Anda di halaman 1dari 9

KINCIR

Oleh : Elvina Husna

Hari-hari Ramdan tidaklah selalu berat. Suatu saat nanti ia pasti akan senang juga.
Hanya saja untuk hari ini nampaknya awan sedang tidak mendukunya, lagi. Niat Ramdan
untuk menghabiskan malam tahun baru di sebuah pasar malam nampaknya harus ia
urungkan. “Pasar Malam bukanlah tempat yang nyaman untuk didatangi dalam keadaan
basah dan berlumpur setelah hujan.” Nyinyirnya.

Namun lain halnya dengan Rio yang penuh semangat di seberang telepon sana,
“Ayolah, kita sudah merencanakan ini dua minggu kemarin loh. Kotor-kotor sedikit tidak
apa-apa.”
“Kenapa tidak kita pilih yang indoor saja ya waktu itu?”
“Sayang, percaya padaku, bahwa semua akan baik-baik saja.”
Ramdan sesungguhnya bukanlah orang yang banyak mengeluh, namun kepergiannya
dari rumah setelah pengusiran yang dilakukan oleh keluarganya sendiri beberapa hari yang
lalu, membuat Ramdan kehilangan nyala hidupnya.

Rio, si pendatang baru dalam kehidupan Ramdan, tidaklah terlalu mengerti tentang apa
yang dirasakan Ramdan, yang ia tahu adalah sebentar lagi malam tahun baru akan datang,
dan ia tak bisa membiarkan orang terkasihnya itu terus menerus bersedih.Setelah sedikit
memaksa, Rio akhirnya menjemput Ramdan menggunakan sepeda motornya. Baju merah
kotak-kotak Ramdan kenakan kala itu. Diimbangi oleh baju warna biru segar yang dikenakan
Rio. Mengapa mereka berdua nampak serasi sekali?

Perjalanan membuat langit kemudian menggelap, awan hitam tadi tak lagi terlihat
namun angin lembab masih terasa. Di kursi belakang, Ramdan tak banyak bicara.
Nampaknya Rio mengerti dan tak banyak menganggu Ramdan. Sedikit terbesit dalam benak
Rio untuk menghentikan laju motornya dan menanyakan kekasihnya itu apakah ia baik-baik
saja atau tidak. Namun ia seolah sudah tahu jawabannya dan melanjutkan perjalanan.

“Bisa kah kita ke toilet dulu?” tanya Ramdan pada akhirnya.

Rio mengangguk dan membelokkan kemudinya di tempat pengisian bensin beberapa


meter di depan mereka. Sembari Rio mengisi bensin, Rio pun menunggu kekasihnya itu.
Ramdan kembali dengan wajah yang sama, yang berbeda adalah kini ia membawa
minuman soda ringan kesukaan mereka berdua. “Maaf ya aku cuma beli satu, kita minum
berdua saja.” Rio mengangguk saja mendengarnya.

“Yuk lanjut lagi perjalanan kita.” Kata Rio. Ramdan berdiam diri. Ia tak lekas naik ke atas
kursi motor. “Ada apa sayang?”

“Bisakah kita mengobrol sedikit di sini?”

Rio teringat kembali misinya malam ini, ia tak mau melihat kekasihnya bersedih terus,
sehingga mungkin ini adalah awal yang baik bagi Ramdan untuk meluapkan isi pikirannya.
Rio melepas helm yang membelenggu rambutnya yang sebelumnya tertata rapih, kini
berantakan sudah rambutnya. Dengan jemarinya ia sedikit demi sedikit membetulkan.

“Aku tidak bisa pergi ke Pasar Malam.” Kata Ramdan.

“Ada apa? Kau ingin ke tempat lain? Ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi?”

Ramdan menggeleng. Ramdan tahu bahwa 300 mililiter minuman bersoda di


genggamannya dan kekasihnya saja sudah cukup untuk menghiasi malam ini. Namun ada
sesuatu yang ingin Ramdan katakan pada Rio.

“Apapun yang akan kamu katakan, aku siap. Namun jangan biarkan aku meninggalkanmu
sendirian, terutama malam ini, terutama lagi di tempat ini. Aku masih ingin menemanimu.”
Ucap Rio.

“Dulu, sewaktu kau mengatakan padaku bahwa sebenarnya dirimu adalah seorang Biseksual,
aku berjuang sekeras mungkin untuk bisa mengerti dirimu. Dan akhirnya berhasil, aku tidak
lagi memandangmu sebagai sesuatu yang buruk. Kamu tahu aku juga manusia seperti dirimu.
Jadi aku ingin meminta maaf jika selama ini aku membuatmu kecewa tentang itu.” Rio buru-
buru menggelangkan kepalanya, ia ingin mengatakan bahwa itu bukanlah sesuatu yang perlu
diperdebatkan karena Rio mengerti betul apa resikonya ketika ia mengatakan pada
kekasihnya bahwa dirinya dalah seorang Biseksual.

Namun Ramdan belum mengizinkan Rio untuk memotong kalimatnya. Ia sentuh pipi
Rio, memintanya untuk melanjutkan kalimat. “Kita juga pernah bertengkar hebat ketika aku
mengatakan padamu bahwa aku tak percaya akan kehadiran Tuhan. Kita selalu memiliki
pandangan yang berbeda akan sesuatu. Semua perdebatan sengit sudah kita lewati. Sekarang
ini, dahulu, setiap malam tahun baru, Pasar Malam adalah tempat yang wajib untuk aku dan
keluargaku datangi. Dan aku tak mau lagi melakukan itu. Kau tahu alasannya, kan? Aku
pernah diangkat tinggi-tinggi hingga seperti melayang oleh ayahku, aku juga pernah
memasuki rumah hantu itu bersama adik-kakakku, kami juga pernah berpesta kecil-kecilan
memperingati ibu yang naik jabatan di kantornya. Semua kenangan-kenangan itu terjadi di
Pasar Malam. Senang, bahagia, senyum, kasih dan sayang kami rayakan saat itu. Hingga
semuanya sirna setelah mereka mengetahui siapa diriku. Aku tidak lagi berada di lingkaran
itu. Aku sudah tidak lagi pantas untuk datang ke Pasar Malam. Aku ingin kau mengerti itu.”

Rio terdiam. Sejauh ini, di kepala Rio, Pasar Malam identik dengan kemeriahan, pesta
pora rakyat, lampu-lampu, dan kebahagiaan. Ia tidak tahu bahwa di kepala sang kekasih Pasar
Malam berarti kesendirian, kegelapan, pengasingan dan kesedihan. Rio tidak menyadari
bahwa selama diperjalanan kekasihnya itu justru ketakutan setengah mati.

“Sayang,” giliran Rio yang berbicara kali ini, mata coklat mereka saling memandang. “Jika
benar keluargamu ada di sana malam ini, tentu kita akan segera pergi seketika itu juga jika
kau mau. Namun mereka sekarang berada di kota kelahiranmu, di pulau seberang. Maafkan
aku yang memaksamu. Namun aku janji, semua akan baik-baik saja. Jika kau merasa ingin
menangis, bagi lah tangisanmu itu denganku, menangislah. Seperti aku selalu
membagikannya denganmu. Jika itu membuatmu lebih baik. Aku akan selalu mendengarkan
tangisanmu itu. Aku tidak tahu harus apa.” Ramdan menundukkan kepalanya, air soda di
tangannya bergetar mengikuti getaran tangannya. Rio kemudian memeluk Ramdan yang
mulai ambruk dalam tangisnya. Saat itu Rio mengerti, bahwa bukan ketakutan akan
keluarganya lah yang membuat Ramdan menangis, namun Ramdan takut untuk mengulang
memori indah itu.

Bermenit-menit mereka berpelukkan, suara-suara kendaraan bermotor bernyanyi indah


dibelakang mereka. Tak peduli lagi mereka kepada teriakan-teriakan pengguna jalan yang
arogan. Mereka tahu cinta mereka jauh lebih kuat dari teriakan orang-orang itu.
“Ayo…” kata Ramdan akhirnya dibalik suaranya yang pecah.
“Pulang?” tanya Rio.
Ramdan mengeluarkan senyumnya yang khas, dan menghapus sendiri air matanya, “Ke
Pasar Malam saja. Tak apa. Aku ingin sekali menaiki Korsel. Aku rindu kuda-kuda kayu itu.
Aku rindu lampu-lampunya. Aku rindu putaran ringan yang tidak memabukkan itu. Atau kita
naik Kincir saja, aku ingin berada di puncaknya dan melihat seberapa kecil orang-orang. Atau
kita main tembak-tembakkan kaleng saja, aku yakin aku bisa mengalahkanmu…” Ramdan
yang antusias itu sudah kembali lagi. Rio sedikit lega.

Rio sebenarnya tidak tahu apa yang harus ia lakukan, namun terbesit sebuah gagasan.
Untuk apa mengulang-ulang kenangan usang yang sudah lalu, sedangkan kita bisa
membuatnya yang baru? Rio pun ikut tersenyum. Kemudian naiklah mereka ke atas motor,
dan melajulah motor itu menuju tempat yang membahagiakan. Dalam hati Rio berniat nakal,
ia akan mencium laki-laki yang memeluk pinggangnya erat ini di puncak Kincir sembari
kemudian membiarkan kembang api itu meledak-ledak di angan mereka, seraya
membisikkannya kepada sang kekasih, “Selamat Tahun Baru.”
SETITIK CAHAYA
Oleh : Ratih Purwasih

“Tapi aku sudah banyak salah padamu. Aku sudah berkali-kali menyakitimu. Bahkan aku
tidak bisa memaafkan diriku sendiri karena sudah membuatmu menangis seperti itu.” Katamu
dalam obrolan malam-malam denganku ditelepon.

“Ya. Memang aku merasakan sakit ketika aku tahu ternyata kau jatuh cinta lagi dengan orang
lain. Memang aku sedih. Aku sedih karena selalu membuatmu merasa tak nyaman denganku
sehingga kau berpaling.”

Aku kembali menangis. Namun aku menahannya agar tak begitu berlebihan. Hanya isakan
kecil. Aku menahan tangisanku agar kau tak menyalahkan dirimu sendiri. Kali ini aku hanya
bisa menggeleng-gelengkan kepala tak percaya dengan semua ini.

“Aku memang bodoh. Aku memang egois”, katamu. Suasana mejadi hening seketika.

“Tapi, perasaan memang tidak bisa dipaksakan, kan? Jadi tak seharusnya kau menyalahkan
dirimu seperti itu”, tangisanku berhenti bersamaan dengan pertanyaanku. Dan kau waktu itu
hanya terdiam.

Sangat sedih ketika mendengar bahwa laki-laki menawan di sebrang pulau itu kebingungan.
Dia heran tentang perasaannya pada orang lain, bingung, merasa sedang mengecewakanku,
dan begitu pilu.

Apa yang bisa aku lakukan agar kau bisa kembali tersenyum? Apa yang harus aku lakukan
agar hatimu kembali berbalik padaku? Apa yang harus kulakukan berikutnya?
Membiarkanmu pergi dan membawa semua kenangan indah yang kita miliki atau
mempertahankan dirimu?

“Seseorang pernah berkata, ‘kau ini bodoh, kau bilang bahwa pacarmu harus berjuang. Tapi
dirimu sendiri yang ternyata malah menyerah.’ Dan lagi, ‘kau juga bodoh, pacarmu
menduakanmu dan kau masih saja mempertahankannya.’” Kau menjelaskan itu semua tanpa
memperbolehkan aku untuk memotong pembicaraanmu.

Dari perkataanmu, kau bilang bahwa dirimu bodoh karena sudah menyerah dengan hubungan
kita. Padahal dirimu lah yang sudah mengajariku untuk berjuang. Mengajariku untuk menjadi
laki-laki mandiri.
Dari perkataanmu itu juga, kau bilang bahwa aku bodoh karena memilih untuk
memaafkanmu yang menurutmu sudah berkali-kali membuatku kecewa.

Perkataanmu itu ada benarnya, namun tak semuanya. Ada sedikit celah yang bisa kita uraikan
bersama-sama. Ada setitik cahaya yang sepertinya lebih baik jika kita berfokus kesana.
Titik cahaya yang aku maksud adalah Cinta.
Masih ada benda itu di antara kita. Jadi, daripada kita berfokus untuk mengorek kesalahan
masing-masing, mengapa tidak kita habiskan malam ini dengan membahas cinta?
Kau benar bahwa kau bodoh. Menyia-nyiakan apa yang kita punya sekarang dan berfokus
pada apa yang tidak kita genggam. Kau menyalahkan dirimu sendiri terus menerus seolah-
olah kau adalah mahkluk yang paling berdosa. Padahal sayangku, semua manusia membuat
kesalahan. Bahkan aku yang menurutmu sempurna. Bahkan siapapun. Dan sayangku,
melakukan kesalahan bukan berarti kau lebih rendah dari siapapun. Bukan sama sekali.
Bagiku itu berarti kau sudah mendapatkan pelajaran lebih awal dari pada orang lain. Dan
bukan pula artinya aku benci padamu.
Kau juga benar bahwa aku bodoh. Karena sudah memaafkan seseorang yang melakukan
kesalahan berulang-ulang. Namun apakah kau tahu sayang? Aku bukanlah Tuhan yang
berhak menghardik seseorang. Aku tak berhak untuk menghukummu. Aku hanyalah manusia
yang belajar. Aku juga masih belajar bagaimana caranya untuk menyayangimu. Aku belajar
bagaimana caranya untuk memaafkan. Aku tidak pantas untuk memberimu hukuman dan
batasan. Aku tidak bisa melakukan itu pada malaikat tak bersayapku.

Dari perkataanmu tadi aku juga dapat belajar. Bahwa cinta memang tidak selalu berbentuk
sekuntum bunga atau sekotak coklat. Cinta bisa juga berwujud kebohongan yang bertujuan
untuk tidak menyakiti. Amarah karena takut kehilangan. Dan bahkan memaafkan sang
keledai.

Cinta bukanlah kotak mungil merah berisikan cincin, namun cinta adalah bola dunia yang
terus berputar. Bukan materinya namun lebih kepada makna dan cerita yang kita punya. Cinta
adalah pengorbanan yang tidak sia-sia, bukan layang-layang tak bertuan yang terbang ke sana
ke mari tanpa arah. Cinta adalah lagu, bukan koran di pagi hari yang kaku.

Meskipun aku menangis sekarang. Namun aku menjadi yakin, bahwa kau akan
membiarkanku tersenyum lepas kepadamu setelah ini. Dan meskipun kau tidak merasa
nyaman padaku belakangan ini. Aku berjanji aku akan menjadi singgahsana terbaik milikmu.
Takkan kubiarkan orang lain memilikinya.
“Jadi, kau masih memaafkanku?” tanyamu perlahan.

“Ya.”

“Tapi aku…” kau mengulangi pernyataanmu di awal.

“Tak perlu alasan untuk memaafkan seseorang. Dan tak perlu alasan juga untuk mencintai
seseorang. Ya kan?”

Kudengar kau menghembuskan nafas panjang. Akhirnya kau merasa lega. Dan kau bersyukur
ini berakhir. Sama sepertiku. Kemudian kau berterima kasih untukku, entah untuk apa.

“Apa bisa aku percaya padamu lagi?” tanyaku.

“Aku sekarang sedang membayangkan pernikahan kita. Aku tak peduli jika kita tak bisa
menikah. Aku akan tetap menikahimu. Aku sedang membayangkan pestanya, kue, orang-
orangnya, dan satu lagi. Aku tak mau berjanggut di hari pernikahan kita nanti.” Katamu tanpa
memperdulikan pertanyaanku.

“Mengapa begitu?” aku dibuat kagum olehnya. Ada sebercak senyum pada wajahku.

“Entahlah, aku lebih suka mukaku bersih di hari-hari penting.”

“Hei! Jawab pertanyaanku tadi.” Kataku sembari sedikit tertawa.

“Iya sayang, kau bisa pegang perkataanku sekarang dan nanti.” Jawabmu segera.

“Terima kasih”

“Seharusnya aku yang berterima kasih.” Selalu begitu jawabmu.

Namun sejujurnya aku masih takut kau akan berpaling dariku. Aku takut karena kau adalah
pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupku.

Jadi, sayang? Biarkan aku bertanya satu hal lagi padamu.

“Kau bukan keledai, kan?”

“Aku tidak tahu.” Katamu sembari tertawa. Sangat menyebalkan.

Malam hening itu kini berubah menjadi malam panjang dengan obrolan tentang setitik
cahaya. Tentang cinta. Tentang kau dan aku
KOS KOSAN ‘MEREKA’
By : Ramadhani Nurul

Cerita kesurupan memang sering kali kita dengar. Bahkan kita juga sering
menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika ada seseorang yang tiba-tiba berteriak tidak
karuan, sambil menjerit-jerit serta menangis tanpa sebab yang jelas. Banyak kejadian tentang
kesurupan atau kerasukan yang mana pelakunya adalah makhluk tak kasat mata atau jin.
Percaya atau tidak, jin memang bisa mengendalikan tubuh seseorang yang memiliki daya
tahan tubuh lemah serta kurangnya perlindungan dari diri sendiri. Entah kurangnya kita
dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, atau memang ‘makhluk’ itu yang senang mengambil
alih tubuh manusia. Karena mereka tidak mengenal jenis kelamin, rupa, bahkan agama untuk
menguasi tubuh kita.

Ketika aku berumur belasan tahun yang lalu, aku dan keluargaku mengunjungi kakak
pertamaku yang sedang kuliah di Ibukota. Saat itu, tepatnya kakakku sudah tidak kuliah lagi
karena ia baru saja wisuda. Dia seorang perempuan yang tinggal di sebuah kos-kosan khusus
untuk perempuan. Tapi, karena aku seorang lelaki dan juga adiknya maka Ibu pemilik kos
memperbolehkan kami untuk menginap.

Ruangannya tidak terlalu besar. Terbagi menjadi 3 bagian, untuk ruang tamu, kamar
dan dapur. Jujur, saat memasuki kosan kakak perempuanku, aku tidak merasakan apa-apa.
Biasa saja, seperti ruangan pada umumnya. Di sana, kami berempat. Aku, kakaku, abangku,
dan ibuku. Bayangkan, di ruangan yang tidak terlalu besar kami berbagi tempat tidur selama
beberapa malam. Di daerah belakang, tepatnya di dapur dan di dekat kamar mandi, aku
melihat tanaman sirih yang menjalar. Lebat sekali. Tapi aku sama sekali tidak merasakan
apa-apa. Hingga suatu ketika, saat kami pulang dengan mengangkut seluruh barang-barang
kakakku yang sudah selesai kuliah, dia bercerita. Saat itu kami sudah berada di rumah
tercinta.

Di kosan itu, ada beberapa mahasiswi yang menghuninya. Kebanyakan kuliah di


kampus yang sama. Dan ada juga beberapa yang beragama non-muslim. Salah satunya Mira.
Teman kakakku yang kuliah di jurusan yang berbeda dengannya. Dia salah satu teman yang
lumayan dekat dengan kakakku. Jadi, suatu malam, Mira sedang menyikat gigi di kamar
mandi. Sama seperti di tempat kakakku, kamar mandinya kecil sekali. Ketika itu, ketika sikat
gigi sudah masuk ke dalam mulut, tanpa ada hal yang aneh ia memandangi langit-langit
kamar mandi yang hanya ditutupi kayu-kayu. Selama beberapa saat, ia terus melakukan hal
itu. Namun sebelum ia menyelesaikan menyikat giginya, tiba-tiba ada yang menjambak
rambutnya hingga kepalanya hampir jatuh ke belakang.
Bayangkan, di dalam kamar mandi yang kecil, dengan pencahayaan lampu seadanya,
sendirian pula. Ada yang menjambak rambut kita?
“Aduh siapa tuh?”
Mira bertanya dengan nada yang cukup keras. Namun ia cukup merasa takut. Hanya saja,
kalimat pertanyaan itu spontan keluar dari mulutnya yang masih dipenuhi dengan busa pasta
gigi. Karena tidak ada yang menjawab pertanyaannya, ia menyudahi kegiatan menyikat gigi
tersebut dan bergegas menuju ke dalam kos. Ketika itu, kakakku tengah berada di kosannya.
Entah aku pun lupa apa yang sedang ia kerjaan saat Mira mengetuk pintu kosnya dengan
keras. Terdengar seperti terburu-buru. Sontak ia pun keluar dan membuka pintu.
Ia mendapati Mira yang terlihat menggigil di depannya sambil berkata,
“Dah, minta bawang merah”. Kira-kira kalimat itu yang diutarakan Mira kepada Kakakku.
Menurut orang-orang, bawang merah dapat mengusir hantu. Entah benar atau tidak.
Sebenarnya bacaan doa lah yang paling manjur. Mungkin karena Mira bukan seorang
muslimah dan ia sedang ketakutan, makanya ia meminta benda itu kepada kakakku. Namun,
Mira tidak menceritakan hal itu. Ia hanya terlihat ketakutan.
Setelah mengiyakan, kakakku masuk ke dalam untuk mengambil bawang merah.
Tetapi, setelah ia keluar, ia tidak menjumpai Mira. Lalu ia bergegas menuju kos Mira yang
terhalang beberap kos saja. Jujur aku lupa bagaimana keadaan Mira saat kakaku
menceritakannya. Yang aku ingat, Mira sudah terlihat seperti bukan dirinya lagi. Tingkahnya
membuat orang-orang menyimpulkan kalau ia memang tengah dirasuki setan. Kakakku lalu
memanggil ibu kos.
Akhirnya, satu komplek kosan itu geger saat itu juga. Dan kalau tidak salah, Mira
berada di dekat seperti tanaman sirih yang aku juga lupa di mana letaknya. Yang jelas, ia
berontak dan terus berteriak. Ibu kos yang berasal dari suku Jawa pun menyerah dan
memanggil seseorang yang sudah biasa untuk mengobati atau menetralisir keadaan itu.
Selang beberapa saat, jin yang merasuki tubuh Mira bisa dikeluarkan dengan paksa. Dan
yang membuat bulu kuduk merinding adalah, jin itulah yang menjambak rambut Mira saat di
kamar mandi. Entah karena alasan apa sampai ‘makhluk’ itu berbuat demikian. Mungkin ia
tidak suka dilihat oleh Mira sekalipun Mira juga tidak bisa melihat dirinya.
Dan tanaman sirih yang didatangi Mira itu adalah tempat lalu-lalangnya ‘mereka’. Itu
dikatakan oleh orang yang mengeluarkan jin tadi atas seizin Allah SWT. Dan ternyata,
kakakku pernah melihat jin yang mungkin perempuan. Dan bisa jadi ‘dia’ lah yang merasuki
tubuh Mira.
Waktu kejadiannya masih saat malam hari juga. Ketika itu kakakku hendak ke kamar
mandi kalau tidak salah. Nah, dapurnya dengan kamar mandi dipisahkan oleh sebuah pintu.
Saat membuka pintu, ia melihat dengan jelas sosok perempuan berambut panjang dan hanya
separuh badan sedang melayang keudara. Separuh badan! Dari kepala sampai pinggang.
Untungnya sosok perempuan itu dalam posisi membelakanginya. Namun, karena saking
terkejutnya, kakakku mundur perlahan dan saat akan berbalik kepalanya terbentur tembok.
Keesokan harinya, ia demam. Mungkin karena shock.
Kenapa aku menyebutkan ‘mereka’ juga menghuni di sana? karena yang tinggal,
selain para mahasiswi di situ memang bukan hanya manusia. Dan bukan hanya sosok jin
perempuan tadi, tapi ada selainnya.
Cerita selanjutnya dialami lagi oleh kakakku.

Suatu malam ia tidur seperti biasa di kosannya. Memang kakakku kalau tidur tidak pandang
tempat, kalau sudah ada bantal ia bisa tertidur dalam hitungan kurang dari 20 detik.
Nah, dia bercerita. Saat itu ia masih berada di dalam kosan. Maksudku saat ia bermimpi, ia
masih berada di dalam kosannya. Tidak ke mana-mana. Kemudian, ia didatangi oleh dua
orang laki-laki. Aku pun lupa bagaimana perawakan mereka, yang jelas aku merinding saat
mendengar itu.
Kakakku pun bertanya, “Kalian yang tinggal di sini?”
Salah satu dari mereka menjawab. “Iya. Kami tinggal di sini”.
“Cuma berdua saja kah?”
“Tidak, ada satu lagi teman perempuan kami…”
Yang menjawab pertanyaan kakakku itu menunjuk ke sosok perempuan yang akan
menghampiri mereka. Namun sebelum kakakku benar-benar melihat wujudnya, ia sudah
terbangun dari mimpinya. Lantas ia mengucap istighfar. Siapa yang tidak kuat bisa mimipi
seperti itu. Dengan lokasi yang sama, sendirian, perempuan pula.
Apa yang menjadikannya berani untuk tinggal sendirian adalah karena ia yakin kalau Allah
selalu bersama hamba-hamba yang taat kepada-Nya. Banyak hal yang terjadi di kosan
tersebut, seperti suara perempuan tertawa di depan jendela kaca kosan ketika beberapa
mahasiswi menonton tv malam-malam. Mungkin ia ikut menyaksikan acara yang lucu
sehingga ia ikut tertawa. Dan ada juga yang kehilangan fried chicken padahal sudah ditutup
dengan tudung saji. Semua itu mereka yakini bukanlah ulah manusia, melainkan ‘makhluk’
Tuhan yang lain.
Jangan takut! ‘mereka’ tidak akan berani mengganggu umat manusia, apalagi sampai
melukai. Jika manusia itu berlindung kepada Allah SWT, karena ‘mereka’ juga takut kepada
Tuhan yang menciptakan alam semesta. Dan kita juga harus percaya kalau mereka ada.
Mungkin saat ini ‘mereka’ tengah berada di sekeliling kita. Di depan, di belakang, di
samping, atau yang menjadi guling saat kita berbaring.

Anda mungkin juga menyukai