Stela Full
Stela Full
Disusun oleh
KELOMPOK I2
Disusun Oleh :
Wisnu Rahmawan 175040107111020
Assabiqul Awalun 175040101111014
Diki Wahyudi 175040101111021
Dianita Suryanti 175040101111025
Afni Refika Gustin 175040101111035
Monalisa 175040101111065
Radianti Aqmarina W. 175040101111067
Nor Hasin 175040101111084
Claudia Sinta Febryana 175040101111085
Putri Pramesti P. A. 175040101111093
Tissa Permata Prasanti 175040101111136
Dhaniswara Mega A. 175040107111013
Nadia Atika Ningrum 175040107111034
Diah Atika Sari 175040107111049
Yoberalda Setiani S. S. 175040107111069
Aulia Qurrota A`Yuni 175040107111070
Raafiansyah Ghani M. 175040107111086
Kelas : I
Kelompok : I2
Disetujui Oleh :
Peta tanah adalah peta yang menggambarkan penyebaran jenis-jenis tanah pada
suatu daerah. Sebaran jenis tanah pada peta tanah dibatasi dengan garis-garis batas,
garis batas yang berupa poligon-poligon disebut sebagai satuan peta tanah (Harjadi,
2015). Satuan peta tanah digambarkan dengan ordo dan kelerengan disetiap titik
pengamatan pada suatu satuan peta lahan, dan satuan peta tanah juga berisikan
informasi satu satuan taksa tanah atau lebih dari satu satuan taksa tanah yang telah
didefinisikan dalam taksonomi tanah atau sistem klasifikasi yang lain. Satuan peta
tanah dalam pembuatannya adalah berdasarkan tujuan tertentu, baik untuk tujuan
pertanian maupun non pertanian, sehingga peta yang dihasilkan disajikan pada skala
peta tertentu. Semakin detail skala peta, maka data dan informasi yang disajikan
semakin rinci. Secara spasial penyebaran dari masing-masing satuan peta tanah yang
digambarkan memiliki kerincian dari data dan informasi yang yang beragam, dimana
data tersebut dihasilkan dan ditentukan oleh intensitas pengamatan di lapangan
menggunakan skala peta. Sukarman dan Sofyan (2013) mengkategorikan peta tanah dan
satuan peta tanah berdasarkan skalanya yaitu:
B. Biaya Variabel
Merupakan biaya yang berubah jika terjadi perubahan jumlah output yang
diproduksi. kurva variable cost akan meningkat seiring kenaikan output.
Keterangan:
BEP = Break Even Point (Titik Impas)
TR = Total Revenue (Penerimaan)
FC = Fixed Cost (Biaya Tetap)
VC = Variable Cost (Biaya Variabel)
Revenue Cost Ratio (R/C ratio)
Salah satu indikator untuk mengetahui kelayakan dalam suatu usaha
adalah dengan menghitung Revenue Cost Ratio atau R/C Ratio. Revenue Cost
Ratio atau R/C Ratio adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui
keuntungan yang relatif pada usahatani. R/C Ratio dapat dicari dengan
menggunakan perbandingan antara penerimaan dengan biaya produksi yang
dikeluarkan. Secara matematik dapat dinyatakan sebagai berikut:
R/C = PQ . Q / (TFC+TVC)
Keterangan:
R = penerimaan
C = biaya
PQ = harga output
Q = output
TFC = biaya tetap (fixed cost)
TVC = biaya variabel (variable cost)
Ada tiga kriteria dalam R/C ratio, yaitu:
1. R/C rasio > 1, maka usaha tersebut efisien dan menguntungkan
2. R/C rasio = 1, maka usahatani tersebut BEP
3. R/C rasio < 1, maka tidak efisien atau merugikan
Menurut Pebriantari et al. (2016) Kriteria kelayakan usaha pada analisis R/C
Ratio yaitu:
(a) Apabila hasil perhitungan R/C Ratio > 1 maka penerimaan yang diterima
lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan, artinya usaha tersebut
layak untuk terus dijalankan.
(b) Apabila hasil perhitungan R/C Ratio < 1 maka penerimaan yang diterima
lebih kecil dibandingkan biaya yang dikeluarkan, artinya usaha tersebut
tidak layak untuk terus dijalankan.
(c) Apabila kegiatan usaha menghasilkan R/C Ratio = 1 maka usaha tersebut
dalam keuntungan normal.
2. Kelayakan Usahatani Tanaman Tahunan
Benefit Cost Ratio (B/C ratio)
Benefit Cost Ratio adalah penilaian yang dilakukan untuk melihat tingkat
efisiensi penggunaan biaya berupa perbandingan jumlah nilai bersih sekarang
yang positif dengan jumlah nilai bersih sekarang yang negatif, atau dengan kata
lain Net B/C adalah perbandingan antara jumlah NPV positif dangan jumlah
NPV negatif dan ini menunjukkan gambaran berapa kali lipat benefit akan kita
peroleh dari cost yang kita keluarkan. Secara matematik dapat dinyatakan
sebagai berikut:
Keterangan:
Bt = Benefit (penerimaan kotor pada tahun ke-t)
Ct = Cost (biaya kotor pada tahun ke-t)
n = umur ekonomis proyek
i = tingkat suku bunga yang berlaku
Kriteria yang dapat diperoleh dari penghitungan Net B/C antara lain:
1) Jika Net B/C > 1, maka kegiatan usaha layak untuk dilaksanakan.
2) Jika Net B/C < 1, maka kegiatan usaha tidak layak untuk dilaksanakan.
3) Jika Net B/C = 1, maka kegiatan usaha dalam keadaan break event point.
Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) adalah analisis manfaat finansial yang
digunakan untuk mengukur layak tidaknya suatu usaha dilaksanakan dilihat
dari nilai sekarang (present value) arus kas bersih yang akan diterima
dibandingkan dengan nilai sekarang dari jumlah investasi yang dikeluarkan.
Arus kas bersih adalah laba bersih usaha ditambah penyusutan, sedang jumlah
investasi adalah jumlah total dana yang dikeluarkan untuk membiayai
pengadaan seluruh alat-alat produksi yang dibutuhkan dalam menjalankan
suatu usaha. Secara matematik dapat dinyatakan sebagai berikut:
Keterangan:
Bt = Benefit (penerimaan usahatani pada tahun ke-t)
Ct = Cost (biaya usahatani pada tahun ke-t)
n = umur ekonomis proyek (10 tahun)
i = tingkat suku bunga yang berlaku (14%)
Kriteria penilaian adalah :
1) Jika NPV > 0, maka kegiatan usaha layak untuk dilaksanakan.
2) Jika NPV < 0, maka kegiatan usaha tidak layak untuk dilaksanakan.
3) Jika NPV = 0, maka kegiatan usaha dalam keadaan break event point.
Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return (IRR) merupakan suatu tingkat bunga yang
menunjukkan nilai bersih sekarang (NPV) sama dengan jumlah seluruh
investasi proyek, dengan kata lain tingkat, suku bunga yang menghasilkan
NPV sama dengan nol. Secara matematis IRR dapat dirumuskan sebagai :
Keterangan :
i1 = discount rate yang menghasilkan NPV positif
i2 = discount rate yang menghasilkan NPV negatif
NPV1 = NPV yang bernilai positif
NPV2 = NPV yang bernilai negatif
Kriteria pengukuran adalah :
1) Jika IRR > i, maka kegiatan usaha layak untuk dilaksanakan.
2) Jika IRR < i, maka kegiatan usaha tidak layak untuk dilaksanakan.
3) Jika IRR = i, maka kegiatan usaha dalam keadaan break event point.
Payback Period (PP)
Payback Period merupakan penilaian investasi suatu proyek yang didasarkan
pada pelunasan biaya investasi berdasarkan manfaat bersih dari suatu proyek.
Secara matematis Payback Period dapat dirumuskan sebagai :
PP = Ko / Ab x 1 tahun
Keterangan :
Pp = payback period (PP)
K0 = investasi awal
Ab = manfaat (benefit) yang diperoleh setiap periode
Kriteria pengukuran kelayakan melalui metode Payback Period (PP) adalah:
1) Jika masa PP lebih pendek dari umur ekonomis usaha, maka proyek tersebut
layak untuk dijalankan.
2) Jika masa PP lebih lama dari umur ekonomis usaha, maka proyek tersebut
tidak layak untuk dijalankan.
III. METODE PELAKSANAAN
3.1 Tempat dan Waktu
Pelaksanaan kegiatan fieldwork praktikum mata kuliah Survei Tanah dan Evaluasi
Lahan dilaksanakan pada 28 September 2019. Kegiatan tersebut bertempat di Desa
Tegalweru, Kecamatan Dau, Malang Kota, Jawa Timur.
3.2 Alat dan Bahan Survei
3.2.1 Alat Survey
Adapun alat yang digunakan dalam kegiatan fieldwork ini adalah :
Tabel 3. Alat Survey
Nama Alat Fungsi
GPS Untuk mengetahui lokasi, ketinggian
tempat, dan titik koordinat garis bujur
dan garis lintang pada titik
pengamatan
Cangkul Untuk menggali tanah pada saat
membuat minipit
Papras Meratakan tanah pd minipit atau
penampang
Pisau lapang Untuk menentukan batas horizon
tanah dan mengambil sampel tanah
Bor Untuk mengebor tanah dalam
kedalaman tertentu
Sabuk profil Untuk membedakan horizon yang satu
dengan yang lainnya dan untuk
mencegah manipulasi data
Botol semprot Untuk membasahi tanah dalam
menentukan kelas tekstur dan
konsistensi tanah.
Fial Film Untuk wadah tanah dalam pengukuran
Ph
at dut h ak
gelap pla
stis
3 Bw 2 23/27- 10YR Lemp Gum Sedang Tegu Lek - Bau Rata
50 3/1 ung pal h at- r
Caokel Berli Bersu Ag
at at dut ak
gelap pla
kekuni stis
ngan
I2_ 1 Ap 0-12 7,5YR Lemp Gum Halus Sang Lek Sed Jela Rata 5,
M3 3/4, ung pal at at- ikit s 5-
Coklat Berli Bersu Tegu Ag 6,
sangat at dut h ak 5
gelap pla
stis
2 Bw1 12-22 10YR Lemp Gum Sedang Sang Lek - Bau Rata
3/4 ung pal at at- r
Cokela Berli Bersu Tegu Ag
t at dut h ak
sangat plat
gelap is
3 B 22-50 10YR Liat Gum Halus Sang Lek Sed - -
3/3 Berde pal at at- ikit
Cokela bu Bersu Tegu Ag
t gelap dut h ak
Pla
stis
5.1.1 Morfologi Minipit Titik I2_M1
Dari tabel data morfologi tersebut, dapat diketahui bahwa minipit pada titik 1
sedalam 50 cm terdapat 3 horizon yaitu horizon Ap, Bw1, B, Horizon Ap didapat pada
kedalaman 0-16/17,5 cm, dengan batas horizon kejelasan ansur, topografi horizon
ombak, warna tanah 7,5 YR 5/4, tekstur liat berdebu, struktur tiang, konsistensi lembab
teguh, konsistensi basah lekat, agak plastis.
Horizon yang kedua adalah horizon Bw1 terdapat di kedalaman 16/17,5-26/39
cm dengan batas horizon angsur, topografi horizon ombak, warna tanah 10 YR 3/4,
tekstur liat berdebu.
Horizon yang ketiga adalah horizon B terdapat di kedalaman 26/39-50 cm
dengan batas horizon angsur, topografi horizon rata, warna tanah 7,5 YR 4/4, tekstur
liat berdebu, struktur prisma, konsistensi lembab teguh, konsistensi basah lekat, agak
plastis. Setelah pembuatan minipit pada titik ini, kemudian dilanjutkan dengan
pengeboran. Pemboran dilakukan sebanyak satu kali. Kedalaman setiap pemboran
sebesar 20 cm.
Dari data minipit pertama yang komoditas tanaman nya yakni perkebunan jeruk,
sangat mempengaruhi perbedaan horizon yang terjadi karena tanaman bervegetasi
tanaman sejenis monokultur lebih berkembang dibandingkan tanah bervegetasi
campuran. Hal ini disebabkan tanah tersebut telah mengalami proses pencucian yang
intensif sehingga proses pembentukan horizon- horizon berjalan cepat (Purnomo,2015).
Dan didapatkan hasil bahwa pada konsistensi lembab tanah dalam keadaan teguh hal
tersebut sesuai dengan pernyataan (Radjit et.al., 2014), bahwa konsistensi digambarkan
untuk tiga tingkat kelembaban basah, lembab dan kering. Suatu tanah tertentu dapat
menjadi lekat bila basah, teguh bila lembab dan keras bila kering. Berikut adalah data
pengamatan hasil pemboran.
Tabel 6. Morfologi Pemboran Titik 1
Pemboran Kedalaman Warna Kelas Konsistensi
ke- (cm) Tekstur
1 >50 7,5YR Liat Teguh, Lekat-Sangat
5/6 berdebu Plastis
Dari tabel data morfologi tersebut, dapat diketahui bahwa minipit pada titik 1
sedalam 50 cm terdapat 3 horizon yaitu horizon Ap, Bw1, Bw2, Bw3. Horizon Ap
didapat pada kedalaman 0-12/15 cm, dengan batas horizon kejelasan jelas, topografi
horizon rata, warna tanah 10 YR 3/42, tekstur lempung berliat, struktur gumpal
bersudut, konsistensi lembab sangat teguh, konsistensi basah lekat, agak plastis.
Horizon yang kedua adalah horizon Bw1 terdapat di kedalaman 12/15-23/27 cm
dengan batas horizon baur, topografi horizon rata, warna tanah 10 YR 3/2, tekstur liat
berdebu, struktur gumpal bersudut, konsistensi lembab sangat teguh, konsistensi basah
lekat, agak plastis.
Horizon yang ketiga adalah horizon Bw2 terdapat di kedalaman 23/27-50 cm
dengan batas horizon baur, topografi horizon rata, warna tanah 10 YR 3/1, tekstur
lempung berliat, struktur gumpal bersudut, konsistensi lembab teguh, konsistensi basah
lekat, agak plastis. Setelah pembuatan minipit pada titik ini, kemudian dilanjutkan
dengan pengeboran.Pemboran dilakukan sebanyak satu kali. Kedalaman setiap
pemboran sebesar 20 cm. Berikut adalah data pengamatan hasil pemboran.
Tabel 7. Morfologi Pemboran Titik 2
Pemboran Kedalaman Warna Kelas Konsistensi
ke- (cm) Tekstur
1 >50 10YR Liat Teguh Lekat-plastis
3/3 Berdebu
Dari data pemboran yang dilakukan di titik 1 didapatkan hasil bahwa pemboran
1 terdapat di kedalaman >50 cm dengan warna tanah 10 YR 3/3, tekstur liat berdebu,
konsistensi lembab teguh dan konsistensi basah lekat, plastis. Dari data tabel diatas,
yang dapat diamati hanya warna, kelas tesktur dan konsistensi. Hal tersebut sesuai
dengan Balitanah (2014), Dalam pengamatan pemboran terdapat sifat-sifat morfologi
yang tidak dapat dideskripsi, misalnya struktur tanah, pori-pori, dan batas Horizon,
sebab tanah yang terambil oleh bor kondisinya sudah terganggu atau tertekan (bukan
merupakan penampang utuh). Sifat tanah yang dapat diamati yakni tekstur, warna dan
konsistens.
5.1.2 Morfologi Minipit Titik I2_M3
Dari tabel data morfologi tersebut, dapat diketahui bahwa minipit pada titik 1
sedalam 50 cm terdapat 3 horizon yaitu horizon Ap, Bw1, B, Horizon Ap didapat pada
kedalaman 0-12 cm, dengan batas horizon kejelasan ansur, topografi horizon ombak,
warna tanah 7,5YR 3/4, tekstur lempung berliat, struktur gumpal bersudut, konsistensi
lembab sangat teguh, konsistensi basah lekat, agak plastis.
Horizon yang kedua adalah horizon Bw1 terdapat di kedalaman 12-22 cm dengan
batas horizon baur, topografi horizon rsta, warna tanah 10YR 3/4, tekstur liat berdebu,
struktur gumpal bersudut, konsistensi lembab sangat teguh, konsistensi basah lekat,
agak plastis.
Horizon yang ketiga adalah horizon B terdapat di kedalaman 22-50 cm dengan
tidak terdapat batas horizon dan tidak terdapat topografi horizon. Warna tanah 10 YR
3/3, tekstur lempung berliat, struktur gumpal bersudut, konsistensi lembab teguh,
konsistensi basah lekat, agak plastis. Setelah pembuatan minipit pada titik ini,
kemudian dilanjutkan dengan pengeboran.Pemboran dilakukan sebanyak satu kali.
Kedalaman setiap pemboran sebesar 20 cm. Berikut adalah data pengamatan hasil
pemboran.
Tabel 8. Morfologi Pemboran Titik 3
Pemboran ke- Kedalaman Warna Kelas Konsistensi
(cm) Tekstur
1 >50 10YR Liat Teguh Lekat-Sangat
2/2 Plastis
Dari data pemboran yang dilakukan di titik 1 didapatkan hasil bahwa pemboran 1
terdapat di kedalaman >50 cm dengan warna tanah 10 YR 2/2, tekstur liat, konsistensi
lembab teguh dan konsistensi basah lekat, sangat plastis.
5.2 Klasifikasi Tanah
Kegiatan fieldwork survey tanah yang dilakukan di Desa Tegalweru pada setiap
titik pengamatan. Berikut ini merupakan table yang menunjukkan klasifikasi tanah hasil
survey berdasarkan Epipedon hingga Rejim suhu tanah
Tabel 9. Klasifikasi Tanah Hasil Survei Pada Tiga Titik Pengamatan
Kode Pedon Epipedon Endopedon Rejim Lengas Rejim Suhu
Tanah Tanah
I2.M1 Okrik Kambik Udik Isohipertemik
I2.M2 Umbrik Kambik Udik Isohipertemik
I2.M3 Umbrik Kambik Udik Isohipertemik
Berdasarkan table diatas, dapat diketahui bahwa pada titik I2.M1 memiliki
epipedon yaitu okrik dikarena kedalam tanahnya 0-16/17,5cm, berwarna coklat yaitu
7,5YR 5/4. Menurut Taksonomi Tanah 2014 (Soil Survey Staff, 2014) Epipedon okrik
memiliki permukaan yang terlalu tipis dan kering, memiliki value warna atau croma ≤3
jika lembab dan ≥5 jika kering, dan mengandung terlalu sedikit karbon organik.
Endopedon pada titik I2.M1 yaitu kambik dikarenakan memiliki kedalaman 16/17,5 –
26/39cm dengan warna coklat gelap kekuningan 10YR 3/4. Menurut Taksonomi Tanah
2014 (Soil Survey Staff, 2014) bahwa horizon kambik, merupakan horizon yang
menujukkan indikasi lemah tentang adanya argilik atau spodik, tetapi tidak memenuhi
syarat untuk kedua horizon tersebut. Ciri cirinya adalah: tekstur pasir sangat halus,
pasir sangat halus berlempung, atau lebih halus.
Pada titik I2.M2 dan I2.M3 memiliki epipedon umbrik, dikarenakan memiliki
value atau croma ≤3 jika lembab dan value ≤5 jika kering, titik I2.M2 berwarna coklat
sangat gelap yaitu 10 YR 2/2 dan titik I2.M3 berwarna coklat gelap yaitu 7,5 YR 3/4.
Menurut Mey (2008) bahwa epipedon umbrik, merupakan tanah lapisan permukaan
yang cenderung tebal, berwarna gelap, struktur pejal, mengandung bahan organik > 1%
dan KB < 50%. Sedangkan endopedon pada titik I2.M2 dan I2.M3 juga sama yaitu
kambik dikarenakan memiliki kedalaman 12/15-23/27cm pada titik I2.M2 dan 12-22cm
I2.M3. Menurut Taksonomi Tanah 2014 (Soil Survey Staff, 2014) bahwa horizon
kambik, merupakan horizon yang menujukkan indikasi lemah tentang adanya argilik
atau spodik, tetapi tidak memenuhi syarat untuk kedua horizon tersebut. Ciri cirinya
adalah: tekstur pasir sangat halus, pasir sangat halus berlempung, atau lebih halus.
Satuan peta tanah merupakan satuan lahan/tanah yang dibatasi di lapangan
berdasarkan pada kenampakan bentang alam (landscape). Satuan peta tanah terdiri dari
kumpulan semua deliniasi tanah yang ditandai oleh simbol, warna, nama atau lambang
yang khas pada suatu peta. Satuan Peta tanah disusun untuk menampung informasi
penting dari suatu luasan (poligon) tentang hal-hal yang berkaitan dengan survei tanah
(Rayes, 2007). Berikut adalah hasil survei mengenai sebaran peta tanah:
Tabel 10. Data Sebaran SPT
SPT Titik Nama SPT
1 A2.2 Typic Humudepts
2 E2 Typic Dystrudepts
3 J2.2 Typic Dystrudepts
4 B2.2 Typic Dystrudepts
5 F1.3 Typic Humudepts
6 C2.4 Typic Humudepts
7 L1.2 Typic Dystrudepts
8 G2.4 Typic Dystrudepts
9 H1.2 Typic Dystrudepts
10 A1.1 Typic Humudepts
11 M1.2 Typic Humudepts
Pendekatan satuan peta tanah menggunakan pendekatan fisiografis atas dasar
komposisi satuan-satuan tanah yang ada di dalam satuan lahan yang digunakan sebagai
satuan pemetaan. Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa terdapat 2 sub grup
yang digunakan sebagai nama satuan peta tanah yaitu typic humudept dan typic
distrudept. Typic Humudept merupakan sub grub tanah yang meimiliki sifat sama
dengan grubnya yaitu Humudept dan tidak ditambah dengan sifat lain. Humudept
merupakan udept lain yang mempunyai epipedon umbrik dan molik (Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, 2015). Sedangkan typic Distrudept merupakan sub grub
tanah yang memiliki sifat sama dengan grubnya yaitu distrudept dan tidak ditambah
dengan sifat lain.
5.3 Kemampuan Lahan
Klasifikasi kelas kemampuan lahan dilakukan berdasarkan pada kondisi aktual
yang ada di lahan. Sesuai dengan pendapat Suyana dan Endang (2014), bahwa kelas
kemampuan lahan dikelompokkan dalam kelas I sampai VIII. Kelas kemampuan lahan
diurutkan berdasarkan tingkat faktor pembatasnya.
Tabel 11. Kelas Kemampuan Lahan pada Tiap Titik
Titi
Kelas Sub Kelas Faktor Pembatas
k
A2.2 IV e, w Genangan banjir dan lereng
E2 VIII w Permeabilitas
J2.2 IV e Lereng
B2.2 III w Genangan banjir
F1.3 VIII w Permeabilitas
C2.4 VIII w Permeabilitas
L1.2 VIII w Permeabilitas
G2.4 VIII w Permeabilitas
H1.2 VIII w Permeabilitas
A1.1 II e,w Lereng, drainase dan tingkat erosi
N1.2 VIII w Permeabilitas
Berdasarkan hasil pada tabel di atas, didapatkan bahwa terdapat 11 titik pengamatan.
Tiap titik pengamatan memiliki kelas yang berbeda. Kelas yang ditemukan sebanyak 5
kelas. Adapun 5 kelas kemampuan lahan tersebut meliputi IVe,w, IVe, IIIw, VIIIw pada
titik E2, F1.3, C2.4, L1.2, H1.1, N1.2 dan IIe,w .
Kelas kemampuan lahan IV e,w terdapat pada SPL 1 di pedon tipikal A2.2.
Tanah di dalam kelas IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman
pertanian, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung atau suaka alam.
Namun, tanah - tanah kelas IV mungkin hanya cocok untuk dua atau tiga tanaman
pertanian atau tanaman yang memiliki produksi rendah. Sebagaimana menurut
Simangunsong et al. (2013) bahwa kelas kemampuan lahan IV memiliki arti wilayah
tersebut memiliki beberapa penghambat yang perlu diatasi untuk suatu usaha pertanian.
Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Rayes (2007) bahwa tanah pada lahan kelas
IV memerlukan pengelolaan yang lebih hati - hati dan tindakan konservasi yang lebih
sulit untuk diterapkan dan dipertahankan. Selain itu Rayes (2007) juga menambahkan
bahwa beberapa faktor pembatas pada kelas IV meliputi lereng curam, sangat peka
erosi, dan telah mengalami erosi masa lalu yang parah. Pada kelas ini faktor
penghambat berupa genangan banjir yang termasuk dalam subkelas e dan lereng curam
yang termasuk dalam subkelas w. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rayes (2007) bahwa
suatu lahan yang termasuk pada subkelas kelebihan air (w) memiliki drainase yang
buruk, sehingga air yang berlebih akan menyebabkan adanya banjir dan tentu saja akan
berpengaruh pada pertumbuhan tanaman.
Kelas kemampuan lahan IV e terdapat pada SPL 3 di pedon tipikal J2.2. Tanah
pada kelas ini memiliki faktor pembatas yang lebih besar daripada kelas III, sehingga
jenis penggunaan/jenis tanaman yang diusahakan juga sangat terbatas. Tanah di dalam
kelas IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian, padang
penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung atau suaka alam. Tanah - tanah kelas IV
mungkin hanya cocok untuk dua atau tiga tanaman pertanian atau tanaman yang
memiliki produksi rendah. Menurut Rayes (2007) tanah pada kelas IV mempunyai
kendala yang sangat berat sehingga membatasi pilihan penggunaan atau memerlukan
tindakan pengelolaan yang perlu diperhatikan. Jika digunakan untuk tanaman semusim,
tanah yang ada pada kelas IV ini memerlukan penanganan yang lebih intensif dan
tindakan konservasi yang lebih diperhatikan untuk diterapkan dan dipertahankan. Pada
lahan ini memiliki faktor pembatas berupa lereng curam dimana akan meningkatkan
kepekaan erosi dan untuk subkelasnya dapat dikategorikan sebagai subkelas erosi (e).
Sebagaimana dikatakan Rayes (2007) bahwa suatu lahan dapat dikategorikan dalam
subkelas erosi (e) adalah suatu lahan yang memiliki bahaya erosi yang dapat disebabkan
oleh curamnya lereng dan tingginya kepekaan erosi.
Kelas kemampuan lahan III w terdapat pada SPL 4 di pedon tipikal B2.2. Tanah
kelas III merupakan salah satu kelas yang cocok untuk pertanian baik tanaman semusim
maupun hutan lindung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suharta (2010) yang
menyatakan bahwa Tanah pada kelas I sampai IV adalah tanah atau lahan yang sesuai
digunakan untuk tanaman pertanian pada umumnya (tanaman semusim atau tahunan),
maupun untuk rumput makanan ternak, padang rumput dan hutan.Walaupun tanah kelas
III cocok dalam bidang pertanian namun, tanah - tanah kelas III memerlukan konservasi
tanah untuk pengelolaanya dan hasil pertaniannya tidak sebaik tanah yang terdapat pada
kelas I. Pernyataan ini didukung oleh pernyataan Bintang et.al., (2015) yang
menyatakan bahwa lahan kelas III jika dipergunakan bagi tanaman yang memerlukan
pengeloaan tanah dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan biasanya lebih sulit
diterapkan dan dipelihara. Ditambahakan oleh pernyataan Suharta (2010) yang
menyatakan bahwa Lahan kelas I adalah lahan ideal untuk pertanian dengan faktor
penghambat terkecil/minimum atau dapat dikatakan selain lahan kelas I, untuk kelas
lain membutuhkan upaya untuk mengatasi faktor penghambat yang aktual untuk
pertanian. Faktor pembatas yang ditemukan pada kelas III di titik B2.2 ini merupakan
genangan banjir (w). Lahan dengan drainase baik adalah lahan yang selalu kering, tidak
ada air yang tergenang, dan dikatakan buruk apabila kondisi lahan selalu tergenang.
Sehingga drainase yang baik akan mempengaruhi tingkat bersar kecilnya genangan
banjir. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rayes (2007) yang menyatakan bahwa suatu
lahan yang termasuk pada subkelas kelebihan air (w) memiliki drainase yang buruk,
sehingga air yang berlebih akan menyebabkan adanya banjir dan tentu saja akan
berpengaruh pada pertumbuhan tanaman. Sehingga jika diusahakan untuk tanaman
semusim dan tanaman pertanian tanah ini memerlukan drainase dan pengelolaan tanah
yang dapat memelihara dan memperbaiki struktur seingga mempermudah pengelolaan
tanahnya.
Kelas kemampuan lahan IV w terdapat pada SPL 5, 6, 7, 8, 9, dan 11 di pedon
tipikal F1.3, C2.4, L1.2, G2.4, H1.2 dan N1.2. seperti pada tanah kelas I-III, tanah-tanah
pada kelas IV juga cocok untuk lahan pertanian namun dari segi hambatan lebih besar
dan pilihan tanamanya juga terbatas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yuwono (2009)
yang menyatakan bahwa hambatan dan ancaman kerusakan pada lahan kelas IV lebih
besar dari kelas III dan pilihan tanamanya juga terbatas hal ini dikarenakan oleh
besarnya kombinasi faktor pembatas yang ada didalamnya seperti lereng miring,
kepekaan erosi yang besar, tanah dangkal, kapasitas menahan auir yang rendah, sering
tergenang, dan salinitas atau kandungan natrium yang tinggi. Sehingga berdasarkan
pernyataan tersebut tanah-tanah kelas IV biasanya dipergunakan untuk tanaman
semusim, tanaman rumput, hutan produksi, padang penggembalaan dan hutan lindung
atau suaka margasatwa. Faktor pembatas/ penghambat yang ditemukan pada titik-tiik
pengamatan ini adalah permeabilitas (w), Permeabilitas tanah adalah cepat atau
lambatnya air meresap ke dalam tanah melalui pori-pori tanah, baik horizontal
(kemampuan tanah dalam menyerap air) dimana faktor pembatas Permeabilitas tanah
memiliki peran dan pengaruh untuk klasifikasi kemampuan lahan. Kondisi tanah yang
baik adalah tanah dengan permeabilitas yang agak lambat yang mana lahan tidak mudah
kehilangan air dan tidak tergenang. Rayes (2007) menambahkan bahwa tanah yang
memiliki penghambat w disebabkan oleh drainase buruk atau kelebihan air dan bahaya
banjir yang dapat merusak tanaman. Permebilitas akan berbanding lurus dengan
drainase dan bahawa banjir. Dimana jika permeabilitas lambat maka drainase buruk
sehingga air tergenang dan dapat berakibat menjadi bahaya banjir.
Pada pedon tipikal A1.1 memiliki kelas kemampuan lahan II dengan sub kelas e dan w.
Dimana faktor pembatasnya yaitu lereng, drainase, dan tingkat erosi. Tanah pada kelas
II dapat digunakan untuk pertanian. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Simanungkalit
(2011), menyatakan bahwa kelas kemampuan lahan yang dapat digarap untuk pertanian
adalah kelas kemampuan lahan I-IV, sedangkan kelas V-VIII tidak sesuai digarap untuk
pertanian karena memiliki faktor penghambat/faktor pembatas yang berat. Lereng
dengan kemiringa 7% merupakan salah satu faktor penghambat kelas II. Sebagaimana,
sesuai dengan pendapat Rayes (2007), bahwa lereng landai merupakan penghambat
yang terdapat dalam kelas II. Lereng yang landai menyebabkan tingkat erosi sedang.
Selain itu, faktor pembatas pada kelas II yaitu drainase, dimana air tetap ada sebagai
penghambat tetapi tingkatannya sedang.
5.4 Kesesuaian Lahan
Penggunaan lahan digunakan sebagai bentuk kegiatan manusia terhadap lahan
yang termasuk mengetahui keadaan alamiah yang belum terpengaruh oleh kegiatan
manusia. Dalam proses penggunaan lahan yang dapat dilakukan dengan cara melakukan
evaluasi lahan sesuai dengan tujuannya. Kesesuaian lahan merupakan salah satu metode
untuk mencocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu, sebagai contoh lahan sesuai
untuk irigasi, tambak, pertanian tanaman tahunan atau pertanian tanaman semusim
(Widiarini, 2017).
Kesesuaian lahan merupakan gambaran tingkat kecocokan sebidang lahan yang
digunakan untuk suatu penggunaan tertentu dan kelas kesesuaian suatu areal dapat
berbeda-beda tergantung dari tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan
(Budiman, 2006). Terdapat dua macam keseusian laha, yaitu kesesuaian lahan actual
dan potensial, pada kesesuaian lahan aktual menunjukkan kesesuaian lahan terhadap
penggunaan lahan yang ditentukan dalam keadaan sekarang tanpa perbaikan yang
berarti sedangkan pada kesesuaian lahan potensial menunjukan keadaan lahan yang
telah dicapai pada saat usaha perbaikan lahan (Widiarini, 2017).
5.4.1 Kesesuaian Lahan pada Tanaman Jeruk
Dibawah ini merupakan data kesesuaian lahan aktual pada tanaman jeruk, sebagai
berikut:
c. Titik J2.2
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan pada lokasi pengamatan J2.2 didapatkan
bahwa secara potensial lahan tersebut cukup cocok untuk ditanami komoditas tanaman
sawi, sedangkan secara aktual lahan tersebut cocok untuk ditanami komoditas jagung
dan sawi. Dilihat dari kemampuan lahan, titik J2.2 memiliki faktor pembatas
kelerengan, sedangkan dilihat dari kesesuaian lahan potensial tanaman sawi, titik J2.2
memiliki faktor pembatas drainase dan retensi hara. Titik J2.2 memiliki kemiringan
sebesar 16%, yang mana seperti yang dijelaskan diatas bahwasanya menurut Marpaung
(2010), lereng dengan besar diatas 10% termasuk kelerengan yang cukup tinggi,
sehingga perlu adanya pengaturan pengolahan lahan dalam budidaya. Kemudian untuk
faktor pembatas drainase, lahan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan
apabila dilakukan perbaikan-perbaikan yang sesuai dengan faktor-faktor pembatas,
termausk drainase, yang terdapat pada setiap kelas kesesuaian lahan Mawardi (2011).
d. Titik B2.2
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan pada lokasi pengamatan B2.2
didapatkan bahwa secara potensial lahan tersebut cukup cocok untuk ditanami
komoditas tanaman sawi, sedangkan secara aktual lahan tersebut cocok untuk ditanami
komoditas jagung. Dilihat dari kemampuan lahan, titik B2.2 memiliki faktor pembatas
genangan banjir, sedangkan dilihat dari kesesuaian lahan potensial tanaman sawi, titik
B2.2 memiliki faktor pembatas bahaya banjir. Menurut Abdul (2015), bahaya banjir
ditentukan oleh ada tidaknya genangan air di atas permukaan tanah. Hal ini
menyebabkan bahaya banjir berkontribusi positif terhadap syarat tumbuh tanaman.
Usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi faktor genangan banjir adalah
memperbanyak tanaman berbatang besar dimana memiliki akar yang mampu menahan
tanah sekaligus menyerap air dalam jumlah besar (Mawardi, 2011).
e. Titik F1.3
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan pada lokasi pengamatan F1.3
didapatkan bahwa secara potensial lahan tersebut cukup cocok untuk ditanami
komoditas tanaman sawi, sedangkan secara aktual lahan tersebut cocok untuk ditanami
komoditas jagung dan sawi. Dilihat dari kemampuan lahan, titik F1.3 memiliki faktor
pembatas permeabilitas, sedangkan dilihat dari kesesuaian lahan potensial tanaman
sawi, titik F1.3 memiliki faktor pembatas drainase dan retensi hara. Seperti yang sudah
dijelaskan bahwa faktor pembatas permeabilitas yang rendah mengakibatkan
rendahnya laju masuknya air dari permukaan ke dalam profil tanah atau disebut dengan
infiltrasi (Yulnafatmawita et al. 2009).
f. Titik C2.4
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan pada lokasi pengamatan C2.4
didapatkan bahwa secara potensial lahan tersebut cukup cocok untuk ditanami
komoditas tanaman sawi, sedangkan secara aktual lahan tersebut cocok untuk ditanami
komoditas jagung, sawi dan jeruk. Dilihat dari kemampuan lahan, titik C2.4 memiliki
faktor pembatas permeabilitas, sedangkan dilihat dari kesesuaian lahan potensial
tanaman sawi, titik C2.4 memiliki faktor pembatas drainase. Menurut Mawardi (2011),
faktor pembatas drainase tanah dapat dilakukan perbaikan, dimana lahan dapat
dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan apabila dilakukan perbaikan-perbaikan
yang sesuai dengan faktor-faktor pembatas yang ada pada lahan terkait.
g. Titik L1.2
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan pada lokasi pengamatan
L1.2 didapatkan bahwa secara potensial lahan tersebut cukup cocok untuk ditanami
komoditas tanaman sawi, sedangkan secara aktual lahan tersebut cocok untuk ditanami
komoditas jagung, sawi, dan jeruk. Dilihat dari kemampuan lahan, titik L1.2 memiliki
faktor pembatas ketersediaan oksigen, sedangkan dilihat dari kesesuaian lahan potensial
tanaman sawi, titik L1.2 memiliki faktor pembatas ketersediaan oksigen dan media
perakaran. Menurut Nganji (2018), ketersediaan oksigen dapat diperbaharui dengan
dilakukan perbaikan saluran drainase atau perbaikan ketersediaan oksigen yang
mencukupi yang dapat meningkatkan kelasnya sampai kelas terbaik. Hal ini
menyebabkan ketersediaan oksigen berkontribusi positif terhadap syarat tumbuh
tanaman. Sedangkan untuk faktor pembatas media perakaran merupakan salah satu
faktor yanmg sulit untuk diperbaiki, karena media perakaran berkaitan dengan tekstur
tanah yang mana memerlukan waktu yang lama untuk berubah (Juswanto, 2014).
h. Titik G2.4
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan pada lokasi pengamatan G2.4
didapatkan bahwa secara potensial lahan tersebut cukup cocok untuk ditanami
komoditas tanaman sawi, sedangkan secara aktual lahan tersebut cocok untuk ditanami
komoditas sawi. Dilihat dari kemampuan lahan, titik G2.4 memiliki faktor pembatas
retensi hara, sedangkan dilihat dari kesesuaian lahan potensial tanaman sawi, titik G2.4
memiliki faktor pembatas media perakaran. Menurut Nganji (2018), ketersediaan
oksigen dapat diperbaharui dengan dilakukan perbaikan saluran drainase atau perbaikan
ketersediaan oksigen yang mencukupi yang dapat meningkatkan kelasnya sampai kelas
terbaik. Hal ini menyebabkan ketersediaan oksigen berkontribusi positif terhadap syarat
tumbuh tanaman.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan kegiatan survei tanah dan evaluasi lahan yang telah dilakukan di
Desa Tegalweru, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang didapatkan hasil bahwa
pengamatan tanah menggunakan minipid dan pengeboran yang bertujuan untuk
mengetahui morfologi tanah dan fisiografi lahan di 3 titik pengamatan. Dari hasil
pengamatan tersebut didapatkan hasil klasifikasi tanah yaitu epipedon okrik dan
umbrik serta endopedon kambik. Kegiatan pengamatan untuk mengetahui
kemampuan lahan pada 11 titik lahan pengamatan, bahwa memiliki hasil IVe, w ;
Ive ; IIIw ; VIIIw ; IIe,w , IV e,w ; IV e, dan III w. sedangkan pada kelas keseuaian
lahan potensial tanaman jeruk didapatkan hasil kelas S3 (sesuai marginal) dan sub
kelas wa, oa, eh, dan fh. Kesesuaian lahan potensial pada tanaman jagung
didapatkan hasil kelas S3 (sesuai marginal) dengan sub kelas wa, fh, rc, dan oa.
Sedangkan pada kesesuaian lahan potensial tanaman sawi didapatkan hasil dengan
kelas S3 (sesuai marginal) dan sub kelas wa, oa, fh, rc, dan eh. Meskipun demikian,
keadaan tersebut dapat diatasi dengan biaya atau modal yang relatif rendah hingga
cukup besar. Pada analisis usahatani dapat disimpulkan bahwa melalui kriteria R/C
Rasio memiliki tingkat produktifitas yang baik yaitu pada titik 1 sebesar 2,9, titik 2
sebesar 3,4 dan titik 3 sebesar 6,5, dimana jika R/C Rasio >1 berarti layak.
6.2 Saran
Harapannya untuk praktikum, tutorial, dan kuliah harus ada keselarasan dalam
pemberian materi. Selain itu, tabulasi data sebaiknya diberikan 3 minggu sebelum
pengumpulan laporan agar praktikan dapat memaksimalkan kinerja dalam
penyusunan laporan.
DAFTAR PUSTAKA
Adikwu, J. Ochepo. 2014. Land Capability Classification and Land Use In An
Agroekcological Are Fringing River Benue, Nigeria. Nigeria : International
Journal of Current Research, ISSN:0975-833X (2.4) volume dan halaman
Aini Yulfita. 2015. Analisis Keuntungan Usaha Tani Padi Sawah di Kecamatan Rokan
IV Koto. Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos 4 (1)
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press
Balittanah. 2014. Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah. Jakarta : Departemen Pertanian
Bintang, S. M. S. 2015. Evaluasi Kemampuan Lahan Marginal Desa Sihiong Bonatua
Lunasi Tobasa Untuk Tanaman Anggur (Vitis Vinifera L.) Dan Jambu Biji
(Psidium Guajava L.). Jurnal Pertanian Tropik 2(2).
Budiman H. 2006. Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Sengon pada
Beberapa Satuan Kelas Lereng. Yogyakarta: Pustaka Baru Press
Damiani, M.L., G. Groppelli, G. Norini, E. Bertino, A. Gigliuto, and A. Nucita. 2006. A
Lava Flow Simulation Model For The Development Of Volcanic Hazard Maps
for Mount Etna (Italy). Computers & Geosciences 32 : 512-526.
FAO. 2009. Kesesuaian Lahan.
Fiantis, Dian. 2015. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Padang: Minangkabau Press
Hanafiah, K. A. 2013. Dasar - Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Harahap, S. S. 2007. Analisis Kritis atas Laporan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan & Perencanaan
Tata Guna Lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. (5.4) Tahunnya
Hardjowigeno. 1985. Dalam jurnal Priandana, Karlisa. Ahmad Zulfikar S dan
Sukarman. 2014. Mobile Munsell Soil Color Chart Berbasis Android
Menggunakan Histogram Ruang Citra HVC dengan Klasifikasi KNN. Bogor: IPB
jornal press. Jurnal ilmu komputer Agri-informatika Volume 3 Nomor 2 halaman
93–101 ISSN: 2089-6026 (4.7) tahunnya
Harjianto, N. Sinukaban, S.D. Tarigan, O. Haridjaja. 2016. Evaluasi Kemampuan Lahan
untuk Arahan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Lawo, Sulawesi
Selatan. J. Penelitian Kehutanan Wallacea 5(1) : 1-11.
Herjianto, M. 2016. Evaluasi Kemampuan Lahan Untuk Arahan Penggunaan Lahan Di
Daerah Aliran Sungai Lawo, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Kehutanan
Wallacea 5(1).
Kurnia, Undang. Neneng L. Nurida, dan Harry Kusnadi. 2014. Penetapan Retensi Air
(4.7) kota dan penerbit
Letak Geografis Desa. 2018. (Online) Desa-tegalweru.malangkab.go.id. Letak
Geografis Desa. Diakses pada 15 November 2019.
Long Shan, Z. 2014. Soil Surface Roughness Change and It’s Effect and Erosian on
Runoff and Erosion on The Loess Plateau of China. Journal Arid Land 6 (4) : 400-
409.
Moehar, Daniel. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: Bumi Aksara
Muhammad. 2014. Pemetaan Perubahan Penggunaan Lahan Di Kecamatan Sewon
Kabupaten Bantul tahun 1999-2006 Dengan Citra Satelit IKONOS. Yogyakarta:
Fakutas Geografi, Universitas Gadjah Mada
Naldo, R. A., 2011. Sifat Fisika Ultisol Limau Manis Tiga Tahun Setelah Pemberian
Beberapa Jenis Pupuk Hijaun. Jurnal Agroland. Fakultas Pertanian. Universitas
Andalas (4.7) volume dan halaman
Nurjayanti, E.D dan Naim, S. 2014. Analisis Kelayakan Usahatani Tebu (Studi Kasus
Petani Tebu Mitra PG. Pakis Baru Di Kecamatan Tayu Kabupaten Pati). Jurnal
Ilmu-ilmu Pertanian 10 (1)
Pradana, B, dkk. 2013. Analisis Kesesuaian Lahan Pertanian Terhadap Komoditas
Pertanian acap. Jurnal Geodesi UNDIP 2(2)
Prasetya, T. 2006. Penerapan Teknologi Sistem Usaha tani Tanaman-Ternak Melalui
Pendekatan Organisasi Kelompok Tani (Suatu Model Pengelolaan Lingkungan
Pertanian). Dalam Prosiding Seminar Pengelolaan Lingkungan Pertanian,
Surakarta, 1 Oktober 2003. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Prasetyo, B. H.,dan D. A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi dan Teknologi
Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di
Indonesia. J. Litbang Pertanian 25:2:39-46 (5.1) tahunnya
Purnomo, B.H.,dan D.A.Suriadikarta. 2015. Karakteristik, Potensi dan Teknologi
Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25 (2) : 39-46
Radjit, B.S., Y. Widodo., N. Saleh., dan N. Prasetiaswati. 2014. Teknologi Untuk
Meningkatkan Produktivitas dan Keuntungan Usaha tani Ubi kayu di Lahan
Kering Ultisol. Jurnal IPTEK Tanaman Pangan.
Rajamuddin, A. Ulfiyah dan Sanusi, Idham. 2014. Karalteristik Morfologi dan
Klasifikasi Tanah Incepstisol Pada Beberapa Sistem Lahan di Kabupaten
Jenoponto Sulawesi Selatan. Jurnal Agroland 2(21) : 81-85.
Ramdhan, Kresnawan Hantarto. 2017. Analisis Kemampuan Lahan untuk
ArahanPenggunaan Lahan Bidang Pertanian di DAS Jono, Kecamatan Piyungan,
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Rayes, M. L., 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Offset.
Yogyakarta (5.2) Tahunnya
Ritung, S., K. Nugroho, A. Mulyani, dan E. Suryani. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi
Lahan Untuk Komoditas Pertanian (Edisi Revisi). Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Bogor.
Setyawati, S. dan A. Ashari. 2017. Geomorfologi Lereng Barat Daya Gunung Api
Merapi Kaitannya dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Kebencanaan.
Pendidikan Geografi. Yogyakarta: Universitas Yogyakarta.
Simangunsong, E. M., Rizali dan Mukhlis. 2013. Penentuan Kelas Kemampuan Lahan
Daerah Tangkapn Air Danau Toba Menggunakan Metode Scoring. Medan : USU.
Jurnal Online Agroekoteknologi 3(1).
Simanungkalit, N. M. 2011. Evaluasi Kemampuan Lahan Dan Penggunaan Lahan
Pertanian Di Sub DAS Gotigoti Daerah Aliran Sungai Batangtoru Kabupaten
Tapanuli Utara. J. Geografi 3(1): 1-16.
Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia. (5.5) tahunnya
Suharta, N. 2010. Karakteristik dan Permasalahan Tanah Marginal dari Batuan Sedimen
Masam di Kalimantan. Jurnal Litbang Pertanian. Bogor
Sunarto. 2004. Perubahan Fenomena Geomorfik Daerah Kepesisiran di Sekeliling
Gunungapi Muria Jawa Tengah. Universitas Gadjah Mada.
Thouret, J.C. and K. Németh. 2012. Special Issue On Volcano Geomorphology,
Landforms, Processes And Hazards : Introduction. Geomorphology 136 : 1-5.
Triyanto. 2012. Karakterisitik Sifat Fisik Dan Kima Tanah Pad Beberapa Pedonyang
Telah Diperlakukan Dengan Sistem Olah Tanah Jangka Panjang diLahan Kering
Hajimena Bandar Lampung. Skripsi. Universitas lampung.
Website Resmi Desa Tegalweru Kecamatan Dau Kabupaten Malang. 2018. (Online)
http://desa-tegalweru.malangkab.go.id/ diakses pada 20 November 2019
Widiarini, S. D. 2017. Karakteristik Lahan untuk Tanaman Pangan dalam Kawasann
Hutan Jati di Desa Sedangrejo Kecamatan Bogorejo Kabupaten Blora Jawa
Tengah. Skripsi. Fakultas Pertanian UMY
Yuwono, N. W. 2009. Membangun Kesuburan Tanah di Lahan Marginal. Jurnal Ilmu
Tanah dan Lingkungan. Fakultas Pertanian UGM. (5.2) volume dan halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumentasi Kegiatan