Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pendidikan merupakan lini penting dalam kehidupan sebuah bangsa. Oleh
karena itu, pendidikan dapat dijadikan sebagai fondasi kemajuan sebuah
bangsa. Dengan adanya pendidikan, maka pembangunan sumber daya manusia
dapat dicapai.
Dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia, pajak selalu terkait di
dalamnya. Begitu pula dengan pendidikan. Pajak berperan penting dalam
memajukan pendidikan di Indonesia sehingga pemerintah memberikan keringanan
pajak terhadap institusi pendidikan. Hal ini dilakukan mengingat pentingnya
pendidikan bagi kemajuan bangsa dan masih terbatasnya anggaran negara untuk
bidang pendidikan.
Dalam peranannya tersebut, pemerintah memberikan insentif bagi organisasi
nirlaba yang menginvestasikan penghasilan yang diperolehnya pada
pengembangan dunia pendidikan. Organisasi nirlaba adalah suatu organisasi yang
bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal di dalam menarik
perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil, tanpa ada perhatian
terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter).
Organisasi nirlaba merupakan suatu organisasi yang bebas pajak (Tax
Exemtion). Namun pada prinsipnya, organisasi ini bukanlah suatu organisasi yang
memiliki kekebalan terhadap kewajiban membayar pajak. Hal ini bukan hanya
berlaku di negara Indonesia namun berlaku juga di negara-negara lain. Organisasi
nirlaba termasuk para penggiat/pekerjanya tidak dikecualikan sebagai Wajib
Pajak.
Badan pendidikan, apapun bentuk hukumnya, termasuk sebagai subjek
pajak dalam kacamata Pajak Penghasilan. Apabila badan pendidikan tersebut
mendapatkan penghasilan, maka seyogyanya penghasilan tersebut merupakan
objek pajak yang semestinya dikenakan pajak sama seperti pengenaan pajak
kepada badan usaha lainnya. Namun demikian, ada satu perbedaan khusus yang

0
membedakan badan pendidikan dengan badan usaha lain. Perbedaan tersebut
adalah bahwa sebagian badan pendidikan adalah organisasi nirlaba, badan
pendidikan tersebut tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. Kata-kata
“sebagian” digunakan untuk menunjukkan bahwa mungkin juga ada badan
pendidikan yang digunakakan untuk mencari keuntungan karena pendidikan
adalah salah satu bisnis yang menjanjikan.
Bagi badan pendidikan yang memang non profit oriented alias nirlaba
tentunya sudah selayaknya tidak dikenakan pajak atas penghasilannnya.
Sebaliknya, apabila sebuah badan pendidikan lebih mementingkan laba maka ia
dianggap sebagai business entity (lembaga bisnis) yang dikenakan pajak
penghasilan atas keuntungannya sebagaimana badan usaha lain.

1.2 Pokok Permasalahan


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, penulis
merumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan
menjalankan organisasinya?
2. Mengapa sebuah organisasi (perusahaan) atau Wajib Pajak mau
memberikan sumbangan di bidang pendidikan?
3. Bagaimana aspek perpajakan organisasi nirlaba yang bergerak di
bidang pendidikan?
4. Bagaimana aspek perpajakan organisasi (perusahaan) atau Wajib Pajak
yang memberikan sumbangan di bidang pendidikan?
5. Apa isu terkini yang terkait dengan sumbangan di bidang pendidikan
yang diberikan oleh sebuah organisasi (perusahaan) atau Wajib Pajak?
6. Bagaimana contoh kasus terkait dengan sumbangan di bidang
pendidikan yang diberikan oleh sebuah organisasi (perusahaan) atau
Wajib Pajak

1
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Organisasi Nirlaba yang Bergerak di Bidang Pendidikan


Pemerintah memberikan insentif bagi organisasi nirlaba yang
menginvestasikan penghasilan yang diperolehnya pada pengembangan dunia
pendidikan. Terhadap laba yang diperoleh oleh organisasi nirlaba yang bergerak di
bidang pendidikan, yang diinvestasikan kembali dalam bentuk sarana dan
prasarana pendidikan, tidak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh).
Organisasi nirlaba yang menyelenggarakan pendidikan wajib
menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana
biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat organisasi nirlaba tersebut terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang
membidanginya.
Insentif pemerintah yang lain di bidang pendidikan adalah dalam rangka
pemberian beasiswa. Penerima beasiswa yang mengikuti pendidikan formal
dan/atau pendidikan nonformal di dalam negeri dan/atau di luar negeri
dikecualikan dari objek PPh.
Bagi penyelenggara kegiatan yang berbentuk badan usaha atau
yayasan/organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan akan diberikan insentif pula oleh pemerintah.
Apabila organisasi pendidikan tersebut mendapatkan laba, laba yang
seharusnya dikenakan pajak (PPh) tidak akan dikenakan PPh jika laba tersebut
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana. Pemerintah memberikan
jangka waktu selama 4 (empat) tahun sejak laba tersebut diperoleh, untuk
ditanamkan kembali.

2
2.2 Alasan Organisasi (Perusahaan) atau Wajib Pajak Mau Memberikan
Sumbangan di Bidang Pendidikan
Pemerintah memiliki peranan lain dalam pengembangan dunia pendidikan,
terhadap sumbangan dari pihak ketiga yang langsung digunakan untuk investasi di
bidang pendidikan. Dalam UU PPh diatur bahwa terhadap Wajib Pajak yang
memberikan sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang
dilakukan di Indonesia serta sumbangan fasilitas pendidikan maka sumbangan
tersebut menjadi biaya yang dapat mengurangi penghasilan kena pajak Wajib
Pajak tersebut.
Kebijakan pemberian insentif perpajakan bagi penyumbang organisasi
nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan adalah berupa pemotongan pajak, baik
dalam skema tax deduction maupun tax credit. Dalam rangka pengembangan
dunia pendidikan, pemerintah memberikan pemotongan atau pengurangan
terhadap penghasilan kena pajak yang didapatkan oleh Wajib Pajak individu,
perusahaan atau lembaga yang memberikan hibah, sumbangan atau warisan pada
organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan. Kebijakan pemberian
insentif berupa pemotongan/pengurangan pajak ini umumnya dikaitkan dengan
pemberian fasilitas bebas pajak (Tax Exemption) terhadap sumbangan yang
diberikan. Hal ini merupakan salah satu alasan sebuah perusahaan atau Wajib
Pajak mau memberikan sumbangan pada organisasi nirlaba yang bergerak di
bidang pendidikan.
Sebagai contoh, bagi perusahaan pemberi beasiswa, biaya pemberian
beasiswa dapat dibebankan sebagai biaya dengan memperhatikan kewajarannya.
Di sisi lain, perkembangan suatu perusahaan tak terlepas dari hubungan
eratnya dengan konsumen dan keadaan lingkungan. Oleh karena itu, semakin baik
pelayanan atau hubungan suatu perusahaan terhadap konsumen maka akan
semakin besar pula kesempatan perusahaan tersebut untuk terus berkembang
menjadi sebuah perusahaan besar. Ketika terdapat banyak konsumen atau mitra
kerjasama yang mempercayai suatu perusahaan tertentu, maka semakin besar pula
tanggung jawab perusahaan tersebut terhadap konsumen. Perusahaan memiliki

3
tanggung jawab untuk membantu mensejahterakan lingkungan sekitar perusahaan
melalui Corporate Social Responsibility (CSR).
Pemberian sumbangan oleh perusahaan terhadap organisasi nirlaba yang
bergerak di bidang pendidikan dapat dikategorikan sebagai kegiatan CSR. Melalui
CSR, perusahaan dapat memenuhi tanggung jawab sosial kepada masyarakat.

2.3 Aspek Perpajakan Organisasi Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang


Pendidikan
Penghitungan pajak penghasilan atas organisasi nirlaba yang bergerak di
bidang pendidikan sama dengan badan usaha lainnya yaitu pendapatan yang
terkena objek pajak kemudian dikurangkan dengan biaya-biaya yang
diperkenankan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan. Selisih lebih antara
pendapatan dan biaya merupakan laba yang dapat dikenakan pajak dengan tarif
pasal 17 Undang–Undang No 36 Tahun 2008 (UU PPh).
Untuk organisasi nirlaba pendidikan yang bergerak dalam bidang Taman
Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi, selisih lebih antara pendapatan dan biaya
diberikan perlakuan khusus, yaitu berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Pajak No
KEP-87/PJ/1995 tanggal 10 Oktober 1995 sebagaimana telah diubah menjadi
Peraturan Dirjen Pajak-PER-44/PJ./2009, bahwa selisih atau keuntungan lembaga
pendidikan tidak dikenai pajak sepanjang kelebihan tadi diinvestasikan kembali ke
dalam bentuk pembangunan prasarana pendidikan.
Sisa lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek
Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan
tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari
badan atau lembaga nirlaba. Biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga
nirlaba adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung
dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain
penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri.
Sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang ditanamkan
kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana

4
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan
bersifat terbuka kepada pihak manapun dan telah mendapat pengesahan dari
instansi yang membidanginya, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun
sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak
Penghasilan.
Sarana dan prasarana pendidikan tersebut meliputi sebagai berikut.
1. Pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana pendidikan,
penelitian, dan pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi
pembangunan gedung dan prasarana tersebut;
2. Pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium, dan perpustakaan;
3. Pembelian/pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen
atau karyawan;
4. Sarana prasarana olahraga, sepanjang berada di lingkungan/lokasi lembaga
pendidikan formal.
Apabila setelah jangka waktu 4 (empat) tahun terdapat sisa lebih yang tidak
digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan
dikenai Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya, setelah jangka waktu 4
(empat) tahun ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku sebesar 2%
per bulan.
Apabila dalam jangka waktu 4 (empat) tahun terdapat sisa lebih yang
digunakan selain untuk pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan, sisa
lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan ditambah
dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh).
Selanjutnya dasar pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 80/PMK.03/2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh
Badan Lembaga atau Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau
Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak

5
Penghasilan. Petunjuk teknisnya diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor
PER-44/PJ./2009 tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih yang Diterima atau
Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan
dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek
Pajak Penghasilan.
Atas pengeluaran untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang berasal dari sisa
lebih tidak boleh dilakukan penyusutan sebagaimana diatur dalam Pasal 11
Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN
2008.
Apabila pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dibiayai dengan dana
pinjaman, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian
dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan.
Biaya bunga atas dana pinjaman yang terutang atau dibayarkan setelah
selesainya proses pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dapat dibebankan sebagai
biaya badan atau lembaga nirlaba.
Apabila organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan memperoleh
penghasilan di luar usaha utamanya dan di luar donasi dan sumbangan yang
diberikan kepada organisasi tersebut, maka atas penghasilan tersebut terutang
pajak. Oleh karena itu, di dalam perhitungan pajak penghasilan harus dibedakan
antara penghasilan yang berasal dari sumbangan dan donasi dengan penghasilan
yang berasal dari usaha di luar usaha utama organisasi tersebut.
Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana dimaksud wajib menyampaikan
pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan
dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya. Pemberitahuan

6
disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
(SPT) Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau paling
lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimulai, dalam jangka waktu 4
(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.
Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Badan) mengatur apa saja yang menjadi
objek atau terkena pajak penghasilan. Pajak Penghasilan Pasal 25 merupakan
pajak yang dikenakan kepada suatu badan hukum atau wajib pajak yang berbentuk
badan. Komponen yang terkait dengan perhitungan dan pelaporan PPh Badan
adalah:
 pendapatan/penghasilan
 biaya-biaya
 selisih dari pendapatan dan biaya
 kompensasi kerugian
 penghasilan kena pajak
 pelaporan
a. Pendapatan
Penghasilan yang merupakan objek pajak penghasilan untuk organisasi
nirlaba pendidikan adalah sebagai berikut.
- Uang pendaftaran dan uang pangkal.
- Uang seleksi penerimaan siswa/mahasiswa/peserta pendidikan.
- Uang pembangunan gedung/pengadaan prasarana atau pembayaran
lainnya dengan nama apapun yang berkaitan dengan keberadaan siswa/
mahasiswa/ peserta pendidikan.
- Uang SPP, uang SKS, uang ujian, uang kursus, uang
seminar/lokakarya, dan sebagainya.
- Penghasilan dari kontrak kerja dalam bidang penelitian dan
sebagainya.
- Penghasilan lainnya yang dikaitkan dengan jasa penyelenggaraan
pengajaran/ pendidikan/pelatihan dengan nama dan dalam bentuk
apapun.
b. Biaya-biaya
Menurut akuntansi bagi perusahaan, organisasi nirlaba, yayasan, dan badan
lainnya, biaya adalah semua biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam
menjalankan usahanya. Pengertian tersebut sedikit berbeda dengan pengertian
biaya menurut perpajakan. Menurut perpajakan, tidak semua pengeluaran dapat

7
diakui sebagai biaya. Dengan demikian, tidak semua pengeluaran dapat dianggap
sebagai pengurang dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
Perbedaan yang signifikan antara definisi biaya akuntansi dan biaya
perpajakan adalah adanya korelasi langsung antara biaya dan pendapatan. Dalam
pajak, biaya yang berkorelasi langsung dengan pendapatan, dapat dijadikan
pengurang. Bila tidak berkorelasi langsung dengan pendapatan maka tidak dapat
dijadikan pengurang. Namun, akuntansi tidak melihat apakah biaya tersebut
mempunyai atau tidak mempunyai korelasi dengan pendapatan. Apabila tidak
berkorelasi langsung maka tetap diakui sebagai biaya. Dengan demikian pada
waktu menyiapkan laporan tahunan untuk pelaporan pajak, perlu dibuat
penyesuaian biaya-biaya yang tidak dapat diakui.
Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh lembaga nirlaba sebagai pengurang
penghasilan bruto diatur dalam SE - 34/PJ.4/1995, yaitu sebagai berikut.
a. Biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan usaha, pekerjaan,
kegiatan atau pemberian jasa untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan atau biaya yang berhubungan langsung dengan
operasional penyelenggaraan yayasan atau organisasi yang sejenis.
b. Penyusutan atau amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.
c. Subsidi/beasiswa yang diberikan kepada siswa yang kurang mampu
ataupun biaya pendidikan siswa yang kurang mampu yang dipikul oleh
yayasan atau organisasi yang sejenis yang tidak bergerak di bidang
pendidikan, biaya pelayanan kesehatan pasien yang kurang mampu yang
dipikul oleh yayasan atau organisasi yang sejenis yang tidak bergerak di
bidang pelayanan kesehatan.
Biaya-biaya yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto
dalam Yayasan Pendidikan dalam SE - 39/PJ.4/1995 yaitu sebagai berikut.
1. Gaji/tunjangan/honorarium pimpinan/dosen/pengajar/karyawan.
2. Biaya umum/administrasi/alat tulis menulis kantor.
3. Biaya publikasi/iklan.
4. Biaya kendaraan.
5. Biaya kemahasiswaan.

8
6. Biaya ujian semester.
7. Biaya sewa gedung & utilities (listrik, telepon, air).
8. Biaya laboratorium.
9. Biaya penyelenggaraan asrama.
10. Bunga bank dan biaya-biaya bank lainnya.
11. Biaya pemeliharaan kampus.
12. Biaya penyusutan.
13. Kerugian karena penjualan/pengalihan harta.
14. Biaya penelitian dan pengembangan.
15. Biaya beasiswa dan pelatihan dosen/pengajar/karyawan.
16. Biaya pembelian buku perpustakaan dan alat-alat olah raga & peraga.
17. Subsidi/beasiswa bagi siswa yang kurang mampu.
18. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi yang terkena.
c. Alokasi biaya
Tidak semua sumber pendapatan organisasi nirlaba merupakan objek pajak,
maka tidak semua biaya pula dapat diperlakukan sebagai pengurang pendapatan.
Oleh karena itu penting untuk mengetahui alokasi biaya. Artinya, dari seluruh
pendapatan harus dipisahkan mana yang objek pajak atau bukan. Langkah-
langkah dalam mengalokasikan biaya adalah sebagai berikut.
1. Identifikasi pengeluaran dengan tepat. Mengidentifikasikan biaya yang
masuk kategori boleh dikurangkan terhadap pendapatan bruto dan biaya yang
tidak boleh dikurangkan.
2. Biaya yang terkait dengan orang pribadi. Bila terjadi pengeluaran yang
terkait dengan kenikmatan bagi perseorangan atau staf organisasi nirlaba maka
biaya ini masuk kelompok dalam perhitungan pajak penghasilan pasal 21. Bila
tidak dimasukkan dalam komponen pendapatan staf, maka biaya tadi harus
dikeluarkan dari perhitungan pajak penghasilan pasal 25.
d. Rugi/Laba
Rugi/Laba didapat dari selisih pendapatan dengan biaya. Bila posisi rugi
yang didapat maka tidak ada kewajiban membayar PPh pasal 25, tetapi tetap
diwajibkan memasukkan surat pemberitahuan tahunan sesuai batas akhir jadwal
pelaporan. Kerugian tersebut dapat dikompensasikan sampai batas maksimum 5
tahun ke depan. Sebaliknya, bila posisi laba maka wajib membayar PPh pasal 25.

9
Namun, sebelum menghitung besarnya pajak penghasilan yang terutang terlebih
dahulu dikompensasikan dengan kerugian bila ada.
Sesuai dengan peraturan Dirjen Pajak nomor: PER-44/PJ./2009, sisa lebih
yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali dalam
bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka
kepada pihak manapun dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang
membidanginya, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak
Penghasilan.
e. Kompensasi kerugian
Pada masa awal beroperasi, bisa jadi unit bisnis dari organisasi nirlaba
pendidikan masih merugi karena pendapatannya masih lebih kecil dibandingkan
dengan biayanya. Kerugian tersebut berarti tidak ada PPh pasal 25 yang dibayar.
Pada tahun berikutnya, bila sudah menghasilkan laba, pertama harus dilakukan
kompensasi atas kerugian tahun sebelumnya diperbolehkan dengan total
akumulasi kerugian selama 5 tahun atau 8 tahun untuk jenis usaha tertentu.
Dengan demikian, setelah keuntungan yang diperoleh dikmpensasi dengan
akumulasi kerugian selama 5 tahun masih menunjukkan saldo positif maka pajak
penghasilan dikenakan atas saldo tersebut.
f. Penghitungan penghasilan kena pajak
1. Menjumlahkan seluruh pendapatan yayasan/lembaga nirlaba.
2. Menjumlahkan seluruh pengeluaran lembaga dan melakukan
identifikasi biaya.
3. Menjumlahkan pendapatan dengan dikurangi biaya-biaya yang
diperkenankan menurut kriteria biaya dalam peraturan pajak.
4. Perhitungkan kompensasi kerugian dari tahun sebelumnya untuk
mendapatkan penghasilan kena pajak.
5. Hitung pajak yang harus dibayar dengan memperhitungkan bukti
potong pajak yang sudah dipotong dan belum final
g. Pajak yang harus dibayar
1. Bila pajak penghasilan pasal 25 dibayar dimuka
Bukti pendukung yang valid dan sah adalah Surat Setoran Pajak lembar
pertama. Pengisian surat setoran PPh pasal 25 mengikuti ketentuan
peraturan yang berlaku. Dalam surat setoran pajak tertera validasi dari

10
perbankan. Masa setoran pajak tersebut sesuai dengan masa pajak
terhadap pajaki yang terutang.
2. Bila pajak dipotong oleh pihak ketiga
Bukti potong yang dikeluarkan oleh pihak pemberi kerja dan asli.
Pengisian formulir bukti potong mengikuti ketentuan peraturan yang
berlaku. Masa pajak dalam bukti potong sesuai dengan masa pajak
terhadap pajak yang terutang. Bukti potong tersebut merupakan bukti
potong atas pengenaan penghasilan kena pajak tidak final.
PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun yang diterima atau diperoleh
wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan/jabatan,
jasa dan kegiatan. Pemberian dari organisasi nirlaba pendidikan yang tidak
dikenakan pemotongan PPh pasal 21 adalah pemberian berupa:
 pembayaran klaim asuransi
 penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dengan nama apa pun
yang diberikan oleh wajib pajak
 iuran pensiun yang diberikan kepada dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan penyelenggara Taspen serta
THT kepada Badan Penyelenggara Taspen dan Jamsostek yang dibayar
oleh pemberi kerja
 penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dengan nama apa pun
yang diberikan oleh pemerintah.
Penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan pajak penghasilan pasal
21 adalah sebagai berikut.
 Pegawai tetap organisasi nirlaba pendidikan
yaitu orang pribadi yang bekerja pada organisasi nirlaba pendidikan yang
menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala,
termasuk anggota Badan Pembina, Badan Pengawas yang secara teratur,
terus menerus ikut mengelola kegiatan organisasi nirlaba pendidikan.
 Pegawai lepas organisasi nirlaba pendidikan
yaitu orang pribadi yang bekerja pada organisasi nirlaba pendidikan yang
hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.
 Penerima pensiun dari organisasi nirlaba pendidikan
yaitu orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan
dengan jasa, jabatan atau kegiatan yang dilakukannya.
 Penerima honorarium dari organisasi nirlaba pendidikan

11
 Penerima upah dari organisasi nirlaba pendidikan
yaitu orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah
borongan atau upah berdasarkan satuan pekerjaan.
Contoh:

Budi Karyanto pegawai pada organisasi nirlaba pendidikan, menikah tanpa


anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. Organisasi nirlaba pendidikan
mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi
Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing
0,50% dan 0,30% dari gaji. Organisasi nirlaba pendidikan menanggung iuran
Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto
membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan.
Disamping itu organisasi nirlaba pendidikan juga mengikuti program pensiun
untuk pegawainya. Organisasi nirlaba pendidikan membayar iuran pensiun untuk
Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto
membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi
Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21
bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:

Gaji 3.000.000,00
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 15.000,00
Premi Jaminan Kematian 9.000,00
Penghasilan bruto 3.024.000,00
Pengurangan
1. Biaya jabatan
5%x3.024.000,00 151.200,00
2. Iuran Pensiun 50.000,00
3. Iuran Jaminan Hari Tua 60.000,00
261.200,00
Penghasilan neto sebulan 2.762.800,00
Penghasilan neto setahun

12
12x2.762.800,00 33.153.600,00
PTKP
- untuk WP sendiri 24.300.000,00
- tambahan WP kawin 2.025.000,00
26.325.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun 6.828.600,00
Pembulatan 6.828.000,00
PPh terutang
5%x6.828.000,00 341.400,00
PPh Pasal 21 bulan Juli
341.400,00 : 12 28.452,00

Penerima pensiun tetap setiap bulan


Untuk penerima pensiun tetap setiap bulan maka organisasi nirlaba
pendidikan sebagai pemberi pensiun akan melakukan pemotongan dengan
mekanisme sebagai berikut:
 PKP dihitung dari penghasilan bruto dikurang dengan biaya pensiun dan
PTKP saja,
 Besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
untuk penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 bagi penerima uang
pensiun yang dibayarkan secara berkala ditetapkan sebesar 5% dari
penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 2.400.000,00 setahun atau Rp.
200.000,00 sebulan. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau
Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai
Tetap Atau Pensiunan.
 PTKP yang diterapkan sama dengan PTKP pegawai tetap,
 Tarif PPh sama dengan tarif pegawai tetap.
Contoh:
Bapak Ahmadi adalah seorang pensiunan yang sebelumnya kerja pada organisasi
nirlaba pendidikan. Bapak Ahmadi mendapatkan uang pensiunan bulanan dari
Dana Pensiun sebesar Rp1.000.000 sebulan. Besarnya biaya pensiun per bulannya

13
bagi Bapak Ahmadi adalah 5% x Rp1.000.000 atau sama dengan Rp50.000.
Maksimum biaya pensiun sebulan adalah Rp200.000 sehingga biaya jabatan per
bulan bagi Bapak Ahmadi adalah Rp50.000.

Pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai


 PKP dihitung dari penghasilan bruto dikurangi PTKP,
 PTKP sama dengan PTKP pegawai tetap,
 Tarif PPh sama dengan tarif pegawai tetap.
Penerima penghasilan berupa:
a. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa dan pembayaran lain dengan nama
apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya dihitung
tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa
atau kegiatan yang diberikan.
b. Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota Badan Pembina, Badan
Pengawas yang tidak merangkap sebagai staf organisasi nirlaba
pendidikan.
c. Jasa produksi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai
organisasi nirlaba pendidikan.
d. Penarikan dana pensiun sekaligus dari pengelola dana pensiun yang
pendiriannya disetujui oleh Menteri Keuangan.
Contoh:
Ali bekerja untuk suatu organisasi nirlaba pendidikan dengan dasar upah
harian yang dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari ia bekerja selama 20 hari
dengan upah sehari Rp 210.000. Ali berstatus menikah, namun belum memiliki
anak. Perhitungan pajaknya adalah sebagai berikut.
Upah Januari 20 x Rp 210.000 = Rp 4.200.000
Penghasilan netto setahun adalah Rp 4.200.000 x 12 = Rp 50.400.000
PTKP dengan status tersebut (K/0) = Rp 26.325.000
Penghasilan kena pajak = Rp 24.075.000
PPh Pasal 21 setahun 5% x Rp 24.075.000 = Rp 1.203.750
PPh Pasal 21 bulan Januari Rp 1.203.750/12 = Rp 100.312,5

Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas


Pemotongan pajak penghasilan dilakukan dengan besaran 15% dari
penghasilan netto dimana penghasilan netto adalah 40% dari penghasilan bruto.
Dengan demikian, tariff efektif pemotongan untuk pembayaran jasa tenaga ahli
yang melakukan pekerjaan bebas adalah 6%. Khusus untuk tenaga ahli akuntan

14
dan hukum besarnya pajak yang harus dipotong adalah 7,5% (15% x 50%).
Termasuk pengertian tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas adalah tenaga
ahli professional seperti arsitek, akuntan, dokter, dan lain-lain yang sejenis.
Contoh:
Andi seorang arsitek yang bekerja untuk pembangunan gedung yang
dibiayai oleh organisasi nirlaba pendidikan. Untuk jasanya mendesain, ia
mendapat kontrak senilai Rp 20.000.000. Pembayaran atas kontrak ini harus
dipotong pajak penghasilan sebesar: 15% x 40% x Rp 20.000.000 = Rp 1.200.000

Penerima upah harian, mingguan, satuan, borongan dan uang saku harian
Pengertian untuk istilah di atas adalah sebagai berikut:
a. Upah/uang saku harian adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas
dasar jumlah hari kerja,
b. Upah mingguan adalah upah yang terutang atau dibayarkan secara
mingguan,
c. Upah satuan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar
banyaknya satuan yang dihasilkan,
d. Upah borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar
penyelesaian pekerjaan tertentu.
Atas penghasilan bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang
tidak dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan
kalender belum melebihi Rp 2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah),
berlaku ketentuan sebagai berikut.
- Tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan
sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp200.000,00
(dua ratus ribu rupiah);
- dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari
atau rata-rata penghasilan sehari melebihi Rp200.000,00 (dua ratus
ribu rupiah), dan jumlah sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah)
tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
Contoh:

15
Budi (belum kawin) bekerja pada organisasi nirlaba pendidikan dan
menerima upah sebesar Rp 300.000 per hari. Atas penghasilan ini organisasi
nirlaba pendidikan melakukan pemotongan pajak sebesar:
Upah yang dikenakan pajak Rp 300.000 – Rp 200.000 = Rp 100.000
Pajak penghasilan 5% x Rp 100.000 = Rp 5.000

Penerima uang pesangon yang dibayarkan sekaligus


PPh dipotong untuk uang pesangon yang dibayarkan oleh organisasi nirlaba
pendidikan sekaligus kepada pegawai dengan tarif sebagai berikut:
 5% dari pesangon sampai dengan Rp 50.000.000
 15% dari pesangon di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000
 25% dari pesangon lebih dari Rp 250.000.000 sampai dengan Rp
500.000.000
 30% dari pesangon lebih dari Rp 500.000.000

Penerima hadiah dan penghargaan dengan nama dan bentuk apa pun
Atas hadiah dan penghargaan dipotong PPh pasal 21 dengan tarif sebesar
25% dari jumlah hadiah atau penghargaan dan bersifat final.
Dalam hal penerima hadiah adalah:
 Orang pribadi dalam negeri dipotong sesuai pasal 17 UU No. 36/2008.
 WP luar negeri selain BUT dipotong sebesar 20% sesuai pasal 26
 Wajib Pajak Badan termasuk BUT dipotong sebesar 15% sesuai pasal 23
(SE-19/PJ.43/2001).
Contoh:
Dion ditetapkan sebagai juara dalam suatu lomba karya tulis tingkat nasional yang
diselenggarakan oleh organisasi nirlaba pendidikan. Atas ketetapan ini hadiah
uang yang diberikan berjumlah Rp 10.000.000. Pajak penghasilan yang harus
dipotong adalah:
25% x Rp 10.000.000 = Rp 2.500.000
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan,
organisasi nirlaba pendidikan merupakan pemotong PPh Pasal 23. Objek PPh
Pasal 23 dapat berupa pembayaran imbalan jasa perawatan atau pemeliharaan
bangunan yang digunakan organisasi nirlaba pendidikan kepada badan usaha.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008, atas jasa
seperti ini dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari penghasilan bruto.

16
Atas jasa pendidikan yang diberikan tidak dikenakan PPN (Pasal 5 PP No.
144 tahun 2000 sebagaimana telah dirunah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2012).
Kelompok jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah:
a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;
b. Jasa di bidang pelayanan sosial;
c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
e. Jasa di bidang keagamaan;
f. Jasa di bidang pendidikan;
g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan Pajak Tontonan;
h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
j. Jasa di bidang tenaga kerja;
k. Jasa di bidang perhotelan; dan
l. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum.
Akan tetapi, untuk pembangunan gedung untuk proses belajar mengajar,
baik yang dibangun sendiri (Pasal 16C UU PPN), atau melalui kontraktor tetap
dikenakan PPN (PP No. 146 tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP No.
38 tahun 2003).
Surat Dirjen Pajak No.S-24/PJ.532/2003 tentang Perlakukan Pajak
Pertambahan Nilai berisi poin-poin utama sebagai berikut.
1. Pengenaan PPN atas pembangunan gedung pendidikan yang dilakukan
sendiri oleh organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan adalah
sesuai dengan Pasal 4 huruf c dan Pasal 16C Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah. Pasal 16C UU PPN mengatakan bahwa
kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan

17
pertimbangan untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai.
2. Perlakuan PPN dalam penggunaan dana dari surplus lebih anggaran
organisasi nirlaba di bidang pendidikan untuk kegiatan investasi dalam
bentuk pembangunan gedung pendidikan yang pelaksanaannya dilakukan
sendiri tetap dikenakan PPN dengan tarif 10% dikalikan dengan Dasar
Pengenaan Pajak. Hal ini berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) KEP-
387/PJ/2002.
3. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) KEP-387/PJ/2002 sebagaimana telah diganti
dengan Peraturan Dirjen Pajak-PER-27/PJ/2010 dan diubah terakhir oleh
Peraturan Dirjen Pajak-PER-25/PJ/2012, perhitungan Dasar Pengenaan
Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% dari jumlah biaya
yang dikeluarkan dan atau dibayarkan untuk membangun sendiri, tidak
termasuk harga perolehan tanah.
Kegiatan membangun sendiri atas gedung dan prasarana pendidikan dengan
dana yang berasal dari rekening dana cadangan juga terutang PPN. Hal ini
diperjelas dalam Surat Dirjen Pajak No. S-24/PJ.532/2003 tentang Perlakukan
Pajak Pertambahan Nilai, yang menyebuntukan bahwa Perlakuan PPN atas
penggunaan dana dari surplus lebih anggaran organisasi nirlaba yang bergerak di
bidang pendidikan untuk kegiatan investasi dalam bentuk pembangunan gedung
pendidikan yang pelaksanaannya dilakukan sendiri tetap dikenakan PPN dengan
tarif 10% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak. Selanjutnya, berdasarkan
pasal 2 ayat (2) KEP-387/PJ/2002 sebagaimana telah diganti dengan Peraturan
Dirjen Pajak-PER-27/PJ/2010 dan diubah terakhir oleh Peraturan Dirjen Pajak-
PER-25/PJ/2012, perhitungan Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun
sendiri adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan untuk
membangun sendiri, tidak termasuk harga perolehan tanah.
Sebenarnya, pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri atas gedung
dan prasarana pendidikan oleh organisasi nirlaba yang bergerak di bidang
pendidikan pada dasarnya bertentangan dengan pasal 4 UU PPN tentang objek
pajak PPN. Sukardji (2005:116) mengemukakan bahwa salah satu prinsip dasar

18
PPN adalah bahwa suatu penyerahan Barang Kena Pajak (selanjutnya disebut
BKP) atau Jasa Kena Pajak (selanjutnya disebut JKP) dapat dikenakan pajak
apabila dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan (kegiatan usaha
atau pekerjaan) Pengusaha Kena Pajak (selanjutnya disebut PKP).
Dengan demikian kegiatan membangun sendiri atas gedung dan prasarana
pendidikan yang dilakukan oleh yayasan pendidikan seharusnya tidak dikenakan
PPN karena penyerahan jasa pembangunan kepada diri sendiri tersebut dilakukan
tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, dan pelaksanaan kegiatan
tersebut dilakukan oleh tukang harian lepas yang tidak dikukuhkan sebagai PKP.
Hal tersebut dipertegas dalam memori penjelasan pasal 4 UU Nomor 42
Tahun 2009 (UU PPN).
a) Salah satu syarat penyerahan JKP atau BKP dikenakan PPN adalah
penyerahan itu dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan PKP. Hal ini
bertentangan dengan Pasal 16 C yang menentukan bahwa PPN dikenakan
atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan
usaha atau pekerjaan.
b) Suatu penyerahan JKP atau BKP dikenakan PPN apabila yang menyerahkan
adalah PKP. Tukang batu atau tukang kayu harian yang menyerahkan jasa
membangun gedung yang dibangun sendiri oleh pemiliknya adalah bukan
PKP karena mereka tergolong sebagai pengusaha kecil, maka berdasarkan
Pasal 4 huruf c tidak dikenakan PPN, tetapi dalam pasal 16 C tetap
dikenakan PPN.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak atas pertambahan nilai
terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan selama kegiatan
operasinya. Pertambahan nilai dapat dilihat baik sebagai selisih antara penjualan
dan pembelian yang dilakukan perusahaan selama periode akuntansi, ataupun
sebagai penjumlahan atas upah, keuntungan, sewa, bunga dan pembayaran lainnya
yang bukan merupakan objek pajak selama periode akuntansi yang bersangkutan.
Berdasarkan pengertian PPN tersebut di atas, maka dapat dianalisis bahwa
setiap kegiatan membangun sendiri pada hakikatnya memberikan nilai tambah
(value added) bagi pemiliknya. Nilai tambah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi

19
pertambahan nilai (upah dan keuntungan), serta dari sisi selisih output dikurangi
dengan input (Tait, 1988:4). Hal ini berlaku pula pada organisasi nirlaba yang
begerak di bidang pendidikan, yang melakukan kegiatan membangun sendiri atas
gedung dan prasarana pendidikannya. Dengan demikian, atas kegiatan
membangun sendiri sudah tepat dikenakan PPN dengan tarif efektif 4%. Tarif
efektif tersebut menunjukkan bahwa pemerintah memberikan insentif bagi
individu yang melakukan kegiatan membangun sendiri sebesar 6%. Oleh karena
itu, jika ditinjau dari prinsip dasar PPN, kegiatan membangun sendiri dalam pasal
16 C UU PPN sudah sesuai dengan prinsip PPN.
Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 39/PMK.03/2010 sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan-163/PMK.03/2012 menyatakan
bahwa PPN terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% (sepuluh persen)
dengan Dasar Pengenaan Pajak. DPP itu sendiri adalah 40% (empat puluh persen)
dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun
bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah. Dengan kata lain tarif efektif
PPN atas kegiatan membangun sendiri sebesar 4%.
Saat terhutangnya PPN adalah pada saat mulai dibangunnya bangunan.
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap
merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-
tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
Selain itu, atas impor dan penyerahan buku pelajaran, dibebaskan dari
pengenaan PPN (Pasal 1 angka 3 PP No. 146 tahun 2000 sebagaimana telah
diubah dengan PP No. 38 tahun 2003).
Insentif pemerintah yang lain di bidang pendidikan adalah dalam rangka
pemberian beasiswa. Penerima beasiswa yang mengikuti pendidikan formal
dan/atau pendidikan nonformal di dalam negeri dan/atau di luar negeri
dikecualikan dari objek PPh. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 246/PMK.03/2008 tentang Beasiswa yang Dikecualikan dari Objek Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 154/PMK.03/2009.

20
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang
yang terdiri atas tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal
yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai
hubungan istimewa dengan:
1. pemilik
2. komisaris
3. direksi
4. pengurus dari Wajib Pajak pemberi beasiswa.
Adapun lebih lanjut diatur bahwa komponen beasiswa tersebut terdiri dari
biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), biaya ujian, dan biaya
penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil. Selain itu, komponen
tersebut juga dapat berupa biaya untuk pembelian buku dan/atau biaya hidup yang
wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar.

Aspek Perpajakan Penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)


Di lihat dari aspek hukum pajak, penanggung jawab dana BOS adalah
sebagai berikut. Dalam hal dana BOS diberikan kepada Sekolah Negeri, maka
pengaggung jawab atau bendaharawan BOS merupakan pemungut PPh Pasal 22
dan PPN. Penanggung jawab atau bendaharawan BOS ini harus memiliki NPWP.
Dalam hal Dana BOS diberikan kepada sekolah swasta, maka penanggung
jawab atau bendaharawan dana BOS bukan merupakan Pemungut PPh pasal 22
dan PPN. Penanggung jawab atau bendaharawan dana BOS ini tidak harus
memiliki NPWP. Untuk kemudahan administrasi mereka dapat menggunakan
NPWP sekolah atau yayasan sekolah. Pada umumnya, kewajiban perpajakan yang
terkait dengan penggunaan dana BOS tersebut meliputi pemotongan PPh pasal 21
atas penghasilan berupa honorarium atau gaji, pemungutan PPh pasal 22 atas
penghasilan penjualan barang, dalam hal penaggung jawab atau bendaharawan
BOS merupakan pemungut PPh pasal 22, pemotongan PPh pasal 23 atas
penghasilan pemberi jasa, serta pemungutan PPN atas Pembelian Barang Kena

21
Pajak dan Perolehan Jasa Kena Pajak, dalam hal penanggung jawab atau
bendaharawan BOS merupakan pemungut PPN.
Kewajiban perpajakan atas penggunaan dana BOS adalah untuk pembelian
ATK/Bahan/Penggandaan dan lain-lain (baik untuk keperluan pengadaan formulir
pendaftaran maupun untuk keperluan ujian sekolah, ulangan umum bersama, dan
ulangan umum harian), pembelian bahan-bahan habis pakai, seperti buku tulis,
kapur tulis, pensil, dan bahan praktikum, pembelian bahan-bahan untuk
perawatan/perbaikan ringan gedung sekolah, dan pembelian peralatan ibadah oleh
pesantren.
Petunjuk operasional perpajakan atas BOS ini sudah dituangkan dalam Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE–02/PJ./2006 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Sehubungan Dengan Penggunaan
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Oleh Bendaharawan Atau Penanggung
Jawab Pengelolaan Penggunaan Dana BOS Di Masing-Masing Unit Penerima
BOS. Namun demikian, sebagaimana kita ketahui bahwa ketentuan perpajakan
selalu berkembang, apalagi dengan terbitnya Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008, maka aturan pelaksanaan Pajak Penghasilanpun banyak yang sudah
berubah.
Dengan kata lain, SE-02/PJ/2006 tidak lagi dapat dijadikan rujukan
sepenuhnya tentang petunjuk pelaksanaan perpajakan program BOS karena
beberapa peraturan yang dijadikan rujukan sudah berubah.
Berikut ini, peraturan perpajakan terkait program BOS yang sebagian
dirujuk juga oleh SE-02/PJ/2006.
PPh Pasal 21: Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 dan Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan PER-
57/PJ/2009 dan terakhir diubah oleh PER-31/PJ/2012 . PPh Pasal 22: Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008 dan terakhir diubah oleh
Peraturan Menteri Keuangan-154/PMK.03/2010. PPh Pasal 23: Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008. PPN: Peraturan Pemerintah Nomor 146

22
Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003

Aspek PPh Pasal 21


Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-
31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan PER-57/PJ/2009 dan terakhir
diubah oleh PER-31/PJ/2012, baik sekolah negeri maupun sekolah bukan negeri
termasuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sehingga jika ada pembayaran
penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21, maka baik sekolah negeri
maupun bukan negeri harus melakukan pemotongan PPh Pasal 21.
Dalam hal dana BOS digunakan untuk honor pada kegiatan penerimaan
siswa baru, kesiswaan, pengembangan profesi guru, penyusunan laporan BOS,
dan kegiatan pembelajaran pada SMP Terbuka, maka pemotongan PPh Pasal 21
tunduk kepada pemotongan PPh pasal 21 atas peserta kegiatan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah
dengan PER-57/PJ/2009 dan terakhir diubah oleh PER-31/PJ/2012. Namun
demikian, jika penerima honor adalah PNS, maka pemotongannya tunduk pada
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010. Dengan demikian,
perlakuan pemotongan PPh Pasal 21 atas honor jenis ini adalah sebagai berikut.
Atas pembayaran honor kepada guru dan pegawai lain yang bukan PNS,
dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif Pasal 17 UU PPh, yang pada umumnya adalah
5% dari jumlah bruto. Atas pembayaran honor kepada PNS Golongan I dan
Golongan II bersifat final dengan tarif sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto
honorarium atau imbalan lain. Atas pembayaran honor kepada PNS Golongan III
bersifat final dengan tarif sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium
atau imbalan lain. Atas pembayaran honor kepada PNS Golongan IV bersifat final
dengan tarif sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau
imbalan lain.
Dalam hal dana BOS digunakan untuk membayar honor bulanan kepada
guru honorer, guru tidak tetap (GTT) atau pegawai tidak tetap (PTT), yang bukan

23
PNS, maka pemotongan PPh Pasal 21 tunduk kepada ketentuan dalam Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan PER-
57/PJ/2009 dan terakhir diubah oleh PER-31/PJ/2012. Dalam konteks
penghitungan PPh Pasal 21 ini, guru jenis ini dapat digolongkan ke dalam
pegawai tetap atau pegawai tidak tetap. Apabila honor bulanan masih di bawah
PTKP, maka atas honor ini tidak dipotong PPh Pasal 21. Besarnya PTKP minimal
untuk tahun 2013 adalah Rp24.300.000 setahun atau Rp2.025.000 sebulan.
Apabila melebihi PTKP, maka penghasilan yang di atas PTKP dikenakan tarif
Pasal 17 UU PPh (pada umumnya adalah 5% saja). Perhitungan di atas didasarkan
pada asumsi bahwa guru honorer atau GTT ini tidak diberikan honor bulanan lain
selain dana yang berasal dari dana BOS ini.
Penggunaan dana BOS berikutnya yang merupakan objek PPh pasal 21
adalah pembayaran honor untuk tukang atau tenaga lepas yang melaksanakan
kegiatan perawatan atau pemeliharaan sekolah. Pengenaan PPh Pasal 21 tunduk
kepada Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah
dengan PER-57/PJ/2009 dan terakhir diubah oleh PER-31/PJ/2012 sebagai
berikut.
Dalam hal upah harian belum melebihi Rp. 200.000 dan jumlah kumulatif
yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum
melebihi Rp. 2.025.000, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong
Dalam hal upah harian telah melebihi Rp. 200.000 dan sepanjang jumlah
kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan
belum melebihi Rp 2.025.000 maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah
sebesar upah harian dikurangi Rp. 200.000 dikalikan 5%.
Dalam hal upah harian melebihi Rp. 200.000 dan sepanjang jumlah
kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan
belum melebihi Rp 2.025.000 maka PPh Pasal 21 harus dipotong. Jumlah sebesar
Rp 200.000 tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
Biaya jabatan, sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp
500.000 sebulan atau Rp 6.000.000 setahun.

24
Aspek PPh Pasal 22
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 yang
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008, dan
telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.03/2010, yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian
barang yang dananya berasal dari APBN/APBD adalah bendaharawan pemerintah.
Dengan demikian, sekolah bukan negeri yang menerima dana BOS tidak
berkewajiban untuk memungut PPh Pasal 22.
Sebaliknya, sekolah negeri adalah pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian
barang yang dananya berasal dari BOS. Dengan demikian atas pembayaran
pembelian barang yang berasal dari dana BOS dipotong PPh pasal 22 sebesar
1,5% dari harga pembelian. Jenis pembelian ini misalnya pembelian
ATK/bahan/penggandaan dan lain-lain (baik untuk keperluan pengadaan formulir
pendaftaran maupun untuk keperluan ujian sekolah, ulangan umum bersama dan
ulangan umum harian), pembelian bahan-bahan habis pakai, seperti buku tulis,
kapur tulis, pensil dan bahan pratikum, pembelian bahan-bahan untuk
perawatan/perbaikan ringan gedung sekolah dan pembelian peralatan ibadah oleh
pesantren. Pemotongan PPh Pasal 22 juga dilakukan dalam hal sekolah negeri
membeli buku-buku pelajaran pokok maupun buku penunjang perpustakaan.
Dalam hal nilai pembelian tersebut tidak melebihi jumlah Rp. 1.000.000
(satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, maka atas
pengadaan atau pembelian barang tersebut tidak dilakukan pemungutan PPh Pasal
22.

Aspek PPh Pasal 23


Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 UU PPh, baik sekolah negeri
maupun sekolah bukan negeri merupakan pemotong PPh Pasal 23. Objek PPh
Pasal 23 dalam penggunaan dana BOS bisa timbul berupa pembayaran imbalan
jasa perawatan atau pemeliharaan sekolah kepada badan usaha. Berdasarkan

25
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008, atas jasa seperti ini
dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari penghasilan bruto.

Aspek Pajak Pertambahan Nilai


Aspek PPN dalam penggunaan dana BOS adalah terkait dengan
pemungutan PPN atas pembelian barang atau jasa yang dananya berasal dari
APBN/APBD. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
563/KMK.03/2003 tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah Dan Kantor
Perbendaharaan Dan Kas Negara Untuk Memungut, Menyetor, Dan Melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Beserta Tata
Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya, yang ditunjuk sebagai
pemungut PPN ini adalah bendaharawan pemerintah. Dengan demiekian, sekolah
yang bukan negeri tidak ada kewajiban pemungutan PPN.
Sebaliknya, bendahara sekolah negeri adalah bendaharawan pemerintah
sehingga ia memiliki kewajiban pemungutan PPN atas pembelian barang kena
pajak atau jasa kena pajak dengan cara memungut PPN terutang dan menyetorkan
ke kas negara atas nama rekanannya.
PPN tidak dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dalam hal pembayaran
yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. PPN juga tidak dipungut dalam hal
pembayaran atas penyerahan BKP/JKP yang PPN-nya dibebaskan.
Jadi, terkait dengan penggunaan dana BOS oleh sekolah negeri, perlakuan
PPN-nya adalah sebagai berikut. Dipungut PPh Pasal 22 atas pembelian
ATK/bahan/penggandaan dan lain-lain pada kegiatan penerimaan siswa baru,
kesiswaan, ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar
siswa, pembelian bahan-bahan habis pakai seperti buku tulis, kapur tulis, pensil
dan bahan praktikum, serta pembelian bahan untuk perawatan dan pemeliharaan
sekolah. PPN tidak dipungut dalam hal pembayaran yang jumlahnya paling
banyak Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah.

26
Atas pembelian buku-buku teks pelajaran umum dan agama serta kitab suci,
PPN-nya dibebaskan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 146 Tahun 2000
sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2003. Dengan demikian
atas pembelian buku-buku seperti ini bendaharawan sekolah negeri tidak
memungut PPN.

Tarif Lebih Tinggi


Dengan berlakunya UU Nomor 36 Tahun 2008, ketentuan tentang
pemotongan dan pemungutan PPh mengalami perubahan. Salah satunya adalah
penerapan tarif lebih tinggi bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki
NPWP. Untuk itu perlu diperhatikan oleh bendahara BOS apakah penerima
penghasilan memiliki NPWP atau tidak.
Untuk PPh Pasal 21, penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP
dipotong pajak dengan tarif 20% lebih tinggi. Misal, apabila tarif normal 5%
maka untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong tarif 20% lebih tinggi menjadi
6%. Untuk PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23, penerima penghasilan yang tidak
memiliki NPWP dikenakan tarif 100% lebih tinggi. Misal, apabila tarif normal
PPh Pasal 22 adalah 1,5%, bagi yang tidak memiliki NPWP, tarifnya adalah 3%.
Apabila tarif PPh Pasal 23 bagi yang memiliki NPWP adalah 2%, bagi yang tidak
memiliki NPWP tarifnya adalah 4%.

2.4 Aspek Perpajakan Organisasi (perusahaan) atau Wajib Pajak yang


Memberikan Sumbangan di Bidang Pendidikan
Pemerintah menyadari bahwa bidang pendidikan, penelitian, dan
pengembangan dilaksanakan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, adalah
hal yang wajar jika di bidang-bidang tersebut diberikan fasilitas/kemudahan-
kemudahan. Insentif pajak bagi pihak ketiga yang memberikan sumbangan di
bidang pendidikan merupakan hal yang penting dan dapat meningkatkan gairah
kedermawanan para donatur pribadi maupun perusahaan untuk semakin banyak
menyumbang bagi sektor sosial.

27
Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j dan huruf l UU PPh ,
terhadap Wajib Pajak yang memberikan sumbangan dalam rangka penelitian dan
pengembangan yang dilakukan di Indonesia serta sumbangan fasilitas pendidikan
maka sumbangan tersebut menjadi biaya yang dapat mengurangi penghasilan kena
pajak Wajib Pajak tersebut sesuai dengan persyaratan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan
Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan
Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan
Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu
dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi
wajib pajak terdiri atas:
1. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang
merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan
secara langsung melalui, badan penanggulangan bencana atau disampaikan
secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat
izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana
penanggulangan bencana;
2. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan
sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian
dan pengembangan;
3. sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa
fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan;
4. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan
sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan
suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang
disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga;
5. biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk
kepentingan umum dan bersifat nirlaba.

28
Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 (satu), angka 2 (dua),
angka 3 (tiga), dan angka 4 (empat) dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau
barang. Biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam
angka 5 (lima) diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.
Nilai sumbangan dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud dalam angka
1 (satu), angka 2 (dua), angka 3 (tiga), dan angka 4 (empat) ditentukan
berdasarkan:
a. nilai perolehan, apabila barang yang disumbangkan belum disusuntukan;
b. nilai buku fiskal, apabila barang yang disumbangkan sudah disusuntukan;
c. harga pokok penjualan, apabila barang yang disumbangkan merupakan
barang produksi sendiri.
Nilai biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam
angka 5 (lima) ditentukan berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan
untuk membangun sarana dan/atau prasarana.
Sumbangan dan/atau biaya tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto dengan syarat:
1. wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya;
2. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun
Pajak sumbangan diberikan;
3. didukung oleh bukti yang sah;
4. lembaga yang menerima sumbangan dan/ atau biaya memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.
Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak
melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.
Sumbangan dan/atau biaya tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
bagi pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak
yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang
tentang Pajak Penghasilan.

29
Insentif pemerintah yang lain di bidang pendidikan adalah dalam rangka
pemberian beasiswa. Bagi perusahaan pemberi beasiswa, biaya pemberian
beasiswa dapat dibebankan sebagai biaya dengan memperhatikan kewajarannya.
Sesuai Pasal 6 ayat (1) huruf g UU PPh, besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.

2.5 Isu Terkini Terkait dengan Sumbangan di Bidang Pendidikan


UI Akan Buka Program Magister Manajemen Aktuaria
Selasa, 29 Januari 2013 | 18:59 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com
Universitas Indonesia akan membuka program Magister Manajemen
Aktuaria pada bulan Februari 2013, karena pertumbuhan asuransi tidak seimbang
dengan aktuaris (ahli aktuaria). Berdasarkan pernyataan tertulis yang diterima
Antara, program yang dirancang atas kerja sama antara Universitas Indonesia
dengan PT Prudential Life Assurance Prudential Indonesia itu telah ditandatangani
di Jakarta pada 28 Januari lalu.
Pejabat Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jossy Pranata
Moeis, mengatakan kerja sama dengan Prudential Indonesia ini merupakan
langkah awal bagi pengembangan industri asuransi untuk lebih maju lagi. Jossy
juga mengharapkan kerja sama pembuatan Program Magister Manajemen
Aktuaria ini bisa meningkatkan peran Universitas Indonesia sebagai pencetak
tenaga kerja ahli aktuaria siap pakai.
Sementara itu, Direktur Utama Prudential Indonesia, William Kuan,
mengatakan program kerja sama dengan Universitas Indonesia ini merupakan
bentuk kepedulian Prudential terhadap perkembangan industri asuransi. "Program
ini dilaksanakan Prudential sebagai bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan
yang di bidang edukasi," katanya.
Dalam kerja sama kali ini, Prudential tidak hanya membantu dalam
penyediaan infrastruktur tapi juga dalam pembentukan kurikulum. Posisi aktuaris

30
dalam perkembangan produk asuransi adalah salah satu kunci penting dalam
lingkup bisnis perusahaan yang secara nyata berpengaruh terhadap jenis
spesifikasi produk yang ditawarkan.
Aktuaria sendiri adalah salah satu cabang ilmu yang bersifat multidisiplin
ilmu yang menggunakan prinsip-prinsip yang ada pada statistika dan juga
matematika dalam rangka memperkirakan, mengkalkulasi, membuat suatu
perencanaan, model dan gambaran tentang prinsip-prinsip yang berlaku pada
dunia asuransi, dana pensiun, dan keuangan pada umumnya.
Program Magister Manajemen Universitas Indonesia memiliki enam
konsentrasi yakni Program Umum Manajemen Keuangan, Manajemen
Pemasaran, Manajemen Operasi, Manajemen Sumber Daya manusia, Manajemen
Umum. Selain itu Magister Manajemen Universitas Indonesia juga memiliki
empat konsentrasi program khusus yakni Manajemen Pasar Modal, Manajemen
Keuangan Syariah, Manajemen Resiko, serta yang terbaru Manajemen Aktuaria,
serta satu Program Internasional.

2.6 Contoh Kasus


2.6.1 Dari Sisi Organisasi Nirlaba yang Bergerak di Bidang Pendidikan
Jika sebuah organisasi nirlaba yang menyelenggarakan pendidikan mencatat
laba sebesar Rp 10 miliar pada tahun 2011, organisasi tersebut dapat
menggunakan fasilitas pajak yaitu yang seharusnya pada tahun 2011 dikenakan
PPh sebesar Rp 2,5 miliar (25% x Rp 10 miliar) tetapi tidak akan dikenakan PPh
jika organisasi tersebut menggunakan laba sebesar Rp 10 miliar tersebut dalam
jangka waktu 4 tahun untuk menambah bangunan kelas atau menambah buku
perpustakaan. Artinya, organisasi nirlaba yang menyelenggarakan pendidikan
tersebut terbebas dari tagihan PPh. Namun, jika sampai dengan tahun 2015 (4
tahun setelah 2011) laba tersebut tidak digunakan semuanya, maka laba tersebut
akan dikenakan PPh.
2.6.2 Dari Sisi Donatur

31
Pada tahun 2007, laba bersih sebelum pajak PT Fast adalah Rp. 500.000.
Pada tahun 2008 PT Fast memberikan sumbangan dalam rangka pembangunan
infrastruktur pendidikan kepada Universitas Indonesia sebesar 40.000.
Jawab:

PT Fast
Rekonsiliasi Fiskal Tahun 2008
(dalam ribuan rupiah)
Koreksi fiskal
Keterangan Menurut
Positif Negatif
Menurut Fiskal
Akuntansi

Penjualan / Peredaran 1.250.000 -- -- 1.250.000


-/- HPP (500.000) -- -- (500.000)
Penghasilan Bruto Usaha 750.000 -- -- 750.000
Biaya Usaha :
-Gaji 55.000 -- -- 55.000
-Tunjangan transport 45.000 -- -- 45.000
karyawan
-Biaya makan kantor 6.000 -- -- 6.000
-Biaya 20.000 20.000 -- 0
Pengobatan.ditanggung
perusahaan
-Biaya training karyawan 15.000 -- -- 15.000
-Biaya seragam satpam 12.000 -- -- 12.000
-Biaya listrik & telpon kantor 3.000 -- -- 3.000
-Penyusutan aset tetap 10.000 -- -- 10.000
-Sumbangan pendidikan 40.000 15000 -- 25.000

Total Biaya Usaha (206.000) (161.000)

32
Penghasilan Neto dari Usaha 544.000 589.000
Laba Bersih Sebelum Pajak 544.000 589.000

Sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto tahun ini yaitu
maksimal 5% dari laba bersih sebelum pajak tahun sebelumnya. Dalam kasus PT
Fast, Wajib Pajak memberikan sumbangan tahun ini sebesar Rp40.000, sedangkan
sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yaitu sebesar Rp
25.000. maka nilai yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto hanya sebesar
Rp 25.0000.

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa dengan adanya insentif atau keringanan pajak yang diberikan oleh
pemerintah, diharapkan dapat memberikan payung hukum untuk menguatkan
kerja sama badan nirlaba di bidang pendidikan dengan pihak lain.
Pemerintah menyadari bahwa bidang pendidikan, penelitian, dan
pengembangan bertujuan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, adalah
hal yang wajar apabila bidang-bidang tersebut diberikan fasilitas dan kemudahan
oleh pemerintah. Di sisi lain, insentif pajak bagi donatur merupakan hal yang

33
penting dan dapat meningkatkan gairah kedermawanan para donatur pribadi
maupun perusahaan untuk semakin banyak menyumbang di sektor sosial.
Ketentuan tersebut sekaligus untuk menghindari pengelolaan pendidikan
sebagai investasi dan komersialisasi, sehingga penambahan dana pendidikan tidak
lagi mengandalkan iuran dari siswa atau mahasiswa.

DAFTAR REFERENSI

____. (2010, 25 Januari). Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di


Indonesia. diakses pada 22 Februari 2013, 11:40 dari
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/01/25/implementasi-
tanggung-jawab-sosial-perusahaan-di-indonesia/
____. (2011, 30 Mei). Aturan PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri. Diakses
pada 2 Maret 2013, 15:39 dari
http://kerockan.blogspot.com/2011/05/aturan-ppn-atas-kegiatan-
membangun.html?m=0
____. (2012, 19 November). CSR Bukan Hanya Beban. diakses pada 22 Februari
2013, 12:06 dari http://thepresidentpostindonesia.com/?p=1494
____. (2012, 21 Agustus). Peranan Pajak Memajukan Pendidikan. diakses pada
22 Februari 2013, 07:30 dari http://www.pajak.go.id/content/peranan-pajak-
memajukan-pendidikan
____. (2013, 14 Februari). Pendidikan. diakses pada 22 Februari 2013, 13:05 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan
Agus, Setiadi. (____). CSR untuk Masa Depan Bangsa dan Dunia. diakses pada
22 Februari 2013, 13:44 dari http://www.ykai.net/index.php?

34
view=article&id=103%3Acsr-untuk-masa-depan-bangsa-dan-dunia-
&option=com_content&Itemid=121
Doly, Taripar. (2013, 6 Januari). Sekilas Tentang Pajak Organisasi Nirlaba.
diakses pada 22 Februari 2013, 12:34 dari
http://www.nusahati.com/2013/01/sekilas-tentang-pajak-organisasi-
nirlaba/
Hasibuan, Dony. (2011, 12 September). Insentif Pajak bagi Organisasi Nirlaba
dan Penyumbang. diakses pada 22 Februari 2013, 12:34 dari
http://keuanganlsm.com/article/perpajakan/insentif-pajak-bagi-
organisasi-nirlaba-dan-penyumbang/
Nainggolan, Pahala dan Riyanto Wujarso. 2004. Perpajakan untuk Yayasan dan
Lembaga Nirlaba Sejenis. Jakarta: CV Teruna Grafica.
Rahayu, Army. (____). Perpajakan Atas Institusi Pendidikan di Indonesia.
Diakses pada 1 Maret 2013, 21:30 dari
http://ekonomiaccountancy.blogspot.com/2011/12/perpajakan-atas-institusi-
pendidikan-di.html
Setiyawan, Iwan. (2013, 29 Januari). UI Akan Buka Program Magister Manajemen
Aktuaria. diakses pada 22 Februari 2013, 11:24 dari
http://edukasi.kompas.com/read/2013/01/29/18590324/UI.Akan.Buka.Progr
am.Magister.Manajemen.Aktuaria
Silvia, Yulia. (2011, 22 Februari). Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan
dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung
dan Prasarana Pendidikan dalam Yayasan Pendidikan. diakses pada 1
Maret 2013, 21:26 dari
http://yuliasilvianti.wordpress.com/2011/02/22/pengenaan-pajak-atas-
penghasilan-yayasan-dan-pajak-pertambahan-nilai-atas-kegiatan-
membangun-sendiri-gedung-dan-prasarana-pendidikan-dalam-yayasan-
pendidikan/
Wahyudi, Dudi. (2010, 3 Januari). Aspek Perpajakan Dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). diakses pada 15 Mei 2013, 20:18 dari
http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-penghasilan/aspek-perpajakan-bantuan-
operasional-sekolah-bos.html

35

Anda mungkin juga menyukai