Anda di halaman 1dari 6

TUGAS REVIEW ARTIKEL

JAPAN’S MILITARY MODERNISATION:


A QUIET JAPAN-CHINA ARMS RACE AND GLOBAL POWER
PROJECTION
Penulis : Christopher W. Hughes
Reviewer : Meilisa Jibrani/151200090

Pendahuluan
Kekuatan militer Jepang pada periode Perang Dunia II menunjukkan mobilisasi
yang agresif dan offensive. Armada militer Jepang juga sangat berperan penting
dalam sejarah terjunnya negara tersebut pada masa Perang Dunia II. Pada tahun
1941, Jepang mampu melakukan pengeboman ke Pearl Habour sebagai bentuk
antisipasi atas kekhawatiran kaisar Jepang akan intervensi AS di peperangan Asia
Pasifik. Momentum itulah yang menjadi sebab AS dan Sekutu menyatakan perang
terhadap Jepang yang saat itu beraliansi blok poros. Selain itu, militer Jepang juga
mampu menyerang Malaysia,Filipina, Singapura, Thailand, dan Hong Kong. Pada
akhirnya, Jepang juga melakukan kolonialisasi di wilayah-wilayah Asia Tenggara
termasuk salah satunya Indonesia.
Namun, kekalahan Jepang atas Sekutu pada tahun 1945 membuat negara itu
harus mengubah kebijakan militernya seratus delapan puluh derajat. Lewat
perjanjian San Francisco, Jepang harus tunduk pada militer Amerika Serikat dan
merelakan beberapa wilayahnya dijadikan pangkalan militer. Setelah itu, Amerika
dan sekutu memberlakukan demiliterisasi dan demokratisasi di Jepang. Tindakan
demiliterisasi yang dilakukan AS terhadap Jepang pasca Perang Dunia II adalah
dengan pembubaran militer Jepang pada 1946 dan pemberlakuan konstitusi baru
yang selanjutnya terdapat Artikel 9 Konstitusi Jepang yang memastikan Jepang tidak
ikut berperang kembali. Meskipun menghilangkan kekuatan dan segala bentuk
kebangkitan militer, pihak Sekutu masih memungkinkan Jepang untuk kembali
menata perekonomiannya.
Meskipun telah disebutkan bahwa segala bentuk militerisme di Jepang dilarang
pasca Perang Dunia II, perubahan situasi politik dunia mengharuskan Jepang untuk
memiliki pertahanan militernya sendiri. Hal ini didasari atas ditariknya pasukan
Amerika Serikat dari Jepang ke Korea Selatan dalam Perang Korea. Hal ini membuat
Jepang tidak memiliki pasukan pertahanan sama sekali. Untuk itu, pada tahun 1952
Jepang membentuk National Safety Agency (NSA) yang akhirnya berubah menjadi
Japanese Self-Defense Forces (JSDF) pada tahun 1954. Karena dibentuk hanya
untuk tujuan pertahanan domestik, mobilisasi JSDF cenderung defensif. Operasi
militer mereka juga terbatas pada pulau-pulau kecil di Jepang dan larangan operasi
luar negeri.
Namun, kebijakan tersebut berubah setelah Junichiro Koizumi menjabat
sebagai Perdana Menteri Jepang pada tahun 2001. Jika sebelumnya JSDF hanya
terbatas pada pulau-pulau di Jepangb dan pasif di dunia internasional, di era Koizumi
militer Jepang justru lebih proaktif.
Beberapa pembaharuan kebijakan terhadap militer dari era post-Koizumi inilah
yang menjadi fokus pembahasan dalam artikel ini. Penulis berfokus kepada JSDF.
Artikel ini juga membahas tentang apa saja dan bagaimana situasi politik dunia
mampu mendorong Jepang untuk memperbaharui sistem militernya termasuk
didalamnya munculnya China sebagai salah satu negara yang gencar meningkatkan
kapabilitas militernya. Disamping itu, dijelaskan juga tantangan yang dihadapi
Jepang dalam membangkitkan kembali kekuatan militernya sebagai konsekuensi
atas demiliterisasi yang telah disebutkan diawal pembahasan review ini. Pada bagian
akhir artikel, penulis juga menjelaskan tentang kapabilitas apa saja yang dimiliki
JSDF.

Ringkasan Artikel
Artikel ini memiliki empat poin bahasan utama yaitu pertama tentang posisi
kemanan Jepang di dunia internasional. Bab ini secara garis besar membahas apa
saja yang menjadi ancaman internasional Jepang mulai dari dianggap menurunnya
kapabilitas militer AS dengan adanya Black September, hingga China yang secara
diam-diam meningkatkan anggarannya dalam pembelanjaan militer. Bahasan yang
kedua adalah tentang perluasan doktrin-doktrin pertahanan yang salah satunya
adalah dengan pembaruan National Defense Guideline dan Mid-Term Defence
Programme (MTDP). Selanjutnya, dibahas pula bagaimana sistem anggaran yang
diterapkan Jepang untuk sektor pertahanan, termasuk juga didalamnya tantangan
yang dihadapi Japan Ministry of Defense (JMOD) akibat pembatasan anggaran dan
cara mereka menghadapinya. Terakhir, artikel ini membahas tentang kapabilitas
yang dimiliki JSDF dan modernisasi apa saja yang ada didalamnya.
Pada pembahasan pertama, penulis memaparkan ancaman keamanan yang
dihadapi Jepang dari dunia internasional sehingga mendorong negara tersebut untuk
melakukan pembaruan militer. Jepang fokus akan ancaman yang datang dari Korea
Utara terkait misil balistik dan program nuklirnya. Selain itu, Jepang juga khawatir
akan ancaman lewat laut yaitu terkait serangan kapal selam mata-mata di laut
teritorinya. Disamping Korea Utara, progress China dalam hal militerisasi juga
menjadi fokus keamanan Jepang. Agenda lain dari Jepang adalah berubahnya
situasi politik dunia akibat adanya peristiwa Black September. AS juga mendorong
Jepang untuk menjadikan terorisme menjadi prioritas ancaman yang mesti
dimusnahkan.
Pembahasan kedua berfokus pada pemaparan perubahan National Defense
Guideline (NDPG) dan Mid-Term Defence Programme (MTDP) tahun 2004.
Perubahan yang dipaparkan meliputi outline cakupan ancaman-ancaman baru yang
dihadapi Jepang didunia internasional, penekanan terhadap kerjasama militer
Jepang-Amerika Serikat, serta tambahan prioritas terhadap keamanan regional.
Untuk mengakomodasi agenda baru tersebut, Jepang juga memperkuat JSDF mulai
dari memperkuat rantai komanda hingga memperintens operasinya bersama
pasukan AS dan PBB.
Pembahasan ketiga dalam artikel ini berfokus pada anggaran Jepang terhadap
sektor keamanan. Sektor keamanan di Jepang mengalami kendala akibat anggaran
yang amat dibatasi. Adanya prinsip anti-militerisme sebagai dampak demiliterisasi
oleh AS di awal pasca Perang Dunia kedua membuat JMOD harus mencari cara lain
untuk mencari dana. Untuk itu, Jepang menerapkan pembayaran yang ditangguhkan
(saimu futan koi) untuk pembelian alutsista.
Terakhir, artikel ini membahas tentang kapabilitas JSDF Jepang. Penulis
memaparkan apa saja yang diupgrade oleh Jepang sebagai bentuk modernisasi
untuk mengimbangi kekuatan global seperti China. Contohnya ASDF yang
memperkuat diri dengan pengadaan F-2 Fighter Bomber, GFDS dengan pengadaan
helikopter CH-47JA, dll.
Evaluasi
Dalam artikel tersebut dipaparkan bahwa sektor pertahanan Jepang, dibawah
kepemimpinan Shenzo Abe, mengalami perubahan arah yang cukup radikal. Abe
mengubah kebijakan keamanan Jepang menjadi lebih proaktif dengan menekankan
hubungan militer dengan Australia, US, India, dan NATO. Sayangnya, pada 2008
Abe turun dari jabatannya dan digantikan oleh Fukuda Yasuo. Penulis setuju bahwa
visi Abe dalam memaksimalkan militer Jepang di dunia internasional diiringi dengan
kebijakannya yang radikal.
Salah satu argumen yang dipaparkan oleh artikel ini tentang keradikalan
Shenzo abe adalah soal revisi Artikel 9 Konstitusi Jepang. Dalam artikel lain yang
berjudul “Differences In Japan’S Security Policy: Comparison Of Military Spendings”,
dijelaskan bahwa Abe merevisi interpretasi dari artikel tersebut. Revisi tersebut
diterima oleh Kabinet Jepang pada tahun 2014 dan memungkinkan Jepang dalam
mengirimkan bantuan militer ke negara-negara yang dianggap memiliki hubungan
baik dengan Jepang. Upaya ini menurut penulis adalah bukti Abe dalam
menjalankan kebijakan militer yang lebih aktif di dunia internasional.
Poin menarik lainnya yang dipaparkan dalam artikel ini tentang anggaran militer
Jepang adalah bahwa pemerintah Jepang membatasi anggaran di sektor pertahanan.
Faktanya, alokasi anggaran untuk kebutuhan pertahanan Jepang memang termasuk
kecil di dunia. Namun, pada masa pemerintahan Perdana Menteri Shenzo Abe,
sektor pertahanan mendapat perhatian lebih. Hal ini dibuktikan oleh data berikut:

Dari data tersebut dapat kita lihat bahwa Jepang mengalokasikan tepat 1%
anggaran dari GDP-nya untuk sektor pertahanan. Meskipun angka tersebut termasuk
termasuk yang paling kecil didunia, jika dibandingkan dari jumlahnya, Jepang
mampu menduduki peringkat ke-9 dengan pengeluaran di sektor pertahanan
sebesar 45.8 bln USD.
Menteri pertahanan memanfaatkan alokasi anggaran tersebut untuk
pembaruan dibidang informasi dan komunikasi, pemantauan terhadap pulau-pulau
kecil di Jepang, respons untuk penyerangan misil balistik, respon terhadap
cyberspace, dan kerja sama militer internasional. Abe menyetujui kenaikan anggaran
untuk sektor pertahanan tersebut sebagai respon Jepang atas isu sengketa wilayah
dengan China terkait klaim perbatasan di Laut China Timur. Sejalan dengan visi Abe
yang melihat kebangkitan militer China sebagai ancaman1.
Meskipun dalam artikel lebih diuraikan kekhawatiran Jepang atas China bukan
saja terkait progress China akan pengadaan senjata militer seperti yang dipaparkan
dalam artikel, namun juga terkait isu sengketa Laut China Timur. Pada tahun 2021,
militer Jepang berhasil mendeteksi adanya kapal selam milik China yang masuk ke
teritorinya. Usaha spionase China inilah yang juga menjadi faktor pendorong bagi
Jepang untuk terus menambah kekuatan militernya.

Kesimpulan
Meskipun Jepang merupakan negara yang awalnya mengalami demiliterisasi
militer oleh sekutu. Namun, pada akhirnya militer di negara tersebut dapat bangkit
karena beberapa pendorong salah satunya berubahnya situasi politik dunia sehingga
memunculkan bentuk-bentuk ancaman baru bagi Jepang. Ancaman yang dimaksud
yaitu pertama, adanya penarikan pasukan AS dari Jepang ke Korsel yang
mengharuskan Jepang memiliki pertahanan militer sendiri. Kedua, progress yang
signifikan atas militerisasi di China. Ketiga, kegiatan Korea Utara terkait uji coba misil
balistik. Serta dorongan AS untuk turut proaktif dalam menyerukan isu terorisme
sebagai ancaman global.
Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Koizumi dan setelahnya, kebijakan
militer Jepang dikonstruksikan lebih proaktif dengan range agenda yang lebih baru
seperti memasukkan keamanan regional sebagai prioritas, meningkatkan jumlah
armada militer, serta menekankan kerja sama dengan militer US serta PBB.
Meskipun sempat mengalami kendala dalam hal anggaran, Jepang akhirnya berhasil
mencari jalan keluar lewat penangguhan dana. Modernisasi yang dilakukan Jepang
atas militernya bukan hanya mencakup pengadaan alutsista namun juga direvisinya

1
Lucia Borosova dan Jana Drutarovska, “Differences In Japan’S Security Policy:Comparison Of Military Spendings”, Actual
Problem of Economic no. 4. 2016.
kebijakan National Defense Guideline (NDPG) dan Mid-Term Defence Programme
(MTDP).
Penulis menggarisbawahi argumen dalam artikel yang mengatakan bahwa
sektor pertahanan Jepang, dibawah kepemimpinan Shenzo Abe, mengalami
perubahan arah yang cukup radikal. Disini penulis menambahkan argumen tersebut
bahwa yang dimaksud radikal dapat dilihat dengan kebijakan Abe dalam
meningkatkan anggaran pertahanan Jepang. Selain itu, Abe juga merevisi
interpretasi dari Artikel 9 Konstitusi Jepang yang akhirnya disetujui oleh Parlemen
Jepang pada tahun 2014. Revisi tersebut akhirnya mengakomodasi militer Jepang
untuk mengirimkan bantuan luar negeri ke negara-negara yanhg dianggap memiliki
hubungan dekat dengan Jepang. Abe juga memfokuskan kebijakan militernya
kepada hubungan intens kepada NATO yang mana bertujuan untuk menekan
kebangkitan China. Meskipun terkesan radikal dan mendapat banyak protes dari
masyarakat, Amerika Serikat tampak membuka peluang bagi Jepang untuk
kebangkitan militernya. Hal ini disebabkan karena meskipun Jepang memiliki milter
yang memadai, pada akhirnya militer Jepang tetap bertumpu kepada AS.

Anda mungkin juga menyukai