Anda di halaman 1dari 3

Kisah Heroik Arek Suroboyo Melawan Sekutu di Pertempuran Surabaya

Pekik Siap! menggema pada Pertempuran Tiga Hari di Surabaya. Pekik legendaris itu
dilantangkan Arek-arek Suroboyo. Mereka siap mewakafkan nyawa demi mempertahankan
kemerdekaan yang baru berumur 72 hari.
Pertempuran tiga hari merujuk pada perlawanan rakyat Surabaya terhadap kedatangan
pasukan Inggris. Peristiwa bergelimang darah itu terjadi pada 28-30 Oktober 1945.
Peristiwa ini yang nantinya memicu Pertempuran 10 November, yang selanjutnya
diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Satu hari sebelum peristiwa berdarah itu terjadi, 27 Oktober 1945, sikap pasukan Inggris
memang sudah memantik emosi warga Surabaya. Kala itu, selebaran bernada provokatif
disebar dari atas langit. Isinya menyebut bahwa Inggris akan menembak mati siapa pun
orang Surabaya yang membawa senjata.
“Tapi selebaran itu tidak membuat orang Surabaya takut. Bahkan sebaliknya,” kata
Mayjen Sungkono, Komandan Tentara Kemanan Rakyat (TKR) yang terlibat pertempuran
dalam Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan.
Kedatangan pasukan Inggris di Surabaya memang membawa agenda tak sedap. Selain
bertugas melucuti senjata tentara Jepang, mereka bertugas untuk mengubah Indonesia
kembali menjadi Hindia Belanda.
Inggris berupaya untuk menjadikan Indonesia berada di bawah NICA (Netherlands Indies
Civil Administration). Komandan Brigade Infanteri India Nomor 49, Brigadir Jenderal
Mallaby, bahkan telah menyiapkan 3.000 pasukan untuk agenda tersebut.
Maka sejak pagi sekali, 28 Oktober 1945, Arek Suroboyo sudah mulai bergerak. Ada 120
ribu orang bersiap melancarkan serangan sejak pukul 04.00 pagi. Mereka marah dan
menggeruduk pos-pos pertahanan Inggris.
Tekad Arek Suroboyo memang sudah bulat. Orasi Bung Tomo yang menggelegar di Radio
Pemberontak melenyapkan rasa takut akan mati. Massa yang berjumlah besar tersihir
dengan kata-kata mujarabnya.
Sejarawan Australia, Frank Palmos, dalam Surabaya 1945: Sakral Tanahku menuturkan
bahwa pasukan Inggris kalah jumlah. Ia menggambarkan bahwa seorang prajurit Inggris
bertempur melawan 100 pejuang pada hari itu. Amarah Arek Suroboyo benar-benar
meledak pada peristiwa tersebut.
Pasukan Inggris jelas kocar-kacir. Mereka tak menyangka akan dikalahkan oleh
‘segerombolan orang’ bersenjatakan bedil Jepang, lengkap dengan senjata bambu runcing
seadanya. Sebanyak 428 nyawa pasukan Inggris pun melayang.
Dua hari kemudian, 30 Oktober 1945, terjadi gencatan senjata. Keputusan itu diambil
Presiden Sukarno dan Wapres Hatta saat berdialog dengan seorang Jenderal yang
merupakan dalang di balik selebaran bernada provokatif 27 Oktober, Mayor Jenderal
Hawthorn.
Persoalannya, Mallaby justru tewas ditembak seorang pemuda di depan Gedung Internatio
pada pukul 20.30 WIB. Waktu kematian Mallaby itu hanya terpaut beberapa jam usai
kesepakatan itu rampung. Hubungan Indonesia dan Inggris pun justru semakin memburuk.
Pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Mansergh, mengambil keputusan yang terbilang cepat.
Ia mengultimatum agar warga Surabaya yang memiliki senjata harus menyerahkan diri. Ia
menyebut batas penyerahan diri itu adalah pukul 06.00 WIB, 9 November 1945.
Menanggapi itu, Arek Suroboyo tak gentar. Alih-alih menyerahkan senjata pada pasukan
Inggris, mereka justru menghimpun kekuatan. Seperti apa yang dikatakan Sejarawan Frank
Palmos, setiap hari yang terlewati usai 1 November, Arek Suroboyo mengungkapkannya
sebagai Menjelang Datangnya Badai.
Sampai badai itu tiba, langit Surabaya disesaki oleh pesawat-pesawat pembunuh. Gemuruh
suara tank-tank Inggris membuat bising warga yang tinggal di jalan-jalan utama.
Pertempuran 10 November benar-benar terjadi.
Untuk kesekian kalinya, pekik Siap! kembali menggema. Arek-arek Suroboyo juga telah
mempersiapkan diri dengan menyingkirkan papan nama jalan dan kampung. Semua itu
dilakukan agar pasukan Inggris kebingungan saat membaca peta Kota Surabaya.
Bung Tomo dalam kesaksiannya di Pertempuran 10 November: Kesaksian dan
Pengalaman Seorang Aktor Sejarah menuturkan, Arek Suroboyo yang dimaksud adalah
para pemuda-pemudi. Mereka saling bekerja sama untuk menghadapi perang tersebut.
Sederet nama pemudi seperti Mulyakusuma, Siti Aminah, Anie dan Sulistina mengawasi
distribusi makanan hingga di garis pertempuran terdepan. Di garis pertempuran ada sosok
Sugiarto. Ia yang biasa bermain untuk Persebaya, ikhlas menggantungkan sepatu bolanya
dan menggantinya dengan senjata. Meski ia tewas dalam pertempuran itu.
Sejarah mencatat bahwa Pertempuran Surabaya itu terjadi selama 21 hari. Selama
pertempuran itu, bunyi ledakan terdengar di mana-mana, menyisakan aroma kalium nitrat,
bau mesiu. Langit Surabaya yang biasanya cerah itu pun berubah menjadi kelabu.
Berbeda dengan Pertempuran Tiga Hari, pertempuran ini menyebabkan Surabaya porak
poranda. Sebanyak 30 ribu tentara Inggris lengkap dengan barisan tank dan pesawat
terbang Thunderbolt dan Mosquito berhasil memukul mundur Arek Suroboyo.
Dalam pertempuran itu, Arek Suroboyo sebetulnya tak kalah jumlah. Tercatat ada 20 ribu
personel TKR dan 100 ribu orang sipil yang turut dalam perang tersebut. Mereka terdiri
dari relawan Madura, Bali, serta Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Persoalannya, warga tak memiliki perlengkapan tempur secanggih milik Inggris. Seorang
pejabat humas militer Inggris, David Wehl, bahkan dengan sinis menyebut bahwa rakyat
Surabaya hanya bermodalkan kenekatan.
Dalam bukunya Birth of Indonesia, Wehl menulis: ‘Pengorbanan diri (Arek Suroboyo)
secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati
menyerang tank-tank Sherman’.
Meski menderita kekalahan, kenekatan Arek Suroboyo itu tetap dikenang. Kenekatannya
mampu membuat, paling tidak, pasukan Inggris gemetar. Utusan Inggris untuk Indoonesia,
Lord Kilearn bahkan menumpahkan rasa gemetarnya di buku harian pada 15 November
1945
“Jalan bijak yang harus kita (Inggris) ambil adalah meninggalkan tempat itu secepat
mungkin...Kita harus keluar secepatnya,” tulis Kilearn seperti dikutip oleh Palmos.

Anda mungkin juga menyukai