OLEH:
ULYA UNZILA DINA
201904078
NIP NIP
Kepala Ruangan
NIP
LEMBAR PENGESAHN
ASUHAN KEPERAWATAN “SNRS” PADA An. F
RUANG 7A RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG
Disusun untuk memenuhi tugas laporan individu Profesi Ners
Departemen Keperawatan Anak
Oleh:
NIP NIP
Kepala Ruangan
NIP
I. DEFINISI
Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari kehilangan protein
karena kerusakan glomerulus yang difus. Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala
edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia kadang-kadang terdapat
hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal.
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang paling sering dijumpai pada
anak yang ditandai dengan kumpulan gejala seperti proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam
atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+),
hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan dapat disertai hiperkolesterolemia. Berdasarkan
respons terhadap pengobatan steroid, sindrom nefrotik dikelompokkan ke dalam Sindrom
nefrotik sensitif steroid (SNSS) dan Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS).
II. PATOFISIOLOGI
Etiologi
1. Kongenital
Pada kejadian primer atau idopatik dapat disebabkan oleh kelainan histopatologi
sebagai berikut:
Terkadang SNRS dapat mengikuti penyakit lain baik infeksi, penyakit sistemik,
maupun obat-obatan. Hal ini disebut sindrom nefrotik sekunder. Hal ini dapat memperburuk
prognosis. Berikut ini penyakit lain yang dapat mengikuti sindrom nefrotik sekunder:
a. Infeksi
1. Sifilis, toxoplasmosis, cytomegalovirus, rubella kongenital
2. Hepatitis B dan C
3. AIDS
4. Malaria
5. Penyakit sistemik
6. Lupus erimatosus sistemik (LES)
7. Keganasan, seperti leukimia dan limfoma
8. Vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan poliangitis),
sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis
nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch Schonlein
9. Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis
b. Obat-obatan
1. Penicillamine
2. Emas
3. Obat anti inflamasi non steroid (NSAID)
4. Interferon
5. Air raksa
6. Heroin
7. Pamidronate
8. Lithium
Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik
adalah:
1. Oedem umum (anasarka), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
2. Proteinuria dan albuminemia.
3. Hipoproteinemi dan albuminemia.
4. Hiperlipidemi khususnya hipercholedterolemi.
5. Lipid uria.
6. Mual, anoreksia, diare.
7. Anemia, pasien mengalami edema paru.
Masalah Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma.
2. Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia
4. Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif
5. Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas
6. Gangguan body image b.d. perubahan penampilan
Pathway
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
IV. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Medis
Tujuan terapi adalah untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut dan menurunkan
risiko komplikasi. Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk
mengurangi atau menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia,
mencegah dan mengatasi komplikasinya, yaitu:
1. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih
1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan
menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.
2. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik,
biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema dan respon
pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid (25-50
mg/hari) selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi,
alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.
3. Dengan antibiotik bila ada infeksi harus diperiksa kemungkinan adanya TBC
4. Diuretikum, boleh diberikan diuretic jenis saluretik seperti hidroklorotiasid,
klortahidon, furosemid atau asam ektarinat. Dapat juga diberikan antagonis
aldosteron seperti spironolakton (alkadon) atau kombinasi saluretik dan antagonis
aldosteron.
5. Kortikosteroid
International Cooperative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)
mengajukan cara pengobatan sebagai berikut:
a. Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas
permukaan badan (lpb) dengan maksimum 80 mg/hari
b. Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis
40 mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60
mg/hari. Bila terdapat respons, maka pengobatan ini dilanjutkan secara
intermitten selama 4 minggu
c. Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30 mg, 20
mg, 10 mg sampai akhirnya dihentikan.
6. Diet. Diet rendah garam (0,5 – 1 gr sehari) membantu menghilangkan edema.
Minum tidak perlu dibatasi karena akan mengganggu fungsi ginjal kecuali bila
terdapat hiponatremia. Diet tinggi protein teutama protein dengan ilai biologik
tinggi untuk mengimbangi pengeluaran protein melalui urine, jumlah kalori harus
diberikan cukup banyak.
7. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari
dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan
edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein
yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang
persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus
mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami
anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
8. Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 – 4 gram/kgBB/hari,
dengan garam minimal bila edema masih berat. Bila edema berkurang dapat
diberi garam sedikit. Diet rendah natrium tinggi protein. Masukan protein
ditingkatkan untuk menggantikan protein di tubuh. Jika edema berat, pasien
diberikan diet rendah natrium.
9. Kemoterapi
Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang
mempunyai efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis
pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering
terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat
dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya
pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan
hipertensi.
Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk
mengangkat cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik
(imunosupresif). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis
dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan
siklofosfamid.
c. Rencana Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L. J.1999. Hand Book of Nursing (Buku Saku Diagnosa Keperawatan), alih bahasa:
Monica Ester. Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilyinn E, Mary Frances Moorhouse. 2000. Nursing Care Plan: Guidelines for
Planning and Documenting Patient Care (Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), alih bahasa: I Made
Kariasa. Jakarta: EGC.
Donna L, Wong. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester. Jakarta:
EGC.
Husein A Latas. 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
LEMBAR KONSUL
NO REVISI TTD