Amalan Qurban Dalam Islam
Amalan Qurban Dalam Islam
Sebuah riwayat dari Aisyah r.a., Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah bersabda,
ْ َارهَا َوأ ْ
ظالَفِهَا َوإِ َّن ال َّد َم ِ اق ال َّد ِم إِنَّهَا لَتَأتِى يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة بِقُرُونِهَا َوأَ ْش َع
ِ َما َع ِم َل آ َد ِم ٌّى ِم ْن َع َم ٍل يَوْ َم النَّحْ ِر أَ َحبَّ إِلَى هَّللا ِ ِم ْن إِ ْه َر
ض فَ ِطيبُوا بِهَا نَ ْفسًا َ َ
ِ ْان قَ ْب َل أ ْن يَقَ َع ِمنَ األر ٍ لَيَقَ ُع ِمنَ هَّللا ِ بِ َم َك
Tidak ada amalan yang diperbuat manusia pada hari raya qurban yang lebih dicintai oleh
Allah selain menyembelih hewan. Sesungguhnya hewan qurban itu
kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulu dan kuku-kukunya.
Sesungguhnya sebelum darah qurban itu mengalir ke tanah, pahalanya telah diterima di sisi
Allah. Maka tenangkanlah jiwa dengan berqurban. (HR. Tirmidzi)
Ibadah qurban hanya boleh dilakukan pada hari tertentu saja, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13
Dzulhijjah. Dimulai sejak selesainya shalat 'Idul Adha.
C. TUJUAN
1. Sebagai tugas tugas kolektif yang diberikan oleh dosen pembimbing mata kuliah Hadits.
2. Sebagai media untuk menambah pengetahuan, khususnya dalam hal penyembelihan
hewan dan qurban.
3. Untuk memecahkan masalah dalam menangani penyembelihan dan qurban.
BAB II
PEMBAHASAN
Sementara ulama ada juga yang berpendapat, bahwa menyebut asma' Allah itu sudah
menjadi suatu keharusan, akan tetapi tidak harus ketika menyembelihnya itu. Bisa juga
dilakukan ketika makan. Sebab kalau ketika makan itu telah disebutnya asma' Allah bukanlah
berarti dia makan sesuatu yang disembelih dengan tidak disebut asma' Allah.
2. Yang menyembelih harus muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nasrani)Untuk muslim,
permasalahannya sudah jelas. Adapun ahli kitab, dasarnya adalah firman Allah:
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu.” (QS.Al-
Ma`idah:5)
Dan yang dimaksud ‘makanan’ ahli kitab dalam ayat ini adalahsembelihan mereka,
sebagaimana penafsiran sebagian salaf.Pendapat yang rajihmenurut mayoritas ulama,
sembelihan ahli kitab dipersyaratkan harus sesuaidengan tata cara Islam.Sebagian ulama
menyatakan, terkhusus hewan qurban, tidak boleh disembelih oleh ahli kitab atau diwakilkan
kepada ahli kitab.
Sebab qurban adalah amalan ibadah untuk taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
maka tidak sah kecuali dilakukan oleh seorang muslim.
Dibolehkan bagi wanita menyembelih hewan kurban dan semisalnya, sebab dalam urusan
ibadah wanita sama halnya dengan laki-laki, kecuali ada dalil yang membedakan antara
keduanya. Hal tersebut berdasarkan kisah seorang wanita budak pengembala kambing
kemudian ada srigala yang menerkam kambingnya lalu budak tersebut mengambil batu yang
tajam untuk menyembelih kambing tersebut, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk memakan sembelihan tersebut.
b. Dengan memutus al-wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan. Inilah
persyaratan dan batas minimal yang harus disembelih menurut pendapat yang rajih. Sebab,
dengan terputusnya kedua urat tersebut, darah akan terpancar deras dan mempercepat
kematian hewan tersebut.Bila terputus salah satu dari al-wadjan saja, maka tidak sah .
4. Merebahkan hewan tersebut dan meletakkan kaki pada rusuk lehernya, agar hewan
tersebut tidak meronta hebat dan juga lebih menenangkannya,serta mempermudah
penyembelihan.Diriwayatkan dari Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhu, tentang tata cara
penyembelihan yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اح ِه َما ِ ض ُع ِرجْ لَهُ عَل َى
ِ َصف َ ََوي
“Dan beliau meletakkan kakinya pada rusuk kedua kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no.
5565 dan Muslim no. 1966)
فيسفاد من. حيث أطلق فيه ولم يشترط أن تقتله بوجه مخصوص... يعلم من قوله اآلتى أو كونها جارية سباع او طير الخ
اإلطالق أنه
واع القتل¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤ائر أن¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤ا بس¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤ل مقتوله¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤يح.
Telah diketahui dari kata-kata yang akan datang adanya alat memotong hewan, dapat
melukainya binatang atau burung dst. Sekira dimutlakkan dan tidak disyaratkan, cara
membunuh dengan cara yang khusus, maka dapat diambil pengertian halal apa yang di bunuh
binatang dengan segala cara membunuh.
Di samping itu dipersyaratkan juga, bahwa penyembelihan itu harus dilakukan pada leher,
karena tempat ini yang lebih dekat untuk memisahkan hidup binatang dan lebih mudah. Dan
dilarang menyembelih binatang dengan menggunakan gigi dan kuku, karena penyembelihan
dengan alat-alat tersebut dapat menyakiti binatang. Pada umumnya alat-alat tersebut hanya
bersifat mencekik.
Sabda Nabi:"Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat baik kepada sesuatu. Oleh
karena itu jika kamu membunuh, maka perbaikilah cara membunuhnya, dan apabila kamu
menyembelih maka perbaikilah cara menyembelihnya dan tajamkanlah pisaunya serta
mudahkanlah penyembelihannya itu." (Riwayat Muslim)
Begitulah pemikiran secara umum dalam permasalahan ini, yaitu yang pada intinya harus
menaruh belaskasih kepada binatang dan meringankan dari segala penderitaan dengan segala
cara yang mungkin.
Orang-orang jahiliah dahulu suka memotong kelasa unta (bhs Jawa, punuk) dan jembel
kambing dalam keadaan hidup. Cara semacam itu adalah menyiksa binatang. Oleh karena itu
Rasulullah s.a.w. kemudian menghalangi maksud mereka dan mengharamkan memanfaatkan
binatang dengan cara semacam itu.
Maka bersabda Nabi:"Daging yang dipotong dari binatang dalam keadaan hidup, berarti
bangkai." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi dan Hakim)
Ditinjau dari segi perbedaannya dengan orang musyrik. Bahwa orang-orang musyrik dan
orang-orang jahiliah selalu menyebut nama-nama tuhan dan berhala mereka ketika
menyembelih. Kalau orang-orang musyrik berbuat demikian, mengapa orang mu'min tidak
menyebut nama Tuhannya?
Segi kedua, yaitu bahwa binatang dan manusia sama-sama makhluk Allah yang hidup dan
bernyawa. Oleh karena itu mengapa manusia akan mentang-mentang begitu saja
mencabutnya binatang tersebut, tanpa minta izin kepada penciptanya yang juga mencipta
seluruh isi bumi ini?
Menyebut asma' Allah di sini merupakan suatu pemberitahuan izin Allah, yang seolah-olah
manusia itu mengatakan: “Aku berbuat ini bukan karena untuk memusuhi makhluk Allah,
bukan pula untuk merendahkannya, tetapi justru dengan nama Allah kami sembelih binatang
itu dan dengan nama Allah juga kami berburu dan dengan nama-Nya juga kami makan.”
Inilah pendapat jumhur ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Hazm yang
mengatakan : “Tidak shahih dari seorangpun dari para sahabat yang menyatakan wajibnya.
Yang benar, menurut jumhur, qurban itu tidak wajib. Dan tidak ada peselisihan, jika ia
merupakan salah satu syi’ar agama”.
Ketiga:FardhuKifayah.
Ini merupakan satu pendapat dalam madzhab Syafi’i. Pendapat yang Rajih
Syaikh Muhammad Al-Amin Al-Syinqithi berkata : “Saya telah meneliti dalil-dalil Sunnah
pendapat yang mewajibkan dan yang tidak mewajibkan, dan keadaannya dalam pandangan
Ulama. Bahwa tidak ada satupun dalil dari kedua pendapat tersebut yang tegas, pasti dan
selamat dari bantahan, baik yang menunjukkan wajib maupun yang tidak wajib”.
Kemudian Syaikh berkata : “Yang rajih bagi saya dalam perkara seperti ini, yang tidak jelas
penunjukkan nash-nash kepada satu hal tertentu dengan tegas dan jelas adalah berusaha
sekuat mungkin keluar dari khilaf.
Sehingga, berqurban bila mampu, karena Nabi bersabda, “Tinggalkanlah yang ragu kepada
yang tidak ragu. “. Sepatutnya, seseorang tidak meninggalkanya bila mampu, karena
menunaikannya itu sudah pastimenghilangkantanggungjawabnya.
2. Telah sampai usia yang dituntut syari’at berupa jaza’ah (berusia setengah tahun) dari
domba atau tsaniyyah (berusia setahun penuh) dari yang lainnya.
a. Ats-Tsaniy dari unta adalah yang telah sempurna berusia lima tahun.
b. Ats-Tsaniy dari sapi adalah yang telah sempurna berusia dua tahun.
c. Ats-Tsaniy dari kambing adalah yang telah sempurna berusia setahun.
d. Al-Jadza’ adalah yang telah sempurna berusia enam bulan.
3. Bebas dari aib (cacat) yang mencegah keabsahannya, yaitu apa yang telah dijelaskan
dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syeikh Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab, Jilid I hal 306, mengutip
dua pendapat Imam Syafi’i mengenai berapa bagian yang diperbolehkan bagi orang yang
berqurban dan berapa bagian untuk disedekahkan.
Imam Syafi’i, pertama-tama menyatakan, diperbolehkan mengambil setengah bagiannya
untuk yang berqurban dan keluarganya. Ini didasarkan dari ayat Al-Qur’an:
َ ِس ْالفَق
ير ْ َت َعلَى َما َر َزقَهُ ْم ِم ْن بَ ِهي َم ِة اأْل َ ْن َع ِام فَ ُكلُوا ِم ْنهَا َوأ
َ ِط ِع ُموا ْالبَائ ٍ لِيَ ْشهَدُوا َمنَافِ َع لَهُ ْم َويَ ْذ ُكرُوا ا ْس َم هَّللا ِ فِي أَي ٍَّام َم ْعلُو َما
supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut
nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada
mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian
lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS Al-Hajj 22: 28)
Pendapat itu diperbaharui oleh Imam Syafi’i (dalam qaul jadid-nya): Orang yang berkurban
dan keluarganya hanya boleh mengambil sepertiga dari daging hewan qurbannya. Ini
berdasarkan firman AllahSubhanahu wa Ta’ala:
Dalam Syarh al-Muhadzab dijelaskan, maksudh dari “al-qani’” dalam ayat diatas adalah
warga sekitar rumah orang yang berqurban, sementara “al-mu’tar” adalah orang yang
mengharap atau meminta daging qurban itu. Dengan demikian diperoleh tiga bagian dalam
ayat di atas, yakni sepertiga untuk orang yang berkurban dan keluarganya, sementara dua
pertiganya lagi untuk dibagikan kepada orang lain.
Daging qurban lebih dianjurkan untuk diberikan kepada warga muslim yang fakir dan miskin
dengan niat shadaqah. Jikalau daging itu diberikan kepada muslim yang kaya (cukup dan
terpenuhi ekonominya) maka daging itu diberikan dengan niat memberikan hadiah, karena
sedianya shadaqah atau sedekah itu bukan untuk orang kaya.
Ditambahkan, menurut madzhab Syafi’i, tidak boleh memberikan daging qurban kepada
selain muslim, sebagaimana zakat fitrah, karena ia tidak digolongkan termasuk orang yang
berhak menerimanya. Demikian pula menurut matzhab Malikiyyah.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya no. 25269, Al-Imam
Muslim no. 1977, Al-Imam An-Nasa`i, 7 hal. 212, Al-Imam Abu Dawud 3/2793, Al-Imam
At-Tirmidzi 3/1523, Al-Imam Ibnu Majah 2/3149, Al-Imam Ad-Darimi no. 1866. (CD
Program, Syarh An-Nawawi cet. Darul Hadits)
Termasuk Sunnah yang terabaikan bagi seorang yang akan berqurban adalah tidak ada
pengetahuan tentang apa yang harus diperbuat apabila telah masuk tanggal 1 hingga 10
Dzulhijjah (hari raya qurban tiba)! Tidak atau belum sampainya suatu ilmu seringkali
menjadi penyebab terabaikannya sekian banyak sunnah (kebaikan) baik berupa perintah atau
larangan.
Hadits yang tersebut di atas membimbing, terutama bagi seorang muslim yang telah
mempersiapkan hewan qurban untuk disembelih pada hari raya qurban atau pada hari-hari
Tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah). Apabila telah masuk tanggal 1 Dzulhijjah, hendaknya
menahan diri untuk tidak mencukur atau mencabut rambut atau bulu apapun yang ada pada
dirinya (baik rambut kepala, ketiak, tangan, kaki, dan yang lainnya).
Demikian pula tidak boleh memotong kuku (tangan maupun kaki) serta tidak boleh mengupas
kulit badannya (baik pada telapak tangan maupun kaki, ujung jari, tumit, atau yang lainnya).
Larangan ini berlaku bagi yang memiliki hewan qurban dan akan berqurban, bukan bagi
seluruh anggota keluarga. Larangan ini berakhir hingga seseorang telah menyembelih hewan
qurbannya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi larangan dalam perkara ini. Ada yang
memahami sesuai dengan apa yang nampak dari lafadz hadits tersebut, sehingga mereka
berpendapat haram bagi seseorang untuk melakukannya (wajib untuk meninggalkannya).
Di antarany adalah Sa’id bin Musayyib, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, Ahmad bin Hanbal,
Ishaq bin Rahawaih, dan sebagian dari pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Adapun Al-Imam
Asy-Syafi’i dan pengikutnya berpendapat makruh (tidak dikerjakan lebih utama), bukan
diharamkam. Dan yang berpendapat semisal ini adalah Al-Imam Malik dan sebagian
pengikut Al-Imam Ahmad seperti Abu Ya’la dan yang lainnya.
Pendapat lain dalam hal ini adalah mubah (tidak mengapa melakukannya). Pendapat ini
dianut oleh Abu Hanifah dan pengikutnya.
Sebagian ada yang berpendapat, hikmahnya adalah agar seorang merasakan apa yang
dirasakan oleh orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji atau diserupakan dengan
seorang yang telah berihram, sehingga mereka juga dilarang dari mencukur rambut,
memotong kuku, mengupas kulit, dan sebagainya.
Namun pendapat terakhir ini ada yang tidak menyetujuinya, dengan alasan, bagaimana
diserupakan dengan seorang yang menunaikan haji, sementara ia (orang yang akan
berqurban) tidak dilarang dari menggauli istrinya, memakai wewangian, mengenakan pakaian
dan yang lainnya. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/224-226, cet. Darul Hadits, Syarh An-Nawawi
7/152-155, cet. Darul Hadits)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa hal-hal yang berkaitan dengan sembelihan dan qurban itu bisa kita laksanakan dan
hukumnya adalah wajib bagi yang mampu dan sunnah muakad, Karena sudah disyari’atkan
untuk umat Islam yang selalu bertakwa.Sehingga tak sepantasnya bagi seorang muslim yang
mampu untuk meninggalkannya, karena amalan ini banyak mengandung unsur penghambaan
diri kepada Allah, taqarrub, syiar kemuliaan Islam dan manfaat besar lainnya.
Penulis juga memberi peringatan kepada semua agar selalu beramal baik selama masih hidup
yaitu salah satunya dengan cara berqurban. Amal perbuatan akan terhenti ketika maut datang.
Tiada yang dapat kita banggakan nantinya kecuali amal perbuatan kita di dunia. Allah telah
berfirman:
ك َوا ْن َحرْ إِ َّن َشانِئَكَ ه َُو اأْل َ ْبتَ ُر َ َإِنَّا أَ ْعطَ ْينَاكَ ْال َكوْ ثَ َرف
َ ِّص ِّل لِ َرب
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah, Sesungguhnya orang-orang yang
membenci kamu dialah yang terputus.” (QS.Al-Kautsar:1-3)
Yang perlu diingat, beribadah itu tidak sulit dan tak perlu dipersulit. Niatlah yang ikhlas
semata karena patuh kepada Allah
B. Penutup
Demikian makalah sederhana ini saya susun. Terima kasih atas antusias dari pembaca yang
telah sudi menelaah dan mengimplementasikan isi makalah ini, tentunya masih banyak
kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.Penulis banyak berharap para
pembaca untuk memberikan saran dan kritik konstruktif kepada penulis demi
kesempurnaanmakalah ini dan penulisan makalah di kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi saya pada khususnya juga para pembaca yang dirahmati
Allah Azza wa Jalla. Amiin
DAFTAR PUSTAKA
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=57720:45
Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Alamat Jl. Solo – Puwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo.
Syarh Bulugh, 6/52-53
Ibnu Qudamah, Al-Mughni (11/94) dan Ibnu Hajar, Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari,
tanpa cetakan dan tahun, Al-Maktabah Al-Salafiyah 10/3
Makalah Abu Bakr Al-Baghdadi yang yang berjudul Juzun Fi Udhhiyah wa hukmu Ikhrajiha
An Balad Al-Mudhahi, Majalah Al-Hikmah, hal 22 tanpa edisi dan tahun
Syeikh Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi dalam kitab Roudlotut Tholibin, Jilid III hal 222,
dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Minhajul Qowim, I hal 631.