Anda di halaman 1dari 6

A.

DASAR HUKUM
Menurut UU No.34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kegiatan
pemanfaatan air dapat dikenakan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan yang dipungut oleh Provinsi.
Dalam Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000, Pajak Air Permukaan awalnya
bernama Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
(PPPABTAP). Setelah diterbitkan UU No. 28 tahun 2009, PPPABTAP dipecah menjadi
dua jenis pajak, yaitu Pajak Air Permukaan dan Pajak Air Bawah Tanah.

B. DEFINISI
Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air
permukaan.
Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak
termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat.

C. OBJEK DAN SUBJEK PAJAK


1. Objek Pajak  Air Permukaan adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air
Permukaan.

Yang dikecualikan dari Objek Pajak Air Permukaan:

 Pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar


rumah tangga;

 Pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan


kelestarian lingkungan;

 Ditetapkan dalam Peraturan Daerah seperti keperluan pemadam


kebakaran, tambak rakyat, tempat-tempat peribadatan, riset atau
penelitian.

2. Subjek Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang dapat
melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. Subjek Pajak Air
Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat melakukan pengambilan

1
dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. Wajib Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi
atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.

3. Wajib Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.

D. JENIS USAHA DIKENAKAN PAJAK AIR PERMUKAAN


Usaha atau perusahaan yang memanfaatkan air permukaan atau sumber daya air
dan dikenakan pajak misalnya seperti yang bergerak di bidang;
1. Timah
2. Tambang
3. Smelter
4. PDAM, dan
5. Pencucian Mobil

E. TEMPAT TERUTANG
Tempat terutang Pajak Air Permukaan adalah di wilayah/daerah tempat air berada.

F. IZIN PENGGUNAAN SUMBER DAYA AIR

1. Menteri untuk memperoleh dan menggunakan sumber daya air pada wilayah
sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis
nasional;

2. Gubernur untuk memperoleh dan menggunakan sumber daya air pada Wilayah
Sungai lintas kabupaten/kota; atau

3. Bupati/walikota untuk memperoleh dan menggunakan sumber daya air pada


Wilayah Sungai dalam satu kabupaten /kota.

G. DASAR PENGENAAN PAJAK


Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif Pajak
Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

2
Nilai Perolehan Air Permukaan (NPAP) yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur,
dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
1. jenis sumber air;

2. lokasi sumber air;

3. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;

4. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;

5. kualitas air;

6. luas area tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air; dan

7. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau


pemanfaatan air.

H. CARA MENGHITUNG NILAI PEROLEHAN AIR PERMUKAAN :

 volume air yang diambil/digunakan x harga dasar air.

 Cara Menghitung Pajak Terutang

Pajak Terutang = Tarif x DPP

Tarif maksimal 10%

Contoh Penghitungan

Diketahui volume air permukaan yang diambil oleh perusahaan ABC untuk
memproduksi air mineral sebesar 12.500 liter/bulan. Harga dasar air yang ditetapkan
pemerintah daerah adalah Rp850/liter. Hitung pajak pengambilan dan pemanfaatan
air permukaan!

Jawab :

Tarif pajak air permukaan adalah 10%

Dasar Pengenaan Pajak : 12.500 liter x 850 (rupiah) = Rp10.625.000

Pajak Terutang : 10% x 10.625.000 = Rp1.062.500

3
I. CONTOH EFEKTIVITAS DAN KONTRIBUSI PAJAK AIR PERMUKAAN TERHADAP
PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH PROVINSI SULAWESI UTARA
Permasalahan :
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Provinsi Sulawesi Utara pada
tahun 2011 target yang ditetapkan adalah Rp516.084.886.250,- meningkat
mencapai Rp535.087.974.492,- atau mengalami peningkatan sebesar 103,68%
dari target yang telah ditetapkan, sedangkan pada tahun 2012 jumlah realisasi
mencapai Rp 633.307.258.500,- atau mengalami peningkatan sebesar
105,68%. Pada tahun 2013 jumlah realisasi mencapai Rp 787.258.567.366,-
dari target yang ditetapkan sebesar Rp 764.063.464.750,- atau mengalami
peningkatan sebesar 103,04%, sedangkan 2014 dari target yang telah
ditetapkan Rp. 991.101.010.028,- dengan jumlah realisasi Rp.
937.066.549.692,- atau menunjukan penurunan sebesar 94,55%, sedangkan
tahun 2015 juga mengalami penurunan sebesar 92,98% dari jumlah target
yang ditetapkan sebesar Rp 1.089.288.358.000,- dengan jumlah realisasi Rp
1.012.848.137.232,-.

Efektivitas Penerimaan Pajak Air Permukaan:


Efektivitas Pajak Air Permukaan pada tahun 2011 adalah sebesar
212,59%, hal ini membuktikan bahwa Pajak Air Permukaan tahun 2011 adalah
sangat efektif. Pada tahun 2012 menunjukan tingkat efektivitas Pajak Air
Permukaan adalah sebesar 106,55%, hal tersebut menunjukan Pajak Air
Permukaan tahun 2012 sangat efektif. Pada tahun 2013 memperlihatkan
efektivitas Pajak Air Permukaan sebesar 95,66%, menunjukan bahwa Pajak Air
Permukaan tahun 2013 adalah efektif. Tahun 2014 tingkat efektivitas Pajak Air
Permukaan adalah 38,78%, menunjukan Pajak Air Permukaan tahun 2014 adalah
tidak efektif. Pada tahun 2015 dapat dilihat tingkat efektivitas Pajak Air
Permukaan adalah 37,25%, hal ini juga menunjukan bahwa Pajak Air Permukaan
pada tahun 2015 adalah tidak efektif. Tetapi jika dilihat dari jumlah rata-rata dari
tahun 2011-2015 adalah sebesar 98,16% yang menunjukan bahwa tingkat
efektivitas penerimaan Pajak Air Permukaan dari tahun 2011-2015 adalah
efektif.

Pada tahun 2011 dan 2012 menunjukan bahwa realisasi pajak air
permukaan melebihi target yang telah ditentukan dengan menunjukan tingkat
efektivitas yang sangat efektif. Hal ini disebabkan karena tahun 2011-2012
masih diberlakukannya PERGUB tentang Penetapan Perolehan Air
Permukaan untuk Pajak Air Permukaan, dimana harga air baku masih sangat
tinggi yaitu dengan penggunaan air permukaan ≥ 1000 M3 dikenakan Rp
2.500/M3. Sedangkan pada tahun 2013 menunjukan penurunan dimana realisasi
tidak mencapai 100% dari target yang telah ditentukan, tetapi tingkat efektivitas
4
masih menujukan Efektif. Hal ini sebabkan karena ada Wajib Pajak yang belum
membayar kewajiban Pajaknya.

Pada tahun 2014 menunjukan bahwa realisasi pajak air permukaan jauh
dibawah target yang telah ditentukan, dimana tingkat keefektivannya
digolongkan tidak efektif. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan Pergub
Nomor 11 Tahun 2012 diganti dengan Pergub Nomor 42 Tahun 2014, sehingga
penerimaan Pajak Air Permukaan tidak dapat mencapai target. Akan tetapi telah
diakui mencapai target yang ditentukan. Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun
2012 diganti dengan Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2014 karena adanya
keluhan dari Pihak PDAM untuk dapat mengurangi Harga Air Baku per M3.
Sehingga harga air baku diturunkan menjadi Rp 300/M3 untuk PDAM, industri
atau perusahaan dengan bahan baku air, pertambangan, dan sarana rekreasi,
sedangkan PLN dikenakan Rp 50/KWH.
Pada tahun 2015 menunjukan bahwa realisasi pajak air permukaan jauh
dibawah target yang telah ditentukan, dimana tingkat keefektivannya
digolongkan tidak efektif. Hal ini disebabkan karena sebagian besar Wajib Pajak
belum membayar kewajiban pajaknya, termasuk PDAM yang meminta agar
Harga Air Baku per M3 diturunkan juga belum sepenuhnya membayar pajaknya.

J. SARAN
Menindak lanjuti permasalahan yang ada di Sulawesi Utara tentang Pajak Air
Permukaaan maka kelompok kami memberikan beberapa saran, yaitu:

1. Perlunya melakukan sosialisasi, menanamkan pengertian dan pemahaman


tentang pajak bisa diawali dari lingkungan keluarga sendiri yang terdekat,
melebar kepada tetangga, lalu dalam forum-forum tertentu dan ormas-ormas
tertentu melalui sosialisasi, agar diharapkan dapat mengubah pola fikir
masyarakat akan sadarnya wajib bayar pajak.

2. Memberikan kemudahan dalam segala hal pemenuhan kewajiban perpajakan


dan meningkatkan mutu pelayanan kepada wajib pajak. Jika pelayanan tidak
beres atau kurang memuaskan maka akan menimbulkan keengganan Wajib
Pajak melangkah ke kantor Pelayanan Pajak. Pelayanan sebagai wajah DJP
harus mencitrakan sebuah keramahan, keanggunan dan kenyamanan.
Pelayanan berkualitas adalah pelayanan yang dapat menciptakan suatu
kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses, dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan wajib pajak.

5
3. Meningkatkan citra Good Governance yang dapat menimbulkan adanya rasa

saling percaya antara pemerintah dan masyarakat wajib pajak, sehingga


kegiatan pembayaran pajak akan menjadi sebuah kebutuhan dan kerelaan,
bukan suatu kewajiban. Dengan demikian tercipta pola hubungan antara
negara dan masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajiban yang dilandasi
dengan rasa saling percaya.

Anda mungkin juga menyukai