Anda di halaman 1dari 20

Gelandangan Psikotik

1. Definisi Gelandangan Psikotik

Definisi dari gelandangan itu sendiri adalah seseorang yang berkeliaran dan tidak mempunyai
tempat tinggal tetap.Sedangkan menurut Pasal 1 angka (2) Perda No 1 Tahun 2014
mengatakan, orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang
layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap di
wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.

Psikotik itu sendiri adalah gangguan yang memilki ciri hilangnya reality testing dari
penderitanya yaitu fikiran yang sangat bertolak belakang dengan dunia nyata. Penderita dengan
gangguan jiwa berat ini tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata.
Penderita ini memiliki ciri utama yakni mengalami delusi dan halusinasi. Dengan demikian
pengertian gelandangan psikotik adalah seseorang yang hidup mengembara, tidak memili
tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap dan memiliki gangguan kejiwaan mengalami delusi
dan halusinasi.

2. Faktor Penyebab Gangguan Psikotik

Adapun gangguan psikotik tersendiri memilki berbagai macam penyebab bukan di sebabkan
oleh kekurangan dari internal individunya itu sendiri melaikan berbagai faktor yang saling
mendukung yaitu faktor biologi, psikologi, dan sosial. Kehidupan yang memiliki banyak tekanan
yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, pengagguran, hidup di lingkungan
jauh dari kata aman, adanya ketidakberhasilanmemenuhi peran-peran sosial, pola asuh yang
tidak benar, perjalanan hidup yang menyebabkan trauma, pengguna obat-obatan terlarang.
Perilaku manusia baik yang normal maupun yang tidak normal sangat di pengaruhi oleh faktor
individu dan lingkungannya.

a. Faktor Biologi

Gangguan perilaku yang serius merupakan hasil dari penyakit di dalam tubuh dan gangguan
yang saling berintegrasi antara tubuh dengan fikiran. Salah satu faktor biologi yang dianggap
mempengaruhi munculnya gangguan mental atau psikotik adalah dari faktor genetik. Sebagai
contoh seorang ibu yang memiliki ganguan jiwa atau gangguan psikotik anaknya kelak rentan
terhadap gangguan psikotik, faktor gen ini sangat sensitif tidak bisa di lepaskan dari pengaruh
lingkungan yang memungkinkan memperburuk potensi gangguan psikotik. Selain faktor
internal, yakni faktor genetik yang telah diuraikan diatas, ada faktor yang berasal dari luar dapat
mempengaruhi sistem biokimia tubuh sehingga munculnya gangguan psikotik, yakni di
karenakan penggunaan obat-obatan terlarang. Mengkonsumsi minuman beralkohol atau kokain
dapat menyebabkan seseorang mengalami delusi dan halusinasi, atau kebingunan. Seseorang
yang memiliki ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang akan memiliki keadaan yang
buruk pada orkan dan system tubuh, perilaku, dan cara berfikir.Fungsi-fungsi biologi dalam
mempengaruhi perilaku manusia tidak dapat diabaikan. Dengan demikian gangguan psikotik
adanya interaksi antara tubuh dan fikiran manusia sebagai sebuah mekanisme yang
terintegrasi, emosi, perkembangan otak dan tubuh, interaksi sosial dan stress.

b. Faktor Psikososial Stress dan Gangguan kognitif

Stres dapat melengkapi kerentanan psikotik dalam hal biologis, stres adalah reaksi yang muncul
ketika seseorang berada dalam di bawah tekanan yang tidak dapat di toleransi oleh individu
tersebut. Bahwa stress merupakan pendorong utama dalam gangguan psikotik. Stres dapat
timbul karena adanya kesalahan kognitif yaitu kebiasaan manusia cepat menangkap informasi
negatif di banding informasi positif. Adakalanya mereka yang di cap sebagai orang yang memilki
gangguan psikotik sebenarnya tidak sungguh-sungguh merasakan gangguan tersebut, namun
hanya sebatas gejala gangguan saja hal tersebut terjadi karena seseorang tersebut saat
mengalami keracunan, di bawah obat bius atau obat-obatan terlarang, atau pada saat sangat
kurang waktu tidur. Pemberian diagnose atau label seperti gila atau psikotik, yang di berikan
secara terburu-buru akan membawa pada kesalahan penanganan. Apabila ada seseorang yang
menganggap bahwa orang tersebut mempunyai perilaku aneh, harus diingat bahwa
sangatpenting terlebih dahulu memahami situasi dari penyadang masalah dengan berbagai
macam keadaan, dan tekanan-tekanan yang mereka alami. Sehingga gangguan stres dapat
melengkapi mudahnya faktor biologis untuk memunculkan gangguan psikotik dan gangguan
psikotik sangat rentan terhadap stres, dan stres dapat di picu oleh kesalahan kognitif.

c. Faktor Lingkungan Terdekat

Seseorang mengalami stres karena adanya stressor (pemicu) yang berasal dari lingkungan
sekitar. Hal ini merupakan fenomena yang menggambarkan aspek psikologis di pengaruhi oleh
lingkungan. Faktor lingkungan yang kaitanya erat dengan gangguan psikotik di bagi menjadi dua
kategori yaitu lingkungan pengasuhan (nurturning environment) dan struktur sosial yang lebih
luas. Lingkungan pengasuhan merupakan lingkungan keluarga, adalah faktor yang paling
penting penyebab terjadinya gangguan psikotik.

Faktor keluarga pemicu gangguan psikotik adalah masalah penyimpangan komunikasi.


Terciptnya pola komunikasi yang buruk antara anak dan orang tua seperti mencela,
mengabaikan perasaan dan kekhawatiran sehingga menimbulkan kebingungan pada anak, di
tambah dengan adanya konflik yang tinggi, sehingga terganggunya 2tumbuh kembang cara
berfikir anak tersebut dan menambah beban
dalam fikiran anak tersebut yang seharusnya seorang anak membutuhkan kasih sayang,
perhatian dan keceriaan dari orang tuanya namun ini sangat berbanding terbalik dengan apa
yang di harapkan sebenarnya.

Secara umum dapat di katakan bahwa keadaan keluarga, kualitas

pengasuhan yang termasuk di dalamnya pola hubungan orang tua dan anak

tentunya sangat berkontibusi pada gangguan mental. Tidak adanya empati, kaku, adanya
kekerasan, penolakan dan pengabaian, merupakan permasalahan yang tidak dapat
terhindarkan dari pemicu gangguan psikotik.

d. Faktor Kesulitan Ekonomi dan Sosial

Secara umum gangguan mental terjadi lebih banyak pada orang-orang yang memiliki ekonomi
yang rendah hal ini dapat di pahami karena karena orang orang yang memiliki kesulitan
ekonomi lebih banyak memiliki berbagai permasalahan hidup yang di hadapi. Seperti tingkat
permasalahan keluarga yang lebih besar, stres yang di karenakan situasi ekonomi,
pengangguran atau memiliki pekerjaan namun tidak layak dan kurang memperoleh akses
terhadap berbagai pelayanan.

Permasalahan yang di hadapi bukan hanya permasalahan sosial dan ekonomi saja yang mereka
hadapi, terjadinya perubahan keadaan yang tidak di kehendaki juga dapat memicu munculnya
gangguan 3psikotik atau gangguan mental. Kejadian terkait perubahan misalnya perubahan
peran yang di sebabkan oleh kematian pasangan hidup, bencana alam, perceraian dan
pernikahan, situasi di berhentikan dari pekerjaan, atau bahkan di karenakan situasi pekerjaan
yang baru namun penuh banyak tekanan. Di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri menurut
Kepala Dinas Kesehatan DIY yang dikutip dari Republika.com banyaknya gelandangan psikotik di
DIY salah satu penyebabnya di karenajkan bencana alam yang pernah terjadi di Yogyakarta
pada tahun 2006 silam. Hal ini menunjukan bahwa perubahan yang dianggap besar dan tidak di
harapkan terjadi dapat mengakibatkan keadaan sakit. Kejadiankejadian tertentu dapat
mengakibatkan serangan panik, terluka, berkurangnya kekebalan tubuh atau kemampuan
tubuh dalam menangkal penyakit dan menimbulkan berbagai gangguan fisik dan emosi.

3. Masalah Yang di Hadapi Gelandangan Psikotik

Gelandangan psikotik tentunya memiliki berbagai permasalahan. Dari kondisi internalnya


sendiri fikiran mereka penuh dengan delusi dan halusinasi, mengalami kekacauan fikiran dan
menarik diri dari lingkungannya. Kekacauan fikiran yaitu mempunyai pikiran yang tidak sesuai
dengan kenyataan, atau tidak dapat di terima dengan akal pikiran yang normal antara satu
dengan yang lain, berpindah secara cepat dari satu topik ketopik yang lain, menyimpulkan tidak
berdasarkan fakta4ataupun logika, menggunakan suara, kata yang tidak memilki arti, keadaan
emosional yang tidak pasti dan tidak sesuai dengan situasi, dan tidak perduli pada penampilan
dan perawatan diri.

Kondisi lain yang dialami gelandangan psikotik di tolak kehadirannya, hak-haknya yang tidak
terpenuhi karena tidak memilki keluarga atau bahkan tidak tau masih memiliki keluarga atau
tidak, karena tidak memiliki identitas ataupun tanda pengenal lain, hidup mengembara, tidak
tau arah tujuan, ada juga menjadi objek kekerasan bagi orang-orang yang merasa terganggu
akan kehadirannya, bahkan tidak jarang menjadi objek pelampiasan nafsu bejat orang-orang
jalanan lain yang tidak memilki gangguan jiwa, tukang ojek atau sesama gelandangan lain,
mencari sisa-sisa makanan di tempat sampah, atau meminta makanan dari orang yang di
lewatinya.

Sungguh kehidupan yang sangat amat tidak layak, seolah hak asasi manusia tidak ada harganya
sama sekali bagi mereka gelandangan psikotik.Berbagai permasalahan tersebut dapat
memperburuk kondisi kesehatan mereka. Keadaan yang dialami gelandangan psikotik
menggambarkan terbatasnya keberfungsian sosial. Dengan demikian kebutuhan untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka tergantung pada lingkungan sosial dimana mereka hidup.4

Penanganan yang tepat untuk permasalahan tersebut adalah pembinaan, baik secara medis
maupun non medis, seperti meningkatkan spiritual mereka dll. Pimbanaan tersebut dinamakan
rehabilitasi.

Dampak Psikologis Lansia yang Terisolir


1. Kesepian dan Isolasi Sosial

Kesepian adalah perasaan negatif yang dihubungkan pada kurangnya hubunganhubungan sosial
(subjektif). Penentu kesepian sering kali dide› nisikan ke dalam dua model kausal. Model
pertama bergantung pada faktor eksternal, dimana tidak adanya social network, sebagai akar
kesepian. Model kedua merujuk pada faktor internal seseorang, seperti faktor kepribadian dan
faktor psikologis. Kesepian bagi lansia dapat menimbulkan konsekuensi hubungan kesehatan
yang serius. Hal tersebut merupakan satu dari tiga faktor utama yang menimbulkan depresi
(Green et al., 1992).

Hansson et al. (1987) mengemukakan bahwa kesepian berhubungan dengan masalah


psikologis, ketidakpuasan dengan keluarga dan hubungan sosial. Sebagai manusia yang tumbuh
kian menua, kurang akan berhubungan dengan orang lain dapat mengakibatkan kesepian.
Banyak orang beranggapan bahwa kesepian adalah sebagai akibat dari hidup sendiri, kurangnya
hubungan dengan keluarga, kurangnya hubungan-hubungan dengan budayanya atau asalnya
atau ketidakmampuan untuk berpartisipasi aktif dalam aktivitas komunitas lokal. Ketika ini
terjadi dengan kombinasi dengan ketidakmampuan sik maka depresi ini biasanya muncul
(Heikkinen et al., 1995). Kematian pasangan hidup dan teman serta tidak adanya keterlibatan
sosial setelah meninggalkan pekerjaan adalah beberapa perubahan kehidupan yang
berkontribusi pada kondisi kesepian pada lansia. Seperti yang direlease oleh Max et al. (2005)
bahwa adanya kesepian berkontribusi kuat pada depresi dan kematian. Pada lansia, depresi
berasosiasi dengan kematian hanya jika perasaan kesepian itu muncul. Depresi adalah masalah
yang sering mengikuti perihal kesepian.

Kemampuan sosial (dalam hal ini pergaulan) memainkan peran yang penting dalam melindungi
orang dari tekanan psikologis dan meningkatkan kesejahteraan manusia. George (1996)
meringkas beberapa faktor sosial empiris efek dukungan dalam simptom depresif di masa
senja, diantaranya adalah kurangnya kuantitas dan kualitas hubungan sosial yang dihubungkan
dengan peningkatan tingkat gejala depresi. Sedangkan isolasi sosial adalah faktor resiko utama
bagi lansia. Kurangnya hubungan dapat 5menimbulkan perasaan hampa dan depresi.

Individu yang terlibat dengan hubungan yang positif cenderung kurang berpengaruh terhadap
masalah sehari-hari dan memiliki sense control yang tinggi serta mereka tidak bergantung.
Sebaliknya, tanpa hubungan-hubungan akan menjadi terisolir, terabaikan dan depresi.
Kurangnya berhubungan dengan orang lain ini cenderung membangun dan memelihara
persepsi negatif mengenai dirinya, menganggap kurang puas dalam kehidupan dan sering kali
kurang motivasi (Hanson & Carpenter, 1994).Memiliki kontak sosial yang sedikit atau hidup
sendiri tidak menjamin kesepian (Mullins, Johnson, & Anderson, 1987). Dalam faktanya, bagi
lansia adanya waktu dengan keluarga mungkin saja kurang mengenakan daripada mengunjungi
tetangga atau seseorang dalam kelompok usianya. Ini dapat dihubungkan dengan fakta bahwa
hubungan dengan keluarga cenderung menjadi lazim sementara berhubungan dengan teman
adalah masalah pilihan (Singh & Misra, 2009).

Hal ini lebih menekankan pada kebutuhan akan interaksi sosial sebagai suatu cara untuk
mengurangi kesepian dan isolasi sosial pada lansia. Artikel ini akan mengulas penekanan
fenomena kesepian dan isolasi sosial yang terjadi pada lanjut usia (lansia) yang ditinjau dari
model pertama (faktor eksternal), ada atau tidak adanya social network dan interaksi sosial
pada lansia dengan menggunakan perspektif sosiologi khususnya pada perspektif
interaksionisme simbolik.

2. Kesepian Pada Lanjut Usia Ditinjau Dari Perspektif Sosiologis

Perspektif teoritis mengenai kesepian kebanyakan mengacu dari psikologi yang difokuskan pada
pemahaman dan penjelasan pada tingkat individu. Sedangkan dari perspektif sosiologi
pendekatan teoritis kesepian difokuskan pada konteks sosial dimana individu mengembangkan
(atau tidak) hubungan atau jaringan sosial. Penjelasan di tingkat individu dalam upaya
menjelaskan dan memahami keterlibatan sosial tanpa pengetahuan dan pemahaman tentang
konteks sosial adalah hanya akan memberikan penjelasan dan analisis yang parsial. Untuk
memahami hubungan sosial lanjut usia diperlukan pemahaman mengenai perilaku individu dan
konteks sosio kultural dimana perilaku tersebut difokuskan.

Banyak pendekatan sosiologi yang membahas mengenai kesepian yang lebih didominasi
dengan pendekatan struktural fungsionalisme dan teori sistem-sistem terhadap perilaku
individu, ketergantungan pada lingkungan sosial dan pengaruh masyarkat kepada lanjut usia.
Selebihnya teori struktural fungsionalisme melihat untuk memahami kesepian bukan pada si
individu itu sendiri melainkan pada aspek khusus dari struktur dimana mereka tinggal.
Investigasi sosiologis mengenai dukungan sosial (social support), kesepian dan isolasi sosial
telah banyak mengikuti tradisi ini dengan asusmsi teoritis implisit bahwa kesepian adalah
konsekuensi dari isolasi sosial, dan dimana konsekuensi kurangnya intergrasi dalam jaringan
sosial. Sedangkan gerontologi sosial mere eksikan paradigma yang melihat lanjut usia sebagai
suatu masalah sosial (Victor C, et al., 2009).

Kelanjutusiaan menjadi suatu masalah sosial ketika masyarakat mengakui masalah tersebut.
Kelanjutusiaan dapat dilihat sebagai suatu masalah sosial dari dua perspektif. Pertama,
kelanjutusiaan adalah masalah pada segmen populasi kategori usia, dimana seseorang yang
bertahan hidup lama akan menjadi bagian dari segmen usia dari suatu populasi. Kedua,
kelanjutusiaan adalah masalah sosial untuk masyarakat secara keseluruhan, karena adanya
lanjut usia dan permasalahannya akan berimbas 6pada struktur dan fungsi masyarakat
(Loether, 1967). Dalam hal ini kondisi kesepian dan isolasi sosial yang terjadi pada lansia akibat
kurangnya hubungan-hubungan sosial dan kurangnya jaringan sosial dapat ditinjau dengan
perspektif interaksionime simbolik.

3. Perspektif Interkasionisme Simbolik

Pokok bahasan tentang hubungan sosial dan jaringan sosial akan ditinjau dari perspektif
interaksionisme simbolik. Inti pandangan pendekatan adalah individu. Para ahli di belakang
perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep
sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan
dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.Interaksionisme simbolik memfokuskan
diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial.
Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis, sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar
belakang. Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak
hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu
bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, yang
selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya.
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu mempengaruhi dan
membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu
bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas
psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan
aktivitas sosial. Herbert Blumer, sebagaimana dikutip oleh Abraham (1982)[3] salah satu arsitek
utama dari interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah ‘interaksi simbolik’ tentu saja
menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia
(Soeprapto, 2007).

Pengetian tentang interaksi sosial sangat berguna di dalam memperhatikan dan mempelajari
berbagai masalah masyarakat. Dengan mengetahui dan memahami perihal kondisi-kondisi apa
yang dapat menimbulkan serta mempengaruhi bentuk-bentuk interaksi sosial tertentu,
pengetahuan kita dapat pula disumbangkan pada usaha bersama yang dinamakan pembinaan
bangsa dan masyarakat. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena
tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang
perorangan secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu
kelompok sosial.

Pergaulan hidup semacam itu baru akan tejadi apabila orang-orang perorangan atau kelompok-
kelompok manusia bekerja sama, saling bicara dan seterusnya untuk mencapai tujuan bersama,
mengadakan persaingan, pertikaian dan lain sebagainya, maka dapat dikatakan bahwa interaksi
sosial merupakan dasar proses sosial, yang menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang
dinamis. Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial, karena interaksi sosial merupakan
syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-
hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan,
antara kelompok-kelompok manusia, maupun antar orang dengan kelompok manusia (Gillin
dan Gillin,1954). Menurut Soekanto (2012), suatu interaksi sosial tidak akan mungkin
terjadi7apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu:

1. Adanya kontak sosial

2. Adanya komunikasi.

Analisis dengan teori interksionisme simbolik melihat bahwa kondisi yang mengakibatkan
kesepian dan kondisi isolasi sosial pada lansia lebih disebabkan pada faktor individu. Lansia
kurang terlibat pada interkasi sosial dalam suatu komunitas yang berakibat pada kurangnya
koneksi sosial dan kurang atau tidak terciptanya hubungan dan jaringan sosial. Seperti yang
telah dikemukakan diatas bahwa untuk menciptakan jaringan atau hubungan sosial lansia
diperlukan interkasi dengan adanya kontak dan komunikasi.

4. Dampak Hubungan Sosial


Penentu karakteristik tali jaringan sosial adalah frekuensi kontak dengan tali jaringan sosial,
sumber tali jaringan sosial dan kepuasan atau kualitas kontak. Ketiga karakteristik jaringan
sosial ini secara positif berasosiasi dengan penerimaan kesehatan diri lansia yang baik,
memfungsikan sik dan kesehatan mental lansia. Ada bukti bahwa kuantitas dan kualitas kontak
jaringan sosial berimbas pada kesehatan. Kepuasan akan atau dengan kontak sosial menjadi
lebih penting bagi lansia dalam hubungannya dengan status kesehatan lansia daripada
frekuensi kontak sosialnya. Melchior et al. mengemukakan bahwa kepuasan dalam hubungan
sosial adalah prediktor pencapaian kesehatan yang terbaik dibandingkan dengan pengukuran
jaringan sosial struktural.

Merujuk pada sumber kontak, ditemukan bahwa frekuensi kontak sosial dengan tetangga
adalah sangat kuat berasosiasi dengan pencapaian kesehatan yang baik dibandingkan dengan
frekuensi kontak dengan teman dan keluarga (Croezen, 2010). Dampak positif dari hubungan
sosial dan jaringan sosial lain juga telah diketahui dari beberapa laporan penelitian menunjukan
bahwa seseorang dengan usia dan jaringan yang luas akan hubungan sosial yang aktif
cenderung menjadi bahagia dalam hidupnya (Phillips, 1967; Burt, 1987). Lansia mungkin telah
mengalami pengurangan jaringan sosial karena adanya kematian keluarga dan teman-teman.
Hubungan sosial, dimana adanya keterlibatan dalam masyarakat, juga sangat terkait dengan
kesehatan dan kesejahteraan. Memberikan bantuan dan terlibat dalam organisasi politik atau
amal dan melakukan pekerjaan sukarela akan memperkuat struktur masyarakat sipil dan
dianggap sebagai mempromosikan modal sosial dan kohesi sosial suatu masyarakat.

Dampak dari keterlibatan sosial, yang dide nisikan sebagai pemeliharaan dengan banyak
koneksi sosial dan tingkat keterlibatan dalam kegiatan sosial yang tinggi, dan hubungannya
pada penurunan kognitif pada ansia adalah subyek dari studi longitudinal di Amerika Serikat.
Studi ini menemukan bahwa dibandingkan dengan orang yang memiliki lima atau enam ikatan
sosial, mereka yang tidak memiliki ikatan sosial berada pada peningkatan risiko penurunan
kognitif (Bassuk et al, 1999).

Pinquart dan Sorenson (2000) mengungkapkan bahwa frekuensi kontak dengan teman-teman
lebih berhubungan dengan kepuasan hidup lansia dibanding hidup daripada memiliki kontak
dengan anakanak. Namun studi lain (Shaw et al., 2007) menemukan bahwa dengan
bertambahnya usia, lansia cenderung kurang kontak dengan temanteman tapi relatif stabil
kontak dengan keluarga (AgeUK, n.d.).

Dengan demikian dapat dilihat dampak hubungan dan jaringan sosial seperti yang tertuang
dalam penelitian yang dilakukan oleh Alison Ballantyne yang mengemukakan penemuan dari
kegunaan jaringan sosial pada lansia berpotensial untuk mengurangi kesepian pada lansia
(Ballantyne Alison et al., 2010).8
Gangguan Psikologis bagi Pengguna NAPZA
Penggunaan beberapa obat secara kronis dapat menyebabkan perubahan jangka pendek dan
jangka panjang bagi otak, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan mental bagi para
pengguna pecandu narkoba termasuk paranoia, depresi, kecemasan, agresi, halusinasi, dan
masalah lainnya.

Efek psikis dari kecanduan narkoba datang dari alasan pengguna pecandu narkoba, serta
perubahan yan terjadi di otak begitu seseorang menjadi pecandu narkoba. Pada awalnya,
banyak orang mulai menggunakan obat-obatan untuk mengatasi rasa stres atau rasa sakit.

Efek dari kecanduan narkoba adalah terciptanya suatu siklus di mana dan kapan pun pengguna
menghadapi rasa stres atau sakit, mereka merasa perlu untuk menggunakan obat tersebut.
Banyak orang yang kecanduan terhadap narkotika dan juga didiagnosis mederita kelainan
mental lain dan sebaliknya.

Dibandingkan dengan populasi umum, orang yang kecanduan terhadap narkoba kira-kira dua
kali lebih memungkinkan menderita gangguan anxiety atau kecemasan berlebihan. Meskipun
gangguan penggunaan narkoba umumnya terjadi dengan penyakit mental. Jadi, inilah obat-
obatan yang dapat menyebabkan masalah kesehatan mental

Debat yang cukup besar telah mengelilingi potensi bahaya dari kokain, karena banyak orang
terus menggunakan obat tersebut berdasarkan reaksi tanpa melaporkan masalah. Risiko
kesehatan penggunaan kokain termasuk sejumlah komplikasi medis, seperti gangguan
kardiovaskular atau pernapasan, yang dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian.

Penggunaan kokain akut dapat menyebabkan efek yang diinginkan dari euphoria, kepercayaan
diri, peningkatan perhatian, berkurangnya nafsu makan, kurang kelelahan. Tetapi juga dapat
menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti kecemasan dan paranioa, perilaku egosentris,
disforia, anoreksia, dan delusi. Setelah penarikan kokain, gejala yang khas adalah anhedonia.
Ketergantungan kokain yang lebih besar dikaitkan dengan gejala depresi yang lebih parah
setelah penarikan.

Dalam satu studi, jumlah bunuh diri yang di rencanakan di antara pengguna inhalansia di
temukan sama dengan jumlah bunuh diri yang di rencanakan pada orang dengan penyakit
kejiwaan lainnya, tetapi jumlah bunuh diri yang tidak di rencanakan lebih besar pada anak-anak
dan remaja yang menggunakan inhalansia.

Penggunaan inhalan menunjukan tingkat diagnosis penyakit mental tertinggi.penggunaan


inhalan terkait dengan memperburuk gejala depresi,kegelisahan, gangguan kepribadian, bunuh
diri, perilaku mencelakakan diri.
Orang yang menggunakan ketamine dapat mengalami halusinasi. Itu mengubah presepsi
mereka tentang kenyataan. Mereka dapat meilihat, mendengar, mencium, atau merasakan hal-
hal yang tidak ada, atau dapat melihatnya secara berbeda dengan bagaimana mereka
sebenarnya. Mereka juga dapat merasa terpisah dari tubuh mereka, yang di kenal sebagai
“jatuh ke dalam lubang-K”.

Saat menggunakannya orang dapat merasakan disorientasi dan mengantuk, mengalami


halusinasi, merasa mati rasa, merasa tidak terkoordinasi, menjadi panik, bingung dan cemas,
memiliki pengalaman mendekati kematian.

Banyak dari kita yang harus merenungkan kembali mengenai masalah kecanduan. Kita biasanya
mengingatkan kecanduan dengan lemahnya iman dan mengendalian diri. Namun, alasan
sebenarnya di balik keputusan mereka untuk menggunakan narkoba jauh lebih kompleks dari
hanya sekedar rusaknya moral.

Kurangnya pemahaman tentang apa yang menjadi faktor risiko dan penyebab seseorang
menjadi pecandu narkoba membuat banyak orang terbutakan oleh prasangka. Seseorang yang
jatuh dalam jerat candu tidak berdaya untuk mengendalikan hasrat dan perilakunya. Itulah
sebabnya mengapa orang yang sedang berusaha lepas dari kecanduan perlu mendapatkan
dukungan dan kasih sayang, bukan dikucilkan atau dihakim.

Dampak Psikologis Kekerasan pada Remaja

A. Kekerasan Seksual

1. Pengertian Kekerasan Seksual

Kamus besar Bahasa Indonesia, kata kekerasan diartikan sebagai: a) perihal yang bersifat,
berciri keras, b) perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan kerusakan
fisik atau barang, c) paksaan (KBBI, 2005: 550). Sedangkan dalam pengertiannya, kekerasan
didefinisikan sebagai wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat,
sakit atau penderitaan pada orang lain, dimana salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah
berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai
(Wahid, dkk, 2001: 54). Dalam pengertian psikologi, kekerasan merupakan perbuatan yang
dapat menimbulkan luka fisik, pingsan maupun kematian (Sukanto, 1980: 34).

Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, penulis meringkas serta menyimpulkan bahwa
kekerasan merupakan sebuah tindakan nyata (actual) atau intimidasi (semi-actual) yang
dilakukan oleh pelaku kepada korbannya, yang berakibat pada korban menderita secara fisik,
materi, mental maupun psikis.Setelah mengetahui pengertian kekerasan, tak luput pula
pembahasan pengertian seksual untuk dibahas di sini. Secara sederhana, seksual berasal dari
kata seks yang artinya adalah perbedaan biologis perempuan dan laki-laki yang sering disebut
dengan jenis kelamin (Abdurouf, 2003: 25). Dengan demikian, kekerasan seksual mempunyai
makna yaitu sebuah tindakan nyata (actual) atau intimidasi (semi-actual) yang berhubungan
dengan keintiman atau hubungan seksualitas yang dilakukan oleh pelaku kepada korbannya
dengan cara memaksa, yang berakibat korban menderita secara fisik, materi, mental maupun
psikis.

Pengertian kekerasan seksual juga dapat diartikan sebagai sebuah tindakan atau intimidasi yang
berhubungan dengan keintiman atau hubungan seksualitas yang dilakukan oleh pelaku
terhadap korbannya dengan cara memaksa, yang berakibat korban menderita secara fisik,
materi, mental maupun psikis. Kejahatan kesusilaan secara umum merupakan perbuatan yang
melanggar kesusilaan yang sengaja merusak kesopanan dimuka umum atau dengan kata lain
tidak atas kemauan si korban melalui ancaman kekerasan (Soedarsono, 1997: 180).11

Menurut Yulaelawati (2015: 111) kekerasan seksual merupakan segala bentuk sentuhan yang
tidak senonoh dan tindakan sosial. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, berarti telah
terjadinya kasus serius ditengah masyarakat.Pendapat lain yang dikemukakan Suyanto (2010)
bahwa kekerasan seksual adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau
mengancam untuk melakukan hubungan seksual (sexual intercouse), melakukan penyiksaan
atau bertindak sadis serta meninggalkan seseorang, termasuk mereka yang masih berusia anak-
anak, setelah melakukan hubungan seksualitas.

Dalam perjalanannya, kasus-kasus kekerasan sering terjadi atau sangat rentan korbannya
adalah anak-anak atau perempuan. Hal ini dikarenakan terdapat asumsi patriarkis bahwa baik
anak maupun perempuan mempunyai kelemahan (daya) tersendiri. Hal itu senada dengan
pendapatnya Jane R. Chapman (dalam Luhulima, 2000: 78) yang mengatakan bahwa kekerasan
seksual marak terjadi pada anak dan perempuan yang secara universal disetiap wilayah
termasuk juga Indonesia. Anak merupakan sasaran empuk dari korban kekerasan seksual,
sebab selain karena anak hanya memiliki sedikit kekuatan untuk melawan, anak biasanya tidak
dapat mengerti tentang apa yang telah menimpa dirinya (Chomaria, 2014: 86).Konteks
kekerasan seksual pada anak merupakan suatu bentuk kekerasan seksual dimana anak sebagai
objek kekerasan atau dapat diartikan sebagai korban kekerasan seksual. Kekerasan Seksual
terhadap anak dengan istilah child sexual abuse didefinisikan sebagai suatu tindakan perbuatan
pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual maupun aktivitas seksual lainnya, yang
dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak, dengan kekerasan maupun tidak, yang dapat
terjadi diberbagai tempat tanpa memandang budaya, ras, dan sastra masyarakat. Korbannya
bisa anak laki-laki maupun anak perempuan, akan tetapi anak perempuan lebih sering menjadi
target kekerasan seksual daripada anak laki-laki. Studi WHO juga menemukan bahwa 150 juta
anak-anak perempuan menjadikorban dibandingkan 73 juta anak laki-laki (Hairi, 2015: 7).

Sedangkan Baker dan Dunken (dalam Sarlito, 2007: 177) menggunakan definisi yang lebih luas,
tetapi dengan umur yang terbatas sekitar (usia 14-16 tahun). Menurut Baker dan Dunken
kekerasan seksual pada anak merupakan suatu bentuk kekerasan yang dimana seorang anak
dilibatkan dalam kegiatan yang bertujuan untuk mengakibatkan gairah seksual pada pihak yang
mengajak.

Secara operasional, definisi Baker dan Dunken (dalam Sarlito, 2007: 177) itu bisa meliputi segala
hal sebagai berikut:

a. Antara anggota keluarga, dengan orang dari luar keluarganya atau dengan orang asing sama
sekali

b. Hanya terjadi sekali, terjadi beberapa kali dengan orang yang sama atau terjadi beberapa kali
dengan orang yang berbeda-beda.

c. Tak ada kontak fisik (bicara cabul), ada kontak fisik (diraba, dibelai, masturbasi), atau terjadi
senggama.

2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual.

Masalah kekerasan seksual yang menimpa anak jika kita pahami lebih jauh merupakan segala
tidak kekerasan yang melanggar kehormatan diri anak dan mengakibatkan anak merasa tidak
nyaman dan tertekan. Berdasarkan protokol tambahan KHA (option protocol Convention on the
Rights of the Child) yang dikutip dalam Nainggolan (2008: 73) bentuk-bentuk kekerasan seksual
meliputi eksploitasi seksual komersial termasuk penjualan anak (sale children) untuk tujuan
prostitusi (child prostitution) dan pornografi (child phornografy) .Bentuknya dapat berupa
verbal (kata-kata), tindakan sederhana seperti mencowel, memegang, hingga melakukan
tindakan fisik yang melanggar norma, seperti insect, eksploitasi sosial, dan pemerkosaan. Segala
bentuk tindak kekerasan seksual sesederhana apapun itu tentu saja merugikan, tidak hanya
secara fisik namun secara psikologis. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 8
menjelaskan bentuk kekerasan seksual meliputi:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkungan rumah tangga tersebut.

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Kedua bentuk kekerasan seksual yang dijelaskan dalam pasal 8 merupakan gambaran umum
bentuk kekerasan seksual di dalam lingkungan keluarga. Tak berbeda jauh dari pasal 8 UU
Nomor 23 Tahun 2004, bentuk-bentuk kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan
dijelaskan secara terperinci ada 15 jenis.

Bentuk dari kekerasan seksual tersebut yaitu:

a. Perkosaan.

b. Intimidasi/serangan bernuangan seksual termasuk ancaman atau percobaan pemerkosaan.

c. Pelecehan seksual.

d. Eksploitasi seksual.

e. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual

f. Prostitusi paksa.

g. Perbudakan seksual.

h. Pemaksaan perkawinan.

i. Pemaksaan kehamilan.

j. Pemaksaan aborsi.

k. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi.

l. Penyiksaan seksual

m. Perhukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual.

n. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi.

o. Kontrol seksual, aturan diskriminatif moralitas dan agama.

Menurut pandangan Russel (dalam Ferry, 1997: 2) menyebutkan ada tiga

kategori ataupun bentuk kekerasan seksual pada anak yaitu:

a. Kekerasan seksual yang sangat serius yaitu hubungan seksual anal, oral dan oral-genital seks.

b. Kekerasan seksual yang serius, yaitu dengan memperlihatkan adegan seksual pada anak,
berhubungan badan di depan anak, menyuruh anak untuk memegang alat kelaminnya, atau
melakukan kegiatan seksual terhadap anak akan tetapi belum mencapai hubungan kelamin
dalam arti persetubuhan.

c. Kekerasan seksual yang cukup serius, yaitu dengan membuka baju dengan paksa, menyentuh
alat kelamin atau bagian-bagian lain yang merupakan tertutup atau privasi anak.

Pendapat lain tentang kekerasan seksual juga tidak hanya berasal dari dalam negeri, seorang
ahli dari Inggris, Choromy (2007: 25-33) dalam jurnal Sexually abused children who exhibit
sexual behavior problems: victimization characteristics menjelaskan bahwa bentuk kekerasan
seksual lebih “berbahaya” dampaknya terhadap korban. Bentuk-bentuk kekerasan seksual
tersebut berupa:

a. Menonton aktivitas seks14

b. Cumbuan, dalam artian anak dicumbu oleh pelaku.

c. Penetrasi digital.

d. Oral sex.

e. Memperkosa korban.

Bentuk-bentuk kekerasan seksual dari berbagai pendapat di atas pada dasarnya tidak selalu
sama, namun dalam bentuk sesederhana apapun kekerasan seksual selalu merugikan
korbannya. Sebagian ahli yang menganggap bahwa pandangan tidak senonoh sudah masuk
pada ranah pelecehan seksual yang berarti korban telah mengalami kekerasan seksual, namun
ahli lain tidak berpendapat senada. Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait
memandang bahwa saat anak mulai merasa tidak nyaman dan terancam oleh orang dewasa,
maka hal tersebut sudah merupakan salah satu tindakan melanggar hukum. Oleh sebab itu,
sebaiknya orangtua harus mewaspadai sejak awal jika anak mengalami salah satu bentuk
pelecehan seksual paling dasar, misalnya dipandang oleh orang asing dengan tatapan ganjil
(Chomaria, 2014: 45). Secara garis besar Huraerah (2010:65) mengungkapkan kekerasan
seksual dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Perkosaan

Perkosaan jelas merupakan bentuk paling berat dari kekerasan seksual. Perkosaan merupakan
tindakan pemaksaan hasrat seksual yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kekuatan
lebih kepada seseorang yang dianggap lemah. Pemerkosaan jelas melanggar hukum, dan
pelakunya dijerat dalam perundang-undangan.

b. Pemaksaan seksual
Pemaksaan seksual hampir sama dengan perkosaan, perbedaannya pada pemaksaan seksual
belum terjadi perkosaan atau belum terjadi kontak fisik (memasukkan alat kelamin pelaku pada
korban). Biasanya bentuk pemaksaan seksual berupa sodomi, penetrasi, meraba bagian intim
korban, dll.

c. Pelecehan seksual

Pelecehan seksual merupakan segala tindakan melanggar kehormatan diri seseorang.


Bentuknya bermacam, dalam bentuk verbal bisa berarti dalam bentuk kata-kata yang
dilontarkan oleh satu orang ke orang lain, mulai dari kata-kata jorok yang membuat rasa malu,
tersinggung, marah, sakit hati, dan 15sebagainya, sampai pada tindakan fisik seperti mencowel,
memegang, atau melakukan sentuhan-sentuhan yang tidak pantas.

d. Incest

Incest merupakan hubungan seksual atau aktivitas seksual antara individu yang memiliki
hubungan dekat, yang mana perkawinan di antara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur.
Misalnya antara kakak dan adik kandung. Incest biasanya terjadi dalam waktu yang lama dan
sering menyangkut suatu proses terkondisi.Keempat bentuk kekerasan seksual menurut
Huraerah di atas bukanlah bentuk-bentuk kekerasan seksual secara final. Masyarakat maupun
ahli masih mempunyai berbagai pendapat mengenai bentuk kekerasan seksual dipandang dari
sejauh mana dampak yang terjadi pada anak. Eksploitasi, traficking, dan pelacuran yang
merupakan penganiayaan seksual dapat juga dianggap sebagai kekerasan seksual, apalagi
bentuk penganiayaan seksual tersebut sangat merugikan korban.

Maka jika disimpulkan dari beberapa bentuk kekerasan seksual di atas, masalah kekerasan
seksual yang menimpa anak-anak akan berdampak buruk bagi setiap korbannya.

3. Faktor Penyebab Kekerasan Seksual

Dengan kondisi lingkungan masyarakat di Indonesia khususnya diperkotaan, banyak faktor yang
melatarbelakangi terjadinya beberapa kasus kekerasan seksual. Bahkan, dewasa ini banyak
kasus yang terungkap di media masa justru dibeberapa daerah dengan intensitas pergaulan
yang jauh dari perkotaan (Suyanto,dkk, 2000: 45).Melihat realita tersebut, maka secara umum
faktor terjadinya kekerasan seksual pada anak dapat disimpulkan sebagai berikut (Huwaidah,
2011: 25-28):

a. Faktor innocent (polos) dan tak berdaya. Apalagi, jika harus berhadapan dengan orang-orang
dewasa, terutama orang tua. Itu sebabnya, perkosaan banyak dilakukan oleh orang terdekat
anak dan tidak jarang juga perkosaan dilakukan oleh orang jauh dan tidak dikenal anak.
b. Faktor rendahnya moral dan mentalitas pelaku juga memicu perkosaan dan bentuk
kekerasan seksual lainnya. Moralitas dan mentalitas yang tidak dapat tumbuh baik, membuat
pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.16

c. Faktor anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental atau gangguan tingkahlaku juga
menjadi salah satu penyebab banyaknya kasus perkosaan terhadap anak. Anak-anak
penyandang cacat menjadi sasaran empuk bagi pelaku kekerasan seksual, sebab anak yang
mengalami cacat tubuh dianggap memiliki keuntungan bagi pelaku. Pelaku merasa aman bila
melakukan kekerasan seksual terhadap anak penyandang cacat, dikarenakan korban masih
anak-anak atau penyandang cacat, sehingga bukti yang akan dicari nantinya akan lemah.

d. Kemiskinan atau ekonomi rendah juga menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual
terhadap anak. Contohnya adalah orang tua dan orang dewasa yang menyuruh anak melakukan
pekerjaan menjual diri (pekerja seks komersial) untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga
padahal anak mereka masih di bawah umur. Orang tua menjadikan anaknya sebagai pemenuh
kebutuhan dan itu adalah salah satu bentuk godaan syaitan untuk dirinya supaya dirinya
berbuat jahat kepada anak-anaknya. 16

e. Faktor lingkungan yang tidak baik, bacaan-bacaan yang berbau porno, gambar-gambar
porno, film dan VCD porno yang banyak beredar di masyarakat. Beredarnya buku bacaan,
gambar, film dan VCD porno tersebut menimbulkan rangsangan dan pengaruh bagi yang
membaca dan melihatnya, akibatnya banyak terjadi penyimpangan seksual terutama anak usia
remaja.

4. Dampak Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun orang
dewasa. Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan
terhadap peristiwa kekerasan seksual yang terjadi. Lebih sulit lagi adalah jika kekerasan seksual
ini terjadi pada anak, karena anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya
menjadi korban. Korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa
kekerasan seksualnya.

Selain itu, anak cenderung takut melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami
konsekuensi yang lebih buruk bila melapor, anak merasa malu untuk menceritakan peristiwa
kekerasan seksualnya, anak merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi karena
kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat anak merasa bahwa dirinya
mempermalukan nama keluarga (Illenia, dkk, 2011: 119).

Tindakan kekerasan seksual pada anak membawa dampak emosional dan fisik kepada
korbannya. Secara emosional, anak sebagai korban kekerasan seksual mengalami stress,
depresi, goncangan jiwa, adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, rasa takut
berhubungan dengan orang lain, bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual,
mimpi buruk, insomnia, ketakutan dengan hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan
termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit
kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, dan kehamilan yang tidak diinginkan.
Sedangkan secara fisik, korban akan mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit
kepala, tidak nyaman disekitar vagina atau alat kelamin, berisiko tertular penyakit menular
seksual, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, kehamilan yang tidak diinginkan dan
lainnya (Noviana, 2015: 18-19).

Selain itu, anak yang mengalami kekerasan seksual juga bisa berakibat luka memar, rasa sakit,
gatal-gatal di daerah kemaluannya, pendarahan pada vagina atau anus, infeksi saluran kencing
yang berulang, keluarnya cairan dari vagina dan sering pula didapati korban menunjukkan
gejala sulit berjalan atau 17duduk dan terkena infeksi penyakit bahkan bisa terjadi suatu
kehamilan (Suyanto, 2010: 100).

Berbagai dampak yang dialami anak korban kekerasan seksual, juga dapat digolongkan menjadi
tiga yaitu (Vireo, 2005: 23):

a. Dampak fisik berupa luka fisik, kematian, kehamilan, aborsi yang tidak aman, penyakit dan
infeksi menular seksual (PMS dan IMS) dan infeksi HIV/AIDS.

b. Dampak psikologis berupa depresi, rasa malu karena menjadi korban kekerasan, penyakit
stress paska trauma, hilangnya rasa percaya diri dan harga diri, melukai diri sendiri serta
pemikiran dan tindakan bunuh diri.

c. Dampak sosial berupa pengasingan dan penolakan oleh keluarga dan masyarakat, stigma
sosial serta dampak jangka panjang seperti kehilangan kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan, pelatihan, ketrampilan dan lapangan pekerjaan dan kecilnya kesempatan untuk
menikah, penerimaan sosial dan integrasi.

Dengan demikian anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan mengalami penderitaan
secara fisik dan psikis sekaligus. Penderitaan fisik berupa kerusakan organ intim, penularan
penyakit seksual, dan hamil diluar nikah. Sedangkan Penderitaan psikis biasanya korban akan
merasa malu luar biasa karena dianggap sebagai aib keluarga dan dijadikan bahan pembicaraan
masyarakat, bahkan korban kekerasan seksual akan mengalami trauma luar biasa. Meskipun
secara fisik memang mungkin tidak ada hal yang harus dipermasalahkan pada anak yang
menjadi korban kekerasan seksual, tapi secara psikis akan menimbulkan ketagihan, trauma,
pelampiasan dendam dan lain-lain. Apa yang menimpa mereka akan mempengaruhi
kematangan dan kemandirian hidup anak dimasa depan, caranya melihat dunia serta masa
depannya secara umum.
5. Penanganan anak korban kekerasan seksual

Masa kanak-kanak adalah masa dimana anak sedang dalam proses tumbuh kembangnya. Maka,
anak wajib dilindungi dari segala kemungkinan kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan
seksual. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan. Upaya perlindungan terhadap anak
harus diberikan secara utuh, menyeluruh dan komprehensif, tidak memihak kepada suatu
golongan atau kelompok anak. Upaya yang diberikan tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak dengan mengingat haknya untuk hidup dan
berkembang, serta tetap menghargai pendapatnya. Upaya perlindungan terhadap anak berarti
terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat.

Untuk memberi penanganan kepada anak korban kekerasan seksual, ada beberapa hal yang
dapat dilakukan: pertama, penanganan sosial berupa pengembalian nama baik korban, yaitu
pernyataan bahwa mereka tidak bersalah, dengan memperlakukan mereka secara wajar. Kedua
penanganan kesehatan, berkaitan dengan reproduksinya maupun psikisnya, seperti korban
mengalami depresi, trauma dan tekanan psikologis lainnya. Ketiga memberikan penanganan
ekonomi, berupa ganti kerugian akibat kekerasan seksual terhadap anak. Keempat, penanganan
hukum, agar korban dapat keadilan, pelaku mendapatkan sanksi serta menghindari jatuh
korban berikutnya.18

Dampak Psikologis Tindak Kekerasan


A. Pengertian Kekerasan

Masalah tindak kekerasan adalah satu masalah sosial yang selalu menarik dan menuntut
perhatian yang serius dari waktu ke waktu. Terlebih lagi, menurut asumsi umum serta beberapa
hasil pengamatan dan penelitian berbagai pihak, terdapat kecenderungan perkembangan
peningkatan dari bentuk dan jenis tindak kekerasan tertentu, baik secara kualitas maupun
kuantitasnya.berbicara tentang konsep dan pengertian tindak kekerasan itu sendiri, masih
terdapat kesulitan dalam memberikan defenisi yang tegas karena masih terdapat keterbatasan
pengertian yang disetujui secara umum.

Kekerasan juga memiliki arti yang berbeda-beda berdasarkan pendapat para ahli dan para
sarjana yang berbeda.Dalam pengertian legal tindak kekerasan menurut SueTitus Reid
sebagaimana dikutip Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa adalah: Suatu aksi atau perbuatan
yang didefenisikan secara hukum, kecuali jika unsurunsur yang ditetapkan oleh hukum kriminal
atau hukum pidana telah diajukan dan dibuktikan melalui suatu keraguan yang beralasan,
bahwa seseorang tidak dapat dibebani tuduhan telah melakukan suatu aksi atau perbuatan
yang dapat digolongkan sebagai tindak kekerasan.
Dengan demikian tindak kekerasan adalah suatu perbuatan yang disengaja atau suatu bentuk
aksi atau perbuatan yang merupakan kelalaian, yang kesemuanya merupakan pelanggaran atas
hukum kriminal, yang dilakukan tanpa suatu pembelaan atau dasar kebenaran dan diberi sanksi
oleh Negara sebagai suatu tindak pidana berat atau tindak pelanggaran hukum yang
ringan.19Kekerasan dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai perihal (yang
bersifat,berciri) keras, perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera
atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. 19 Dari
uraian diatas tampaklah bahwa batasan dan pengertian tentang tindak kekerasan yang
diberikan adalah meliputi setiap aksi atas perbuatan yang melanggar undang-undang hal ini
adalah hukum pidana. Batasan tindak kekerasan tidaklah hanya tindakan melanggar hukum
atau undang-undang saja, tetapi juga merupakan tindakan yang bertentangan dengan conduct
norms, yang tindakan-tindakan bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam
masyarakat walaupun tindakan itu belum dimasukkan atau diatur dalam undang-undang.

Dalam kaitannya dengan pengertian tersebut Mannheim menggunakan istilah morally wrong
atau deviant behaviors untuk tindakan yang melanggar atau bertentangan dengan norma-
norma sosial, walaupun belum diatur dalam undangundang (hukum pidana). Sedangkan istilah
legally wrong atau crime untuk menunjuk setiap tindakan yang melanggar undang-undang atau
hukum pidana. 19

B. Dampak Terjadinya Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan

Dalam suatu perbuatan yang dilakukan pasti akan ada akibat dan dampak yang timbul karena
perbuatan tersebut. Apalagi dalam perbuatan yang dinamakan tindak pidana pencurian
dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya korban. Tindak pidana pencurian yang biasa
saja sudah sangat meresahkan masyarakat yakni takut akan apa yang dimiliknya hilang. Karena
dalam kasus pencurian pasti harta yang berharga yang selalu diambil oleh para pelakunya.

Pencurian dengan kekerasan yang terjadi biasanya dilakukan karena keadaan korban melawan
pelaku pencuri atau karena memang pelaku sudah merencanakan terlebih dahulu karena ada
dendam dan dengan maksud memiliki apa yang dibawa oleh korban yang diincarnya.

Dampak pencurian terhadap masyarakat sangat jelas yaitu membuat masyarakat takut
menunjukan harta bendanya karena takut akan diambil orang lain, lebih mengurung diri dalam
arti agar tidak terjadi tindak pidana atau peristiwa yang tidak diinginkan masyarakat lebih
memilih menyendiri.Bagi masyarakat yang kekurangan ekonomi takutnya akan membuat hal
yang sama karena keterpaksaan harus memenuhi kebutuhan hidupnya. Melihatberita dan
peristiwa kasus pencurian ada masyarakat yang mengikuti dengan maksud karena mudah
mendapatkan uang untuk hidupnya sehari-hari. Sangat besar dampak yang diterima dalam
masyarakat dengan adanya kasus pencurian dengan kekerasan. Oleh sebab itu kita harus
menghindari perbuatan tersebut dengan alasan apapun.

Sebaiknya juga diberitahukan terhadap masyarakat tentang akibat yang terjadi jika melakukan
perbuatan pencurian dengan kekerasan dapat mengakibatkan pelakunya dihukum sangat berat
atau dihukum seumur hidup jika sampai mengakibatkan kematian bagi korban dari pencurian
dengan kekerasan, sehingga masyarakat takut untuk melakukan kejahatan.

Dampak terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan bagi korban tentu akan
mendapatkan suatu tindakan kekerasan bagi pelaku pencuri bahkan sampai meninggal dunia
jika melawan pada saat terjadinya peristiwa pencurian. Sedangkan bagi pelaku pasti harus
dihukum karena perbuatannya jika ditangkap oleh aparat penegak hukum dan dapat juga
dikucilkan dalam masyarakat. 20

2020

Anda mungkin juga menyukai