BATAK TOBA
Batak Toba adalah sub atau bagian dari suku bangsa Batak yang wilayahnya meliputi
Balige, Porsea, Parsoburan, Laguboti, Ajibata, Uluan, Borbor, Lumban Julu, dan
sekitarnya. Silindung, Samosir, dan Humbang bukanlah Toba. Karena 4 (empat) sub
atau bagian suku bangsa Batak (Silindung_Samosir_Humbang_Toba) memiliki wilayah
dan contoh marga yang berbeda.
Pada Desember 2008, Keresidenan Tapanuli disatukan dalam Provinsi Sumatera Utara.
Toba saat ini masuk dalam wilayah Kabupaten Toba Samosir yang beribukota di Balige.
1. Somba Marhula-hula
3. Elek Marboru
Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang
paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak)
sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula
(Somba marhula-hula).
Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu
marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon
yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya
kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu
marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati
dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak
(berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga.
Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga
(keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai ‘parhobas’ atau
pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara
adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan
dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk,
diistilahkan: Elek marboru.
Kultur atau Budaya dalam Batak Toba
1. Perkawinan
Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak-Toba menganut hukum eksogami
(perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Ini terlihat dalam kenyataan bahwa dalam
masyarakat Batak-Toba: orang tidak mengambil isteri dari kalangan kelompok marga
sendiri (namariboto), perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok
suami, dan bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan galur suami di dalam
garis lelaki. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-
laki.
Ada 2 (dua) ciri utama perkawinan ideal dalam masyarakat Batak-Toba, yakni
(1) Berdasarkan rongkap ni tondi (jodoh) dari kedua mempelai; dan (2) Mengandaikan
kedua mempelai memiliki rongkap ni gabe (kebahagiaan, kesejahteraan), dan
demikian mereka akan dikaruniai banyak anak.
Berdasarkan jenisnya ritus atau tata cara yang digunakan, perkawinan adat Bata Toba
dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan:
1. Unjuk: ritus perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua prosedur
adat Batak Dalihan Na Tolu. Inilah yang disebut sebagai tata upacara ritus perkawinan
biasa (unjuk);
2. Mangadati: ritus perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan adat
Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan yang bersangkutan mangalua atau kawin lari,
tetapi ritusnya sendiri dilakukan sebelum pasangan tersebut memiliki anak; dan
3. Pasahat sulang-sulang ni pahoppu: ritus perkawinan yang dilakukan
di luar adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan bersangkutan mangalua dan
ritusnya diadakan setelah memiliki anak.
Tahapan Perkawinan Adat Batak Toba
Ini adalah tahapan dari perkawaninan adat batak toba:
A. Paranakkon Hata:
1. Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak
laki-laki) kepada parboru (pihak perempuan);
2. Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada ‘suruhan’ pihak
laki-laki pada hari itu juga; dan
3. Pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang
dongan tubu, boru, dan dongan sahuta.
B. Marhusip
1. Marhusip artinya membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh
pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat (ruhut adat di huta i) dan sesuai
dengan keinginan parboru (pihak perempuan);
2. Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin (sinamot). Yang
dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot dan ketentuan
lainnya; dan
3. Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan-
tubu, boru-tubu, dan dongan-sahuta.
C. Marhata Sinamot
1. Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang
dari dongan-tubu, boru dan dongan-sahuta.
2. Mereka tidak membawa makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan
minuman.
E. Unjuk
Semua upacara perkawinan (ulaon unjuk) harus dilakukan di halaman pihak perempuan
(alaman ni parboru), di mana pun upacara dilangsungkan. Berikut adalah tata geraknya:
1. Memanggil liat ni Tulang ni boru muli dilanjutkan dengan menentukan tempat
duduk.[Mengenai tempat duduk di dalam upacara perkawinan diuraikan dalam Dalihan
Na Tolu.
2. Mempersiapkan makanan,
6. Membagikan Jambar,
7. Marhata adat – yang terdiri dari [1] tanggapan oleh parsinabung ni paranak, [2]
dilanjutkan oleh parsinabung ni parboru, [3] Tanggapan parsinabung ni paranak, [4]
tanggapan parsinabung ni parboru,
8. Pasahat sinamot dan todoan,
9. Mangulosi, dan
10. Padalan Olopolop.
F. Tangiang Parujungan
2. Mamaholi
Mamoholi disebut manomu-nomu yang maksudnya adalah menyambut kedatangan
(kelahiran) bayi yang dinanti-nantikan itu. Disamping itu juga dikenal istilah lain untuk
tradisi ini sebagai mamboan aek ni unte yang secara khusus digunakan bagi
kunjungan dari keluarga hula-hula/tulang.
Pada hakikatnya tradisi mamoholi adalah sebuah bentuk nyata dari kehidupan
masyarakat Batak tradisional di bona pasogit yang saling bertolong-tolongan
(masiurupan). Seorang ibu yang baru melahirkan di kampung halaman, mungkin
memerlukan istirahat paling tidak 10 hari sebelum dia mampu mempersiapkan
makanannya sendiri. Dia masih harus berbaring di dekat tungku dapur untuk
menghangatkan badanya dan disegi lain dia perlu makanan yang cukup bergizi untuk
menjamin kelancaran air susu (ASI) bagi bayinya.
3. Kematian
Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum
dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi
berdasar usia dan status si mati. Untuk yang mati ketika masih dalam kandungan (mate
di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati).
Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate
dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum
menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat :
mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum
dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya,
sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki
ibu) si orang mati.
Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang yang
mati:
1. Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-
alangan / mate punu),
2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate
mangkar),
3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun
belum bercucu (mate hatungganeon),
4. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari
matua), dan
5. Telah bercucu tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua).
Mate Saurmatua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat
semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi
diatasnya, yaitu mate saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah
berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya
laki-laki dan dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999:37–42). Namun keduanya
dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki
tanggungan anak lagi).
4. Mangapuli
Kegiatan Mangapuli dalam adat batak adalah memberikan penghiburan kepada keluarga
yang sedang berduka cita. Hanya saja Mangapuli tidak dilakukan secara asal-asal,
semua ada prosedurnya dan prosedur ini erat hubunganya dengan adat Batak Toba.
Kita dan Pihak Keluarga datang membawa makanan, minuman untuk dimakan bersama-
sama di rumah duka. Keluarga yang berduka sama sekali tidak direpotkan dengan
makanan namun cukup menyediakan piring-piring, dan air putih saja.
Dan pihak keluarga yang berduka juga biasanya menyampaikan terimakasih kepada
orang-orang yang sudah datang memberikan penghiburan (dukungan moril) kepada
keluarga yang ditinggalkan yang biasa disebut Mangampu hasuhuton.