Panduan Pengungkapan CSR Social Accountability International (SA8000)
Standard SA8000 adalah standar sertifikasi yang dapat mendorong organisasi untuk mengembangkan, memelihara, dan menerapkan praktik yang dapat diterima secara sosial di tempat kerja. Standar ini dikembangkan pada tahun 1997 oleh Social Accountability International, sebelumnya dikembangkan oleh Council on Economic Priorities yang terdiri dari serikat pekerja, organisasi masyarakat dan perusahaan. SA8000 menyederhanakan kompleksitas di dalam industri dan perusahaan untuk menciptakan bahasa dan standar umum dalam mengukur kepatuhan sosial. SA8000 merupakan sistem yang sangat berguna untuk mengukur, membandingkan, dan memverifikasi pertanggungjawaban sosial di tempat kerja, karena dapat diterapkan di seluruh dunia ke dalam perusahaan manapun dalam industri apa pun. SA8000 adalah standar sistem manajemen seperti pada standar ISO. Kriteria sistem manajemen ini tidak hanya mensyaratkan bahwa untuk mendapatkan dan mempertahankan sertifikasi harus memenuhi kepatuhan terhadap standar, namun juga mengintegrasikannya ke dalam sistem dan praktik manajemennya dan mampu menunjukkan kesesuaian yang berkesinambungan dengan standar tersebut. SA8000 didasarkan pada prinsip-prinsip norma hak asasi manusia seperti yang dijelaskan dalam konfrensi Oranisasi Perburuhan Internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HAM. Ini mengukur kinerja perusahaan di delapan elemen yang penting untuk akuntabilitas sosial di tempat kerja, elemen tersebut diatas yaitu Pekerja anak-anak, Wajib Kerja, Kesehatan dan keselamatan kerja, Kebebasan Berserikat dan Hak untuk Berunding Bersama, Diskriminasi, Praktik Kedisiplinan, Jam kerja, Remunerasi dan Sistem manajemen B. Panduan Pengungkapan CSR OJK Laporan Keberlanjutan menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/ POJK. 03/ 2017 Pasal 1 Ayat 13 menyatakan Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) adalah laporan yang diumumkan kepada masyarakat yang memuat kinerja ekonomi, keuangan, sosial, dan Lingkungan Hidup suatu LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik dalam menjalankan bisnis berkelanjutan. Laporan keberlanjutan menurut Pasal 10 ayat 1 tentang LJK, emiten, dan perusahaan publik wajib menyusun laporan keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara terpisah dari laporan tahunan atau sebagai bagian yang tidak terpisah dari laporan tahunan. Laporan keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap tahun paling lambat sesuai dengan batas waktu penyampaian laporan tahunan yang berlaku untuk masing-masing LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik. (4) Dalam hal LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik menyampaikan Laporan Keberlanjutan secara terpisah dari laporan tahunan, Laporan Keberlanjutan wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap tahun paling lambat pada tanggal 30 April tahun berikutnya. Dalam Pasal 10 Ayat 7 dalam hal LJK sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) juga merupakan Emiten atau Perusahaan Publik, kewajiban penyampaian Laporan Keberlanjutan pertama kali disampaikan oleh LJK untuk periode Laporan Keberlanjutan yang lebih awal. Laporan Keberlanjutan dalam Pasal 10 Ayat 8 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dengan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. C. Panduan Pengungkapan AA 1000 Prinsip ini mewajibkan organisasi untuk melibatkan para stakeholders dalam mengidentifikasi, memahami dan menanggapi masalah keberlanjutan, serta untuk melaporkan, menjelaskan dan bertanggung jawab kepada para pemangku kepentingan suatu keputusan, tindakan, dan kinerja dari suatu organisasi. Ini mencakup cara di mana suatu organisasi mengatur, menetapkan strategi, dan mengelola kinerja. Ada tiga Prinsip Account Ability AA 1000, yaitu: 1. Prinsip Yayasan Inklusivitas Inklusivitas adalah partisipasi para pemangku kepentingan dalam mengembangkan dan mencapai respons strategis dan akuntabel terhadap keberlanjutan. Suatu organisasi harus bersifat inklusif. Inklusivitas lebih dari sekadar proses pelibatan pemangku kepentingan. Ini adalah komitmen untuk bertanggung jawab kepada mereka yang terkena dampak dari aktivitas organisasi dan memungkinkan partisipasi mereka dalam mengidentifikasi masalah dan mencari solusi. Ini tentang berkolaborasi di semua tingkatan, termasuk tata kelola, untuk mencapai hasil yang lebih baik. 2. Prinsip Materialitas Suatu organisasi harus mampu mengidentifikasi permasalahan materialnya. Masalah material adalah masalah yang akan mempengaruhi keputusan, tindakan, dan kinerja organisasi atau pemangku kepentingannya. Untuk membuat keputusan dan tindakan yang baik, suatu organisasi dan pemangku kepentingannya perlu mengetahui masalah apa yang penting bagi kinerja kebelanjutan organisasi. 3. Prinsip Responsiveness Responsivenes adalah respons organisasi terhadap masalah pemangku kepentingan yang memengaruhi kinerja keberlanjutannya dan diwujudkan melalui keputusan, tindakan, dankinerja, serta komunikasi dengan pemangku kepentingan. Responsiveness adalah bagaimana sebuah organisasi menunjukkan responsnya terhadap para pemangku kepentingannya dan bertanggungjawab kepada mereka. Organisasi harus menanggapi masalah pemangku kepentingan yang mempengaruhi kinerjanya.
DAFTAR PUSTAKA
https://isoindonesiacenter.com/sekilas-tentang-iso-26000/ (diakses pada tanggal 3 Maret
2020) https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/regulasi/peraturan-ojk/Pages/POJK-Penerapan- Keuangan-Berkelanjutan-bagi-Lembaga-Jasa-Keuangan,-Emiten,-dan-Perusahaan- Publik.aspx (diakses pada tanggal 3 Maret 2020) https://www.accountability.org/wpcontent/uploads/2018/05/AA1000_ACCOUNTABILIT Y_PRINCIPLES_2018_Single_Pages.pdf (diakses pada tanggal 3 Maret 2020)