melawan. Sebenarnya mungkin umat Islam di Indonesia tidak melihat
secara telanjang ketidakadilan pemerintah Amerika terhadap umat Islam di
dunia internasional. Sensitivitas kebanyakan umat Islam Indonesia untuk
hal ini justru cenderung tertutup. Yang bereaksi keras atas isu-isu internasional
seperti itu kebanyakan adalah alumni-alumni Timur Tengah, seperti alumni
Afghanistan dan sebagainya. Kiai-kiai tradisional, seperti kiai-kiai Jawa Timur
yang hanya mengawasi pesantren
dalam kesehariannya, jusru tidak
mempunyai reaksi apa-apa karena Pemaknaan pluralisme sebagai
memang tidak melihat kasusnya menyamakan seluruh agama
secara persis. Orang-orang yang sebagaimana dinyatakan oleh MUI,
mempunyai kesadaran politik menurut saya contradictio in terminis.
dunia sajalah yang akan bereaksi Karena pluralisme pada dirinya sendiri
terhadap kebijakan-kebijakan justru mengandaikan pluralitas,
negara lain yang kurang simpatik perbedaan. Kalau seluruh agama sama
dengan negara atau komunitas- tidak akan ada pluralisme, yang ada
komunitas Islam.
justru singularisme, ketunggalan.
Meski begitu, fakta bahwa
ada kebencian terhadap Islam,
sebagimana juga kebencian terhadap Kristen itu benar adanya. Namun
kalau dihadapi secara reaktif pasti tidak akan menemukan solusi.
Sebagian kiai tidak mempunyai memori atau file tentang Timur Tengah,
mereka lebih tersibukkan dengan problem-problem lokal. Makanya wajar
kalau yang mempunyai kesadaran seperti itu adalah orang-orang seperti Abu
Bakar Baasyir, Ja’far Umar Thalib dan lain-lain, yang mempunyai kesadaran
politik Timur Tengah.
a 2597
b
Membela Kebebasan Beragama
Artinya benar bahwa kalangan aktivis interfaith, pluralis, belum bisa berbuat
apa-apa. Mereka tidak mempunyai mekanisme untuk mendesain social
movement agar semangat toleransi di tengah masyarakat sampai pada tahap
militan dalam memihak keadilan dan kebebasan. Sehingga, ketika terjadi
fenomena kekerasan atas nama agama, masyarakat bukan hanya diam tetapi
terlibat memberikan solusi.
9826 b
a
Abdul Moqsith Ghazali
a 2799
b
Membela Kebebasan Beragama
Itulah kenapa para aktivis interfaith dalam kasus kekerasan atas nama agama
lebih menuntut penegakan HAM. Negara diminta untuk mengawal
konstitusi, bukan berpegang pada fatwa MUI. Lantas apakah efektif
diseminasi pluralisme dan segala perdebatannya terus dilakukan sementara
dalam level perundang-undangannya tidak pernah ada kepastian (paradoks
konstitusi)?
100
a 28 b
Abdul Moqsith Ghazali
Makanya, kalau RUU APP konsepnya tidak jauh seperti itu (ter-
lampau restriktif terhadap hak-hak dan kebebasan warga), pasti ibu-ibu
kampung akan marah. Karena kultur Indonesia sebenarnya memang tidak
demikian, sebagaimana diinginkan oleh perda maupun RUU APP. Kultur
asli perempuan Aceh, misalnya, sebenarnya tidak memakai jilbab.
Faktanya, kalau kita lihat gambar relief-relief atau patung-patung ratu
Aceh tidak ada yang memakai jilbab. Apalagi perempuan Jawa. Banyak
dari mereka yang hanya memakai kemben untuk sehari-hari maupun be-
kerja masuk ke hutan dan sebagainya. Tapi tidak ada yang mengatakan
kalau itu pornoaksi. Orang kampung tidak ada yang mengatakan seperti
itu, yang mengatakan demikian hanya orang kota.
Dalam kasus ini seolah telah terjadi semacam kolonialisasi orang kota
terhadap orang desa. Pemakaian koteka di Papua sama sekali tidak ada
masalah. Orang kota saja yang melihatnya sebagai sesuatu yang bermasalah.
Sekali lagi, menurut saya, ketentuan hukum, perda atau qanun yang
mengatur hal-hal privat masyarakat, lambat laun akan mendapatkan
resistensi dari masyarakat itu sendiri. Kehidupan bermasyarakat akan
normal kembali berdasarkan konteks dan kearifan lokal masyarakat masing-
masing. Fenomena demikian, menurut saya, tak lebih dari fenomena sesaat
ketika pemerintah tidak memiliki cukup kekuatan. Saya memperkirakan
fenomena demikian hanya akan bertahan 10 sampai 15 tahun ke depan.
Setelah itu, kehidupan masyarakat di daerah-daerah akan kembali normal,
ibu-ibu dengan tenang akan memakai kemben lagi sambil bersantai di
depan rumah. Yang laki-laki tidak memakai apa-apa kecuali celana pendek
sambil minum kopi dan merokok menemani perbincangan bersama istri
dan anak-anaknya di depan rumah.
Hal lain, misalnya, kalau praktik keagamaan seperti itu dibilang
sinkretik, maka itu sebenarnya tidak hanya dilakukan sekarang. Islam
sendiri justru menjadi agama sinkretik, karena telah mencampur-baurkan
budaya Arab, Yahudi dan Kristen. Kalau tidak sinkretik, Islam tidak akan
sebesar ini. Dengan itu, Muhammadiyah yang dahulu sangat puritan pelan-
pelan mulai menyadari dan apresiatif terhadap kebudayaan lokal.
101
a 29 b