Anda di halaman 1dari 21

Kurikulum 2013 Revisi K

e
l
a
s

sejarah indonesia XI

PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA DARI


SEKUTU (BAGIAN I)

SEMESTER: 2, KELAS XI SMA/MA/SMK/MAK

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan
sebagai berikut.
1. Mampu menganalisis penyerahan kekuasaan Jepang kepada Sekutu.
2. Mampu menganalisis sebab dan terjadinya pertempuran Medan Area.
3. Mampu menganalisis sebab dan terjadinya pertempuran Ambarawa.
4. Mampu menganalisis sebab dan terjadinya pertempuran Surabaya.
5. Mampu menganalisis sebab dan terjadinya peristiwa Merah-Putih di
Manado.

A. Penyerahan Kekuasaan dari Jepang kepada Sekutu


Pada sesi ini, akan diulas kembali tentang kekalahan Jepang atas Sekutu.
Jepang mengalami keunggulan atas kekuatan militer Amerika ketika
penyerangan ke Pearl Harbour, pada 1941. Pada tahun 1942, dengan
waktu yang singkat, Jepang dapat menguasai wilayah Asia Timur, Asia
Tenggara, dan sebagian besar pulau-pulau di Kepulauan Pasifik. Akan
tetapi, diluar perkiraan Jepang, Amerika Serikat mampu menyusun
kembali kekuatannya dan bersiap untuk perang menghadapi Jepang
dalam Perang Dunia di zona Pasifik.
Penyerangan Jepang selanjutnya, pada 1942 ke Midway menemui
kegagalan karena Amerika telah mengetahui sandi rahasia Jepang dan
mengetahui strategi yang digunakan oleh Jepang. Atas kekalahan ini,
Jepang akhirnya hanya mampu bertahan dan tidak dapat bergerak lebih
jauh untuk dapat mengalahkan Amerika.
Dengan keunggulan yang dimiliki ini, Amerika mulai merebut satu
persatu pulau-pulau di Kepulauan Pasifik. Tujuan akhirnya adalah untuk
melakukan serangan langsung kejantung pertahanan Jepang. Sekutu
mulai menghancurkan armada angkatan laut Jepang dengan operasi
kapal selam dan pengunaan ranjau-ranjau laut.
Pada tahun 1944, keadaan Jepang di Perang Pasifik semakin terdesak.
Amerika Serikat dibawah pimpinan Laksamana Nimitz telah berhasil
menduduki pulau-pulau penting seperti Pulau Saipan, Tidian, dan Guan.
Pendudukan pulau-pulau ini membuat Sekutu dapat langsung melakukan
serangan ke Jepang. Pada April 1945, tentara Amerika telah berhasil
merebut Okinawa.
Sementara itu, Jenderal Angkatan Darat AS, Douglas Mac Arthur
dengan taktik loncat kataknya telah berhasil menduduki Holandia
(Papua), lalu bergerak merebut Filipina. Melalui pangkalan Biak dan
Morotai, Angkatan Laut Sekutu menghujani pertahanan militer Jepang di
Sulawesi, Maluku, Semarang, dan Surabaya dengan bom.
Amerika memanfaatkan kekuatan udaranya untuk melakukan
pengeboman di seluruh tempat pendudukan Jepang. Di Jepang sendiri,
serangan udara Amerika dilakukan di berbagai kota di Jepang dan
memakan korban yang sangat banyak. Dengan serangan yang semakin
massif, ternyata tidak membuat Jepang menyerah kepada sekutu, bahkan
Jepang sudah menyiapkan strategi terakhir untuk melakukan pertahanan
habis-habisan, yaitu pertahanan kyutsu. Jepang sebenarnya sudah kalah
dalam armada perang dan jumlah personel, tapi Jepang masih mampu
menggerakan milisi sipil untuk mendukung agar perang tetap berlanjut.

2
Kekalahan dan penyerahan Jerman pada 8 Mei 1945 tidak memengaruhi
Jepang untuk ikut menyerah. Amerika tidak mau melakukan serangan
langsung karena akan menimbulkan banyak korban jiwa. Atas dasar
perhitungan tersebut Amerika mempersiapkan strategi baru, yaitu
menggunakan senjata nuklir untuk memaksa Jepang menyerah. Bom
atom yang diperkirakan dapat memberikan daya hancur yang lebih besar
dipersiapkan oleh Amerika dan menargetkan kota-kota industri militer
dan basis militer Jepang. Di lain sisi, Uni Soviet mengalihkan pasukannya
ke daerah Mancuria secara diam-diam dan bersiap untuk melakukan
penyerangan ke Jepang.
Akhirnya, Amerika menggunakan bom atom untuk pertama kali
pada 6 Agustus 1945 di Kota Hiroshima dan membuat Jepang terkejut.
Akan tetapi, Jepang masih bergeming untuk menyerah. Pemboman
selanjutnya pada 9 Agustus 1945 di Nagasaki mulai membuat ragu tentara
Jepang. Tidak hanya karena senjata baru Amerika, tetapi Uni Soviet telah
mengumumkan perang dan menyerang Mancuria. Kondisi ini tentu
membuat Jepang terdesak karena dikepung dari dua sisi sekaligus. Atas
dasar inilah pemerintahan Jepang mulai memikirkan cara agar dapat
mengakhiri perang dan menghindarkan Jepang dari kehancuran. Dengan
demikian, pada 15 Agustus 1945 diumumkanlah penyerahaan Jepang atas
Sekutu oleh Kaisar Hirohito.
Menyerahnya Jepang, tidak serta
merta mengakhiri pendudukannya
di wilayah yang dikuasainya. Akan
tetapi, mereka menjalankan status
quo, sambil menunggu penyerahan
kekuasaan kepada Sekutu. Penyerahan
Jepang atas Sekutu resmi dilakukan
pada tanggal 2 September 1945, di atas
kapal USS Missouri. Gambar 1. Jepang menyerah kepada
Dalam penyerahan kekuasaan Sekutu di Kapal USS Missouri
ini, Jepang diwakili oleh Menteri Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/
Menyerahnya_Jepang
Luar Negeri Shigemitsu sebagai

3
wakil pemerintah sipil dan Jenderal Umezu sebagai wakil militer.
Amerika sendiri diwakilkan oleh Jenderal Douglas MacArthur.
Perjanjian penyerahan ini semakin diperkuat lagi dengan Perjanjian San
Francisco (Treaty of San Francisco) antara pihak Sekutu dan Jepang, pada
tanggal 8 September 1951 di San Francisco, California. Perjanjian yang
ditandatangani oleh 49 negara ini berlaku efektif sejak 28 April 1952.

1. Penyerahan Jepang di Indonesia


Sebagai pihak yang kalah perang dan telah menandatangani penyerahan
kekuasaan, Jepang harus menarik semua pasukan di wilayah Asia,
termasuk Indonesia. Pengalihan kekuasaan ini akan diatur oleh SEAC
(South East Asia Command) yang berkedudukan di Singapura, dibawah
pimpinan Lord Mountbatten. Pelucutan senjata dan pemulangan tentara
Jepang di Indonesia dilakukan oleh AFNEI (Allied Forces Netherland East
Indies).
Ada pun tugas AFNEI adalah sebagai berikut.
a. Menerima penyerahan kekuasaan dari tentara Jepang.
b. Melucuti persenjataan dan memulangkan tentara Jepang.
c. Mencari dan melakukan penuntutan terhadap penjahat perang.
d. Membebaskan tawanan perang Sekutu yang ditawan oleh tentara
Jepang.
Pasukan AFNEI dibagi menjadi 2 pasukan pendaratan. Pasukan
AFNEI Inggris, dibawah pimpinan Sir Philip Christisson, bertugas
melucuti senjata tentara Jepang yang berada di pulau Sumatra dan Jawa.
Sedangkan pasukan AFNEI Australia yang dipimpin oleh Albert Thomas
Blarney bertugas melucuti senjata tentara Jepang yang ada di pulau
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Pada 15 September 1945, pasukan AFNEI Inggris yang akan melucuti
senjata Jepang di Pulau Sumatra dan Jawa mendarat di Tanjung Priok
dengan menggunakan Kapal Chamberlain yang dipimpin oleh W.R.
Petterson. Pasukan ini juga turut membawa Nederlandsch Indië Civiele
Administratie (NICA) atau "Pemerintahan Sipil Hindia Belanda" dalam
pendaratannya.

4
Kedatangan NICA bersama Sekutu tidak lain adalah ingin menguasai
kembali wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang. NICA sendiri
dipimpin oleh Van Der Plass dan Van Mook. Kedatangan Inggris bersama
NICA ke Indonesia disebabkan Inggris terikat perjanjian rahasia dalam
Civil Affairs Agreement di Chequers, yang ditandatangani di London pada
24 Agustus 1945. Dalam perjanjian tersebut Inggris menyetujui untuk
bertindak atas nama Belanda dan pelaksanaan penyerahan kekuasaan
wilayah Indonesia akan diatur oleh NICA yang bertanggung jawab kepada
Sekutu.
Kedatangan NICA yang membonceng dengan AFNEI menyulut
perlawanan dari rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia yang ingin
mempertahankan kemerdekaannya dan tidak mau kembali dijajah
oleh pemerintahan asing melakukan perlawanan-perlawanan untuk
menentang militer asing yang kembali di Indonesia. Perlawanan ini
dilakukan oleh mantan pasukan-pasukan bentukan Jepang dan laskar-
laskar.

B. Pertempuran Medan Area


Pada pembentukan pemerintahan di sidang PPKI, Presiden Soekarno
menunjuk Mr. Teuku Muhammad Hasan sebagai Gubernur untuk wilayah
Sumatra. Mr. Teuku Muhammad Hasan mengunjungi Sumatra Utara pada
27 Agustus 1945 dan mengabarkan berita kemerdekaan Indonesia.
Menanggapi berita kemerdekaan Indonesia, Achmad Tahir mantan
perwira Gyugun, pasukan sukarela Jepang segera membentuk Barisan
Pemuda Indonesia. Dibawah pimpinan Achmad Tahir, barisan ini segera
merebut kantor-kantor pemerintahan pendudukan Jepang. Achmad Tahir
juga berhasil merebut persenjataan yang tersisa dan mempersenjatai
pasukannya. Setelah pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR),
Barisan Pemuda Indonesia kemudian bergabung dan menjadi TKR pada
10 Oktober 1945, yang anggotanya adalah gabungan dari prajurit bekas
Gyugun dan Heiho. Pasukan ini dibawah komando Achmad Tahir sendiri.
Selain TKR, diwilayah Sumatra terbentuk juga badan-badan pemuda lain
seperti Pemuda Republik Indonesia Sumatra Timur disingkat Pesindo.

5
Pada 9 Oktober 1945, Pasukan Sekutu, AFNEI dibawah pimpinan
perwira Inggris, T.E.D. Kelly mendarat di Kota Medan. Gubernur Sumatra,
Teuku Muhammad Hasan menerima kedatangan pasukan Sekutu dengan
bendera AFNEI karena alasan kemanusian karena AFNEI mempunyai tugas
untuk membebaskan tawanan perang Belanda yang ditahan oleh Jepang,
di kamp-kamp tahanan perang di Rantau Prapat, Pematang Siantar dan
di daerah Brastagi. Setelah dibebaskan oleh AFNEI, para bekas tawanan
perang ini untuk dikumpulkan dan ditempatkan disejumlah hotel di kota
Medan. Akan tetapi, ternyata kedatangan Sekutu juga bersama NICA
yang bertugas untuk mengambil alih pemerintahan sipil dari tangan
pendudukan Jepang.
Pada 13 Oktober 1945, terjadi insiden perampasan dan penginjakan
lencana merah putih yang dipakai seorang pemuda. Kejadian ini terjadi di
sebuah hotel di Medan, di jalan Bali kota Medan, dimana banyak terdapat
bekas tawanan perang yang dibebaskan. Hal ini mengundang kemarahan
dari kalangan pemuda sehingga terjadi penyerbuan ke dalam Hotel.
Dalam insiden ini sedikitnya 8 orang dari pihak Sekutu meninggal dunia,
96 tentara NICA luka parah, sedangkan dari pihak Indonesia meninggal 1
orang.
Insiden di hotel tersebut segera menyebar dan menyebabkan gerakan
anti-Belanda. Pada tanggal 16 Oktober 1945, sebuah kelompok pemuda
yang dipimpin oleh Bedjo, merampas persenjataan Jepang dan melakukan
penyerbuan terhadap markas tentara Belanda di daerah Glugur Hong dan
Halvetia, Pulo Brayan. Serangan ini menewaskan 5 orang serdadu KNIL.

1. Ultimatum Pertama
AFNEI yang bertugas untuk menerima penyerahan dan pelucutan senjata
dari Jepang, terkejut dengan insiden-insiden ini. Untuk mengatasi ini,
AFNEI mengeluarkan ultimatum pada 18 Oktober 1945 tentang:
a. melarang rakyat membawa senjata api maupun senjata tajam;
b. melarang komandan pasukan Jepang menyerahkan senjata kepada
TKR atau Laskar;
c. semua senjata harus diserahkan kepada pasukan Sekutu.

6
Ultimatum ini dikeluarkan karena banyaknya para pemuda yang
mulai mempersenjatai diri dengan senjata hasil rampasan dari Jepang.
Selain itu, untuk menghindari kontak senjata seperti yang terjadi pada
beberapa hari sebelumnya. Tentara Sekutu juga melakukan razia ke
beberapa tempat di Kota Medan pada 23 Oktober 1945 dan menyita
senjata, bom tangan, dan senjata tajam.

2. Ultimatum Kedua
Pada 1 Desember 1945, pihak
Sekutu memasang sejumlah
papan yang bertuliskan "Fixed
Boundaries Medan Area" (batas
resmi wilayah Medan) di berbagai
tempat di Kota Medan. Aksi ini
memicu kemarahan pemuda
yang berada di Medan karena hal
ini berarti menginjak kedaulatan
wilayah Indonesia, yang saat itu Gambar 2. Pasukan TKR menuju Medan
juga telah memiliki perwakilan Area
pemerintahan. Pada 2 Desember Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/
Pertempuran_Medan_Area
1945, 2 tentara Inggris dibunuh
oleh TKR di Kampung Sungai Sengkol. Pada 4 Desember 1945 juga
terdapat penyerbuan Bioskop Oranje dan penyerbuan markas Pesindo
oleh tentara Inggris. Untuk membalas serangan ini, pada tanggal 7–9
Desember 1945 TKR menyerbu markas-markas Sekutu.
Bentrok antara Sekutu dan rakyat Medan tidak dapat dihindari, pada
10 Desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan sebuah serangan besar
markas TKR di Deli Tua. Serangan ini menimbulkan banyak korban di
kedua belah pihak. Setelah saling serang antara TKR dan pasukan Sekutu,
akhirnya Jenderal T.E.D Kelly mengeluarkan ultimatum kedua yang berisi:
a. bangsa Indonesia dilarang membawa senjata di dalam kota Medan
dan pada radius 8,5 km sekitar kota Medan; dan
b. bagi yang melanggar akan ditembak ditempat.

7
Pertempuran demi pertempuran terjadi hingga pada April 1946,
tentara Sekutu berhasil menduduki Kota Medan dan mengakibatkan pusat
pemerintahan Gubernur dan Markas Divisi TKR pindah ke Pematang
Siantar, sementara itu perlawanan laskar-laskar dipindahkan keluar Kota
Medan.

3. Membangun Komando Gabungan


Kekalahan yang terjadi di pihak Indonesia disebabkan oleh serangan
yang tidak terkoordinasi dengan baik. Atas masalah ini, sekitar Agustus
1946, seluruh pemuda dibawah Napindo dari PNI, Barisan Merah dari
PKI, Pesindo, Hisbullah dari Masyumi, dan Pemuda Parkindo bergabung
dan membentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Di bawah
komando Kapten Nip Karim dan Marzuki Lubis dipilih sebagai Kepala
Staf Umum.
Para pemuda di Kabanjahe pada 19 Agustus 1946, membentuk Barisan
Pemuda Indonesia (BPI). Barisan pemuda Kabanjahe bertujuan untuk
membebaskan Medan. BPI dipimpin oleh Matang Sitepu dan berubah
nama menjadi Komando Resimen Laskar Rakyat -Tanah Karo.
Di pihak Belanda, demi mengamankan objek vital di Sumatra,
pada awal Oktober 1946, Belanda mendaratkan satu batalion pasukan
bersenjata dari negeri Belanda dan satu batalion KNIL dari Jawa Barat ke
Medan.

4. Persiapan Serangan Bersama


Untuk membebaskan Medan dari kependudukan tentara Sekutu dan
NICA, resimen-resimen ini mengadakan operasi gabungan. Hal ini
dilakukan untuk menciptakan serangan yang terkoordinasi dan membuat
kerusakan yang membuat Sekutu dan NICA segera angkat kaki dari Kota
Medan. Oleh karena itu, Disusunlah penyerangan yang akan dilakukan
pada tanggal 10 Oktober 1946. Pada penyerangan tersebut ditergerkan
pada tiga titik area berikut.
a. Penyerbuan pertama, merebut wilayah Medan Timur yang meliputi
Kampung Sukarame di wilayah Sungai Kerah. Penyerbuan di sana

8
akan dipimpin oleh Bahar bersama resimen laskar rakyat. Batalion ini
direncanakan akan menduduki Pasar Tiga di Kampung Sukarame.
b. Penyerbuan kedua, merebut wilayah Medan Barat yang meliputi
wilayah Petisah, Padang Bulan, dan Jalan Pringgan. Penyerbuan akan
dilakukan oleh batalion B, yang terdiri dari resimen laskar rakyat dan
pasukan Ilyas Malik. Batalion ini direncanakan menduduki Jalan
Pringgan, Kuburan Cina, dan Jalan Binjei.
c. Penyerbuan ketiga, merebut wilayah Medan Selatan, yang serangannya
terpusat di Kota Matsum, direncanakan terjadi pada 27 Oktober 1946
tepat pada pukul 8 malam, di sepanjang Jalan Medan-Belawan untuk
menduduki jalan Mahkamah dan jalan Utama Medan. Penyerbuan
akan dilakukan oleh Batalion 2.

5. Akhir Pertempuran
Perjuangan rakyat Medan terus berlangsung untuk merebut wilayah
Sumatra Utara dari tangan Sekutu. Pertempuran ini dapat diakhiri
setelah sebelumnya pemerintah RI dan Belanda melakukan perundingan
Linggarjati pada sekitar bulan November 1946. Pada 15 Februari
1947, Komite Teknik Gencatan Senjata dari pihak NICA melakukan
perundingan untuk mengakhiri pertempuran Medan Area. Pada 10 Maret
1947 ditentukanlah batas sekitar 8.5 km yang melingkari Kota Medan
dan Belawan, untuk membagi wilayah yang diduduki oleh NICA dan
wilayah pendudukan TKR. Batas-batas tersebut tersebut ditandai dengan
patok, setelah pamasangan patok masih terdapat bentrokan kecil di
Medan. Setelah berakhirnya Medan Area, Belanda melaksanakan Agresi
Militernya yang pertama.

C. Pertempuran Ambarawa
Pada 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal
Bethell mendarat di Semarang. Pasukan Sekutu ini datang dengan tujuan
mengurus tawanan perang Belanda dan tentara Jepang yang berada di
sekitar Jawa Tengah. Kedatangan Sekutu ini awalnya disambut baik oleh
pemerintah Indonesia, Mr Wongsonegoro selaku Gubernur Jawa Tengah,

9
bahkan menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan
lain bagi kelancaran tentara Sekutu. Sebagai imbalannya, Sekutu tidak
akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, semuanya tidak seperti yang direncanakan, pasukan Sekutu
datang bersama NICA yang bertugas untuk mengambil alih pemerintahan
sipil. Setibanya di Ambarawa dan Magelang, NICA membebaskan para
tentara Belanda yang ditawan dan setelah dibebaskan dipersenjatai
sehingga menimbulkan kemarahan dari pihak Indonesia. Kontak senjata
pun terjadi di Kota Magelang hingga meletus menjadi pertempuran
pada 26 Oktober 1945. Sekutu juga melakukan pelucutan senjata kepada
Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Atas aksi Sekutu tersebut, TKR Resimen
Magelang dibawah pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan
tersebut dengan mengepung markas tentara Sekutu dari segala penjuru.
Namun pertempuran ini dapat diredam, setelah Presiden Soekarno
berhasil menenangkan suasana. Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal
Bethell melakukan perundingan pada 2 November 1945, untuk melakukan
gencatan senjata. Isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pihak Sekutu akan tetap berada di Magelang untuk melakukan
tugasnya melindungi Palang Merah (Red Cross) dan melakukan
evakuasi pasukan Sekutu yang ditawan pasukan Jepang (RAPWI).
2. Pasukan Sekutu dibatasi jumlahnya sesuai dengan tugasnya.
3. Jalan raya Ambarawa dan Magelang dibuka sebagai lalu lintas tentara
Sekutu dan Indonesia.
4. Sekutu tidak mengakui aktivitas NICA dan semua badan yang ada di
bawahnya.
Pada 20 November 1945 ternyata pihak Sekutu melanggar perjanjian
yang telah disepakati sehingga terjadi pertempuran dengan tentara
TKR dibawah pimpinan Mayor Sumarto. Pasukan Sekutu yang terdesak
secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng
Ambarawa. Gerakan mundur tentara Sekutu ini dapat berjalan lancar
karena dilindungi oleh pesawat tempur.
Sementara itu, pada 21 November 1945 dari arah Magelang pasukan
TKR dan Divisi V/Purwokerto di bawah komando Imam Adrongi
melakukan serangan fajar dengan tujuan memukul mundur pasukan

10
Sekutu yang menduduki Desa Pingit. Pasukan Imam Adrongi berhasil
merebut Desa Pingit dan juga berhasil merebut desa-desa disekitarnya.
Pada 22 November 1945, pertempuran berkobar di dalam kota
Ambarawa dan pasukan Sekutu melakukan pengeboman terhadap
desa-desa di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR dibantu oleh pemuda dari
Salatiga, Boyolali, dan Kartosuro berhasil membentuk garis pertahanan
di sepanjang rel kereta api yang membelah wilayah Ambarawa. Pasukan
TKR dan Pemuda membentuk kubu pertahan di kuburan Belanda.
Sementara Batalion Imam Adrongi meneruskan gerakan
pengejarannya, datang 3 batalion yang berasal dari Yogyakarta, yaitu
batalion 10 Divisi III di bawah komando Mayor Soeharto, batalion 8
di bawah komando Mayor Sardjono, dan Batalion Soegeng. Dengan
kekuatan 4 batalion ini akhirnya musuh dapat dikepung.
Pada pagi hari, 23 November 1945 tembak-menembak terjadi.
Pasukan Sekutu bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di
jalan Margo Agoeng, Pasukan TKR yang bertempur adalah dari Batalion
Imam Adrongi, Batalyon Soeharto, dan Batalyon Soegeng. Walaupun
terdesak, pasukan musuh mencoba mematahkan pengepungan TKR
dengan mengadakan gerakan melambung dan mengancam kedudukan
pasukan Indonesia. Pada pertempuran ini tentara Sekutu mengerahkan
tawanan perang Jepang untuk membantunya. Pasukan sekutu yang
diperkuat tank berhasil menyusup ke tempat pendudukan Indonesia dari
arah belakang. Untuk mencegah jatuhnya banyak korban, pasukan TKR
mundur ke daerah Bedono. Dengan bantuan resimen kedua di bawah
komando M. Sarbini, batalion Polisi Istimewa di bawah komando Onie
Sastroatmojo, dan batalion dari Yogyakarta, gerakan melambung musuh
berhasil ditahan di Desa Jambu.
Di Desa Jambu ini para komandan sempat melakukan rapat koordinasi
yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar. Rapat itu sepakat untuk
membentuk komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran yang
bertempat di Magelang. Rapat menyepakati Ambarawa dibagi atas 4
sektor, yaitu sektor utara, sektor selatan, sektor barat, dan sektor timur.
Pasukan TKR akan bertempur secara bergantian.

11
Pada tanggal 26 November 1945 pada saat melakukan gerakan mundur,
tentara Sekutu berhasil menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan
Indonesia di bawah komando Letkol. Isdiman, bergerak membebaskan
kedua desa tersebut, namun Letkol. Isdiman gugur dalam pertempuran
ini. Gugurnya Letkol. Isdiman, membuat Komandan Divisi V Banyumas,
Kolonel Soedirman terjun langsung ke lapangan untuk memimpin
pertempuran. Kolonel Soedirman melakukan kordinasi di antara komando
sektor dan melakukan pengepungan ketat, untuk selanjutnya melakukan
serangan bersama di semua sektor. Tentara bantuan terus berdatangan
dari Solo, Yogyakarta, Magelang, Salatiga, Purwokerto, Semarang, dan
lain-lain.

Gambar 3. Soedirman di Palagan Ambarawa


Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Palagan_
Ambarawa

Pada 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, Kolonel Soedirman memimpin


serangan terhadap Sekutu. Serangan ditandai dengan tembakan mitraliur
terlebih dahulu, kemudian disusul oleh penembak-penembak karaben,
pertempuran pun berkobar di Ambarawa. Sekitar jam 6 pagi, jalan
raya Semarang-Ambarawa telah dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR.
Pertempuran Ambarawa berlangsung secara sengit. Kolonel Soedirman
memimpin pasukannya dengan menggunakan taktik gelar supit urang,
yaitu taktik pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga membuat
musuh benar-benar terkepung. Suplai logistik dan komunikasi pasukan
diputus dari pasukan induknya. Membuat musuh harus terkurung di

12
Benteng Willem, ditengah kota Ambarawa. Pasukan sekutu dikepung
selama 4 hari 4 malam.
Pada 15 Desember 1945 pertempuran di Ambarawa ini berakhir
dan TKR berhasil merebut Ambarawa, setelah bertempur selama 4 hari,
pasukan TKR akhirnya berhasil memaksa pasukan Sekutu mundur ke
Semarang. Pertempuran di Ambarawa merupakan pertempuran yang
penting bagi TKR karena wilayah Ambarawa yang strategis. Dengan
jatuhnya Ambarawa maka bisa dipastikan juga wilayah Magelang,
Surakarta, dan Yogjakarta akan jatuh ketangan Sekutu. Kemenangan atas
pertempuran Ambarawa diabadikan dengan didirikannya Monumen
Palagan Ambarawa, tanggal pertempuran diperingati sebagai Hari Juang
Kartika atau Hari Jadi TNI Angkatan Darat.

D. Pertempuran Surabaya
Di Surabaya terjadi suatu peristiwa heroik yang kemudian terkenal dengan
nama “Insiden Bendera”. Insiden ini dilatarbelakangi oleh Maklumat
Presiden Soekarno yang menyatakan bahwa mulai 1 September 1945, rakyat
wajib mengibarkan bendera Merah Putih diseluruh wilayah Indonesia.
Sebagian orang Inggris dan Belanda telah sampai ke Surabaya
dalam rangka pengurusan tawanan perang. Pada malam hari, 19
September 1945, dibawah pimpinan Mr. Ploegman, orang-orang Belanda
mengibarkan bendera Belanda di atas Hotel Yamato. Pengibaran
bendera itu membakar amarah dari rakyat Surabaya, kemudian massa
berkumpul dan semakin banyak. Residen Sudirman sebagai perwakilan
rakyat Surabaya, berunding dengan Mr. Ploegman agar bendera Belanda
tersebut diturunkan. Akan tetapi, perundingan gagal dan terjadi tembak-
menembak. Melihat perundingan yang gagal, rakyat Surabaya langsung
menerobos hotel Yamato dan terjadilah baku hantam di lobi hotel, antara
pemuda Surabaya dan orang-orang Belanda. Sebagian Pemuda memanjat
Hotel Yamato untuk menurunkan bendera Belanda dan mengantinya
dengan bendera Merah Putih.
Setelah peristiwa Hotel Yamato, pada 25 Oktober 1945, Brigade 49 di
bawah komando Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya

13
untuk menjalankan tugas AFNEI. Kedatangan pasukan ini awalnya
diterima oleh Gubernur Jawa Timur, Suryo.
Setelah kedatangan pasukan Inggris ini, diadakan pertemuan antara
pemerintah RI dengan Jenderal Mallaby. Pertemuan ini menghasilkan
kesepakatan sebagai berikut.
1. Inggris berjanji tidak membawa Angkatan Perang Belanda dalam
pasukannya.
2. Pemerintah RI dan tentara Inggris akan bersama-sama menjamin
keamanan dan ketentraman.
3. Pemerintah RI dan tentara Inggris akan membentuk “Kontak Biro”
bersama.
4. Tentara Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang saja.
Namun, pada 26 Oktober 1945, tentara Inggris, satu peleton dari Field
Security Section di bawah komando Kapten Shaw, melakukan penyerangan
ke penjara Kalisosok pada malam hari. Mereka berhasil membebaskan
Kolonel Huiyer dari Angkatan Laut Belanda, beserta pasukannya. Pada
keesokan harinya, Inggris mulai bergerak menduduki Pangkalan Udara,
Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, Tanjung Perak, dan objek-objek vital
di Surabaya lainnya. Atas aksi Inggris ini maka pecahlah pertempuran
pada 27 Oktober 1945 antara Indonesia melawan tentara Inggris.
Pasukan Indonesia dibantu oleh rakyat kembali merebut semua
tempat yang diduduki oleh tentara Inggris, sehingga pada 30 Oktober
1945, pasukan Inggris sudah dipukul mundur dan objek-objek vital
berhasil direbut kembali. Melihat kekacauan yang terjadi di Surabaya,
Jenderal D.C. Hawthorn selaku panglima Divisi 23 yang membawahi
Brigade 49, meminta bantuan Presiden Soekarno untuk meredakan
situasi. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta datang untuk
mengadakan perjanjian damai. Perjanjian damai tersebut memutuskan
untuk membentuk kontak biro, Indonesia diwakili oleh Residen Sudirman,
sedangkan dari pihak Inggris oleh Jenderal Mallaby.
Pada 30 Oktober 1945 ternyata pertempuran antara Inggris dengan
pemuda Surabaya masih berlangsung. Gedung Internatio, masih terdapat
kontak senjata antara tentara Inggris dan rakyat Surabaya yang ingin
merebut gedung tersebut. Jenderal Mallaby yang datang ke tempat

14
tersebut tertahan di luar gedung. Rakyat yang mengetahui kedatangan
Jenderal Mallaby, meminta Inggris untuk segera menyerah. Mobil yang
ditumpangi oleh Jenderal Mallaby meledak dan menewaskan Jenderal
tersebut. Kematian Jenderal Mallaby, membuat tentara Inggris marah.

Gambar 4. Mobil Jenderal Mallaby yang diledakan


Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_
Surabaya

Tembak-menembak yang terjadi di


gedung internatio merupakan sebuah
kesalahan karena Pasukan Inggris yang
berada disana tidak mendapat kabar
bahwa telah terjadi gencatan senjata
antara pihak RI dan Inggris. Hal ini
disebabkan oleh komunikasi radio yang
terputus. Jenderal Mallaby, awalnya
mencoba memerintahkan pasukan Inggris
untuk berhenti menembak. Akan tetapi, Gambar 5. Pasukan Inggris dalam
Pertempuran Surabaya
karena situasi kian memanas, Jenderal
Sumber: https://id.wikipedia.org/
Mallaby akhirnya memerintahkan untuk wiki/Pertempuran_Surabaya
melakukan penembakan ke kerumunan
masa. Penembakan itu berarti pembatalan genjatan senjata yang baru saja
ditandatangani. Penembakan itu akhirnya berakhir pada pembunuhan
Jenderal Mallaby sendiri.

15
Pada 9 November 1945, Mayor Jenderal E. C. R. Mansergh sebagai
pengganti Mallaby, mengeluarkan Ultimatum agar rakyat Surabaya
menyerah, melucuti persenjataan dan menghentikan perlawanan kepada
AFNEI dan NICA. Batas penyerahan diri ditentukan pada 10 November
1945, jam 06.00 pagi. Jika ultimatum ini diabaikan, akan dilakukan
serangan oleh Inggris dari Darat, Laut, dan Udara. Ultimatum Inggris
ini tidak dihiraukan oleh para pemuda dari Surabaya, bahkan mereka
mempersiapkan diri untuk menghadapi langsung gempuran Inggris.
Dengan demikian, pada 10 November 1945, pecahlah pertempuran
Surabaya.
Untuk menahan serangan Inggris, Kota Surabaya dibagi menjadi 3
sektor pertahanan, yaitu sektor pertahanan barat, timur, dan tengah.
Pertahanan sektor barat dipimpin oleh Kunkiyat, pertahanan sektor
timur dipimpin oleh Kadim Prawirodiarjo, sedangkan pertahanan sektor
tengah dipimpin oleh Marhadi.
Pertempuran pertama terjadi di Tanjung Perak, berlangsung hingga
jam 18.00. Pada pertempuran ini Inggris berhasil maju dan menguasai
garis pertahanan pertama. Gerakan maju dari pasukan Inggris didukung
dengan pengeboman dengan sasaran tempat yang diperkirakan markas
pemusatan pemuda. Sektor demi sektor pertempuran dipertahankan
secara gigih oleh pemuda Surabaya, walaupun dari segi senjata tidak
seimbang.
Banyaknya dukungan rakyat dalam pertempuran Surabaya ini tidak
lepas dari para ulama yang dipimpin oleh K.H Hasyim Asyari yang
mengeluarkan fatwa tentang resolusi jihad. Resolusi Jihad ini membuat
para santri-santri di sekitar Jawa Timur berdatangan ke Surabaya untuk
mambantu perlawanan rakyat Surabaya.
Isi Resolusi Jihad sebagai berikut.
1. Kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada 17
Agustus 1945 wajib untuk dipertahankan.
2. Republik Indonesia adalah satu-satunya pemerintahan yang sah,
yang harus dijaga dan ditolong.
3. Musuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Belanda.

16
4. Umat Islam terutama anggota Nahdlatul Ulama harus mengangkat
senjata melawan Belanda dan sekutunya, Inggris yang ingin kembali
menjajah Indonesia.
5. Kewajiban mengangkat senjata ini merupakan perang suci ( jihad)
dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam
wilayah radius 94 km dari medan pertempuran, sedangkan untuk
mereka yang tinggal di luar radius perang tersebut harus membantu
dalam bentuk material untuk mereka yang berjuang.
Dengan resolusi jihad tersebut, ulama-ulama pesantren NU, di bawah
KH Masjkur mengonsolidasi dalam Laskar Sabilillah, serta KH Zainul
Arifin memimpin Laskar Hizbullah yang berisi santri-santri muda.
Pengerahaan santri-santri oleh para ulama ini membuat pertempuran
Surabaya dapat berlangsung lama dan menyulitkan tentara Inggris.
Pada pertempuran ini, semangat pemuda-pemuda Surabaya juga
terus digelorakan melalui pidato-pidato yang disampaikan oleh Bung
Tomo. Melalui Radio Pemberontakan, Bung Tomo mengumandangkan
pidato-pidato yang membangkitkan semangat tempur bagi rakyat
Surabaya. Selain Bung Tomo, terdapat juga Ktut Tantri, wanita Amerika
yang mengobarkan semangat dengan pidato bahasa Inggrisnya di Radio
Pemberontakan.
Pertempuran ini adalah salah satu pertempuran yang terbesar, karena
memakan korban hingga puluhan ribu dari pihak Indonesia. Pertempuran
ini berlangsung hingga 3 minggu. Pertempuran yang terakhir terjadi di
sekitar daerah Gunungsari pada 28 November 1945, namun setelahnya
perlawanan secara sporadis masih dilakukan oleh para pemuda. Markas
pertahanan rakyat Surabaya akhirnya dipindahkan ke desa, yang disebut
Markas Kali. Peristiwa ini memakan banyak korban dari pihak Indonesia,
karena memakan hingga puluhan ribu orang gugur. Akan tetapi, peristiwa
ini membuktikan pada dunia bahwa pemerintahan Indonesia didukung
oleh rakyat Indonesia dan rakyat Indonesia rela mati untuk kemerdekaan
bangsanya.

17
E. Peristiwa Merah-Putih di Manado
Juli 1945, tentara Jepang yang mengalami kekalahan dalam banyak
Perang Pasifik akan segera menemui kekalahannya. Atas prediksi
tersebut, para tokoh dari Sulawesi yang dipimpin oleh, Dr. Sam Ratulangi
mengirim pemuda-pemuda dari Jakarta ke Manado. Utusan pemuda
ini dipersiapkan untuk menyambut kemerdekaan Republik Indonesia,
saat Jepang menyerahkan kekuasaanya. Utusan tersebut antara lain
Freddy Lumanauw dan Mantik Pakasi, merupakan tentara KNIL, dan
para kelompok pemuda Olang Sondakh, Wim Pangalila, dan Buce
Ompi. Tentara KNIL yang diutus ini dipersiapkan untuk menyusup dan
melakukan gerakan militer di tubuh KNIL.
Ketika berita proklamasi sampai di Sulawesi Utara, para pemuda di
sana segera membentuk Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI).
Pada tanggal 21 Agustus 1945 tentara Jepang di Sulawesi Utara memilih
untuk menyerahkan pemerintahan wilayah Sulawesi kepada E.H.W
Palengkahu yang merupakan pemimpin dari Barisan Pemuda Nasional
Indonesia (BPNI). Sekutu dan NICA dalam tempo yang singkat dapat
menguasai wilayah Sulawesi Utara dan mendapatkan pemerintahan
sipilnya kembali. Kembalinya NICA yang dilindungi oleh Sekutu ini
mendapat pertentangan dari BPNI.
NICA segera menyusun kembali tentara di Sulawesi Utara dan
membentuk 8 kompi, yang terdiri dari tentara KNIL, bekas Tentara Heiho,
bekas pasukan Sekutu, dan pensiunan militer. Sesuai misi awal untuk
menyusupi pasukan Belanda, maka Freddy Lumanauw berhasil masuk
menjadi tentara KNIL dan membentuk organisasi bersama Wangko
Sumanti dengan nama “Pasukan Tubruk”.
Tugas AFNEI yang dilakukan oleh tentara Sekutu berakhir pada
Desember 1945, pasukan Sekutu (Australia) bergerak meninggalkan
Manado dan pemerintahan diserahkan kepada NICA-KNIL, di bawah
pengawasan tentara Inggris di Makassar. John Rahasia dan Wim Pangalila
pemimpin dari BPNI segera merancangkan suatu pemberontakan
pemuda yang akan didukung oleh Freddy Lumanauw dari Pasukan Tubruk
di Teling. Akan tetapi, Belanda yang sudah mencurigai Freddy Lumanauw
dan Mantik Pakasi, segera melakukan penangkapan pada tanggal 28

18
Januari 1946. Mereka berdua ditahan di penjara Manado untuk diadili
oleh pengadilan militer. Rencana BPNI untuk merebut kekuasaan pada saat
upacara NICA 10 Januari 1946 gagal, karena John Rahasia, Wim Pangalila,
dan semua tokoh pemuda BPNI di Manado dan Tondano ditangkap.
Ditangkapnya para tokoh ini tidak menyurutkan niat kudeta ditubuh
KNIL. Pada bulan Februari 1946, Furir Taulu menghasut para tentara KNIL
dengan ketidakadilan gaji, ransum, dan jaminan yang diterima antara
tentara Belanda dengan yang diterima tentara KNIL. Hasutan ini banyak
diterima oleh tentara KNIL sehingga para tokoh ini dapat menyamarkan
motivasi dari gerakan utama. Intelejen Belanda akhirnya menahan Furir
Taulu. Akan tetapi, sebelum ditahan Furir Taulu telah memerintahkan
Kopral Mambi Runtukahu untuk menjalankan penyerbuan pada malam
hari.
Kopral Mambi Runtukahu bersama pasukannya pada 14 Februari
1946 memulaikan aksi kudetanya dengan melakukan penyergapan
pos-pos di markas garnisun Teling di Manado, pada jam satu dini hari.
Pasukan itu berhasil menangkap semua tentara Belanda, termasuk
komandan garnisun Teling, Kapten Blom. Pimpinan pemberontakan
Furir Taulu, Wuisan, dan Freddy Lumanauw dibebaskan dari tahanan
oleh Yus Kotambunan dan Frans Lantu. Kaum nasionalis BPNI juga ikut
dibebaskan oleh para Pasukan Tubruk.
Pada penyergapan ini tidak ada perlawanan berarti karena semua
tentara KNIL pribumi yang tidak termasuk Pasukan Tubruk menganggap
bahwa pemberontakan militer hanya untuk menuntut keadilan serta
jaminan yang sama bagi tentara KNIL pribumi. Semua tentara Belanda
ditampung sementara oleh Kopral Wim Tamburian dalam satu gedung
di tangsi Teling. Keluarga tentara Belanda di berbagai kompleks militer
dikumpulkan di Sario. Mereka menawan kurang lebih 600 orang Belanda
dalam aksi ini. Mereka juga dapat menahan komandan KNIL, De Vries.
Pada saat subuh, 15 Februari 1946, aksi kudeta pasukan KNIL ini
selesai dan mereka dapat menguasai seluruh tangsi Taling. Mereka
melakukan apel untuk mengibarkan bendera merah putih, untuk
menggantikan bendera Belanda. Keesokan paginya, di seluruh daerah
Minahasa mulai dikibarkan bendera Merah Putih.

19
Menyusul keberhasilan kudeta pasukan KNIL kepada tentara
Belanda, pemimpin perjuangan Letkol. Ch. Taulu mengeluarkan
Maklumat Nomor 1 pada tanggal 15 Februari 1946 sebagai berikut.
1. Kemarin malam jam 01.00 pada tanggal 14 Februari 1946, oleh pejuang-
pejuang KNIL yang dibantu para pemuda telah berhasil merebut
kekuasaan dari pemerintahan Belanda (NICA) di Sulawesi Utara
dalam rangka mempertahankan Kemerdekaan Repubik Indonesia
yang diproklamirkan oleh Ir Soekarno dan Mohammad Hatta.
2. Rakyat diminta untuk membantu sepenuhnya perjuangan itu.
3. Kepada para pejuang agar mengambil alih pemerintahan Belanda.
4. Keamanan di seluruh Sulawesi Utara dijamin oleh Tentara RI
Sulawesi Utara.
5. Kantor-kantor pemerintahan harus bekerja seperti biasa.
6. Kegiatan ekonomi harus tetap berjalan seperti biasa (pasar-pasar,
toko-toko, dan sekolah-sekolah). Bila terdapat pasar atau toko tidak
buka akan disita.
7. Siapa saja yang berani melakukan aksi pengacauan berupa tindak
penganiayaaan, penculikan, perampokan, pembunuhan, dan
sebagainya akan segera dihukum mati di muka umum.
Pada 16 Februari 1946 diadakan Sidang darurat
Dewan Minahasa di Manado menetapkan melalui
maklumat no 2, bahwa B.W. Lapian sebagai Kepala
Pemerintah Merah-Putih Merdeka. Maklumat ini
ditandatangani Letkol Ch. Taulu, S.D. Wuisan,
A.F Nelwan, J. Kaseger, dan F. Bisman. Rapat ini
sangat mewakili keinginan rakyat Sulawesi Utara
karena dihadiri oleh kepala-kepala distrik dan
onderdistrik di seluruh Minahasa, kepala daerah Gambar 6. B.W. Lapian
Gorontalo, Raja Bolaang Mongondow, dan tokoh-
Sumber: https://
tokoh nasionalis dari Indonesia”. id.wikipedia.org/wiki/
B.W._Lapian

20
Untuk membantu melaksanakan pemerintahan sipil, B.W. Lapian
dibantu oleh D.A. Th. Gerungan (kepemerintahan), A.I.A. Ratulangi
(keuangan), Dr. H. Ratulangi (perekonomian), Wolter Saerang (penerangan),
Dr. Ch Singal (kesehatan), E. Katoppo (PPK), Hidayat (kehakiman), S.D.
Wuisan (kepolisian), dan Max Tumbel (pelabuhan & pelayaran).
Pada 22 Februari 1946, Pemerintah Merah-Putih Merdeka,
mengadakan rapat umum di lapangan Tikala dan dihadiri para tokoh
militer, sipil, pamongpraja, dan rakyat. Rapat umum ini menghasilkan
pernyataan bahwa Sulawesi Utara bergabung dengan perjuangan
kemerdekaan di bawah pemerintah RI Soekarno-Hatta di Yogyakarta.
Pada 23 Februari 1946 pimpinan Sekutu dari Makassar datang ke
Manado untuk berunding di atas kapal El Libertador. Sekutu meminta
agara kekuasaan NICA dikembalikan. Keterlibatan sekutu dalam
perundingan ini dikarenakan pemberontakan ini menjadi pukulan bagi
tentara sekutu karena berdampak bagi 8.000 tentara Jepang yang harus
dipulangkan ke Jepang. Setelah perundingan ini, Sekutu memberikan
kesempatan Pemerintahan Merah Putih untuk mendiskusikan dengan
rakyat Sulawesi Utara. Keesokan harinya, setelah melaksanakan rapat
yang dihadiri tokoh nasionalis, pemuda, dan militer, rakyat Sulawesi
Utara menolak pemerintahan NICA, dan menerima pernyataanan perang
dari Sekutu.
Sekutu melakukan blokade terhadap daerah Sulawesi Utara selama
lebih dari 24 hari. Blokade ini membuat rakyat mulai beralih sikap
mendukung Belanda. Tentara KNIL yang sejak awal hanya menuntut
perbaikan nasib akhirnya memihak kepada Kapten Kaseger yang sedang
memulihkan tentara KNIL ke tangan Belanda. Belanda melakukan
penyerbuan di Gorontalo dan mulai mengerakan tentara KNIL untuk
melawan Pemerintahan Merah Putih Merdeka. Pada 10 Maret 1946
akhirnya pemimpin Pemerintahan Merah Putih Merdeka ditangkap.
SUPER "Solusi Quipper"

Ingat peristiwa Merah Putih Manado >> Ingat hari Valentine

21

Anda mungkin juga menyukai