Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Pajak Air Permukaan dilakukan dengan mendasarkan pada Undang-


Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2000; Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak
Daerah, khususnya Pasal 33-37; Peraturan Daerah Provinsi Lmpung Nomor
4 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Baawah
Tanah dan Air Permukaan; serta Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
35 Tahun 2002 tentang Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Daerah.

Pajak Rokok dilakukan dengan mendasarkan pada Undang-Undang


Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok?


2. Apa saja yang termasuk subjek pajak, wajib pajak, dan objek
pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok?
3. Bagaimana tatacara pemungutan Pajak Air Permukaan dan Pajak
Rokok ?

1.3. Tujuan

1. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk


menyelesaikan tugas kelompok dalam mata kuliah “Pajak”
2. Mengetahui mengenai apa itu pajak air permukaan dan pajak
rokok

1
3. Mengetahui subjek, objek, dan wajib pajak air permukaan dan
pajak rokok
4. Memahami tatacara pemungutan oajak air permukaan dan pajak
rokok

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pajaka Air Permukaan

2.1.1. Pengertian

Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan


atau pemanfaatan air permukaan. Air Permukaan adalah semua air
yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut,
baik yang berada di laut maupun di darat. Pajak Air Permukaan
semula bernama Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan (PPPABTAP) berdasarkan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2000. Hanya saja berdasarkan Undang-
Undang Nomor 2009, PPPABTAP dipecah menjadi dua jenis pajak,
yaitu Pajak Air Permukaan dan Pajak Air Bawah Tanah.

Pajak Air Permukaan dimasukkan sebagai Pajak Provinsi,


sedangkan Pajak Air Bawah Tanah ditetapkan menjadi Pajak
Kabupaten/Kota.

Air permukaan adalah air yang berada di atas permukaan


bumi tidak termasuk air laut kecuali air laut tersebut telah
dimanfaatkan di darat. Air bawah tanah adalah semua air yang
terdapat dalam lapiran pengandung air di bawah permukaan tanah
termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan
tanah. Dasar Hukum:

2
 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan
Atas UU No.18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak
Daerah.
 Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 11 Tahun 2002
Tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan.

2.1.2. Subjek Pajak

Orang pribadi atau badan yang dapat melakukan


pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan. Subjek pajak
wajib melapor dan memperoleh izin pengambilan dan atau
pemanfaatan air permukaan dari gubernur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.1.3. Wajib Pajak

Orang pribadi atau badan usaha yang mengambil dan atau


memanfaatkan air bawah tanah dan atau air permukaan.

2.1.4. Objek Pajak

 Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah.


 Pengambilan dan pemanfaatan air permukaan.

2.1.5. Bukan Objek Pajak

1. Pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan untuk


keperluaan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan
perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan kelestarian
lingkungan dan peraturan perundang-undangan.

3
2. Pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan lainnya
yang ditetapkan dalam peraturan daerah. Misalnya
pengambilan air bawah tanah dana atau air permukaan
oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta untuk
keperluan pemadaman kebakaran, tambak rakyat, tempat-
tempat peribadatan, riset atau penelitian, dan sebagainya.

Faktor-faktor unsur penentu nilai rupiah nilai perolehan air :

 Jenis sumber air


 Lokasi sumber air
 Tujuan pengambilan dan atau pemanfaatan air
 volume air yang diambil dan atau dimanfaatkan
 Kualitas air
 Luar areal tempat pengambilan dan atau pemanfaatan air
 Musim pengambilan dan atau pemanfaatan air
 Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan pengambilan
dan atau pemanfaatan air.

2.1.6. Perhitungan dan Penetapan

a. Tarif

Tarif Pajak Air Bawah Tanah :

1. ABT / Air Bawah Tanah = 20%


2. AP / Air Permukaan = 10%

Rumus Menghitung Pajak Air Bawah Tanah / PABT :

Tarif X ( NPA = Kuantitas Air X Faktor Nilai Air X


Harga Dasar Air / HDA )

Masa Pajak Air Bawah Tanah / PABT :

 1 bulan takwim (1 bulan kalender penuh) atau


sesuai keputusan gubernur.
 Saat Terutang Pajak Air Bawah Tanah / PABT :

4
 Saat pengambilan dan atau pemanfaatan ABT-AP

Petunjuk Pelaksanaan / Juklak Pajak Air Bawah Tanah /


PABT adalah SK Gubernur No. 10 Tahun 1998

Dasar Pengenaan:

 Dasar pengenaan Pajak adalah nilai perolehan air.

Nilai Perolehan Air:

Nilai perolehan air dihitung dengan mengalikan volume


air yang diambil/digunakan dengan harga dasar air.

Besarnya Pajak:

Besarnya Pajak yang dibayar (terhutang) dihitung


dengan cara mengalikan tarip dengan dasar pengenaan
Pajak

Lokasi yang telah dijangkau oleh PDAM (perusahaan


daerah air minum) harga air bawah tanah dan air
permukaan jatuh lebih mahal dari harga PDAM. Untuk
kelebihan penggunaan yang lebih besar akan nilainya naik
menjadi lebih besar.

2.1.7. Tata Cara Pemungutan

Pemungutan Pajak air permukaan oleh Pemerintah Provinsi


Banten dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsai Banten
Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan
Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang telah diganti dengan
Peraturan Daerah Provinsai Banten Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Pajak dan Retribusi Daerah. Peraturan tersebut mengatur bahwa

5
setiap pengambilan dan pemanfaatan air permukaan dipungut
pajak, kecuali :

1. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan


dan pemanfaatan air permukaan oleh Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah.
2. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan
dan pemanfaatan air permukaan oleh Badan Usaha
Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang
khusus didirikan untuk menyelenggarakan usaha
eksploitasi dan pemeliharaan pengairan serta
mengusahakan air dan sumber-sumber air.
3. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan
dan pemanfaatan air permukaan untuk kepentingan
pengairan pertanian rakyat.
4. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan
dan pemanfaatan air permukaan untuk keperluan dasar
rumah tangga;
5. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan
dan pemanfaatan air permukaan lainnya yang diatur
dengan Peraturan Daerah.

Dasar pengenaan pajak pengambilan dan pemanfaatan


air permukaan adalah nilai perolehan air. Nilai peroleh air
diperoleh dari perkalian antara volume air per bulan dengan
harga dasar air. Tarif pajak pengambilan dan pemanfaatan air
permukaan adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai
perolehan air.

Penentuan harga dasar air dilakukan berdasarkan


Keputusan Gurbernur Banten Nomor 13 tahun 2003 yang telah
diubah dengan tentang Peraturan Gubernur Banten nomor 31
Tahun 2008 dan diubah kembali menjadi Peraturan Gubernur
Banten nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perhitungan
Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air
Bawah Tanah dan Air Permukaan.

6
Harga dasar air permukaan dihitung dengan cara
mengalikan komponen sumber daya air, faktor kelompok jenis
pengambilan dan pemanfaatan air serta harga air baku.

Harga Dasar air permukaan = (komponen sumber daya


air) x (faktor kelompok jenis pengambilan
pemanfaatan air) x (harga air baku).

Komponen sumber daya air meliputi unsur-unsur :

1. Jenis sumber air, yang terdiri dari jenis mata air (nilai
faktor 2); waduk buatan (nilai faktor 1,2); sungai, situ,
danau, rawa (nilai faktor 1); dan air laut yang
dimanfaatkan di darat (nilai faktor 0,1).
2. Kualitas air, yang terdiri dari kualitas kelas satu (nilai
faktor 1), kelas dua (nilai faktor 0,9), kelas tiga (nilai
faktor 0,8) dan kelas empat (nilai faktor 0,7).
3. Lokasi sumber air, ditetapkan berdasarkan lokasi
pengambilan yang dipengaruhi oleh daerah tangkapan
di atasnya, yaitu terdiri dari lokasi sumber air yang
lebih kecil dari 500 km2 (nilai faktor 1) atau lebih besar
atau sama dengan 500 km2 (nilai faktor 0,8)
4. Kondisi Daerah aliran sungai / daerah tangkapan air,
ditetapkan berdasarkan tingkat kerusakan daerah
aliran sungai, yaitu kondisi baik (nilai faktor 1), kondisi
sedang (nilai faktor 1,1) atau kondisi rusak (nilai faktor
1,2),

Faktor kelompok jenis pengambilan/pemanfaatan air dibagi


menurut kelompok non niaga, niaga/perdagangan dan jasa,
industri, pertanian, perusahaan penjual air non PDAM, PDAM
dan PLTA Nilai faktor masing-masing kelompok jenis tersebut
dibedakan atas kelompok kabupaten/kota di Provinsi Banten,
yaitu kelompok Kab/Kota Tangerang dan Cilegon, Kabupaten
Serang, serta Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Adapun
harga air baku untuk air permukaan adalah sebesar Rp 75,-
/m3.

7
Mekanisme penentuan besarnya pajak air permukaan
dilakukan berdasarkan laporan volume pengambilan dan

pemanfaatan air oleh wajib pajak kepada UPT DPKAD . Data


laporan itu diklarifikasi dengan data lapangan dari petugas
DPKAD atau BPSDA . Data volume air tersebut selanjutnya
digunakan untuk menentukan nilai perolehan air dan besarnya
tariff pajak yang harus dibayarkan.

2.2 Pajak Rokok

2.2.1. Pengertian

Pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang


dipungut oleh pemerintah pusat. Cukai rokok di Indonesia
dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995
tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2007.

Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap


barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik
yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.

Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan


angka persentase tertentu dari nilai barang – barang yang diimpor
misalnya, suatu negara mengenakan tarif 25 % atas nilai atau
harga dari setiap unit mobil yang diimpor.

2.2.2. Subjek Pajak

Subjek Pajak rokok adalah konsumen rokok.

2.2.3. Wajib Pajak

1. Wajib pajak adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan


importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok
Pengusaha Barang Kena Cukai.

8
2. Wajib pajak dapat diwakili oleh pihak tertentu yang
diperkenankan oleh undang-undang dan Peraturan Daerah
tentang Pajak Rokok,wakil wajib pajak bertanggung jawab
secara pribadi dan atau secara tanggung renteng atas
pembayaran pajak terutang.
3. Wajib pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat
kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakannya.

2.2.4. Objek Pajak

Objek pajak rokok adalah konsumsi rokok.

Yang dimaksud dengan rokok meliputi sigaret, cerutu, dan


rokok daun.

1. Sigaret adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau


rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara
dilinting,untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan
pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam
pembuatannya.
2. Cerutu adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-
lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara
digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk
dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan
pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
3. Rokok daun adalah hasil tembakau yang dibuat dengan
daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan
cara dilinting, untuk dipakai tanpa mengindahkan bahan
pengganti.

2.2.5. Bukan Objek Pajak

Bukan Objek Pajak adalah rokok yang tidak dikenai cukai


berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.

9
Pada Pasal 26 ayat 2 ditentukan bahwa cukai juga tidak
dipungut atas barang kena cukai (termasuk hasil tembakau)
apabila:

1. Diangkut terus atau diangkut lanjut dengan tujuan luar


daerah pabean.
2. Diekspor.
3. Dimasukan ke dalam pabrik atau tempat penyimpanan.
4. Digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam
pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang
kena cukai.
5. Telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari pabrik,
tempat penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan
impor untuk dipakai.

2.2.6. Tarif Pajak

Ini ditetapkan sebesar 10% dari cukai rokok. Undang-


Undang Nomor 28 Tahun 2009 pada penjelasan Pasal 29
menyatakan bahwa pada saat diberlakukannya ketentuan
mengenai Pajak Rokok, pengenaan Pajak Rokok sebesar sepuluh
persen dari cukai rokok diperhitungkan dalam penetapan tarif
cukai nasional.

Sebagai contoh, dalam tahun 2011 penerimaan cukai


nasional sebesar 100, dan diproyeksikan meningkat 10% setiap
tahunnya sesuai dengan peta jalur industri rokok nasional. Tanpa
adanya pengenaan Pajak Rokok oleh daerah, penerimaan cukai
nasional tahun 2012 menjadi 110, kemudian menigkat menjadi
121 di tahun 2013. Pada tahun 2014, saat mulai diberlakukannya
Pajak Rokok, penerimaan cukai nasional diproyeksikan sebesar
133, yang terdiri dari 121 sebagai penerimaan cukai pemerintah
pusat dan 12 sebagai Pajak Rokok untuk daerah. Pola ini berlanjut
untuk tahun 2015 dan seterusnya.

10
2.2.7. Tata Cara Pemungutan

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP -


43/PJ./1995 TENTANG TARIF DAN TATA CARA PEMUNGUTAN,
PENYETORAN, SERTA PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
ATAS PENJUALAN HASIL PRODUKSI INDUSTRI ROKOK KRETEK DI
DALAM NEGERI.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

1. Bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak


Penghasilan Pasal 22 atas penjualan rokok kretek oleh
industri rokok kretek, dipandang perlu untuk menetapkan
tarif dan tata cara pemungutan, penyetoran serta
pelaporannya.
2. Bahwa oleh karena itu tarif dan tata cara pemungutan,
penyetoran serta pelaporan tersebut ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Mengingat :

1. Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 tahun 1983


sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994;
2. Pasal 1 huruf c dan Pasal 2 ayat (1) huruf c Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor :
599/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 tentang
Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat,
dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan
Pelaporannya;
3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor :
53/KMK.05/1994 tanggal 15 Pebruari 1994 tentang
Perubahan Bunyi Paragrap 59 ayat (1) dari Keputusan
Cukai Tembakau.

11
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TARIF DAN


TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, SERTA PELAPORAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 ATAS PENJUALAN HASIL
PRODUKSI INDUSTRI ROKOK KRETEK DI DALAM NEGERI.

Pasal 1

1) Badan usaha yang bergerak di bidang industri rokok kretek


ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas
penjualan rokok kretek di dalam negeri.
2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat
Keputusan Penunjukan bagi badan usaha yang bergerak di
bidang industri rokok kretek yang telah terdaftar sebagai
Wajib Pajak, sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22
tersebut pada ayat (1), dengan menggunakan formulir
Penunjukan Wajib Pajak sebagai Pemungut Pajak
Penghasilan Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994.
3) Ketentuan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku lagi bagi badan usaha yang bergerak di bidang
industri rokok kretek yang tergolong perusahaan hasil
tembakau bernomor pengawas K.1000 sebagaimana
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor : 53/KMK.05/1994.

Pasal 2

Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 22 yang wajib dipungut oleh


industri rokok kretek pada saat penjualan rokok kretek di dalam
negeri adalah 0,1% dari harga bandrol, dan bersifat final.

12
Pasal 3

1) Dalam melaksanakan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal


22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pemungut Pajak
wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 oleh
Badan Usaha Industri Rokok
Final dalam rangkap 3 (tiga) yaitu :
1. lembar pertama: untuk Wajib Pajak pembeli;
2. lembar kedua: untuk disampaikan kepada Kantor
Pelayanan Pajak (dilampirkan pada SPT Masa PPh
Pasal 22);
3. lembar ketiga:untuk arsip Pemungut Pajak.
2) Dalam hal penjualan rokok kretek dilakukan oleh industri
rokok kretek secara kanvas kepada pembeli perseorangan
yang belum mempunyai NPWP, maka NPWP pembeli pada
Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 diisi "0.000.000.0. kode
KPP tempat pembeli berdomisili".

Pasal 4

1) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan rokok kretek


yang dikembalikan (retur) setelah Masa Pajak terjadinya
penjualan, dapat dikurangkan dari Pajak Penghasilan Pasal
22 terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian
rokok kretek tersebut, kecuali apabila dalam Masa Pajak
terjadinya pengembalian, industri rokok kretek
menggantinya dengan rokok kretek yang sama baik phisik
maupun jumlah harganya.
2) Apabila terjadi pengembalian seperti tersebut pada ayat
(1), pembeli wajib membuat Nota Retur dalam Masa Pajak
terjadinya pengembalian rangkap 3 (tiga) yaitu :
 Lembar pertama dan lembar kedua: untuk Pemungut Pajak
 Lembar ketiga: untuk arsip Wajib Pajak Pembeli

Nota Retur sekurang-kurangnya harus mencantumkan :


a. Nomor dan tanggal Nota Retur

13
b. Nama, alamat dan NPWP pembeli
c. Nama, alamat dan NPWP industri rokok
d. Nomor dan tanggal Faktur pembelian rokok kretek yang
dikembalikan
e. Macam, jenis, kwantum dan harga rokok kretek yang
dikembalikan
f. Tanda tangan pembeli.

Pasal 5

Pemungut Pajak wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 22


yang dipungut selambat-lambatnya tujuh hari setelah Masa Pajak
berakhir, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Final ke Bank
Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.

Pasal 6

Pemungut Pajak wajib menyampaikan laporan mengenai Pajak


Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dan telah disetor setiap
bulan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat kedudukan
Pemungut Pajak, selambat-lambatnya 14 hari setelah Masa Pajak
berakhir, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh
Pasal 22 yang dilampiri lembar kedua Bukti Pemungutan PPh Pasal
22 Final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), lembar
ketiga Surat Setoran Pajak Final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, dan apabila ada, lembar kedua Nota Retur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).

Pasal 7

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1995.

14
2.2.8. PAJAK ROKOK V.S CUKAI ROKOK

Konsep dan keberadaan dari pajak berganda (Double


Taxation) telah menjadi debat yang signifikan sejak masa lalu.
Secara sederhana, pengertian dari pajak berganda adalah suatu
prinsip perpajakan yang mengacu pada pajak yang dibayar dua
kali di sumber yang sama.

Menurut Campbell R. Harvey, Pajak Berganda adalah:

Government taxation of the same money twice; specifically,


earnings taxed first at the corporate level and then again as
dividends at the stockholder level

Menurut Campbell R. Harvey, Pajak Berganda adalah:

A taxation principle referring to income taxes that are paid


twice on the same source of earned income.[1]

Menurut David L. Scott, pengertian Pajak Berganda adalah:

Taxation of the same income twice by the same taxing


authority. It is generally used to refer to the taxation of dividends
that are taxed once at the corporate level (as income before
dividends are declared) and again at the personal level (when the
dividends are received).[2]

Menurut Denise L. Evans, JD & O. William Evans, JD,


pengertian Pajak Berganda adalah:

A situation said to exist when a corporation must pay taxes


on income, make dividend payments to shareholders on after-tax
dollars, and then the shareholders must again pay taxes on the
dividends. This is the situation with normal corporations, called C-
corporations, that do not qualify for S-corporation (small
corporation) status. S-corporations file reports allocating pro rata
shares of all income to the individual shareholders, who then pay

15
taxes on that number. The corporation itself does not pay any
taxes.[3]

Sedangkan, menurut Penulis pengertian Pajak Berganda


adalah:

Pembebanan jenis pajak yang sama dari sumber yang sama


pada dua level berbeda (pajak atas pajak), ataupun dapat terjadi
ketika suatu wajib pajak dikaenakan dua jenis pajak yang berbeda
pada objek yang sama.

Pajak berganda pada situasi pertama dapat terjadi jika


terjadi pemungutan pajak pada beberapa level, seperti Pajak
Penghasilan pada kasus pembagian dividen di tingkat perusahaan
(corporate) dan pemegang saham (shareholder dividend).
Sedangkan situasi kedua terjadi ketika yurisdiksi pajak tumpang-
tindih dan suatu transaksi, asset, atau jumlah pendapatan tunduk
kepada perpajakan di pada kedua yurisdiksi tersebut.

Pajak Rokok memiliki Dasar Pengenaan Pajak yang berbeda


dengan cukai rokok, dimana Dasar Pengenaan Pajak Rokok adalah
cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.[4]
Sedangkan Dasar pengenaan Cukai Rokok adalah Harga Dasar
yang digunakan untuk perhitungan cukai atas Barang Kena Cukai
yang dibuat di Indonesia adalah Harga Jual Pabrik atau Harga Jual
Eceran.[5]

Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara


mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajaknya.
Sedangkan pada Cukai Rokok pemerintah menerapkan besarnya
cukai rokok terutang dengan sistem kombinasi, yaitu
menggunakan tarif spesifik dan tarif advalorum. Tarif advalorum
artinya cukai dihitung sekian persen dari harga per bungkus rokok.
Harga per bungkus tersebut sesuai yang tercantum pada bungkus
rokok. Sedangkan tarif spesifik artinya cukai dihitung sekian
persen dari harga rokok per batang. Apabila menggunakan sistem

16
kombinasi, maka hasil perhitungan tarif advalorum dan tarif
spesifikasi digabungkan.

2.2.9. Earmarking Pajak Rokok

Secara konsepsional alokasi penerimaan Negara dari Cukai


Rokok selama ini menyimpang dari tujuannya. Cukai rokok
Indonesia mengalir ke kas APBN untuk dana pembangunan, bukan
untuk mengendalikan barang yang dikenai cukai, yaitu rokok. Hal
ini menyimpang dari formula universal bahwa cukai adalah “pajak
dosa” (sin tax), yaitu pajak atas konsumsi barang yang bersifat
negatif.

Dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 lahir kebijakan untuk alokasi


khusus untuk mengendalikan bahaya rokok (earmarking tax),
seperti dalam pasal 31 disebutkan bahwa penerimaan Pajak
Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota,
dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk
mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan
hukum oleh aparat yang berwenang. Melalui kebijakan
”earmarking” ini daerah dipacu untuk secara bertahap dan terus
menerus melakukan perbaikan (sustainable development) kualitas
pelayanan publik di daerahnya.

Penerimaan Pajak Rokok dialokasikan untuk mendanai bidang


pelayanan kesehatan (pembangunan/pengadaan dan
pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan,
penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking
area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan
iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok).

Penerimaan Pajak Rokok juga dialokasikan untuk mendanai bidang


penegakan hukum terkait rokok illegal, yaitu rokok yang dalam
tahap produksinya tidak terdaftar sehingga tidak membayar Cukai
rokok. Dalam pelaksanaannya, pajak rokok akan ditandai dengan
adanya semacam stiker atau pita cukai tambahan yang dilekatkan
pada masing-masing bungkus rokok. Distributor wajib

17
menyampaikan laporan yang berisi jumlah rokok yang akan dijual
kepada pemerintah provinsi.

Rokok yang beredar di satu provinsi akan berbeda dengan provinsi


lainnya, lantaran memiliki stiker atau pita cukai tambahan yang
berlainan. Pengawasan peredaran rokok akan langsung dilakukan
oleh pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota.
Tugas ini bisa diserahkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) yang dibantu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

BAB III

Contoh Soal

 Contoh 1

Misalkan rokok merek “X” dengan harga jual Eceran (HJE) per
batang Rp 600 termasuk cukai menggunakan tarif spesifik 40%
perbatang. Hitunglah Besaran Cukai Rokok dan Pajak Rokok per
batang rokok?

Jawab:

HJE per batang rokok = Rp. 600

Cukai yang dibayar pengusaha per batang: 40% x Rp 600


=Rp.240

Pajak Rokok yang dibayar pengusaha per batang:10% x Rp. 240 =


Rp.24

Pajak Pertambahan Nilai untuk Rokok 8,4% x Rp. 600 =Rp.50,4

Laba setelah pajak Rp. 285,6

18
Asumsikan keuntungan yang di-share kepada distributor: 5% x
Rp.600 = Rp. (30)

Laba diterima Pengusaha Rokok Rp. 255,6

 Contoh 2:

Pada tahun 2014 Departemen Keuangan menargetkan


penerimaan cukai tembakau dan rokok dari Provinsi Jawa Timur
mencapai sebesar Rp 32 triliun. Hitunglah besar penerimaan
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten Jawa Timur
dari pajak rokok pada tahun 2014?

Jawab:

Besar cukai rokok = Rp. 32.000.000.000.000

Maka,Besar Pajak rokok:

DPP: 10% x Rp. 32.000.000.000.000 = Rp. 3.200.000.000.000

Penerimaan dari Pajak Rokok

 Pemerintah Provinsi:

30% x Rp. 3.200.000.000.000 = Rp. 960.000.000.000

 Pemerintah Kabupaten/Kota:

70% x Rp. 3.200.000.000.000 = Rp. 2.240.000.000.000

Alokasi (earmark) penerimaan pajak:

 Pemerintah Provinsi:

50% x Rp. 960.000.000.000 = Rp. 480.000.000.000

 Pemerintah Kabupaten/Kota:

50% x Rp. 2.240.000.000.000 = Rp. 1.120.000.000.000

19
 Contoh 3

Misalkan rokok merek “X” dengan harga jual Eceran (HJE) per
batang Rp 600 termasuk cukai menggunakan tarif spesifik 40%
perbatang. Hitunglah Besaran Cukai Rokok dan Pajak Rokok per
batang rokok?

Jawab:

HJE per batang rokok = Rp. 600

Cukai yang dibayar pengusaha per batang: 40% x Rp 600 =Rp.


(240)

Pajak Rokok yang dibayar pengusaha per batang:10% x Rp. 240


= Rp. (24)

Pajak Pertambahan Nilai untuk Rokok 8,4% x Rp. 600 =Rp.


(50,4)

Laba setelah pajak Rp. 285,6

Asumsikan keuntungan yang di-share kepada distributor: 5% x


Rp.600 = Rp. (30)

Laba diterima Pengusaha Rokok Rp. 255,6

 Contoh 4

Dengan menggunakan tarif advolrum, harga satu bungkus rokok


rokok merek “Y” sebesar Rp. 10.000 dengan cukai 40%. Itu
artinya nilai cukai adalah sebesar 40% x Rp 10.000 = Rp. 4.000.
Kemudian pemda menambah Pajak Rokok dengan tarif 10% atas
cukai. Sehingga besar pajak rokok adalah 10% x Rp 4000 = Rp.
400. Jadi, harga eceran pokok total naik menjadi Rp. 10.400.

20
 Contoh 5

Dengan menggunakan tarif advolrum, harga satu bungkus rokok


rokok merek “Y” sebesar Rp. 10.000 dengan cukai 40%. Itu
artinya nilai cukai adalah sebesar 40% x Rp 10.000 = Rp. 4.000.
Kemudian pemda menambah Pajak Rokok dengan tarif 10% atas
cukai. Sehingga besar pajak rokok adalah 10% x Rp 4000 = Rp.
400. Jadi, harga eceran pokok total naik menjadi Rp. 10.400.

 Contoh 6

Mau Bayar Pajak Air Kok Repot

Posted 29 Juli 2011 by pajakserpong405 in Uncategorized.

Seorang pengusaha berkeluh kesah pada teman sejawatnya,


bahwa perusahaannya yang baru saja berdiri memerlukan air
baku yang diambil di Sungai Cisadane Kota Tangerang Selatan,
air yang akan diambil merupakan salah satu bahan produksi yang
diperlukan untuk proses produksi pabrik di perusahaannya .

Si pengusaha ini bersedia mematuhi Undang-undang Nomor 24


tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, dan ia telah
memahami tentang kewajibannya bahwa jika mengambil air
permukaan di sungai wajib membayar Pajak Air Permukaan.
Namun menurut si pengusaha ketika Ia datang ke Kantor Pajak
ia ditolak untuk membayar pajak.

Kasus diatas sering terjadi di lingkungan masyarakat awam yang


kurang mendapatkan informasi yang jelas mengenai proses
sebuah perusahaan di tetapkan sebagai Wajib Pajak. Dalam
kasus diatas terdapat beberapa tahapan perijinan yang dikelola
oleh instansi lain yang harus dilalui sebelum kewajiban
pembayaran Pajak Air Permukaan dilakukan. Perijinan ini perlu

21
dilalui sebagai untuk menjaga ketersediaan air permukaan di
sungai dan akuntabilitas jumlah pengambilan air. Diantara
tahapan perijinan tersebut adalah :

1. Pada intinya tidak ada bantaran sungai yang dikuasai oleh


perorangan, namun tanah di bantaran Sungai adalah milik
Pemerintah. Jika sungai tersebut melewati dua wilayah
kabupaten/kota maka bantaran tersebut dikuasai oleh
Pemerintah Provinsi dalam hal ini Dinas Sumber Daya Air
Dan Pemukiman (DSDAP) Provinsi Banten contohnya
adalah Sungai Cisadane, hal ini sesuai dengan Undang-
undang Nomor 51 tahun 1960 tentang larangan
pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya,
PP nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan
pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
2. Terhadap lahan bantaran sungai yang dikuasai oleh
Provinsi Banten setiap pemakaian oleh pihak luar harus
mengurus ijin ke DSDAP, yang apabila disetujui maka
akan diberikan ijin yang bernama Ijin Serah Pakai Tanah.
3. Biasanya jika pabrik akan mengambil air permukaan,
maka pompa dan rumah pompa berada di bantaran
sungai bukan di areal pabrik, maka DSDAP akan
menghitung banyaknya tanah yang di serah pakaikan
dalam hitungan meter per segi meliputi rumah pompa dan
penghijauan. Ijin serah pakai dapat diperpanjang setiap 1
(satu) tahun sekali dan terhadap luasan tanah yang
diserah pakaiakan dikenakan retribusi sesuai Peraturan
Daerah yang berlaku ± 250 – 1.400 / m2. Pengurusan ijin
serah pakai dapat dilaksanakan di DSDAP Provinsi Banten
atau melalui Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA)
Wilayah Sungai Cidurian-Cisadane DSDAP Provinsi Banten
beralamat di JL. KS Tubun No. 42 Koang Jaya Kota
Tangerang.
4. Jika Ijin Serah pakai Tanah telah dibuat (seandainya
mempergunakan tanah bantaran sungai), maka langkah

22
selanjutnya adalah membuat Ijin Pengembangan
Pemanfaatan Air Permukaan (SIPPA) ke DSDAP Provinsi
Banten, hal ini sesuai dengan Undang-undang nomor 7
Tahun 2004 tentang sumber Daya Air. Di dalam SIPPA ini
akan diatur berapa besar debit air yang diperbolehkan
untuk diambil secara terus menerus per bulannya. SIPPA
ini harus diperpanjang setiap 2 (dua) tahun sekali.
5. Oleh karena dalam SIPPA telah diatur jumlah debit yang
diperbolehkan diambil, maka setiap pabrik atau
perusahaan wajib memasang alat ukur air/meter air yang
spesifikasinya memenuhi petunjuk teknis. Alat ukur ini
wajib di Tera oleh Balai Pengelola Laboratorium Metrologi
yang beralamat di Jalan raya Jakarta KM 4,5 Serang, bukti
telah di tera adalah Surat Keterangan Hasil Peneraan dan
Surat ini wajib di uji ulang setiap 1 (satu) Tahun Sekali.
6. Selanjutnya Alat Ukur yang telah di Tera ini dipasang pada
pipa inlet (masuk) dan disegel secara resmi oleh BPSDA
WSCC DSDAP melalui Berita acara penyegelan.
7. Jika semua telah dilalui maka pihak perusahaan wajib
melapor ke Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset daerah
(DPKAD) Unit Pelaksana Teknis (UPT) Serpong untuk di
tetapkan sebagai Wajib Pajak dengan memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD).
8. Setiap bulannya perusahaan akan didatangi petugas
pencatat air dari BPSDA WSCC yang akan melaporkan
jumlah air yang telah diambil. Selanjutnya DPKAD UPT
Serpong berdasarkan hasil pencatattan tersebut akan
menetapkan Surat Ketetapan pajak Daerah (SKPD) yang
harus dibayarkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
setelah terbit. Berdasarkan SKPD tersebutlah perusahaan
membayar pajak, dan setiap pembayaran mendapatkan
bukti pembayaran yang sah berupa Surat Setoran Pajak
Daerah (SSPD) dan Tanda Bukti Pembayaran (TBP) di
Loket DPKAD UPT. Serpong.

23
Demikianlah urutan-urutan proses yang harus dilalui, hal ini
bukan karena birokrasi yang berbelit namun untuk menjaga
kelangsungai air yang menjadi hajat hidup orang banyak, dengan
pengetahuan ini diharapkan para calon Wajib pajak Air dapat
memahami dan melaksanakan kewajibannya dengan baik.

BAB IV

KESIMPULAN

Tujuan penerapan pajak air permukaan tak hanya semata-


mata untuk menambah kas atau pendapatan daerah, namun juga untuk
melindungi Sumber Daya Alam (SDA), dalam hal ini adalah air
permukaan. Tarif yang dikenakan untuk Pajak Air Permukaan adalah 10%
dari nilai perolehan air. Nilai perolehan air dihitung dengan cara
mengalikan Volume air yang diambil/digunakan dengan harga dasar air.

Tujuan utama penerapan pajak rokok adalah untuk melindungi


masyarakat terhadap bahaya rokok. Penerapan pajak rokok sebesar 10
persen dari nilai cukai juga dimaksudkan untuk memberikan optimalisasi
pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga kesehatan masyarakat.

Pajak Rokok tidak bisa dikatakan pajak berganda atau double


taxation. Dilihat dari dasar penghitungannya, Pajak Rokok berbeda
dengan Cukai Rokok. Dasar pemungutan Pajak Rokok dikenakan atas
besaran cukai, sedangkan dasar pemungutan cukai adalah terhadap
produk rokok. Pajak berganda baru akan terjadi jika Pajak Rokok
dikenakan terhadap produk rokok. Sedangkan jika dilihat dari alokasi
penerimaan, terdapat perbedaan antara Pajak Rokok dan Cukai Rokok,
Pajak Rokok dipungut oleh Pemerintah daerah dan sepenuhnya masuk ke

24
kas Pemerintah daerah. Sementara cukai rokok yang diterapkan selama
ini,adalah pajak yang peruntukannya untuk Pemerintah Pusat.

Melalui kebijakan ”earmarking” yang ada di dalam Pajak Rokok


setiap daerah akan dipacu untuk secara bertahap dan terus menerus
melakukan perbaikan dan peningkatan (sustainable development)
kualitas pelayanan publik di daerahnya secara nyata. Terutama di bidang
pelayanan kesehatan dan penegakan hukum terkait rokok illegal.

25

Anda mungkin juga menyukai