Anda di halaman 1dari 46

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular.

Diperkirakan telah menyebabkan 4,5% dari beban penyakit secara global dan

prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara

maju. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama gangguan jantung.

Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat berakibat terjadinya

gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit ini bertanggung

jawab terhadap tingginya biaya pengobatan dikarenakan alasan tingginya

kunjungan ke dokter, perawatan di rumah sakit dan/atau penggunaan obat

jangka panjang (Depkes RI, 2006).

Hipertensi menduduki peringkat tiga sebagai faktor resiko penyebab

kematian dari penyakit-penyakit tidak menular. Hipertensi telah menyebabkan

62 % kasus stroke dan 49% kasus serangan jantung pada setiap tahunnya.

Pada tahun 2010 negara ekonomi berkembang memiliki persentase penderita

hipertensi lebih besar dibanding dengan negara maju, yaitu di negara

berkembang sebesar 40% sedangkan di negara maju sekitar 35 % (Fitriyah,

2018).

Sekitar 972 juta orang atau 26,4% penduduk dunia menderita hipertensi.

Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari

972 juta penderita hipertensi, 34,25% berada di negara maju dan 65,74%

sisanya berada di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Namun


1
2

hampir sekitar 90,95% kasus tidak diketahui penyebabnya. Data tahun 2007-

2010 menunjukkan bahwa sebanyak 81,5% penderita hipertensi menyadari

bahwa mereka menderita hipertensi, 74,9% menerima pengobatan dengan

52,5% pasien yang tekanan darahnya terkontrol (tekanan darah sistolik <140

mmHg dan diastolik < 90 mmHg) dan 47,5% pasien yang tekanan darahnya

tidak terkontrol (Florensia, 2016).

Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada

umur ≥ 18 tahun sebesar 25,8 %, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%) diikuti

Kalimantan Selata n 30,8%, Kalimantan Timur 29,6%, Jawa Barat 29,4%,

Sulawesi Tengah 28,7%, sedangkan untuk di Provinsi Papua Barat prevalensi

hipertensi tercatat sebesar 20,5% (Riskesdas, 2013).

Prevalensi hipertensi di Indonesia pada Tahun 2013, untuk usia 35-44

tahun sebesar 24,8%, pada usia 45-54 tahun sebesar 35.6%, pada usia 55-64

tahun sebesar 45,9% dan pada usia > 65 tahun sebesar 57,6% (Riskesdas,

2013).

Hipertensi merupakan faktor resiko utama penyakit jantung koroner dan

iskemik serta stroke hemoragik. Dalam beberapa kelompok usia, resiko

penyakit kardiovaskular menjadi dua kali lipat setiap kenaikan tekanan darah

20/10 mmHg, mulai dari 115/75 mmHg. selain penyakit jantung koroner dan

stroke, komplikasi lain akibat hipertensi adalah gagal jantung, penyakit

pembuluh darah perifer, gangguan ginjal, pendarahan retina dan gangguan

penglihatan. Oleh karena itu, pengobatan hipertensi perlu dilakukan dalam

menurunkan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik sampai


3

<140/90 mmHg sehingga resiko penyakit kardiovaskuler berkurang

(Florensia, 2016).

Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) Sele Be Solu merupakan salah satu rumah sakit milik pemerintah di

Kota Sorong yang menangani pasien Hipertensi baik rawat inap maupun rawat

jalan. Jumlah pasien hipertensi rawat inap dari bulan Januari – Maret 2019

sebanyak 133 pasien yang terdiri dari 63 pasien perempuan dan 70 pasien laki-

laki.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat

inap Di BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui gambaran penggunaan obat antihipertensi pada pasien

rawat inap di BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat inap

BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong.

b. Mengetahui jenis-jenis obat antihipertensi pada pasien rawat inap di

BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong.

c. Mengetahui Golongan obat antihipertensi pada pasien rawat inap di

BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong.


4

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat ilmiah

Hasil penelitian ini hendaknya dapat digunakan sebagai bahan

masukan dalam menyusun atau membuat kebijakan di BLUD RSUD

Sele Be Solu Kota Sorong dalam penggunaan obat antihipertensi.

2. Manfaat institusi

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi untuk

menambah pengetahuan tentang gambaran penggunaan obat

antihipertensi pada pasien rawat inap di BLUD RSUD Sele Be Solu Kota

Sorong.

3. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terkait

pemilihan obat antihipertensi yang tepat pada pasien rawat inap di BLUD

RSUD Sele Be Solu Kota Sorong.


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Hipertensi

1. Definisi hipertensi

Hipertensi merupakan suatu keadaan patologis dimana kondisi

pembuluh darah mengalami peningkatan secara terus menerus yang di

tandai dengan tekanan darah sistolik yang mencapai ≥ 140 mmHg dan

tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Apabila peningkatan ini berlangsung

secara terus menerus serta dalam jangka waktu yang lama, dan jika tidak

dideteksi sedini mungkin dan mendapat terapi pengobatan yang tepat maka

dapat menyebabkan gagal ginjal, penyakit jantung koroner, stroke, serta

kematian (Fitriyah, 2018).

Menurut Yulanda (2017) angka kejadian hipertensi di Amerika

Serikat mencapai 29-31% atau sekitar 58 hingga 65 juta pasa usia diatas 16

tahun. Menurut Sa’idah dian sebesar 90% seseorang dengan tekanan darah

normal memiliki resiko terjadi hipertensi pada usia 55 tahun dan

diperkirakan bahwa jumlah penderita hipertensi akan terus bertambah

seiring dengan semakin meningkatnya jumlah populasi geriatri dan

semakin tingginya prevalensi obesitas (Yulanda, 2017).

Hipertensi adalah penyakit yang timbul akibat adanya interaksi

berbagai faktor risiko yang dimiliki seseorang. Faktor risiko ini sering

dikaitkan dengan perubahan gaya hidup. Gaya hidup yang modern dan

berlebihan seperti pola makan yang salah, berat badan yang berlebihan,

5
6

ditambah dengan kebiasaan buruk seperti mengkonsumsi rokok dan

alkohol merupakan faktor pencetus penyakit ini. Selain faktor tersebut ada

pula faktor yang tidak dapat diubah yang dapat menjadi faktor risiko

hipertensi yaitu umur, jenis kelamin, keturunan dan etnis (Kurniasih et all.,

2013).

2. Klasifikasi hipertensi

Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya tekanan

darah dan berdasarkan etiologinya. Berdasarkan tingginya tekanan darah,

seseorang dikatakan hipertensi bila tekanan darahnya > 140/90 mmHg.

klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa (usia ≥ 18

tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada

dua atau lebih kunjungan klinis dapat dilihat pada tabel.

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi.

Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah


Sistolik Diastolik
Normal < 120 mmHg (dan) < 80 mmHg
Pre-hipertensi 120-139 mmHg (atau) 80-89 mmHg
Stadium 1 140-159 mmHg (atau) 90-99 mmHg
Stadium 2 ≥ 160 mmHg (atau) ≥ 100 mmHg
Sumber : Florensia Anisa, 2016

Klasifikasi tekanan darah yang telah dirilis oleh JNC VIII pada

tahun 2013 masih merujuk klasifikasi tekanan darah JNC VII. Tetapi,

manajemen terapi hipertensi dalam JNC VIII lebih berdasarkan Evidence

Based Medicine (EBM), komplikasi penyakit, ras dan riwayat penderita.


7

Terget tekanan darah pada manajemen terapi hipertensi dalam JNC VIII

bergantung pada komplikasi penyakit penderita (Florensia, 2016).

3. Faktor-faktor penyebab hipertensi

Hipertensi merupakan penyakit heterogen yang dapat disebabkan

oleh penyebab yang spesifik (hipertensi sekunder) atau mekanisme

patofisiologi yang tidak diketahui penyebabnya (hipertensi primer atau

essensial). Hipertensi sekunder bernilai kurang dari 10 % kasus hipertensi,

pada umumnya kasus tersebut disebabkan oleh penyakit ginjal kronik atau

renovaskuler. Kondisi lain yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder

antara lain feokromasitona, sindrom Cushing, hipertiroid, hiperparatiroid,

aldosteron primer, kehamilan, dekstruktif sleep apnea, dan kerusakan

aorta.

Multifaktor yang dapat menimbulkan hipertensi primer, adalah :

1. Ketidaknormalan humoral meliputi sistem renin-angiotensin-

aldosteron, hormon natriuretik, atau hiperinsulinemia

2. Masalah patologi pada sistem syaraf pusat, serabut saraf otonom,

volume plasma, dan kontriksi arteriol.

3. Defisiensi senyawa lokal vasodilator pada endotelium vaskular,

misalnya prostasiklin, bradikinin dan nitrit oksida, atau terjadinya

peningkatan produksi senyawa vasokonstriktor seperti angiotensin II

dan endotelin I.
8

4. Asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormon natriuretik

yang menginhibisi transpor natrium intraseluler, menghasilkan

peningkatan reaktivitas vaskuler dan tekanan darah

5. Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler, memicu perubahan

vaskuler, fungsi otot halus dan peningkatan resistensi vaskuler perifer.

Penyebab utama kematian pada hipertensi adalah serebrovaskuler,

kardiovaskuler, dan gagal ginjal. Kemungkinan kematian prematur ada

korelasinya dengan meningkatnya tekanan darah (Sukandar, 2008).

4. Gejala hipertensi

Penderita hipertensi primer yang sederhana pada umumnya tidak

disertai gejala. Penderita hipertensi sekunder dapat disertai gejala suatu

penyakit. Penderita feokromositoma dapat mengalami sakit kepala

paroksimal, berkeringat, takikardia, palpitasi, dan hipotensi ortostatik.

Pada aldosteronemia primer yang mungkin terjadi adalah gejala

hipokalemia keram otot dan kelelahan. Penderita hipertensi sekunder pada

sindrom. Cushing dapat terjadi peningkatan berat badan, poliuria, edema,

iregular menstruasi, jerawat atau kelelahan otot (Sukandar, 2008).

5. Gambaran klinis hipertensi

Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang

memberi gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke

untuk otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan

obat jantung. Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan

masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada


9

didunia. Semakin meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien

dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah. Diperkirakan

sekitar 80% akan terjadi kenaikan kasus hipertensi terutama di negara

berkembang dari 639 juta kasus di tahun 2000 menjadi 1,15 milyar kasus

di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat

ini dan pertambahan penduduk saat ini (Florensia, 2016).

6. Komplikasi hipertensi

Hipertensi yang terjadi dalam jangka waktu lama akan merusak

endotel arteri dan mempercepat proses aterosklerosis. Komplikasi yang

dapat terjadi pada penderita hipertensi adalah rusaknya organ tubuh seperti

jantung, mata, ginjal, otak dan pembuluh darah besar. Hipertensi juga

menjadi faktor risiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke dan

transient ischemic attact), penyakit arteri koroner (infark miokard dan

angina), gagal ginjal, demensia dan arterial fibralasi. Pasien dengan

hipertensi memiliki peningkatan risiko untuk penyakit coroner, stroke,

penyakit arteri perifer dan gagal jantung (Noviana, 2016).

B. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan Obat Antihipertensi

1. Pengobatan secara non farmakologis

Terapi non farmakologis dilakukan dengan modifikasi pola hidup

yang berguna untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi.

Modifikasi pola hidup terbukti dapat menurunkan tekanan darah,

menambah efektivitas penggunaan obat antihipertensi dan menurunkan

resiko kardiovaskuler. Modifikasi utama pola hidup yang dapat


10

menurunkan tekanan darah antara lain penurunan berat badan pada kasus

obesitas, pengurangan asupan kalium, asupan natrium dan kalsium,

melakukan kegiatan fisik seperti olahraga ringan, dan mengurangi

konsumsi alkohol (Fitriani, 2007).

2. Pengobatan secara farmakologis

a. Golongan diuretik

Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan

diuresia yang mengakibatkan turunnya volume plasma turunnya

cardiac output. Diuretik thiazide adalah diuretik yang sering

digunakan untuk sebagian besar pasien hipertensi (Noviana, 2016).

Diuretik thiazide bekerja pada segmen awal tubulus distal

dengan menghambat reabsobsi NaCl sehingga dapat menyebabkan

penurunan resistensi pembuluh darah perifer dan akibatnya akan

menurunkan tekanan darah. Penggunaan diuretik tiazid pada pasien

dengan riwayat hout atau hiperglikemia memerlukan pemantauan

karena dapat menghambat eskresi urat oleh ginjal sehingga

meningkatkan kasar asam urat serta menghambat pelepasan insulin

dari pankreas (Noviana, 2016).

Diuretik kuat merupakan antihipertensi yang lebih kuat

dibanding dengan diuretik tiazid. Diuretik kuat bekerja menurunkan

tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi natrium pada

klorida pada ascending loop henle dan di tubulus distal ginjal.


11

Sebagai contoh yaitu frusemid, bumetanid, torasemid (Fitriani,

2007).

Diuretik hemat kalium merupakan antagonis aldosteron.

Mekanisme kerjanya dengan cara berkompetisi dengan aldosteron

pada bagian reseptor di tubulus, distal, sehingga dapat menghambat

efek aldosteron pada otot halus arteriola dengan baik, meningkatkan

eksresi garam dan air, mencegah kehilangan kalium dan ion

hidrogen. Jenis diuretik ini merupakan diuretik lemah. Obat-obat

yang termasuk dalam golongan diuretik ini adalah amilorid,

spironolakton dan triamteren. Penggunaannya terutama dalam

kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah atau mengurangi

efek hipokalemia dari diuretik lain. Diuretik hemat kalium berguna

untuk menghindari terjadinya depresi kalium yang berlebihan

(Fitriani, 2007).

b. Penghambat adrenergik

Prasozin, terasozin dan doksasozin merupakan penghambat

reseptor α1 yang menginhibisi katekolamin pada sel otot polos

vaskuler perifer yang memberikan efek vasodilatasi. Kelompok ini

tidak mengubah aktivitas reseptor α2 sehingga tidak menimbulkan

efek takikardia (Sukandar, 2008).

Efek samping berat yang mungkin terjadi merupakan gejala

dosis awal yang ditandai dengan hipotensi ortostatik yang disertai

dengan pusing atau pingsan sesaat, palpitasi dan juga sinkop dalam
12

satu hingga tiga jam setelah dosis pertama atau terjadi lebih lambat

setelah dosis yang lebih tinggi. Hal ini dapat dihindari dengan cara

pemberian dosis awal dan diikuti dengan peningkatan dosis awal

pada saat mau tidur. Terkadang pusing ortostatik berlanjut dengan

pemberian kronik (Sukandar, 2008).

Retensi air dan natrium dapat terjadi pada dosis yang lebih tinggi

dan terkadang dengan pemberian kronik dosis rendah. Kelompok ini

lebih efektif jika diberikan bersamaan dengan anti diuretik untuk

mempertahankan efikasi hipotensif serta meminimalkan potensi

edema (Sukandar, 2008).

Karena data menunjukkan bahwa doksazosin (dan mungkin

penghambat reseptor α1 lainnya) tidak melindungi peristiwa

kardiovaskuler seperti terapi yang lain, obat ini hanya digunakan

untuk kasus yang unik, seperti pada pria yang menderita hiperplasia

prostat jinak, jika pasien tersebut sudah mendapatkan terapi

antihipertensi standar lainnya (diuretik, β bloker, atau inhibitor ACE)

(Sukandar, 2008).

c. Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE)

ACE membantu produksi angiotensin II (berperan penting dalam

regulasi tekanan darah arteri). ACE didistribusikan pada beberapa

jaringan dan ada pada beberapa tipe sel yang berbeda tetapi pada

prinsipnya merupakan sel endothelial. Kemudian tempat utama

produksi angiotensin II adalah pembuluh darah bukan ginjal.


13

Inhibitor ACE mencegah perubahan angiotensin I menjadi

angiotensin II (vasokonstriktor potensial dan stimulus sekresi

aldosteron). Inhibitor ACE ini juga mencegah degradasi bradikinin

dan menstimulasi sintesis senyawa vasodilator lainnya termasuk

prostaglandin E2 dan prostaksilkin. Pada kenyataannya, inhibitor

ACE menurunkan tekanan darah pada penderita dengan aktivitas

renin plasma normal, bradikinin dan produksi jaringan ACE yang

penting dalam hipertensi (Sukandar, 2008).

Dosis awal ACE sebaiknya dosis rendah kemudian ditambahkan

perlahan. Hipotensi akut dapat terjadi pada onset terapi inhibitor

ACE terutama pada penderita yang kekurangan natrium atau volum,

gagal jantung, orang lanjut usia, penggunaan bersama dengan

vasodilator atau diuretik. Penderita dengan faktor risiko tersebut

dosisnya diawali setengah dosis normal kemudian diikuti dengan

penambahan dosis (interval 6 minggu) (Sukandar, 2008).

10 inhibitor ACE tersedia di Amerika Serikat, dosisnya bisa satu

kali sehari untuk hipertensi kecuali kaptopril (2 atau 3 kali sehari).

Absorpsi katopril (tidak untuk enalapril atau lisinopril) dikurangi 30-

40% jika diberikan bersamaan dengan makanan.

Inhibitor ACE menurunkan aldosteron dan dapat meningkatkan

konsentrasi serum kalium. Hiperkalemia terjadi terutama pada

penderita penyakit ginjal kronik atau diabetes, maka penanganannya


14

menggunakan ARB, AINS, sumpemen kalium, atau diuretik hemat

kalium (Sukandar, 2008).

d. Angiotensin II receptor blokers (ARB)

ARB tidak mencegah pemecahan bradikinin. Hal ini tidak

memberikan efek samping batuk, banyak konsekuensi negatif karena

beberapa efek inhibitor ACE dapat menyebabkan meningkatnya

level bradikinin. Bradikinin cukup penting untuk regresi hipertropi

miosit dan fibrosis, serta meningkatnya level aktivator jaringan

plasminogen (Sukandar, 2008).

Semua obat pada tipe ini memiliki kesamaan efikasi dan

memiliki hubungan antara dosis-respon yang linear. Tambahan dosis

rendah diuretik tiazida dapat meningkatkan efikasi secara signifikan

(Sukandar, 2008).

ARB memiliki efek samping yang lebih rendah dari

antihipertensi lainnya. Batuk sangat jarang terjadi. Seperti inhibitor

ACE mereka dapat mengakibatkan infusiensi ginjal, hiperkalemia

dan hipotensi ortostatik. Angiodema jarang terjadi daripada inhibitor

ACE tetapi reaktivitas silang telah dilaporkan. ARB tidak boleh

digunakan pada ibu hamil (Sukandar, 2008).

e. Calcium channel blokers (CCB).

Calcium channel blokers (CCB) penyebabkan relaksasi otot

jantung dan mengurangi sensitifitas kanal kalsium, sehingga

mengurangi masuknya kalsium yang ada di ekstraseluler ke dalam


15

sel. Hal ini menyebabkan vasodilatasi dan menurunnya tekanan

darah. Kanal kalsium non dihidropiridin dapat menyebabkan aktivasi

reflex simpatis, (kecuali amlodipine dan felodipin) mungkin

memiliki efek negatif ionotropik. Dihidropidin menyebabkan

peningkatan refleks baroreseptor yang dimediasi denyut jantung

karena adanya efek vasodilatasi perifer. Contoh obat golongan

Calcium Channel Blokers adalah amlodipin, felodipin, isradipin,

nicardipin (Noviana, 2016).

f. Beta-bloker

Mekanisme kerja beta-bloker sebagai antihipertensi masih belum

jelas. Diperkirakan ada beberapa cara pengurangan denyut jantung

dan kontraktilis miokard menyebabkan curah jantung berkurang.

Selain itu adrenoreseptor β juga terletak pada permukaan membran

dari sel juxtaglomerular dan penyekat adrenoreseptor β menghambat

pelepasan renin. Penghentian penggunaan penghambat β secara tiba-

tiba juga dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah secara tiba-tiba

dengan nilai tekanan darah diatas nilai sebelum terapi. Untuk

menghindari hal ini, maka dosis pemberian penghambat β

ditingkatkan bertahap selama 1 sampai 2 minggu sebelum akhirnya

melanjutkan pemakaian obat ini. Obat-obat beta-bloker yang sering

digunakan adalah atenolol, betaksolol, labetolol (Fitriani, 2007).


16

Algoritma dari penatalaksanaan hipertensi berdasarkan JNC VII

Modifikasi gaya hidup

Tidak mencapai sasaran terapi tekanan darah


(<140/90 mmHg atau <130/80 mmHg untuk
pasien dengan penyakit diabetes dan ginjal)

Hipertensi tanpa penyakit tambahan Hipertensi dengan penyakit tambahan

Hipertensi tingkat 1 Hipertensi tingkat 2 Obat antihipertensi sesuai


dengan indikasi penyakit
Umumnya menggunakan Kombinasi dua jenis obat penyulit.
Diuretik jenis Thiazid dapat antihipertensi (diuretik jenis
dianjurkan ACE inhibitor, thiazid dan ACE inhibitor Obat antihipertensi lain ACE
ARB, beta-bloker, CCB, atau ARB, beta-bloker, CCB). inhibitor, ARB, beta-bloker atau
atau kombinasi kombinasi

Target tekanan darah tidak mencapai

Lakukan peningkatan dosis atau tambahan obat antihipertensi hingga terget tekanan
darah tercapai, konsultasikan dengan ahli hipertensi.

Gambar 1. Algoritma Terapi Antihipertensi berdasarkan JNC VII


17

C. Kerangka Teori

FAKTOR RESIKO

Tidak dapat diubah :


ETIOLOGI Usia, Jenis Kelamin,
Genetik
 Hipertensi
Essensial Dapat diubah :
 Hipertensi Obesitas, stres,
Sekunder merokok, konsumsi
garam berlebih,
hiperkolesterolemia.

HIPERTENSI

Penggunaan Obat
Antihipertensi

(Sumber : Modifikasi dari Yulanda Glenys)

Gambar 2 : Kerangka Teori

Ket :
Variabel yang di teliti
Variabel yang tidak di teliti
18

D. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen

1. Penggunaan obat antihipertensi.


2. Jenis-jenis obat antihipertensi. Pasien Hipertensi
3. Golongan obat antihipertensi Rawat Inap

Gambar 3 : Kerangka Konsep

E. Definisi Operasional

1. Pola penggunaan antihipertensi :

Jenis dan jumlah obat-obat yang digunakan untuk mengontrol tekanan

darah pada penderita hipertensi.

Alat ukur : Rekam Medik

Skala ukur : Nominal

2. Pasien hipertensi rawat inap :

Pasien yang saat pengobatan terdiagnosa hipertensi dan menerima

antihipertensi.

Alat ukur : Rekam Medik

Skala ukur : -
19

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan deskriptif dimana data

dikumpulkan secara retrospektif. Data diambil dari rekam medik pasien

hipertensi rawat inap BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong Tahun 2019.

Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran penggunaan obat

antihipertensi pada pasien rawat inap Di BLUD RSUD Sele Be Solu Kota

Sorong.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 21-24 September 2019 di BLUD

RSUD Sele Be Solu Kota Sorong.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien hipertensi yang

dirawat inap dalam periode Januari-Maret 2019 yang berjumlah 133 pasien

di BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi. Sampel dari penelitian ini adalah

seluruh populasi dari periode Januari-Maret 2019 yang berjumlah 133

19
20

pasien. Penelitian ini menggunakan rumus Slovin karena dalam penarikan

sampel, jumlahnya harus representative agar hasil penelitian dapat

digeneralisasikan dan perhitunganpun tidak memerlukan tabel jumlah

sampel, namun dapat digunakan dengan rumus dan perhitungan sederhana.

Rumus Slovin untuk menentukan sampel adalah sebagai berikut :

N
n=
1+ N ( e ) ²

Keterangan :

n = Ukuran sampel / Jumlah sampel

N = Ukuran populasi

N = Persentase kelonggaran ketelitian kesalahan pengambilan sampel yang

masih bisa ditolelir ; e = 0,1

Dalam rumus Slovin ada ketentuan sebagai berikut :

Nilai e = 0,1 (10%) untuk populasi dalam jumlah besar

Nilai e = 0,2 (10%) untuk populasi dalam jumlah kecil

Jadi rentang sampel yang dapat diambil dari teknik Slovin adalah antara 10-

20% dari populasi penelitian.

Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 133 pasien,

sehingga persentase kelonggaran yang digunakan adalah 10% dan hasil

perhitungan dapat dibulatkan untuk mencapai kesesuaian. Maka untuk

mengetahui sampel penelitian, dengan perhitungan sebagai berikut :


21

133
n=
1+133 ( 10 )2

133
n= =57
2,33

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian mewakili

sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel. Kriteria

inklusi untuk sampel dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Pasien rawat inap bulan Januari – Maret 2019.

2. Pasien yang di dalam rekam medisnya terdiagnosa hipertensi

yang mengkonsumsi antihipertensi.

3. Pasien dengan rekam medis yang lengkap dan jelas terbaca.

b. Kriteria ekslusi

Kriteria ekslusi merupakan kriteria dimana keadaan yang

menyebabkan subjek yang memenuhi syarat sebagai sampel. Kriteria

inklusi untuk sampel dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Pasien pulang paksa sebelum terapi selesai di dilaksanakan.

2. Wanita hamil.

3. Rekam medis yang tidak lengkap, tidak jelas dan hilang.

D. Teknik Sampling

Berdasarkan perhitungan diatas sampel dalam penelitian ini berjumlah 57

pasien dari seluruh total pasien hipertensi di BLUD RSUD Sele Be Solu Kota

Sorong. Sampel yang diambil berdasarkan teknik simple random sampling


22

yaitu sampel diambil secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam

populasi itu sendiri.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini adalah rekam medik / lembar observasi pasien

hipertensi di BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong.

F. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode

retrospektif yaitu penelitian berdasarkan rekam medis pasien berupa :

1. Nama antihipertensi

2. Bentuk sediaan, dosis dan aturan pemakaian

3. Tanggal perawatan pasien

G. Pengolahan Data

1. Editing data

Hal ini dengan melakukan penilaian terhadap data mentah, namun

terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kembali kebenaran data yang

diperoleh dan mengeluarkan data yang tidak memenuhi kriteria

penelitian.

2. Coding data

Dengan melakukan pengkodean untuk mempermudah peneliti

memasukkan data yang diperoleh dari rekam medis.


23

3. Entry data

Setelah dilakukan coding lalu memasukkan data ke dalam program

Microsoft Excel untuk selanjutnya data dibagi berdasarkan kebutuhan

untuk data karakteristik pasien dan data penggunaan obat antihipertensi.

4. Cleaning data

Dengan melakukan pemeriksaan kembali data yang sudah

dimasukkan kedalam sistem komputer untuk menghindari terjadinta

ketidaklengkapan atau kesalahan data.

H. Analisa Data

Analisa data yang dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2007

akan dianalisis dengan analisa univariat sebagai berikut :

1. Analisis univariat

Analisis Univariat adalah analisis yang digunakan untuk

menganalisis setiap variabel (terikat maupun bebas) yang akan diteliti

secara deskriptif. Data yang telah dikategorikan ditampilkan sebagai

frekuensi kejadian. Adapun pengolahan data dengan menggunakan

analisis univariat ialah :

a. Karakteristik Pasien : Usia, Jenis Kelamin.

b. Penggunaan obat antihipertensi

c. Jenis-jenis obat antihipertensi.

d. Golongan obat antihipertensi.


24

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sele Be Solu Kota Sorong yang

beralamat di Jl. Sele Be Solu II Km. 12 Klasaman-Sorong. BLUD RSUD

Sele Be Solu Kota Sorong merupakan rumah sakit tipe C pendidikan

yang lebih menekankan pelayanan kepada masyarakat tidak mampu dan

sekaligus sebagai salah satu pusat rujukan puskesmas yang ada di Kota

Sorong.

BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong memiliki visi dan misi.

Visi BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong adalah terwujudnya rumah

sakit umum daerah sele be solu menjadi rumah sakit unggulan di papua

barat, sedangkan misi BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong adalah

meningkatkan pelayanan yang bermutu, meningkatkan sarana pelayanan

kesehatan yang terstandarisasi, meningkatkan pendidikan, ketrampilan

dan kesejahteraan karyawan, meningkatkan jangkauan pelayanan serta

meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat kota sorong

BLUD RSUD Sele Be Solu melaksanakan tugasnya melayani

masyarakat dengan jumlah penduduk ±186.933 jiwa dengan luas tanah

120.000 m2 dan luas bangunan 10.622 m2. BLUD RSUD Sele Be Solu

terdiri dari gedung instalasi gawat darurat (IGD), gedung administrasi,

24
25

gedung instalasi laboratorium, ruang instalasi radiologi, gedung unit

transfusi darah (UTD), ruang instalasi farmasi, ruang rekam medik dan

BPJS, ruang high care unit (HCU) dan beberapa unit pelayanan medis

seperti pelayanan rawat inap dan pelayanan rawat jalan.

2. Data karakteristik responden

a. Jenis kelamin

Distribusi jenis kelamin pada pasien hipertensi di BLUD RSUD

Sele Be Solu Kota Sorong dapat dilihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1
Distribusi Pasien Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin di
BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong
No Jenis Kelamin Jumlah Pasien (%)
1 Perempuan 32 56,1
2 Laki-laki 25 43,9
Total 57 100,0
Berdasarkan tabel 4.1 jumlah pasien hipertensi di BLUD RSUD

Sele Be Solu Kota Sorong sebanyak 57 pasien dengan jenis kelamin

yang terbanyak adalah perempuan berjumlah 32 pasien (56,1%)

sedangkan laki-laki berjumlah 25 pasien (43,9%).

b. Usia

Berdasarkan hasil penelitian, distribusi usia pada pasien

hipertensi di BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong dapat dilihat

pada tabel 4.2


26

Tabel 4.2
Distribusi Pasien Hipertensi Berdasarkan Usia di BLUD RSUD
Sele Be Solu Kota Sorong
No Usia (Tahun) Jumlah Pasien (%)
1 30-49 15 26,3
2 50-69 34 59,6
3 70-89 8 14,0
Total 57 100,0
Berdasarkan tabel 4.2 dari 57 pasien hipertensi di BLUD

RSUD Sele Be Solu Kota Sorong kategori usia yang paling banyak

adalah pada usia 50-69 tahun sebanyak 34 pasien (59,6%) dan usia

yang paling sedikit adalah pasien dengan usia 70-89 tahun sebanyak

8 pasien (14,0%).

3. Analisis univariat

a. Distribusi penggunaan obat antihipertensi berdasarkan monoterapi

dan politerapi di BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong.

Berdasarkan hasil penelitian. Distribusi penggunaan obat

antihipertensi berdasarkan Monoterapi dan Politerapi di BLUD

RSUD Sele Be Solu dapat dilihat pada tabel 4.3. menunjukkan

persentase kasus hipertensi berdasarkan monoterapi dan politerapi

periode Januari sampai Maret 2019.

Tabel 4.3
Distribusi Penggunaan Obat Antihipertensi Berdasarkan
Monoterapi dan Politerapi di BLUD RSUD Sele Be Solu Kota
Sorong Bulan Januari sampai Maret 2019.
No Jumlah Obat N (%)
1 Monoterapi 40 70,2
2 Politerapi 17 29,8
Total 57 100,0
27

Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan persentase kasus hipertensi

monoterapi paling banyak digunakan adalah 40 pasien dan yang

paling sedikit adalah politerapi yaitu 17 pasien.

b. Distribusi penggunaan obat antihipertensi berdasarkan jenis-jenis

obat di BLUD RSUD Sele Be Solu

Tabel 4.4
Distribusi Penggunaan Obat Antihipertensi Berdasarkan Jenis-
jenis Obat di BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong
No Nama Obat N (%)
1 Amlodipin 20 35,1
2 Captopril 16 28,1
3 Candesartan 4 7,0
4 Amlodipin + Captopril 4 7,0
5 Amlodipin + Candesartan 2 3,5
6 Amlodipin + Ramipril 1 1,8
7 Amlodipin + Lisinopril 1 1,8
8 Amlodipin + Furosemid 1 1,8
9 Captopril + Furosemid 3 5,3
10 Candesartan + Furosemid 1 1,8
11 Candesartan + Amlodipin + Furosemid 2 3,5
12 Captopril + Amlodipin + Furosemid 2 3,5
Total 57 100,0
Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan persentase kasus hipertensi

berdasarkan jenis-jenis obat yang diperoleh dari 57 pasien rawat inap

di BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong. Terapi antihipertensi

Monoterapi yang paling banyak digunakan adalah Amlodipin

sebanyak 20 responden (35.1%), sedangkan terapi antihipertensi

yang paling sedikit adalah Amlodipin + Ramipril sebanyak 1 pasien

(1,8%), Amlodipin + Lisinopril sebanyak 1 pasien (1,8%),


28

Amlodipin+ Furosemid sebanyak 1 pasien (1,8%) dan Candesartan

+ Furosemid sebanyak 1 pasien (1,8%).

c. Distribusi pasien hipertensi berdasarkan golongan terapi


antihipertensi di BLUD RSUD Sele Be Solu.

Tabel 4.5
Distribusi Penggunaan Obat Antihipertensi Berdasarkan
Golongan Obat di BLUD RSUD Sele Be Solu
No Golongan Obat N (%)
1 CCB 20 35,1
2 ACE 16 28,1
3 ARB 4 7,0
4 CCB+ACE 6 10,5
5 CCB+ARB 2 3,5
6 CCB+Diuretik 1 1,8
7 ACE+Diuretik 3 5,3
8 ARB+Diuretik 1 1,8
9 ARB+CCB+Diuretik 2 3,5
10 ACE+CCB+Diuretik 2 3,5
Total 57 100,0

Berdasarkan Tabel 4.5 menunjukkan persentase kasus hipertensi

berdasarkan golongan terapi antihipertensi yang diperoleh 57 pasien

rawat inap di BLUD RSUD Sele Be Solu. Golongan terapi

antihipertensi secara tunggal paling banyak digunakan adalah

golongan Calcium Channel Blocker (CCB) sebanyak 20 pasien

(35,1%), sedangkan golongan terapi yang paling sedikit digunakan

adalah Calcium Channel Blocker (CCB) + Diuretik sebanyak 1

pasien (1,8%) dan golongan Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) +

Diuretik sebanyak 1 pasien (1,8%).


29

B. Pembahasan

1. Data karakteristik

a. Jenis kelamin

Secara psikologis wanita lebih rentan terhadap stres dibanding

pria. Stres dapat meningkatkan hormon adrenalin dan noradrenalin

sehingga pembuluh darah akan menyempit. Selanjutnya akan terjadi

kenaikan tekanan darah (Fitriani, 2007).

Wanita lebih banyak menderita penyakit kardiovaskuler setelah

menopause. Hal ini berhubungan dengan berkurangnya hormon

estrogen setelah menopause. Hormon estrogen dapat melindungi

wanita dari penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi karena

menyebabkan vasodilatasi arteri jantung. Namun tidak berarti bahwa

setiap wanita yang sudah menopause akan mengalami kenaikan

tekanan darah (Fitriani, 2007).

Berdasarkan data yang diperoleh (lihat tabel 4.1) persentase

jenis kelamin yang paling banyak adalah perempuan sebanyak 32

kasus (56,1%), sedangkan laki-laki sebanyak 25 kasus (43,9%), hal

ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriani, (2007)

yang menyatakan bahwa jumlah penderita pada perempuan lebih

banyak daripada laki-laki, hal ini disebabkan karena adanya faktor-

faktor yang dapat meningkatkan tekanan darah yaitu stres dan

menopause.
30

Perempuan ketika mengalami masa menopause akan mengalami

peningkatan tekanan darah, karena sebelum masa menopause

perempuan dilindungi oleh hormon estrogen yang berfungsi untuk

meningkatkan kadar kolesterol HDL. Apabila kadar kolesterol HDL

rendah dan kadar kolesterol LDL tinggi akan mengakibatkan

terjadinya aterosklerosis sehingga menyebabkan tekanan darah

menjadi tinggi.

b. Usia

Usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi.

Semakin bertambahnya usia, kejadian hipertensi akan semakin

meningkat. Setelah umur 45 tahun, dinding arteri akan mengalami

penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan

otot polos pembuluh darah, kemudian pembuluh darah akan

berangsur angsur menyempit dan menjadi kaku sehingga akibat

tersebut adalah meningkatnya tekanan darah sistolik. Peningkatan

umur juga menyebabkan beberapa perubahan fisiologis, yaitu terjadi

peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Sistem

pengaturan tekanan darah yaitu refleks baroreseptor pada usia lanjut

akan mengalami penurunan sensivitas, serta fungsi ginjal juga sudah

berkurang yang menyebabkan aliran darah ginjal dan laju filtrasi

glomelurus menurun (Florensia, 2016).

Berdasarkan hasil penelitian ( lihat tabel 4.2 ), yang paling

banyak didiagnosis hipertensi yaitu pada kelompok usia 50-69 yaitu


31

sebanyak 34 pasien (59,6%) dan usia yang paling sedikit adalah usia

70-89 yaitu sebanyak 8 pasien (14,0%).

2. Data penggunaan terapi antihipertensi.

a. Penggunaan obat antihipertensi monoterapi dan politerapi

Penggunaan kombinasi terapi antihipertensi ditujukan pada

pasien lanjut usia yang kontrol tekanan darahnya sulit untuk

mencapai target terapi, sehingga digunakan kombinasi obat

antihipertensi dari golongan lainnya (Fitriyah, 2018).

Berdasarkan hasil penelitian ( lihat tabel 4.3 ) dapat dilihat

bahwa penggunaan antihipertensi dikelompokkan berdasarkan jenis

terapi yang diterima oleh pasien. Dari seluruh pasien hipertensi,

terdapat 40 pasien yang mendapatkan monoterapi antihipertensi dan

17 pasien yang mendapatkan politerapi/terapi kombinasi

antihipertensi. Tujuan utama dalam terapi antihipertensi adalah

menurunkan tekanan darah sesuai target dan mempertahankan

tekanan darah target. Apabila dengan terapi tunggal target terapi

tidak dapat dicapai, maka dosis dapat ditingkatkan atau

menambahkan terapi antihipertensi dari kelas terapi lain dengan

dosis terendah untuk meningkatkan efikasi obat.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Fitriyah (2018) yang menyatakan bahwa penggunaan monoterapi

lebih banyak dibandingkan penggunaan politerapi.


32

b. Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan jenis-jenis obat

Amlodipin digunakan untuk menagnagi hipertensi. Amlodipin

dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi dengan obat

antihipertensi lainnya, amlodipin mempunyai bioavabilitas yang

tinggi, volume distribusi yang luas, serta waktu paruh eliminasi yang

panjang. Amlodipin menurunkan tekanan darah dengan cara

relaksasi otot polos arteri, yang menurunkan resistensi perifer total

sehingga tekanan darah menurun. Proses kontraktilitas otot jantung

dan otot polos pembuluh darah tergantung pada pergerakan ion

kalsium ekstraseluler kedalam sel-sel melalui saluran ion tertentu.

Amlodipin menghambat ion kalsium masuk melintasi membran sel

selektif, dengan efek lebih besar pada pembuluh darah halus pada

sel-sel otot daripada sel otot jantung (Ardhany, 2018).

Berdasarkan hasil penelitian ( lihat tabel 4.4 ) dapat dilihat

bahwa penggunaan antihipertensi dikelompokkan berdasarkan jenis-

jenis obat yang diterima oleh pasien. Penggunaan terapi

antihipertensi berdasarkan jenis obat yang paling banyak diresepkan

yaitu Amlodipin sebanyak 20 pasien (35,1%). Amlodipin merupakan

obat golongan CCB (Calcium Channel Blocker) yang bekerja

dengan cara melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran

darah. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan


33

oleh Hapsari dan Agusta (2017), yang menyatakan bahwa

penggunaan terapi antihipertensi berdasarkan jenis obat yang paling

banyak adalah Amlodipin. Hal tersebut dikarenakan amlodipin

memiliki potensi efek samping yang lebih ringan daripada captopril,

seperti batuk kering yang terjadi pada pasien yang mendapat terapi

captopril (Fitriyah, 2018).

c. Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan golongan obat.

CCB biasanya digunakan untuk terapi hipertensi dengan jantung

koroner dan diabetes melitus. Mekanisme kerja dari golongan ini

dengan cara menginhibisi influks kalsium di otot polos arteri

sehingga terjadi vasodilatasi dan menurunkan resistensi perifer

(Fitriyah, 2018).

CCB menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-

sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel-sel otot pembuluh darah.

Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan

pembentukan, dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan

memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot

polos pembuluh darah (Fitriyah 2018).

Berdasarkan hasil penelitian ( lihat tabel 4.5 ) dapat dilihat

bahwa penggunaan antihipertensi dikelompokkan berdasarkan

golongan obat yang diterima oleh pasien. Penggunaan terapi

antihipertensi berdasarkan golongan obat yang paling banyak


34

diresepkan yaitu golongan CCB (Calcium Channel Blocker )

sebanyak 20 pasien (35,1%).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Syakri et all (2018).

Terapi pengobatan pada golongan CCB direkomendasikan sebagai

terapi lini pertama apabila penderita hipertensi tidak cocok dalam

menggunakan terapi pengobatan golongan diuretik tiazid atau

Angiotensin Converting Enzyme. CCB dihidropiridin seperti

amlodipin dan nifedipin sangat efektif terhadap penderita hipertensi.


35

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :

1. Penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat inap di BLUD RSUD

Sele Be Solu berdasarkan penggunaan Monoterapi dan Politerapi adalah

sebagian besar pasien menggunakan monoterapi dibandingkan politerapi.

2. Penggunaan terapi antihipertensi pada pasien hipertensi rawat inap di

BLUS RSUD Sele Be Solu berdasarkan Jenis obat antihipertensi adalah

obat yang paling banyak digunakan adalah obat Amlodipin.

3. Penggunaan terapi antihipertensi pada pasien rawat inap di BLUD RSUD

Sele Be Solu berdasarkan golongan obat antihipetrensi adalah golongan

obat yang paling banyak digunakan adalah CCB (Chalcium Channel

Blocker).

B. Saran

1. Bagi BLUD RSUD Sele Be Solu

Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukkan bagi pihak BLUD

RSUD Sele Be Solu Kota Sorong bahwa sebaiknya dilakukan monitoring

penggunaan obat antihipertensi yang baik untuk menjaga dan

meningkatkan kualitas hidup pasien dan pelayanan di Rumah Sakit.


36

2. Bagi institusi pendidikan


35
Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan literatur

untuk menambah wawasan dan sebagai sumber ilmu pengetahuan

tentang penggunaan terapi antihipertensi pada pasien hipertensi rawat

inap di BLUD RSUD Sele Be Solu Kota Sorong.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk lebih mendalami

mengapa obat Amlodipin banyak digunakan di BLUD RSUD Sele Be

Solu Kota Sorong dan wawancara secara mendalam terkait obat yang

sering digunakan.
37

DAFTAR PUSTAKA

Ardhany S. D., Wahyu P., dan Mohammad R. F. P. Profil Penggunaan Obat


Antihipertensi Di RSUD MAS AMSYAR Kasongan Kabupaten Katingan.
Borneo Journal of Pharmacy Vol 1 No 1 Hal 47-50. Universitas
Muhammadiyah Palangkaraya. Tahun 2018.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Hipertensi. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dari
Klinik Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta

Destiani et all. 2015. Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien


Rawat Jalan Di Fasilitas Kesehatan Rawat Jalan Pada Tahun 2015 Dengan
Metode ATC/DDD. Volume 14 Nomor 2. Fakultas Farmasi. Universitas
Padjajaran.

Dian, S. 2017. Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Antihipertensi di


Instalasi Rawat Jalan RSUD Dr. Soegiri Lamongan Periode Tahun 2017.
Skripsi. Jurusan Farmasi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Fitriyah, S. 2018. Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Diabetes


Melitus Tipe 2 Komorbiditas Hipertensi Periode 2016-2017. Skripsi.
Jurusan Farmasi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Florensia, A. 2016. Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Di Instalasi Rawat


Inap RSUD Kota Tangerang Dengan Metode Anatomical Therapeutic
Chemical / Defined Daily Dose Pada Tahun 2015. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan.
38

Fitriani. 2007. Profil Peresepan dan Evaluasi Interaksi Obat Antihipertensi Pada
Pasien Geriatri Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta Tahun 2015. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
37
Hapsari W. S., Herma F. A. 2017. Pola Penggunaan Obat Antihipertensi Pada
Pasien Hipertensi Rawat Jalan BPJS Di RSUD KRT Setjonegoro
Wonosobo. Jurnal Farmasi Sains dan Praktis. Vol III. No 2. Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Magelang.

Kurniasih, I., dan Muhammad R. S. 2013. Analisis Faktor Risiko Kejadian


Hipertensi di Puskesmas Srondol Semarang Periode Bulan September –
Oktober 2011. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah Vol 1 No 2 Tahun
2013.

Noviana, T. 2016. Evaluasi Interaksi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien


Rawat Inap Di Bangsal Cempaka RSUD Panembahan Senopati Bantul
Periode Agustus 2015. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.

Oktaviana, L. 2012. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Demam Tifoid


Rawat Inap Di RSI Muhammadiyah Kendal Tahun 2009 dan 2010
Menggunakan Metode ATC/DDD. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Riset Kesehatan Dasar. 2013. Badan Penellitian dan Pengembangan Kesehatan.


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Sartik., RM. Suryadi T., M. Zulkarnain 2017. Faktor-faktor Resiko dan Angka
Kejadian Hipertensi Pada Penduduk Palembang. Jurnal Ilmu
Kesehatan Masyarakat. 18(3): 180-191. Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. Dinas Kesehatan Kota Palembang.
39

Sukandar, E. Yulinah, R. Andrajati, J. I Sigit, I K. Adnyana, A. A. P. Setiadi,


Kusnandar. 2008. ISO Farmakoterapi. Cetakan Pertama. PT. ISFI
Penerbitan. Jakarta.

Syakri S., Muhammad F., Nurjayanti. Evaluasi Farmakovigilans Terhadap


Pengobatan Hipertensi Di Rumah Sakit Umum Daerah Syekh Yusuf
Gowa. Jurnal Farmasi FKIK. Universitas Islam Negeri Alaudin Makassar.
Vol. 6 No.1 2018

Yosida I. 2016. Efektifitas Penggunaan Obat Antihipertensi Di Instalasi Rawat


Inap Bangsal Bakung RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode
Agustus 2015. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.

Tyashapsari M. W. E., Abdul K. Z. 2012. Penggunaan Obat Pada Pasien


Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi
Semarang. Majalah Farmaseutik Vol 8 No. 2 Tahun 2012.
40

Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN

Kepada Yth
Bapak / Ibu
Di Tempat
Assalamualaikum Wr. Wb / Selamat Pagi/Siang

Saya yang bertanda tangan dibawah ini


Nama : Rada Nussy
NIM : 201548201061
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jl. H. Watem Km. 17
No. HP : 085244121132
Melakukan penelitian ini dengan judul “Gambaran Penggunaan Obat
Antihipertensi Pada Pasien Rawat Inap Di BLUD RSUD Sele Be Solu Kota
Sorong Periode Januari-Maret 2019”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat inap. Penelitian ini
tidak menimbulkan kerugian atau pengaruh apapun terhadap pasien, kerahasiaan
identitas dan semua informasi yang didapatkan dari data rekam medik pasien akan
dijaga dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian ini saja.
Demikian penjelasan tentang penelitian ini saya ucapkan terima kasih.
41

Sorong, 2019

Peneliti

Rada Nussy
NIM. 201548201061
Lampiran 8
REKAPITULASI DATA

No No. RM Nama Pasien Umur Jenis Kelamin Nama Obat


Inj. Furosemid
1 124346 LN 79 tahun Perempuan Extra
Captopril 25 mg
Amlodipin 10 mg
2 124208 T 61 tahun Laki-laki Candesartan 8 mg
Furosemid
3 3227 R 55 tahun Perempuan Captopril 12,5 mg
Amlodipin 10 mg
4 125420 A 41 tahun Perempuan Amlodipin 10 mg
Captopril 12,5 mg
5 124983 NE 49 tahun Laki-laki Captopril 12,5 mg
Furosemid
6 124889 E 40 tahun Perempuan Amlodipin 10 mg
Lisinopril 5 mg
7 98745 S 78 tahun Perempuan Captopril 25 mg
8 124360 RM 54 tahun Perempuan Captopril 25 mg
9 125061 YG 36 tahun Laki-laki Captopril 25 mg
Furosemid
10 14578 ZK 60 tahun Laki-laki Amlodipin 5 mg
11 124577 JS 61 tahun Laki-laki Captopril 12,5 mg
12 78216 MP 70 tahun Laki-laki Captopril 25 mg
13 84795 WW 57 tahun Perempuan Amlodipin 10 mg
14 88602 PH 64 tahun Perempuan Amlodipin 10 mg
15 125443 YI 33 tahun Perempuan Amlodipin 10 mg
Captopril 25 mg
Furosemid
16 99638 LR 66 tahun Perempuan Amlodipin 10 mg
17 125031 F 55 tahun Perempuan Candesartan 8 mg
18 20037 BJ 69 tahun Laki-laki Amlodipin 10 mg
19 125874 PW 78 tahun Laki-laki Captopril 12,5 mg
20 59819 MH 52 tahun Perempuan Amlodipin 10 mg
Ramipril
42

21 126516 L 77 tahun Laki-laki Captopril


22 125715 MF 42 tahun Perempuan Captopril 12,5 mg
furosemid 40 mg
23 125861 DH 43 tahun Perempuan Amlodipin 10 mg
Candesartan 8 mg
24 59530 D 65 tahun Laki-laki Amlodipin 10 mg
Furosemid
25 126240 NH 53 tahun Perempuan Captopril 12,5 mg
26 125983 AM 65 tahun Laki-laki Captopril 25 mg
27 47739 OM 69 tahun Perempuan Captopril 12,5 mg
28 79131 MP 55 tahun Perempuan Amlodipin 10 mg
29 126209 JT 60 tahun Laki-laki Amlodipin 10 mg
Furosemid Inj
Candesartan 8 mg
30 97373 SS 41 tahun Perempuan Captopril 25 mg
31 126524 HK 69 tahun Perempuan Captopril 25 mg
32 126601 N 66 tahun Perempuan Amlodipin 5 mg
33 126287 WW 61 tahun Perempuan Captopril 25 mg
34 89611 LR 72 tahun Laki-laki Amlodipin 5 mg
35 127594 B 57 tahun Laki-laki Candesartan 8 mg
36 83294 AM 79 tahun Perempuan Amlodipin 10 mg
37 127530 GK 50 tahun Laki-laki Amlodipin 10 mg
38 109398 MS 69 tahun Laki-laki Amlodipin 10 mg
39 126987 MA 62 tahun Perempuan Amlodipin 5 mg
40 125061 YG 36 tahun Laki-laki Captopril 12,5 mg
41 125910 MH 69 tahun Laki-laki Amlodipin 10 mg
Captopril 12,5 mg
42 78908 RB 51 tahun Perempuan Candesartan 8 mg
43 126823 MS 46 tahun Laki-laki Amlodipin 5 mg
44 127136 HY 46 tahun Perempuan Amlodipin 5 mg
45 127437 S 67 tahun Perempuan Amlodipin 10 mg
46 127972 RS 42 tahun Laki-laki Captopril 12,5 mg
47 127736 S 53 tahun Perempuan Amlodipin 5 mg
48 125947 PM 81 tahun Laki-laki Captopril 12,5 mg
49 116919 VL 55 tahun Perempuan Captopril 25 mg
50 79322 YH 50 tahun Laki-laki Amlodipin 10 mg
Amlodipin 10 mg
51 124597 AH 59 tahun Laki-laki Candesartan 16
mg
52 119194 DL 69 tahun Perempuan Amlodipin 5 mg
53 562 MT 58 tahun Perempuan Amlodipin 5 mg
Candesartan 8 mg
Furosemid 1 amp
43

54 131606 ML 58 tahun Perempuan Amlodipin 5 mg


Furosemid
55 111806 FL 49 tahun Laki-laki Captopril 25 mg
56 127594 B 57 tahun Laki-laki Candesartan 8 mg
57 135198 JM 68 tahun Perempuan Amlodipin 10 mg

Lampiran 7
MASTER TABEL

NO JK US NO GO JO
1 1 3 12 10 2
2 2 2 10 8 2
3 1 2 4 4 2
4 1 1 4 4 2
5 2 1 9 7 2
6 1 1 7 4 2
7 1 3 2 2 1
8 1 2 2 2 1
9 2 1 9 7 2
10 2 2 1 1 1
11 2 2 2 2 1
12 2 3 2 2 1
13 1 2 1 1 1
14 1 2 1 1 1
15 1 1 12 10 2
16 1 2 1 1 1
17 1 2 3 3 1
18 2 2 1 1 1
19 2 3 2 2 1
20 1 2 6 4 2
21 2 3 2 2 1
22 1 1 9 7 2
23 1 1 5 5 2
24 2 2 8 6 2
25 1 2 2 2 1
26 2 2 2 2 1
27 1 2 1 1 1
28 1 2 1 1 1
29 2 2 11 9 2
44

30 1 1 2 2 1
31 1 2 2 2 1
32 1 2 1 1 1
33 1 2 2 2 1
34 2 3 1 1 1
35 2 2 3 3 1
36 1 3 1 1 1
37 2 2 1 1 1
38 2 2 1 1 1
39 1 2 1 1 1
40 2 1 2 2 1
41 2 2 4 4 2
42 1 2 3 3 1
43 2 1 1 1 1
44 1 1 1 1 1
45 1 2 1 1 1
46 2 1 2 2 1
47 1 2 1 1 1
48 2 3 2 2 1
49 1 2 2 2 1
50 2 2 1 1 1
51 2 2 5 5 2
52 1 2 1 1 1
53 1 2 11 9 2
54 1 2 1 1 1
55 2 1 2 2 1
56 2 2 3 3 1
57 1 2 4 4 2

Keterangan :

JK (Jenis Kelamin)
1 = Perempuan
2 = Laki-laki

U (Usia)
1 = 30-49
45

2 = 50-69
3 = 70-89

NO (Nama Obat)
1 = Captopril
2 = Amlodipin
3 = Candesartan
4 = Amlodipin + Captopril
5 = Amlodipin + Candesartan
6 = Amlodipin + Ramipril
7 = Amlodipin +Lisinopril
8 = Amlodipin + furosemid
9 = Captopril +Furosemid
10 = Candesartan +Furosemid
11 = Candesartan + Amlodipin +Furosemid
12 = Captopril + Amlodipin + Furosemid
GO (Golongan Obat)
1 = CCB
2 = ACE
3 = ARB
4 = CCB + ACE
5 = CCB + ARB
6 = CCB + Diuretik
7 = ACE + Diuretik
8 = ARB + Diuretik
9 = ARB + CCB + Diuretik
10 = ACE + CCB + Diuretik
46

JO (Jenis Obat)
1 = Monoterapi
2 = Politerapi

Anda mungkin juga menyukai