Anda di halaman 1dari 14

Disorder of Sex Development (DSD) pada Bayi

Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email: rinthandun@gmail.com

Pendahuluan

Kelahiran anak dengan jenis kelamin yang tidak jelas merupakan suatu kasus kedaruratan
pediatric dan keadaan social emergency, bukan saja karena alasan medis namun karena implikasi
social akibat kerancuan kelamin pada anak tersebut. Kelainan ini dulu dikenal dengan istilah sex
ambiguous yang merupakan istilah lama yang dipakai untuk penderita dengan alat kelamin tidak
jelas. 1

Saat ini digunakan terminology baru yaitu Disorders of sex development (DSD). DSD adalah
penyimpangan klinis dari perkembangan seksual. Insidens DSD antara 1:4.500 hingga 1:5.000.2
Definisi DSD adalah kelainan perkembangan seks kongenital ditandai oleh perkembangan
kromosomal, gonadal dan anatomi seksual yang atipikal. 2-4 Pada DSD terjadi diskrepansi antara
organ genital interna dan eksterna.5 DSD menarik untuk ditangani, melihat manusia seutuhnya
tidak hanya sebatas memilih jenis kelamin namun bagaimana mencapai identitas seksual yang
optimal didukung dengan fungsi organ seksual dan meminimalkan risiko pada fisik, psikis,
mempertahankan fertilitas, memberi kualitas dalam menikmati kehidupan seksual yang baik tanpa
merasa dikucilkan dalam masyarakat.2 Selama 20 tahun terakhir, telah terjadi perdebatan tentang
keuntungan dan kerugian dari kebijakan intervensi dini pada anak-anak dengan DSD. Berfokus
pada kenyataan bahwa banyak keputusan yang diambil membawa dampak yang sangat besar pada
kehidupan masa depan anak-anak ini sedangkan anak-anak sering terlalu muda untuk terlibat
dalam pengambilan keputusan.

Pembahasan

1
Anamnesis

Pada penderita DSD penting ditanyakan riwayat keluarga tentang adanya kematian perinatal atau
neonatal, infertilitas, kosanguitas atau riwayat kesulitan penentuan jenis kelamin saat lahir. Perlu
juga ditanyakan adanya anggota keluarga dengan anomaly genital, hernia inguinalis dengan gonad
prolaps. Pola herediter berbagai kelainan interseks perlu dipikirkan dalam diagnosis banding.
Riwayat kehamilan terutama trimester pertama perlu ditanyakan tumor yang menghasilkan
androgen dapat pada ibu dapat menimbulkan fetus wanita yang mengalami virilisasi. Tanyakan
juga adakah gangguan endokrin pada ibu selama kehamilan, derajat maturitas atau prematuritas
umur kehamilan dan penggunaan progesterone, androgen, dan alkohol pada ibu hamil.6

2. Pemeriksaan medis

Pemeriksaan medis secara lengkap yang berbeda dengan pemeriksaan rutin yang biasa
dilakukan para dokter, sangat diharapkan. Pemeriksaan yang dikakukan secara cermat dan
mendalam ini diperlukan untuk menjelaskan mengenai kelainan yang dijumpai kepada yang
membutuhkan konsultasi. Jika diperlukan, pemeriksaan tersebut harus dilengkapi dengan berbagai
pengukuran, seperti tinggi badan, panjang lengan, keliling lingkar kepala, jarak antara kedua mata,
dan sebagainya. Dengan mengacu pada nilai rata-rata ukuran-ukuran yang telah ditetapkan, dari
pengukuran ini, dapat ditetapkan apakah ada gangguan ataukah semuanya masih tergolong
normal.6

Sering kali orang lupa memeriksa pola garis-garis telapak tangan (dermatoglyphy). Sering
kali, gambaran garis telapak tangan dapat membantu menegakkan diagnosis daripada hanya
memerhatikan sebuah tanda yang ditemukan saja. Apabila ditemukan tanda dan gejala lain,
diagnosis dapat mengarah ke suatu sindrom (kumpulan gejala). Segala bentuk kelainan tubuh
dikaji dalam ilmu dysmorphology.6

Pemeriksaan Fisik

Kecurigaan mengarah ke DSD jika ditemukan gambaran klinis dan ditemukan keadaan-
keadaan di bawah ini pada pemeriksaan fisis pada periode neonatal:
1. Tampak seperti laki-Iaki

2
 Testis bilateral tidak teraba pada bayi cukup bulan
 Hipospadia berhubungan dengan pelepasan sakus skrotum
 Undescended testis dengan hipospadia
 Mikropenis
2. Indeterminate
 Ambiguous genitalia misalnya ekstrofi kloakal
3. Tampak seperti seperti wanita
 Hipertrofi klitoris
 Foreshortened vulva dengan satu lubang
 Hernia inguinal berisi gonad
4. Riwayat keluarga dengan DSD seperti CAIS
5. Ketidaksesuaian antara penampilan genital dengan karyotype.2

Kecurigaan mengarah ke DSD pada anak besar dan dewasa muda jika ditemukan gambaran
klinis dan dari pemeriksaan fisis didapatkan:
1. Ambiguous genitalia yang tidak dikenali
2. Hernia inguinal pada wanita
3. Pubertas terlambat atau tidak lengkap
4. Virilisasi pada wanita
5. Amenorea primer
6. Pertumbuhan payudara pada lelaki.2
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah melakukan pemeriksaan analisa kromosom dengan
cara yang konvensional atau menggunakan teknik fluorescence in-situ hybridization (FISH)
dengan tujuan untuk melakukan analisis keberadaan kromosom X dan Y. Pemeriksaan lain seperti
ultrasonografi abdomen dan pelvis, pengukuran hormone 17-OH-progesteron, testosterone,
gonadotropin, AMH, elektrolit dan urinalisis juga sering dibutuhkan untuk dapat menentukan jenis
DSD.

3
Uji stimulasi adrenocorticotropic hormone (ACTH) untuk mengetahui ada tidaknya defek
dikelenjar gonad. Selain itu untuk memastikan adanya kelainan pada kelenjar adrenal pemeriksaan
analisis steroid pada urin juga dapat dilakukan.7

Pemeriksaan Fluoresence In Situ Hybridization (FISH) yang disarankan pada penderita ini
adalah suatu sitogenetika molekuler dimana dapat dilakukan visualisasi dari lokus atau gen
atau sekuens DNA pada kromosom tertentu dengan menggunakan teknik biokimia yang
dinamis dari hibridisasi "in situ". Sebetulnya teknik ini sudah dimulai sejak tahun 1960-an
dengan hibridisasi DNA probe bermuatan radioaktif. Kemudian berkembang menjadi
hibridisasi in situ non isotop yang lebih murah dan aman. FISH adalah suatu bentuk
hibridisasi insitu pada kromosom, dimana probe ~ asam nukleat dilabel dengan inkorporasi
bahan f1uorophore yaitu grup bahan kimia yang berpendar ketika dipapar dengan iradiasi
ultraviolet. Hibridisasi dengan probe warna pada DNA ini dapat dilakukan secara simultan untuk
beberapa macam probe (Iokus). Deteksi warna dilakukan dengan mikroskop fluoresen yang
menggunakan filter khusus dan ditayangkan serta direkam pada perangkat lunak komputer.8-10
Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan pada penderita DSD berguna untuk menentukan
keadaan organ pelvis dan ukuran adrenal dengan pemeriksaan ultrasonografi, genitografi dan
MRI.11 Genitografi selain dilakukan untuk mengidentifikasi vagina, kanal uterus, tuba falopii atau
vas deferens, juga untuk melihat jalan masuk uretra dan vagina.
Selain itu terdapat juga suatu uji dinamik yang bertujuan untuk menguji fungsi testis untuk
memproduksi hormone androgen. Pemeriksaan tersebut disebut sebagai uji HCG. Namun protocol
pemeriksaan dosis, frekuensi dan kapan saat yang tepat dimulai pemeriksaan masih diperdebatkan.
Protocol yang sering digunakan yaitu, dengan menggunakan HCG 1500 unit selama 3 hari dan
sampel pasca injeksi diambil setelah 24 jam dari suntikan terakhir, serta saat yang tepat dilakukan
adalah setelah melewati masa neonates (usia lebih dari 4 minggu karena terkait dengan
peningkatan aktifitas sel leydig. Tes stimulasi HCG dilakukan untuk menilai fungsi testikular dari
sel leydig apakah mampu menghasilkan testoteron sebagai respon terhadap LH.

Diagnosis

4
Spektrum diagnosis yang luas dan tidak adanya protokol evaluasi yang spesifik mempersulit
kepastian diagnosis. Lebarnya spektrum diagnosis pada kelainan genitalia eksterna, biaya
pemeriksaan penunjang yang relatif mahal serta lamanya waktu pemeriksaan menyebabkan perlu
kecermatan dalam pemilihan pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan.

Pada bayi yang menderita perkembangan ambiseksual, penegakan diagnosis sedini


mungkin setelah lahir penting untuk dilakukan, tidak hanya karena alasan psikologis dan sosial,
tetapi juga karena bahaya yang akan timbul jika gagal mengenali hyperplasia adrenal kongential
yang disertai dengan bentuk pemborosan garam.12
Beberapa gambaran yang mengesankan adanya suatu kelainan seks
1. Selama masa bayi
 Penampilan genitalia eksterna yang ambigu
 Laki-laki fenotipik dengan kriptorkidisme, terutama jika zakar kecil
 Perempuan fenotoipik dengan massa di region inguinal atau labium majus
 Saudara kandung yang menderita kelainan seksual
 Perempuan fenotipik dengan edema nyata di bagian distal ekstremitas serta lipatan kulit
longgar di daerah tengkuk.
2. Setelah masa bayi
 Perempuan pendek, terutama dengan tampilan sindrom disgenesis gonad
 Perempuan dengan pembesaran klitoris
 Remaja laki-laki dengan testis yang kecil, terutama jika disertai dengan ginekomastia
dan eunukoidisme
 Amenore primer pada remaja perempuan yang disertai dengan perkembangan payudara
serta rambut pubis dan ketiak yang jarang atau tidak ada.12

Disgenesis Gonadal Campuran

Disgenesis gonadal adalah kelainan pada differensiasi gonad yang terjadi akibat defek
kromosom dan adanya mutasi gen spesifik. Bentuk disgenesis gonad dibagi 2, yaitu murni dan
campuran. Disgenesis campuran merupakan bentuk ambiguous genitalia tersering, dengan
karyotip 45X0/46XY/mosaic. Manifestasi kliniknya perawakan pendek, ambiguous genitalia.

5
Fenotip bervariasi sangat luas, dari sindroma turner hingga laki-laki normal. Potensial transformasi
ganas (“streak gonad” dan testis ). Bila diputuskan perempuan dilakukan gonadektomi. Bila
diputuskan laki-laki maka testis dikembalikan ke kantung skrotum.13

Turner Syndrom

Sindrom turner adalah suatu kelainan genetic yang ditemukan pada wanita. Hal ini disebabkan
tidak adanya sebagian atau seluruh kromosom X (Xo). Sindrom turner bukan merupakan penyakit
keturunan. Gadis yang menderita gangguan ini tidak mengembangkan karakter seksual sekunder
pada masa pubertas dan terbelakang ovarium.13

Sindrom turner dijumpai pada abortusis dan penyebab 20% kematian trimester pertama akibat
kelainan kromosom. Prevalensi pada bayi lahir hidup adalah sekitar 1 dari 5000. Antara 30 dan
50% mengalami cacat jantung mayor yang mungkin berupa koarktasio aorta dan katup aorta
bicuspid. Mekanisme hilangnya kromosom belum diketahui. Mungkin bahwa gen yang terkait
terlibat pada fenotip turner adalah gen terkait-X yang lolos inaktivasi.13

Perawakan yang sangat pendek yaitu tinggi badan kurang dari 140 cm yang disertai dengan
dua atau lebih anomaly yang karakteristik (toraks, bentuk perisai, leher berselaput, kelainan wajah,
tumbuh rambut letak rendah, limfedema). Untuk mendeteksi adanya kelainan pada janin selama
kehamilan berlangsung, dapat dilakukan dengan USG. Analisis kromosom juga dapat dilakukan
ketika bayi masih di dalam kandungan ataupun saat telah dilahirkan. Penatalaksanaan sindrom
turner meliputi 3 masalah psikologik, masalah pertumbuhan, dan induksi pubertas dengan etinil
estradiol. Prognosis dari sindrom turner pertumbuhan badan tidak akan normal, tanda kedewasaan
jasmani bisa tercapai, dan kehidupan seksualnya bisa normal, namun tetap mandul.13

Klinefelter Syndrom

Sindrom klinefelter merupakan gangguan genetic pada pria dimana terdapat tambahan pada
kromosom sex (XXY). Kelebihan kromosom ini menyebabkan terbentuk sedikit testoteron (fisik
pria menjadi sama seperti wanita). Gejala klinis klinefelter sindrom yaitu gejala fisiknya kaki
panjang, pinggul lebar, ginekomastia, testis kecil (mikro testis), kelemahan pada tulang, muscular
(-). Gejala pada bahasa yaitu lambat dalam perkembangan bahasa, susah mengekspresikan pikiran
dan keinginan, gangguan pada proses membaca serta mendengar. Gejala lainnya adalah kehidupan

6
sex normal tetapi sulit mempunyai keturunan karena sedikitnya produksi testosterone. Pemberian
testosterone pada masa pubertas dapat membuat perkembangan tubuh normal seper\ti lelaki pada
umumnya. Dokter spesialis infertilitas dapat membantu penderita klinefelter untuk mempunyai
keturunan.13

Manifestasi Klinik DSD

Manifestasi klinik DSD dapat terlihat pada masa neonates atau tidak terlihat sampai menginjak
usia pubertas. Pada masa neonates, umumnya petugas medis mendapatkan masalah untuk
menentukan jenis kelamin pada bayi yang baru saja dilahirkan akibat klitoromegali,
pembengkakan daerah inguinal pada neonates “perempuan”, tidak terabanya testis pada neonates
“laki-laki”, ataupun hipospadia. Sedangkan pada masa pubertas, umumnya manifestasi dapat
berupa terhambatnya pertumbuhan seks sekunder, amenore primer, adanya virilisasi pada
perempuan, gynecomastia, dan infertilitas.14

Gejala dari kelamin ganda (ambigous genitalia), pada bayi yang secara genetika seorang
perempuan (kedua chromosome XX), maka:
 Terlihat clitoris yang membesar yang sering dikira sebagai penis
 Bibir bawah yang tertutup atau seperti lipatan hingga dikira sebagai scrotum
 Benjolan dibawah kelamin yang dikira sebagai testis.
Pada bayi yang secara genetis adalah laki laki, maka gejalanya adalah:
 Saluran kencing tidak sampai ke depan penis (berhenti dan keluar ditengah atau dipangkal
penis)
 Penis sangat kecil dengan lubang saluran kencing dekat dari scrotum
 Testis tidak ada atau hanya ada satu buah.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang optimal untuk DSD membutuhkan peran dari tim multidisiplin yang
berpengalam yang meliputi lingkup psikososial, medis, dan pembedahan serta disiplin ilmu
subspesialis lainnya seperti ahli neunatologi, pediatric endokrinologi, pediatric urologi,

7
endokrinologi ginekologi, ahli genetic, konselor, psikiater atau ahli psikologi, perawat dan pekerja
social.7,13

Lingkup Penanganan Psikososial

Manajemen psikososial pada DSD diantaranya adalah dengan melakukan gender assignment
& reassignment. Gender assignment (menentukan identitas kelamin) sebaiknya telah mampu
dilakukan pada masa neonates. Semakin lama menunda penetuan jenis kelamin oleh ahli yang
berpengalaman, dapat menimbulkan risiko terjadinya penolakan terhadap eksistensi anak
penderita DSD oleh kedua orangtua yang diperkirakan dapat mengganggu aspek tumbuh kembang
anak terutama pada perkembangan organ reproduksi selanjutnya. Semakin lama penentuan jenis
kelamin akan berpengaruh pula pada prognosis dan pemilihan terapi yang akan menetukan kapan
dimulainya pemberian terapi hormonal, jenis terapi hormonal yang dipilih serta lama
pemberiannya, pemilihan waktu yang tepat untuk pembedahan, hingga potensi seksualitas dan
fertilitas pada DSD di usia dewasa yang mempengaruhi kualitas hidupnya. Jika penetuan jenis
kelamin masih sulit ditentukan, sebaiknya para ahli yang menangani rutin memberikan penjelasan
dan konseling terhadap pihak orang tua sehingga dapat memulai adaptasi terhadap kondisi yang
dihadapi.7

Tidak menutup kemungkinan dalam penatalaksanaan DSD dilakukan gender reassignment


(menentukan kembali identitas kelamin). Saat ini, usia 18 bulan dianggap sebagai batas atas dalam
melakukan gender reassignment, jika gender reassignment baru dilakukan pada usia balita atau
usia anak-anak, evaluasi psikososial sangat penting, karena sudah terjadi perkembangan perilaku
berdasarkan jenis kelamin yang baru, sulit diberikan bila pemberian informasi dan konseling tidak
dilakukan secara mendalam dan rutin terhadap pihak orangtua ataupun terhadap anak penderita
DSD sendiri. Manajemen informasi kepada anak penderita DSD oleh konselor yang terlatih,
adalah termasuk dalam hal yang penting untuk dipahami. Seorang konselor harus mampu
menceritakan secara jujur tentang kondisi atau riwayat perjalanan penyakit DSD kepada
penyandang DSD bila ia sudah mampu memahami kondisi kesehatan dirinya (umumnya dilakukan
pada usia tamat sekolah menengah pertama). Dengan melakukan manajemen informasi yang baik,
diharapkan penyandang DSD dapat menerima kondisinya saat ini, mampu menjalankan terapi

8
yang berkesinambungan, serta mendapat edukasi mengenai perkembangan pubertas, seksualitas,
dan kemungkinan potensi fertilitas dimasa mendatang. Manajemen informasi juga diberikan
kepada pihak orangtua terkait dengan kondisi, prognosis, dan pengetahuan orangtua tentang DSD.7

Metode lain dalam lingkup psikososial yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk
support groups. Terbukti dalam beberapa waktu belakangan ini, seiring dengan perkembangan
teknologi informasi, perkembangan support groups DSD sangat membantu dalam penatalaksanaan
DSD. Adanya support groups membantu menimbulkan rasa kepercayaan diri, saling membantu
antar sesama dan meningkatkan kualitas hidup, serta mampu menimbulkan rasa dukungan dari
pihak keluarga.7

Lingkup Penanganan Medis

Penatalaksanaan medis umumnya adalah meliputi pemberian terapi hormonal. Pemberian


terapi hormonal ini juga termasuk dalam upaya pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis DSD
sesuai dengan klasifikasinya. Pemberian terapi hormone pada DSD didasari atas kebutuhan
hormone seks untuk menginisiasi maturasi pubertas. Terapi hormonal ini dapat dilakukan pada
saat usia penyandang DSD memasuki usia pubertas dimana lingkungan pergaulannya juga
memasuki masa tersebut. Jika terlalu lama menunda pemberian terapi hormone dapat
menimbulkan keterlambatan perkembangan genitalia, fungsi reproduksi dan fungsi seksual serta
mempengaruhi kualitas hidupnya di masa mendatang.13

Lingkup Penanganan Pembedahan

Berdasarkan guidelines American Academy of Pediatricks, lingkup pembedahan sudah


termasuk dalam pemilihan terapi DSD. Terapi pembedahan berupa genitoplasty dapat dilakukan
jika diagnosis sudah ditegakkan dengan pasti dan hasil keluaran pasca operasi bermanfaat dalam
penentuan jenis kelamin di usia dewasa. Genitoplasty adalah merupakan jenis terapi yang bersifat
irreversible seperti dilakukannya kastrasi dan reduksi phallus pada DSD yang akan menjadi wanita
dan reseksi utero-vagina pada DSD yang akan menjadi pria. Terkadang DSD yang tidak
terdiagnosis pada masa infan dan baru diketahui saat memasuki masa pubertas, seperti pada kasus
anak perempuan dengan CAH dan dibesarkan sebagai anak lelaki atau pada kasus anak lelaki
dengan defisiensi 17β-hydroxystreoid dehydrogenase dan 5α-reduktase dibesarkan sebagai anak
perempuan. Kondisi tersebut menimbulkan tekanan mental pada orangtua dan penyandang DSD,

9
namun pemilihan terapi pembedahan tidak boleh langsung dilakukan sebelum dilakukan
pemeriksaan endokrin dan pendekatan terapi psikososial. Seluruh jenis tindakan pembedahan yang
akan dilakukan harus dipertimbangkan secara hati-hati, dengan selalu mengutamakan kepentingan
pasien diatas segala-galanya.13

Hingga saat ini oenentuan usia yang tepat untuk menentukan kapan sebaiknya operasi
dilakukan masih diperdebatkan. Berdasarkan aspek psikososial, tindakan operasi yang dilakukan
pada masa infan lebih disukai, karena lebih mudah dilakukan dan riwayat trauma operasi dapat
dihilangkan jika dibandingkan dengan melakukan pembedahan pada anak saat memasuki usia
dewasa. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa tindakan operasi DSD sebaiknya menunggu
sampai usia yang cukup untuk menerima informasi dan selanjutnya dilakukan informed consent
langsung kepada penyandang DSD, mengingat yang dilakukan berhubungan dengan fungsi
seksualitas. Sebelum tindakan pembedahan penting diketahui bagi pihak orangtua dan penyandang
DSD mengenai untung dan ruginya tindakan pembedahan serta hasil akhir yang akan di dapat.13

Tujuan utama tindakan pembedahan adalah mengembalikan fungsi organ genitalia


dibandingkan fungsi estetiknya. Tujuan lainnya adalah menentukan jenis kelamin yang tepat,
membantu pembentukan image tubuh sesuai dengan jenis kelaminnya, menghindari stigma social,
dan terakhir berkaitan dengan fungsi seksualitas dalam berhubungan seksual. Jika tindakan
pembedahan sudah ditetapkan, setelah menjalankan operasi penatalaksanaan lainnya yaitu aspek
psikososial dan medis harus tetap dijalankan secara teratur. Karena rangkaian penatalaksanaan
antara ketiganya saling mendukung satu sama lain. Terapi pembedahan gonad saat ini juga dinilai
penting, terutama pada kasus 46XY DSD, dimana umumnya testis masih tetap berada di dalam
rongga abdomen. Kemungkinan adanya diferensiasi gonad kearah keganasan membuat terapi
pengangkatan gonad dibutuhkan. Pemeriksaan biopsy gonad kadang juga diperlukan untuk
membuktikan adanya kelainan disgenesis gonad atau adanya kondisi ovotestis.

Konseling Genetik

Konsultasi genetik merupakan layanan komunikasi antara ahli genetika medik dengan
penyandang cacat herediter atau keluarganya. Konsultasi menyangkut nasihat mengenai berbagai

10
kondisi kelainan yang diwariskan, untuk membantu agar yang berkepentingan dapat mengambil
keputusan. Konsultasi medik merupakan salah satu pendekatan, dalam upaya pencegahan agar
alel-alel mutan penyebab penyakit di dalam keluarga tidak tetap berada di dalam populasi.
Perkembangan metode konsultasi medik ini menumbuhkan profesi khusus dalam ilmu kedokteran.
Seorang ahli genetika medic, selain dituntut dapat menilai secara tepat tentang risiko dalam
keluarga juga harus dapat mendiskusikan berbagai masalah yang berkaitan dengan reproduksi.
Kini telah dicapai kemajuan penting menyangkut pemecahan masalah gangguan genetic,
khususnya mengenai diagnosis prenatal sehingga dapat secara tepat memberikan saran apakah
suatu kehamilan dengan malformasi perlu dipertahankan ataukah diakhiri. Diagnosis prenatal
merupakan diagnosis mengenai masalah-masalah janin dalam kandungan sebelum dilahirkan.
Diagnosis prenatal menawarkan suatu kepastian bagi pasangan suami istri yang sebelumnya
menghadapi risiko tinggi mempunyai keturunan dengan gangguan genetic yang sangat parah.
Setelah mendapatkan penjelasan, nasihat, dan saran, para pasangan dapat berharap mendapatkan
keturunan yang sehat.15

a. Indikasi Umum Untuk Konsultasi Genetik:15

1. Anak sebelumnya dilahirkan dengan kelainan congenital multiple, kemunduran mental, atau
kerusakan organ (seperti kerusakan tuba neuralis, bibir sumbing dan celah langit-langit);

2. Riwayat keluarga dengan kondisi herediter, seperti misalnya cyst fibrosis, sindrom
kromosom fragil, atau diabetes;

3. Wanita umur lanjut yang membutuhkan diagnosis prenatal atau indikasi lain;

4. Perkawinan antar kerabat;

5. Orang yang dihadapkan pada risiko pajanan terhadap teratogen, seperti bahan kimia di
tempat kerja, obat-oabatan, dan alcohol;

6. Seorang wanita yang mengalami kegagalan kehamilan berulang atau kemandulan;

7. Seorang wanita yang telah di diagnosis menyandang abnormalitas atau kondisi genetic yang
berisiko;

11
8. Pasangan yang sebelum menjalani uji genetic dan sesudah menerima hasilnya, khususnya
mengenai kemungkinan tertundanya manifestasi gangguan, seperti kanker dan penyakit
neurologic.

b. Langkah-langkah Konsultasi Genetik

Dalam kegiatan konseling tersebut, dapat diidentifikasikan ada 5 langkah, yaitu : menyusun
riwayat dan silsilah keluarga, pemeriksaan medis, diagnosis, diskusi, nasihat, dan saran, dan
ditindak lanjuti.

 Menyusun riwayat dan silsilah keluarga

Langkah pertama yang harus dilakukan seorang konsultan genetic, yaitu melakukan
wawancara, baik dengan penyandang gangguan genetic secara langsung maupun anggota
keluarga lain guna mengetahui awal timbulnya penyakit herediter dalam keluarga, serta untuk
mengetahui perjalanan penyakit. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak jauh berbeda
dengan cara penggalian informasi yang diperlukan terhadap keluhan penyakit umum lain.
Riwayat penyakit yang perlu digali selain berasal dari penyandang, juga riwayat penyakit dalam
keluarga. Setelah mendapatkan gambaran jelas tentang penyakit yang dikeluhkan, barulah
disusun silsilah penyakit dalam keluarga, baik melalui wawancara langsung ataupun melalui
pengamatan sendiri jika hal ini dimungkinkan. Pada ilmu genetika medic dikenal tatacara dan
symbol-simbol khusus yang diperlukan dalam menyusun pohon silsilah penyakit keluarga.
Untuk setiap individu dalam pohon silsilah, selain diberikan nomor, juga dilengkapi dengan
nama, umur, dan asal-usul etnis. Riwayat keguguran, kematian pada saat lahir, anak-anak cacat
atau malformasi tidak perlu dicantumkan kecuali diperlukan.15

Konsultasi Medikolegal

Perubahan Status Identitas

12
Identitas seseorang/anak merupakan sesuatu yang sangat penting dan akan selalu digunakan
dalam segala aspek kehidupan, sehingga oleh pemerintah dibuatkan aturan khusus yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.16

Kesimpulan

Disorders of sex development merupakan suatu kelainan yang terjadi akibat perkembangan
anatomis organ kelamin yang tidak sempurna pada saat embrio. Kelainan tersebut menyebabkan
tidak bisa dipastikannya jenis kelamin bayi yang baru lahir, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
kromosom dan juga pemeriksaan hormon. DSD perlu ditangani sehingga dapat mencapai identitas
seksual yang optimal didukung dengan fungsi organ seksual dan meminimalkan risiko pada fisik,
psikis, mempertahankan fertilitas, memberi kualitas dalam menikmati kehidupan seksual yang
baik tanpa merasa dikucilkan dalam masyarakat.

Daftar Pustaka

1. Hughes IA. Disorders of sex development: a new definition and classification. Best Practice &
Research Clinical Endocrinology & Metabolism.2008;22(1).p.119-34.
2. MP. Evaluation of the Newborn with Developmental Anomalies of the External Genitalia.
Pediatrics. 2000,106(1): 138-43.
3. Allen L. Disorders of Sexual Development. Obst~t Gynecol Clin N Am 36 (2009) 2545
4. Carrillo M, Damian M, Berkovitz G. Disorders of Sexual Differentiation. Pediatric
Endocrinology.5th ed.,lnforma Healthcare.2007(2):365-90
5. Levine lS. White PC. Congenital Adrenal Hyperplasia and Related Disorders. In:
Behrman RE. Kliegman RM. Jenson HB. Nelson textbook of Pediatrics. 1 th ed. Saunders.
london. 2004:1909-16.
6. Siregar, Charles Darwin. Pendekatan Diagnostik Interseksualitas pada Anak. Dalam Cermin
Dunia Kedokteran No. 126. Jakarta; 2000.p.32-6.
7. Meyer-Bahlburg HFL. Treatment guidelines for children with disorders of sex development.
Neuropsychiatric de I’enfance et de I’adolescense.2008;56.p.345-49.

13
8. Chris CD, Moore, Melvin MG. Sex Determination and Gonadogenesis: A Transcription
Cascade of Sex Chromosome and Autosome Genes. Seminars in Perinatology,
1992.16(5):266-78
9. Maclaughlin DT, Donahoe PK. Mechanism of Disease Sex Determination and Differentiation.
N Engl J Med, 2004;350:367-78
10. Josso N. Hormonal Regulation of Sexual Differentiation. Seminars in Perinatology, 1992.
16(5):279-88.
11. Wales JKH, Wit JM, Rogol AD. Abnormal Genital. Pediatric Endocrinology and Growth, 2th
Ed.2003:157-79.
12. Ghai OP, Gupta P. Endocrine and Metabolic Disorders. Essential Pediatrics. 6th Ed. New
Delhi: CBS Publisher 2004: 487-94.
13. Diamond DA, Burns JP, Mitchell C, et al. Sex assignment for newborns with ambiguous
genitalia and exposure to fetal testosterone: attitudes and practices of pediatric urologist. J
Pediatr.2006;148.p.445-9.
14. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi corwin. Jakarta: EGC; 2001.p.63-4.
15. Kresnowidjojo S. Pengantar genetika medic. Jakarta: EGC;2012.p.205-10.
16. Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia, Vol. 15 No. 1, Januari – Maret 2013.

14

Anda mungkin juga menyukai