Anda di halaman 1dari 64

MAKALAH FARMASI

HIPERTENSI DENGAN DISLIPIDEMIA

Oleh:
Alifia Ramadhani Herida
G991903003

.
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2019
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah dan menetap di atas dari batas
yang disepakati. Batasan tekanan darah normal, apabila tekanan darah sitolik kurang
dari 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik kurang dari 90 mmHg. Peningkatan
tekanan darah di atas nilai normal yang ditentukan merupakan salah satu faktor risiko
dalam proses terjadinya penyakit pembuluh darah seperti stroke, infark miokard,
kematian kardiovaskular, dan semua penyebab kematian yang berhubungan dengan
naiknya tekanan darah.1
Hipertensi seringkali disebut silent killer karena tidak adanya gejala dan tanpa
disadari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ vital. Penyakit ini
menyebabkan tingginya biaya pengobatan dikarenakan alasan tingginya angka
kunjungan ke dokter, perawatan di rumah sakit dan penggunaan obat jangka panjang.2
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling umum ditemukan dalam
praktik kedokteran primer dan telah menggeser penyakit menular sebagai penyebab
terbesar mortalitas dan morbiditas. Hal ini dibuktikan berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar yang menunjukkan hipertensi merupakan penyebab kematian di
Indonesia sebanyak 25,8% dan sebagian besar 63,2% kasus hipertensi di masyarakat
tidak terdiagnosis. Berdasarkan wawancara pada penderita hipertensi (apakah pernah
didiagnosis hipertensi dan minum obat hipertensi) dari 7,6 % pasien tahun 2007
menjadi 9,5 % pasien tahun 2013 terjadi peningkatan prevalensi hipertensi. Prevalensi
penderita hipertensi di Indonesia tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), %), diikuti
Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%).3
Penelitian epidemiologi membuktikan bahwa hipertensi berhubungan secara
linear dengan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Apabila penyakit ini
tidak terkontrol, akan menyerang target organ, dan dapat menyebabkan serangan
jantung, stroke, gangguan ginjal, serta kebutaan. Dari beberapa penelitian dilaporkan
bahwa penyakit hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peluang 7 kali
lebih besar terkena stroke, 6 kali lebih besar terkena congestive heart failure, dan 3 kali
lebih besar terkena serangan jantung.4
Beberapa studi menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai kelebihan
berat badan lebih dari 20% dan hiperkolesterol mempunyai risiko yang lebih besar
terkena hipertensi. Faktor risiko tersebut pada umumnya disebabkan pola hidup (life
style) yang tidak sehat. Faktor sosial budaya masyarakat Indonesia berbeda dengan
sosial budaya masyarakat di negara maju, sehingga faktor yang berhubungan dengan
terjadinya hipertensi di Indonesia kemungkinan berbeda pula. Selain itu pemilihan
terapi medikamentosa menjadi sangat perlu diperhatikan memperhitungkan kebutuhan
pasien termasuk derajat hipertensi dan penyakit penyulit yang menyertai.5
Sampai saat ini hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia.
Pengontrolan penyakit ini masih belum adekuat, meskipun obat-obatan yang efektif
banyak tersedia.6 Rasionalitas pengobatan merupakan masalah yang terus terjadi di
masyarakat Indonesia yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ketidaktepatan peresepan terjadi di banyak negara
terutama negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Ini telah menjadi perhatian
serius sebagai indikator dari kualitas suatu proses pengobatan.7
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma, yaitu peningkatan kadar
kolesterol total, kolesterol LDL, dan/atau trigliserida, serta penurunan kadar kolesterol
HDL dalam darah. Dislipidemia merupakan salah satu faktor risiko yang dapat
mengakibatkan timbulnya penyakit kardiovaskuler.8

Data di Indonesia berdasarkan Laporan Riskesdas Bidang Biomedis tahun 2007


menunjukkan bahwa prevalensi dislipidemia atas dasar konsentrasi kolesterol total
>200 mg/dL adalah 39,8%. Terdapat bukti kuat hubungan antara kolesterol LDL
dengan kejadian kardiovaskular berdasarkan studi luaran klinis sehingga kolesterol
LDL merupakan target utama dalam tatalaksana dislipidemia. Kolesterol HDL dapat
memprediksi kejadian kardiovaskular bahkan pada pasien yang telah diterapi dengan
statin (Barter, 2010).9

Terdapat beberapa faktor risiko dislipidemia yaitu faktor genetik, faktor


kegemukan, faktor usia, faktor jenis kelamin, faktor kebiasaan makan makanan tinggi
kolesterol dan faktor mengkonsumsi rokok. Faktor-faktor risiko ini sendiri sejatinya
dapat diminimalisir dengan cara membiasakan diri untuk hidup sehat. Namun, akhir-
akhir ini gaya hidup cenderung bergeser ke arah sedenter dan tidak sehat. Sehingga
kecenderungan seorang individu untuk mengidap dislipidemia makin besar
(Erwinanto, 2013).

Terapi pada dislipidemia terdiri atas dua terapi yaitu terapi farmakologis dan
non farmakologis. Terapi non farmakologis terdiri atas diet rendah kolesterol, aktifitas
fisik atau olahraga, penurunan berat badan dan berhenti merokok. Terapi farmakologis
terdiri atas terapi yang menggunakan obat-obat penurun kolesterol seperti obat pada
golongan statin, Inhibitor absorpsi kolesterol, Bile acid sequestrant, Fibrat, Asam
nikotinat (niasin) dan Inhibitor CETP (Erwinanto, 2013).10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. HIPERTENSI
1. Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah
sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah diastolik > 90 mmHg pada
pemeriksaan yang berulang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung
dalam jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada
ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak
(menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat
pengobatan yang memadai.11
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua
golongan yang terdiri dari hipertensi primer dan hipertensi sekunder.
Hipertensi primer atau hipertensi esensial didefinisikan sebagai hipertensi
yang penyebabnya tidak diketahui. Hipertensi primer terdapat sekitar 90%
- 95% kasus. Penyebab hipertensi primer atau esensial adalah multifaktor,
meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi
kepekaan terhdap natrium, kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh
darah terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin, dan lain-lain. Sedangkan
yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stres
emosi, obesitas, dan lain-lain. Hipertensi sekunder adalah hipertensi dengan
sebab yang diketahui. Hipertensi yang disebabkan atau sebagai akibat dari
adanya penyakit lain (terdapat sekitar 5% - 10% kasus) penyebabnya antara
lain hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin,
kelainan saraf pusat, obat-obatan, dan lain-lain.12
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi
kelompok Normotensi, Prahipertensi, Hipertensi Derajat 1, Hipertensi
derajat 2 (Tabel 1). 13
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7

Kelas Tekanan TDS (mmHg) Ket TDD (mmHg)


Darah
Normal <120 dan <80
Prahipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Stage I 140-159 atau 90-99
Hipertensi Stage II ≥160 atau ≥100

2. Epidemiologi
Hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan
kesehatan primer kesehatan. Hal itu merupakan masalah kesehatan dengan
prevalensi yang tinggi, yaitu sesesar 25,8%. Sebagian besar orang tidak
menyadari bahwa dirinya menderita hipertensi, hal tersebut disebabkan karena
gejalanya tidak nyata dan pada stadium awal belum menimbulkan gangguan
yang serius. Di samping itu pengontrolan hipertensi belum adekuat meskipun
obat-obatan yang efektif banyak tersedia..14

Berdasarkan data dari Rikesdas pada tahun 2013 menunjukkan bahwa


prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur
≥18 tahun sebesar 25,8%, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti
Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat
(29,4%). Prevalensi hipertensi di Indonesia yang terdiagnosis tenaga kesehatan
sebesar 9,4%, sedangkan yang didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang
minum obat sebesar 9,5%. Jadi, ada 0,1% kasus hipertensi yang minum obat
sendiri. Terdapat juga kasus yang mempunyai tekanan darah normal tetapi
sedang minum obat hipertensi sebesar 0.7%.15
Faktor risiko penyakit hipertensi dibedakan menjadi faktor risiko yang tidak
bisa diubah, dan faktor risiko yang bisa diubah. Faktor risiko yang tidak dapat
diubah meliputi umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, genetik ras. Sedangkan
faktor risiko yang bisa diubah meliputi kebiasaan merokok, konsumsi garam,
konsumsi lemak jenuh, penggunaan jelantah, kebiasaan konsumsi minum-
minuman beralkohol, obesitas, kurang aktifitas fisik, stres, penggunaan
estrogen. 15

1. Manifestasi klinis

Gejala-gejala umum hipertensi antara lain sakit kepala/ rasa berat di


tengkuk, pusing berputar (vertigo), jantung berdebar-debar, mudah lelah,
penglihatan kabur, telinga berdenging (tinnitus), dan mimisan. Namun, pada
sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala. Terkadang
tekanan darah yang tinggi merupakan satu-satunya gejala. Gejala dapat pula
baru muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak, atau jantung.
Gejala lain yang lebih sering ditemukan adalah sakit kepala, epistaksis, marah,
telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata berkunang–kunang
dan pusing.11,14 Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan
kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini
disebut ensefalopati hipertensif, yang memerlukan penanganan segera. 2

2. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan sebelum memulai terapi


bertujuan untuk menentukan adanya kerusakan organ dan faktor lain atau
mencari penyebab hipertensi sekunder. Untuk memeriksa komplikasi yang
telah atau sedang terjadi, dapat diperiksa urin analisa, darah perifer lengkap,
kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah puasa, kolesterol total,
kolesterol HDL, kolesterol LDL), klirens kreatinin, protein urin 24 jam, asam
urat, EKG, funduskopi, USG ginjal, foto thoraks, ekokardiografi. Sedangkan
untuk mengetahui kecurigaan klinis hipertensi sek Sebagai tambahan dapat
dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid (TSH, FT4, FT3), kadar PTH, Ca2+,
aldosterol plasma, renin plasma, CT scan abdomen, kadar metanefrin, kadar
kortisol, dan CT angiografi arteri renalis.5,19

3. Diagnosis

Penegakan diagnosis hipertensi didapatkan dari anamnesis faktor risiko dan


gejala klinis, pemeriksaan tekanan darah, dan permeriksaan penunjang bila
diperlukan. Diagnosis hipertensi hanya dapat ditetapkan setelah dua kali atau
lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda, kecuali terdapat kenaikan
yang tinggi atau gejala-gejala klinis. Pengukuran pertama harus
dikonfirmasikan pada sedikitnya 2 kunjungan lagi dalam waktu satu sampai
beberapa minggu. Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan ukuran dan
posisi manset yang benar, yaitu setingkat dengan jantung dan keadaan pasien
duduk bersandar, setelah pasien beristirahat selama 5 menit, dengan ukuran
pembungkus lengan yang sesuai. 2,11

Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lamanya


menderita, riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan dengan penyakit
jantung koroner, gagal jantung, penyakit serebrovaskuler. Apakah terdapat
riwayat penyakit dalam keluarga dan gejala-gejala yang berkaitan dengan
penyebab hipertensi, perubahan aktivitas atau kebiasaan merokok, konsumsi
makanan, riwayat obat-obatan bebas, faktor lingkungan, pekerjaan, dan
psikososial. Selain itu penting juga mencari faktor risiko lain seperti obesitas
dan inaktivitas fisik. 2,11

4. Patogenesis

Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama


karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu. Faktor- faktor yang
mendorong timbulnya kenaikan darah tersebut adalah:
a. Faktor risiko, seperti : diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas, merokok,
genetik

b. Sistem saraf simpatis


1) Tonus simpatis
2) variasi diurnal
c. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi : endotel
pembuluh darah berperan utama, tetapi remodeling dari endotel, otot polos
dan interstitium juga memberikan kontribusi akhir.
d. Pengaruh sistem endokrin setempat yang berperan pada system renin,
angiotensin, dan aldosteron.16
Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu curah jantung
(cardiac output) dan resistensi vaskular perifer. Curah jantung merupakan hasil
kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi sekuncup (stroke volume),
sedangkan isi sekuncup ditentukan oleh aliran balik vena dan kekuatan
kontraksi miokardium. Resistensi perifer ditentukan oleh tonus otot polos
pembuluh darah, elastisitas dinding pembuluh darah dan viskositas darah.
Semua parameter di atas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sitem
saraf simpatis dan parasimpatis, sistem renin angiogtensin-aldosteron (SRAA)
dan faktor lokal berupa bahan-bahan vasoaktif yang diproduksi oleh sel endotel
pembuluh darah.17
Gambar 1. Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah

a. Curah jantung dan resistensi perifer


Keseimbangan curah jantung dan resistensi perifer sangat berpengaruh
terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi
esensial curah jantung biasanya normal tetapi resistensi perifernya
meningkat.Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang
terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan
berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler.
Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan
penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh
angiotensin yang menjadi awal meningkatnya resistensi perifer yang
irreversible.18,19
b. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRAA)
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan
sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin
disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus
underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem
saraf simpatetik.19
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin
II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE
memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah.
Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh
hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I
(dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif).
Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena
bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:
1) Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal
untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya
ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis)
sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan
cara menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah
meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah.
2) Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk
mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal.
Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.
c. Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting
dalam pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena
interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama
– sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa
hormon. 19
d. Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah
vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida
endotelium.Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi
primer.Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan
perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit. 19

e. Substansi vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam
mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin
merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin
dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta
mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide
merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon
peningkatan volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan
air dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan
hipertensi. 19
f. Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding
pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium),
ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga
hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang
semakin lama akan semakin parah dan merusak organ target. Beberapa
keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi. 19
g. Disfungsi diastolik
Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat
ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan
tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel. 19
5. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pada pasien hipertensi adalah4,20:

a. Menurunkan tekanan darah sesuai target yang direkomendasikan JNC 8:


tekanan darah <150/90 untuk usia ≥60 tahun tanpa diabetes dan CKD.
Tekanan darah <140/90 mmHg, untuk 1) usia <60 tahun tanpa diabetes dan
CKD, 2) semua usia dengan diabetes tetapi tanpa CKD, 3) semua usia
dengan CKD atau diabetes. 21
b. Mencegah terjadinya komplikasi
c. Penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan terapi
farmakologis. Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien
hipertensi dengan tujuan untuk menurunkan tekanan darah dan mengendalikan
faktor-faktor risiko, serta penyakit penyerta lainnya.
6. Terapi Nonfarmakologis

Modifikasi gaya hidup yang dilakukan yaitu menghentikan merokok,


menurunkan berat badan berlebih, menghindari minuman beralkohol dan
kafein, membatasi asupan garam tidak lebih dari ¼ - ½ sendok teh (6
gram/hari), cukup istirahat (6-8 jam) dan mengendalikan stres, latihan fisik
berupa jalan, lari, jogging, bersepeda selama 20-25 menit dengan frekuensi 3-5
x per minggu, meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan
asupan lemak.14
Dengan mengetahui gejala dan faktor risiko terjadinya hipertensi
diharapkan penderita dapat melakukan pencegahan dan penatalaksanaan
dengan modifikasi diet/gaya hidup ataupun obat-obatan sehingga komplikasi
yang terjadi dapat dihindarkan.6

Tabel 2. Modifikasi Gaya Hidup dalam Tata Laksana Hipertensi22


Modifikasi Rekomendasi Rerata Penurunan
TDS

Penurunan berat Jaga berat badan ideal (IMT = 18,5 5-20 mmHg/ 10 kg
badan – 22,9 kg/m2)

Dietary Approach Diet tinggi serat dan rendah lemak 8-14 mmHg
to Stop
Hypertension
(DASH)

Pembatasan intake Kurangi hingga < 100 mmol per hari 2-8 mmHg
natrium ( 2,0 g natrium atau 6,5 g natrium
klorida atau 1 sendok teh garam per
hari )

Aktivitas fisik Aktivitas fisik aerobik yang teratur 4-9 mmHg


aerobik selama 20-30 menit dengan frekuensi
2-3 kali seminggu

Pembatasan Konsumsi alkohol maksimal 30 ml 2-4 mmHg


konsumsi alkohol bagi laki laki dan maksimal 20 ml
bagi perempuan atau orang yang
lebih kurus.
Pembatasan
merokok

7. Terapi Farmakologis

Dengan adanya panduan baru JNC 8 sejak Desember 2013 maka


manajemen hipertensi meliputi ambang pengobatan farmakologis, target terapi,
dan pemilihan obat anti hipertensi sesuai algoritma sebagai.20
Gambar 2. 2014 Hypertension Guideline Management Algorithm sesuai JNC 8.20
Tabel 3. Daftar Obat Hipertensi yang Direkomendasikan JNC 8.20

Tabel 4. Pilihan Obat Antihipertensi untuk Kondisi Tertentu4


Indikasi yang Memaksa Pilihan Terapi Awal
Gagal Jantung Diuretik Thiaz, BB, ACEI, ARB.
Pasca Infrak Miokard Aldo Ant
Risiko Penyakit Pembuluh Darah Koroner BB, ACEI, Aldo Ant
Diabetes Diuretik Thiaz, BB, ACEI, CCB
Penyakit Ginjal Kronis Diuretik Thiaz, BB, ACEI, ARB,
Pencegahan stroke berulang CCB
ACEI, ARB
Diuretik Thiaz, ACEI
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang
dianjurkan oleh JNC 8 adalah4:

a. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACE Inhibitor)

ACE inhibitor memiliki mekanisme aksi menghambat sistem renin-


angiotensin-aldosteron dengan menghambat perubahan Angiotensin I
menjadi Angiotensin II sehingga menyebabkan vasodilatasi dan
mengurangi retensi sodium dengan mengurangi sekresi aldosteron.ACE
membantu produksi angiotensin II (berperan penting dalam regulasi
tekanan darah arteri). ACE didistribusikan pada beberapa jaringan dan ada
pada beberapa tipe sel yang berbeda tetapi pada prinsipnya merupakan sel
endothelial. Kemudian, tempat utama produksi angiotensin II adalah
pembuluh darah bukan ginjal. Pada kenyataannya, inhibitor ACE
menurunkan tekanan darah pada penderita dengan aktivitas renin plasma
normal, bradikinin, dan produksi jaringan ACE yang penting dalam
hipertensi.Oleh karena ACE juga terlibat dalam degradasi bradikinin maka
ACE inhibitor menyebabkan peningkatan bradikinin, suatu vasodilator kuat
dan menstimulus pelepasan prostaglandin dan nitric oxide. Peningkatan
bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACE inhibitor,
tetapi juga bertanggungjawab terhadap efek samping berupa batuk kering.
ACE inhibitor mengurangi mortalitas hampir 20% pada pasien dengan
gagal jantung yang simtomatik dan telah terbukti mencegah pasien harus
dirawat di rumah sakit (hospitalization), meningkatkan resistensi tubuh
dalam beraktivitas, dan mengurangi gejala.23
ACE inhibitor harus diberikan pertama kali dalam dosis yang rendah
untuk menghindari risiko hipotensi dan ketidakmampuan ginjal. Fungsi
ginjal dan serum potassium harus diawasi dalam 1-2 minggu setelah terapi
dilaksanakan terutama setelah dilakukan peningkatan dosis. Salah satu obat
yang tergolong dalam ACE inhibitor adalah Kaptopril yang merupakan
ACE inhibitor pertama yang digunakan secara klinis.24
b. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker
(ARB)
Angiotensin II digenerasikan oleh jalur renin-angiotensin (termasuk
ACE) dan jalur alternatif yang digunakan untuk enzim lain seperti
chymases. Inhibitor ACE hanya menutup jalur renin-angiotensin, ARB
menahan langsung reseptor angiotensin tipe I, reseptor yang memperentarai
efek angiotensin II. Tidak seperti inhibitor ACE, ARB tidak mencegah
pemecahan bradikinin. 24
c. Beta bloker (BB)
Merupakan obat utama pada penderita hipertensi ringan sampai moderat
dengan penyakit jantung koroner atau dengan aritmia. Bekerja dengan
menghambat reseptor β1 di otak, ginjal dan neuron adrenergik perifer, di
mana β1 merupakan reseptor yang bertanggung jawab untuk menstimulasi
produksi katekolamin yang akan menstimulasi produksi renin. Dengan
berkurangnya produksi renin, maka cardiac output akan berkurang yang
disertai dengan turunnya tekanan darah.4,24
d. Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist
Calsium channel blocker (CCB) menyebabkan relaksasi jantung dan
otot polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap
tegangan sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstra selluler ke dalam
sel. Relaksasai otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi sehingga
mengurangi resistensi perifer dan berhubungan dengan reduksi tekanan
darah. Merupakan antihipertensi yang dapat bekerja pula sebagai obat angina
dan antiaritmia, sehingga merupakan obat utama bagi penderita hipertensi
yang juga penderita angina.21 Contoh obat: Nifedipin, Amlodipin, Diltiazem.
e. Diuretika, jenis tiazid
Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara
mendeplesikan simpanan natrium tubuh.Diuretik menurunkan tekanan darah
dengan menyebabkan diuresis.Pengurangan volume plasma dan Stroke
Volume (SV) berhubungan dengan dieresis dalam penurunan curah jantung
(Cardiac Output, CO) dan tekanan darah pada akhirnya.Penurunan curah
jantung yang utama menyebabkan resitensi perifer. Pada terapi diuretik pada
hipertensi kronik volume cairan ekstraseluler dan volume plasma hampir
kembali kondisi pretreatment.
Tiazid adalah golongan yang dipilih untuk menangani hipertensi,
golongan lainnya efektif juga untuk menurunkan tekanan darah. Penderita
dengan fungsi ginjal yang kurang baik Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) diatas
30 mL/menit, tiazid merupakan agen diuretik yang paling efektif untuk
menurunkan tekanan darah. Dengan menurunnya fungsi ginjal, natrium dan
cairan akan terakumulasi maka diuretik jerat Henle perlu digunakan untuk
mengatasi efek dari peningkatan volume dan natrium tersebut. Hal ini akan
mempengaruhi tekanan darah arteri. Tiazid menurunkan tekanan darah
dengan cara memobilisasi natrium dan air dari dinding arteriolar yang
berperan dalam penurunan resistensi vascular perifer.
Berdasarkan rekomendasi dari NICE 2013, obat anti hipertensi
dinyatakan mulai diberikan kepada pasien dengan:
1. Hipertensi derajat 1 dengan minimal salah satu penyerta seperti
a) jejas pada organ target,
b) riwayat kardiovaskuler,
c) penyakit ginjal,
d) DM
e) risiko kardiovaskuler dalam 10 tahun lebih dari 20%.
2. Hipertensi derajat 2.
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap
dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu.
Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja
panjang dan yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali
sehari. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah,
dan kemudian tekanan darah belum mancapai target, maka langkah
selanjutnya adalah meningkatakan dosis obat tersebut atau berpindah ke
antihipertensi yang lain dengan dosis rendah baik tunggal maupun
kombinasi. JNC 8 tidak menyebutkan kapan harus menggunakan 2
kombinasi obat, namun JNC 8 dan AHA merekomendasikan penggunaan 2
kombinasi obat bisa dimulai jika tekanan darah pasien > 160/100. Kombinasi
yang terbukti dapat ditolerir pasien adalah : diuretika dan ACEI atau ARB,
CCB dan BB, CCB dan atau ARB, CCB dan diuretika, ARB dan BB, kadang
diperlukan tiga atau empat kombinasi obat.21,23
Pada kasus krisis hipertensi yaitu tekanan darah lebih dari 180/110
mmHg perlu dibedakan antara hipertensi urgency (tanpa kerusakan organ
tubuh) dan hipertensi emergency (dengan kerusakan organ tubuh).
Hipertensi urgency dapat diobati secara rawat jalan dengan terapi anti
hipertensi oral, dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah secara
perlahan dalam 24 - 48 jam. Obat yang dianjurkan adalah kaptopril 50 mg
sublingual atau oral. Pemberian nifedipine sublingual atau oral tidak lagi
direkomendasikan untuk hipertensi urgency karena dapat menyebabkan
hipotensi berat dan iskemia organ.
Hipertensi emergency memerlukan penanganan cepat, termasuk
perawatan ICU. Pemeriksaan tekanan darah harus diperiksa di kedua lengan
menggunakan teknik pemeriksaan yang benar. Pemeriksaan fisik dilakukan
dengan tujuan mencari adanya kerusakan organ target, sedangkan
pemeriksaan laboratorium harus mencakup kimia klinik, urinalisis, darah
lengkap, dan toksikologi. Terapi dengan obat anti hipertensi secara
intravena sangat disarankan dalam kondisi ini. Pemilihan obat harus
didasarkan karakteristik obat yang spesifik (efek samping). Penurunan
tekanan darah harus terkontrol untuk menghindari hipoperfusi organ dan
iskemia atau infark. Obat-obatan yang biasa dipakai adalah labetalol,
esmolol, nitrogliceryn, sodium nitroprusside, clevidipine, trimetaphan, dan
pentholamine. 20

B. DISLIPIDEMIA
1. DEFINISI
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma, yaitu peningkatan kadar
kolesterol total, kolesterol LDL, dan/atau trigliserida, serta penurunan kadar
kolesterol HDL dalam darah. Dislipidemia merupakan salah satu faktor risiko
utama aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Dislipidemia adalah salah satu
komponen dalam trias sindrom metabolik selain diabetes dan hipertensi.8

2. EPIDEMIOLOGI
Data di Indonesia berdasarkan Laporan Riskesdas Bidang Biomedis tahun
2007 menunjukkan bahwa prevalensi dislipidemia atas dasar konsentrasi kolesterol
total >200 mg/dL adalah 39,8%. Beberapa propinsi di Indonesia seperti Nangroe
Aceh, Sumatra Barat, Bangka Belitung dan Kepulauan Riau mempunyai prevalensi
dislipidemia ≥50%. Data prevalensi pada umumnya menggunakan data populasi
negara barat atau negara di Asia.

3. ETIOLOGI
Etiologi dari dislipidemia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Faktor Jenis Kelamin
Risiko terjadinya dislipidemia pada pria lebih besar daripada wanita. Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita produktif terdapat efek perlindungan dari
hormon reproduksi. Pria lebih banyak menderita aterosklerosis, dikarenakan
hormon seks pria (testosteron) mempercepat timbulnya aterosklerosis sedangkan
hormon seks wanita (estrogen) mempunyai efek perlindungan terhadap
aterosklerosis. Akan tetapi pada wanita menopause mempunyai risiko lebih besar
terhadap terjadinya aterosklerosis dibandingkan wanita premenopouse.

2. Faktor Usia
Semakin tua usia seseorang maka fungsi organ tubuhnya semakin menurun,
begitu juga dengan penurunan aktivitas reseptor LDL, sehingga bercak perlemakan
dalam tubuh semakin meningkat dan menyebabkan kadar kolesterol total lebih
tinggi, sedangkan kolesterol HDL relatif tidak berubah. Pada usia 10 tahun bercak
perlemakan sudah dapat ditemukan di lumen pembuluh darah dan meningkat
kekerapannya pada usia 30 tahun.

3. Faktor Genetik
Faktor genetik merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya dislipidemia.
Dalam ilmu genetika menyebutkan bahwa gen untuk sifat – sifat tertentu (spesific
– trait) diturunkan secara berpasangan yaitu kita memerlukan satu gen dari ibu dan
satu gen dari ayah, sehingga kadar hiperlipidemia tinggi dapat diakibatkan oleh
faktor dislipidemia primer karena faktor kelainan genetik.

4. Faktor Kegemukan
Kegemukan erat hubungannya dengan peningkatan risiko sejumlah komplikasi
yang dapat terjadi sendiri – sendiri atau bersamaan. Kegemukan disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara energi yang masuk bersama makanan, dengan energi
yang dipakai. Kelebihan energi ini ditimbun dalam sel lemak yang membesar. Pada
orang yang kegemukan menunjukkan output VLDL trigliserida yang tinggi
dan kadar trigliserida plasma yang lebih tinggi. Trigliserida berlebihan
dalam sirkulasi juga mempengaruhi lipoprotein lain. Bila trigliserida LDL dan
HDL mengalami lipolisis, akan menjadi small dense LDL dan HDL, abnormalitas
ini secara tipikal ditandai dengan kadar HDL kolesterol yang rendah.

5. Faktor Olah Raga


Olah raga yang teratur dapat menyebabkan kadar kolesterol total, kolesterol
LDL, dan trigliserida menurun dalam darah, sedangkan kolesterol HDL meningkat
secara bermakna. Lemak ditimbun dalam di dalam sel lemak sebagai trigliserida.
Olahraga memecahkan timbunan trigliserida dan melepaskan asam lemak dan
gliserol ke dalam aliran darah.
6. Faktor Merokok
Merokok dapat meningkatkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL,
trigliserida, dan menekan kolesterol HDL. Pada seseorang yang merokok, rokok
akan merusak dinding pembuluh darah. Nikotin yang terkandung dalam asap rokok
akan merangsang hormon adrenalin, sehingga akan mengubah metabolisme lemak
yang dapat menurunkan kadar kolesterol HDL dalam darah.

7. Faktor Makanan
Konsumsi tinggi kolesterol menyebabkan hiperkolesterolemia dan
aterosklerosis. Asupan tinggi kolesterol dapat menyebabkan peningkatan kadar
kolesterol total dan LDL sehingga mempunyai risiko terjadinya dislipidemia.
4. PATOFISIOLOGI
a. Jalur Metabolisme Eksogen

Makanan berlemak yang kita makan terdiri atas trigliserid dan kolesterol.
Selain kolesterol yang berasal dari makanan, dalam usus juga terdapat kolesterol
dari hati yang diekstresi bersama empedu ke usus halus. Baik lemak di usus halus
yang berasal dari makanan maupun yang berasal dari hati disebut lemak eksogen.
Trigliserid dan kolesterol dalam usus halus akan diserap ke dalam enterosit mukosa
usus halus. Trigliserid akan diserap sebagai asam lemak bebas sedang kolesterol
sebagai kolesterol. Di dalam usus halus asam lemak bebas akan diubah lagi
menjadi trigliserid, sedang kolesterol akan mengalami esterifikasi menjadi
kolesterol ester dan keduanya bersama dengan fosfolipid dan apoloprotein akan
membentuk lipoprotein yang dikenal dengan kilomikron.

Kilomikron ini akan masuk ke saluran limfe dan akhirnya melalui duktus
torasikus akan masuk ke dalam aliran darah. Trigliserid dalam kilomikron akan
mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase yang berasal dari endotel
menjadi asam lemak bebas free tatty acid (FFA) non-esterified fatty acid (NEFA).
Asam lemak bebas dapat disimpan sebagai trigliserid kembali dijaringan lemak
(adiposa), tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak sebagian akan diambil
oleh hati menjadi bahan untuk pembentukan trigliserid hati. Kilomikron yang sudah
kehilangan sebagian besar trigliserid akan menjadi kilomikron remnant yang
mengandung kolesterol ester dan akan dibawa ke hati.8

Gambar 3. Jalur Metabolisme Eksogen


b. Jalur Metabolisme Endogen

Trigliserid dan kolesterol yang disintesis di hati disekresi ke dalam sirkulasi


sebagai lipoprotein B100. Dalam sirkulasi, triglisirid di VLDL akan mengalami
hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase (LPL), adan VLDL berubah menjadi IDL
yang juga akan mengalamihidrolisis dan berubah menjadi LDL. Sebagian dari
VLDL, IDL dan LDL akan mengangkutkolesterol ester kembali ke hati. LDL
adalah lipoprotein yang paling banyak mengandungkolesterol. Sebagian dari
kolesterol di LDL akan dibawa ke hati dan jaringan steroidogenik lainnya seperti
kelenjar adreal, testis, dan ovarium yang mempunyai reseptor untuk kolesterol–
LDL. Sebagian lagi dari kolesterol – LDL akan mengalami oksidasi dan ditangkap
olehreseptor seavebger – A (SR-A) di makrofag dan akan menjadi sel busa (foam
cell).

Makin banyak kadar kolesterol-LDL dalam plasma makin banyak yang


akan mengalami oksidasidan ditangkap oleh sel makrofag. Jumlah kolesterol yang
akan teroksidasi tergantung darikadar kolesterol yang terkandung di LDL.
Beberapa keadaan mempengaruhi tingkat oksidasi seperti:

 Meningkatnya jumlah LDL seperti pada sindrom metabolic dan


diabetes militus.

 Kadar kolesterol – HDL, makin tinggi kadar HDL maka HDL bersifat
protektif terhadap oksidasi LDL.8
Gambar 4. Jalur Metabolisme Endogen

c. Jalur Reverse Cholesterol Transport

HDL dilepaskan sebagai partikel kecil miskin kolesterol yang


mengandung apoliprotein (apo) A, C, dan E: dan disebut HDLnascent. HDL
nascent berasal dari usushalus dan hati, mempunyai bentuk gepeng dan
mengandung apoliprotein A1. HDL nascent akan mendekati makrofag untuk
mengambil kolesterol yang tersimpan di makrofag. Setelah mengambil kolesterol
dari makrofag. HDLnesecant berubah menjadi HDL dewasa yang berbentuk bulat.
Agar dapat diambil oleh HDLnescent , kolesterol (kolesterol bebas) dibagian dalam
dari mikrofag harus dibawa kepermukaan membran sel mekrofag oleh suatu
transporter yang disebut adenosine triphosphate-binding cassette transporter-1
atau disingkat ABC-1.

Setelah mengambil kolesterol bebas dari sel makrofag, kolesterol


bebas akan diesterfikasi menjadi kolesterol ester enzim lecithin choles-trol
acyltransferase (LCAT). Selanjutnya sebagian kolesterol ester yang dibawa oleh
HDL akan mengambil dua jalur. Jalur pertama ialah ke hati dan ditangkap oleh
scavenger receptor class B type 1 dikenal denganSR-B1. Jalur kedua dari VLDL
dan IDL dengan bantuan cholesterol ester transfer protein
(CETP). Dengan demikian fungsi HDL sebagai “penyiap” kolesterol
dari makrofag mempunyai dua jalur yaitu langsung ke hati dan jalur tidak langsung
melalui VLDL danIDL untuk membawa kolesterol kembali ke hati.8

Gambar 5. Jalur Reverse Cholesterol Transport

5. MANIFESTASI KLINIS
Beberapa tanda dan gejala dislipidemia adalah berat badan dan IMT yang
termasuk diatas normal, dan selain itu kadang gejala tidak terlihat, oleh karena itu
untuk mengetahui adanya tanda dislipidemia harus dilakukan pemeriksaan
laboratorium.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk menilai apakah kadar kolesterol seseorang tinggi atau rendah,
semuanya harus mengacu pada pedoman umum yang telah disepakati dan
digunakan diseluruh dunia yaitu pedoman dari NCEP ATP III (National cholesterol
Education Program, Adult Panel Treatment III), yang antara lain menetapkan
bahwa:
1. Total Kolesterol :
Nilai Normal < 200 mg/dl
Perbatasan tinggi 200 – 239 mg/dl
Tinggi > 240 mg/dl

2. LDL Kolesterol :
Optimal < 100 mg/dl
Mendekati optimal 100 – 129 mg/dl
Perbatasan tinggi 130 – 159 mg/dl
Tinggi 160 – 189 mg/dl
Sangat tinggi > 190 mg/dl

3. HDL Kolesterol :
Rendah < 40 mg/dl
Tinggi 60 mg/dl

4. Trigliserida
Normal < 150 mg/dl
Perbatasan tinggi 150 -199 mg/dl
Tinggi 200 – 499 mg/dl
Sangat tinggi > 499 mg/dl

7. DIAGNOSIS
Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang pada
pasien. Diagnosis ini mengacu pada pedoman dari NCEP ATP III (National
cholesterol Education Program, Adult Panel Treatment III). Familial Combined
Hyperlipidemia ditandai oleh peningkatan konsentrasi kolesterol LDL, TG, atau
keduanya. Dalam praktik klinis, identifikasi pasien dengan FCH dilakukan dengan
mengidentifikasi adanya kombinasi apoB >120 mg/dL dan TG >133 mg/dL pada
pasien dengan riwayat PJK prematur dalam keluarga. Kelainan ini merupakan
hiperlipidemia genetik yang tersering dijumpai di populasi dengan perkiraan
prevalensi 0,5%-2%.

Fredrickson Klasifikasi dislipidemia Peningkatan lipoprotein

I Kilomikron

IIa Hiperkolesterolemia LDL

IIb Dislipidemia kombinasi LDL + VLDL

III Dislipidemia remnant VLDL remnant +


kilomikron

IV Dislipidemia endogen VLDL

V Dislipidemia campuran VLDL + kilomikron

Tabel 5. Klasifikasi dislipidemia menurut WHO


Keterangan: LDL = Low Density Lipoprotein
VLDL = Very Low Density Lipoprotein (Trigliserida)

8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk seorang individu dengan diagnosis dislipidemia perlu di
sesuaikan dengan tingkat risiko mengidap penyakit kardiovaskuler. Terdapat empat
tingkat risiko penyakit kardiovaskuler yaitu risiko sangat tinggi, risiko tinggi, risiko
menengah dan risiko rendah. Kriteria tiap-tiap tingkat risiko adalah sebagai berikut :

Tingkat risiko:

1. Yang termasuk tingkat risiko sangat tinggi adalah pasien dengan :

a. Penyakit jantung koroner, yaitu: angina stabil, sindrom


koroner akut, pasca infark miokard, dan pernah menjalani
revaskularisasi koroner (intervensi koroner perkutan atau
bedah pintas koroner).
b. Setara PJK, yaitu:

i.Diabetes Mellitus tipe 2

ii.Diabetes Mellitus tipe 1 dengan mikroalbuminuria

iii.gagal ginjal kronik dengan GFR ≤60 mL/menit/1.73 m2

iv.penyakit arteri karotis (TIA, stroke, atau penyumbatan arteri


karotis >50% dengan ultrasonografi)

v.penyakit arteri perifer

c. Nilai SCORE ≥10%

2. Yang termasuk tingkat risiko tinggi adalah pasien dengan :

a. faktor risiko tunggal yang berat seperti dislipidemia familial


atau hipertensi berat

b. sindrom metabolik

c. angka SCORE 5 sampai kurang dari 10%

3. Yang termasuk tingkat risiko menengah adalah pasien dengan angka


SCORE ≥1% dan 5%. Kebanyakan pasien usia pertengahan mempunyai
risiko menengah. Namun, risiko ini perlu dimodulasi lebih lanjut dengan
mempertimbangkan faktor risiko lain seperti adanya riwayat PJK
prematur dalam keluarga, obesitas abdominal, kolesterol HDL yang
rendah, dan konsentrasi TG tinggi.

4. Yang termasuk tingkat risiko rendah adalah pasien dengan angka


SCORE kurang dari 1%.25
Dari kategori tingkat risiko tersebut, kemudian dapat di disesuaikan
dengan penatalaksanaan menurut fungsi dari risiko kardiovaskular total dan
konsentrasi kolesterol LDL seperti pada tabel

Tabel 6. Strategi intervensi dari risiko kardiovaskular total dan


konsentrasi kolesterol LDL.25
Nonmedikamentosa

Tabel 7. Intervensi gaya hidup yang dapat dilakukan.25


Tujuan intervensi gaya hidup atau non medikamentosa adalah untuk
mengurangi kolesterol LDL, mengurangi konsentrasi TG, dan meningkatkan
kolesterol HDL. Intervensi gaya hidup dilakukan pada semua orang, dengan atau
tanpa tambahan obat penurun lipid.
1. Terapi diet

Terapi diet dimulai dengan menilai pola makan pasien,


mengidentifikasi makanan yang mengandung banyak lemak jenuh dan
kolesterol serta berapa sering keduanya dimakan. Jika diperlukan ketepatan
yang lebih tinggi untuk menilai asupan gizi, perlu dilakukan penilaian yang
lebih rinci, yang biasanya membutuhkan bantuan ahli gizi. Penilaian pola
makan penting untuk menentukan apakah harus dimulai dengan diet tahap I
atau langsung ke diet tahap ke II. Hasil diet ini terhadap kolesterol serum dinilai
setelah 4-6 minggu dan kemudian setelah 3 bulan.26
2. Latihan jasmani

Dari beberapa penelitian diketahui bahwa latihan fisik dapat


meningkatkan kadar HDL dan Apo AI, menurunkan resistensi insulin,
meningkatkan sensitivitas dan meningkatkan keseragaman fisik, menurunkan
trigliserida dan LDL, dan menurunkan berat badan. Olahraga aerobik dapat
menurunkan konsentrasi TG sampai 20% dan meningkatkan konsentrasi
kolesterol HDL sampai 10%. Sementara itu, olahraga resisten hanya
menurunkan TG sebesar 5% tanpa pengaruh terhadap konsentrasi HDL. Efek
penurunan TG dari aktivitas fisik sangat tergantung pada konsentrasi TG awal,
tingkat aktivitas fisik, dan penurunan berat badan. Tanpa disertai diet dan
penurunan berat badan, aktivitas fisik tidak berpengaruh terhadap kolesterol
total dan LDL.

Setiap melakukan latihan jasmani perlu diikuti 3 tahap :

1. Pemanasan dengan peregangan selama 5-10 menit

2. Aerobik sampai denyut jantung sasaran yaitu 70-85 % dari denyut jantung
maximal ( 220 – umur ) selama 20-30 menit .

3. Pendinginan dengan menurunkan intensitas secara perlahan – lahan, selama


5-10 menit. Frekwensi latihan sebaiknya 4-5 x/minggu dengan lama latihan
seperti diutarakan diatas. Dapat juga dilakukan 2-3x/ minggu dengan lama
latihan 45-60 menit dalam tahap aerobic.27

Medikamentosa
Terdapat beberapa golongan obat yang dapat dipakai dalam
penatalaksanaan dislipidemia, diantaranya adalah :
1. Statin
Statin adalah obat penurun lipid paling efektif untuk menurunkan
kolesterol LDL dan terbukti aman tanpa efek samping yang berarti. Statin
merupakan obat pilihan bagi pasien dengan Dislipidemia Familial. Selain
berfungsi untuk menurunkan kolesterol LDL, statin juga mempunyai efek
meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan TG. Berbagai jenis statin dapat
menurunkan kolesterol LDL 18-55%, meningkatkan kolesterol HDL 5-15%,
dan menurunkan TG 7-30%. Cara kerja statin adalah dengan menghambat kerja
HMG-CoA reduktase. Efeknya dalam regulasi CETP menyebabkan penurunan
konsentrasi kolesterol LDL dan VLDL. Di hepar, statin meningkatkan regulasi
reseptor kolesterol LDL sehingga meningkatkan pembersihan kolesterol LDL.
Dalam keadaan hipertrigliseridemia (tidak berlaku bagi normotrigliseridemia),
statin membersihkan kolesterol VLDL. Mekanisme yang bertanggungjawab
terhadap peningkatan konsentrasi kolesterol HDL oleh statin sampai sekarang
belum jelas. Studi awal yang menggunakan statin untuk menurunkan kolesterol
LDL menunjukkan penurunan laju PJK dan mortalitas total serta berkurangnya
infark miokard, prosedur revaskularisasi, stroke, dan penyakit vaskular perifer.
Statin hendaknya diresepkan sampai dosis maksimal yang direkomendasikan
atau yang dapat ditoleransi untuk mencapai target kolesterol LDL. Selain
simvastatin, obat yang termasuk dalam golongan statin adalah lovastatin,
pravastatin, simvastatin, fluvastatin, atorvastatin, rosuvastatin, pitavastatin.9

Pada tahun 2011, FDA Amerika Serikat mengeluarkan rekomendasi


baru tentang keamanan simvastatin 80 mg. Simvastatin yang digunakan dengan
dosis maksimum (80 mg) berhubungan dengan miopati atau jejas otot terutama
jika digunakan selama 12 bulan berturutan. Simvastatin dosis 80 mg tidak
dianjurkan diresepkan bagi pasien baru, melainkan bagi mereka yang telah
menggunakan dosis tersebut selama 12 bulan berturutan tanpa keluhan atau
gejala miopati.
Semua statin kecuali pravastatin, rosuvastatin, dan pitavastatin
mengalami metabolisme di hati melalui isoenzim sitokrom P450 sehingga akan
berinteraksi dengan obat yang dimetabolisme melalui enzim tersebut.
Peningkatan enzim hepar terjadi pada 0,5-2% pengguna statin terutama pada
dosis tinggi. Setiap pasien hendaknya diperiksa enzim heparnya sebelum
memulai terapi statin dan sesuai indikasi sesudahnya. Terapi statin hendaknya
dihentikan pada pasien dengan jejas hepar serius yang disertai keluhan klinis
dan/atau hiperbilirubinemia atau ikterus. Kenaikan transaminase lebih dari 3x
batas atas normal merupakan indikasi untuk menghentikan terapi statin. Terapi
statin dapat dilanjutkan jika konsentrasi transaminase sudah turun kurang dari
3x batas atas normal.28

2. Inhibitor absorpsi kolesterol

Ezetimibe merupakan obat penurun lipid pertama yang menghambat


ambilan kolesterol dari diet dan kolesterol empedu tanpa mempengaruhi
absorpsi nutrisi yang larut dalam lemak. Dosis ezetimibe yang
direkomendasikan adalah 10 mg/hari dan harus digunakan bersama statin,
kecuali pada keadaan tidak toleran terhadap statin, di mana dapat dipergunakan
secara tunggal.
Tidak diperlukan penyesuaian dosis bagi pasien dengan gangguan hati
ringan atau insufisiensi ginjal berat. Kombinasi statin dengan ezetimibe
menurunkan kolesterol LDL lebih besar daripada menggandakan dosis statin.
Kombinasi ezetimibe dan simvastatin telah diujikan pada subyek dengan
stenosis aorta dan pasien gagal ginjal kronik. Sampai saat ini belum ada laporan
efek samping yang berarti dari pemakaian ezetimibe. Sebelum ada hasil studi
klinis yang lengkap, ezetimibe yang dikombinasikan dengan statin
direkomendasikan sebagai obat penurun kolesterol LDL lini kedua jika target
tidak tercapai dengan statin dosis maksimal. Pemakaian ezetimibe tunggal atau
kombinasinya dengan bile acid sequestrant atau asam nikotinat dapat
dipertimbangkan pada pasien yang tidak toleran terhadap statin. Penelitian yang
mengevaluasi efek kombinasi ezetimibe dengan simvastatin pada saat ini
sedang berlangsung.29
3. Bile acid sequestrant
Terdapat 3 jenis bile acid sequestrant yaitu kolestiramin,
kolesevelam, dan kolestipol. Bile acid sequestrant mengikat asam empedu
(bukan kolesterol) di usus sehingga menghambat sirkulasi enterohepatik dari
asam empedu dan meningkatkan perubahan kolesterol menjadi asam empedu
di hati. Dosis harian kolestiramin, kolestipol, dan kolesevelam berturutan
adalah 4-24 gram, 5-30 gram, dan 3,8-4,5 gram. Penggunaan dosis tinggi (24 g
kolestiramin atau 20 g of kolestipol) menurunkan konsentrasi kolesterol LDL
sebesar 18-25%. Bile acid sequestrant tidak mempunyai efek terhadap
kolesterol HDL sementara konsentrasi TG dapat meningkat. Walau tidak
menurunkan kejadian infark miokard dan kematian akibat PJK dalam sebuah
penelitian pencegahan primer, bile acid sequestrant direkomendasikan bagi
pasien yang tidak toleran terhadap statin. Efek sampingnya terutama berkenaan
dengan sistem pencernaan seperti rasa kenyang, terbentuknya gas, dan
konstipasi. Bile acid sequestrant berinteraksi dengan obat lain seperti digoksin,
warfarin, tiroksin, atau tiazid, sehingga obat-obatan tersebut hendaknya
diminum 1 jam sebelum atau 4 jam sesudah bile acid sequestrant. Absorpsi
vitamin K dihambat oleh bile acid sequestrant dengan akibat mudah terjadi
perdarahan dan sensitisasi terhadap terapi warfarin.25
4. Fibrat

Fibrat adalah agonis dari PPAR-α. Melalui reseptor ini, fibrat


menurunkan regulasi gen apoC-III serta meningkatkan regulasi gen apoA-I dan
A-II. Berkurangnya sintesis apoC-III menyebabkan peningkatan katabolisme
TG oleh lipoprotein lipase, berkurangnya pembentukan kolesterol VLDL, dan
meningkatnya pembersihan kilomikron. Peningkatan regulasi apoA-I dan
apoA-II menyebabkan meningkatnya konsentrasi kolesterol HDL. Sebuah
analisis meta menunjukkan bahwa fibrat bermanfaat menurunkan kejadian
kardiovaskular terutama jika diberikan pada pasien dengan konsentrasi TG di
atas 200 mg/dL. Terapi kombinasi fibrat (fenofibrat) dengan statin pada pasien
DM tidak lebih baik dari terapi statin saja dalam menurunkan laju kejadian
kardiovaskular kecuali jika konsentrasi TG lebih dari 200 mg/dL, konsentrasi
kolesterol LDL ≤84 mg/dL, dan konsentrasi kolesterol HDL ≤34 mg/dL.
Penelitian ini memperkuat pendapat bahwa terapi penurunan konsentrasi TG
ditujukan hanya pada pasien dengan risiko kardiovaskular tinggi yang
konsentrasi kolesterol LDL-nya telah mencapai target dengan terapi statin dan
konsentrasi TG-nya masih di atas 200 mg/dL. Fibrat dapat menyebabkan
miopati, peningkatan enzim hepar, dan kolelitiasis. Risiko miopati lebih besar
pada pasien dengan gagal ginjal kronik dan bervariasi menurut jenis fibrat.
Gemfibrozil lebih berisiko menyebabkan miopati dibandingkan fenofibrat jika
dikombinasikan dengan statin. Jika fibrat diberikan bersama statin maka
sebaiknya waktu pemberiannya dipisah untuk mengurangi konsentrasi dosis
puncak, misalnya: fibrat pada pagi dan statin pada sore hari. Dosis fenofibrat
adalah 200 mg/hari, dengan dosis maksimal 200 mg/hari. Dosis gemfibrozil
adalah 600 mg diberikan 2 kali sehari, dengan dosis maksimal 1200 mg/hari.30

5. Asam nikotinat (niasin)

Asam nikotinat menghambat mobilisasi asam lemak bebas dari


jaringan lemak perifer ke hepar sehingga sintesis TG dan sekresi kolesterol
VLDL di hepar berkurang. Asam nikotinat juga mencegah konversi kolesterol
VLDL menjadi kolesterol LDL, mengubah kolesterol LDL dari partikel kecil
(small, dense) menjadi partikel besar, dan menurunkan konsentrasi Lp(a).
Asam nikotinat meningkatkan kolesterol HDL melalui stimulasi produksi
apoA-I di hepar. Niasin yang digunakan saat ini terutama yang berbentuk
extended release yang dianjurkan diminum sebelum tidur malam. Dosis awal
yang direkomendasikan adalah 500 mg/hari selama 4 minggu dan dinaikkan
setiap 4 minggu berikutnya sebesar 500 mg selama masih dapat ditoleransi
sampai konsentrasi lipid yang dikehendaki tercapai.

Dosis maksimum 2000 mg/hari menurunkan TG 20-40%, kolesterol


LDL 15-18%, dan meningkatkan konsentrasi HDL 15-35%. Menambahkan
niasin pada terapi statin tidak memberikan keuntungan tambahan jika diberikan
pada pasien dengan penyakit kardiovaskular aterosklerotik yang konsentrasi
kolesterol LDL-nya kurang dari 70 mg/dL. Sebuah studi yang menambahkan
niasin extended release pada statin pada lebih dari 25.000 pasien dengan
penyakit kardiovaskular gagal memperlihatkan keuntungan tambahan berupa
penurunan laju serangan jantung atau stroke. Alasan terbanyak menghentikan
penggunaan niasin pada bulan pertama adalah efek samping berupa keluhan
pada kulit (ruam, pruritis, flushing), keluhan gastrointestinal, DM, dan keluhan
muskuloskeletal. Untuk mengurangi efek flushing, niasin dikombinasikan
dengan laropripant, sebuah antagonis prostaglandin D2.31

6. Inhibitor CETP

Cholesteryl ester transfer protein berfungsi membantu transfer


cholesteryl ester dari kolesterol HDL kepada VLDL dan LDL yang selanjutnya
akan dibersihkan dari sirkulasi melalui reseptor LDL di hepar. Terapi dengan
inhibitor CETP mempunyai efek ganda yaitu meningkatkan konsentrasi
kolesterol HDL dan menurunkan konsentrasi kolesterol LDL melalui reversed
cholesterol transport. Inhibitor CETP dapat bersifat proaterogenik jika
cholesteryl ester dari kolesterol VLDL atau LDL diambil oleh makrofag.
Sebaliknya, jika cholesteryl ester diambil oleh hepar melalui reseptor LDL,
inhibitor CETP bersifat antiaterogenik. Di antara 3 inhibitor CETP (torcetrapib,
dalcetrapib dan anacetrapib), torcetrapib telah ditarik dari pasaran karena
meningkatkan kematian. Monoterapi anacetrapib 40 mg, 150 mg, atau 300 mg
selama 8 minggu menurunkan konsentrasi kolesterol LDL berturutan sebesar
16%, 27%, 40%, dan 39% serta meningkatkan konsentrasi kolesterol HDL
berturutan sebesar 44%, 86%, 139%, dan 133%. Sebuah penelitian fase III
dengan anacetrapib: Randomized Evaluation of the Effects of Anacetrapib
through Lipid-modification (REVEAL) saat ini sedang berjalan.9

7. Terapi kombinasi

Terapi kombinasi dapat dipertimbangkan bagi pasien yang target


kolesterol LDL-nya tidak tercapai dengan terapi statin dosis tinggi atau bagi
pasien yang tidak toleran terhadap statin. Kombinasi statin dan bile acid
sequestrant dapat memperkuat penurunan kolesterol LDL sebesar 10-20%
dibandingkan dengan terapi statin tunggal. Terapi kombinasi ini dilaporkan
menurunkan laju aterosklerosis yang dideteksi dengan angiografi.
Menggabungkan tablet berisi fitosterol dengan statin diikuti oleh penurunan
kolesterol LDL 5-10% lebih besar. Seperti telah disebutkan terdahulu,
menambahkan ezetimibe pada statin menurunkan kolesterol LDL lebih besar
daripada menggandakan dosis statin. Terapi kombinasi antara ezetimibe dengan
bile acid sequestrant atau dengan asam nikotinat menyebabkan penurunan
konsentrasi kolesterol LDL lebih besar dibandingkan penggunaan obat tunggal.
Walau demikian, belum ada evaluasi luaran klinis dari terapi kombinasi
tersebut.

Kombinasi fibrat (terutama fenofibrat, bezafibrat, dan cipofibrat)


dengan statin menurunkan konsentrasi kolesterol LDL dan TG serta
meningkatkan kolesterol HDL lebih tinggi daripada terapi tunggal manapun.
Walau demikian, studi luaran klinis tidak menunjukkan keunggulan
dibandingkan dengan penggunaan statin monoterapi. Kombinasi statin dan
fibrat meningkatkan risiko miopati, terutama jika fibrat digunakan dengan
statin dosis tinggi atau statin dikombinasikan dengan gemfibrozil. Kombinasi
asam nikotinat yang extended release dengan statin dosis moderat
meningkatkan konsentrasi kolesterol HDL dan menurunkan konsentrasi TG
lebih besar daripada statin dosis tinggi atau kombinasi asam nikotinat dengan
ezetimibe. Menambahkan niasin pada terapi statin tidak memberikan
keuntungan tambahan dibandingkan dengan terapi statin tunggal jika diberikan
pada pasien dengan penyakit kardiovaskular aterosklerotik yang kadar
kolesterol LDL-nya kurang dari 70 mg/dL. Sebuah studi lain yang
mengikutsertakan lebih dari 25.000 pasien dengan penyakit kardiovaskular
gagal membuktikan keuntungan tambahan dengan menambahkan niasin
extended release pada statin dalam menurunkan laju serangan jantung atau
stroke.32

9. PENCEGAHAN
a. Diet

Diet yang dapat dipakai untuk menurunkan kolesterol LDL adalah diet
asam lemak tidak jenuh seperti MUFA dan PUFA karena faktor diet yang paling
berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi kolesterol LDL adalah asam lemak
jenuh. Penurunan kolesterol LDL yang diakibatkan oleh diet PUFA lebih besar
dibandingkan dengan diet MUFA atau diet rendah karbohidrat. PUFA omega-3
tidak mempunyai efek hipokolesterolemik langsung, tetapi kebiasaan
mengonsumsi ikan (mengandung banyak PUFA omega-3) berhubungan dengan
reduksi risiko kardiovaskular independen terhadap efek pada lipid plasma.
Konsumsi PUFA omega-3 pada dosis farmakologis (>2 gram/hari) mempunyai
efek netral terhadap konsentrasi kolesterol LDL dan mengurangi konsentrasi TG.
Konsumsi PUFA omega-3, PUFA omega-6 dan MUFA berhubungan dengan
peningkatan konsentrasi kolesterol HDL sampai 5% dan penurunan TG sebesar 10-
15%.
Diet kaya karbohidrat (>60% kalori total) berhubungan dengan penurunan
konsentrasi kolesterol HDL dan peningkatan konsentrasi TG. Oleh karena itu,
asupan karbohidrat dianjurkan kurang dari 60% kalori total. Asupan lebih rendah
dianjurkan bagi pasien dengan peningkatan konsentrasi TG dan konsentrasi
kolesterol HDL rendah seperti yang ditemukan pada pasien sindrom metabolik.
Diet karbohidrat yang kaya serat dianggap diet optimal pengganti lemak jenuh yang
tujuannya meningkatkan efek diet pada konsentrasi kolesterol LDL dan
mengurangi efek yang tidak dikehendaki dari diet kaya karbohidrat pada
lipoprotein lain. Diet makanan tinggi serat seperti kacang kacangan, buah, sayur
dan sereal memiliki efek hipokolesterolemik langsung.

b. Aktivitas fisik

Tujuan melakukan aktivitas fisik secara teratur adalah mencapai berat


badan ideal, mengurangi risiko terjadinya sindrom metabolik, dan mengontrol
faktor risiko PJK. Pengaruh aktivitas fisik terhadap parameter lipid terutama berupa
penurunan TG dan peningkatan kolesterol HDL. Olahraga aerobik dapat
menurunkan konsentrasi TG sampai 20% dan meningkatkan konsentrasi kolesterol
HDL sampai 10%. Tanpa disertai diet dan penurunan berat badan, aktivitas fisik
tidak berpengaruh terhadap kolesterol total dan LDL. Aktivitas fisik yang
dianjurkan adalah aktivitas yang terukur seperti jalan cepat 30 menit per hari selama
5 hari per minggu atau aktivitas lain setara dengan 4-7 kkal/menit atau 3-6 METs.
Beberapa jenis latihan fisik lainnya antara lain:

a. Berjalan cepat (4,8-6,4 km per jam) selama 30-40 menit


b. Berenang – selama 20 menit
c. Bersepeda untuk kesenangan atau transportasi, jarak 8 km dalam 30
menit
d. Bermain voli selama 45 menit
c. Penurunan berat badan

Baik obesitas umum maupun obesitas abdominal berhubungan dengan


risiko kematian. Konsep obesitas terutama dihubungkan dengan konsep sindrom
metabolik. Untuk semua pasien dengan kelebihan berat badan hendaknya
diusahakan untuk mengurangi 10% berat badan.. Walau pengaruh penurunan berat
badan terhadap kolesterol total dan LDL hanya sedikit, untuk semua pasien dengan
kelebihan berat badan direkomendasikan untuk mengurangi 10% berat badan.
Setiap penurunan 10 kg berat badan berhubungan dengan penurunan kolesterol
LDL sebesar 8 mg/dL. Konsentrasi kolesterol HDL justru berkurang saat sedang
aktif menurunkan berat badan dan akan meningkat ketika berat badan sudah stabil.
Setiap penurunan 1 kg berat badan berhubungan dengan peningkatan kolesterol
HDL sebesar 4 mg/dL dan penurunan konsentrasi TG sebesar 1,3 mg/ dL
(Erwinanto, 2013).

d. Menghentikan kebiasaan merokok

Merokok berhubungan dengan peningkatan konsentrasi TG. Menghentikan


merokok dapat meningkatkan konsentrasi kolesterol HDL sebesar 5-10%.10

10. PROGNOSIS
Apabila dislipidemia disebabkan karena kelainan genetik dan bawaan,
pasien mempunyai resiko lebih tinggi menderita aterosklerosis dan komplikasi
penyakit kardiovaskular lainnya, selain itu komplikasi tersebut dapat terjadi di
umur lebih muda daripada pasien dislipidemia lainnya. Sehingga prognosis pada
pasien tersebut adalah dubia ad malam. Sedangkan untuk pasien dislipidemia
dengan penyebab selain genetik, dengan melakukan prinsip terapi dislipidemia
seperti perubahan pola hidup yang merugikan, upaya farmakologis, serta terapi
untuk penyakit yang mendasari terjadinya dislipidemia, hal tersebut dapat
menurunkan resiko terjadinya komplikasi dari dislipidemia sehingga prognosis
pasien dapat menjadi dubia ad bonam.10
BAB III
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. J
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Karyawan
Alamat : Sukoharjo
Agama : Islam
Berat badan : 75 kg
Tinggi Badan : 165 cm
1. Keluhan Utama : Kaku pada tengkuk hingga leher dan mudah lelah jika
beraktivitas berat
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sering kaku di daerah tengkuk sampai ke
leher, terutama sejak 5 hari yang lalu. Keluhan dirasakan hilang timbul, terasa
lebih berat bila terlalu capek atau terlalu banyak pikiran. Keluhan dirasa hilang
saat pasien tidur dan istirahat. Pasien merasa keluhan cukup mengganggu
aktivitasnya. Pasien mengaku tekanan darah biasanya berkisar 130-140/90
mmHg tetapi pasien tidak pernah minum obat hipertensi sebelumnya. Pasien
mengatakan beberapa hari terakhir banyak pikiran karena mendengar rumor
akan dilakukan PHK secara massal di perusahaannya.
Pasien juga mengeluhkan mudah lelah jika beraktivitas berat seperti naik
tangga. Pasien mengaku jarang berolahraga. Pasien merupakan seorang
karyawan swasta di sebuah perusahaan sehingga sehari-hari pasien lebih
banyak duduk di depan komputer.
Pasien memiliki kebiasaan sering makan makanan yang asin, sering
mengkonsumsi kopi, makanan yang bersantan, gorengan, serta makanan siap
saji dari restoran. Pasien juga mempunyai kebiasaan merokok sejak 5 tahun
terakhir. Pasien menyangkal sedang memiliki masalah kesehatan dan tidak
sedang meminum obat apapun. Riwayat nyeri dada disangkal (-), riwayat sesak
napas disangkal (-), riwayat sering terbangun pada malam hari karena sesak
napas disangkal (-). Ayah pasien meninggal pada usia 52 tahun karena penyakit
jantung koroner. Pasien memiliki 2 saudara, yakni 1 kakak laki-laki dan 1 kakak
perempuan. Seluruh saudara pasien, termasuk pasien menderita kegemukan.
Kedua saudaranya memiliki kadar kolesterol yang tinggi.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat penyakit serupa : disangkal
2. Riwayat sakit gula : disangkal
3. Riwayat darah tinggi : disangkal
4. Riwayat sakit jantung : disangkal
5. Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
6. Riwayat sakit ginjal : disangkal
7. Riwayat mondok : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Ayah pasien meninggal karena Penyakit
Jantung Koroner

Riwayat DM : disangkal
Riwayat kadar kolesterol tinggi : Kedua saudara memiliki kadar
kolesterol tinggi
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi Obat/makanan : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat konsumsi obat-obatan bebas : disangkal
b. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
c. Riwayat merokok : (+) sejak 5 tahun yang lalu
d. Riwayat makan makanan asin : sering
e. Riwayat makan makanan bersantan : sering
f. Riwayat minum kopi : sering
g. Riwayat olahraga : sangat jarang
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang laki-laki berusia 47 tahun, dengan status menikah.
Pasien bekerja sebagai karyawan di perusahaan asing. Pasien berobat
menggunakan asuransi BPJS.
7. Anamnesis Sistem
8. Keluhan utama: Kaku pada tengkuk hingga leher dan mudah lelah jika
beraktivitas berat
a. Kulit : normal
b. Kepala : kaku di tengkuk hingga leher
c. Mata : normal
d. Hidung : normal
e. Telinga : normal
f. Mulut : normal
g. Tenggorokan : normal
h. Sistem respirasi : normal
i. Sistem kardiovaskuler : normal
j. Sistem gastrointestinal : normal
k. Sistem muskuloskeletal : mudah lelah jika beraktivitas berat
l. Sistem genitouterina : normal
m. Ekstremitas : normal
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : kompos mentis, kesan sakit sedang, gizi kesan lebih.
Berat badan : 75 kg
Tinggi badan : 165 cm
Indeks Massa Tubuh: 27,55 kg/m2 (obese I WHO criteria)
2. Tanda vital
TD : 150/90 mmHg
Nadi : 85 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup, simetris
Napas : 20 x/menit, kussmaul (-)
Suhu : 36,60C per axiller
3. Kulit : warna sawo matang
4. Kepala : bentuk mesocephal, rambut hitam sukar dicabut
5. Mata : conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), refleks cahaya
(+/+), pupil isokor (3 mm/3 mm), bulat, di tengah, mata
cekung (-/-)
6. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
7. Mulut : bibir pucat (-), sianosis (-), mukosa basah (+)
8. Telinga : sekret (-), mastoid pain (-), tragus pain (-)
9. Tenggorok : uvula di tengah, mukosa faring hiperemis (-), tonsil T1–T1
10. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar, Jugular Venous
Pressure (JVP) tidak meningkat
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan=kiri,
retraksi intercostal (-), pernafasan torakoabdominal, sela-sela
iga melebar (-/-), pembesaran KGB axilla (-/-)
12. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC V 1 cm medial linea
medioclavicularis, iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung normal, konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : HR 86 kali/menit reguler. Bunyi jantung I-II murni, intensitas
normal, reguler, bising (-), gallop (-). Bunyi jantung I > Bunyi
jantung II, di SIC V 1 cm medial linea medioklavikula sinistra
dan SIC IV linea parasternal sinistra. Bunyi jantung II > Bunyi
jantung I di SIC II linea parasternal dextra et sinistra.
13. Pulmo
Inspeksi : Normochest, simetris, sela iga melebar (-), iga mendatar (-).
Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga melebar, retraksi
intercostal (-)
Palpasi : Simetris. Pergerakan dada kanan = kiri, peranjakan dada kanan
= kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor / Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara tambahan
wheezing (-/-), ronchi basah kasar (-/-), ronchi basah halus
basal paru (-/-), krepitasi (-/-)
14. Punggung : kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok kostovertebra
(-)
15. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi dari dinding thorak, distended (-),
venektasi (-), sikatrik (-), stria (-), caput medusae (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak alih (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba.
16. Ekstremitas
Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral dingin (-), luka (-), deformitas
(-), ikterik (-), petechi (-), flat nail (-), spoon nail (-), kuku pucat (-), clubing
finger (-), hiperpigmentasi (-).
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan :
Pemeriksaan Hasil Satuan
Kolesterol total 300 mg/dl
Trigliserida 350 mg/dl
HDL 30 mg%
LDL 224 mg%
GDS 160 mg/dl
HbA1c 6 %

D. RESUME
Pasien datang dengan keluhan sering kaku di daerah tengkuk sampai ke leher,
terutama sejak 5 hari yang lalu. Keluhan dirasakan hilang timbul, terasa lebih berat bila
terlalu capek atau terlalu banyak pikiran. Keluhan dirasa hilang saat pasien tidur dan
istirahat. Pasien merasa keluhan cukup mengganggu aktivitasnya. Pasien mengaku
tekanan darah biasanya berkisar 130-140/90 mmHg tetapi pasien tidak pernah minum
obat hipertensi sebelumnya. Pasien mengatakan beberapa hari terakhir banyak pikiran
karena mendengar rumor akan dilakukan PHK secara massal di perusahaannya.

Pasien juga mengeluhkan mudah lelah jika beraktivitas berat seperti naik
tangga. Pasien mengaku jarang berolahraga. Pasien merupakan seorang karyawan
swasta di sebuah perusahaan sehingga sehari-hari pasien lebih banyak duduk di depan
komputer.

Pasien memiliki kebiasaan sering makan makanan yang asin, sering


mengkonsumsi kopi, makanan yang bersantan, gorengan, serta makanan siap saji dari
restoran. Pasien juga mempunyai kebiasaan merokok sejak 5 tahun terakhir. Pasien
menyangkal sedang memiliki masalah kesehatan dan tidak sedang meminum obat
apapun. Riwayat nyeri dada disangkal (-), riwayat sesak napas disangkal (-), riwayat
sering terbangun pada malam hari karena sesak napas disangkal (-). Ayah pasien
meninggal pada usia 52 tahun karena penyakit jantung koroner. Pasien memiliki 2
saudara, yakni 1 kakak laki-laki dan 1 kakak perempuan. Seluruh saudara pasien,
termasuk pasien menderita kegemukan. Kedua saudaranya memiliki kadar kolesterol
yang tinggi.

Pengukuran berat badan didapatkan 75 kg, tinggi badan165 cm, tekanan darah
150/90 mmHg, nadi 85 x/menit, reguler, respirasi 20 x/menit, dan suhu 36,6ºC (per
axiller). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kolesterol total 300 mg/dl,
trigliserid 350 mg/dl, HDL 30 mg%, LDL 224 mg%, GDS 160 mg/dL, HbA1c 6%.

E. DIAGNOSIS KERJA
Hipertensi stage I dan dislipidemia kombinasi familial

F. TUJUAN TERAPI
1. Terapi hipertensi
a. Menurunkan tekanan darah sampai <140/90 mmHg. Dilakukan dengan:
 Modifikasi gaya hidup
 Obat antihipertensi, diberikan 1 obat hipertensi:
ACE inhibitor, captopril dengan dosis 25 mg diberikan 2 kali sehari.
b. Mencegah terjadinya komplikas dan menurunkan morbiditas dan mortilitas,
dilakukan dengan mempertahankan tekanan darah normal dengan
melakukan pengobatan dan kontrol rutin.
2. Terapi dislipidemia
a. Untuk menurunkan kadar kolesterol pasien
b. Untuk memperbaiki kualitas hidup pasien
G. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia Ad Bonam
Ad fungsionam : Dubia Ad Bonam
Ad sanam : Dubia Ad Bonam
H. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Edukasi kepada pasien mengenai penyakitnya dan faktor risiko yang
dimilikinya.
b. Memelihara dan menjaga kesehatan jasmani, dengan berolahraga ringan,
seperti berjalan, atau bersepeda di sekitar kompleks rumah selama 30-45
menit, tiga kali dalam seminggu.

c. Menyarankan kepada pasien untuk menghentikan konsumsi rokok.

d. Menyarankan kepada pasien untuk mengurangi konsumsi makanan asin,


berlemak, mengurangi kopi dan menjalani diet sehat.

e. Menyarankan kepada pasien untuk menggunakan obat pemberian dokter


secara teratur dan tidak menghentikan pengobatan secara tiba-tiba tanpa
seizin dokter. Dan apabila pasien merasa tidak ada perbaikan, atau muncul
gejala lain, segera kontrol ke dokter.

f. Menyarankan kepada pasien untuk kontrol pada minggu ke-4 dan


melakukan cek enzim hepar secara periodik untuk mengetahui faal hepar
pasien.
2. Medikamentosa

dr. Alifia Ramadhani Herida


SIP: 2019131026121999
Jl. Viena Dalam JK-61, Solo Baru
13 Oktober 2019

R/ Captopril tab mg 25 No. LX


∫ 2 dd tab I a.c.

R/ Simvastatin tab mg 10 No. XXX


∫ 1 dd tab I p.c. vespere

Pro : Tn J (47 tahun)

Alamat : Sukoharjo
BAB IV
PEMBAHASAN OBAT
A. OBAT HIPERTENSI
Berdasarkan pedoman dari JNC VIII, pada populasi umum <60 tahun
terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah
sistolik ≥140 mmHg dengan target tekanan darah sistolik <140 mmHg dan jika
tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target tekanan darah <90 mmHg. Pada
populasi non kulit hitam umum, terapi antihipertensi awal sebaiknya mencakup
golongan tiazid atau Calcium Canal Blocker (CCB) atau ACE Inhibitor atau
Angiotensin Receptor Blocker (ARB). Jika target tekanan darah tidak tercapai
dalam 1 bulan perawatan, tingkatkan dosis obat awal atau tambahkan obat kedua
dari salah satu golongan yang direkomendasikan. Jika target tekanan darah tidak
dapat dicapai dengan 2 obat, tambahkan dan titrasi obat ketiga dari golongan yang
direkomendasikan.23
Pada kasus diatas dimana pasien dengan diabetes mellitus, menurut
Perkeni pilihan obat untuk pasien diabetes mellitus dengan hipertensi adalah ACE
inhibitor. Di mana ACE inhibitor menunjukkan efek positif terhadap lipid darah
dan mengurangi resistensi insulin sehingga sangat baik untuk hipertensi pada
diabetes, dislipidemia, dann obesitas. Obat ini juga mempunyai efek nefroprotektif
dan sering digunakan untuk mengurangi proteinuria pada pasien diabetes mellitus
dengan komplikasi nefropati. ACE inhibitor juga ddapat memperbaiki kinerja
kardiovaskuler.
Berdasar JNC 8, golongan ACE Inhibitor yang direkomendasikan
adalah captopril dengan dosis awal harian 50 mg, diberikan dua kali perhari. Terapi
diberikan selama 1 bulan, jika target tekanan darah tidak tercapai dalam 1 bulan
perawatan, tingkatkan dosis obat awal atau tambahkan obat kedua dari salah satu
golongan yang direkomendasikan. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai
dengan 2 obat, tambahkan dan titrasi obat ketiga dari golongan yang
direkomendasikan. Menurut Perkeni, pengobatan hipertensi harus diteruskan
walaupun target sudah tercapai, bila tekanan darah yang terkendali setelah 1 tahun
pengobatan, dapat dicoba menurunkan dosis secara bertahap.
Kaptopril merupakan obat antihipertensi golongan ACE inhibitor yaitu
dengan menghambat perubahan Angiotensin I menjadi Angiotensin II sehingga
terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi
bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan
berperan dalam efek vasodilatasi ACE inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan
menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan
menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi kalium. Terapi nonfarmakologis
juga harus diberikan pada pasien agar keberhasilan target terapi tercapai. 24
Captopril
1. Farmakodinamik
Kaptopril merupakan turunan prolin yang efektif meniadakan pembentukan
Angiotensin Converting Enzym (ACE) II yaitu vasodilatasi dan berkurangnya
retensi garam dan air. Kaptopril merupakan obat antihipertensi yang
menghambat ACE. Zat ini tidak menimbulkan udema dan digunakan pada
hipertensi ringan sampai berat. Kaptopril tersedia dalam bentuk tablet 12,5 mg
dan 25 mg, dan 50 mg.
2. Farkamokinetik
Setelah pemberian secara oral kaptopril secara cepat diabsorpsi dan adanya
makanan dalam saluran gastrointestinal berkurang 30-40%. Dalam periode 24
jam lebih dari 95% dosis yang diabsorpsi dieliminasi ke dalam urin dan 40-
50%nya dalam bentuk tidak berubah. Resorpsinya dari usus cepat untuk ca
(75%), efeknya sudah maksimal setelah 1,5 jam dan bertahan 12-24 jam
tergantung pada dosis. PP-nya 25-30%, plasma-t½-nya 2-3 jam. Ekskresinya
lewat kemih, sparuhnya sebagai metaboli inaktif dan separuh utuh.
3. Indikasi
Pengobatan hipertensi sedang hingga berat dapat digunakan sendiri atau
dikombinasi dengan obat hipertensi lain, terutama diurotic tipe tiazid
Pengobatan kepada pasien dengan gagal jantung yang tidak cukup atau tidak
dapat diobati dengan terapi konvensional. Captopril dapat digunakan dengan
diuretic dan digitalis.
4. Dosis
Captopril sebaiknya diminum 1 (satu) jam sebelum makan.
Dewasa: Hipertensi: dosis awal 12,5 mg, 3x sehari. Jika setelah 1-2 minggu
penurunan tekanan darah sebelum tercapai, dosis dinaikkan 25-50 mg, 2-3x
sehari. Jika setelah 2 minggu penurunan tekanan darah yang diinginkan belum
tercapai, dapat ditambahkan dengan diuretic tipe Tiazid (misal
hidroklorotiazid) 25 mg/hari, dosis dapat dinaikkan dengan interval waktu 1-2
minggu sampai dosis tercapai atau bila penderita sebelumnya sudah mendapat
terapi dengan diuretic, pengobatan harus dibawah pengawasan dokter. Dosis
dapat dinaikkan sampai 100 mg, 2-3x sehari dan bila benar-benar dibutuhkan
dosis dapat diberikan sampai 150 mg, 2-3x sehari. Dosis biasanya 25-150 mg,
2-3x sehari, dosis maksimum sehari tidak lebih dari 450 mg/hari. Gagal
jantung: Dosis awal: 6,25 mg atau 12,5 mg, 3x sehari (untuk meminimalkan
lama dan besarnya efek hipotesif). Pada kebanyakan penderita dosis awal
umumnya 25 mg, 3x sehari. Setelah mencapai dosis 50 mg, 3x sehari,
kenaikkan dosis ditunda paling sedikit 2 minggu untuk menentukan
kemungkinan respon yang memuaskan terjadi. Sebagian besar penderita
menunjukkan perbaikkan klinis pada 50 atau 100 mg, 3x sehari. Dosis
maksimum adalah 450 mg/hari. Penderita gagal ginjal:
Bila efek terapi yang telah diinginkan tercapai maka maksimum dosis perhari
harus diturunkan atau interval pemberian dapat tercapi.
5. Efek samping
Efek samping yang sering terjadi ialah hilangnya rasa (kadang-kadang juga
pencium, batuk kering, dan exanthema. Efeknya dapat ditiadakan oleh
indometasin dan NSAID lainnya.
6. Interaksi obat
Pemberian obat diuretik hemat kalium (spironolakton-triamteren, anulona) dan
preparat kalium harus dilakukan dengan hati-hati karena adanya bahaya
hiperkalemia. Penghambat enzim siklooksigenase sepeti indometasin, dapat
menghambat efek kaptopril. Disfungsi neurologik pernah dilaporkan terjadi
pada pasien yang diberi kaptopril dan simetidin. Kombinasi kaptopril dengan
allopurinol tidak dianjurkan, terutama gagal ginjal kronik.
B. OBAT DISLIPIDEMIA

Terapi yang diberikan pada kasus ini terdiri atas terapi medikamentosa
dan non medikamentosa. Terapi medikamentosa pada kasus ini adalah
simvastatin tablet 10 mg. Simvastatin sendiri adalah obat yang termasuk dalam
golongan statin (inhibitor HMG-CoA reduktase). Statin adalah obat penurun
lipid paling efektif untuk menurunkan kolesterol LDL dan terbukti aman tanpa
efek samping yang berarti. Statin merupakan obat pilihan bagi pasien dengan
Dislipidemia Familial. Selain berfungsi untuk menurunkan kolesterol LDL,
statin juga mempunyai efek meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan
TG. Berbagai jenis statin dapat menurunkan kolesterol LDL 18-55%,
meningkatkan kolesterol HDL 5-15%, dan menurunkan TG 7-30%. Cara kerja
statin adalah dengan menghambat kerja HMG-CoA reduktase. Efeknya dalam
regulasi CETP menyebabkan penurunan konsentrasi kolesterol LDL dan
VLDL. Di hepar, statin meningkatkan regulasi reseptor kolesterol LDL
sehingga meningkatkan pembersihan kolesterol LDL. Dalam keadaan
hipertrigliseridemia (tidak berlaku bagi normotrigliseridemia), statin
membersihkan kolesterol VLDL. Mekanisme yang bertanggungjawab terhadap
peningkatan konsentrasi kolesterol HDL oleh statin sampai sekarang belum
jelas. Studi awal yang menggunakan statin untuk menurunkan kolesterol LDL
menunjukkan penurunan laju PJK dan mortalitas total serta berkurangnya
infark miokard, prosedur revaskularisasi, stroke, dan penyakit vaskular perifer.
Statin hendaknya diresepkan sampai dosis maksimal yang direkomendasikan
atau yang dapat ditoleransi untuk mencapai target kolesterol LDL. Selain
simvastatin, obat yang termasuk dalam golongan statin adalah lovastatin,
pravastatin, simvastatin, fluvastatin, atorvastatin, rosuvastatin, pitavastatin
(Barter et al., 2010)
Target terapi pengobatan statin adalah menurunkan konsentrasi
kolesterol LDL minimal 50% atau sesuai dengan tingkat risiko
kardiovaskularnya. Kombinasi statin dengan ezetimibe direkomendasikan bagi
pasien yang target kolesterolnya LDL tidak tercapai dengan statin dosis
maksimal. Ezetimibe monoterapi direkomendasikan bagi pasien yang tidak
toleran atau mempunyai indikasi kontra terhadap statin. Terapi dengan bile acid
sequestrant, asam nikotinat, atau fibrat dapat dipertimbangkan bagi pasien yang
tidak toleran terhadap statin dan ezetimibe (Erwinanto, 2013).
Semua statin kecuali pravastatin, rosuvastatin, dan pitavastatin
mengalami metabolisme di hati melalui isoenzim sitokrom P450 sehingga akan
berinteraksi dengan obat yang dimetabolisme melalui enzim tersebut.
Peningkatan enzim hepar terjadi pada 0,5-2% pengguna statin terutama pada
dosis tinggi. Setiap pasien hendaknya diperiksa enzim heparnya sebelum
memulai terapi statin dan sesuai indikasi sesudahnya. Terapi statin hendaknya
dihentikan pada pasien dengan jejas hepar serius yang disertai keluhan klinis
dan/atau hiperbilirubinemia atau ikterus. Kenaikan transaminase lebih dari 3x
batas atas normal merupakan indikasi untuk menghentikan terapi statin. Terapi
statin dapat dilanjutkan jika konsentrasi transaminase sudah turun kurang dari
3x batas atas normal.
Data dari studi pencegahan sekunder menunjukkan bahwa terapi statin
menurunkan risiko kardiovaskular lebih besar pada subyek usia ≥65 tahun
daripada usia lebih muda. Sebuah studi pencegahan primer dan sekunder pada
subyek usia rerata 75 tahun dengan risiko kardiovaskular tinggi menunjukkan
bahwa terapi statin selama 3 tahun berhubungan dengan penurunan kejadian
kardiovaskular tanpa mempengaruhi mortalitas total dan disfungsi kognitif.

Simvastatin
Simvastatin tablet 10 mg (1 box berisi 5 strip).
1. Farmakologi
Simvastatin merupakan obat yang termasuk dalam golongan statin (inhibitor
HMG-CoA reduktase). Selain berfungsi untuk menurunkan kolesterol LDL,
statin juga mempunyai efek meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan
TG.
2. Indikasi
Menunurunkan kadar LDL dan kolesterol total pada penderita
hiperkolesterolemia primer, mengurangi peningkatan kadar kolesterol pada
pada penderita hiperkolesterolemia yang disertai hipertrigliseridemia.
3. Kontraindikasi
Penyakit pada hepar atau peningkatan transaminase serum yang menetap dan
tidak jelas penyebabnya. Hamil dan laktasi.
4. Dosis
Awal 5-10 mg/hari dosis tunggal, pada malam hari. Pada penderita
hiperkolesterolemia ringan sampai dengan sedang Awal 5mg/hari. Pengaturan
dosis dilakukan dengan intervensi 4 minggu sampai dengan maksimal
40mg/hari, diberikan pada malam hari. Kadar lipid harus diukur dengan interval
minimal 4 minggu. Bila kadar LDL turun di bawah 75 mg.dL atau kadar
kolesterol plasma turun di bawah 140 mg.dl, perlu dipertimbangkan untuk
mengurangi dosis.
5. Peringatan dan perhatian
Anak dan remaja. Tidak diindikasikan pada pasien hiperlipidemia tipe I, IV, V.
Lakukan tes fungsi hati sebelum pengobatan., 6 dan 12 minggu setelah terapi
pertama, dan selanjutnya periodik. Hati-hati pada alkoholisme atau pada
riwayat penyakit hati.
6. Interaksi obat
Derivat kumarin, warfarin, imunosupresan, gemfibrosil, niasin, eritromisin,
antipirin, propanolol dan digoksin.
7. Efek samping obat
Disfungsi saraf kranial, tremor, vertigo, kehilangan memori, parestesia,
neuropati perifer, kelumpuhan saraf perifer, sakit kepala, reaksi
hipersensitivitas, nyeri perut, konstipasi, kembung, pankreatitis, anoreksia,
muntah, alopesia, ginekomastia, libido berkurang, disfungsi ereksi,
progestivitas katarak, oftalmoplegia, asthenia, miopati, reabdomiolisis, edema
angioneurotik.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik
> 140 mmHg dan tekanan darah diastolik > 90 mmHg pada pemeriksaan yang
berulang.
2. Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma, yaitu peningkatan kadar
kolesterol total, kolesterol LDL, dan/atau trigliserida, serta penurunan kadar
kolesterol HDL dalam darah.
3. Terapi pada hipertensi dan dislipidemia terdiri atas dua terapi yaitu terapi
farmakologis dan non farmakologis..

B. SARAN
1. Menyarankan pada pasien untuk memelihara dan menjaga kesehatan jasmani,
dengan berolahraga ringan secara rutin, menghentikan konsumsi rokok,
mengurangi konsumsi makanan asin, berlemak, minum kopi dan menjalani diet
sehat dan mengkonsumsi obat pemberian dokter secara teratur dan tidak
menghentikan pengobatan secara tiba-tiba tanpa seizin dokter.

2. Pengobatan hipertensi dan dislipidemia harus dilaksanakan secara tepat untuk


menghindari munculnya komplikasi akibat penanganan yang salah atau
terlambat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Julianty P. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi di daerah


perkotaan. Gizi Indon. 2010 33 (1) : 59-66.
2. Departemen Kesehatan, R.I.. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi.
Jakarta: Departemen Kesehatan . 2006; 12, 46-47
3. Kementerian Kesehatan, R.I. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013; 88-90
4. Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure (JNC). The Seventh Report of the JNC (JNC-7). JAMA.
2003;289(19):2560-72.
5. Resolution WHA57.17. Global strategy on diet, physical activity, and health.
In: Fifty-seventh World Health Assembly. 17-12 May 2004. Geneva: World
Health Organization; 2004.
6. Pusat Data dan Informasi. Mencegah dan Mengontrol Hipertensi Agar
Terhindar dari Kerusakan Organ Jantung, Otak dan Ginjal. Jakarta Selatan:
Kementerian Kesehatan RI; 2014.
7. Cote, I., Farris, K., Olson, K., Wiens, C., dan Dieleman, S. Assessing the
Usefulness of the Medication Appropriateness Index in a Community Setting.
Canada: Institute of Health Economics. 2004; Hal 2.
8. Hokanson J E, Austin MA. Plasma triglyceride level is a risk factor for
cardiovascular disease independent of high-density lipoprotein cholesterol
level: a meta analysis of population-based prospective studies. J Cardiovasc
Risk 1996;3:213-9
9. Barter P J, Brandrup-Wognsen G , Palmer MK, Nicholls SJ. Effect of statins
on HDL-C: a complex process unrelated to changes in LDL-C: analysis of the
VOYAGER Database. J Lipid Res 2010;51:1546-53.
10. Erwinanto et al. (2013) Pedoman tatalaksana dislipidemia Perhimpunan dokter
spesialis kardiovaskular indonesia. Jakarta : Centra Communications.
11. Tanto C, Liwang F. Hipertensi. Kapita Selekta Kedokteran ed 4. Jakarta: Media
Aesculapius; 2014.p.635-639
12. Kemenkes RI, 2013, Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer ed 1, Jakarta: Kemenkes RI 236-243.
13. Julianty P. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi di daerah
perkotaan. Gizi Indon. 2010 33 (1) : 59-66.
14. Pusat Data dan Informasi. Mencegah dan Mengontrol Hipertensi Agar
Terhindar dari Kerusakan Organ Jantung, Otak dan Ginjal. Jakarta Selatan:
Kementerian Kesehatan RI; 2014.
15. Rahajeng, Ekowati dan Sulistyowati Tuminah. Prevalensi Hipertensi dan
Determinannya di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi
Badan Penelitian Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Maj Kedokt Indon,
2009; Vol 59 (12)
16. Yogiantoro, M., Hipertensi Esensial. In: A.W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi
(eds.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 5th ed. Jakarta Pusat: Interna
Publishing, 2009; hal 1079-1085.
17. Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Jakarta : Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012
18. Guyton, Arthur C., John E. Hall, alih bahasa: Irawati dkk., editor bahasa
Indonesia: Luqman Yanuar Rachman, 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
ed. 11, Jakarta: EGC
19. Gray, et al. (2005). Lecture Notes Kardiologi edisi 4. Jakarta: Erlangga Medical
Series
20. James PA, Oparil S, Carter BL, et al. Evidence-based guideline for the
management of high blood pressure in adults: report from the panel members
appointed to the Eighth Joint National Committee JNC 8. JAMA,. 2014. 311
(5) : 507-20
21. Yusman P. Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Berisiko Hipertensi dengan
Kejadian Hipertensi pada Pasien yang Berkunjung ke Puskesmas Kecamatan
Jagakarsa Maret 2011. Jakarta: UPN Veteran Jakarta; 2011.
22. PERKENI Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
di Indonesia. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia 2011.
23. Muhadi.JNC 8:evidence-based Guideline penanganan Pasien Hipertensi
dewasa. CDK-236 2016. 43(1)46-57
24. Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Jakarta : Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012
25. Reiner Z, Catapano AL, De Backer G, Graham I, Taskinen MR, Wiklund O,
Agewall S, Alegria E, Chapman MJ, Durrington P, Erdine S, Halcox J, Hobbs
R, JKjekshus J, Filardi PP, Riccardi G, Storey RF, Wood D for The Task Force
for the management of dyslipidaemias of the European Society of Cardiology
(ESC) and the European Atherosclerosis Society (EAS). ESC/EAS Guidelines
for the management of dyslipidaemias. Eur Heart J 2011;32:1769-818.
26. Mensink R P, Zock PL, Kester ADM, Katan MB. Effects of dietary fatty acids
and carbohydrates on the ratio of serum total to HDL cholesterol and on serum
lipids and apolipoproteins: a meta-analysis of 60 controlled trials. Am j Clin
Nutr 2003;77:1146-55.
27. Tambalis K, Panagiotakos DB, Kavouras SA, Sidossis LS. Responses of blood
lipids to aerobic, resistance, and combined aerobic with resistance exercise
training: a systematic review of current evidence. Angiology 2009;60:614-32
28. Hsu I, Spinler SA, Johnson NE. Comparative evaluation of the safety and
efficacy of HMG54 CoA reductase inhibitor monotherapy in the treatment of
primary hypercholesterolemia. Ann Pharmacother 1995;29:743-59.
29. Reckless JP D, Henry P, Pomykaj T, Lim ST, Massaad R, Vandormael K,
Johnson- Levonas AO, Lis K, Brudi P, Allen C. Lipid-altering efficacy of
ezetimibe⁄simvastatin 10⁄40 mg compared with doubling the statin dose in
patients admitted to the hospital for a recent coronary event: the INFORCE
study. Int J Clin Pract 2008;62:539-54.
30. Jun M, Foote C, Lu J, Patel A, Nicholls SJ, Grobbee DE, Cass A, Chalmers J,
Perkovic V. Effects of fibrates on cardiovascular outcomes: a systematic review
and metaanalysis. Lancet 2010;375:1875-84.
31. Kamanna V S, Kashyap ML. Mechanism of action of niacin. Am J Cardiol
2008;101:20B-6B.
32. Reiner Z. Combined therapy in the treatment of dyslipidemia. Fundam Clin
Pharmacol 2010; 24 : 19-28.

Anda mungkin juga menyukai