Disusun Oleh :
S16C
Kelompok 3
A. KONSEP DASAR
1. Definisi
Nefrotik sindrom adalah gangguan klinik yang ditandai dengan peningkatan
protein urine (proteinuria), edema, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia),
dan kelebihan lipid dalam darah (hiperlipidemia). Kejadian ini diakibatkan oleh
kelebihan pecahan plasma protein ke dalam urine karena peningkatan permeabilitas
membran kapiler glomerulus. (dr.nursalam, dkk. 2009)
Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi hal-hal:
Proteinuria masif> 3,5 gr/hr, Hipoalbuminemia, Edema, Hiperlipidemia. Manifestasi dari
keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membran kapiler glomelurus dan
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus. (Muttaqin, 2012)
2. Etiologi
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi.
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:
a. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya
adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua
pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada
masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita
meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
b. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh:
1) Malaria kuartana atau parasit lain.
2) Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
3) Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.
4) Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan
lebah, racun oak, air raksa.
5) Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif
hipokomplementemik.
c. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya )
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan
mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4 golongan
yaitu: kelainan minimal,nefropati membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan
glomerulosklerosis fokal segmental. (Herdman, 2012)
4. Patofisiologi
Glomeruli adalah bagian dari ginjal yang berfungsi untuk menyaring darah. Pada
nefrotik sindrom, glomeruli mengalami kerusakan sehingga terjadi perubahan
permeabilitas karena inflamasi dan hialinisasi sehingga hilangnya plasma protein,
terutama albumin ke dalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi
albumin, namun organ ini tidak mampu untuk terus mempertahankannya. Jika albumin
terus menerus hilang maka akan terjadi hipoalbuminemia.
Hilangnya protein menyebabkan penurunan tekanan onkotik yang menyebabkan
edema generalisata akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskuler ke dalam ruang
cairan ekstraseluler. Penurunan volume cairan vaskuler menstimulli sistem renin-angio-
tensin, yang mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH) dan
aldosteron menyebabkan reabsorbsi natrium (Na) dan air sehingga mengalami
peningkatan dan akhirnya menambah volume intravaskuler.
Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis LDL ( Low Density
Lipoprotein) dalam hati dan peningkatan kosentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia).
Adanya hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati
yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak dalam
urin ( lipiduria ). (Toto Suharyanto, 2009).
Menurunya respon immun karena sel immun tertekan, kemungkinan disebabkan
oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. Penyebab mencakup
glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus
sistemik, dan trombosis vena renal
5. Pathways
(Carpenito, 2009)
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Urine
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor,
sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin,
porfirin.
2) Darah
Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium
biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan
dengan retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran
jaringan (hemolisis sel darah merah). Klorida, fsfat dan magnesium meningkat.
Albumin <>
b. Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.
7. Penatalaksanaan
a. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan tidak
berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk mempertahankan
tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat badan yang cepat.
b. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari
dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan
edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein
yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang
persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus
mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia
akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
c. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma
terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus
dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut,
menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus
dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan popok yang tidak
menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
d. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan
untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
e. Kemoterapi:
1) Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai
efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan
sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan
cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau
diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan,
osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.
2) Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat
cairan berlebihan, misalnya obat-obatan spironolakton dan sitotoksik (
imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis
dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan
siklofosfamid.
a. Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan
mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma
intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
b. Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami
infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang
menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
c. Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat, penimbnagan
harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
d. Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu dengan
penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting. Penyakit
ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi
dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua
sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan
frustasi akan timbul pada mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan
di rumahn sakit.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Data etiologi masalah
Ds: Kehilangan Kelebihan
An. A (6 tahun ), JK : laki-laki, datang dibawa ibunya protein volume
kerumah sakit dengan keluhan badan anaknya bengkak- sekunder cairan
bengkak di seluruh badan terutama dibagian wajah dan terhadap
mata. peningkatan
Ibunya mengatakan 5 hari SMRS saat bangun tidur pagi permeabilitas
hari mata anaknya sembab, namun sembab berkurang di sekunder
sore hari, sembab juga menyebar dibagian perut dan
esoknya pada kedua kaki.
sejak 4 hari yag lalu BAK berwarna merah tua dan
sedikit.
Do:
oedem priorbita (+)
pada ektstremitas pitting edema (+) dengan derajat II.
nadi 112x/menit
RR : 44x/menit
tekanan darah 130/80mmHg
darah (+2)
urobilonogen (+1)
leukosit (+1)
Ds: Pasien anoreksia (+) Anoreksia ketidakseimb
Do: angan nutrisi
kolesterol total 479 gr/dl kurang dari
Protein total 2,4 g/dl, kebutuhan
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan b.d Kehilangan protein sekunder terhadap peningkatan
permeabilitas sekunder
b. ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Anoreksia
c. kerusakan integritas kulit b.d edema
d. resiko infeksi b.d kerusakan jaringan
3. Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional
Kelebihan volume Tujuan : Dalam h. Kaji masukan yangh. perlu untuk
cairan b.d waktu 3x24 jam relatif terhadap menentukan fungsi
Kehilangan protein pasien tidak keluaran secara ginjal, kebutuhan
sekunder terhadap menunjukkan bukti- akurat. penggantian cairan dan
peningkatan bukti akumulasi i. Timbang berat penurunan resiko
permeabilitas cairan (pasien badan setiap hari kelebihan cairan.
sekunder mendapatkan (ataui lebih sering i. Mengkaji retensi
volume cairan yang jika diindikasikan). cairan
tepat) j. Kaji perubahan j. Untuk mengkaji ascites
edema : ukur dan karena merupakan
lingkar abdomen sisi umum edema.
Kriteria hasil: pada umbilicus serta
k. Agar tidak
Penurunan edema, pantau edema mendapatkan lebih dari
ascites sekitar mata. jumlah yang
Kadar protein darahk. Atur masukan dibutuhkan
meningkat cairan dengan l. Untuk
Dr. Nursalam, pransisca. 2009. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan. Salemba medika. Jakarta.
Herdman, T. Heather. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Ahli Bahasa
: Made Sumaryati, Nike Budhi Subekti ; Editor Edisi Bahasa Indonesia : Barrarah Barlid,
Monica Ester, Wari Praptiani. Jakarta : EGC, 2012.
Mansjoer, Arif, dkk, (2012), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Jilid 1, Media Aesculapius:
Jakarta
Muttaqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba
Medika
Suharyanto, tato, & mudjid, abdul. 2009. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem perkemihan. Salemba Medika. Jakarta.