Masalah Spesifik:
Pada 19 Juli 2019, komedian Nunung dan suaminya ditangkap polisi atas dugaan
penyalahgunaan narkoba jenis sabu. Dalam sebuah sidang kasus, dokter Herny Taruli
Tambunan dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur memberi pemaparan
tentang depresi yang Nunung alami melalui kesaksiannya sebagai psikiater yang telah
menangani Nunung selama tiga tahun terakhir, karena ada dugaan bahwa penyalahgunaan
narkoba yang dilakukan oleh Nunung berkaitan dengan depresi yang ia alami. Hakim
Djoko Indiarto merespon pemaparan dokter Herny dengan memberikan pernyataan,
"Ini kan kerjanya setiap hari Cengengesan (di televisi) kok bisa stres?" kata Djoko
sambil sedikit tertawa di ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu
(23/10/2019).1
Respon dari Hakim Djoko Indiarto menuai reaksi dari sebagian masyarakat, terutama di
media sosial. Hakim Djoko Indiarto dianggap merendahkan serta mengabaikan gangguan
mental yang Nunung alami. Pernyataan yang Hakim Djoko Indiarto dianggap tidak pantas
untuk diucapkan tentang seseorang yang mengidap gangguan mental.
Fenomena di atas adalah gambaran yang tepat untuk mewakili kesadaran masyarakat
Indonesia tentang kesehatan jiwa dan mental. Padahal, gangguan jiwa dan mental sama
berbahayanya dengan gangguan fisik. World Health Organisation telah melakukan survey
pada tahun 2014 terhadap masyarakat Indonesia. Dalam survey tersebut, suicide adalah
silent killer yang paling besar di Indonesia. WHO juga memaparkan bahwa pada tahun
1
Marison, W. (2019, Oktober 23). Dokter Sebut Nunung Depresi, Hakim: Kok Bisa? Kerjanya Setiap
Hari Cengengesan. Kompas. Diakses dari
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/10/23/19253251/dokter-sebut-nunung-depresi-hakim-kok-
bisa-kerjanya-setiap-hari.
2015, terdapat 2.9 kasus suicide per 100.000 populasi di Indonesia, bahkan masih banyak
kasus yang belum dilaporkan.2 Tidak hanya WHO, menurut Data Riset Kesehatan Dasar
pada 2013, prevalensi gangguan mental emosional dengan gejala-gejalan depresi dan
kecemasan pada usia 15 tahun mencapa 14 juta yang setara dengan 6 persen dari jumlah
penduduk Indonesia dan prevalensi gangguan jiwa berat seperti contohnya adalah
skizofrenia yang mencapai 400 ribu. Tidak hanya itu, Badan Pusat Statistik mencatat
setidaknya terdapat 812 kasus suicide di Indonesia pada tahun 2015.3 Pada tahun 2017,
Global Health Data Exchange melakukan sebuah survey dengan hasil bahwa terdapat 27,3
juta penduduk Indonesia mengalami masalah kejiwaan. Hal ini kemudian membuat
Indonesia menjadi negara tertinggi di Asia Tenggara yang penduduknya mengidap
gangguan jiwa. Data-data ini memberikan bukti yang valid tentang betapa berbahayanya
gangguan jiwa dan mental, namun sebagian besar masyarakat Indonesia memilih untuk
tidak menganggap gangguan mental dan jiwa sebagai
suatu kondisi yang parah dan membutuhkan penanganan khusus. Sebagian besar
masyarakat memandang bahwa memiliki gangguan mental dan/atau jiwa adalah sebuah
aib, bentuk kelemahan, dan bentuk kurangnya iman. Sehingga, pengidapnya sering dicap
sebagai ‘orang gila’ sehingga banyak orang-orang yang mempunyai kondisi gangguan
mental merasa takut untuk bercerita kepada orang-orang. Selain dicap sebagai ‘orang gila’,
orang-orang dengan gangguan jiwa dan/atau mental seringkali direndahkan kondisinya,
dibandingkan permasalahannya, mendapat penilaian dan perlakuan yang tidak pantas,
dianggap sebagai orang yang cari perhatian atau “drama”, bahkan dianggap orang yang
kurang iman.
Lokasi: Indonesia
2
Mustikasari, I. (2017, Agustus 2). Let’s Talk Openly About Mental Health. Kompas. Diakses dari
https://www.thejakartapost.com/life/2017/08/02/lets-talk-openly-about-mental-health.html
3
Juniman, P. T. (2018, September 10). 15,8 Persen Keluarga Hidup dengan Penderita Gangguan
Mental. CNN Indonesia. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180830182931-
255-326289/158-persen-keluarga-hidup-dengan-penderita-gangguan-mental
Penyebab kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kesehatan mental
dikarenakan masih adanya stigma atau pandangan tentang kesehatan mental bukanlah
suatu hal yang harus segara ditangani secara serius dan pengidapnya membutuhkan
pertolongan orang-orang.
Potensi Sosial:
Pohon penyebab
Output:
1. Masyarakat Indonesia menjadi lebih tahu tentang kesehatan mental dan jiwa,
terutama tentang betapa berbahayanya gangguan mental dan jiwa jika tidak
diberikan penanganan dan perlakuan dengan tepat
2. Membuka mata masyarakat akan mana nilai atau norma yang salah (harus
dibuang) dan mana yang benar (harus dipertahankan)
3. Masyarakat Indonesia menjadi paham bahwa memiliki gangguan mental dan/atau
jiwa bukanlah tanda kelemahan
Outcome
1. Berubahnya pandangan atau stigma buruk masyarakat terhadap gangguan mental
dan jiwa, terutama para pengidap
2. Diharapkan masyarakat dapat terdorong untuk menerapkan sikap kritis
3. Diharapkan masyarakat Indonesia menyadari akan ketidaktahuan mereka, dan
memiliki dorongan untuk belajar setelahnya
4. Masyarakat Indonesia tidak menganggap memiliki gangguan mental dan/atau jiwa
sebagai beban moral
Impact
1. Peningkatan taraf kesehatan mental dan jiwa masyarakat Indonesia
2. Stabilitas sosial
Activities
Daftar Pustaka
Marison, W. (2019, Oktober 23). Dokter Sebut Nunung Depresi, Hakim: Kok Bisa?
Kerjanya Setiap Hari Cengengesan. Kompas. Diakses dari
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/10/23/19253251/dokter-sebut-nunung-depresi-
hakim-kok-bisa-kerjanya-setiap-hari
Mustikasari, I. (2017, Agustus 2). Let’s Talk Openly About Mental Health. Kompas.
Diakses dari https://www.thejakartapost.com/life/2017/08/02/lets-talk-openly-about-
mental-health.html
Juniman, P. T. (2018, September 10). 15,8 Persen Keluarga Hidup dengan Penderita
Gangguan Mental. CNN Indonesia. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20180830182931-255-326289/158-persen-keluarga-hidup-dengan-penderita-
gangguan-mental