Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir dan laut memiliki arti yang strategis dan penting bagi masa
depan Indonesia mengingat sebagai negara Kepulauan (archipelagic state) terbesar
di dunia, wilayah ini mendominasi total wilayah Indonesia. Panjang pantai
Indonesia adalah 81.000 km, terpanjang kedua setelah Kanada atau yang pertama
di dunia dalam konteks panjang pantai yang produktif (catatan: panjang pantai
Kanada didominasi oleh panjang pantai wilayah Greenland yang berupa lahan
kurang produktif karena berupa gurun). Selain itu, dengan luas wilayah teritorial
Indonesia yang tercatat sebesar 7,1 juta km2 wilayah laut mendominasi dengan
luas kurang lebih 5,4 juta km2. Dengan potensi fisik sebesar ini, Indonesia
memiliki dengan sumber daya perikanan dan kelautan yang besar. Dari sisi
keanekaragaman hayati, Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan hayati
kelautan terbesar. Dalam hal ekosistem, terumbu karang (coral reefs), Indonesia
dikenal sebagai salah satu penyumbang kekayaan hayati terumbu karang terbesar
di dunia. Menurut data World Resources Institute (2002), dengan luas total
sebesar 50.875 km2 maka 51% terumbu karang di kawasan Asia Tenggara dan
18% terumbu karang di dunia berada di wilayah perairan Indonesia.

Sumber daya perikanan juga memiliki potensi yang besar sehingga sering
disebut bahwa sektor perikanan merupakan raksasa yang sedang tidur (the
sleeping giant). Hasil riset Komisi Stock Ikan Nasional menyebutkan bahwa stock
sumber daya perikanan nasional diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Hal
ini tentu estimasi kasar karena belum mencakup potensi ikan di perairan daratan
(inland waters fisheries). Demikian juga dengan sumber daya alam kelautan
2

lainnya, seperti sumber daya minyak yang berkontribusi secara signifikan


terhadap total produksi minyak dan gas (67%), gas dan mineral lautlainnya, serta
potensi material untuk bioteknologi yang diperkirakan mencapai kapitalisasi
pasartriliunan rupiah (Dahuri, 2004).

Dengan potensi yang demikian besar dan memiliki arti penting dalam
konteks perekonomian bangsa maka perencanaan dan pengelolaan yang
berkelanjutan dari wilayah pesisirdan laut, khususnya perencanaan pengelolaan
perikanan menjadi sebuah kebutuhan mutlak. Fungsi perencanaan dan
pengelolaan ini tidak hanya berdimensi fisik untuk menjaga kelestarian dan
kelanjutan sistem alam dan sumber daya perikanan, namun memiliki dimensi
sosial karena berada di wilayah pesisir dan laut pun, yaitu komunitas pesisir yang
telah berinteraksi secara dinamis dengan pemanfaatan sumber daya perikanan
merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan sehingga pembangunan
wilayah pesisir secara berkelanjutan dapat terwujud.

Perencanaan pengelolaan perikanan (fisheries management plan) dan


rencana pengelolaan kawasan pesisir (coastal management plan) dengan
sendirinya merupakan alat yang penting untuk mengetahui dinamika masyarakat
pesisir terkait dengan pola pemanfaatan dan apresiasi terhadap sumberdaya pesisir
dan lautan, termasuk dalam hal ini sumber daya perikanan. Dengan adanya
rencana pengelolaan perikanan yang sistematis maka pengelolaan perikanan di
suatu wilayah akan menjadi lebih efisien dalam konteks prosesnya untuk
mencapai tujuan pembangunan perikanan pada khususnya dan pembangunan
wilayah pesisir dan lautan pada umumnya.

Salah satuprinsip dasar penyusunan rencana pengelolaan perikanan dan


rencana pengelolaan kawasan pesisir adalah prinsip keterpaduan dan prinsip
aspiratif. Terpadu dalam konteks pendekatan komprehensif yang memadukan
antara dinamika sistem alam (ecosystem) dan sistem manusia (human system),
sedangkan aspiratif lebih pada pendekatan dari bawah di mana proses
perencanaan wilayah pesisir dan laut dilakukan dengan melibatkan masyarakat
pesisir sebagai subjek sekaligus objek dari perencanaan itu sendiri.
3

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut :


1. Apakah yang dimaksud dari wilayah pesisr dan kelautan?
2. Apakah yang dimaksud dari batas wilayah pesisir?
3. Bagaimanakah lingkungan dan sumber daya wilayah pesisir?
4. Bagaimanakah perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral?
5. Bagaimanakah pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu?
6. Bagaimanakah pengelolaan lautan?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan makalah ini adalah sebagai


berikut :
1. Mengetahui definisi dari wilayah peisisr dan kelautan.
2. Mengetahui definisi dari batas wilayah pesisir.
3. Mengetahui konsep lingkungan dan sumber daya wilayah peisisr.
4. Mengetahui perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral.
5. Mengetahui pengelolaan wilayah peisisr secara terpadu.
6. Mengetahui pengelolaan kelautan.
4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dan Definisi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Kelautan

Pengelolaan Wilayah Pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone


Management atau disingkatt ICZM) merupakan cabang ilmu baru yang bukan saja
di Indonesia, tetapi juga di tingkat dunia (IPCC,1994). Sehingga, berbagai
terminologi dengan arti yang sebenarnya sama yaitu merupakan kegiatan manusia
di bidang pengelolaan ruang, sumber daya, atau penggunaan yang terdapat pada
suatu wilayah pesisir.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan ICZM adalah pengelolaan


pemanfaatan atau sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental
services) yang terdapat di kawasan pesisir beserta sumber daya dan jasa-jasa
lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan saran
pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan
pemanfaatan.

2.1.1 Batas Wilayah Pesisir

Sampai sekarang belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun
semikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah di pesisir adalah
suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis
pantai (coasline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas
(boundaries), yaitu :batas yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas
yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore). Untuk keperluan
pengelolaan, penetapan batas-batas pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif
mudah, misalnya batas wilayah pesisir antara Sungai Brantas dan Sungai
Bengawan Solo. Akan tetapi penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang
5

tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini masih belum ada kesepakatan.
Dengan perkataan lain, batas wilayah pesisir berbeda sari satu negara dengan
negara lain. Hal ini dapat dimengerti, karena setiap negara memiliki karateristik
lingkungan, sumber daya dan sistem pemerintahan tersendiri (khas).

Pada suatu ekstrim, suatu wilayah peisisir dapat meliputi suatu kawasan
yang sangat luas mulai dari batas lautan (terluar) ZEE sampai daratan yang masih
dipengaruhi oleh iklim laut. Pada ekstrim lainnya, suatu wilayah pesisir hanya
meliputi kawasan peralihan antara ekosistem laut dan daratan yang sangat sempit,
yaitu dari garis rata-rata pasang tertinggi sampai 200 m ke arah darat dan ke arah
laut meliputi garis pantai pada rata-rata pasang terendah. Sementara itu, negara-
negara lain mengambil batasan wilayah pesisir diantara ke dua ekstrim tersebut.

Tabel .2.1 menyajikan batas ke arah darat dan ke arah laut dari wilayah
pesisir yang telah diimplementasikan dalam program pengelolaan wilayah pesisir
di beberapa negara. Pelajaran yang dapat dipetik dari tabel 2.1 yang pertama
wilayah pesisir ke arah darat pada umumnya adalah jarak secara atrbitrer dari
rata-rata pasut tinggi dan batas ke arah laut umumnya adalah sesuai dengan batas
jurisdiksi provinsi. Kedua, bahwa untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah
darat dari suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas
untuk wilayah perencanaan dan batas untuk wilayah pengaturan atau pengelolaan
keseharian. Wilayah perencanaan sebainya meliputi seluruh wilayah daratan
(hulu) apabila terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat
menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya di
pesisir.
6

Tabel 1.1 Beberapa alternative penentuan batas kea rah laut dan darat untuk suatu wilayah pesisir

Batas ke arah laut Rata-rata


pasang
Jarak secara
terendah
arbi-trer kea Batas antara Sama dengan Tepi lautan Batas lautan dari Zona
(MLT) atau
rah laut dari jurisdiksi propinsi batas laut dari paparan Ekonomi Eklusif (ZEE)
Batas kearah Darat rata-rata
garis batas dengan nasional (1) territorial (2) benua (3) (4)
pasang
pasang surut
tertinggi
(MHT)
Jarak secara arbitrer Srilanka, Great barrier Program Pengelolaan
Costa Rica California (1972-
ke arah darat dari Brazil dan Spanyol Marine Park lautan Srilanka, Belanda,
(MLT) 1976)
garis pasang surut Israel authority dan Swedia
Batas daratan
Negara Bagian
menurut ketetapan Australia
Washington (untuk
pemerintah tingkat Barat (MHT)
perencanaan)
propinsi (5)
Suatu lokasi di mana US Coastal Zone
dampak negative Act California
7

penting disini, masih (sejak 1976)


mempengaruhi
wilayah pesisir
Batar daratan yang
dipengaruhi oleh
iklim laut

Keterangan:

1) Dalam banyak hal batas jurisdiksi antara pemerintah propinsi dan nasional (pusat) sama dengan garis batas laut teritorial.
2) Biasanya antara 3 sampai 12 mil laut dari garis dasar (coastal base line). Garis dasar adalah adalah suatu rangkaian garis lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau, semenanjung, dan tanjung yang dimiliki oleh suatu negara.
3) Di beberapa lokasi, tepi lautan dari paparan benua dapat melebihi 200 mil laut dari pantai.
4) ZEE meliputi daerah lautan 200 mil laut dari garis dasar, atau tepi lautan dari paparan benua, tergantung mana yang lebih jauh.
5) Batas ke arah darat dari wilayah pesisir suatu propinsi (pemerintah lokal) seringkali lebih jauh ke arah darat daripada suatu lokasi
dimana dampak negative penting dapat ditimbulkan terhadap wilayah pesisir.

MLT: Mean Low Tide

MHT: Mean High Tide


8

Dalam pengelolaan wilayah sehari-hari, pemerintah (pihak pengelola)


memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan
pembangunan. Sementara itu, kewenangan semacam ini di luar batas wilayah
pengaturan (regulation zone) sehinggga menjadi tanggung jawab bersama antara
instansi pengelolaan wilayah pesisir dalam regulation zone dengan instansi yang
mengelola daerah atau laut lepas. Ketiga, bahwa batas ke arah darat dari suatu
wilayah pesisir dapat berubah. Contohnya negara bagian California yang pada
tahun 1972 menetapkan batas ke arah darat wilayah pesisirnya sejauh 1.000 meter
dari garis rata-rata pasut tinggi, kemudian sejak tahun 1977 bats tersebut menjadi
batas arbitrer yang bergantung pada isu pengelolaan.

Gambar 2.1 Batas Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kelautan

Menurut Hukum Laut 1982, kawasan laut dewasa ini dibagi-bagi dalam
berbagai-bagai pembagian sebagai berikut

1) Laut Pedalaman yang seluruhnya terletak di bawah kedaulatan wilayah


suatu negara di mana negara lain tidak mempunyai hak apa pun, termasuk
hak lewat berdasarkan innocent passage.

2) Perairan Nusantara, di mana Negara Nusantara juga mempunyai


kedaulatan wilayah atas perairan tersebut, baik atas airnya, udara di
atasnya, tanah di bawahnya dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di
9

dalamnya. Negara-negara lain mempunyai hak lewat berdasarkan


ketentuan innocent passage di seluruh perairan nusantara (kecuali di
perairan pedalaman serta hak lewat lebih bebas melalui Alur-alur Lautan
Kepulauan (ALKI) atau sealanes yang akan ditetapkan. Selain itu, negara-
negara tetangga mempunyai traditional fishing rightdi bagian-bagian
tertentu perairan nusantara yang pelaksanaannya haruslah didasarkan pada
suatu persetujuan bilateral. Negara-negara tetangga juga memperoleh hak-
hak khusus seperti ditetapkan dalam Konvensi, juga hak untuk memelihara
under water cables yang dijamin dengan syarat-syarat tertentu.

3) Laut Wilayah selebar 12 mil di luar Perairan Nusantara di mana negara


pantai juga mempunyai kedaulatan wilayah termasuk atas seluruh
kekayaan alamnya. Negara-negara asing mempunyai hak innocent passage
melalui Laut Wilayah dan sealanes passage di perairan Laut Wilayah yang
menghubungkan ALKI dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

4) Zona berdekatan selebar 12 mil di luar Laut Wilayah di mana negara


pantai mempunyai hak-hak yang terbatas untuk pengawasan pabean,
imigrasi, karantina kesehatan dan untuk mencegah pelanggaran atas
ketentuan-ketentuan hukum dalam wilayahnya. Negara pantai tidak
mempunyai kedaulatan wilayah atas Zona Tambahan.

5) ZEE selebar 200 mil dari garis-garis dasar nusantara atau 188 mil di luar
Laut Wilayah. Di ZEE, negara pantai tidak mempunyai kedaulatan
wilayah, tetapi memiliki kedaulatan atas kekayaan alamnya serta
wewenang atau yurisdiksi untuk mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan pembangunan pulau-pulau buatan, instalasi dan anjungan-anjungan
serta mengatur hal-hal yang berhubungan dengan penelitian ilmiah
kelautan dan perlindungan lingkungan laut. Di ZEE kebebasan berlayar
dan terbang dijamin. Negara-negara tertentu dapat memanfaatkan 'surplus'
perikanan ZEE berdasarkan suatu kesepakatan /persetujuan dengan negara
pantai.
10

6) Untuk kawasan dasar ļaut dan tanah di bawahnya di luar batas laut wilayah
berlaku ketentuan Landas Kontinen. Menurut ketentuan Landas Kontinen,
negara pantai juga mempunyai kedaulatan atas kekayaan alam dasar laut
dalam bentuk 'sedentary species,' mineral di permukaan dasar laut dan
tanah di bawahnya. Batas terluar Landas Kontinen adalah sampai sejauh
'natural prolongation' dari wilayah darat suatu negara sampai maksimum
350 mil dari garis-garis dasar yang dipakai untuk mengukur lebar Laut
Wilayah atau 100 mil di luar kedalaman air 2500 meter. Jika 'natural
prolongation' tersebut kurang dari 200 mil dari garis-garis dasar maka
Landas Kontinen tersebut adalah sampai ke batas 200 mil tersebut. Di
Landas Kontinen tidak ada pembagian surplus, tetapi eksploitasi kekayaan
alam di luar batas 200 mil harus dibagi kepada'International Seabed
Authority' sebanyak 1% dari produksi setempat pada tahun keenam yang
kemudian naik 1% setiap tahun sehingga menjadi tetap 7% pada tahun
kedua belas. Di Landas Kontinen, negara pantai tidak mempunyai
kedaulatan wilayah, tetapi hanya memiliki kedaulatan atas kekayaan alam.

7) Di luar batas ZEE terdapat Laut Bebas di mana semuanegara berhak


mempergunakan baik untuk keperluan berlayar, terbang ataupun
menangkap ikan.

8) Di luar Landas Kontinen terdapat daerah dasar laut internasional yang


dianggap sebagai 'warisan bersama umat manusia' yang pengurusannya,
termasuk pengurusankekayaan alamnya, diatur oleh Badan Otorita Dasar
Laut Internasional.

9) Selain pembagian kawasan laut dengan kewenangan negara-negara pantai


yang berbeda-beda itu, terdapat pula kawasan laut yang mendapat
perhatian khusus yang dinamakan 'selat yang dipakai untuk hubungan
internasional'. Misalnya, Selat Malaka dan Selat Singapura yang
mempunyai ketentuan-ketentuan pelayaran tersendiri.

10) Di samping itu, ada pula yang dinamakan dengan 'Laut Tertutup atau
Separo Tertutup', seperti Laut Cina Selatan, di mana negara-negara pantai
11

di sekelilingnya diharapkan bekerja sama mengkoordinasikan pemanfaatan


perikanannya, pemeliharaan lingkungan lautnya, pelaksanaan penelitian
ilmiah kelautan, serta mengundang pihak-pihak lain untuk bekerja sama
sebagaimana wajarnya.

11) Negara-negara yang tidak berpantai seperti Laos juga dijamin


kesempatannya untuk mempunyai akses ke laut ataupun untuk ikut
memanfaatkan 'surplus' perikanan di ZEE berdasarkan suatu agreement
dengan negara yang mempunyai kedaulatan atas kekayaan alam ZEE
tersebut.

12) Berdasarkan pembagian kawasan laut menurut Hukum Laut PBB 1982
yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang nomor
17/1985 dan yang telah mulai berlaku sejak 16 November 1994, maka:

a. Indonesia mempunyai kedaulatan wilayah atasPerairan Pedalaman,


Perairan Nusantara dan Laut Wilayah dan atas seluruh kekayaan
alam, baik hayati maupun nabati di perairan-perairan tersebut
dengan menghormati traditional fishing right negara-negara
tetangga yang terdekat di perairan-perairan tertentu perairan
nusantara yang pelaksanaannya harus dilakukan berdasarkan suatu
perjanjian bilateral dengan Indonesia.

b. Indonesia mempunyai kedaulatan atas kekayaan alam di ZEE dan


Landas Kontinen, tetapi tidak mempunyai kedaulatan wilayah atas
kawasan-kawasan tersebut. Pelaksanaan kedaulatan atas kekayaan
alam tersebut memuat ketentuan 'surplus' atas perikanan di ZEE
dan ketentuan revenue sharing atas eksploitasi kekayaan alam di
landas kontinen di luar batas 200 mil.

Dalam pada itu, menurut soegiarto (1976), definisi wilayah pesisiryang


digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah
darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendamn air,
yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan
perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian
12

laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia
di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Definisi wilayah pesisir seperti di atas memberikan suatu pengertian


bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai
kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi
antara habitat tersebut, selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga
merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia.
Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung
berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir.

Tabel 1.2 Batas ke arah darat dan kearah laut wilaah pesisir yang telah
dipraktekakkan di beberapa Negara atau Negara bagian

No Negara-negara Bagiaan Batas Ke Arah Batas ke arah


Darat laut
1. Brazilia 2 Km dari daerah 12 Km dari garis
PTR
2. California a. 1000 mk dari a. 3 mil dari
1972-1976 garsi PTR garis GD
1977 - sekarang b. Batas arbitrer b. 3 mil laut
tergantung isu dari Gd
pengelolaan
3 Costa Rica 200 m dari garis Garis pantai saat
PTR PRR
4 Cina 10 Km dari PTR Sampai
kedalaman laut /
isobath 15m
5 Ekuador Batas arbitrer BL
tergantung isu
pengelolaan
6 Israel 1-2 Km 500 m dari garis
13

tergantung jenis pantai saat prr


sumber daya dan
lingkungan
7. Afrika Selatan 1 Km dari garis BL
PTR
8 Australia Selatan 100 Km dari garis 3 mil laut dari
PTR GD
9 Queensland 400 Km dari garis 3 mil laut dari
PTR GD
10 Spannyol 500 Km dari garis 1 mil laut dar2
PTR
11 Washinton State a. Batas darat
a. batas perencanaa negara pantai 3 mil laut dari
b. batas pengaturan b. 61 m dari garis GD
PTR 3 mil laut dari
GD
Sumber : Sorenses dan Mc. Crear (1990)

Keterangan :

- PTR = Pasut tinggi rata-rata (mean high tide)


- PRR = Pusat rendah rata-rata (mean love tide)
- GD = Garis Dasar (coastale Base lad

Menurt kesepakatan internasional terakhir, wilaah pesisir didefinisikan


sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, kearah darat mencakup daerah
ang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut
meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (beatle et al.,1994).

Dalam Rapat Kerja Nasional Proek MREP( Marine Resource Evaluation


and Planning atau Perencanaan Evaluasi Sumber Daa Kelautan) di Manado, 1-3
Agustus 1994, telah ditetapkan bahwa batas kearah laut suatu wilayah pesisir
adalah sesuai dengan bats laut ang terdapat dalam Peta Lingkungan Pantai
Indonesia (PLPI) dengan skala 1:50.000 ang telah diterbitkan oleh Badan
14

Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Sedangkan bats


kearah darat adalah meencakup batas administrasi seluruh desa pantai (sesuai
dengan ketentuan Direktoral jenderal pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah,
Departement Dalam Negeri) yang termasuk ke dalam wilayah pesisir MREP.

Berdasarkan uraian diatas, maka untuk kepentingan pengelolaan adalah


kurang begitu penting untuk menetapkan batas-batas fisik suatu wilayah pesisir
secara kaku (rigid). Akan lebih berarti, jika penetapan batas-batas suatu wilayah
pesisir didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan
(pemanfaatan dan pengelolaan adalah untuk mengendalikan atau menurunkan
tingkat pencemaran perairan pesisir ke arah darat hendaknya menccakup suatu
daratan DAS (Daerah Aliran Sungai) dimana buangan limbah disini akan
mempengaruhi kualitas peraian pesisir. Batas wilayah pesisir kearah darat atau
semacam ini sama seperti yang dianut oleh United States (US) Coastal
Management Act 1972 dan California sejak tahun 1976. Sedangkan, kearah laut
hendakna meliputi daerah laut yang masih dipengaruhi oleh pencemaran yang
berasal dari darat tersebut atau suatu daerah laut dimana kalau terjadi pencemaran
(misalnya tumpahan minak), minyaknya akan mengenai perairan pasisir. Batasan
wilaah pesisir yang sama dapat berlaku, jika tujuan pengelolaannya adalah untuk
mengendalikan laju sedimentasi diwilayah pesisir akibat pengelolaan lahan atas
yang kurang bijaksana sepetrti penebangan hutan secara semena-mena dan bertani
pada lahan dengan kemiringan lebih dari 40%.

Sementara itu, jika tujuan pengelolaan suatu wilayah pesisir adalah untuk
mengendalikan erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup hanya sampai
pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi dan batas ke arah laut adalah
daerah yang terkena pengaruh distribusi sedimen akibat proses abrasi, yang
biasanya terdapat pada daerah pemecah gelombang (break water zone) yang
paling dekat dengna garis pantai. Dengan demikian, meskipun untuk kepentingan
pengelolaan sehari-hari ( day to day management) kegiatan pembangunan di lahan
atas atau dilaut lepas biasanya ditangani oleh instansi tersendiri, namun untuk
kepentingan perencanaan pembangunan wilayah pesisir, segenap pengaruh-
15

pengaruh atau keterkaitan tersebut harus dimasukkan pada saat menyusun


perencanaan pembangunan wilayah pesisir.

Sampai buku ini selesai ditulis, batasan wilayah pesisir dan laut untuk
tingkat kabupaten dan provinsi di Indonesia masih dalam proses penetapan oleh
berbagai instansi terkait ang dikoordinasikan oleh Direktoral Jenderal
Pembangunan Daerah (BANGDA) Departement dalam negeri dan BPHN (Badan
Pembina Hukum Nasioaal).

2.1.2 Lingkungan dan Sumber Daya Wilayah Pesisir.

Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan
(ekosistem) dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami atau
pun buatan (man-made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara
lain adalah: terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (sea
grass), pantai berpasir (sandy beach), informasi per-caprea, informasi baringtonia,
estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa:
tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan
agroindustri dan kawasan permukiman.

Sumber daya di wilayah pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat
pulih dan sumber daya alam yang tak dapat pulih, sumber daya yang dapat pulih
antara lain, meliputi: sumber daya perikanan (plankton, benthos, hutan mangrove
dan terumbu karang. Sedangkan sumber daya tak dapat pulih, antara lain yaitu:
minyak dan gas, biji besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta bahan tambang
lainnya.

2.1.3 Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Sektoral

Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral biasanya


berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumber daya atau ruang pesisir
oleh suatu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti perikanan
tangkap, tambak, pariwisata, pelabuhan atau industri minyak dan gas. Pengelolaan
semacam ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antarsektor yang
16

berkepentingan yang melakukan aktivitas pembangunan pada wilayah pesisir dan


lautan yang sama. Selain itu, pendekatan semacam ini umumnya tidak atau kurang
mengindahkan dampak terhadap yang lain, sehingga dapat mematikan usaha
sektor lain. Contoh kegiatan industri yang membuang limbahnya ke lingkungan
pesisir dapat mematikan usaha tambak, perikanan tangkap, pariwisata pantai dan
membahayakan kesehatan manusia.

2.1.4 Perencanaan Terpadu.

Perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasi dan


mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan
pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan.
Perencanaan terbadu dimaksudkan sebagai suatu upaya secara terprogram untuk
mencapai tujuan sebagai suatu upaya secara terprogram untuk mencapai tujuan
yang dapat mengharmonisasikan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk
memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat dan pembangunan ekonomi.
Keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di
wiayah pesisir dan kelautan yang meliputi: pengumpulan dan analisis data,
perencanaan, implementasi dan kegiatan konstruksi (sorensen dan Mc Creary,
1990).

Dalam konteks perencanaan pembangunan sumber daya alam yang lebih


luas, Hanson (1988) mendefinisikan perencanaan sumber daya secara terpadu
sebagai suatu upaya secara bertahap dan terprogram untuk mencapai tingkat
pemanfaatan sistem sumber daya alam secara optimal dengan memperhatikan
semua tahap lintas yang mungkin timbul. Dalam hal ini yang dimaksud dengan
pemanfaatan optimal adalah suatu cara pemanfaatan sumber daya pesisir dan
lautann yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi secara berkesinambungan
untuk kemakmuran masyarakat.

Sementara, Lang (1986) menyarankan bahwa keterpaduan dalam


perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam, seprti pesisir dan lautan,
hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level): teknis, konsultatif dan koordinasi.
Pada tataran teknis, segenap pertimbangan teknik, ekonomis, sosial dan
17

lingkungan hendaknya secara seimbnag atau proporsional dimasukkan kedalam


setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumber daya pesisir dan
lautan. Pada tataran konsultan, segenap aspirasi dan kebutuhan para pihak yang
terlibat (stakeholders) atau terkena dampak pembangunan sumber daya pesisir dan
lautan hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaan.
Tataran koordinasi mensyaratkan diperlukannya kerjasama yang harmonis antar
semua pihak yang berkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan,
baik itu pemerintah, swasta, maupun masyarakat umu.

2.1.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan


pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber
daya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna
mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam konteks ni
keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi: bidang ilmu dan keterkaitan
ekologis.

Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas,


wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat
pemerintah tertentu (horizontal integreation) dan antar tingkat pemerintah pusat
(vertical intergreation).

Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam


pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan
interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu:
ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum dan lainnya yang relevan. Wilayah
pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangrove,
terumbu karang, estuaria, pantai berpasir dan lainnya) yang satu sama lain saling
terkait, tidak berdirisendiri.

Perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa


pula ekosistem lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai
macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan
atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans). Kondisi empiris semacam ini
18

mensyaratkan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu


(PWPL.T) harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (eco- logical
linkages) tersebut, yang dapat mempengaruhi suata wilayah pesisir. Mengingat
bahwa suatu pengelolaan (management) terdiri dari tiga tahap utama:
perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi; maka jiwa/ nuansa
keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi

2.1.6. Pengelolaan Lautan (Ocean Management)

Pengelolaan lautan sangat terkait dengan kebijakan nasional yang


mengatur pengelolaan wilayah laut. Lautan disini merupakan satu kesatuan dari
permukaan, kolom air sampai ke dasar dan bawah dasar laut. Adapun batas
wilayah lautan dimulai dari batas yurisdiksi di darat (diukur dari rata-rata pasang
tinggi atau rendah) sampar ke laut lepas sejauh klaim negara yang bersangkutan.
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982) memberikan dasar hukum
bagi negara-negara pantai untulk menentukan batasan lautan sam ZEE dan landas
kontinen. Dengan dasar itu, suatu negara memiliki wewenang untuk
mengeksploitasi sumber daya yang ada di zona tersebut, terutama perikanan,
minyak, gas bumi dan berbagai macam bahan tambang lainnya Untuk menentukan
batas terluar dari zona eksklusif dan landas kontinen, negara-negara pantai dapat
memilih satu dari dua metode yang berbeda. Per- tama, mengukur sejauh 200 mil
laut ke arah laut lepas dimulai dari garis dasar atau garis pangkal (baseline) Garis
dasar ditentukan dengan cara menarik ga- ris-garis lurus yang menghubungkan
titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dari negara yang bersangkutan Kedua,
menggunakan batas maksimum darı wilayah kontinen (lihat Gambar 2-1). Benua
(contimental) terbagi atas landas kontinen (comtmental shelh), lereng benua
(continental slope) dan pematang benua (continental rise) Dengan adanya dua
mctode mi maka negara-negara dengan paparan benua kurang dari 200 mil laut,
tetap mempunyai wewenang ZEE sampai 200 mil laut. Sedangkan negara-negara
dengan paparan lebih dari 200 mil laut memiliki wewenang sampai batas terluar
paparan benuanya (lebih dari 200 mil laut) Walaupun demikian, terdapat
pengecualian dari kedua metode tersebut di atas untuk negara-negara yang
bertetangga dengan jarak kurang dari 400 mil laut atau memiliki landas kontinen
19

yang berhubungan. Untuk kedua kasus ini, perbatasan wilayah ZEE merupakan
garis meridian yang diukur dari garis da- sar pantai negara-negara yang
bertetangga tersebut Berbicara masalah kelautan, memang masih ada
ketidakjelasan perbedaon antara wilayah pesisir (coastal) dengan wilayah lautan
(oceanic). Para ahli oseanografi dengan persepsi global terhada asalah kelautan,
biasanya menganggap seluruh area yang ada dalam batas paparan benua sebagai
wilayah pesisir. Sedangkan para pengelola wilayah pesisir biasanya mengangap
seluruh area di luar batas wilayah laut teritorial (3 sampai 12 mil laut) selagai
wilayah laut. Cara termudah umtuk membedakan antara program pengelolaan
pantai dengan program pengelolaan lautan adalah dengan melihat apakah program
tersebut mencakup wilayah teresterial. Wilayah teresterial menupakan seluruh
daratan yang terdapat di dalam batas garis pasang surut tinggi rata-rata.

Mengacu pada cara pembedaan tersebut, maka rencana pengelolaan zonasi


multiguna dari badan otorita Great Brrier Reef Marine Park dapat dikategorikan
sebagai manajemen wilayah laut. Yurisdiksi pengelolaan terhitung mulai dari
garis pasut rendah sampai dengan akhir dari landas kontinen. Batas wilayah laut
dari taman laut ini ditentukan oleh 5 titik koordinat dengan kedalaman kurang
lebih 200 meter. Sejumlah garis yang ditarik untuk menghubungkan kelima
koordinat tersebut bervariasi panjangnya antara 40 sampai 150 mil laut. Wilayah
taman laut ini meliputi satu area seluas 350.000 km satu wilayah yang lebih luas
dari negara Inggris atau dua-pertiga luas begara Prancis. Taman laut ini bukanlah
satu taman nasional dalam pengettian yang konvensional, Konsep yang digunakan
adalah strategi perencanaan multiguna yang memungkinkan untuk mengclala
seluruh kawasan taman laut tersebut dengan meoggunakan pendekatan zonasi.

Negara-negara seperti Brazil, Srilanka, Swedia dan Belanda telah


mempertimbangkan, mempersiapkan dan bahkan mengimplementasikan
pengembangan kelautan atau rencana-rencana pengelolaannya. Menurut publikasi
pada ta- hun 1989 (Vallejo, 1989 dalam Sorensen dan Mc Creary, 1990), hanya
Belanda dan Hawaii (selain the Great Rarrier Reef Marine Park Authority) yang
telah mengembangkan program-program pengetolaan lautan. Tabel 2-1
20

menunjukkan batas-batas aktual maupun yang masih dalam tahap usulan dari
inisiatif pengelolaan wilayah lautan dari beberapa Negara.

Dengan demikian, yang membedakan antara program pengelolaan lautan


dengan pengelolaan wilayah pesisir adalah pada ruang lingkup pengelolaa
Program pengelolaan wilayah pesisir mencakup kawasan daratan sampai laut
pesisir, sedangkan pengelolaan lautan hanya meliputi pengelolaan wilayah laut di
luar paparan benua.
21

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu meupakan kegiatan manusia di bidang
pengelolaan ruang, sumber daya, atau penggunaan yang terdapat pada suatu
wilayah pesisir. Suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries),
yaitu :batas yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas yang tegak
lurus terhadap garis pantai (cross-shore).

Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan
(ekosistem) dan sumber daya pesisir.. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah
pesisir antara lain adalah: terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang
lamun (sea grass), pantai berpasir (sandy beach), informasi per-caprea, informasi
baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain
berupa: tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri,
kawasan agroindustri dan kawasan permukiman.

Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral biasanya


berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumber daya atau ruang pesisir
oleh suatu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti perikanan
tangkap, tambak, pariwisata, pelabuhan atau industri minyak dan gas.

3.2 Saran

Pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan harus lebih dditingkatkan dari


pemerintahan maupun masyarakat setempat. Karena pengelolaan pesisir dan
lautan bisa menjadi faktor pendorong negara maju. Banyaknya tempat wisata
pantai yang bersih dan asri menjadi daya tarik wisatawan dalam negeri maupun
luar negeri.
22

DAFTAR PUSTAKA

kayyan mompala .2014. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut di


Indonesia. http://mambulu.blogspot.co.id/2014/10/makalah-pengaturan-
pengelolaan-wilayah.html. (diakses pada tanggal 24 Mei 2018 pukul 17.00
WIB).

Rokmin, Dahuri, dkk. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT.Pradnya Paramita.

Tommy Cahya Trinanda. 2017. Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia dalam


Rangka Pembangunan Berbasis Pelestarian Lingkungan. Matra
Pembaruan 1 (2) (2017): 75-84-ISSN: 2549-5283 p-ISSN: 2549-5151.

Anda mungkin juga menyukai