Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronis


1. Pengertian
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) atau disebut juga dengan
COPD (Cronic Obstruktif Pulmonary Disease), adalah penyakit paru
kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progresif non reversibel atau reversibel parsial. (Puspasari,
2019).

Penyakit Paru Obstruktif Kronis adalah suatu istilah yang sering


digunakan untuk sekelompok penyakit paru – paru yang berlangsung
lamadan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara.
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang ditandai dengan
sebutan PPOK adalah asma, bronkitis kronik dan emfisema (Padila,
2012).

2. Klasifikasi PPOK
Menurut Puspasari (2019), berdasarkan kesepakatan para pakar
Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2011, PPOK
dikelompokan ke dalam:
a. PPOK ringan ( Derajat 0 – 1)
Gejala klinis adalah klien dengan atau tanpa batuk, dengan atau
tanpa produksi sputum dan dengan sesak nafas derajat 0 (tidak
terganggu oleh sesak saat berjalan cepat atau sedikit mendaki)
sampai 1 (terganggu oleh sesak saat bejalan cepat atau sedikit
mendaki). Sementara itu, pemeriksaan spirometernya menunjukkan
VEP ( 1 ≥ 80% prediksi (normal) dan VEP1 / KVP < 70%.
b. PPOK sedang
Gejala klinis adalah klien dengan atau batuk, dengan atau produksi
sputum dan sesak napas dengan derajat 2 (jalan lebih lambat
dibanding orang seumuran karena sesak saat berjalan biasa).

7
Poltekkes Kemenkes Padang
8

Sementara itu, pemeriksaan spirometernya menunjukkan VEP1 ≥


70% dan VEP1 / KVP < 80%.
c. PPOK berat
Gejala klinis aalah klien dengan gejala klinis sesak napas derajat 3
(berhenti untuk bernafas setelah berjalan 100 meter atau setelah
berjalan beberapa menit pada ketinggian tetap) atau 4 (sesak saat
aktivitas ringan seperti berjalan keluar rumah dan berpakaian)
dengan gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai
komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil
spinometer menunjukkan VEP1 / KVP < 70%, VEP1 < 30% prediksi
atau VEP1 > 30% dengan gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan
dengan hasil pemeriksaan analisis gas darah dengan kriteria
hipoksemia dengan normokapniaatau hipoksemia dengan
kiperkapnia. Puspasari (2019).

3. Etiologi
Ketiga penyakit yang menjadi penyebab PPOK adalah asma, bronkitis
kronik dan emfisema.
a. Asma
Faktor pencetus atau faktor penyebab asma menurut Soemantri
(2012) sebagai berikut :
1) Alergen adalah zat – zat tertentu yang bila dihisap atau
dimakan dapat menimbulkan serangan asma, seperti debu,
spora, jamur, bulu binatang, makanan laut dan sebagainya.
2) Infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus.
3) Kegiatan jasmani yang berlebihan.
4) Iritan seperti asap dan polutan.
5) Emosi atau stress.

Poltekkes Kemenkes Padang


9

b. Bronkitis Kronis
Faktor penyebab bronkitis kronis menurut Manurung (2018) ada
3 jenis yaitu :
1) Infeksi disebabkan oleh virus, yaitu virus stafilokokus,
Sterptokokus, pneumokokus dan haemophilus influenzae.
2) Alergi
3) Rangsangan, seperti asap yang berasal dari pabrik, polusi,
rokok dan lain-lain.

c. Emfiema Paru
Faktor penyebab emfisema paru menurut Tarqiyyah (2013)
sebagai berikut :
1) Rokok
Pada perokok mengalami hipersekresi mukus serta
mengalami terhambat aktivitas sel rambut getar. Iritasi
kronis akibat merokok menimbulkan peningkatan jumlah
neutrofil dan secara langsung mendorong pelepasan
protease (elastase) dari neutrofil, sehingga pada perokok
terjafi peningkatan enzim protealitik yang berasal dari
leukosit. Enzim proteolitik ini akan menginaktivasi
antiprotease (alfa-1 anti tripsin), sehingga terjadi
ketidakseimbangan aktivitas antara keduanya.
2) Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru
lebih berat dan juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan
paru.
3) Polusi
Seperti polusi industri dan udara. Polusi udara seperti
halnya asap tembakau.
4) Faktor Genetik
Faktor genetik yang mempengaruhi terjadinya PPOK adalah
autosomal recessive disorder, mutasi pada gen SERPINA1
yang terletak pada kromosom 14 yang menyebabkan

Poltekkes Kemenkes Padang


10

defisiensi ɑ1-antitripsin dan gangguan pada gen yang


memberikan instruksi untuk menghasilkan ɑ1-antitripsin.
ɑ1-antitripsin adalah senyawa protein atau polipeptida yang
dapat diperoleh dari darah cairan bronkus. ɑ1-antitripsin
yang terdapat di saluran pernafasan jumlahnya sedikit yaitu
hanya sekitar 1-2% dari plasma darah dan kapasitas
inhibisinya 30% dari aktivitas plasma darah.

ɑ1-antitripsin berperan sebagai antiprotease atau inhibitor


dari protease serin. Gangguan pada ɑ1-antitripsin akan
menyebabkan ketidakseimbangan protease-antipretease,
dimana kerja protease meningkat dan akan terjadi kerusakan
elastin yang merupakan komponen jaringan ikat utama
parenkim paru (Puspasari, 2019).

4. Patofisiologi
PPOK terdiri dari penyakit asthma, bronchitis, dan emfisema paru. Asma
terjadi akibat alergi yang bergantung kepada respon IgE yang
dikendalikan oleh limfosit T dan B serta diaktifkan oleh interaksi antara
antigen dengan molekul IgE yang berikatan dengan sel mast. Sebagian
besar alergen yang mencetuskan asma bersifat airbone dan agar dapat
menginduksi keadaan sensitivitas, maka alergen tersebut harus tersedia
dalam jumlah banyak untuk periode waktu tertentu.
Antagonis B-adrenergik biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas
pada klien asma dapat menyebabkan peningkatan reaktivitas jalan nafas
dan hal tersebut harus dihindarkan. Adanya faktor pencetus terjadinya
asma sehingga akan mengakibatkan timbulnya reaksi antigen dan
antibodi. Reaksi antigen dan antibodi akan mengeluarkan substansi
pereda alergi dan zat yang dikeluarkan dapat berupa histamin, bradikinin,
dan anafilatoksin. Hasil dari reaksi tersebut akan timbulnya otot polos
berkonstraksi, peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan sekret
mukus (Soemantri, 2012).

Poltekkes Kemenkes Padang


11

Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agent


infeksi maupun non infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan
menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang akan menyebabkan
vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan bronchospasme. Klien dengan
bronchitis kronis akan mengalami peningkatan ukuran dan humlah
kelenjer mukus pada bronchi besar, yang mana akan meningkatkan
produksi mukus, mukus lebih kental, dan kerusakan ciliarry sehingga
menurunkan mekanisme pembersihan mukus.

kerusakan ciliarry mengakibatkan menurunkanya mekanisme


pembersihan mukus, oleh karena itu, “mucocilliary defence” dari paru
mengalami kerusakan dan meningkatkan kecendrungan untuk terserang
infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjer mukus akan menjadi hipertropi
dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat. Dinding
brochial akan menebal dan meradang (Seringkali sampai dua kali
ketebalan normal) dan menganggu aliran udara. Mukus kental ini
bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak akan menghambat
beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar.
Mukus yang kental dan pembesaran broncus akan mengobstruksi jalan
nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan
udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini
menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan aksidosis.
Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan, ratio ventilasi perfusi
abnormal timbul, dimana terjadinya penurunan PaO2. Klien terlihat
sianosis. sebagai kompensasi dari hipoksemia, maka terjadi polisitemia
(overproduktif eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi
sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary. Selama
infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV
dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hipoksemia akan
timbul yang akhirnya menuju cor pulmonal dan CHF (Manurung, 2018).

Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada


dinding alveolar, yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen

Poltekkes Kemenkes Padang


12

ruang udara. Perjalanan udara tenganggu akibat dari perubahan ini.


Kesulitan selama akspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya
destruksi dinding (sputum) diantara alveoli, kollaps jalan nafas sebagian
dan kehilangan elastisitas recoil.

Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan diantara ruang
alveolar dan ruang diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini
akan menyebabkan ventilatory pada “dead space” atau area yang tidak
mengalami pertukaran gas atau darah. Kerja nafas meningkat
dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan
pertukaran oksigen dengan karbondioksida. Emfisema juga menyebabkan
destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan perfusi oksigen dan
penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap norma
sesuai dengan usia, tetapi jika timbul pada awal kehidupan (usia muda),
biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok
(Manurung,2018).

Poltekkes Kemenkes Padang


13

Rokok Polusi Udara Alergi (Debu,Jamur, Udara) Stress

Hipersensitivitas di Saluran Nafas


Dekstruksi serat-serat Hipertropi Kelenjar Peningkatan Infiltrasi Sel-Sel Edema Mukosa
Elastin dan Kolagen Paru Bronkus Jumlah Sel Radang Bronkus Reaksi Antigen dan Antibody

Hilangnya Elastisitas
Paru Batuk Produktif Pembentukan Mukus Melepaskan Histamin, Bradikinin dan Anafilaktosin

Ventilasi Berkurang Bronkiolus Rusak dan Melebar

BRONKHITIS KRONIK ASTHMA


EMFISEMA
PPOK

MK : Ketidakseimbangan Nutrisi
Kerusakan Jaringan Paru Penyempitan Saluran Nafas Dekstruksi Parenkim Hipersekresi Mulut Perokok Aktif dan Pasif
Kurang dari Kebutuhan Tubuh

Sesak Nafas Eksaserbasi Akut Produksi Sputum Nafsu Makan Kurang Asupan Makanan
MK : Bersihan Jalan
Tekanan Hidrostastik Pulmonal Dinding Alveoli Rusak Akibat Infeksi Kompensasi Vaskular Nafas Tidak Efektif

Aliran Limfatik Kerusakan Difusi Hipertensi Pulmonal

Cairan Transudat ke Alveolus Hipoksemia Gagal Jantung Pulmonal Gagal Pompa Ventrikel Kanan

Edema Pulmonal Eliminasi CO2 Mengalami Kerusakan Gagal Pompa Ventrikel Kiri

Mk : Gangguan Gagal Nafas PaCO2 Forward Failure Back Failure


Mk : Pola Nafas Pertukaran Gas
Tidak Efektif
Suplai O2 menurun Suplai Darah Ke Jaringan

WOC PPOK Hipoksia Metabolisme Anaerob MK : Intoleransi


Manurung (2018) & Manurung (2016) Mk : Perfusi Perifer Aktivitas
Tidak Efektif Asidosis Metabolik ATP Lelah
Poltekkes Kemenkes Padang
14

5. Manifestasi Klinis
Menurut Manurung (2018), tanda dan gejala PPOK mengarah pada dua
tipe pokok yaitu mempunyai gambaran klinik dominant ke arah
bronchitis kronis dan mempunyai gambaran klinik dominant ke arah
emfisema. Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut :
a. Kelemahan badan.
b. Batuk.
c. Sesak napas.
d. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi.
e. Mengi atau Wheeze.
f. Ekspirasi yang memanjang.
g. Penggunaan otot bantu pernapasan.
h. Suara napas melemah.
i. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal.
j. Edema kaki, asites dan jari tabuh (Manurung, 2018).

Eksaserbasi akut adalah perburukan gejala pasien yang biasanya bersifat


akut (tiba-tiba), tanda dan gejala eksaserbasi akut pada pasien PPOK
adalah sebagai berikut :
a. Peningkatan volume sputum
b. Perburukan pernafasan secara akut
c. Dada terasa berat
d. Peningkatan purulensi sputum
e. Peningkatan kebutuhan bronkodilator
f. Lelah dan lesu
g. Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik, cepat lelah dan terengah-
engah (Francis, 2011).

Poltekkes Kemenkes Padang


15

6. Komplikasi
a. Hipoxemia
Penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi
oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan
mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul
sianosis.
b. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang
muncul anatara lain : nyeri kepala, fatique, letargi, dizznes, tachipnea.
c. Infeksi Respiratory
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema
mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan
timbulnya dyspnea.
d. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),
harus diobservasi terutama pada klien dyspnea berat. Komplikasi ini
sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini. (Soemantri, 2012)
e. Cardiac Distritmia
Timbul akibat hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat, atau
asidosis respiratory.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronkial penyakit ini sangat berat, potensia mengancam kehidupan
dan seringkali tidak berespon terhadap terapi yang diberikan.
Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali
terlihat (Manurung, 2018).

Poltekkes Kemenkes Padang


16

7. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis


Gejala yang terjadi pada pasien PPOK antara lain :
a. Sistem Pernapasan
Hal-hal yang bisa terjadi adalah :
1) Batuk.
2) Sesak napas.
3) Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi.
4) Mengi atau Wheeze.
5) Penggunaan otot bantu pernapasan.
6) Suara napas melemah.
7) Kadang ditemukan pernapasan paradoksal.
8) Ekspirasi yang memanjang.

Karena pada pasien PPOK terjadi penurunan fungsi paru yang


disebabkan oleh merokok, terpapar zat-zat berbahaya dalam waktu
yang lama, dan faktor usia sehingga menyebabkan elastisitas
jaringan paru dan dinding dada makin berkurang.

Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni


jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk
digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya
dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga
disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi
ventilasi paru.

Faktor-faktor risiko diatas akan mendatangkan proses inflamasi


bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus
terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronchus
kecil (bronchiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau
obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli
pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam
alveolus dan terjadilah penumpukan udara. Hal inilah yang
menyebabkan adanya keluhan sesak nafas dengan segala akibatnya.
Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan

Poltekkes Kemenkes Padang


17

ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-


fungsi paru : ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi
darah akan mengalami gangguan (Manurung, 2018).

b. Sistem Pencernaan
1) Nafsu makan menurun
2) BB menurun
Karena pada pasien PPOK membutuhkan energi ekstra yang
diperlukan untuk memberi tenaga pada beban kerja (paru) yang
meningkat (Francis,2011).
Pasien PPOK juga mengalami penurunan kemampuan pencernaan
sekunder karena tidak cukup oksigenasi sel dalam sistem
gastrointestinal (Padila,2012).

c. Sistem Kardiovaskuler
Pada Pasien PPOK terjadi perburukan tanda dan gejala yaitu sesak
nafas meningkat dan produksi sputum meningkat sehingga
menyebabkan dinding alveoli rusak di akibatkan infeksi sehingga
terjadi kerusakan difusi O2 yang menyebabkan hipoksemia (kadar
O2 dalam darah berkurang) sehingga terjadi kompensasi vaskular
yang menyebabkan kinerja paru-paru meningkat begitu juga dengan
kinerja jantung yang menyebabkan pasien PPOK bisa terkena gagal
jantung

8. Dampak Masalah Psikososial


Pasien PPOK umumnya mengeluhkan sesak nafas yang cenderung
brtambah berat sehingga menimbulkan ansietas dan depresi yang
meningkat pada pasien PPOK yang disebabkan oleh faktor psikologis
yang mempengaruhi pasien dalam mengatasi penyakitnya.

Bentuk kelainan struktur jaringan pada pasien PPOK yang disebabkan


oleh merokok sudah tidak dapat lagi diperbaiki, fungsi paru tidak dapat
lagi kembali normal sehingga perburukan penyakit menyebabkan
menurunnya kemampuan untuk melakukakan kegiatan sehari-hari sampai

Poltekkes Kemenkes Padang


18

terjadinya penurunan produktifitas karena penderita PPOK tidak dapat


bekerja (Francis, 2011).

9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah :
a. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya
pada fase akut tetapi juga fase kronik.
b. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas
harian.
c. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat
dideteksi lebih awal.
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut :
a. Menghilangkan faktor etiologi, misalnya segera menghentikan
merokok, menghindari polusi udara.
b. Membersihkan sekresi bronchus dengan pertolongan berbagai cara.
c. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberikan antimikroba harus
tepat dan sesuai dengan kuman penyebab infeksi.
d. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator.
Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi.
e. Penanganan terhadap komplikasi komplikasi yang timbul.
f. Pengobatan oksigen bagi yang memerlukan. Oksigen harus
diberikan dengan aliran lambat 1-2 Liter/Menit.
Tindakan Rehabilitasi Meliputi :
a. Fisioterapi
Bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
b. Latihan pernapasan. Untuk melatih penderita agar bisa melakukan
pernafasan yang paling efektif.
c. Latihan dengan olahaga tertentu dengan tujuan untuk memulihkan
kesegaran jasmani.
Pencegahan : mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara.

Poltekkes Kemenkes Padang


19

Terapi eksaserbasi akut dilakukan dengan :


a. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi.
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S.
Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0,25 – 0,56/ hari atau
eritromisin 4 x 0,56x/hari Augmentin (amoksilin dan asam
klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah
H.Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase
pemberian antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksilin atau
doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti
mempercepat penyembuhan dan mempercepat kenaikan Peak Flow
Rate. Namun hanya dalam 7 – 10 hari selama periode
eksaserbasi.bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, makadianjurkan antibiotik yang kuat.
b. Terapi oksigen diberikan jika terjadi kegagalan pernafasan karena
hiperkapniadan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
c. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan
baik.
d. Bronkodilator untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di
dalamnya golongan adrenergikb dan anti kolinergik. Pada pasien
dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250
mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 –
0,56 IV secara perlahan.
Terapi Jangka Panjang :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin
4x0,25-0,5 x/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi jalan
nafas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan
pemeriksaan obyektif dan fungsi faal paru.
c. Fisioterapi
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspetoran.

Poltekkes Kemenkes Padang


20

f. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal


nafas tipe II dengan PaO2(7,3 Pa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri, dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar
terhindar dari depresi.
Rehabilitasi untuk Pasien PPOK adalah sebagai berikut :
a. Fioterapi
b. Rehabilitasi psikis
c. Rehabilitasi pekerjaan
(Manurung, 2018).

10. Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Manurung (2018), pemeriksaan diagnostik pada pasien PPOK
sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Radiologis
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan :
1) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis
yang paralel, keluar dari hilus menuju aspek paru. Bayangan
tersebut adalah bayangan bronchus yang menebal.
2) Corak paru yang bertambah.
Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu :
b. Pemeriksaan fungsi paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR
yang bertambah dan KTP yang yang normal.
Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM
(kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (Maximal
expiratory flow rate), kenaikan KRf dan VR, sedangkan KTP
bertambah atau normal.
Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium
dini perubahan hanya pada saluran napas kecil. Pada emfisema

Poltekkes Kemenkes Padang


21

kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi


berkurang.
c. Analisa Gas Darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, Saturasi hemoglobin menurun, timbul
sianosis, terjadi vasokontriksi vaskuler paru dan penambahan
eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan
eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur
55 – 60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja
lebih berat dan merupakan salah satu penyebab jantung kanan.
d. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi Clock Wise jantung. Bila
sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P
pulmonal pada hantaran II, III dan aVF. Voltase QRS rendah di V1
rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat
RBBB inkomplet.
e. Kultur sputum untuk mengetahui patogen penyebab infeksi.
f. Laboratorium darah lengkap.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi : nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis, dan nomor
registrasi.
Biasanya penderita PPOK lebih banyak terjadi pada laki-laki dan
berusia antara 30-40 tahun (Padila, 2012).
b. Identitas penanggung jawab
Meliputi : Nama, pekerjaan, alamat dan hubungan

Poltekkes Kemenkes Padang


22

c. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan PPOK menurut Muttaqin (2008) sebagai berikut :
1) Keluhan Utama
Biasanya pasien PPOK mengeluh sesak nafas dan batuk yang
disertai sputum.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien PPOK mengeluh sesak nafas bertambah berat
saat beraktivitas dan batuk yang disertai sputum.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya memiliki riwayat merokok dan riwayat batuk kronis.
Bertempat tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya mempunyai riwayat alergi (asma) karena asma
merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan PPOK.

d. Kebutuhan ADL pasien


1) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada pasien PPOK biasanya mengalami penurunan nafsu makan
dikarenakan produksi sputum yang meningkat dan juga
mengalami penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena
tidak cukup oksigenasi sel dalam sistem gastrointestinal
(Padila,2012).
Pasien PPOK juga mengalami penurunan berat badan (BB)
yang bermakna dan progresif dikarenanakan pada pasien PPOK
terjadi hipermetabolisme saat istirahat ini karena terjadinya
perubahan respon fisiologis dan obat-obatan yang digunakan
pada pasien PPOK.
Kehilangan BB yang dialami pasien PPOK besar
kemungkinannya bersifat multifaktorial yaitu kehilangan BB
yang tidak terbatas pada penurunan komposisi lemak tubuh,
tetapi lebih meluas dan memiliki efek yang bermakna terhada

Poltekkes Kemenkes Padang


23

komposisi skelet dan komposisi otot respirasi, parenkim paru


dan regulasi lemak (Francis, 2011).
2) Pola eliminasi
Biasanya tidak ada keluhan saat BAB dan BAK
3) Pola istirahat dan tidur
Beberapa tanda dan gejalanya pasien PPOK yaitu sesak nafas
dan peningkatan produksi sputum yang menyebabkan terjadinya
obstruksi jalan nafas. Obstruksi jalan nafas pada pasien PPOK
mengurangi kapasitas paru untuk pertukaran gas sehingga
menyebabkan hipoksemia dengan ditandai pasien mengeluh
sesak nafas.
Kondisi sesak nafas saat tidur mengakibatkan simtem aktivasi
recular meningkat dan melepaskan katekolamin seperti seperti
neropinefrin yang menyebabkan individu terjaga saat sesak.
4) Pola aktifitas dan latihan
Pasien pada PPOK biasanya mengalami penurunan toleransi
terhadap aktivitas.
Bentuk kelainan struktur jaringan pada pasien PPOK yang
disebabkan oleh merokok sudah tidak dapat lagi diperbaiki,
fungsi paru tidak dapat lagi kembali normal sehingga
perburukan penyakit menyebabkan menurunnya kemampuan
untuk melakukakan kegiatan sehari-hari sampai terjadinya
penurunan produktifitas karena penderita PPOK tidak dapat
bekerja (Francis, 2011).

e. Data Psikologis
1) Status emosional
biasanya pasien merasa tidak tenang dengan kondisinya.
2) Kecemasan
Biasanya pasien merasa cemas dan takut mengenai kondisinya.
3) Gaya Komunikasi
Pasien mampu berkomunikasi dengan baik

Poltekkes Kemenkes Padang


24

4) Pola Koping
Biasanya proses penyakit membuat klien merasa tidak berdaya
sehingga menyebabkan pasien tidak mampu menggunakan
mekanisme koping dengan baik.
5) Konsep Diri
Pasien merasa takut dengan kondisinya.

f. Data Spiritual
Biasanya ada perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi
tubuh mempengaruhi pola ibadah pasien.

g. Pemeriksaan Fisik
1) Gambaran Umum
kesadaran pasien compos mentis
2) Pemeriksaan fisik head to toe
a) Kepala
Biasanya rambut tidak bersih karena pasien dengan PPOK
mengalami penurunan terhadap toleransi terhadap aktivitas
fisik.
b) Paru – paru
Inspeksi : biasanya terlihat klien memiliki bentuk dada
barrel chest dan adanya penggunan otot bantu
pernafasan
Palpasi : ekspansi meningkat dan fremitus biasanya
menurun
Perkusi : biasanya hipersonor
Auskultasi : biasanya terdapat ronkhi dan wheezing sesuai
tingkat keparahan obstruktif
c) Jantung
Inspeksi : biasanya ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : biasanya ictus cordis teraba
Perkusi : biasanya irama jantung teratur

Poltekkes Kemenkes Padang


25

d) Abdomen
Inspeksi : biasanya tidak ada asites
Palpasi : biasanya hepar dan limfe tidak teraba
Perkusi : biasanya timphany
Auskultasi : biasanya bising usus normal
e) Ekstremitas
Biasanya didapatkan adanya jari tubuh (Clubbing finger
sebagai dampak dari hipoksemia yang berkepanjangan
(Francis, 2011).

h. Pemeriksaan Penunjang
1) Pengukuran Fungsi Paru
a) Kapasitas inspirasi menurun dengan nilai normal 3500 ml
b) Volume residu meningkat dengan nilai normal 1200 ml
c) FEV1 (forced expired volume in one second) selalu menurun
untuk menentukan derajat PPOK dengan nilai normal 3,2 L
d) FVC (forced vital capacity) awalnya normal kemudian
menurun dengan nilai normal 4 L
e) TLC (kapasitas paru total) normal sampai meningkat sedang
dengan nilai normal 6000 ml. TLC meningkat pada bronkitis
berat dan asma, namun menurun pada emfisema (soemantri,
2012).
2) Analisa Gas Darah
PaO2 menurun dengan nilai normal 75 – 100 mmHg, PCO2
meningkat dengan nilai normal 35 – 45 mmHg, dan nilai pH
normal dengan nilai normal 7,35 – 7,45 dan SaO2 menurun
dengan nilai normal >95%.
3) Chest X- ray
Dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular /
bullae (emfisema), peningkatan suara bronkovaskuler (bronkitis),
normal ditemukan saat periode remisi (asma) (soemantri, 2012).
4) Pemeriksaan Laboratorium

Poltekkes Kemenkes Padang


26

Terjadi peningkatan hemoglobin (Hb) (emfisema berat) dengan


Hb normal pada wanita 12-14 g/dl dan laki-laki 14-18 g/dl dan
eosinofil (asma) dengan eosinofil normal 1-4 %(soemantri, 2012).
5) Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran.
Kuman patogen yang biasa ditemukan adalah streptococcus
pneumonia dan hemophylus influenza (Manurung, 2018).

2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul Berdasarkan SDKI


(2017)
a. Bersihan jalan nafas berhubungan dengan hipersekresi jalan napas
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi
c. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
d. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
konsentrasi hemoglobin
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan Ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen

Poltekkes Kemenkes Padang


27

3. Rencana Keperawatan

DIAGNOSA INTERVENSI KEPERAWATAN


KEPERAWATAN SLKI SIKI
Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan Manajemen Jalan Nafas
tidak efektif tindakan keperawatan Observasi :
Definisi : diharapkan bersihan 1. Monitor pola nafas
Ketidakmampuan jalan nafas tidak efektif (frekuensi, kedalaman dan
membersihkan sekret teratasi dengan bersihan usaha napas)
atau obstruksi jalan jalan napas meningkat 2. Monitor bunyi napas
napas untuk dengan kriteria hasil : tambahan
mempertahankan jalan 1 2 3 4 5 3. Monitor sputum (Jumlah,
napas tetap paten warna dan aroma)
Gejala dan Tanda 1. Mampu melakukan 4. Posisikan pasien semi
Mayor batuk efektif fowler atau fowler
1. Batuk tidak efektif 2. Produksi sputum 5. Berikan minum hangat
2. Tidak mampu batuk menurun 6. Lakukan fisioterapi dada
3. Sputum berlebih 3. Dispnea tidak ada jika perlu
4. Mengi, Wheezing dan 4. Ortopnea tidak ada 7. Lakukan penghisapan lendir
atau ronkhi kering 5. Sianosis tidak ada kurang dari 15 detik
5. Mekonium di jalan 6. Frekuensi napas dalam 8. Berikan oksigen, jika perlu
napas (pada batas normal 9. Anjurkan asupan cairan
neonatus) 7. Bunyi napas Wheezing 2000 ml/hari, jika tidak
Gejala dan Tando tidak ada kontraindikasi
Minor 8. Bunyi napas mengi 10. Ajarkan teknik batuk efektif
1. Dispnea tidak ada 11. Kolaborasi pemberian
2. Sulit bicara bronkodilador, ekspektoran,
3. Ortopnea mukolitik, jika perlu
4. Gelisah
5. Sianosis Latihan Batuk Efektif
6. Bunyi napas 1. Identifikasi kemampuan
menurun batuk
7. Frekuensi napas 2. Monitor adanya retensi
berubah sputum
8. Pola napas berubah 3. Monitor adanya tanda dan
Faktor yang gejala infeksi saluran napas
Berhubungan : 4. Monitor input dan output
1. Perokok aktif cairan
2. Perokok pasif 5. Atur posisi semi fowler
3. Terpajan polutan atau fowler
4. fisiologis 6. Pasang perlak dan bengkok
5. Spasme jalan napas di pangkuan pasien
6. Hipersekresi jalan 7. Buang sekret pada tempat
napas sputum
7. Sekresi yang tertahan 8. Jelaskan tujuan dan
8. Hiperplasia dinding prosedur batuk efektif
jalan napas 9. Anjurkan tarik napas dalam

Poltekkes Kemenkes Padang


28

9. Proses infeksi melalui hidung selama 4


10. Respon alergi detik di tahan selama 2
detik kemudian keluarkan
dari mulut dengan bibir
mencucu (dibulatkan)
selama 8 detik
10. Anjurkan mengulangi tarik
napas dalam hingga 3 kali
11. Anjurkan batuk dengan
kuat lanngsung setelah tarik
napas dalam yang ke 3
12. Kolaborasi pemberiak
mukolitik atau ekspetoran,
jika perlu

Pemantauan Respirasi
1. Monitor kecepatan, irama,
kedalaman dan kesulitan
bernafas
2. Monitor pola napas
3. Monitor kemampuan batuk
efektif
4. Monitor adanya produksi
sputum
5. Monitor adanya sumbatan
jalan napas
6. Auskultasi bunyi napas
7. Monitor saturasi oksigen
8. Monitor nilai AGD
9. Dokumentasikan hasil
pemantauan

Penghisapan Jalan Napas


Observasi :
1. Identifikasi kebutuhan
dilakukan penghisapan
2. Auskultasi suara napas
sebelum dan sesudah
penghisapan
3. Monitor status oksigenasi,
sebelum, selama dan
setelah tindakan
4. Monitor dan catat warna,
jumlah dan konsistensi
sekret
5. Gunakan teknik aseptik
6. Gunakan prosedural steril

Poltekkes Kemenkes Padang


29

dan disposibel
7. Lakukan pengisapan lebih
dari 15 detik
8. Hentikan pengisapan dan
beri terapi oksigem jika
mengalami kondisi-kondisi
seperti bradikardi,
penurunan saturasi
9. Anjurkan melakukan teknik
napas dalam, sebelum
melakukan pengisapan

pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan Manajemen Jalan Nafas


Definisi : tindakan keperawatan 1. Monitor pola nafas
Inspirasi dan atau diharapkan pola nafas (frekuensi, kedalaman dan
ekspirasi yang tidak tidak efektif teratasi usaha napas)
memberikan ventilasi dengan pola napas 2. Monitor bunyi napas
yang adekuat membaik dengan kriteria tambahan
Gejala dan Tanda hasil : 3. Monitor sputum (Jumlah,
Mayor : 1 2 3 4 5 warna dan aroma)
1. Dispnea 4. Posisikan pasien semi
2. Penggunaan otot 1. Ventilasi semenit fowler atau fowler
bantu pernapasan meningkat 5. Berikan minum hangat
3. Fase ekspirasi 2. Tekanan ekspirasi 6. Lakukan fisioterapi dada
memanjang meningkat jika perlu
4. Pola napas abnormal 3. Tekanan inspirasi 7. Lakukan penghisapan
(misalnya, takipnea, meningkat lendir kurang dari 15 detik
bradipnea, 4. Dispnea tidak ada 8. Berikan oksigen, jika perlu
hiperventilasi) 5. Penggunaan otot bantu 9. Anjurkan asupan cairan
Gejala dan Tanda napas tidak ada 2000 ml/hari, jika tidak
Minor 6. Ortopnea tidak ada kontraindikasi
1. Ortopnea 7. Pernapasan cuping 10. Ajarkan teknik batuk
2. Pernapasan pursed- hidung tidak ada efektif
lip 8. Frekuensi napas dalam 11. Kolaborasi pemberian
3. Pernapasan cuping batas normal bronkodilador,
hidung 9. Kedalaman napas ekspektoran, mukolitik,
4. Ventilasi semenit dalam batas normal jika perlu
menurun
5. Kapasitas vital Dukungan Ventilasi
menurun 1. Identifikasi adanya
6. Tekanan ekspirasi kelelahan otot bantu napas
menurun 2. Identifikasi efek perubahan
7. Tekanan inspirasi posisi terhadap status
menurun pernapasan
8. Ekskursi dada 3. Monitor status respirasi
berubah dan oksigenasi
Faktor yang 4. Pertahankan kepatenan
Berhubungan jalan napas

Poltekkes Kemenkes Padang


30

1. Hambatan upaya 5. Berikan posisi semi fowler


napas (mis. Nyeri dan fowler
saat bernapas, 6. Fasilitasi mengubah posisi
kelemahan otot senyaman mungkin
pernapasan) 7. Berikan oksigenasi sesuai
2. Deformitas dinding kebutuhan
dada 8. Anjurkan melakukan
3. Deformitas tulang teknik napas dalam
dada 9. Kolaborasi pemberian
4. Penurunan energi bronkodilator, jika perlu
5. Sindrom
hipoventilasi
6. Kecemasan

Gangguan pertukaran Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi


gas tindakan keperawatan 1. Monitor kecepatan, irama,
Definisi : diharapkan Gangguan kedalaman dan kesulitan
kelebihan atau pertukaran gas teratasi bernafas
kekurangan oksigenasi dengan kriteria hasil : 2. Monitor pola napas
dan atau eliminasi 1 2 3 4 5 3. Monitor kemampuan batuk
karbondioksida pada efektif
membrane alveolar 1. Frekuensi pernafasan 4. Monitor adanya produksi
kapiler dalam batas normal sputum
Gejala dan Tanda 2. Irama pernafasan 5. Monitor adanya sumbatan
Mayor : dalam batas normal jalan napas
1. Dyspnea 3. Dispnea tidak ada 6. Auskultasi bunyi napas
2. PCO2 meningkat atau 4. Bunyi napas tambahan 7. Monitor saturasi oksigen
menurun tidak ada 8. Monitor nilai AGD
3. PO2 menurun 5. Pernapasan cuping
4. pH arteri meningkat hidung tidak ada Terapi Oksigen
atau menurun 6. Analisa gas darah 1. Monitor posisi alat terapi
5. bunyi napas dalam batas normal oksigen
tambahan 7. pH pernapasan dalam 2. Berikan oksigen sesuai
Gejala dan Tanda batas normal order dokter
Manor : 8. sianosis tidak ada 3. Monitor aliran oksigen
1. pusing Setelah dilakukan 4. Monitor efektifitas terapi
2. penglihatan kabur tindakan keperawatan oksigen
3. sianosis diharapkan status 5. Monitor tanda-tanda
4. diaforesis pernafasan : pertukaran hipoventilasi
5. gelisah gas dengan kriteria hasil 6. Monitor tingkat kecemasan
6. napas cuping hidung 1. Tekanan parsial akibat terapi oksigen
7. pola napas abnormal oksigen di daerah arteri 7. Monitor integritas mukosa
8. warna kulit abnormal (PaO2) dalam batas hidung akibat pemasangan
(misanya, pucat, normal oksigen
kebiruan) 2. Tekanan parsial 8. pertahankan kepatenan
9. kesadaran menurun karbondioksida didarah jalan napas
faktor yang arteri (PaCO2) dalam 9. berikan oksigen tambahan,
Berhubungan batas normal jika perlu

Poltekkes Kemenkes Padang


31

1. ketidakseimbangan 3. Saturasi oksigen dalam 10. kolaborasi penentuan dosis


ventilasi-perfusi batas normal oksigen
2. perubahan membrane 4. Keseimbangan ventilasi 11. kolaborasi penggunaan
alveolar-kapiler dan perfusi dalam batas oksigen saat aktivitas dan
normal atau tidur

Manajemen Asam Basa


1. Monitor frekuensi dan
kedalaman napas
2. Monitor tanda-tanda vital
3. Monitor intake dan output
cairan
4. Monitor hasil analisa gas
darah
5. Pertahankan kepatenan
jalan nafas
6. Aturk posisi untuk
memfasilitasi ventilasi
yang adekuat
7. Pertahankan akses
intravena
8. Berikan cairan intravena,
jika perlu
9. Kolaborasi pemberian
kalium jika terjadi
hipokalepmia

(Sumber : SDKI, SLKI dan SIKI )

Poltekkes Kemenkes Padang

Anda mungkin juga menyukai