Anda di halaman 1dari 4

Nama : Zafira Aldhayani Putri

Kelas :B
NIM : 20170510312
Mata Kuliah : Politik dan Pemerintahan Jepang
Uji Kompetensi 3 : Review

Japan’s Role in United Nations Peace Keeping Operation and Humanitarian Assistance

Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, Jepang keluar sebagai penjahat
perang. Jepang mendapatkan banyak sanksi, termasuk diantaranya tidak diperbolehkan untuk
mengembangkan atau menggunakan militernya. Pada awalnya, Jepang menerapkan paham
fukoku kyohei (negara yang kaya adalah negara yang militernya kuat) mengubah
kebijakannnya menjadi fukoku kenzai (negara yang kaya adalah negara yang ekonominya
kuat). Oleh karena itu, Jepang pun kini menjadi lebih concern terhadap isu-isu lingkungan
dan perdamaian. Sebagai bukti bahwa Jepang memberi perhatian lebih terhadap isu
perdamaian, maka Jepang memutuskan untuk bergabung dengan Peace Keeping Operation
(PKO).

Peace Keeping Operation (PKO) merupakan suatu operasi penjagaan perdamaian


yang berada di bawah naungan United Nations. Dapat diartikan bahwa PKO merupakan
operasi perdamaian dengan menggunakan personil militer tanpa adanya kekuatan untuk
menyerang. Operasi ini biasanya di kerahkan di negara-negara setelah terjadinya konflik.

Pada awalnya motivasi Jepang untuk begabung ke dalam PKO karena ingin
menunjukkan kepekaan Jepang terhadap isu-isu perdamaian. Setelah bergabung dengan PKO,
Jepang melihat adanya peluang untuk menjadi Dewan Keamanan PBB, sehingga Jepang
sangat memperhatikan perannya di dalam PKO. Jepang mempunyai peran dalam menyokong
finansial operasional PKO sebesar 15%. Akan tetapi, peran Jepang yang bertanggung jawab
akan perdamaian dunia mulai dipertanyakan oleh negara-negara lain. Jepang ingin mengubah
kebijakannya dalam operasi peacekeeping ini. Dalam perjalanan untuk mengubah
kebijakannya, Jepang mengalami beberapa kesulitan di mulai dari mereka yang pasca perang
dunia sudah tidak bisa menggunakan militer mereka, hingga masyarakat Jepang yang kontra
dengan rencana Jepang mengirimkan personil SDF.
Sebagai negara yang kalah perang, Jepang harus menerima konsekuensi, termasuk
dengan mengubah konstitusinya. Dimulai tahun 1889 hingga Perang Dunia II, Jepang
menggunakan Konstitusi Meiji dimana kekuasaan penuh di pegang oleh kaisar. Amerika
Serikat pada saat itu meminta Jepang untuk mengubah konstitusi ini karena hal ini
merupakan salah satu penyebab Jepang melakukan agresi pada masanya. Akhirnya, pada
tahun 1947, Jepang mengubah konstitusi ini menjadi Konstitusi Jepang. Dalam konstitusi ini
pula Jepang pada akhirnya mengubah arah kebijakannya yang awalnya negara dengan
kekuatan militer, menjadi negara non-militer dengan kekuatan ekonomi. Dalam sejarahnya,
pasal 9 konstitusi ini tidak mengalami perubahan kata sedikitpun, namun mengalami banyak
perluasan secara penafsiran yang disesuaikan dengan situasi internasional.

Di paparkan dalam paper tersebut, setidaknya ada 3 perluasan penafsiran pasal 9 dari
konstitusi Jepang, antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut. Perang Korea yang terjadi
pada tahun 1950, menyebabkan tentara Amerika Serikat yang berada di Jepang harus
dipindahkan ke Korea. Sehingga Jepang diminta untuk membentuk satuan militer untuk
pertahanan negaranya sendiri. Hal ini merupakan awal mula dari adanya self defense force,
yang merupakan hasil dari perluasan penafsiran konstitusi pertama. Selanjutnya, perluasan
penafsiran terjadi pada tahun 1980-an ketika Amerika Serikat meminta Jepang untuk
membentuk pasukan militer di wilayah perairan sekitar Jepang. Puncak dari perluasan
penafsiran pada akhirnya membuat Jepang memutuskan untuk bergabung ke dalam PKO di
tahun 1990, ketika terjadi Perang Teluk. Karena hal tersebut, Jepang pada akhirnya
berpartisipasi mendamaikan perang tersebut. Selanjutnya, konstitusi Jepang memiliki fungsi
sebagai tameng atau jaminan untuk menolak ajakan negara-negara besar untuk turut serta
dalam ekspansi militer internasional. Jepang merasa bahwa jika Jepang turut serta dalam
militer tersebut, perannya tidak cukup signifikan. Hal ini disebabkan oleh Jepang yang telah
mengubah arah kebijakannya untuk berfokus kepada ekonomi. Selain itu, fungsi pasal 9 ini
juga merupakan jaminan terhadap negara-negara di sekitar Jepang bahwa pengembangan
militer Jepang itu adalah untuk tindakan defensive saja, bukan untuk mengancam atau
menyerang negara lain.

Didalam paper kelompok ini mengambil studi kasus tentang peran Jepang sebagai
PKO dan Hummanitarian Assistance dalam Perang Teluk. Perang ini di anggap membawa
perubahan penting bagi Jepang karena 3 faktor berikut: (1) Tingkat individu, dimana orang-
orang Iraq mengambil sebanyak lebih dari 100 sandera Jepang, (2) Tingkat nasional, dimana
Jepang sangat bergantung pada 70% minyaknya di Teluk, sehingga apabila terjadi krisis dan
gangguan berkepanjangan, maka akan mengurangi persediaan dan merusak ekonomi nasional
Jepang yang merupakan sumber kekuatan Jepang. (3) Tingkat internasional, dimana krisis
tersebut menjadi ancaman perdamaian dan keamanan dunia internasional yang menjadi salah
satu fokus Jepang.

Adanya invasi Iraq ke Kuwait di respon langsung oleh Jepang dengan


memberlakukan larangan perdagangan, termasuk investasi, ekspor dan impor ke Iraq.
Selanjutnya, Jepang menunjukkan kontribusinya melalui dukungan finansial sebesar sekitar
13M USD atau setara dengan 20% dari biaya perang. Selanjutnya, satu-satunya kontribusi
manusia dari Jepang, yaitu untuk perang sendiri, Jepang telah mengirim enam kapal Pasukan
Bela Diri Maritim (MSDF) ke Teluk untuk menghilangkan ranjau.

Pada awal Perang Teluk, keputusan Jepang untuk membuat konstitusi di luar dari
ekonomi sangat di tentang. Maka dari itu, pada tahun 1990, Jepang membentuk RUU
UNPCB (United Nation Peace Cooporation Bill), yaitu kontribusi secara non-militer tanpa
harus mengirim pasukan SDF. Meskipun Jepang telah mengirimkan bantuan finansial secara
signifikan, hal tersebut malah membuat negara-negara yang mengirimkan pasukan ke PKO
seperti Amerika mengkritik Jepang. Karena beberapa kritik, RUU tersebut akhirnya ditarik.
Setelah beberapa bulan, akhirnya opini publik berubah karena keberhasilan Jepang dalam
menghilangkan ranjau. Hingga pada Juni 1992, di perkenalkan RUU baru, yaitu International
Peace Cooperation Law. RUU ini bertujuan untuk menyediakan mekanisme yang
memungkinkan untuk mengirim SDF keluar negeri. Akan tetapi, kegiatan IPCL ini terbatas
dengan harus memenuhi 5 kondisi sebelum disetujui oleh Diet, antara lain: terdapat
perjanjian gencatan senjata antara pihak yang berkonflik, partisipasi personil Jepang dapat
terjadi hanya dengan persetujuan dari pihak yang berkonflik, operasi pemeliharaan
perdamaian harus dilakukan tidak memihak, pemerintah Jepang memiliki hak untuk menarik
pasukannya jika ada persyaratan yang tidak tercapai, senjata kecil hanya dapat digunakan
untuk membela diri

Menurut evaluasi terhadap peran Jepang dalam PKO dan Humanitarian Assitance dari
kelompok ini, keterlibatan Jepang dalam peace keeping operation, merupakan upaya Jepang
dalam memenuhi kepentingan nasionalnya. Dengan adanya PKO ini, Jepang dapat
memberikan kepercayaan kepada negara lain agar mau bekerja sama dengan Jepang. Selain
itu, Diet Jepang menginginkan revisi dari 5 prinsip tersebut karena dianggap hal tersebut
justru menghalangi Jepang untuk menjalankan misinya dalam menjaga perdamaian dunia.
Kemudian prinsip tersebut berubah menjadi misi rush to rush, dimana Jepang mengirimkan
personilnya ke negara yang berkonflik, sehingga sewaktu-waktu jika di butuhkan, personil
tersebut dapat membantu tanpa adanya izin dari Diet. Selanjutnya, Jepang selalu
mempertimbangkan segala sesuatu tindakannya, termasuk dalam militer seperti, bagaimana
Jepang harus membantu negara lain, serta menyeimbangkan antara bantuan dalam bentuk
finansial maupun militer.

Anda mungkin juga menyukai