Anda di halaman 1dari 19

NAMA : MELISA PUTRI PRATAMA

NPM : 2014201007
PRODI : ILMU KEPERAWATAN
SEMESTER : IV

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Setelah tahun 2000, dunia khususnya bangsa Indonesia memasuki era globalisasi, pada
tahun 2003 era dimulainya pasar bebas ASEAN dimana banyak tenaga professional
keluar dan masuk ke dalam negeri. Pada masa itu mulai terjadi suatu masa
transisi/pergeseran pola kehidupan masyarakat dimana pola kehidupan masyarakat
tradisional berubah menjadi masyarakat yang maju. Keadaan itu menyebabkan berbagai
macam dampak pada aspek kehidupan masyarakat khususnya aspek kesehatan baik yang
berupa masalah urbanisaasi, pencemaran, kecelakaan, banyak tindakan kekerasan,
kenakalan remaja, penyalahgunaan NAPZA, tauran, penggangguran, tindak penyaluran
agresifitas atau anarkis, putus sekolah, PHK, disamping meningkatnya angka kejadian
penyakit klasik yang berhubungan dengan infeksi, kurang gizi, dan kurangnya
pemukiman sehat bagi penduduk. Pergeseran pola nilai dalam keluarga dan umur
harapan hidup yang meningkat juga menimbulkan masalah kesehatan yang berkaitan
dengan kelompok lanjut usia serta penyakit degeneratif. Dengan banyaknya
masalahmasalah yang ada dalam keperawatan jiwa yang kini kita hadapi, maka kita perlu
mengkaji ulang faktor yang mempengaruhi masalah-masalah keperawatan jiwa Telah
terbukti bahwa upaya pencegahan jauh lebih baik daripada upaya pengobatan. Untuk itu
masyarakat luas perlu diberikan informasi tentang kesehatan jiwa beserta permasalahan,
pencegahan dan penanganannya. Upaya pelayanan kesehatan jiwa terhadap masyarakat
pada saat ini tidak mungkin dilaksanakan oleh petugas kesehatan saja, tetapi perlu peran
serta seluruh masyarakat dan keluarga klien untuk memfasilitasi peran aktif dari kader
kesehatan dalam upaya kesehatan jiwa.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
2. bagaimana cara meningkatkan masalah kesehatan jiwa ?
3. faktor penyebab kecenderungan gangguan jiwa ?
4. kecenderungan situasi di era globalisasi yang mempengaruhi kesehatan jiwa ?
5. penyakit yang cenderung dalam keperawatan jiwa ?
6. peningkatnya dalam masalah psikososial?
7. trend bunuh diri pada anak dan remaja
8. masalah dalam napza dan hiv/aids ?
9. pattern of parenting dalam keperawata jiwa
10. hal-hal yang mempengaruhi kesehatan jiwa?
11. Trend dalam pelayanan keperawatan mental psikiatri

C. TUJUAN
1. menjelaskan tentang masalah-masalah dalam keperawatan jiwa
2. menerangakan perkembangan dalam keperawatan jiwa

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Trend curent issue dan kecenderungan dalam keperawatan jiwa


Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang sedang
hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat dianggap
ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa baik dalam
tatanan regional maupun global.
Ada beberapa trend penting yang menjadi perhatian dalam keperawatan jiwa di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
Dahulu bila berbicara masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai pada saat onset
terjadinya sampai klien mengalami gejala-gejala. Di Indonesia banyak gangguan jiwa
terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita jarang sekali melihat fenomena masalah
sebelum anak lahir. Perkembangan terkini menyimpulkan bahwa berbicara masalah
kesehatan jiwa harus dimulai dari masa konsepsi atau bahkan harus dimulai dari masa
pranikah. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan masa dalam
kandungan dengan kesehatan fisik dan mental seseorang di masa yang akan datang.
Penelitian-penelitian berikut membuktikan bahwa kesehatan mental seseorang dimulai
pada masa konsepsi.
Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang berada pada
trimester dua dalam kandungan mempunyai resiko yang leih tinggi untuk menderita
skizofrenia di kemudian hari. Penemuan penting ini menunjukkan bahwa lingkungan
luar yang terjadi pada waktu yang tertentu dalam kandungan dapat meningkatkan
risiko menderita skizofrenia.
Mednick menghidupkan kembali teori perkembangan neurokognitif, yang
menyebutkan bahwa pada penderita skizofrenia terjadi kelainan perkembangan
3
neurokognitif sejak dalam kandungan. Beberapa kelainan neurokognitif seperti
berkurangnya kemampuan dalam mempertahankan perhatian, membedakan suara
rangsang yang berurutan, working memory, dan fungsi-fungsi eksekusi sering
dijumpai pada penderita skizofrenia.
Dipercaya kelainan neurokognitif di atas didapat sejak dalam kandungan dan dalam
kehidupan selanjutnya diperberat oleh lingkungan, misalnya, tekanan berat dalam
kehidupan, infeksi otak, trauma otak, atau terpengaruh zat-zat yang mempengaruhi
fungsi otak seperti narkoba. Kelainan neurokognitif yang telah berkembang ini
menjadi dasar dari gejala-gejala skizofrenia seperti halusinasi, kekacauan proses pikir,
waham/delusi, perilaku yang aneh dan gangguan emosi.

2. Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa


Masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi. Sebagai contoh jumlah penderita
sakit jiwa di provinsi lain dan Daerah Istimewa Yogyakarta terus meningkat.
Penderita tidak lagi didominasi masyarakat kelas bawah, kalangan pejabat dan
masyarakat lapisan menengah ke atas juga tersentuh gangguan psikotik dan depresif.
Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater dan dokter di RSJ
menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik strata sosial maupun usia.
Ada orang kaya yang mengalami tekanan hebat, setelah kehilangan semua harta
bendanya akibat kebakaran. Selain itu kasus neurosis pada anak dan remaja, juga
menunjukkan kecenderungan meningkat. Neurosis adalah bentuk gangguan kejiwaan
yang mengakibatkan penderitanya mengalami stress, kecemasan yang berlebihan,
gangguan tidur, dan keluhan penyakit fisik yang tidak jelas penyebabnya. Neurosis
menyebabkan merosotnya kinerja individu. Mereka yang sebelumnya rajin bekerja,
rajin belajar menjadi lesu, dan sifatnya menjadi emosional. Melihat kecenderungan
penyakit jiwa pada anak dan remaja kebanyakan adalah kasus trauma fisik dan
nonfisik. Trauma nonfisik bisa berbentuk musibah, kehilangan orang tua, atau
masalah keluarga.
Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut gangguan psikotik. Klien yang
menunjukkan gejala perilaku yang abnormal secara kasat mata. Inilah orang yang
kerap mengoceh tidak karuan, dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan
dirinya dan orang lain, seperti mengamuk.

4
3. Kecenderungan faktor penyebab gangguan jiwa
Terjadinya perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan merupakan salah
satu pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan
jiwa pada manusia. Menurut data World Health Organization (WHO), masalah
gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang
sangat serius. WHO (2001) menyataan, paling tidak ada satu dari empat orang di
dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di
dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan kesehatan jiwa
memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang
mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal karena
bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya
bunuh diri dari para penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya.
Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan banyak hal. Namun,
menurut Aris Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa (psikiatri) Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan penyebab
gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organic. Penyebabnya
antara lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus,
hepatitis, malaria dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol dan lain-lain. Kedua,
gangguan mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah dalam pola
pengasuhan (pattern of parenting) hubungan yang patologis di antara anggota
keluarga disebabkan frustasi, konflik, dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial aau
lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stressor psikososial (perkawinan, problem
orangtua, hubungan antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup,
dalam masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik,
dan lain-lain).

4. Kecenderungan situasi di era globalisasi


Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas sebagai ciri
globalisasi, akan berdampak pada semua faktor termasuk kesehatan. Perawat dituntut
mampu memberikan askep yang profesional dan dapat mempertanggung jawabkan
secara ilmiah. Perawat dituntut senantiasa mengembangkan ilmu dan teknologi di
bidang keperawatan khususnya keperawatan jiwa. Perawat jiwa dalam era global

5
harus membekali diri dengan bahasa internasional, kemampuan komunikasi dan
pemanfaatan teknologi komunikasi, skill yang tinggi dan jiwa entrepreneurship.

5. Perubahan Orientasi Sehat


Pengaruh globalisasi terhadap perkembangan pelayanan kesehatan termasuk
keperawatan adalah tersedianya alternatif pelayanan dan persaingan penyelenggaraan
pelayanan. (persaingan kualitas). Tenaga kesehatan (perawat “jiwa” ) harus
mempunyai standar global dalam memberikan pelayanan kesehatan, jika tidak ingin
ketinggalan. Fenomena masalah kesehatan jiwa, indicator kesehatan jiwa di masa
mendatang bukan lagi masalah klinis seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkan
berorientasi pada konteks kehidupan sosial. Fokus kesehatan jiwa bukan hanya
menangani orang sakit, melainkan pada peningkatan kualitas hidup. Jadi konsep
kesehatan jiwa buka lagi sehat atau sakit, tetapi kondisi optimal yang ideal dalam
perilaku dan kemampuan fungsi social Paradigma sehat Depkes, lebih menekankan
upaya proaktif untuk pencegahan daripada menunggu di RS, orientasi upaya
kesehatan jiwa lebih pada pencegahan (preventif) dan promotif. Penangan kesehatan
jiwa bergeser dari hospital base menjad community base.
Empat Ciri Pembentuk Struktur Masyarakat Yang Sehat :
a. Suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yg diperalat
oleh orang lain. Oleh karena itu seharusnya tidak ada yang diperalat/ memperalat
diri sendiri, dimana manusia itu menjadi pusat dari semua aktivitas ekonomi
maupun politik diturunkan pada tujuan perkembangan diri manusia.
b. Mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya, merangsang
perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, mampu membuat manusia untuk
mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa seni dan perilaku normatif kolektif.
c. Masyarakat terhindar dari sifat-sifat rakus, eksploitatif, pemilikan berlebihan,
narsisme, tidak mendapatkan kesempatan meraup keuntungan material tanpa
batas.
d. Kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam dimensi-dimensi
yang dapat dipimpin dan diobservasi. Partisipasi aktif dan bertanggung jawab
dalam kehidupan masyarakat. Untuk mewujudkan struktur masyarakat sehat,
kuncinya : Setiap orang harus meningkatkan kualitas hidup yang dapat menjamin

6
terciptanya kondisi sehat yang sesungguhnya. Mandiri dan tidak bergantung pada
orang lain merupakan orientasi paradigma kesehatan jiwa

6. Kecenderungan Penyakit
Masalah kesehatan jiwa akan menjadi “The global burdan of disease“ (Michard &
Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan bagi ”Public Health Policy” yang
secara tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit infeksi. Standar
pengukuran untuk kebutuhan kesehatan global secara tradisional adalah angka
kematian akibat penyakit. Ini telah menyebabkan gangguan jiwa seolah-olah bukan
masalah. Dengan adanya indikator baru, yaitu DALY (Disabilitty Adjusted Lfe Year)
diketahuilah bahwa gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan utama secara
internasional.
Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik yang tidak
menentu menyebabkan semakin tigginya angka pengangguran, kemiskinan, dan
kejahatan, situasi ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan jiwa
dalam kehidupan manusia ( Antai Otong, 1994).
Untuk menjawab tantangan ini diperlukan tenaga-tenaga- kesehatan seperti psikiater,
psilolog, social Worker, dan perawat psikiatri yang memadai baik dari segi kuantitas.
Saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang terpapar dengan kejadian
Traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian yang berupa ancaman
kematian atau kematian yang sebenarnya dan mereka yang cedera serta yang dalam
ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain. Respons yang terjadi
berupa rasa takut yang kuat serta tidak berdaya, sedangkan bagi anak-anak apa yang
menghadapinya akan dieksperikan dengan perilaku yang kacau.
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma diluar rentang.
Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam kejadian sehari-hari.
Pengalaman katastropik dalam berbagai bentuk, baik peperangan (memang sedang
terjadi), pemerkosaan (banyak dialami sebagian wanita di Aceh), maupun bencana
alam, (gempa dan bencana tsunami), sungguh mengerikan.
Ini akan membuat mereka dalam keadaan stress berkepanjangan dan berusaha untuk
tidak mengalami stress yang sedemikian. Dalam kriteria klinik seperti yang disusun
dalam Diagnostic and Statical Manual Of Mental Disorder lll dan Lv serta Pedoman
Pengggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa lll di Indonesia menyatakan, gejala

7
yang ditemukan pada mereka itu menggambarkan suatu yang stress yang terjadi
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian mereka menjadi manusia
yang invalid dalam kondisi kejiwaan dengan akibat dan resultante akhir penderita ini
akan menjadi tidak produktif. Padahal seperti diketahui ada diantara mereka yang
berkali-kali telah mengalami pengalaman katastropik yaitu saat daerah tersebut ada
dalam kondisi berlangsungnya Daerah Operasi Militer dan peristiwa-peristiwa
sesudahnya. Kondisi itu memang amat melumpuhkan tidak hanya ragawi, tetapi juga
kondisi kejadian masyarakat di daerah NAD. Di kemudian hari, mereka menjadi
manusia yang tanpa alasan selalu berusaha menghindar terhadap kejadian yang mirip,
terutama terhadap kekerasan yang sebernarnya tidak akan terjadi. Mereka juga
menjadi manusia yang selalu bermimpi menakutkan terjadi secara berulang-ulang.
Akibatnya, tidur yang seharusnya kan membuat restorasi terhadap kondisi tubuh,
namun yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka berada dalam keadaan lelah dan seakan
berada dalam kondisi depresi. Mungkin saja mereka kan berperilaku atau merasa
seakan-akan kejadian traumatis itu terjadi kmbaki, termasuk pengalaman, ilusi,
halusinasi, dan episode kilas balik dalam bentuk disosiatif.
Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies) mulai memahami bahwa
trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat individual. Trauma muncul
sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang
peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. Dalam konteks tsunami Aceh dan
bencana-bencana besar lainnya di Indonesia, kompleksitas sosial dan kultural sangat
penting mengingat bahwa masyarakat telah mengalami dan menjadi saksi berbagai
macam kekerasan sejak berlangsungnya operasi keamanan di daerah ini. Oleh karena
itu, pemahaman tentang trauma sebagai proses sosial dan sekaligus proses kejiwaan
yang bersifat personal mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar dari lingkaran
ingatan traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami yang mengalami
bencana di seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud sendiri pernah
mengemukakan bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi. Dan, karena
direpresi itulah maka trauma sering berlangsung secara tidak sadar dalam periode
yang cukup lama. Guncangan psikologis yang disebabkan oleh ingatan mengerikan
tentang gelombang tsunami, tentang mayat-mayat yang berserakan, dan tentang
kehilangan banyak anggota keluarga sekaligus berpotensi untuk membentuk ingatan
yang traumatis.

8
Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni kajian trauma, juga
menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi sering disebut sebagai
transference. Istilah ini merujuk pada ‚“transfer“ pengalaman traumatis yang terjadi
dari orang yang secara fisik langsung mengalami peristiwa yang mengerikan kepada
orang lain yang tak secara langsung mengalaminya. Freud memberi contoh bahwa
psikoanalis juga dapat mengalami proses transference saat ia secara tak sadar
melakukan identifikasi dengan korban trauma tersebut. Dori Laub, psikiater yang
terlibat dalam pembuatan Shoah, mengatakan bahwa transference itu bisa terjadi saat
psikoanalis, atau siapapun juga yang melakukan wawancara dengan korban.

7. Meningkatknya Post Traumatic Syndrome Disorder


Trauma yang katastropik, yaitu trauma di luar rentang pengalaman trauma yang
umum di alami manusia dlm kejadian sehari-hari. Mengakibatkan keadaan stress
berkepanjangan dan berusaha untuk tidak mengalami stress yang demikian. Mereka
menjdi manusia yang invalid dlam kondisi kejiwaan dengan akibat akhir menjadi
tidak produktif. Trauma bukan semata2 gejala kejiwaan yang bersifat individual,
trauma muncul sebagai akibat saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan
pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan.

8. Meningkatnya Masalah Psikososial


Lingkup masalah kesehatan jiwa, sangat luas dan kompeks juga saling berhubungan
dengan segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pada undang-undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Ilmu Kedokteran Jiwa (psychitri), secara garis
besar masalah kesehatan jiwa digolongkan menjadi :
a. Masalah perkembangan manusia yang harmonis dan peningkatan kualitas, hidup
yaitu masalah kejiwaan yang berkait dengan makna dan nilai-nilai kehidupan
manusia, misalnya:
o Masalah kesehatan jiwa yang berkaitan dengan lifecycle kehidupan manusia,
mulai dari persiapan pranikah, anak dalam kandungan, balita, anak, remaja,
dewasa, usia lanjut. o Dampak dari menderita penyakit menahun yang
menimbulkan disabilitas. o Pemukiman yang sehat. o Pemindahan tempat
tinggal.

9
b. Masalah Psikososial yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai
aikbat terjadinya perubahan sosial, misalnya :
o Psikotik gelandangan (seseorang yang berkeliaran di tempat umum dan
diperkirakan menderita gangguan jiwa psikotik dan dianggap mengganggu
ketertiban/keamanan lingkungan). o Pemasungan penderita gangguan jiwa.
o Masalah anak jalanan. o Masalah anak remaja (tawuran, kenakalan). o
Penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika.
c. Masalah seksual (penyimpangan seksual, pelecehan seksual, dan lain-lain).
o Tindak kekerasaan sosial (kemiskinan, penelataran tidak diberi nafkah,
korban kekerasaan pada anak dan lain-lain).
o Stress pascatrauma (ansietas, gangguan emosional, berulangkali merasakan
kembali suatu pengalaman traumatik, bencana alam, ledakan, kekerasaan,
penyerangan/penganiyaan secara fisik atau seksual, termasuk pemerkosaan,
terorisme dan lain-lain).
o Pengungsi/imigrasi (masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat
terjadinya suatu perubahan sosial, seperti cemas, depresi, stress pascatrauma,
dan lain-lain.
d. Masalah usia lanjut yang terisolasi (penelataran, penyalahgunaan fisik, gangguan
psikologis, gangguan penyesuaian diri terhadap perubahan, perubahan minat,
gangguan tidur, kecemasan, depresi, gangguan pada daya ingat, dll).
e. Masalah kesehatan tenaga kerja ditempat kerja (kesehatan jiwa tenaga kerja,
penurunan produktivitas, stress di tempat kerja, dan lain-lain).

9. Trend Bunuh Diri pada Anak dan Remaja


Bunuh diri merupakan masalah psikologis dunia yang sangat mengancam Sejak tahun
1958, dari 100.000 penduduk Jepang 25 orang diantaranya meninggal akibat bunuh
diri. Sedangkan untuk negara Austria, Denmark, dan Inggris, rata-rata 25 orang.
Urutan pertama diduduki Jerman dengan angka 37 orang per 100.000 penduduk. Di
Amerika tiap 24 menit seorang meninggal akibat bunuh diri. Jumlah usaha bunuh diri
yang sebenarnya 10 kali lebih besar dari angka tersebut, tetapi cepat tertolong. Kini
yang mengkhawatirkan trend bunuh diri mulai tampak meningkat terjadi pada
anakanak dan remaja.

10
Di Benua Asia, Jepang dan Korea termasuk Negara yang sering diberitakan bahwa
warganya melakukan bunuh diri. Di Jepang, harakiri (menikam atau merobek perut
sendiri) sering dilakukan bawahan untuk melindungi nama baik atasannya. Sebagai
contoh, sekretaris pribadi mantan Perdana Menteri Takeshita melakukan bunuh diri,
ketika skandal suap perusahaan Recruits Cosmos terbongkar pada tahun 1984 atau
yang paling terkenal kasus bunuh dirinya sopir pribadi mantan Perdana menteri
Tanaka, ketika skandal suap Lockheed terbongkar. Sang sopir menusuk perutnya,
demi menjaga kehormatan pimpinannya.
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 mengungkapkan bahwa
satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau terjadi dalam seiap 40 detiknya.
Bunuh diri juga termasuk satu dari tiga penyebab utama kematian pada usia 15-34
tahun, selain faktor kecelakaan.

10. Masalah Napza dan HIV/AIDS


Gangguan penggunaan zat adiktif ini sangat berkaitan dan merupakan dampak dari
pembangunan serta teknologi dari suatu negara yang semakin maju. Hal terpenting
yang mendukung merebaknya NAPZA di negara kita adalah perangkat hukum yang
lemah bahkan terkadang oknum aparat hukum seringkali menjadi backing, ditambah
dengan keragu-raguan penentuan hukuman bagi pengedar dan pemakai, sehingga
dampaknya SDM Indonesia kalah dengan Malaysia yang lebih bertindak tegas
terhadap pengedar dan pemakai NAPZA. Kondisi ini akan semakin menigkat untuk
masa yang akan datang khususnya dalam era globalisasi. Dalam era globalisasi
tersebut terdapat gerakan yang sangat besar yang disebut dengan istilah “Gerakan
Kafirisasi“. Bila beberapa dekade yang lalu kita mengenal istilah zionisme, maka
dengan ini sejalan dengan globalisasi kita berhadapan dengan dengan ideologi
kafirisasi yang disebut dengan Neozionisme, sebuah ideologi yang ingin menciptakan
tatanan dunia global yang sekuler dan terlepas sama sekali dari ajaran agama yang
mereka anggap sebagai kepalsuan, racun, dan dogmatis fundamentalis. Gerakan
konspirasi mereka telah membuat carut marut dan tercabiknya wajah kaum beragama,
utamanya umat muslim, mereka menuduh umat islam sebagai fundamentalis,
ekstrimis, dan tiran. Bahkan Hungtington (Misionaris Yahudi) pernah mengatakan :
“Musuh Barat terbesar setelah Rusia hancur adalah Islam“. Salah satu program
mereka adalah menghancurkan islam melalui penghancuran generasi mudanya dengan

11
cara menebarkan narkotik dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Sekarang para imperalis
dan konspirasi Yahudi telah memanfaatkan energi yang tersimpan dalam generasi
negeri ini (1,3 juta orang pemuda) yang berusia 15-25 tahun melalui NAPZA
(Narkotik dan Zat Adikif lainnya) dan telah membunuh 30 orang perbulannya.
Masalah lainnya muncul seiring dengan merebaknya pemakaian NAPZA. Menjelang
tahun 2008 pertumbuhan HIV AIDS di dunia dapat mencapai 4 orang permenit. Ini
merupakan ancaman hilangnya kehidupan dan runtuhnya peradaban.
Kita semua, khususnya tim kesehatan harus merasa terpanggil menyelamatkan
generasi penerus bangsa dari cangkraman NAPZA (Narkotika, Alkohol, psikotropika,
dan Zat Adiktif lainnya). Perawat merupakan komponen terbesar dari seluruh tim
kesehatan, maka upaya-upaya pengcegahan dan penatalaksanaan keperawatan
menjadi hal yang sangat penting karena perawat senantiasa berada di sisi klien dalam
rentang waktu yang lama di banding tim kesehatan lainnya. Melalui forum presentasi
orientasi keperawatan jiwa kami berusaha memaparkan suatu topic dengan tema
Asuhan Keperawatan pada Pengguna NAPZA.

11. Pattern Of Parenting dalam Keperawata Jiwa


Dengan banyaknya bunuh diri dan depresi pada anak, maka saat ini pola asuh
keluarga menjadi sorotan. Pola aush yang baik adalah pola asuh dimana orang tua
menerapkan kehangatan tinggi yang disertai dengan kontrol yang tinggi. Kehangatan
adalah bagaimana orang tua menjadi teman curhat, teman bermain, teman yang
menyenangkan bagi anak terutama saat rekreasi, belajar, dan berkomunikasi.
Adakalanya kehangatan diwujudkan dengan mendekap, mencium, menggendong atau
mengajak anak menjalajahi alam sambil belajar. Kehangatan adalah upaya-upaya
yang dilakukan orang tua agar anak dekat dan berani bicara pada orang tuanya pada
saat anak mendapatkan masalah. Orang tua menjadi teman dalam express feeling anak
sehingga anak menjadi sehat jiwanya.
Kontrol yang tinggi adalah bagaimana anak dilatih mandiri dan mengenal disiplin di
rumahnya. Kemandirian ini menjadi hal yang sangat penting dalam kesehatan jiwa.
Anak mandiri terbiasa menyelesaikan masalahnya, ia akan memiliki self confidence
yang cukup. Contoh kontrol yang diterapkan orang tua adalah kapan anak harus
bangun pagi, kapan belajar, kapan anak berlatih memakai kaos kaki sendiri, makan
sendiri dan berpakaian secara mandiri. Orang tua juga melatih anak bertanggung

12
jawab mengerjakan tugas-tugas di rumah seperi mencuci, menyiram bunga, dan
sebagainya. Tipe pola asuh :
• Autoriatif : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol yang tinggi dan
kehangatan tinggi.
• Otoriter : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol tinggi kehangatan
rendah.
• Permisif : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol rendah
kehangatan tinggi.
• Neglected : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol rendah
kehangatan rendah.

12. Masalah Ekonomi dan Kemiskinan


Pengangguran lebih dari 40 juta orang telah menyebabkan rakyat Indonesia semakin
terpuruk. Daya beli lemah, pendidikan rendah, lingkungan buruk, kurang gizi, mudah
terigitasi, kekebalan menurun dan infrastruktur yang masih rendahmenyebabkan
banyaknya rakyat Indonesia yang mengalami gangguan jiwa. Masalah ekonomi
merupaka masalah yang paling dominant menjadi pencetus gangguan jiwa di
Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan bahwa saat terjadi kenaikan BBM selalu dsertai
dengan peningkatan dua kali lipat angka gangguan jiwa. Hal ini diperparah dengan
biaya sekolah yang mahal, biaya pengobatan tak terjangkau dan penggusuran yang
kerap terjadi.

B. Trend dalam Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri


Sejarah Keperawatan mental psikiatri muncul sebagai sebuah profesi pada awal abad
ke19. Kemudian sejak tahun 1940 keperawatan mental psikiatri mulai berkembang pesat,
tetapi pelayanan masih terpusat di Rumah Sakit (Antai Otong, 1994). Hal ini terjadi
sejalan dengan program deinstitusionalisasi. Deinstitusionalisasi adalah suatu program
pembebasan klien gangguan jiwa kronik dari institusi rumah sakit dan mengembalikan
mereka ke lingkungan rehabilitas di masyarakat (Lefley, 1996). Angka kejadian
gangguan jiwa dapat diminimalkan dengan menggunakan cara-cara preventif seperti
menemukan kasus-kasus secara dini, diagnosa dini da intervensi krisis (Gerald Kaplan
dikutip oleh Antai Otong, 1994).

13
C. Trend Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri Globalisasi
Leininger (1973) mengemukakan 3 kunci utama dalam proses tersebut : pengalaman dan
pendidikan perawat, peran, dan fungsi perawat serta hubungan perawat dengan profesi
lain di komunitas. Reformasi dalam pekayanan kesehatan ini te;ah menuntut perawat
untuk merendefenisi perannya. Intervensi keperawatan yang menekankan pada aspek
pencegahan dan promosi kesehatan sudah saatnya mengembangkan “community based
care” (Lefley, 1996).
Kurangnya dukungan tenaga, biaya, dan fasilitas yang tersedia menantang perawat
mental psikiatri dan profesi lain untuk memaksimalkan sumber-sumber yang tersedia dan
mengembangkan inovasi-inovasi baru dalam memenuhi kebuuhan masyarakat (Antai
Otong, 1994). Sehubungan dengan hal itu, adalah penting untuk mengembangkan
pendidikan keperawatan (Suhaemi, 1997), terutama keperawatan mental psikiatri yang
bekerja di rumah sakit jiwa maupun di komunitas paling rendah pada level universitas
(Jintana, 2002).

D. Issue Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri


1. Stuart Sundeen (1998) mengemukakan bahwa hasil riset Keperawatan Jiwa masih
sangat kurang.
2. Perawat psikiatri yang ada kurang siap menghadapi pasar bebas karena pendidikan
yang rendah dan belum adanya licence untuk praktek yang bisa diakui secara
Internasional.
3. Perbedaan peran perawat jiwa berdasarkan pendidikan dan pengalaman sering kali
tidak jelas dalam “Position Description,” job responsibility dan system reward di
dakam pelayanan keperawatan dimana mereka bekerja (Stuart Sudeen, 1998).
4. Di negara lain pun mempunyai kecenderungan yang sama, hasil penelitian di Ireland
menunjukkan bahwa mahasiswa mempunyai persepsi yang salah tentang peran
perawat psikiatri (Wells, 2000).

E. Upaya Profesi Keperawatan Mental Psikiatri di Indonesia


Dalam menghadapi trend dan issue yang berkembang, profesi keperawatan mental
psikiatri di Indonesia telah melakukan berbagai upaya seperti membuat standar praktek
keperawatan jiwa di rumah sakit, membuat model prakek keperawatan professional
(MPKP) di rumah sakit jiwa, dan mengadakan berbagai pelatihan seperti pelatihan

14
asuhan keperawatan jiwa dan pelatihan “clinical instructur” bagi perawat mental
psikiatri. Akan tetapi, mungkin masih banyak yang masih perlu dibenahi dan
ditingkatkan agar mampu menghadapi segala tantangan di masa depan.
Berikut ini adalah beberapa hal yang harus menjadi perhatian profesi keperawatan mental
psikiatri dalam menghadapi trend dan issue pelayanan keperawatan mental psikiatri di
era globalisasi :
1. Fokus pelayanan keperawatan jiwa sudah saatnya berbasis pada komunitas
(community based care) yang memberi penekanan pada preventif dan promotif.
2. Meningkatkan penelitian tentang keperawatan mental psikiatri, terutama
keperawatan jiwa klinik.
3. Seharusnya ada “licence” bagi perawat yang bekerja di pelayanan.
4. Estin (1999), menekankan bahwa untuk membina trust dan hubungan terapeutik
dengan klien dan untuk mencegah penundaan dalam mendiagnosa kebutuhan klien,
perawat perlu memahami budaya, nilai-nilai, kepercayaan, dan sikap klien terhadap
penyakitnya.
Tidak Punya Biaya Menyekolahkan Anak, Ibu Rumah Tangga Bunuh Diri Bekasi,
Kompas - Suwarni (34), ibu rumah tangga yang tengah hamil empat bulan, menenggak
racun cair serangga yang menewaskannya di kamar mandi rumah kontrakannya di
Kampung Pinggir Rawa RT 03 RW 03, Bekasi Jaya, Bekasi Timur, Senin (2/8) malam.
Ibu dua anak ini ditemukan dalam keadaan tewas oleh suaminya, Supriyono (36), dan
warga yang mendobrak pintu kamar mandi yang terkunci dari dalam. Suwarni sudah tak
bernyawa tatkala ditemukan.
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa masalah ekonomi merupakan salah satu
masalah yang paling sering menyebabkan gangguan jiwa di Indonesia. Himpitan
ekonomi yang semakin besar dikarenakan penghasilan yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari dapat menjadi salah satu pencetus untuk seseorang bunuh
diri. Saat ini masalah ganguan jiwa semakin meningkat. Beban hidup yang semakin
berat, diperkirakan menjadi salah satu penyebab bertambahnya klien gangguan jiwa.
Terutama karena meningkatnya harga-harga semua bahan pokok, BBM dan adanya era
globalisasi.
Pada kasus diatas, klien yang bunuh diri tersebut, penyebabnya adalah karena gangguan
sosial atau lingkungan yang berupa stressor psikososial yaitu masalah keuangan.
Gangguan jiwa saat ini tidak hanya mengenai orang-orang yang merupakan kalangan

15
kelas bawah, tapi sekarang gangguan jiwa dapat menyerang baik itu orang kalangan
bawah, menengah maupun kelas atas. Jika seseorang tidak dapat beradaptasi dengan baik
dalam lingkungan dan tidak dapat berusaha menghadapi masalah-masalah dalam
hidupnya maka seseorang akan cenderung untuk mengalami gangguan jiwa. Dari
berbagai penyebab itulah maka satu demi satu akan muncul tindakan-tindakan yang
dapat dikatakan sebagai suatu penyelewengan atau pengingkaran diri akan kondisi atau
kenyataan yang ada. Pasien cenderung tidak mampu menerima kondisi yang ada
sehingga muncul suatu keinginan untuk melakukan hal-hal yang tidak bertanggung
jawab tersebut. Dan dalam kasus ini pun cenderung akhir dari segala pengingkaran diri
pasien adalah dengan melakukan bunuh diri.
Bunuh diri merupakan salah satu tindakan yang menjadi trend issue dalam keperawatan
jiwa. Tanpa dibatasi umur, status ekonomi, tingkat pendidikan bahkan beban kerja yang
dipikul bunuh diri menjadi suatu alternatif terakhir dalam menyelesaikan masalah yang
dianggap berat untuk dihadapi. Pola pikir inilah yang seharusnya menjadi pusat garapan
perawat-perawat jiwa untuk meluruskan kembali persepsi yang berkembang di
masyarakat mengenai tindakan bunuh diri. Hal ini berguna untuk rehabilitasi pasien yang
pernah mencoba untuk melakukan tindakan tersebut dan juga untuk pencegahan
terjadinya tindakan ini yang semakin marak. Segala tindakan pencegahan dan rehabilitasi
ini tentu akan terlaksana dengan dukungan dari segala pihak baik pemerintah maupun
bidang kesehatan lainnya.

16
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa masalah ekonomi merupakan salah satu
masalah yang paling sering menyebabkan gangguan jiwa di Indonesia. Himpitan
ekonomi yang semakin besar dikarenakan penghasilan yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari dapat menjadi salah satu pencetus untuk seseorang bunuh
diri. Saat ini masalah ganguan jiwa semakin meningkat. Beban hidup yang semakin
berat, diperkirakan menjadi salah satu penyebab bertambahnya klien gangguan jiwa.
Terutama karena meningkatnya harga-harga semua bahan pokok, BBM dan adanya era
globalisasi.
Pada kasus diatas, klien yang bunuh diri tersebut, penyebabnya adalah karena gangguan
sosial atau lingkungan yang berupa stressor psikososial yaitu masalah keuangan.
Gangguan jiwa saat ini tidak hanya mengenai orang-orang yang merupakan kalangan
kelas bawah, tapi sekarang gangguan jiwa dapat menyerang baik itu orang kalangan
bawah, menengah maupun kelas atas. Jika seseorang tidak dapat beradaptasi dengan baik
dalam lingkungan dan tidak dapat berusaha menghadapi masalah-masalah dalam
hidupnya maka seseorang akan cenderung untuk mengalami gangguan jiwa.
Dari berbagai penyebab itulah maka satu demi satu akan muncul tindakan-tindakan yang
dapat dikatakan sebagai suatu penyelewengan atau pengingkaran diri akan kondisi atau
kenyataan yang ada. Pasien cenderung tidak mampu menerima kondisi yang ada
sehingga muncul suatu keinginan untuk melakukan hal-hal yang tidak bertanggung
jawab tersebut. Dan dalam kasus ini pun cenderung akhir dari segala pengingkaran diri
17
pasien adalah dengan melakukan bunuh diri. Bunuh diri merupakan salah satu tindakan
yang menjadi trend issue dalam keperawatan jiwa. Tanpa dibatasi umur, status ekonomi,
tingkat pendidikan bahkan beban kerja yang dipikul bunuh diri menjadi suatu alternatif
terakhir dalam menyelesaikan masalah yang dianggap berat untuk dihadapi. Pola pikir
inilah yang seharusnya menjadi pusat garapan perawat-perawat jiwa untuk meluruskan
kembali persepsi yang berkembang di masyarakat mengenai tindakan bunuh diri. Hal ini
berguna untuk rehabilitasi pasien yang pernah mencoba untuk melakukan tindakan
tersebut dan juga untuk pencegahan terjadinya tindakan ini yang semakin marak. Segala
tindakan pencegahan dan rehabilitasi ini tentu akan terlaksana dengan dukungan dari
segala pihak baik pemerintah maupun bidang kesehatan lainnya.
B. Saran
Seluruh perawat agar meningkatkan pemahamannya terhadap berbagai trend dan isu
keperawatan jiwa di Indonesia sehingga dapat dikembeangkan dalam tatanan layanan
keperawatan.

18
DAFTAR PUSTAKA

www.google.com

www.ilmukeperawatan.info

www.kafeilmu.com

19

Anda mungkin juga menyukai