Anda di halaman 1dari 8

GANGGUAN DEPRESIF BERULANG (F33)

oleh Indira Pratiwi

A. PENDAHULUAN
Mood adalah suasana hati dan perasaan yang menetap, yang merupakan pengalaman internal dan
mempengaruhi sikap dan persepsi seseorang. Afek adalah ekspresi eksternal dari mood. Mood bisa saja
normal, meningkat atau menurun (depresi). Orang sehat mengalami berbagai macam mood dan memiliki
ekspresi afektif yang sama luasnya; mereka merasa mengendalikan, kurang lebih, mood dan afeknya.1
Gangguan mood adalah kumpulan keadaan klinis yang ditandai dengan hilangnya perasaan kendali dan
timbulnya pengalaman subjektif akan adanya penderitaan berat. Pasien dengan peningkatan mood (mania)
menunjukkan sikap yang meluap-luap, flight of idea, penurunan kebutuhan tidur, peninggian harga diri dan
gagasan kebesaran. Pasien dengan penurunan mood (depresi) akan kehilangan semangat dan minat, timbul
perasaan bersalah, sulit konsentrasi, kehilangan nafsu makan, dan adanya pikiran tentang kematian atau
bunuh diri. Perubahan ini hampir selalu menimbulkan gangguan fungsi interpersonal, sosial, dan
pekerjaan. Pasien yang hanya menderita episode depresi dikatakan memiliki gangguan depresi berat atau
depresi unipolar. 1

Sebanyak dua pertiga orang dengan depresi tidak menyadari bahwa mereka memiliki penyakit yang dapat
diobati dan karena itu mereka tidak mencari pengobatan. Banyak dari pasien pertama kali datang mencari
pengobatan dengan keluhan somatik, seperti kelelahan, sakit kepala, gangguan lambung, atau perubahan
berat badan. 2
Tes skrining depresi dapat digunakan untuk skrining depresi dan gangguan bipolar. Yang paling banyak
digunakan adalah Hamilton Depression Rating Scale (HDRS). 2
Banyak pengobatan efektif yang tersedia untuk gangguan depresi, termasuk psikoterapi singkat (misalnya,
terapi perilaku-kognitif, terapi interpersonal), yang digunakan baik dalam bentuk tunggal ataupun
kombinasi dengan obat. Namun, pendekatan gabungan umumnya memberikan respon tercepat dan
berkelanjutan. 2
B. KLASIFIKASI
Menurut PPDGJ III, gangguan depresif berulang (F33) tergolong dalam gangguan mental psikotik, yang
terkait gangguan afektif dan dikhususkan lagi dalam gangguan suasana perasaan (mood) (F3). Gangguan
suasana perasaan (mood) (F3) digolongkan menjadi episode manik, gangguan afektif bipolar (F30, F31)
dan episode depresif, gangguan depresif berulang, gangguan suasana perasaan (mood/afektif)
menetap/lainnya/YTT (F32-F39).3
Berdasarkan PPDGJ III, gangguan depresif berulang (F33) diklasifikasikan sebagai berikut: 3
F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 dengan gejala somatik
F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik
F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala psikotik
F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi
F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya
F33.9 Gangguan depresif berulang YTT

C. EPIDEMIOLOGI
Gangguan depresif adalah suatu gangguan yang sering dengan prevalensi seumur hidup adalah kira-kira 15
persen.1 Insidens seumur hidup gangguan depresi di Amerika Serikat adalah 20% pada wanita dan 12%
pada pria. Pada tahun 2010, the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merilis sebuah laporan
yang mengukur prevalensi depresi di kalangan orang dewasa dari tahun 2006-2008. Di antara 235.067
orang dewasa, 9% memenuhi kriteria untuk gangguan depresi, termasuk 3,4% yang memenuhi kriteria
untuk gangguan depresi berat.2

• Jenis Kelamin
Pada pengamatan yang hampir universal, terlepas dari kultur atau negara, terdapat prevalensi gangguan
depresif yang dua kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki.1 Copeland et al menemukan
prevalensi bagi perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki di Sembilan populasi Eropa. Meta-analisis
menunjukkan prevalensi depresi 14,1% pada perempuan dan 8,6% pada laki-laki.2 Insidensi yang tinggi
pada perempuan terutama pada mereka yang memiliki 3 anak atau lebih dengan usia kurang dari 14 tahun,
tidak memiliki kegiatan di luar rumah, tidak memiliki orang yang dipercaya, dan yang kehilangan ibu
mereka ketika usia di bawah 11 tahun, baik karena meninggal ataupun perceraian.4
• Usia
Rata-rata usia onset untuk gangguan depresif adalah kira-kira 40 tahun; 50% dari semua pasien
mempunyai onset antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif juga memilki onset selama masa anak-
anak atau pada lanjut usia, walaupun hal tersebut jarang terjadi.1
• Ras
Prevalensi gangguan mood tidak berbeda dari satu ras ke ras lain. 1
• Status perkawinan
Pada umumnya, gangguan depresif terjadi paling sering pada orang yang tidak memiliki hubungan
interpersonal yang erat atau yang bercerai atau berpisah.1
• Pertimbangan sosioekonomi dan kultural
Tidak ditemukan adanya korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan depresif. Depresi mungkin
lebih sering di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan.1

D. ETIOLOGI DAN PATOFISOLOGI


Patofisiologi yang mendasari gangguan depresi tidak jelas.1,2 Banyak usaha untuk mengenali suatu
penyebab biologis atau psikososial untuk gangguan mood telah dihalangi oleh heterogenitas populasi
pasien yang ditentukan oleh sistem diagnostik yang didasarkan secara klinis yang ada. Faktor penyebab
gangguan mood dapat dibagi menjadi faktor biologis, faktor genetika, dan faktor psikososial.1
• Faktor biologis
Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan mood berhubungan dengan
disregulasi heterogen pada amin biogenik.1 Uji klinis dan praklinis menunjukkan gangguan aktivitas
serotonin (5-HT) pada sistem saraf pusat (SSP) sebagai faktor penting. Neurotransmiter lain yang terlibat,
termasuk norepinefrin (NE) dan dopamin (DA).2
Peran 5-HT dalam patofisiologi aktivitas SSP pada gangguan depresif berat dibuktikan oleh manjurnya
selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI),seperti fluoxetine, dalam pengobatan penyakit depresi ini.1,2
Selanjutnya, penelitian telah menunjukkan bahwa kekambuhan gejala depresi akut dapat timbul sebagai
akibat menipisnya triptofan, yang menyebabkan penurunan sementara 5–HT di tingkat SSP.2 Penurunan
serotonin dapat mencetuskan depresi, dan beberapa pasien yang bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit
serotonin di dalam cairan serebrospinalis yang rendah dan konsentrasi tempat ambilan serotonin yang
rendah di trombosit.1
Korelasi yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah antara down-regulation reseptor adrenergik-beta dan
respon atidepresan klinik kemungkinan merupakan bagian data yang menyatakan adanya peranan langsung
sistem noadrenergik dalam depresi.1
Walaupun norepinefrin dan serotonin adalah amin biogenik yang paling sering dihubungkan dengan
patofisiologi depresi, dopamin juga telah diperkirakan memiliki peranan dalam depresi. Data menyatakan
bahwa aktivitas dopamin mungkin menurun pada depresi dan meningkat pada mania. 1
• Faktor genetika
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam perkembangan gangguan mood
adalah genetika. Tetapi, pola penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks; bukan
saja tidak mungkin untuk menyingkirkan faktor psikososial, tetapi faktor nongenetik kemungkinan
memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada sekurangnya beberapa orang.1
• Faktor psikososial
Beberapa klinisi sangat mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memainkan peranan primer atau utama
dalam depresi. Beberapa artikel teoritik mempermasalahkan hubungan antara fungsi keluarga dan onset
serta perjalananan gangguan mood, khususnya gangguan depresif.1
Semua manusia, apapun pola kepribadiannya, dapat dan memang menjadi depresi dalam keadaan yang
tepat; tetapi, tipe kepribadian tertentu – dependenoral, obsesif-kompulsif, histeris – mungkin berada dalam
risiko yang lebih besar untuk mengalami depresi daripada kepribadian antisosiak, paranoid, dan lainnya. 1
Menurut terori kognitif, interpretasi yang keliru (misinterpretasi) kognitif yang sering adalah melibatkan
distorsi negatif pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme, dan keputusasaan. Pandangan
negatif yang dipelajari tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi. 1

E. DIAGNOSIS
Berdasarkan PPDGJ III, gejala-gejala depresi sebagai berikut:3
• Gejala utama
- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
• Gejala lainnya
- Konsentrasi dan perhatian berkurang
- Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
- Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
- Tidur terganggu
- Nafsu makan berkurang
Pasien yang mengalami sekurangnya dua episode depresi diklasifikasikan dalam DSM IV sebagai
menderita gangguan depresi berat berulang. Masalah utama dalam mendiagnosis episode rekuren
gangguan depresif adalah memutuskan kriteria apa yang digunakan untuk menandakan resolusi masing-
masing periode. Dua variabel adalah derajat resolusi gejala dan lamanya resolusi. Tiap episode depresi
yang jelas dipisahkan oleh sekurangnya periode dua bulan, di mana selama periode itu pasien tidak
memiliki gejala depresi yang bermakna.1
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Depresif Berulang menurut DSM-IV:1
• Adanya episode depresif tunggal
• Episode depresif tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan skizoafektif, dan tidak bertumpang tindih
dengan skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan delusional, atau gangguan psikotik yang tidak
ditentukan.
• Tidak pernah terdapat episode manik, episode campuran, atau episode hipomanik.
Jika semua kriteria memenuhi diagnosis suatu episode depresi, tentukan status klinis:
- Ringan, sedang, atau berat, dengan atau tanpa gejala psikotik
- Kronis
- Dengan ciri katatonik
- Dengan ciri melankolik
- Dengan ciri atipikal
- Dengan onset pasca persalinan
Jika tidak semua kriteria memenuhi diagnosis suatu episode depresi berat, tentukan status klinis:
- Remisi sebagian, remisi penuh
- Kronik
- Dengan ciri katatonik
- Dengan ciri melankolik
- Dengan ciri atipikal
- Dengan onset pasca persalinan
Sebutkan:
- Penentu perjalanan longitudinal (dengan atau tanpa pemulihan interepisode)
- Dengan pola musiman
Sedangkan, pedoman diagnostik untuk Gangguan Depresif Berulang (F33) menurut PPDGJ III:3
• Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari:
- Episode depresi ringan (F32.0)
- Episode depresi sedang (F32.1)
- Episode depresi berat (F32.2 dan F32.3)
Episode masing-masing rata-rata lamanya sekitar 6 bulan, akan tetapi frekuensinya lebih jarang
dibandingkan dengan gangguan bipolar.
• Tanpa riwayat adanya episode tersendiri dengan peninggian afek dan hiperaktivitas yang memenuhi
kriteria mania (F30.1 dan F30.2).
Namun kategori ini tetap harus digunakan jika ternyata ada episode singkat dari peninggian afek dan
hiperaktivitas ringan yang memenuhi kriteria hipomania (F30.0) segera sesudah suatu episode depresif
(kadang-kadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi).
• Pemulihan keadaan biasanya sempurna di antara episode, namun sebagian kecil pasien mungkin
mendapat depresi yang akhirnya menetap, terutama pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini harus
tetap digunakan).
• Episode masing-masing, dalam berbagai tingkat keparahan, seringkali dicetuskan oleh peristiwa
kehidupan yang penuh stress atau trauma mental lain (adanya stress tidak esensial untuk penegakan
diagnosis).
Pedoman diagnostik Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Ringan (F33.0): 3
• Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan episode sekarang harus
memenuhi kriteria untuk episode depresif sedang (F32.1); dan
• Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal 2 minggu dengan
sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
Karakter kelima: F33.00 Tanpa gejala somatik
F33.01 Dengan gejala somatik
Pedoman diagnostik Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Sedang (F33.1): 3
• Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan episode sekarang harus
memenuhi kriteria untuk episode depresif ringan (F32.0); dan
• Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing selama minimal 2 minggu dengan sela
waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
Karakter kelima: F33.10 Tanpa gejala somatik
F33.11 Dengan gejala somatik

Pedoman diagnostik Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat tanpa Gejala Psikotik (F33.2): 3
• Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan episode sekarang harus
memenuhi kriteria untuk episode depresif berat tanpa gejala psikotik (F32.2); dan
• Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal 2 minggu dengan
sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.

Pedoman diagnostik Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat dengan Gejala Psikotik (F33.2): 3
• Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan episode sekarang harus
memenuhi kriteria untuk episode depresif berat dengan gejala psikotik (F32.3); dan
• Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal 2 minggu dengan
sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.

Pedoman diagnostik Gangguan Depresif Berulang, Kini dalam Remisi (F33.4): 3


• Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus pernah dipenuhi di masa lampau, tetapi
keadaan sekarang seharusnya tidak memenuhi kriteria untuk episode depresif dengan derajat keparahan
apapun atau gagguan lain apapun dalam F30-F39; dan
• Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal 2 minggu dengan
sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.

F. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding untuk Gangguan Depresif Berulang (F33) yaitu Episode Depresif Singkat Berulang
(F38.1). 3
Episode Depresif Singkat Berulang (F38.1) muncul kira-kira sekali sebulan selama satu tahun yang
lampau. Semua episode depresif masing-masing berlangsung kurang dari 2 minggu (yang khas ialah 2-3
hari, dengan pemulihan sempurna) tetapi memenuhi kriteria simtomatik untuk episode depresif ringan,
sedang, atau berat (F32.0, F32.1, F32.2). 3

G. PENATALAKSANAAN
Berbagai perawatan efektif tersedia untuk gangguan depresi. Terapi obat saja dapat meringankan gejala
dan psikoterapi singkat (misalnya, terapi perilaku-kognitif, terapi interpersonal) juga telah dianjurkan
dalam uji klinis menjadi pilihan pengobatan yang efektif, baik tunggal atau dalam kombinasi dengan obat.
Namun, pendekatan gabungan dari pengobatan dan psikoterapi umumnya memberikan respon tercepat dan
berkelanjutan. Pada anak-anak dan remaja, farmakoterapi saja tidak cukup sebagai terapi.2
• Terapi Psikososial
Tiga jenis psikoterapi jangka pendek – terapi kognitif, terapi interpersonal, dan terapi perilaku – telah
diteliti tentang manfaatnya di dalam pengobatan gangguan depresif.1
- Terapi kognitif, mulanya dikembangkan oleh Aaron Beck, memusatkan pada distorsi kognitif yang
didalilkan ada pada gangguan depresif. Tujua terapi kognitif adalah menghilangkan episode depresif dan
mencegah rekurennya dengan membantu pasien mengidentifikasi dan uji kognitif negatif;
mengembangkan cara berpikir alternatif, fleksibel, dan poitif; dan melatih kembali respons kognitif dan
perilaku yang baru. 1
- Terapi interpersonal, dikembangkan oleh Gerald Klerman, memusatkan pada satu atau dua masalah
interpersonal pasien yang sedang dialami sekarang. 1
- Terapi perilaku, didasarkan pada hipotesis bahwa pola perilaku maladaptif menyebabkan seseorang
mendapatkan sedikit umpan balik positif dari masyarakat dan kemungkinan penolakan yang palsu. Dengan
memusatkan pada perilaku maladaptif di dalam terapi, pasien belajar untuk berfungsi di dunia dengan cara
tertentu di mana mereka mendapatkan dorongan positif. 1
- Terapi berorientasi psikoanalitis, tujuan terapi ini adalah untuk mendapatkan perubahan pada struktur
atau karakter kepribadian pasien, bukan semata-mata menghilangkan gejala. 1
- Terapi keluarga, umumnya tidak dipandang sebagai terapi primer untuk pengobatan gangguan depresif,
tetapi semakin banyak bukti menunjukkan bahwa membantu pasien menurunkan dan menerima stress
dapat menurunkan kemungkinan relaps. 1
• Farmakoterapi
Pada tahun 2011, the American Psychiatric Association (APA) memperbahatui Practice Guideline for the
Treatment of Patients with Major Depressive Disorder. APA 2011 menekankan perlunya menyesuaikan
rencana pengobatan untuk setiap pasien berdasarkan penilaian yang seksama terhadap gejala, termasuk
langkah-langkah dari skala penilaian diberikan oleh dokter atau pasien dan analisis manfaat terapi dan efek
samping. Pengobatan harus memaksimalkan fungsi pasien dalam tujuan spesifik dan realistis. Modalitas
awal harus didasarkan pada penilaian klinis, gangguan lain, stres, keinginan pasien, dan respon terhadap
pengobatan sebelumnya.2
Secara umum, mekanisme kerja obat antidepresan adalah menghambat re-uptake aminergic
neurotransmitter dan menghambat penghancuran oleh enzim monoamine oksidase, sehingga terjadi
peningkatan jumlah aminergic neurotransmitter pada celah sinaps neuron yang dapat meningkatkan
aktivitas reseptor serotonin. Pemilihan jenis obat tergantung pada toleransi pasien terhadap efek samping
dan penyesuaian efek samping terhadap kondisi pasien (usia, penyakit fisik tertentu).5
- Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) memiliki kelebihan dalam kemudahan permberian dosis
dan toksisitas yang rendah dalam keadaan dosis yang berlebih. SSRI lebih direkomendasikan dibandingkan
antidepresan lain untuk pengobatan pada anak-anak dan dewasa. Rekomendasi ini juga didukung dalam
pedoman APA 2011. Efek samping yang umum termasuk gangguan gastrointestinal (GI), disfungsi
seksual, dan perubahan tingkat energi (yaitu, kelelahan, kecemasan). Penggunaan SSRI tidak
mengkhawatirkan pada pasien dengan penyakit jantung, karena tidak menimbulkan efek pada tekanan
darah, denyut jantung, konduksi jantung, atau irama jantung.2
- Selective Serotonin/Norepinefrin Reuptake Inhibitor (SNRIs)
Selective serotonin/norepinefrin reuptake inhibitor (SNRIs) dapat digunakan sebagai terapi lini pertama,
terutama pada pasien dengan sindrom kelelahan yang signifikan atau rasa sakit yang terkait dengan
episode depresi. SNRI juga memiliki peran penting sebagai terapi lini kedua pada pasien yang tidak
responsif terhadap SSRI. 2
- Antidepresan atipikal
Antidepresan atipikal efektif dalam meningkatkan terapi pada gangguan depresi mayor, tetapi memiliki
risiko yang tinggi timbulnya efek samping. Obat-obatan antidepresan tipikal termasuk bupropion
(Wellbutrin), Mirtazapine (Remeron) dan trazodone (Desyrel). Meskipun risiko terjadinya efek samping
tinggi, kelompok ini juga menunjukkan toksisitas rendah dalam dosis yang tinggi dan memiliki kelebihan
dibanding SSRI sebab efek samping disfungsi seksual dan gangguan GI obat ini lebih rendah. 2
- Antidepresan trisiklik
Trisiklik diketahui efektif dalam pengobatan depresi dan memiliki kelebihan berupa harga yang murah.
Trisiklik kurang umum digunakan sekarang karena perlu ditritasi ke dosis terapeutik juga toksisitas yang
tinggi pada dosis yang berlebih. 2
- Monoamin Oksidase Inhibitor (MAOI)
MAOI secara luas efektif dalam berbagai gangguan afek dan gangguan kecemasan. Karena risiko
terjadinya krisis hipertensi, pasien yang menggunakan obat-obat ini harus mengikuti diet rendah tiramin.
Efek samping lain termasuk insomnia, kecemasan, peningkatan berat badan dan disfungsi seksual. 2
- St.John’s wort
Meskipun St John’s wort dianggap sebagai antidepresan lini pertama di banyak negara Eropa, di AS
pengobatan herbal ini baru dikenal dan mulai berkembang. St.John’s wort digunakan sebagi pengobatan
depresi dengan gejala ringan sampai sedang. Penelitian menunjukkan bahwa pengobatan herbal ini
bertindak sebagai SSRI dan bukan sebagai MAOI, seperti yang diyakini sebelumnya. Diberikan dalam
dosis 300 mg, 3 kali sehari. Jika tidak ada respon klinis setelah 3-6 bulan, penggunaan obat lain
direkomendasikan. Dalam mengatasi masalah terapi alternatif untuk depresi, APA 2011 mencatat bahwa
St.John’s wort dapat dipertimbangkan, namun dibutuhkan lebih banyak informasi tentang efektivitas dan
interaksi dengan obat lain. 2
- Lithium sering digunakan untuk mencegah kekambuhan, sebagai mood stabilizer, dengan kadar serum
lithium 0,4-0,8 mEq/L (dosis 250-500 mg/h).5

Tabel 1
Sediaan Obat Anti-Depresi dan Dosis Anjuran5
Penggolongan Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran
Trisiklik Amitritpyline Amitritpyline Drag.25 mg 75-150 mg/h
Imipramine Tofranil Tab.25 mg 75-150mg/h
Clomipramine Anafranil Tab.25 mg 75-150 mg/h
Tianeptine Stablon Tab.12.5 mg 25-50 mg/h
Tetrasiklik Maprotiline Ludiomil Tab.10-25 mg
50-75 mg 75-150 mg/h
Tilsan Tab.25 mg
Sandepril-50 Tab.50 mg
Mianserine Tolvon Tab.10 mg 30-60 mg/h
Amoxapine Asendin Tab.100 mg 200-300 mg/h
MAOI Moclobemide Aurorix Tab.150 mg 300-600 mg/h
SSRI Sertraline Zoloft, Fatral, Fridep, Antipres, Serlov, Zerlin Tab.50 mg 50-100 mg/h
Nudep Caplet 50 mg
Deptral Cap. 50 mg
Paroxetine Seroxat Tab.20 mg 20-40 mg/h
Fluvoxamine Luvox Tab. 50 mg 50-100 mg/h
Fluoxetine Prozac, Andep, Elizac, Oxipres, Lodep, Zactin Cap. 20 mg 20-40 mg/h
Nopres Caplet 20 mg
Ansi, Antiprestin, Kalxetin, Zac Cap. 10-20 mg
Courage Tab.20 mg
Duloxetine Cymbalta Caplet 30-60 mg 30-60 mg/h
Citalopram Cipram Tab.20 mg 20-60 mg/h
Atipikal Trazodone Trazone Tab.50-150 mg 100-200 mg/h
Mirtazapine Remeron Tab.30 mg 15-45 mg/h
Venlafaxine Efexor-XR Cap.75 mg 75-150 mg/h

H. KESIMPULAN
Mood adalah suasana hati dan perasaan yang menetap, yang merupakan pengalaman internal dan
mempengaruhi sikap dan persepsi seseorang. Gangguan mood adalah kumpulan keadaan klinis yang
ditandai dengan hilangnya perasaan kendali dan timbulnya pengalaman subjektif akan adanya penderitaan
berat. Pasien dengan penurunan mood (depresi) akan kehilangan semangat dan minat, timbul perasaan
bersalah, sulit konsentrasi, kehilangan nafsu makan, dan adanya pikiran tentang kematian atau bunuh diri.
Perubahan ini hampir selalu menimbulkan gangguan fungsi interpersonal, sosial, dan pekerjaan.
Menurut PPDGJ III, gangguan depresif berulang (F33) tergolong dalam gangguan mental psikotik, yang
terkait gangguan afektif dan dikhususkan lagi dalam gangguan suasana perasaan (mood) (F3). Gangguan
depresif berulang tersifat dengan episode berulang dari depresi sebagaimana dijabarkan dalam episode
depresif ringan, sedang ataupun berat, tanpa riwayat adanyanepisode tersendiri dari peninggian suasana
perasaan dan hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania. Lamanya masing-masing episode berkisar
antara 3-12 bulan (rata-rata lamanya sekitar 6 bulan). Pemulihan keadaan biasanya sempurna di antara
episode, namun sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya menetap, terutama pada
usia lanjut.
Faktor penyebab gangguan mood dapat dibagi menjadi faktor biologis, faktor genetika, dan faktor
psikososial. Masing-masing episode, dalam pelbagai tingkat keparahan, seringkali dicetuskan oleh
peristiwa kehidupan yang penuh stress. Pasien yang mengalami sekurangnya dua episode depresi
diklasifikasikan dalam DSM IV sebagai penderita gangguan depresi berulang. Diagnosis banding untuk
Gangguan Depresif Berulang (F33) yaitu Episode Depresif Singkat Berulang (F38.1).
Berbagai perawatan efektif tersedia untuk gangguan depresi. Terapi obat saja dapat meringankan gejala.
Psikoterapi singkat juga telah dianjurkan dalam uji klinis menjadi pilihan pengobatan yang efektif, baik
tunggal atau dalam kombinasi dengan obat. Namun, pendekatan gabungan dari pengobatan dan psikoterapi
umumnya memberikan respon tercepat dan berkelanjutan. Psikoterapi meliputi terapi interpersonal, terapi
kognitif, dan terapi perilaku. Ada beberapa terapi farmakologis yang digunakan sebagai anti depresi seperti
SSRI, SNRI, trisiklik, tetrasiklik, MAOI, dan pengobatan herbal seperti St.John’s wort. Lithium sering
digunakan sebagai profilaksis depresi berulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Sadock VA. Mood Disorders. In: Grebb JA, Pataki CS, Sussman N, eds. Kaplan &
Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p.528-540.
2. Halverson JA et al. Depression. (Online). 2011. [23 Juni 2011]. Available from http://emedicine.com
3. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya;
2003. p. 66-69.
4. Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Textbook of Psychiatry. 2nd edition. Philadelphia: Churchill
Livingstone; 2002. p.173-196.
5. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi Ketiga. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2007. p. 23-30.

Anda mungkin juga menyukai