Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan professional yang
merupakan bagian internal dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu
dan kiat keperawatan dengan bentuk pelayanan biologis, psikologis, social,
dan masyarakat baik yang sehat maupun yang sakit dan mencakup seluruh
proses kehidupan manusia (Depkes, 2000).

Perawat sebagai tenaga profesional dalam bidang kesehatan hendaknya


mengikuti perkembangan zaman dan perkembangan teknologi terutama
terkait dengan peralatan medis yang ada saat ini, sehingga dalam
aplikasinya perawat memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup
tentang fungsi beberapa peralatan medis.

Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan membahas tentang salah
peralatan medis yaitu DC Syok.
B. Tujuan Penulisan
Untuk memperoleh gambaran dan wawasan pengetahuan tentang peralatan
DC Syok.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR DC SYOK


Dc syok merupakan suatu cara memberikan renjatan arus listrik
langsung ke jantung lewat sepasang elektroda yang diletakkan pada dinding
toraks untuk menghentikan takikardia ventricular dan supraventrikuler.
Pemberian renjatan sinkron gelombang R (Kompleks QRS). Renjatan
listrik mendepolarisasi sel pemacu jantung automatic dan sel miokardial
serta menghilangkan atritmia. Nodus sinoatrial, nodus atrioventrikular dan
system purkinje mengambil alih irama jantung.
Defibrillator adalah peralatan elektronik yang dirancang untuk
memberikan kejut listrik dengan waktu yang relatif singkat dan intensitas
yang tinggi kepada pasien penyakit jantung.
Pengulangan pemberian kejut listrik paling lama 45 detik sejak
jantung berhenti. Energi External yang diberikan antara 50 sampai 400
Joule. Energi Internal yang diberikan maximum 1/10 External
Posisi elektroda (paddles) : anterior - anterior (apex - sternum) atau
anterior posterior. Diameter elektroda antara 8 - 10 cm untuk dewasa.
Pengaturan energi, dan pemeberian energi di kontrol oleh mikrokontroler.
Sebelum Pemberian pulse defibrillator pada permukaan elektroda diberikan
gel elektrolit.
Ada dua jenis defibrillator: a.c defibrillator dan d.c defibrillator.
Untuk a.c defibrillator sudah tidak digunakan lagi. Mempunyai elektroda
(paddles) yang mempunyai diameter 8 - 10 cm (untuk dewasa). Energi yang
diberikan berkisar antara : 50- 400 Joules. Pemberian defibrillator dapat
dilakukan dengan cara sinkronisasi atau asinkronisasi. Posisi elektroda
(Paddles) dapat diletakkan pada posisi anterior - anterior (Apex-sternum)
atau posterior anterior. Pada saat pemberian defibrillator hindari
bersentuhan antara pengguna alat dengan pasien

2
Panduan d.c defibrillator
Terdiri dari trafo berkekuatan besar dan pada sekundernya terdapat
penyearah dan capastor.Penyearah ini akan megisi energi listrik pada
kapasitor, besarnya energi listrik akan dikontrol oleh mikrokontrol. Pada saat
discharge (pemberian) energi pada pasien dengan menekan switch yang
berada pada ujung elektroda. Bila memilih jenis sinkron, dapat dilakukan
dengan menekan key board (sinkron).
\

Pada Prinsipnya Prosedur Pengoperasian Defibrillator Dibagi Dalam


Tiga Tahap
1. Pemilihan besarnya energi dan mode pengoperasian
2. Pengisian energi (charge) pada kapasitor
3. Pembuangan energi dari kapasitor ke pasien (discharge).

Prinsip Dasar Defibrillator

1. Besarnya energi dilakukan dengan memutar selector pemilihan energi R3,


set Level yang akan mengatur besarnya tegangan yang akan timbul pada
pengisian kapasitor C1.

3
2. Bila tombol charge ditekan maka akan terjadi pengisian kapasitor C1, dan
tegangan pada kapasitor C1, dideteksi oleh detector A1 melalui pembagi
tegangan R1 dan R2yang bersesuaian dengan tegangan pada C1.
3. Bila tegangan pada pembagi tegangan telah lebih besar dari tegangan R3,
maka A1 keluarannya akan menyebabkan High-voltage DC supply tidak
lagi mensupply tegangan ke kapasitror C1.
4. Bila ditekan tombol discharge tegangan pada kapasitor C1 akan berpindah
sehingga tubuh atau jantung akan mendapatkan energi listrik dari kapasitor
C1. Bentuk tegangan yang diberikan pada pasien dipengaruhi oleh adanya
induktor

Bentuk Energi Yang Diberikan Ke Pasien


Satu phase (Monophasic)

Dua phase (Biphasic)

Untuk besarnya energi listrik Biphasic yang diberikannya berkisar 2


sampai dengan 200 joule

4
DC syok mempunyai 2 buah elektroda yang telah terpasang pada dada pasien
(pads electrode)
1. Strenum
2. Apeks

Metode defibrillator
1. Asinkron
Pemberian shock listrik jika jantung sudah tidak berkontraksi lagi, secara
manual setelah pulsa R.
2. Sinkron
Pemberian shock listrik harus disinkornkan dengan signal ECG dalam
keadaan berfibrasi, jadi bila tombol discharge ditekan kapanpun maka
akan membuang setelah pulsa R secara otomatis.

Defibrilator “Defigard 5000 Schiller”

5
Pada alat ini terdapat beberapa indicator pengukuran
1. Monitor :SPO2, NIBP, ECG, Trend Display
2. Defibrilasi
3. Pacemaker
4. Paddle

Siklus Pemeliharaan

6
Maintenance
Pengecekan secara fisik
1. Apakah chasing dalam keadaan baik
2. Kabel elektroda rusak
3. Pengepakan elektroda yang sudah kadaluarsa

Pengecekan pada paddle


1. Hubungkan kabel paddle dan gabungkan
2. Set ke energy level 90 joule
3. Tahan paddle dan lakukkan trigger
4. Lalu lihat pada monitor apakah tertulis “OK”
Cleaning
1. Pastikan alat dalam keadaan mati dan tidak terhubung dengan listrik,
Pembersihan dapat dilakukan dengan cara
2. Usap penutup dengan menggunakan kain halus dan bersih, beri cairan
disinfektan (alcohol 70 %). Pastikan tidak ada cairan yang masuk ke dalam
alat
3. Musnahkan aksesoris sekali pakai sesegera mungkin untuk mencegah
penggunaan kembali
4. Untuk paddle dapat diusap dengan kain halus beserta cairan disinfektan
atau air sabun, pastikan sampai kering
5. Spoon electrode dapat dibersihkan dengan cara penguapan, radiasi, dan
memakai ethylene oxide
6. Untuk membersihkan lead sensor dapat menggunakan disifektan juga, tapi
pastikan celah terlepas dari alatnya

7
B. Indikasi Pasien
Kardioversi darurat
1. Takikardi supraventrikular, fluter atrial, dan fibrilasi atrial dengan
hipotensi, hipoperfusi sistemik, gagal jantung kongestif, atau iskemia
miokard.
2. Takikardia ventrikel dengan nadi palpasi gagal berubah ke irama sinus
dengan lidokain atau amiodaron.

Kardioversi elektif.
Kardioversi dilakukan elektif pada takikardia supraventrikuler, fluter atrial,
dan fibrilasi atrial, yang gagal berubah ke irama sinus dengan digitalis,
propranolol, adrofonium, fenilefrin, kuinidin, atau verapanil.
Irama sinus lebih baik daripada aritmia karena curah jantung lebih banyak
dan lebih rendah angka embolisme.

C. Kontraindikasi
1. Intoksikasi digitalis. Fibrilasi ventrikel dapat terjadi walaupun
dilakukan kardioversi sinkron, Stimulasi cepat atrium dengan pemacu
temporer (TPM) dapat merubah atritmia supraventrikular.
2. Penyakit sistem konduksi. Blok atrioventrikular dipasang profilaktik
Temporer Pace Maker (TPM).
3. Pasien dengan tidak mampu bertahan pada irama sinus.
4. Fibrilasi atrial yang telah lama atu bertahun.
5. Kardioversi dengan fibrilasi atrial cepat berulang, dengan dosis kuinidin
profilaktik.
6. Post operasi baru katup jantung, kardioversi ditunda 10-14 hari, TPM
dapat menghentikan takiaritmia.

8
D. Evaluasi Pasien
Evaluasi tentang hipertiroidisme, intake, digitalis, hipoksemia, stress
psikologik, anemia, hipokalemia, hiperkalemia, hipokalsemia,
hipomagnesemia, atau gangguan metabolic autonom lain yang
menyebabkan aritmia.

E. Persiapan
persiapan alat :

1. Defibrilator (automated external defibrillators / AEDs), semi


automated defibrilator, defibrilator standar dengan monitor
2. Paddle atau adhesive patch
3. Gel konduktif
4. Monitor EKG dengan perekam
5. Perlengkapan oksigenasi
6. Alat-alat intubasi
7. Emergency pacing equipment
8. Manset tensimeter (automatis atau manual)
9. Monitor saturasi oksigen
10. Perekam nadi
11. Akses intravena
12. Alat penghisap (suction)
13. Obat-obatan Advanced Cardiovascular Life Support

Persiapan Pasien:
1. Jelaskan prosedur secara penuh kepada keluarga, termasuk komplikasi
potensialnya dan dapatkan izin tertulis.
2. Berikan antikoagulan profilaktik, dianjurkan pada pasien atrial fibrilasi
dengan riwayat embolisme, stenosis mitral, gagal jantung kongestif, atau
pembesaran atrium kiri.
3. Hentikan digitalis, 24 jam sebelum kardioversi dan 48-72 jam pada
pasien tua. Digoxin bekerja selama 2-5 hari.

9
4. Berikan kuinidin(300 mg tiap 6 jam) selama 2 hari sebelum kardioversi,
menurunkan 40% pemulihan ke irama sinus, tetapi kadang pencetus VT
atau VF.
5. Puasakan pasien 6 jam sebelum tindakan kardioversi.
6. Rawat pasien dengan monitor EKG, untuk evaluasi irama dan evaluasi
EKG 12 lead.
7. Letakkan lempeng resusitasi jantung di bawah dada pasien.

Personalia:
Dokter atau perawat terampil kardioversi, anestesi dibutuhkan untuk
penatalaksanaan intubasiendotrakeal.

Persiapan Alat:
1. Kardioverter arus searah (DC) dengan monitor osiloskop, modus
sinkronisasi tombol seleksi tingkat energi, pedal elektroda dan jelly
elektroda.
2. Obat sedasi: amnesia atau anastesi selama kardioversi dengan diazepam
(valium), pentothal atau brevithal.
3. Resusitasi: Lempeng dipunggung, section, oksigen, intubasi set(ETT,
lavingoskope, guidel, jelly, spatel) ambubag dan obat atropine serta
antiaritmia.

Prosedur defibrilasi jantung yang berkualitas baik memerlukan beberapa


pelaksana yang terlatih dan respon yang cepat dan sesuai. Prosedur untuk
henti jantung adalah pelaksana pertama harus langsung memulai resusitasi
jantung paru (RJP) dengan kompresi dada, dan pelaksana kedua mengambil
dan menyalakan defibrilator, meletakkan elektroda atau paddle dan
memeriksa ritme jantungPemeriksaan ritme harus cepat dan singkat, dan
bila terdapat ritme yang teratur maka dilakukan pemeriksaan nadi. Kalau

10
ada keraguan tentang ada/tidaknya nadi, kompresi dada harus segera
dilanjutkan.

Langkah berikut ditentukan oleh alat yang tersedia; defibrilator otomatis


atau manual.

Defibrilator Otomatis (Automated External Defibrillator)

Pada defibrilator otomatis, bila alat mendeteksi fibrilasi ventrikel atau


takikardia ventrikular, alat akan dengan sendirinya melakukan charge,
menyatakan ‘clear’ untuk menjauhkan orang di sekeliling, dan memberi
kejut secepatnya. RJP harus dilanjutkan secepatnya setelah kejut telah
dihantarkan (tanpa pemeriksaan ritme atau nadi terlebih dahulu, dan dimulai
dengan kompresi dada). RJP dilanjutkan selama dua menit sebelum
pemeriksaan ritme berikutnya.

Defibrilator Manual

Pada defibrilator manual, bila ritme yang terlihat adalah VT/VF, pelaksana
pertama melanjutkan RJP dan pelaksana kedua melakukan charge pada alat.
Sesudah charge dilakukan, RJP dihentikan untuk memastikan area
sekeliling pasien clear dan pelaksana kedua memberi kejut secepatnya.
Pelaksana pertama segera memulai kembali RJP selama dua menit, setelah
itu baru pemeriksaan ritme jantung.

Terdapat defibrilator bifasik dan monofasik; pada defibrilator bifasik,


pelaksana sebaiknya menggunakan dosis energi yang direkomendasikan
oleh alatnya (sekitar 120 hingga 200 J). Kalau dosis rekomendasi tidak
diketahui, pelaksana dapat menggunakan dosis maksimal. Kejut yang kedua
dan berikutnya harus menggunakan jumlah dosis energi yang sama, atau
lebih tinggi jika tersedia. Defibrilator monofasik menggunakan energi 360 J
pada dosis pertama dan berikut- berikutnya. Dosis energi anak 4J per kg

11
[16]. Kalau VF berhenti setelah pemberian shock tapi kemudian muncul
lagi, berikan jumlah energi yang sama dengan shock yang berhasil.

F. Penatalaksanaan Kardioversi

Pada henti jantung (cardiac arrest) dengan fibrilasi ventrikel energi yang
dibutuhkan 200-400 Joule.

Paddle pertama diberi jelly secukupnya dan diletakkan di dada bagian depan
sedikit sebelah kanan sternum di sela iga III, paddle kedua setelah diberi jelly
diletakkan di sebelah kiri apeks kordis.

Alat defibrilator dinyalakan dan dipilih tingkat energi yang ditentukan, alat untuk
sinkronisasi gelombang R juga dinyalakan lalu kedua paddle diberi tekanan yang
cukup dan alat dinyalakan dengan energi yang dibutuhkan, misalnya untuk
fibrilasi ventrikel diberikan energi 200 Joule.

Bila belum berhasil dinaikkan menjadi 300 Joule sampai 400 Joule. Pasien yang
menderita cardiac arrest paling sedikit harus dicoba 3 kali, sebagai awal tindakan
resusitasi.

Kardioversi dapat mengembalikan irama sinus sampai 95%, tergantung tipe


takiaritmia. Tetapi kadang-kadang gangguan irama timbul lagi kurang dan 12
bulan. Oleh karena itu mempertahankan irama sinus perlu dilakukan dengan
memperbaiki kelainan jantung yang ada dan memberikan obat anti-aritmia yang
sesuai. Bila irama sinus sudah kembali maka atrium kiri dapat mengecil dan
kapasitas fungsional akan menjadi lebih baik.

1. Letakkan pasien terlentang di atas lempeng resusitasi jantung.


2. Pasang elektroda monitor EKG pada dada pasien.
3. Nyalakan tombol kardioversi dan sinkronisasi.
4. Singkirkan oksigen atau peralatan atau bahan yang mudah terbakar.

12
5. Berikan obat sedative perlahan, pantau frekuensi jantung, respirasi dan
tekanan darah.
6. Berikan jelly pada pedal elektroda kardioversi, bantalan kasa larutan
garam tidak dipakai karena menyebabkan lengkungan arus.
7. Tipe kardioverter anteroapikal, elektroda pertama diletakkan di bawah
klavikula kanan tepat lateral sternum dan elektroda kedua diletakkan di
bawah putting susu anterior aksilaris.
8. Pilih tingkatan energi 100 joule.
9. Pastikan tidak ada kontak operator, orang lain dan pasien terhadap bahan
konduktor (logam, air, ventrikulator).
10. Berikan renjatan listrik bila sedasi pasien memadai dengan tekanan
mantap 11,25 kg pada pedal elktroda.
11. Periksa nadi pasien, EKG, dan jalan napas segera setelah renjatan listrik
kardioversi. Reaksi kardiovaskuler setelah renjatan listrik tampak vagal
dengan bradikardia disusul takikardia 30 detik reaksi simpatis.
Aritmia ventrikel atau kelainan gelombang ST dapat menunjukkan
kerusakan miokard akibat renjatan atau interaksi obat denga renjatan
listrik.
12. Bila renjatan gagal, tingkatkan dosis energi secara bertahap 100, 200,
300, 360 joules sampai aritmia dikonversi atau sampai 360 mjoules
gagal, Biarkan 2 menit di antara renjatan listrik untuk supraventrikular
takikardia, karena lambat berkonversi.

13
14
G. Asuhan Keperawatan Post Kardioversi
1. Lakukan pemeriksaan singkat, kaji komplikasi segera seperti hipotensi,
embolisasi sistemik, edema paru, dan aspirasi.
2. Periksa EKG 12 lead dan pantau irama EKG pasien selama beberapa
jam.
3. Pasien bedrest total.
4. Lanjutkan obat antiaritmia maintenance amiodaron 450 mg/24 jam.

H. Komplikasi kardioversi.

Salah satu komplikasi kardioversi yang umum adalah aritmia. Aritmia dapat
timbul sesudah kardioversi secara listrik, karena sinkronisasi terhadap
gelombang R tidak cukup sehingga shock listrik terjadi pada segmen ST atau
gelombang T dan dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel. Kalau kamu
menemui kondisi ini, kamu dapat melakukan DC countershock sekali lagi.

Selain itu komplikasi lain yang dapat timbul adalah bradiaritmia atau asistol,
sehingga di IGD-mu perlu disiapkan obat atropin dan pacu jantung sementara.

Komplikasi thromboemboli dilaporkan terjadi 1-3% pada pasien fibrilasi atrial


kronik yang dikonversi menjadi irama sinus. Sehingga, pada pasien dengan
fibrilasi atrial yang sudah lebih dari 23 hari sebaiknya diberi antikoagulan
selama 2 minggu sebelum dilakukan tindakan kardioversi.

Hal ini terutama untuk pasien dengan stenosis mitral dengan atrium kiri yang
membesar dan terjadi fibrilasi atrial yang baru.

1. Luka baker kulit. Kontak elektroda tidak memadai atau renjatan


berulang dapat timbul luka baker derajat I-II.
2. Aritmia. Irama qtrioventrikuler, VES, VT dan VF dapat timbul setelah
renjatan.
3. Kerusakan otot jantung. Perubahan gelombang T dan ST terjadi sekitar
1% dan peningkatan CKMB sekitar 9% pasien.

15
4. Pembesaran jantung.
5. Edema paru. Diduga paralisis atrial kiri.
6. Embolisasi sistemik, sekitar 0,8% lebih tinggi pada atrium kiri besar,
stenosis mitral, CHF, atau emboli sebelumnya.
7. Hipotensi. Singkat dan berakhir beberapa jam.
8. Pneumonia aspirasi.

I. Penggunaan Obat Pada Defibrilasi

Apabila VF / pulseless VT bertahan setelah pemberian kejut pertama dan RJP


selama 2 menit, pasien dapat diberikan medikasi. Pengobatan yang diberikan
adalah vasopressore dengan tujuan meningkatkan aliran darah miokardium saat
RJP dan mencapai return of spontaneous circulation (ROSC). Puncak efek
pemberian vasopressor intravena (IV) atau intraosseous (IO) adalah sekitar 1 -2
menit setelah pemberian dosis bolus. Waktu optimal untuk pemberian vasopressor
saat RJP selama 2 menit belum ditentukan, karena bila ritme gagal diperbaiki
maka obat ini dapat meningkatkan aliran darah miokard agar kejut berikutnya
berhasil. Namun kalau kejut pertama berhasil, pemberian obat vasopressor
(sebelum mengecek ritme) dapat mengganggu stabilitas jantung. Permasalahan
berikut adalah kalau menambahkan pengecekan ritme diantara pemberian kejut
dan sebelum pemberian vasopressor dapat mengurangi perfusi miokardium dan
menggagalkan ROSC.

Obat antiaritmia lini pertama untuk henti jantung adalah amiodarone, yang telah
dibuktikan secara klinis dapat meningkatkan ROSC pada pasien dengan
refractory VF/pulseless VT. Amiodarone dapat dipertimbangkan bila ritme gagal
diperbaiki oleh defibrilasi, RJP, atau terapi vasopressor. Kalau amiodarone tidak
tersedia, pasien juga dapat diberikan lidocaine walaupun lidocaine belum terbukti
untuk meningkatkan ROSC. Obat magnesium sulfate hanya boleh diberikan
kepada pasien dengan torsades de pointes dengan interval QT yang memanjang.

16
Tujuan pemberian pengobatan ACLS saat henti jantung adalah untuk mencapai
ROSC atau hospital admission. Namun penggunaan obat-obatan ini belum
dibuktikan dapat meningkatkan survival rate hingga hospital discharge atau
outcome neurologis yang baik.

Vasopressor

Tujuan pemberian vasopressor adalah untuk meningkatkan aliran darah di


miokardium untuk dapat mencapai ROSC. Belum ditemukan perbaikan pasien
hingga discharge atau perbaikan neurologis dengan penggunaan vasopressor.
Obat vasopressor yang dapat digunakan adalah:

Epinephrine

1. Dosis epinephrine adalah 1 mg IV/IO setiap 3 – 5 menit, epinefrin dapat


diberikan 2 – 2.5 mg endotrakeal bila akses IV/IO tidak didapat
2. Epinephrine hydrochloride memiliki efek stimulasi terhadap reseptor α-
adrenergic (vasokonstriktor), tetapi efek terhadap reseptor β-adrenergic
kontroversial karena dapat meningkatkan kerja miokardium dan
mengurangi perfusi subendokardial

Vasopressin

1. Dosis vasopressin adalah 40 unit IV/IO, dan dapat menggantikan dosis


pertama atau kedua epinephrine
2. Vasopressin adalah vasokonstriktor yang non-adrenergic. Beberapa
randomized controlled trial (RCT) dan meta-analisis tidak menemukan
perbedaan pada outcome antara penggunaan vasopressin atau epinephrine
sebagai vasopressor lini pertama untuk henti jantung

17
Amiodarone

1. Dosis awal 300 mg IV/IO, kemudian diikuti oleh satu dosis lanjutan 150
mg IV/IO
2. Amiodarone memiliki pengaruh terhadap channel sodium, kalium, dan
kalsium dan dapat blok reseptor α dan β

Lidocaine

1. Dosis awal adalah 1 – 1.5 mg/kg IV, jika ritme bertahan dapat diberi dosis
tambahan 0.5 – 0.75 mg/kg IV dengan interval 5-10 menit, hingga dosis
maksimal 3 mg/kg
2. Lidocaine dapat diberikan bila amiodarone tidak tersedia; obat ini belum
dibuktikan efektif untuk meningkatkan survival jangka pendek atau jangka
panjang pasien henti jantung

Magnesium Sulfat

1. Dosis magnesium sulfat 1 – 2 g yang diencerkan di 10 mL D5W secara


bolus IV/IO
2. Pemberian magnesium sulfat via IV dapat membantu terminasi torsades de
pointes, tetapi tidak disarankan untuk VT polimorfik/ireguler dengan
interval QT yang normal

Intervensi ACLS seperti pengecekan nadi, pemasangan intubasi trakeal,


pemasangan akses vena atau pemberian obat adalah tindakan-tindakan yang
sebaiknya tidak menghambat kompresi dada atau defibrilasi. Beberapa intervensi
ini dapat meningkatkan kemungkinan return of spontaneous circulation (ROSC)
tetapi belum dibuktikan dapat meningkatkan keselamatan hingga pulang dari
rumah sakit sehingga direkomendasikan, tetapi tidak diperbolehkan mengganggu
kualitas RJP dan defibrilasi . Saran ACLS adalah untuk menghindari semua
tindakan yang mengganggu kelancaran resusitasi jantung paru, atau sebaiknya

18
intervensi lain dilakukan bersamaan dengan RJP atau di jeda saat pengecekan
ritme jantung

J. Follow up

Pasien dengan henti jantung yang diresusitasi harus dirawat di ruang intensif
dengan pengawasan ketat karena memiliki resiko tinggi rekurensi. Perlu dilakukan
pemeriksaan lengkap dari sistem saraf pusat, miokardium, dan sistem tubuh
lainnya untuk mengetahui kerusakan yang disebabkan oleh hipoksemia, iskemia
dan reperfusi yang terjadi saat resusitasi. Pemeriksaan juga harus dilakukan untuk
mencari etiologi henti jantung. Secara lebih detil, terdapat guideline spesifik untuk
post-cardiac arrest care yang disediakan oleh ACLS yang mencakup perawatan
jantung, suhu, neurologi, respiratorik, sedasi dan penatalaksanaan gawat lainnya

Sekitar setengah dari pasien dengan henti jantung memiliki tanda-tanda infark
miokard akut, yang memerlukan terapi segera. Konsultasi ke bagian kardiologi
harus dilakukan untuk semua pasien yang selamat dari henti jantung, dan
revaskularisasi dipertimbangkan. RJP yang dilakukan lebih dari sepuluh menit
dianggap kontraindikasi untuk terapi trombolisis. Pasien dengan resiko tinggi
rekurensi VF dapat dilakukan pemasangan automated implantable cardioverter
defibrillators (AICDs).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa setelah prosedur defibrilasi yang sukses


dan cepat dilakukan kepada pasien henti jantung, mayoritas pasien akan
mengalami kualitas hidup dan survival rate yang sangat baik. Menurut penelitian,
sekitar 71% dari total jumlah pasien yang keluar dari rumah sakit cardiac arrest
bertahan hidup saat di follow up pada tahun kelima

Post Cardiac Arrest Care

Perawatan pasien pasca resusitasi adalah hal yang sangat penting—mayoritas


kematian terjadi 24 jam setelah henti jantung. Pemberian perawatan yang sesuai
dapat mengurangi mortalitas akibat gangguan hemodinamika yang dapat

19
menyebabkan kegagalan multiorgan dan brain injury. Tujuan awal post cardiac
arrest care adalah untuk meningkatkan perfusi sistemik, mengembalikan
homeostasis metabolik, dan mendukung fungsi organ agar fungsi neurologis
dipertahankan.

Prinsip Post-Cardiac Arrest Care adalah sebagai berikut:

1. Memastikan dan mempertahankan jalur nafas segera setelah ROSC,


terutama pada pasien tidak sadar. Bila pasien saat awal dipasangkan
supraglottic airway, sebaiknya diganti dengan endotracheal tube
2. Oksigen yang digunakan sebaiknya dikurangi menjadi jumlah yang ter-
rendah untuk mencapai saturasi oksigen arterial ≥94% untuk menghindari
toksisitas oksigen
3. Tanda vital dan EKG sebaiknya dipantau terus menerus hingga ICU,
hingga pasien mencapai kondisi yang stabil. Penyebab tersering henti
jantung adalah penyakit kardiovaskular dan iskemi koroner, bila ada
kecurigaan infark miokard akut sebaiknya segera ditangani
4. Akses intravena secepatnya untuk menggantikan akses intraosseus, dan
pemberian cairan salin normal bolus dipertimbangkan bila pasien
hipotensi. Obat-obatan seperti dopamine, norepinephrine atau epinephrine
dapat digunakan untuk mencapai tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg atau
mean arterial pressure ≥65 mmHg
5. Diperlukan perhatian khusus untuk mencari penyebab henti jantung,
setelah pasien ROSC. Pemerriksaan lebih lanjut diperlukan untuk mencari
dan memperbaiki kondisi kardiak, elektrolit, toksikologi, pulmonal dan
neurologis
6. Dapat dipertimbangkan mnemonik H dan T yang dapat memperberat
penyembuhan bagi pasien pasca resusitasi: hipovolemia, hipoksia, ion
hidrogen (asidosis), hiper-/hipokalemi, hipotermia sedang hingga berat,
toksin, tamponade (kardiak), tension pneumothorax, dan thrombosis di
koroner atau pulmonal

20
Pengaturan Suhu Tubuh

Pengaturan dan pemantauan suhu tubuh secara ketat adalah hal yang penting
dilakukan pada pasien pasca henti jantung. Pasien yang koma setelah resusitasi
dapat diberikan terapi hipotermia selama 12-24 jam (penurunan suhu hingga 32-
34 C). Di beberapa penelitian klinis, hipotermia dapat meningkatkan fungsi
neurologis dan mengurangi mortalitas.[8] Pengaturan suhu tubuh dapat dilakukan
melalui metode hipotermi terinduksi. Terapi ini dapat meningkatkan kondisi
neurologis pada pasien yang selamat dari henti jantung. Walau demikian,
penelitian mengenai detail spesifik terapi ini seperti indikasi, waktu memulai dan
durasi, cara menginduksi, dan kapan mengembalikan kembali suhu tubuh masih
inkonklusif dan memerlukan penelitian lebih lanjut.[5,8,12

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
DC Syok adalah suatu cara memberikan renjatan arus listrik
langsung ke jantung lewat sepasang elektroda yang diletakkan pada dinding
toraks untuk menghentikan takikardia ventricular dan supraventrikuler.
Oleh karena itu, sangat penting bagi perawat untuk memiliki
pengetahhuan aplikasi tentang fungsi dan cara kerja DC syok dan
komplikasinya bagi pasien sehingga dalam penerapannya dapat
dilaksanakan dengan baik.
B. Saran
Untuk meningkatkan kulaitas pelayanan keperawatan maka penulis
memberikan saran-saran sebagai berikut;
1. Agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap profesional
2. Diharapkan kerja sama yang baik dari berbagai pihak dari tim kesehatan
lainnya khususnya tim tenaga medis lainnya untuk berbagi pengetahuan
tentang fungsi dan manfaat peralatan medis yang digunakan di fasilitas
kesehatan.

22
DAFTAR PUSTAKA
Mittal S, S Ayati, Stein KM, Knight BP, Morady F, Schwartzman D, et
al. Perbandingan gelombang Biphasic baru kotak dengan gelombang gelombang
sinus teredam monophasic untuk defibrilasi ventrikel transthoracic. Zoll
Penyidik. J Am Coll Cardiol 1999; 34: 1595-601.

Schneider T, Martens PR, Paschen H, Kuisma M, Wolcke B, Gliner BE, et


al. Multicenter, acak, percobaan dikontrol dari 150-J guncangan biphasic
dibandingkan dengan 200 - untuk 360-J guncangan monophasic dalam resusitasi
out-of-rumah sakit korban serangan jantung. Dioptimalkan Respon untuk
Penyidik Penangkapan Jantung (ORCA). Sirkulasi 2000; 102: 1780-7.

Mittal S, S Ayati, Stein KM, Schwartzman D, Cavlovich D, Tchou PJ,


dkk. Transthoracic kardioversi fibrilasi atrium: perbandingan kotak guncangan
sinus biphasic dibandingkan teredam gelombang Monophasic. Sirkulasi 2000;
101: 1282-7.

Walker RG, Melnick SB, Chapman FW, Walcott GP, PW Schmitt, Ideker
RE. Perbandingan enam defibrillator eksternal klinis digunakan pada
babi. Resusitasi 2003; 57: 73-83.

Niemann JT, Walker RG, Rosborough JP. Ischemically Induced Ventricular


Fibrilasi (VF): Sebuah Perbandingan defibrilasi Energi Tetap dan
Meningkat. Acad Pgl Med 2003; 10: 454.

23

Anda mungkin juga menyukai