Anda di halaman 1dari 7

Anggota Kelompok:

Diah Pitaloka 175120407111005

Nariswari Ardhya Azzahra 175120407111026

Najla Nadhifa L G 175120407111001

Ivan Johanes Simanjuntak 175120407111004

 Masalah Spesifik:

Pada 19 Juli 2019, komedian Nunung dan suaminya ditangkap polisi atas dugaan
penyalahgunaan narkoba jenis sabu. Dalam sebuah sidang kasus, dokter Herny Taruli
Tambunan dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur memberi pemaparan
tentang depresi yang Nunung alami melalui kesaksiannya sebagai psikiater yang telah
menangani Nunung selama tiga tahun terakhir, karena ada dugaan bahwa penyalahgunaan
narkoba yang dilakukan oleh Nunung berkaitan dengan depresi yang ia alami. Hakim
Djoko Indiarto merespon pemaparan dokter Herny dengan memberikan pernyataan,

"Ini kan kerjanya setiap hari Cengengesan (di televisi) kok bisa stres?" kata Djoko
sambil sedikit tertawa di ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu
(23/10/2019).1

Respon dari Hakim Djoko Indiarto menuai reaksi dari sebagian masyarakat, terutama di
media sosial. Hakim Djoko Indiarto dianggap merendahkan serta mengabaikan gangguan
mental yang Nunung alami. Pernyataan yang Hakim Djoko Indiarto dianggap tidak pantas
untuk diucapkan tentang seseorang yang mengidap gangguan mental.

Fenomena di atas adalah gambaran yang tepat untuk mewakili kesadaran masyarakat
Indonesia tentang kesehatan jiwa dan mental. Padahal, gangguan jiwa dan mental sama
berbahayanya dengan gangguan fisik. World Health Organisation telah melakukan survey
pada tahun 2014 terhadap masyarakat Indonesia. Dalam survey tersebut, suicide adalah
silent killer yang paling besar di Indonesia. WHO juga memaparkan bahwa pada tahun
1
Marison, W. (2019, Oktober 23). Dokter Sebut Nunung Depresi, Hakim: Kok Bisa? Kerjanya Setiap
Hari Cengengesan. Kompas. Diakses dari
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/10/23/19253251/dokter-sebut-nunung-depresi-hakim-kok-
bisa-kerjanya-setiap-hari.
2015, terdapat 2.9 kasus suicide per 100.000 populasi di Indonesia, bahkan masih banyak
kasus yang belum dilaporkan.2 Tidak hanya WHO, menurut Data Riset Kesehatan Dasar
pada 2013, prevalensi gangguan mental emosional dengan gejala-gejalan depresi dan
kecemasan pada usia 15 tahun mencapa 14 juta yang setara dengan 6 persen dari jumlah
penduduk Indonesia dan prevalensi gangguan jiwa berat seperti contohnya adalah
skizofrenia yang mencapai 400 ribu. Tidak hanya itu, Badan Pusat Statistik mencatat
setidaknya terdapat 812 kasus suicide di Indonesia pada tahun 2015.3 Pada tahun 2017,
Global Health Data Exchange melakukan sebuah survey dengan hasil bahwa terdapat 27,3
juta penduduk Indonesia mengalami masalah kejiwaan. Hal ini kemudian membuat
Indonesia menjadi negara tertinggi di Asia Tenggara yang penduduknya mengidap
gangguan jiwa. Data-data ini memberikan bukti yang valid tentang betapa berbahayanya
gangguan jiwa dan mental, namun sebagian besar masyarakat Indonesia memilih untuk
tidak menganggap gangguan mental dan jiwa sebagai
suatu kondisi yang parah dan membutuhkan penanganan khusus. Sebagian besar
masyarakat memandang bahwa memiliki gangguan mental dan/atau jiwa adalah sebuah
aib, bentuk kelemahan, dan bentuk kurangnya iman. Sehingga, pengidapnya sering dicap
sebagai ‘orang gila’ sehingga banyak orang-orang yang mempunyai kondisi gangguan
mental merasa takut untuk bercerita kepada orang-orang. Selain dicap sebagai ‘orang gila’,
orang-orang dengan gangguan jiwa dan/atau mental seringkali direndahkan kondisinya,
dibandingkan permasalahannya, mendapat penilaian dan perlakuan yang tidak pantas,
dianggap sebagai orang yang cari perhatian atau “drama”, bahkan dianggap orang yang
kurang iman.

 Lokasi: Indonesia

 Faktor Penyebab Masalah:

2
Mustikasari, I. (2017, Agustus 2). Let’s Talk Openly About Mental Health. Kompas. Diakses dari
https://www.thejakartapost.com/life/2017/08/02/lets-talk-openly-about-mental-health.html
3
Juniman, P. T. (2018, September 10). 15,8 Persen Keluarga Hidup dengan Penderita Gangguan
Mental. CNN Indonesia. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180830182931-
255-326289/158-persen-keluarga-hidup-dengan-penderita-gangguan-mental
Penyebab kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kesehatan mental
dikarenakan masih adanya stigma atau pandangan tentang kesehatan mental bukanlah
suatu hal yang harus segara ditangani secara serius dan pengidapnya membutuhkan
pertolongan orang-orang.

 Potensi Sosial:

Potensi sosial dari masalah yang kami angkat adalah:

1. Jumlah penderita gangguan mental dan/atau jiwa tidak berkurang, bahkan


bertambah
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang masalah yang kami angkat agar dapat
mengetahui bagaimana cara mengemas gerakan sosial yang akan kami lakukan, kami
mencoba mem-break down masalah dalam bentuk pohon penyebab dan pohon tujuan.

Pohon penyebab

Perlakuan tidak pantas yang


diterima oleh orang-orang
pengidap gangguan jiwa
dan/atau mental dari
masyarakat

Stigma yang kuat bahwa


kesehatan mental dan jiwa
tidaklah penting

Ketidaksadaran masyarakat Mental terjajah bangsa


Kebiasaan masyarakat yang
tentang pentingnya Indonesia yang telah ada
selalu mengucilkan orang -
kesehatan mental dan jiwa, secara turun menurun,
orang yang terkena
serta betapa berbahayanya menuntut orang Indonesia
gangguang jiwa dan mental
gangguan jiwa dan mental bersifat tangguh

Ketidaktahuan atau Kurang kritis


Beban moral
kurangnya ilmu Kurang toleran

Kurangnya dorongan untuk


mencari ilmu
Pohon tujuan

Perlakuan pantas yang


diterima oleh orang-orang
pengidap gangguan jiwa
dan/atau mental dari
masyarakat

Hilangnya stigma bahwa


kesehatan mental dan jiwa
tidaklah penting

Hilangnya mental terjajah


Ketidaksadaran masyarakat Menyadarkan masyarakat
dalam masyarakat Indonesia
tentang pentingnya kesehatan bahwa orang - orang yang
serta menyadari bahwa
mental dan jiwa, serta betapa terkena gangguang jiwa dan
gangguan mental dan/atau
berbahayanya gangguan jiwa mental harus dirangkul dan
jiwa bukan penanda bahwa
dan mental dimengerti
seorang manusia tidak tangguh

Memiliki pandangan bahwa


orang yang terkena gangguang
jiwa dan mental juga
Masyarakat menjadi tahu dan Anggapan tentang beban
merupakan bagian dari
memiliki ilmu baru moral tersebut hilang
masyarakat, dan sadar bahwa
peduli itu lebih baik daripada
mencaci

Diharapkan timbul dorongan


untuk belajar dalam
masyarakat
Berdasarkan hasil break down dari pohon penyebab dan pohon tujuan di atas, kami
membuat kerangkat gerakan sosial yang akan kami lakukan sebagai berikut:

 Output:
1. Masyarakat Indonesia menjadi lebih tahu tentang kesehatan mental dan jiwa,
terutama tentang betapa berbahayanya gangguan mental dan jiwa jika tidak
diberikan penanganan dan perlakuan dengan tepat
2. Membuka mata masyarakat akan mana nilai atau norma yang salah (harus
dibuang) dan mana yang benar (harus dipertahankan)
3. Masyarakat Indonesia menjadi paham bahwa memiliki gangguan mental dan/atau
jiwa bukanlah tanda kelemahan

 Outcome
1. Berubahnya pandangan atau stigma buruk masyarakat terhadap gangguan mental
dan jiwa, terutama para pengidap
2. Diharapkan masyarakat dapat terdorong untuk menerapkan sikap kritis
3. Diharapkan masyarakat Indonesia menyadari akan ketidaktahuan mereka, dan
memiliki dorongan untuk belajar setelahnya
4. Masyarakat Indonesia tidak menganggap memiliki gangguan mental dan/atau jiwa
sebagai beban moral
 Impact
1. Peningkatan taraf kesehatan mental dan jiwa masyarakat Indonesia
2. Stabilitas sosial
 Activities

Beberapa hal yang kemudian dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran


masyarakat terkait dengan kesehatan mental antara lain

1. Pengadaan kampanye online lewat sosial media


2. Adanya sosialisasi pentingnya menjaga kesehatan mental
3. Pengajaran sejak dini pengertian dari kesehatan mental itu sendiri

Daftar Pustaka

Marison, W. (2019, Oktober 23). Dokter Sebut Nunung Depresi, Hakim: Kok Bisa?
Kerjanya Setiap Hari Cengengesan. Kompas. Diakses dari
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/10/23/19253251/dokter-sebut-nunung-depresi-
hakim-kok-bisa-kerjanya-setiap-hari

Mustikasari, I. (2017, Agustus 2). Let’s Talk Openly About Mental Health. Kompas.
Diakses dari https://www.thejakartapost.com/life/2017/08/02/lets-talk-openly-about-
mental-health.html

Juniman, P. T. (2018, September 10). 15,8 Persen Keluarga Hidup dengan Penderita
Gangguan Mental. CNN Indonesia. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20180830182931-255-326289/158-persen-keluarga-hidup-dengan-penderita-
gangguan-mental

Anda mungkin juga menyukai