Anda di halaman 1dari 42

PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH

MATEMATIS SISWA ANTARA YANG MENDAPATKAN


MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 7E DENGAN
PROBLEM BASED LEARNING

PROPOSAL PENELITIAN
diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Seminar Proposal

oleh:

RINA ROSDIANA

14511021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
GARUT
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Proposal penelitian berjudul :

PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS


SISWA ANTARA YANG MENDAPATKAN MODEL PEMBELAJARAN
LEARNING CYCLE 7E DENGAN PROBLEM BASED LEARNING

oleh:

RINA ROSDIANA
14511021

Disetujui dan disahkan oleh:

Pembimbing,

Puji Lestari, S.Si, M.Pd.


NIDN. 0408018402

Mengetahui,

Ketua DBS, Sekretaris DBS,

Drs. Moersetyo Rahadi, M.Pd. Diar Veny Rahayu, M.Pd.


NIP. 195503291988031011 NIDN. 0403078702
LEMBAR PENGUJIAN

Proposal Penelitian Berjudul:

PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS


SISWA ANTARA YANG MENDAPATKAN MODEL PEMBELAJARAN
LEARNING CYCLE 7E DENGAN PROBLEM BASED LEARNING

oleh
RINA ROSDIANA
14511021

Proposal ini telah diseminarkan pada tanggal 25 Juli 2017

Penguji I Penguji II

Drs. H. R. Sundayana,, M.Pd. Drs. Sukanto Sukandar M., M.Pd.


NIP. 196612281993031007
NIDN. 0022045703

diketahui oleh :

Ketua Program Studi Sekretaris Program Studi

Pendidikan Matematika Pendidikan Matematika

Drs. Moersetyo Rahadi, M.Pd. Diar Veny Rahayu, M.Pd.

NIP. 195503291988031011 NIDN. 0403078702


A. Judul :

Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Antara Yang


Mendapatkan Model Pembelajaran Learning Cycle 7E Dengan Problem Based
Learning

B. Latar Belakang Masalah

Pada saat ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tentunya sangat

berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan manusia, terutama pada aspek

pendidikan. Pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia karena pada

hakikatnya manusia lahir dalam keadaan tidak berdaya dan tidak dapat hidup

sendiri. Melalui pendidikan, manusia akan mendapatkan pengalaman yang sangat

berharga dan dapat menjadikan dirinya lebih dewasa. Pendidikan juga merupakan

sarana bagi siswa untuk aktif dalam mengembangkan kemampuan yang

dimilikinya.

Menurut UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 pasal 1:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan


suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.

Sejalan dengan pendapat diatas menurut UU No 20 tahun 2003, “Pendidikan

nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang

demokratis serta bertanggung jawab”.


Dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia untuk

mengembangkan potensi siswa, telah dilakukan dengan berbagai upaya salah

satunya dengan pengembangan kurikulum yang disusun berdasarkan standar

kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran.

Dari beberapa mata pelajaran yang dipelajari oleh siswa, matematika

merupakan salah satu mata pelajaran yang penting dalam dunia pendidikan maupun

dalam kehidupan sehari-hari, yang dipelajari oleh siswa pada setiap jenjang

sekolah, baik itu Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah

Menengah Atas (SMA) bahkan sampai Perguruan Tinggi.

Menurut Ruseffendi (dalam Supriadi, 2014:4)” Matematika adalah ilmu atau

pengetahuan yang termasuk kedalam atau mungkin yang paling tepat padat dan

tidak mendua arti”. Adapun menurut Kurikulum 2006 (dalam Akilla, 2016)

mengemukakan bahwa:

Matematika adalah ilmu universal yang menjadi dasar perkembangan


teknologi modern, mempunyai peran yang sangat penting dalam
berbagai disiplin ilmu dalam meningkatkan kemajuan daya pikir
manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan di
semua bidang serta disiplin ilmu terutama bidang teknologi informasi
dan komunikasi sekarang ini sangat didasari oleh perkembangan
matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang, dan
diskrit. Untuk lebih dapat mengusai dan menciptakan teknologi di masa
yang akan datang sangat diperlukan penguasaan matematika yang kuat
sejak awal.

Sehingga pada prinsipnya Pembelajaran Matematika adalah Pembelajaran

yang terjadi dalam ilmu pasti disetiap jenjang pendidikan yang merupakan sebuah

proses dalam kegiatan belajar mengajar. Adapun Tujuan pembelajaran Matematika

yang tercantum pada KTSP 2006 yang disempurnakan pada Kurikulum 2013,

mencantumkan tujuan pembelajaran matematika sebagai berikut :


1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luas, akurat, efisien, dan tepat

dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan

gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi

yang diperoleh.

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah,

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa

ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap

ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Demikian pula, tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran matematika

oleh National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). NCTM (2000)

menetapkan lima standar kemampuan matematis yang harus dimiliki oleh siswa,

yaitu kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan komunikasi

(communication), kemampuan koneksi (connection), kemampuan penalaran

(reasoning), dan kemampuan representasi (representation).

Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika dalam KTSP 2006, siswa

dapat menyelesaikan masalah, berkomunikasi menggunakan simbol matematik,

tabel, diagram, dan lainnya; menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan


sehari-hari, memiliki rasa tahu, perhatian, minat belajar matematika, serta memiliki

sikap teliti dan konsep diri dalam menyelesaikan masalah.

Dalam pembelajaran matematika kemampuan pemecahan masalah

sangatlah penting. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Departemen Pendidikan Nasional (2006:34) “Pemecahan masalah hendaknya

menjadi titik sentral dari kurikulum matematika dan menjadi bagian tidak

terpisahkan dari pembelajaran matematika”.

Pentingnya kemampuan pemecahan masalah menurut Suharsono (dalam

Wena, 2011:53) mengatakan bahwa ‘Kemampuan pemecahan masalah sangat

penting artinya bagi siswa dan masa depannya. Para ahli pembelajaran sependapat

bahwa kemampuan pemecahan masalah dalam batas-batas tertentu, dapat dibentuk

melalui bidang studi dan disiplin ilmu yang diajarkan’. Adapun yang dikemukakan

oleh Departemen Pendidikan Nasional (2006:37) yaitu:

Dengan pemecahan masalah (problem solving) dalam pembelajaran


matematika diharapkan siswa akan mampu membangun pengetahuan
baru tentang matematika, memecahkan masalah yang muncul dalam
matematika ataupun dalam konteks kehidupan keseharian,
mengaplikasikan dan mengadaptasi berbagai macam strategi yang
cocok untuk memecahkan masalah, serta memonitor dan
merefleksikan proses pemecahan masalah matematika.

Dalam kegiatan di lapangan banyak ditemukan beberapa masalah saat

pembelajaran matematika yang diberikan kepada siswa. Misalnya berdasarkan hasil

penelitian Putri (2014) mengemukakan bahwa berdasarkan hasil penelitian pada

kemampuan pemecahan masalah matematis, siswa pada umumnya belum mampu

memahami suatu konsep matematika sebelum diberikan arahan dari guru. Siswa
senantiasa memerlukan penjelasan awal dari guru mengenai arah suatu konsep

matematika yang akan mereka pelajari.

Memahami rendahnya mutu hasil belajar matematika siswa, salah satunya

dalam pemecahan masalah matematika yang tidak dapat terlepas dalam melengkapi

proses pembelajaran, seperti diri siswa sendiri, fasilitas dalam proses pembelajaran,

serta guru yang memberikan pembelajaran matematika. Kegiatan pembelajaran

yang menekankan peranan aktif siswa, dan guru lebih diharapkan untuk menjadi

motivator dan fasilitator dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam proses

pembelajaran harus menggunakan model pembelajaran agar sarana interaksi antara

guru dan siswa berlangsung dengan baik dan siswa yang lebih aktif dalam proses

pembelajaran.

Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam usaha

pembelajaran yang berorientasi pada siswa adalah model pembelajaran

konstruktivisme. Banyak tipe yang diperkenalkan dalam model pembelajaran

kontruktivisme , salah satunya adalah model pembelajaran Learning Cycle 7E.

Learning Cycle adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa.

Selain Learning Cycle 7E, model pembelajaran lain yang dapat digunakan

dalam pembelajaran matematika adalah Problem Based Learning. Proses

pembelajaran Problem Based Learning lebih menitikberatkan kepada siswa sebagai

orang belajar. Oleh karena itu, Problem Based Learning didukung juga oleh teori

konstruktivisme dimana siswa di dorong untuk dapat mengembangkan

pengetahuannya sendiri.
Berdasarkan uraian diatas, mendorong penulis untuk melakukan penelitian

dengan judul penelitian : Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis Siswa antara yang mendapatkan Model Pembelajaran Learning Cycle

7E dengan Problem Based Learning.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan maka rumusan

masalah yang di ambil adalah :

1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa

antara yang mendapatkan model pembelajaran Learning Cycle 7E dengan

model pembelajaran Problem Based Learning ?

2. Bagaimana kualitas peningkatan kemampuan pemecahan matematis siswa

yang memperoleh model pembelajaran Learning Cycle 7E ?

3. Bagaimana kualitas peningkatan kemampuan pemecahan matematis siswa

yang memperoleh model pembelajaran Problem Based Learning ?

4. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan

menerapkan model pembelajaran Learning Cycle 7E ?

5. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan

menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning ?

D. Tujuan Penelitian

Sesuai rumusan dan batasan masalah yang telah dikemukakan, tujuan dari

penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa antara yang mendapatkan model pembelajaran Learning Cycle 7E

dengan model pembelajaran Problem Based Learning

2. Untuk mengetahui kualitas peningkatan kemampuan pemecahan matematis

siswa yang memperoleh model pembelajaran Learning Cycle 7E

3. Untuk mengetahui kualitas peningkatan kemampuan pemecahan matematis

siswa yang memperoleh model pembelajaran Problem Based Learning

4. Untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan

menerapkan model pembelajaran Learning Cycle 7E.

5. Untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan

menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning.

E. Batasan Masalah

Agar penelitian ini sesuai dengan sasaran yang diharapkan serta menimbang

keterbatasan penulis dalam melakukan penelitian, baik dalam hal kemampuan,

keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, maka penulis membatasi ruang lingkup

penelitian.

Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi pada pelajaran Matematika.

2. Kemampuan matematis yang diteliti hanya kemampuan pemecahan masalah.

3. Pembelajaran yang diberikan adalah model pembelajaran Learning Cycle 7E

dan Problem Based Learning.

4. Subjek penelitian yang dipakai yaitu siswa-siswi SMAN Garut.


F. Manfaat Penelitian

Setelah dilaksanakan penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat juga

masukan yang positif untuk usaha perbaikan pembelajaran matematika. Manfaat

yang diharapkan antara lain :

1. Siswa dapat meningkatkan, mengembangkan pemecahan masalah matematis

dalam pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Learning

Cycle 7E dan Problem Based Learning sehingga dapat menyelesaikan suatu

permasalahan dalam proses pembelajaran.

2. Bagi peneliti, untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa antara yang mendapatkan model pembelajaran Learning

Cycle 7E dengan Problem Based Learning dan dapat menjadi sarana untuk

memperoleh pengalaman langsung dan menambah wawasan.

G. Landasan Teori

1. Kemampuan Pemecahan Masalah

Pada hakikatnya program pembelajaran tidak hanya bertujuan untuk

memahami dan menguasai apa yang sedang terjadi, tetapi program pembelajaran

bertujuan untuk mengetahui bagaimana suatu hal tersebut dapat terjadi. Untuk

mencapai tujuan pembelajaran tersebut, maka pembelajaran pemecahan masalah

menjadi sangat penting untuk diajarkan.

Proses pemecahan masalah matematik merupakan salah satu kemampuan

dasar matematik yang harus dikuasai siswa sekolah menengah. Pentingnya

pemilikan kemampuan tersebut tercermin dari pernyataan Branca (dalam

Hendriana dan Soemarmo, 2014:23) bahwa pemecahan masalah matematik


merupakan salah satu tujuan penting dalam pembelajaran matematika bahkan

proses pemecahan masalah matematik merupakan jantungnya matematika.

Pendapat tersebut sejalan dengan tujuan pembelajaran matematika dalam

KTSP 2006. Tujuan tersebut antara lain : menyelesaikan masalah, berkomunikasi

menggunakan symbol matematik, tabel, diagram, dan lainnya; menghargai

kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari, memiliki rasa tahu, perhatian,

minat belajar matematika, serta memiliki sikap teliti dan konsep diri dalam

menyelesaikan masalah.

Pentingnya memiliki kemampuan pemecahan masalah sejalan dengan

pendapat beberapa pakar dalam Hendriana dan Soemarmo (2014:23). Diantaranya

Cooney mengemukakan bahwa ‘Pemilikan kemampuan pemecahan masalah

membantu siswa berpikir analitik dalam mengambil keputusan dalam kehidupan

sehari-hari dan membantu meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam

menghadapi situasi baru’. Sedangkan menurut Branca mengemukakan bahwa

‘Pemecahan masalah matematik mempunyai dua makna yaitu sebagai suatu

pendekatan pembelajaran dan sebagai kegiatan atau proses dalam melakukan doing

math’.

Pemecahan masalah matematik sebagai suatu pendekatan pembelajaran

melukiskan pembelajaran yang diawali dengan penyajian masalah kontekstual yang

kemudian melalui penalaran induktif siswa menemukan kembali konsep yang

dipelajari dan kemampuan matematik lainnya. Pemecahan masalah matematik

sebagai suatu proses meliputi beberapa kegiatan yaitu: mengidentifikasi solusi

terhadap masalah semula dan memeriksa kebenaran solusi.


Dalam Wena (2011) menuliskan beberapa pendapat para ahli, diantaranya

Solso mengemukakan enam tahap dalam pemecahan masalah:

1. Identifikasi permasalahan;

2. Representasi permasalahan;

3. Perencanaan pemecahan;

4. Menerapkan/mengimplementasikan perencanaan;

5. Menilai perencanaan;

6. Menilai hasil perencanaan.

Adapun tahap-tahap pemecahan masalah menurut Wankat dan Oreovocz

(dalam Wena, 2011:58) sebagai berikut:

1. Saya mampu/bisa: Tahap membangkitkan motivasi dan

membangun/menumbuhkan keyakinan diri siswa.

2. Mendefinisikan: Membuat daftar hal yang diketahui dan tidak diketahui,

menggunakan gambar grafis untuk memperjelas permasalahan.

3. Mengeksplorasi; merangsang siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan

dan membimbing untuk menganalisis dimensi-dimensi permasalahan yang

dihadapi.

4. Merencanakan; mengembangkan cara berpikir logis siswa untuk menganalisis

masalah dan menggunakan flowchart untuk menggambarkan permasalahan

yang dihadapi.

5. Mengerjakan; membimbing siswa secara sistematis untuk memperkirakan

jawaban yang mungkin untuk memecahkan masalah yang dihadapi.


6. Mengoreksi kembali; membimbing siswa untuk mengecek kembali jawaban

yang dibuat, mungkin ada beberapa kesalahan yang dilakukan.

7. Generalisasi; membimbing siswa untuk mengajukan perrtanyaan: apa yang

telah saya pelajari dalam pokok bahasan ini? Bagaimanakah agar pemecahan

masalah yang dilakukan bisa lebih efisien? Jika pemecahan masalah yang

dilakukan masih kurang benar, apa yang harus saya lakukan? Dalam hal ini

mendorong siswa untuk melakukan umpan balik/refleksi dan mengoreksi

kembali kesalahan yang mungkin ada.

Dan menurut Polya (dalam Putri, 2014:14) pemecahan masalah dibangun

berdasarkan empat langkah proses pemecahan masalah yaitu:

1. Memahami masalah, artinya siswa dapat mengidentifikasi kelengkapan data

termasuk mengungkap data yang masih samar-samar yang berguna dalam

penyelesaian.

2. Menyusun rencana penyelesaian, artinya siswa dapat membuat beberapa

alternatif jalan penyelesaian yang dapat dibuat agar menuju jawaban.

3. Melaksanakan rencana penyelesaian.

4. Memeriksa kembali kebenaran jawaban, artinya siswa dapat melengkapi

langkah-langkah yang telah dibuatnya ataupun membuat alternatif jawaban lain.

Untuk lebih rinci Polya (dalam Hendriana dan Soemarmo, 2014:24)

menguraikan langkah-langkah kegiatan memecahkan masalah sebagai berikut:

1. Kegiatan memahami masalah. Kegiatan ini dapat diidentifikasi melalui beberapa

pertanyaan: a) Data apa yang tersedia? b) Apa yang tidak diketahui dan atau apa

yang ditanyakan? c) Bagaimana kondisi soal? Mungkinkah kondisi dinyatakan


dalam bentuk persamaan atau hubungan lainnya? Apakah kondisi yang

ditanyakan cukup untuk mencari yang ditanyakan? Apakah kondisi itu tidak

cukup atau kondisi itu berlebihan atau kondisi itu saling bertentangan?

2. Kegiatan merencanakan atau merancang strategi pemecahan masalah. Kegiatan

ini dapat diidentifikasi melalui beberapa pertanyaan: a) Pernahkah ada soal

serupa sebelumnya. Atau b) Pernahkah ada soal serupa atau mirip dalam bentuk

lain? c) Teori mana yang dapat digunakan dalam masalah ini. d) Pernahkah ada

pertanyaan yang sama atau serupa? Dapatkah pengalaman dan atau cara lama

digunakan untuk masalah baru yang sekarang? Dapatkah metode yang cara lama

digunakan untuk masalah baru? Apakah harus dicari unsur lain? Kembalilah

pada definisi. e) Andaikan masalah baru belum dapat diselesaikan, coba,

pikirkan soal serupa dan selesaikan.

3. Kegiatan melaksanakan perhitungan. Kegiatan ini meliputi: a) melaksanakan

strategi pemecahan masalah pada butir 2, dan b) memeriksa kebenaran tiap

langkahnya. Periksalah bahwa apakah tiap langkah perhitungan sudah benar?

Bagaimana menunjukkan atau memeriksa bahwa langkah yang dipilih sudah

benar?

4. Kegiatan memeriksa kembali kebenaran hasil atau solusi. Kegiatan ini

diidentifikasi melalui pertanyaan: a) Bagaimana cara memeriksa kebenaran hasil

yang diperoleh? b) Dapatkah diajukan sanggahannya? c) Dapatkah solusi itu

dicari dengan cara lain? d) Dapatkah hasil atau cara itu digunakan untuk masalah

lain?
Melalui pemecahan masalah, siswa dituntut untuk lebih aktif dalam mencari

data, mengumpulkan data mejadi sebuah konsep, teori dan atau kesimpulan.

Adapaun Indikator kemampuan pemecahan masalah matematis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah indikator yang dikemukakan oleh Sumarmo.

Menurut Sumarmo (Mudzakin, 2016:17) indikator pemecahan masalah yaitu (1)

Mengindentifikasi unsur yang diketahui, (2) Merumuskan masalah matematik atau

menyusun model matematik, (3) Menerapkan strategi untuk menyelesaikan

berbagai masalah,(4) Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai

permasalahan asal, dan (5) menggunakan matematika secara bermakna.

2. Model Pembelajaran Learning Cycle

Model Pembelajaran Learning Cycle merupakan model pembelajaran yang

berpusat pada siswa. Menurut Throwbridge dan Bybee (dalam Wena, 2011:170)

mengatakan bahwa ‘Pembelajaran siklus (Learning Cycle) merupakan salah satu

model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis. Model Pembelajaran siklus

pertama kali diperkenalkan oleh Robert Karplus dalam Science Curriculum

Improvement Study/SCIS’. Menurut Matthews (dalam Rusmono, 2012:17 )

Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme, memiliki ciri-ciri : (1)


orientasi, yaitu siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan
motivasi dalam mempelajari suatu topik, dan juga diberi kesempatan
untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari;
(2) elisitasi, yakni siswa dibantu untuk mengungkapkan idenya secara
jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain. Ia
juga diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasi
dalam bentuk tulisan, gambar maupun poster; (3) rekonstruksi ide,
meliputi: (a) klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang
lain atau teman lewat diskusi atau pengumpulan ide. Saat siswa
berhadapan dengan ide-ide lain, ia terangsang untuk merekonstruksi
gagasannya jika tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bila
gagasannya cocok, (b) membangun ide baru yang dapat terjadi bila
dalam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya
tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-
teman, dan (c) mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Jika
dimungkinkan, ada baiknya bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji
dengan suatu percobaan atau persoalan yang baru; (4) penggunaan ide
dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh
siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang
dihadapi, sehingga menjadi lebih lengkap dan bahkan lebih rinci
segala macam kondisinya; dan (5) review, bagaimana ide berubah.
Dapat terjadi bahwa dalam mengaplikasi pengetahunnya seseorang
perlu merevisi gagasannya dengan menambahkan suatu keterangan
ataupun mengubahnya menjadi lebih lengkap.

Fajaroh (dalam Suardi, 2013) mengemukakan bahwa ’Learning cycle

adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) yang

merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan yang diorganisasi sedemikian rupa

sehingga siswa dapat menguasai kompetensi yang harus dicapai dalam

pembelajaran dengan berperan aktif ‘. Hal ini sesuai dengan pendapat Shoimin

(2014: 59) ‘Ciri khas model pembelajaran cycle learning adalah setiap siswa secara

individu belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan guru. Kemudian,

hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan oleh

anggota kelompok dan semua anggota kelompok bertanggung jawab secara

bersama-sama atas keseluruhan jawaban’.

Dari pendapat yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa

model pembelajaran learning cycle berpusat pada siswa sehingga siswa secara aktif

menemukan konsep sendiri. Untuk mewujudkan hal tesebut, learning cycle terdiri

atas tahapan-tahapan yang terorganisir sehingga pemahaman siswa dapat

terkonstruksi dengan baik

Menurut Eisenkraft (dalam Suardi, 2013) tahapan-tahapan model

pembelajaran Learning Cycle 7E dapat dijelaskan sebagai berikut:


1. Elicit (Memunculkan pemahaman awal siswa)

Guru berusaha menimbulkan atau mendatangkan pengetahuan awal siswa.

Pada fase ini guru dapat mengetahui sampai dimana pengetahuan awal siswa

terhadap pelajaran yang akan dipelajari dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan

yang merangsang pengetahuan awal siswa agar timbul respon dari pemikiran siswa

serta menimbulkan kepenasaran tentang jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang

diajukan oleh guru. Fase ini dimulai dengan pertanyaan mendasar yang

berhubungan dengan pelajaran yang akan dipelajari dengan mengambil contoh

yang mudah yang diketahui siswa seperti kejadian dalam kehidupan sehari-hari.

2. Engagment (Melibatkan)

Fase digunakan untuk memfokuskan perhatian siswa, merangsang

kemampuan berfikir siswa serta membangkitkan minat dan motivasi siswa terhadap

konsep yang akan diajarkan. Fase ini dapat dilakukan dengan demonstrasi, diskusi,

membaca, atau aktivitas lain yang digunakan untuk membuka pengetahuan siswa

dan mengembangkan rasa keingintahuan siswa.

3. Exploration (Menyelidiki)

Fase ini siswa memperoleh pengetahuan dengan pengalaman langsung yang

berhubungan dengan konsep yang akan dipelajari. Siswa diberi kesempatan untuk

bekerja dalam kelompok-kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru.

Pada fase ini siswa diberi kesempatan untuk mengamati data, merekam data,

mengisolasi variabel, merancang dan merencanakan eksperimen, membuat grafik,

menafsirkan hasil, mengembangkan hipotesis serta mengatur temuan mereka. Guru

merangkai pertanyaan, memberi masukan, dan menilai pemahaman.


4. Explaination (Menjelaskan)

Fase ini siswa diperkenalkan pada konsep, hukum dan teori baru, siswa

menyimpulkan dan mengemukakan hasil dari temuannya pada fase explore. Guru

mengenalkan siswa pada beberapa kosa kata ilmiah, dan memberikan pertanyaan

untuk merangsang siswa agar menggunakan istilah ilmiah untuk menjelaskan hasil

eksplorasi.

5. Elaboration (Menguraikan)

Fase yang bertujuan untuk membawa siswa menerapkan simbol-simbol,

definisi-definisi, konsep-konsep, dan keterampilan-keterampilan pada

permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan contoh dari pelajaran yang

dipelajari.

6. Evaluation (Menilai)

Fase evaluasi model pembelajaran Learning Cycle 7E terdiri dari evaluasi

Formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif tidak boleh dibatasi pada siklus-

siklus tertentu saja, sebaiknya guru selalu menilai semua kegiatan siswa.

7. Extend (Memperluas)

Pada tahap ini bertujuan untuk berfikir, mencari menemukan dan

menjelaskan contoh penerapan konsep yang telah dipelajari bahkan kegiatan ini

dapat merangsang siswa untuk mencari hubungan konsep yang mereka pelajari

dengan konsep lain yang sudah atau belum mereka pelajari.

Ketujuh tahapan di atas adalah hal-hal yang harus dilakukan guru dan siswa

untuk menerapkan Learning Cycle 7E pada pembelajaran di kelas. Guru dan siswa
mempunyai peran masing-masing dalam setiap kegiatan pembelajaran yang

dilakukan dengan menggunakan tahapan dari siklus belajar.

Adapun Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Learning Cycle

menurut Suardi (2013), diantaranya sebagai berikut:

a. Kelebihan Model Pembelajaran Learning Cycle

1) Merangsang siswa untuk mengingat materi pelajaran yang telah mereka

dapatkan sebelumnya.

2) Memberikan motivasi kepada siswa untuk menjadi lebih efektif dan menambah

rasa keingin tahuan siswa.

3) Melatih siswa belajar melakukan konsep melalui kegiatan eksperimen.

4) Melatih siswa untuk menyampaikan secara lisan konsep yang telah mereka

pelajari.

5) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk berfikir, mencari, menemukan,

dan menjelaskan contoh penerapan konsep yang telah mereka pelajari.

6) Guru dan siswa menjalankan tahapan-tahapan pembelajaran yang saling mengisi

satu sama lain.

7) Guru dapat menerapkan model ini dengan metode yang berbeda-beda.

b. Kekurangan Model Pembelajaran Learning Cycle

Dibalik kelebihan-kelebihan di atas, model pembelajaran learning cycle

memiliki beberapa kelemahan menurut Suardi (2013) sebagai berikut.

1) Efektifitas guru rendah jika guru tidak menguasai materi dan langka-langka

pembelajaran.
2) Menuntut kesungguhan dan kreatifitas guru dalam merangsang dan

melaksanakan proses pembelajaran.

3) Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak untuk menyusun rencana dan

pelaksanaan pembelajaran.

3. Model Pembelajaran Problem Based Learning

Kehidupan identik dengan menghadapai masalah. Model pembelajaran ini

melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang

berorientasi pada masalah autentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang

kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap harus dipelihara adalah

suasana kondunsif, terbuka, negosiasi, dan demokratis.

Dalam Shoimin (2014) menuliskan beberapa pendapat para ahli,

diantaranya Duch mengatakan bahwa Problem Based Learning (PBL) atau

pembelajaran berbasis masalah adalah model pengajaran yang bercirikan adanya

permasalahan nyata sebagai konteks untuk para peserta didik belajar berpikir kritis

dan keterampilan memecahkan masalah serta memperoleh pengetahuan. Adapun

menurut Finkle dan Torp menyatakan bahwa PBM merupakan pengembangan

kurikulum dan sistem pengajaran yang mengembangkan secara simultan strategi

pemecahan masalah dan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan dengan

menempatkan para peserta didik dalam peran aktif sebagai pemecah permasalahan

sehari-hari yang tidak terstruktur dengan baik.

Adapun dalam Yudhanegara dan Lestari (2015) menuliskan beberapa

pendapat para ahli diantaranya Arends menyatakan bahwa PBL sebagai suatu

model pembelajaran di mana siswa dihadapkan pada masalah autentik (nyata)


sehingga diharapkan dapat menyusun pengetahuan sendiri, menumbuh

kembangkan inkuiri dan keterampilan tingkat tinggi, memandirikan siswa dan

meningkatkan kepercayaan dirinya. Dan menurut Ward mengemukakan bahwa

PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk menyelesaikan

suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat

mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut sekaligus

memiliki keterampilan untuk menyelesaikan masalah.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa PBL

merupakan model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada suatu masalah

sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan

keterampilan penyelesaian masalah serta memperoleh pengetahuan baru terkait

dengan permasalahan tersebut.

Menurut Rusmono (2012:81) untuk melaksanakan pembelajaran dengan

strategi pembelajaran Problem Based Learning, ada lima tahap pembelajaran

sebagai berikut:

Tahapan Pembelajaran dengan Strategi PBL


Tahapan Pembelajaran Perilaku Guru

Guru menginformasikan tujuan-tujuan


Tahap 1: pembelajaran, mendeskripsikan
kebutuhan-kebutuhan logistik penting,
Mengorganisasikan siswa kepada dan memotivasi siswa agar terlibat
masalah dalam kegiatan pemecahan masalah
yang mereka pilih sendiri

Tahap 2: Guru membantu siswa menentukan


Mengorganisasikan siswa untuk dan mengatur tugas-tugas belajar yang
belajar berhubungan dengan masalah itu
Tahap 3: Guru mendorong siswa
mengumpulkan informasi yang sesuai,
Membantu penyelidikan mandiri dan melaksanakan eksperimen, mencari
kelompok penjelasan, dan solusi.

Guru membantu siswa dalam


Tahap 4: merencanakan dan menyiapkan hasil
Mengembangkan dan karya yang sesuai seperti laporan,
mempresentasikan hasil karya serta rekaman video, dan model, serta
pameran membantu mereka berbagi karya
mereka

Tahap 5: Guru membantu siswa melakukan


Menganalisis dan mengevaluasi proses refleksi atas penyelidikan dan proses-
pemecahan masalah proses yang mereka gunakan

Dan Menurut Shoimin (2014:131) Problem Based Learning biasanya ada 5

langkah dalam pembelajaran, yaitu :

1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan.

Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.

2. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar

yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal,

dll).

3. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,

eksperimen untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk

mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis,

dan pemecahan masalah.

4. Guru membantu siswa dalam merencanakan serta menyiapkan karya yang sesuai

seperti laporan dan membantu mereka berbagai tugas dengan temannya.


5. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap

penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

Adapun Kelebihan dan Kekurangan dalam Model Pembelajaran Problem

Based Learning menurut Shoimin (2014),diantaranya sebagai berikut:

a. Kelebihan Model Pembelajaran Problem Based Learning,

1) Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam

situasi nyata.

2) Siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri melalui

aktivitas belajar.

3) Pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada

hubungannya tidak perlu dipelajari oleh siswa. Hal ini mengurangi beban

siswa dengan menghafal atau menyimpan informasi.

4) Terjadi aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok.

5) Siswa terbiasa menggunakan sumber-sumber pengetahuan, baik dari

perpustakaan, internet, wawancara, dan observasi.

6) Siswa memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri.

7) Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah dalam

kegiatan diskusi atau presentasi hasil pekerjaan mereka.

8) Kesulitan belajar siswa secara individual dapat diatasi melalui kerja

kelompok dalam bentuk peer teaching.

b. Kekurangan Model Pembelajaran Problem Based Learning,

1) PBM tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru

berperan aktif dalam menyajikan materi. PBM lebih cocok intuk


pembelajaran yang menuntut kemampuan tertentu yang kaitannya dengan

pemecahan masalah.

2) Dalam suatu kelas yang memiliki tingkat keragaman siswa yang tinggi akan

terjadi kesulitan dalam pembagian tugas.

H. Asumsi Dasar

Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah :

1. Semua siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis yang

bervariasi.

2. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dapat mempengaruhi

kemampuan matematis siswa dalam pembelajaran di sekolah.

I. Hipotesis

Berdasarkan uraian dalam rumusan masalah, penulis mengajukan hipotesis

penelitian sebagai berikut : Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa antara yang mendapatkan model pembelajaran Learning Cycle 7E

dengan Problem Based Learning.

J. Hubungan antar Variabel

Pemecahan masalah merupakan kemampuan matematis yang sangat penting

dalam pembelajaran matematika yang harus dikuasai oleh siswa. Kemampuan

pemecahan masalah dapat membangun pengetahuan baru dalam matematika,

memecahkan masalah yang muncul dalam matematika ataupun dalam konteks

kehidupan sehari-hari.

Learning Cycle 7E yaitu model pembelajaran yang berpusat pada siswa,

melalui cara ini siswa belajar secara aktif serta siswa mempelajari materi secara
bermakna dengan bekerja dan beripikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman

siwa. Sejalan dengan pendapat Shoimin (2014:61) bahwa implementasi Cycle

Learning dalam orientasi Pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang

merupakan pemecahan masalah. Proses pembelajaran demikian akan lebih

bermakna dan menjadikan skema dalam pembelajaran yang dapat diorganisasi oleh

siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Problem Based Learning, yaitu model pembelajaran yang mempunyai ciri

adanya permasalahan nyata sebagai konteks untuk siswa belajar berpikir kritis dan

keterampilan memecahkan masalah. Dan menurut Shoimin (2014) mengemukakan

bahwa ‘Pembelajaran berbasis masalah lebih cocok untuk pembelajaran yang

menuntut kemampuan tertentu yang kaitannya dengan pemecahan masalah’.

Dari pentingnya kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran

matematika, pengertian model pembelajaran Learning Cycle 7E dan model

pembelajaran Problem Based Learning diatas, ada hubungan yang membuat

peneliti mengambil kedua model tersebut untuk meneliti kemampuan pemecahan

masalah. Pemecahan masalah merupakan kemampuan yang mampu membangun

pengetahuan dalam matematika atau dalam konteks kehidupan keseharian (nyata).

Kemampuan tersebut dapat didukung dengan model pembelajaran Learning Cycle

7E dan Problem Based Learning dimana kedua model tersebut merupakan model

pembelajaran yang menghubungkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-

hari, mengedepankan sebuah masalah yang harus di pecahkan oleh siswa dengan

pengetahuan yang dimilikinya.


Oleh karena itu, baik model pembelajaran Learning Cycle 7E ataupun

Problem Based Learning sama-sama dapat meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah.

K. Penelitian yang Relevan

Menurut hasil penelitian Putri (2014) mengemukakan bahwa berdasarkan

hasil penelitian pada kemampuan pemecahan masalah matematis, siswa pada

umumnya belum mampu memahami suatu konsep matematika sebelum diberikan

arahan dari guru. Siswa senantiasa memerlukan penjelasan awal dari guru mengenai

arah suatu konsep matematika yang akan mereka pelajari.

L. Metodologi Penelitian

1. Definisi Operasional

Dalam upaya memperjelas supaya tidak terjadi perbedaan pemahaman

tentang penafsiran dan menghindari perluasan pengertian dari beberapa masalah

yang ada dalam penelitian ini, maka penulis perlu menjelaskan secara operasional:

a. Kemampuan pemecahan masalah

Kemampuan pemecahan masalah yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah mengindentifikasi unsur yang diketahui, merumuskan masalah matematik

atau menyusun model matematik, menerapkan strategi untuk menyelesaikan

berbagai masalah, menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan

asal, dan menggunakan matematika secara bermakna.

b. Model Pembelajaran Learning Cycle 7E

Model pembelajaran Learning Cycle 7E adalah model pembelajaran yang

berpusat pada siswa, dimana siswa harus berperan aktif dalam proses pembelajaran
dengan tahap memunculkan pemahaman awal siswa, melibatkan siswa terhadap

konsep yang akan diajarkan, menyelidiki pengalaman langsung yang berhubungan

dengan konsep, menjelaskan konsep baru, menguraikan keterampilan dari

pelajaran, menilai semua kegiatan dalam pembelajaran dan memperluas konsep

yang dipelajari dengan menjelaskan penerapan konsep yang telah dipelajari.

c. Model Pembelajaran Problem Based Learning

Model pembelajaran Problem Based Learning adalah pembelajaran yang

dilandasi oleh teori belajar kognitif dengan melibatkan lima aspek dalam

pembelajaran, yaitu orientasi siswa terhadap masalah, siswa terlibat dalam aktivitas

penyelesaian masalah, siswa melakukan penyelidikan dan melakukan tanya jawab

dengan cara diskusi terkait kegiatan penyelesaian masalah.

2. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah keseluruhan dari perencanaan untuk menjawab

pertanyaan penelitian dan mengantisipasi beberapa kesulitan yang mungkin timbul

selama proses penelitian.

Desain penelitian merupakan strategi untuk mendapatkan data yang

dibutuhkan untuk keperluan pengujian hipotesis atau untuk menjawab pertanyaan

penelitian, dan sebagai alat untuk mengontrol variabel yang berpengaruh dalam

penelitian menurut Sugiyono (dalam Gunawan, 2016:29). Adapun dalam penelitian

ini menggunakan desain kelompok Kontrol Non-Ekuivalen (the non-equivalent

control group design) yang melibatkan dua kelompok, ada pretest, posttest. Desain

penelitian diilustrasikan sebagai berikut


O 𝑋1 O

---------------------------------

O 𝑋2 O

Keterangan:

O : Instrumen tes awal (Pre-test) dan dan tes akhir (post-test)

𝑋1 : Model Pembelajaran Learning Cycle 7E

𝑋2: Model Pembelajaran Problem Based Learning

----: subjek (siswa) tidak dilakukan secara acak

Russeffendi ( dalam Gunawan, 2016:29)

3. Populasi dan Sampel Penelitian

Subjek populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X.

Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah dua kelas yang diambil secara acak.

Dari dua kelas yang terambil,satu kelas yang dijadikan sebagai kelompok

eksperimen I yaitu kelas X-1 dan kelompok eksperimen II yaitu kelas X-2.

4. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Variabel bebas : model pembelajaran Learning Cycle 7E dan Problem

Based Learning

2) Variabel terikat: Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa

5. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat pengumpul data yang digunakan untuk

mengumpulkan data yang diperlukan dalam suatu penelitian.alat pengumpul data


tersebut dapat berupa tes, angket, wawancara dan observasi. Dalam penelitian ini

instrumen yang digunakan adalah tes tertulis berupa uraian, serta angket untuk

mengukur skala sikap.

1) Tes

a) Tes awal (pretest)

Tes awal merupakan tes yang dilakukan sebelum memperoleh perlakuan

pembelajaran menggunakan model, hal ini bertujuan untuk mengetahui

kemampuan awal siswa, baik itu kelompok eksperimen 1 maupun kelas

eksperimen 2, serta untuk mengetahui homogenitas kemampuan siswa pada kedua

kelompok kelas.

b) Tes akhir (posttest)

Tes akhir diberikan kepada kedua kelompok kelas eksperimen yang telah

memperoleh perlakuan, yang dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa diantara dua kelompok kelas

eksperimen tersebut. Setelah diberikan tes akhir, maka siswa juga diberikan

angket untuk mengukur skala sikap setelah mendapatkan pembelajaran.

Suatu instrumen penelitian yang baik dapat dilihat dari hasil uji coba

instrumen penelitian dengan memperhatikan validitas, realibilitas, tingkat

kesukaran, dan daya pembeda dari instrumen penelitian tersebut.

a. Validitas instrumen penelitian

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau

kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila dapat

mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya
validitas instrumen menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak

menyimpang dari gambaran tentang variabel yang dimaksud. Arikunto (dalam

sundayana, 2015:59)

Untuk menguji validitas alat ukur menurut Sundayana (2015:60)

dibutuhkan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Menghitung harga korelasi setiap butir alat ukur dengan rumus

pearson/product moment,yaitu :

𝑛 ∑ 𝑥𝑦−(∑ 𝑥) (∑ 𝑦)
r𝑥𝑦 =
√(𝑛 ∑ 𝑥 2 −(∑ 𝑥)2 )(𝑛 ∑ 𝑦 2 −(∑ 𝑦)2 )

Keterangan :
r𝑥𝑦 = koefisien korelasi
X = skor item butir soal
Y = jumlah skor total tiap soal
n = jumlah responden
Tabel 1
Klasifikasi kriteria koefisien validitas
Koefisien Validitas Interpretasi
rxy ≤ 0,00 Tidak Valid

0,00 < rxy ≤ 0,20 Sangat Kurang

0,20 < rxy ≤ 0,40 Kurang

0,40 < rxy ≤ 0,60 Sedang

0,60 < rxy ≤ 0,80 Baik

0,80 < rxy ≤ 1,00 Sangat Baik

2) Melakukan perhitungan dengan uji t dengan rumus

𝑟√𝑛 − 2
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
√1 − 𝑟 2

Keterangan:
r = koefisien korelasi hasil r hitung
n = jumlah responden
3) Mencari 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dengan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 =𝑡𝛼 (𝑑𝑘 = 𝑛 − 2)

4) Membuat kesimpulan,dengan kriteria pengujian sebagai berikut:

Jika 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 berarti valid, atau

Jika 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 berarti tidak valid

b. Reliabilitas instrumen penelitian

Reliabilitas instrumen penelitian adalah suatu alat yang memberikan hasil

yang tetap sama (sundayana, 2015: 69) . hasil pengukuran itu harus tetap sama

(relatif sama) jika pengukurannya diberikan pada subyek yang sama meskipun

dilakukan oleh orang yang berbeda, waktu yang berlainan,dan tempat yang

berbeda pula alat ukur yang reliabilitas nya tinggi disbut alat ukur yang reliabel

(Sundayana, 2015: 69)

Karena bentuk tes yang diberkan berupa soal uraian, maka untuk

menghitung reliabilitas tes ini menggunakan Cronbach Alpha (𝛼) sebagai

berikut :

𝑛 ∑ 𝑠𝑖 2
𝑟11 = ( ) (1 − 2 )
𝑛−1 𝑠𝑡

Keterangan :
𝑟11 = reliabilitas instrumen
𝑛 = banyaknya butir pertanyaan
∑ 𝑠𝑖 2 = jumlah varians item
𝑠𝑡 2 = varians total

Koefisien reliabilitas yang dihasilkan, Kita interpretasikan dengan

menggunakn kriteria dari guillford (Sundayana,2015: 70) ialah sebagai berikut:


Tabel 2
Tabel Klasifikasi Kriteria reliabilitas
Koefisien Reliabilitas (r) Interpretasi
0,00 ≤ 𝑟 < 0,20 Sangat rendah

0,20 ≤ 𝑟 < 0,40 Rendah

0,40 ≤ 𝑟 < 0,60 Sedang/cukup

0,60 ≤ 𝑟 < 0,80 Tinggi

0,80 ≤ 𝑟 < 1,00 Sangat tinggi

c. Daya Pembeda Instrumen Penelitian

Daya Pembeda (DP) soal adalah kemampuan suatu soal untuk dapat

membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dan siswa yang

bodoh (berkemampuan rendah) (sundayana, 2015: 76) untuk mengetahui daya

pembeda instrumen penelitian ini,maka digunakan rumus:

𝑆𝐴 − 𝑆𝐵
𝐷𝑃 =
𝐼𝐴

Tabel 3
Tabel Klasifikasi Kriteria Daya Pembeda
Koefisien Daya pembeda Interpretasi

𝐷𝑃 ≤ 0,00 Sangat Jelek

0,00 < 𝐷𝑃 ≤ 0,20 Jelek

0,20 < 𝐷𝑃 ≤ 0,40 Cukup

0,40 < 𝐷𝑃 ≤ 0,70 Baik

0,70 < 𝐷𝑃 ≤ 1,00 Sangat baik


d. Tingkat kesukaran instrumen penelitian

Tingkat kesukaran adalah keberadaa suatu butir soal apakah dipandang

sukar,sedang, atau mudah dalam mengerjakannya (sundayana, 2015: 76).untuk

mencari tingkat kesukaran instrumen penelitian ini adalah :


𝑆𝐴+𝑆𝐵
𝑇𝐾 = Keterangan :
𝐼𝐴+𝐼𝐵

𝑆𝐴 = Jumlah skor kelompok atas


𝑆𝐵 = Jumlah skor kelompok bawah
𝐼𝐴 = Jumlah skor ideal kelompok atas
𝐼𝐵 = Jumlah skor ideal kelompok bawah
Tabel 4
Tabel Klasifikasi Kriteria tingkat kesukaran
Koefisien Tingkat Kesukaran Interpretasi

𝑇𝐾 = 0,00 Terlalu Sukar

0,00 < 𝑇𝐾 ≤ 0,30 Sukar

0,30 < 𝑇𝐾 ≤ 0,70 Sedang/cukup

0,70 < 𝑇𝐾 < 1,00 Mudah

𝑇𝐾 = 1,00 Terlalu Mudah

6. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan data

kualitatif. Adapun prosedur analisis dari setiap data adalah sebagai berikut:

1) Analisis Data Kuantitatif

Dalam penganalisisan data kuantitatif terdiri dari data hasil pretest,

posttest dan dilanjutkan dengan gain ternormalisasi, baik pada kelas

eksperimen maupun kelas kontrol. Untuk data hasil pretest, posttest dan gain
ternormalisasi diolah dengan menggunakan teknik analisis data sebagai

berikut:

a) Menguji Normalitas Data

Adapun pengujian normalitas data dengan menggunakan uji liliefors,

dengan langkah-langkah:

1. Menghitung nilai rata-rata dan simpangan bakunya;

2. Urutkan data dari data yang terkecil ke yang terbesar;

3. Menghitung nilai x pada nilai z dengan rumus:

𝑥 − 𝑥̅
𝑧=
𝑠

4. Menghitung luas z dengan menggunakan table z;

5. Menentukan nilai proporsi data yang lebih kecil atau sama dengan data

tersebut;

6. Menghitung selisih nilai z dengan nilai proporsi;

7. Menentukan luas maksimum ( 𝐿𝑚𝑎𝑘𝑠 ) dari langkah ke-6;

8. Menentukan luas table lilliefors ( 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 ) ; 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝐿𝛼 (𝑛 − 1);

9. Kriteria kenormalan: jika 𝐿𝑚𝑎𝑘𝑠 < 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , maka data berdistribusi

normal.

b) Menguji homogenitas dua varians ( Sundayana, 2015:144)

Jika kedua datanya berdistribusi normal, dilanjutkan dengan uji

homogenitas dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Merumuskan hipotesis nol dan hipotesis alternatifnya:

𝐻0 ∶ kedua varians homogen ( 𝑣1 = 𝑣2 )

𝐻𝑎 : kedua varians tidak homogen ( 𝑣1 ≠ 𝑣2 )


2. Menentukan nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 dengan rumus:

varians besar (simpangan baku besar)2


𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = =
varians kecil (simpangan baku kecil)2

3. Menentukan nilai 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dengan rumus:

𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝐹𝛼 (𝑑𝑘 nvarians besar − 1/ dk nvarians kecil − 1)

4. Kriteria uji : jika 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 . Maka 𝐻0 diterima (varians

homogen)

c) Setelah kedua variansnya berdistribusi normal dan homogen dilanjutkan

dengan uji t, dengan langkah-langkah sebagai berikut (sundayana,2015:146)

1. Merumuskan hipotesis nol dan hipotesis alternatifnya;

2. Menentukan nilai 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 dengan rumus:

𝑥1 − ̅̅̅
̅̅̅ 𝑥2
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
𝑛1 + 𝑛2
𝑆𝑔𝑎𝑏𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 √ 𝑛
1 . 𝑛2

Dengan:

(𝑛1 − 1) 𝑆1 2 + (𝑛2 − 1) 𝑆2 2
𝑆𝑔𝑎𝑏𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 = √
𝑛1 + 𝑛2 − 2

3. Menentukan nilai 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝑡𝛼 (𝑑𝑘 = 𝑛1 + 𝑛2 − 2)

4. Kriteria pengujian hipotesis:

Jika: − 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 ≤ 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka 𝐻0 diterima.

d) Apabila ternyata kedua distribusi tersebut normal, tetapi variansinya tidak

homogen maka dilanjutkan dengan uji 𝑡 ′ . Dengan langkah-langkah sebagai

berikut (Sundayana,2015:148)

1. Merumuskan hipotesis nol dan alternatifnya;


2. Menentukan nilai 𝑡 ′ ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 dihitung dengan rumus:

𝑥1 − ̅̅̅
̅̅̅ 𝑥2
𝑡 ′ ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
2 2
√𝑆1 + 𝑆2
𝑛1 𝑛2

3. Menentukan kriteria pengujian hipotesis:

𝐻0 diterima jika:

𝑤1 𝑡1 + 𝑤2 𝑡2 𝑤1 𝑡1 + 𝑤2 𝑡2
− ≤ 𝑡′ ≤
𝑤1 + 𝑤2 𝑤1 + 𝑤2

𝑆1 2 𝑆2 2
Dengan 𝑤1 = ; 𝑤2 = ; 𝑡1 = 𝑡𝛼 (𝑛1 − 1); 𝑡2 = 𝑡𝛼 (𝑛2 − 1)
𝑛1 𝑛2

e) Apabila salah satu atau kedua variansnya tidak berdistribusi normal maka

langkah selanjutnya menggunakan statistika non parametrik dengan

menggunakan uji Mann-Whitney, langkah uji Mann-Whitney sebagai

berikut (Sundayana, 2015:152)

1. Merumuskan hipotesis nol dan hipotesis alternatifnya;

2. Gabungkan semua nilai pengamatan dari sampel pertama dan sampel

kedua dalam satu kelompok;

3. Beri rank dimulai dengan rank 1 untuk nilai pengamatan terkecil,sampai

rank terbesar untuk nilai pengamatan terbesarnya atau sebaliknya. Jika

ada nilai yang sama harus mempunyai nilai rank yang sama pula;

4. Setelah nilai pengamatannya diberi rank,jumlahkan nilai rank

tersebut,kemudian ambil jumlah rank terkecilnya;

5. Menghitung nilai U dengan rumus;

𝑛2 (𝑛2 +1) 𝑛1 (𝑛1 −1)


𝑈1 = 𝑛1 . 𝑛2 + − ∑ 𝑅2 𝑈2 = 𝑛1 . 𝑛2 + − ∑ 𝑅1
2 2
Dari 𝑈1 dan 𝑈2 pilihlah nilai terkecil yang menjadi 𝑈ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔

6. Untuk 𝑛1 ≤ 40 dan 𝑛2 ≤ 20 (𝑛1 𝑑𝑎𝑛 𝑛2 boleh terbalik) nilai 𝑈ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔

tersebut kemudian bandingkan dengan 𝑈𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dengan kriteria terima 𝐻0

jika 𝑈ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝑈𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 . jika 𝑛1 ; 𝑛2 cukup besar maka lanjutkan pada

langkah 7;

7. Menentukan rata-rata dengan rumus:


1
𝜇𝑈 = (𝑛1 . 𝑛2 )
2

8. Menentukan simpangan baku :

a. Untuk data yang tidak berulang:

𝑛1 .𝑛2 (𝑛1 +𝑛2 +1)


𝜎𝑈 = √ 12

b. Untuk data yang terdapat pengulangan

1 2 𝑛 .𝑛 𝑁 3 −𝑁 𝑡 3 −𝑡
𝜎𝑈 = √(𝑁(𝑁−1))( )−∑𝑇 ∑𝑇 = ∑
12 12

Dengan t adalah yang berangka sama

9. Menentukan transformasi z dengan rumus:


𝑈−𝜇𝑈
𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 𝛿𝑈

10. Nilai 𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 tersebut kemudian bandingkan dengan 𝑍𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dengan

kriteria terima 𝐻0 jika: −𝑍𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 ≤ 𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝑍𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙

f) Gain Ternormalisasi

Pada saat mendapatkan hasil penelitian dengan kemampuan awal beda, atau

ingin mengetahui bagaimana peningkatan hasil belajar, maka kita gunakan gain

ternormalisasi (g) untuk memberikan gambaran umum peningkatan hasil


belajar anatara sebelum dan sesudah pembelajaran oleh Hake (Sundayana,

2015:151):

skor Posttes−Skor Pretes


Gain Ternormalisasi ( g ) 
Skor Ideal−Skor Pretes

Skor gain ternormalisasi dapat dikategorisasi kedalam lima kategori, yaitu:

Interpretasi Gain Ternormalisasi yang Dimodifikasi

Nilai Gain Ternormalisasi Interpretasi

-1,00≤ g < 0,00 Terjadi penurunan


tidak terjadi
g = 0,00
peningkatan
0,00 <g < 0,30 Rendah
0,30≤ g < 0,70 Sedang

0,70≤ g ≤ 1.00 Tinggi

2) Analisis Data Kualitatif

a. Skala sikap

Untuk mengetahui sikap siswa terhadap metode pembelajara Learning

Cycle 7E dengan Problem Based Learning, maka peneliti menggunakan skala

Likert. Skala Likert dengan menggunakan empat kategori yaitu sangat

setuju(SS), Setuju(S), tidak setuju(ST), Sangat Tidak Setuju(STS). Untuk

pembuatan interpretasi secara umum dilakukan langkah sebagai berikut:

a. Menentukan skor maksimum (𝑆𝑚𝑎𝑘𝑠 ), yaitu banyak butir angket x banyak

responden x 5

b. Menentukan skol minimal (𝑆𝑚𝑖𝑛 ), yaitu banyak butir angket x responden

x1

c. Menentukan rentang, yaitu skor maksimum-skor minimum


d. Menentukan panjang kelas (p),yaitu rentang/banyak kategori

e. Menentukan skala tanggapan.

Tabel 5
N0 Skor Total (ST) Interpretasi
1 𝑆𝑚𝑖𝑛 ≤ 𝑆𝑇 < 𝑆𝑚𝑖𝑛 + 𝑃 Sangat baik

2 𝑆𝑚𝑖𝑛 +𝑃 ≤ 𝑆𝑇 < 𝑆𝑚𝑖𝑛 + 2𝑃 Baik

3 𝑆𝑚𝑖𝑛 +2𝑃 ≤ 𝑆𝑇 < 𝑆𝑚𝑖𝑛 + 3𝑃 Cukup

4 𝑆𝑚𝑖𝑛 +3𝑃 ≤ 𝑆𝑇 < 𝑆𝑚𝑖𝑛 + 4𝑃 Jelek

5 𝑆𝑚𝑖𝑛 + 4𝑃 ≤ 𝑆𝑇 < 𝑆𝑚𝑎𝑘𝑠 Sangat jelek

7. ProsedurPenelitian

Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan, yaitu tahap persiapan dan

tahap pelaksanaan.

1. Tahap persiapan Penelitian

Untuk melaksanakan penelitian dilakukan persiapan sebagai berikut :

a. Mengajukan judul penelitian

b. Menyusun proposal penelitian

c. Seminar proposal penelitian

d. Permohonan izin penelitian.

e. Penyusunan instrumen penelitian.

f. Melakukan uji coba instrumen.

g. Mengolah data hasil uji coba instrumen penelitian.

h. Menyiapkan perangkat pembelajaran dan menetapkan jadwal penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian


a. Mengadakan pre-test (tes awal) terhadap kelas eksperimen I dan kelas

eksperimen II

b. Melaksanakan model pembelajaran Learning Cycle 7E pada kelas

eksperimen I dan model pembelajaran Problem Based Learning pada kelas

eksperimen II.

c. Melaksanakan post-test (tes akhir) pada kelas eksperimen I dan kelas

eksperimen II.
Bagan 1. Prosedur Penelitian

Pengajuan Judul

Penyusunan Proposal

Seminar Proposal

Perizinan Penelitian

Penyusunan Instrumen

Uji Coba Instrumen

Analisis Uji Coba Instrumen

Menyiapkan Perangkat Pembelajaran dan Menetapkan Jadwal Penelitian

Pre-test

Kelas Eksperimen I Kelas Eksperimen II

Kegiatan Pembelajaran dengan Kegiatan Pembelajaran dengan


Model Pembelajaran Learning Model Pembelajaran Problem
Cycle 7E Based Learning

Post-test

Analisis Data Uji Hipotesis

Pembuatan Laporan Hasil Penelitian

Anda mungkin juga menyukai