1. Pendidikan,
2. Kesehatan,
Pada perlakuan biaya pada yayasan terdapat beberapa perbedaan pengakuan biaya yang
boleh diperhitungkan antara bentuk kegiatan usaha yayasan yang satu dengan yayasan lainnya
Pengakuan Penghasilan dan Biaya pada Kegiatan Usaha Yayasan Pendidikan
3. Asrama mahasiswa
6. Sarana olahraga
7. Inventaris kantor
Apabila setelah lewat jangka waktu 4 tahun yayasan tidak mempergunakannya, dana
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan lersebut akan diakui sebagai penghasilan dan
dikenakan PPh pada tahun pajak berikutnya. Dengan diperkenankannya dana pembangunan
tersebut sebagai biaya, dan apabila seluruh sisa lebih yayasan dimasukkan sebagai dana
pembangunan serta direalisasi pembangunannya dalam 4 tahun, maka terhadap dana pendidikan
yayasan pendidhkan itu tidak akan terutang PPh.
Dalam ketentuan perpajakan, yuyasan yang bergerak pada bidang kesehalan diperlakukan
seperti badan usaha lainnya, di mana sisa lebih dari penerimannya diperlakukan seperti laba,
yang dikenakan PPh dengan tarif yang sama seperti badan usaha lainnya.
Penerimaan yayasan kesehatan yang harus diakui sebagai penghasilan di antaranya adalah:
3. Penghasilan dari perawatan kesehatan seperti uang pemeriksaan dokter, operasi, rontgen,
scaning pemeniksaan laboratorium dan lainnya.
4. Penghasilan dari penyewaan alat alat kesehatan, mobil ambulan, dan sebagaimya
6. Penjualan obat.
Penghasilan lain serta biaya-biaya yang dikeluarkan oleh yayasan diperlakukan sama seperti
pada bentuk badanusaha lain.
Perlakuan Penghasilan dan Biaya pada Kegiatan Usaha Yayasan Agama dan Sosial
Lainnya
Yayasan keagamaan dan sosial lain, termasuk yang bukan berorientasi mencari laba,
tetap diperlakukan sebagai subjek pajak. Namun demikian penghasilan jasa pada yayasan
kecagamaan atau yayasan sosial pada dasarmya bukan merupakan objek pajak sehingga apabila
penghasilan yayasan semata-mata dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak maka
atas yayasan keagamaan maupun sosial tidak akan terurang PPh. Namun demikian apabila
yayasan tersebut mempuinyai penghasilan sebagai objek pajak maka akan tetap terutang PPh.
Demikian pula apabila yayasan tersebut melakukan transaksi, seperti pembayaran berbagai jasa,
dividen, royalti, sewa maupun pembayaran gaji dan sejenisnya, muka setap berkewajiban untuk
memotong maupun memungut PPh ataupun PPn.
Dari berbagai pertimbangan atas berbagai kewajiban pepajakan dari yayasan, maka
disimpulkan bahwa yayasan menurut ketentuan perpajakan diperlakukan seperti berikut ini :
1. Sisa lebih yayasan diperlakukan sebagai laba seperti pada badan usaha lainnya.
2. Pengakuan penghasilan maupun biaya pada yayasan sama dengan badan usaha lainnya.
3. Khusus yayasan pendidikan diberi fasilitas untuk dapat mengakui dana pembangunan
sebagai biaya.
Pada dasamya pengenaan PPh atas sisa lebih dari penerimaan yang didapat dari
penerimaan merupakan objek pajak yang dikenakan PPh sesuai dengan badan usaha lainnya.
Demikian juga kewajiban pemungutan maupun pemotongan PPh yang harus dilakukan oleh
yayasan, sama dengan bentuk badan usaha lainnya. Pengenaan PPn pada yayasan juga sama
dengan kegiatan usaha lain, tergantung barang atau jasa yang menjadi produk yayasan. Namun
demikan hampir kebanyakan produk yayasan berupa jasa yang tidak dikenakan PPh, seperti jasa
pendidikan, jasa pelayanuan kesehatan, maupun jasa keagamaan.
Kerjasama Operasi (K.SO) adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih di mana masing-masing
sepakat untuk melakukan suatu usaha bersama dengan mengsgunakan aset dan atau hak usaha
yang dimiliki dan secara bersama menanggung risiko atas usaha tersebut. Kerja sama operasi
menupakan kerjasama operasi dua badan usaha atau lebih yang sifatnya sementara, hanya untuk
melaksanakan suatu proyek tertentu, sehingga bukan merupakan subjek pajak. Pemilihan
kegiatan pada kerja sama operasi daput dilakukan dengan mempertimbangkan keteniuan yang
berkaitan dengarn pengenaan PPh dan PPn.
KSO dengn entitas hukum terpisah dapat berbentuk badan hukum atau persekutuan, termasuk di
antaranya bentuk Joint Operation.
Telkom, dalam kegiatan pengelolaan dan pengoperasian saranajaringan yang telah ada dan
sarana jaringan baru membentuk KSO dengan mitra usaha. Mitra usaha yang membentuk KSO
dengan Telkom adalah badan usaha patungan Indonesia yang didirikan dalam rangka penanaman
modal asing.
Unit KSO adalah organisasi kemitraan yang bertanggıng-jawab atas pengclolaan dan
pengoperasian sistem KSO yang merupakan salah satu divisi Telkom, tetapi secara administrasi
terpisah sama sekali dari Telkom maupun mitra usaha. KSO juga sering dibentuk oleh
Kontraktor Production Sharing (KPS) dengan mitra usahanya untuk melaksanakan sebagian dari
kegiatan usaha.
KSO juga dibentuk oleh rumah sakit, misalnya dalam pengoperasian pelayanan medis
berupa foto rontgen dengan sistem bagi hasil antara rumah sakit dengan badan usaha swasta
KSO Tanpa Entitas Hukum Terpisah
KSO tanpa entitas hukum terpisah dapat berbentuk Pengendalian Bersama Operasi (PBO)
dan Pengendalian Bersama Aset (PBA). Dalam pola PBO atau PBA, masing-masing partisipan
KSO memiliki kendali yang signifikan atas operasi atau aset KSO (jointly controller). KSO
tanpa entitas hukum juga dapat hanya satu pihak saja dari partisipam KSO yang memiliki kendali
yang signifikan atas aset dan operasi KSO. PPh atas penghasilan JO dari proyek tersebut
dikenakam kepada masing-masing badan anggatanya sesuai dengan bagian penghasilan masing-
masing.
Joint Operation (JO) sama dengan kerjasama operasi, merupakan kerjasam operasi dua
badan usaha atau lebih yang bersifat sementara, hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu
sampai proyek tersebut selesai dikerjakan. Dengan demikian JO bukan merupakan subjek pajak.
Pengertian JO sama dengan KSO, tetapi JO banyak digunakan pada kegiatan usaha
kontraktor, sementara perlakuan perpajakan pada JO sama dengan perlakukan perpajakan pada
KSO. Pengertian sementara mengandung arti hahwa setelah proyek tersebut selesai maka Joint
Operation itu juga selesai dan harus dibubarkan. Dalam praktik seringkali terdapat proyek yang
berumur bertahun-tahun sehingga umur JO pun juga menjadi bertahun-tahun. Joint Operation
dilakukan oleh beberapa perusahan karena berbagai alasan, seperti proyek yang akan dikerjakan
cukup besar sehingga memerlukan pendanaan besar, atau diperlukan keahlian yang bermacam-
macam, yang terkadang tidak dipunyai oleh satu perusahaan sehingg penusahaan itu merasa
perlu untuk bekerja sama dengan perusahaan lain. Pilihan untuk membentuk JO guna melakukan
suatu proyek dibanding dengan dilaksanakan sendiri adalah karena keterbatasan kemampuan
perusahaan. JO juga dapat terjadi karena ketentuan mengharuskan penyelesaian proyek
dilakukan oleh Joint Operation, seperti pada kontrak karyawan dan kontrak operasi bersama.
Penghasilan yang didapat oleh KSO dihitung dengan cara yang sama dengan badan usaha
lain. yaitu dengan membedakan penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek
pajak. Demikian juga berkaitan biaya. juga terdapat biaya yang diperbolehkan sebagai pengurang
penghasilan bruto dan ada yang tidak diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto.
Hanya saja penghasilan yang didapat oleh KSO tidak terutang PPh seperti pada KSO, tetapi
penghasilan yang dibagikan kepada anggota KSO harnus diakui secbagai penghasilan yang akan
diperhitungkan besarnya PPh terutang setelah digabungkan dengan penghasilan anggota KSO
sendiri. Ada berbagai bentuk penghasilan yang pengakuannya dilakukan secara khusus pada
berbagai bentuk KS0, seperti pada KSO Telkom dan pada JO.
Pendapatan KSO yang harus dibagi atau Distributable Transfer Revenues (DTR) adalah
pendapatan bersih unit KSO, yaitu total pendapatan KSO - Pendapatan Minimum Telkom -Biaya
Operasi KSO.
Pendapatan Minimum Telkom, atau Minimam Telkomm Reveanes (MTR) adalah jumlah
yang harus dibayar KSO atas pemanfaatan penggunaan hak pengelolaan jaringan telekomunikasi
milik Telkom. Laba dari KSO tidak terutang pajak, tetapi laba yang dibagikan kepada telkom
dan badan usaha mitra usaha digabungkan dengan laba usaha masing-masing untuk dihitung
pajak terutangnya.
Pengakuan Penghasilan JO
Perhitungan PPh terutang dari penghasilan JO dihitung pada masing-masing anggota JO.
Perhitungan PPh tersebut dilakukan dengan menggabungkan penghasilan perusahaan anggota JO
dengan bagian keuntungan yang diterima dari JO. Dengan demikian besarnya PPh terutang atas
laba JO tergantung tarif PPh anggota JO. Kalau tarif laba JO rendah tetapi tarif PPh anggota JO
tinggi. maka besamya PPh terutang atas laba JO menjadi tinggi. Begitu pula sebaliknya.
Contoh : PT. Surya membentuk JO dengan PT. Mentari tahun 2010 untuk melaksanakan suatu
proyek yang nilainya Rp 4.000.000.000.00. Penghasilan kena pajak PT. Surya adalah
Rp 25.000.000.00 dan PT. Mentari Rp 30.000.000.00.
Penghasilan neto JO tersebut adalah Rp 120.000.000.00 yang dibagi kepada PT. Surya dan PT.
Mentari dengan perbandingan 2:3. Bagaimanakah perbandingan PPh terutang JO tersebut
dibanding kalau penghasilan tersebut dibagi ke anggotanya.
Apabila tarif PPh terutang anggota JO lebih rendah dari tanif PPh terutang JO, besarnya
PPh terutang JO yang digabungkan ke anggota JO akan menjadi lebih rendah dibanding
dikerjakan sendiri tanpa membentuk JO. Apabila tarif PPh yang terutang atas JO sama dengan
tarif PPh anggotanya, maka besarnya PPh terutang akan lebih besar kalau penghasilan tersebut
digabung Besarnya PPh terutang atas penghasilan JO yang digabung menjadi lebih besar karena
pengurangan batas tarif progresif tersebut dikenakan dua kali, baik terhadap JO maupun
anggotanya sehingga apabila tarif PPh anggota JO sudah pada tarif tertinggi, dan PPh terutang
JO juga akan terkena tarif tertinggi, maka lebih menguntungkan kakau proyek tersebut
dikerjakan sendiri tanpa membentuk JO.
Pengenaan PPh pada KSO pada dasarnya sama dengan pengenaan PPn pada badan usaha yang
bergabung pada KSO. Namun demikian setiap bentuk KSO memiliki perlakuan pengenaan PPn
yang diatur secara khusus.
Mitra usaha yang semata-mata melakukan kegiatan dalam bentuk KSO tidak perlu
dikukuhkan sebagai PKP tetapi pemyerahan jasa telekomunikasinya akan terutang PPn sehingga
KSO hanus dikukuhkan sebagai PKP. Demikian pula penyerahan hak operasi dari Telkom ke
KSO.
Penghasilan KSO tidak dikenakan PPh pada KSO bersangkutan, tetapi penghasilan
tersebut dikenakan PPh setelah diterima anggota Kso. Demikian juga KSO yang bukan
merupakan subjek pajak sehingga KSO tidak berkewajiban untuk melaporkan SPT PPh, baik
tahunan maupun masa. Tetapi KSO/JO berkewajiban memotong atau memungut PPh pasal 21,
PPh pasal 23, PPh pasal 26 dan PPn. Dengan tidak adanya kewajiban lapor, lemasuk lapor SPT
tahunan, maka perhitungan laba-rugi Joint Operation lepas dari pengamatan fiskus. Dengan
begitu berapapun besarnya laba yang diakui JO akan diakui oleh fiskus.
Build. Operate, and Transfer (BOT) termasuk dalam bentuk KSO. BOT adalah bentuk perjanjian
kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan
bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan
selama masa perjanjian BOT, dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada
pemegang hak atas tanah setelah masa BOT selesai.
Penghasilan investor sehubungan dengan perjanjian BOT adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari pengusahaan bangunan yang didirikan, antara lain:
2. Hak pengusahaan bangunan, seperti pengusahaan hotel, pusat fasilitas olah raga (sport
cenier), tempat hiburan, dan sebagainya.
3. Penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh dari pemegang hak tanah apabila
masa perjanjian BOT diperpendek dari masa yang telah ditentukan.
Penghasilan bagi pemegang hak atas tanah sehubungan dengan perjanjian BOT antara lain:
1. Pembayaran berkala yang dilakukan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah
dalam atau selama masa BOT
3. Bagian keuntungan dari pengusahaan bangunan dengan narma dan dalam bentuk apapun
yang diberikan oleh investor.
4. Penghasilan lain sehubungan dengan perjanjian BOT yang diterima atau diperoleh
pemegang hak atas tanah.
Pengenaan PPh pada BOT sama seperti pada bentuk KSO lain, yaitu bagian keuntungan
atau lainnya yang diterima dari BOT digabung dengan penghasilan investor maupun pemegang
hak untuk dihitung besarnya PPh masing-masing. Sedangkan BOT sendiri temasuk bukan subjek
pajak sehinggn tidak mempunyai kewajiban membayar dan melaporkan PPh pasal 25 dan PPh
pasal 29. Namun demikian BOT mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan atau
pemungutan pajak berkaitan dengan transaksi yang terkait dengan pelaksanaan BOT.
Pengenaan PPh lain yang berkaitan dengan BOT adalah saat bangunan diserahkan oleh
investor kepada pemegang hak atas tanah setelah masa perjanjian BOT berakhir, yang mana
terutang PPh sebesar 5% X Jumlah bruto nilai yang tertinggi antara Nilai Pasar dengan Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP). PPh tersebut untuk orang pribadi bersifat final, dan untuk wajib pajak
badan tidaklah bersifat final
Nilai perolehan bangunan yang diterima dari investor sebesar nilai pasar atau NJOP yang
merupakan dasar pengenaan pajak penghasilan.
Dalam hal barngunan yang didirikan investor tidak seluruhnya menjadi hak investor tetapi
sebagian diserahkan kepeda pemegang hak atas tanah, maka bagian bangunan yung diserahkan
merupakan penghasilan, dan atas penyerahan tersebut juga terutang PPh sebesar 5% dari jumlah
bruto nilai tertinggi antara nilai pasar dengan NJOP, nilai bangunan yang diterima pemegang hak
atas tanah apabila bangunan dialihkan kepada pihak lain. Biaya yang dapat dikurangkan oleh
pemegang hak atas tanah selama BOT adalah biaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
PPh. Pembayaran PPh sebesar 5% tersebut bagi WP perseorangan bersifat final, dan bagi WP
badan merupakan pembayaran PPh pasal 25 yang dapat diperhitungkan.
Waralaba atau franchise ndalah bentuk usaha di mana terjadi perjanjian atau kontrak
pembelian (franchise agreemant) antara pemilik franchise (franchiser atau franchisor) dengan
pemegang franchise (franchisee). Waralaba dapat terjadi di banyak kegiatan usaha, seperti rumah
makan, pendidikan, pendagangan dan lainnya. Waralaba dapat terjadi antara perusahaan dalam
negeri dengan perusahaan dalam negeri lain, juga dapat terjadi antara perusahaan dalam negeri
dengan perusahan luar negeri.
Waralaba dapat terjadi pada perusahaan dalam bentuk badan usaha dan dapat juga dalam bentuk
perseorangan. Pilihan untuk membentuk kegiatan usaha berupa waralaba, yang berdasarkan
ketentuan perpajakan perlu mempertimbangkan hal-hal berikut:
Pertimbangan PPh
Pertimbangan PPn
Bagi perusahaan yang akan menjual haknya melalui franchise. pertinmbangan pengenaan
PPh yang terkait dengan penghasilannya adalah berkaitan dengan penghasilan dari penjualan hak
franchise, termasuk pembayaran berkala dari hak franchise.
Perhitungan penghasilan yang terutang PPh bagi franchiser meliputi penghasilan dari perusahaan
yang dimilikinya sendiri termasuk cabang-cabang yang tidak didirikan berdasarkan franchise,
dan juga penghasilan dari penjualan hak franchise, termasuk pembayaran berkala dari hak
franchise tersebut. Sedangkan bagi perusahaan yang membeli franchise (franchisee), pengenaan
PPh-nya dihitung dari penghasilan dari kegiatan usahanya dalam franchise, sedangkan biaya
yang dikeluarkan berkaitan pembelian franchise tersebut dapat dibiayakan secara langsung atau
melalui amortisasi. Pertimbangan dari sudut PPh, bagi seseorang atau badan usaha yang akan
melakukan kegiatan usaha baru dalam bentuk franchise harus melakukan kewajiban memotong
PPh 23 atas pembayaran royalti pada awal tahun pendirian dan pada pembayaran secara
berkalanya. Kalau franchisee tidak melakukan kewajiban pemotongan PPh, maka besamya PPh
harus dibayar sendiri oleh franchisee.
Penyerahan hak pada franchise termasuk dalam kategori penyerahan BKP tidak
berwujud, di mana berdasarkan Undang-Undang PPn, penyerahan BKP tidak berwujud di dalam
daerah pabean oleh pengusaha termasuk yang dikenakan PPn. Demikian pula penyerahan hak
framchise dari luar negeri digolongkan sebagai pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar
daerah pabean Indonesia yang juga dikenakan PPn. Perusahaan yang menjual haknya melalui
kegiatan waralaba. perlakuan PPn-nya tergantung dari BKP atau JKP yang diserahkan, dalam arti
BKP/JKP tersebut dapat dikenakan atau tidak dikenakan PPn.
Pertimbangan dari sudut PPn, bagi seseorang atau badan usaha yang akan melakukan kegiatan
usaha baru dalam bentuk franchise, harus memungut PPn atas pembayaran hak franchise dari
franchissor. dengan adanya kewajiban memungut PPn atas pembayaran hak franchise tersebut
maka franchisee harus dikukuhkan sebagai PKP. Kalau franchisee tidak melakukan
kewajibannya dalam pemungutan PPn maka PPn itu harus dibayar sendiri oleh franchisee.
Kegiatan usaha dengan bentuk waralaba. selain dapat terjadi pada badan usaha maupun
perseorangan, juga dapat terjadi pada berbagai bentuk kegiatan usaha berikut:
Pengakuan sebagai pedagang eceran besar (PEB) pada perusahaan yang melakukan
franchise adalah bagi franchiser dihitung dari peredaran bruto, baik berupa penyerahun BKP
maupun JKP dari franchiser termasuk dengan para franchisee yang berada pada wilayah pabean
Indonesia. Pembayaran PPn atas penjualan BKP atau JKP setiap bulan dihitung sendiri-sendiri
antara franchiser dengan franchisee.
Pendirian sekolah atau sarana pendidikan lain dengan sistem waralaba akan terutang PPn,
yang harus dipungut oleh pembeli (ranchisee) sebagai pajak masukan. Perusahaan yang hanya
menjual jasa berkaitan pendidikan tidak terutang PPn sehingga bagi franchiser maupun franchise
tidak melakukan pembayaran PPn.
Sama dengan jasa pendidikan yang tidak terutang PPn, penjualan makanan di numah
makan juga bukan merupakan objek PPn sehingga waralaba yang usahanya numah makan juga
tidak membayar PPn atas penjualan produknya. Hanya saja ketika membayar hak franchise harus
memungut PPn sehingga waralaba dalam bidang restoran pun harus dikukuhkan sebagai PKP.
Waralaba merupakan salah satu bentuk pilihan pengusaha untuk mengurangi risiko dibanding
harus membentuk badan usaha baru. Secara ketentuan perpajakan, pembentukan waralaba
mengharuskan franchisee dikukuhkan sebagai PKP. Namun dari sudut PPh. franchisee
diperlakukan sama dengan wajib pajak badan usaha atau perseorangan lainnya.