Anda di halaman 1dari 22

KTI MAHASISWA SE-JAWA TIMUR ‘DIES NATALIS IIK

BHAKTI WIYATA 34 TAHUN’ INSITITUT ILMU

KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI

PROGRAM GEMAR MAKAN IKAN DENGAN TOKRE (TONGKOL

CREKERS) UNTUK MENGURANGI KEJADIAN STUNTING

PENULIS:

NI KADEK KARTIKASARI (2018.02.007)

SYLVIA AGUSTIN (2017.02.010)

STIKES WILLIAM BOOTH

SURABAYA

SEPTEMBER 2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Program Gemar Makan Ikan Dengan InovasiTokre


(Tongkol Crackers) Untuk Mengurangi Kejadian
Stunting Pada Anak Usia 2-5 Tahun
Ketua Kelompok : Ni Kadek Kartikasari
Nama Lengkap : Ni Kadek Kartikasari
NIM : 2018.02.007
Asal Universitas : STIKES William Booth Surabaya
NO Telp/Hp : 085732557017
Alamat Email : ni.kadek18@gmail.com
Jumlah Anggota :1
Dosen Pembimbing : Beatric Maria Dwi Jayanti Baga
Nama Lengkap dan Gelar : Beatric Maria Dwi Jayanti Baga, S.ST, M.KES
NIP : 3301017018
Alamat Rumah : Kap. Penanggungan Gg. Kemuning RT.007
RW.27 Kejapanan, Gempol, Pasuruan
No Telp/Hp : 085730801531

Dosen Pembimbing Ketua Kelompok

(Beatric Maria Dwi Jayanti Baga, S.ST, M.KES) (Ni Kadek Kartikasari)

3301017018 2018.02.007

Telah Disahkan,
Surabaya, 29 September 2019

(Lina Mahayaty, Ns. M. Kep., Sp. Kep. An.)


NIP
ABSTRAK

Program Gemar Makan Ikan Dengan Inovasi Tokre (Tongkol Crackers)


Untuk Menguragi Kejadian Stunting Pada Anak Usia 2-5 Tahun

Kejadian stunting dapat terjadi akibat kurangnya konsumsi protein dalam


proporsi total asupan kalori. Penelitian tentang konsumsi ikan dan pengembangan
dalam bentuk crackers dengan cara penambahan tepung yang dapat menurunkan
kejadian stunting. Hal ini bertujuan agar asupan protein dan mikrouterin untuk
menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak dapat terpenuhi secara adekuat
dan memperbaiki produk makanan.

Metode yang digunakan dalam penelitian tentang konsumsi ikan adalah


case control dengan menghubungkan Antara konsumsi jenis ikan dengan
frekuensi konsumsi ikan, tingkat pendidikan ibu, riwayat pemberian ASI, dan
status ekonomi. Sedangkan pengembangan crackers menggunakan uji preferensi
dengan menilai parameter organoleptik dan kandungan protein. Sampel yang
digunakan dalam penelitian adala anak usia 2-5 tahun sebanyak 106 terdiri dari 53
anak stunting pada kelompok kasus dan 53 anak normal pada kelompok kontrol.
Uji preferensi pada pengembangan crackers menggunakan empat biskuit yang
menggunakan formulasi kontrol dan penambahan tepung ikan patin dan tepung
wortel masing-masing 25gr, 50gr, dan 100gr.

Hasil penelitian pada konsumsi ikan didapatkan ada hubungan antara


konsumsi jenis ikan dan status ekonomi terhadap kejadian stunting pada anak usia
2-5 tahun. Hasil pengembangan crackers penambahan tepung ikan patin dan
tepung wortel masing-masing 25gr paling banyak disukai oleh panelis berdaarkan
score card dengan nilai 3.45 dari 5.

Beberapa jenis ikan yang digemari oleh responden adalah ikan tongkol,
lele, bawal, nila, bandeng, dan kakap. Ikan tongkol memiliki rentang kandungan
Ca, Zn, dan Fe yang lebih tinggi, jika dicampur dengan tepung ikan patin dan
tepung wortel sesuai formulasi yang tepat dapat meningkatkan minat anak untuk
mengkonsumsi ikan dan memperbaiki status gizi anak.

Kata Kunci: Ikan Tongkol, Crackers, Stunting


BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Kejadian terlambatnya petumbuhan pada balita atau yang disebut
dengan stunting merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh
balita saat ini. Salah satu penyebab terjadinya stunting adaah kurangnya
konsumsi protein dala poporsi total asupan kalori. Gejala yang biasanya
terlihat pada balita yang mengalami stuting adalah mempunyai ukuran
badan yang lebih pendek dari usianya, lebih kecil, berat badan rendah,
serta adanya pertumbuhan tulang yang tertunda.

Indonesia merupakan negara tertinggi ketiga di Asia yang


mempunyai prevalensi tertinggi kejadian stunting. Peningkatan stunting di
Indonesia terjadi pada tahun 2017 yakni 29,6% dari 27,5% ditahun 2016.
Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riskesdas
(2007), menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%.
Tahun 2010 terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6% dan meningkat pada
tahun 2013 menjadi 37,2%. Prevalensi balita sangat pendek dan pendek
usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2017 adalah 9,8% dan 19,8% yang
meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 8,5% dan 19%.

Kejadian stunting memiliki berbagai macam dampak untuk anak,


anatara lain anak mudah sakit karena rata-rata anak dengan stunting
memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan anak sebayanya
dengan pertumuhan normal, kemampuan otak anak berkurang akibat
nutrisi tidak terpenuhi dengan baik, pertumbuhan ekonomi dapat
terhambat karena kemampuan otak yang kurang, masalah kesuburan
karena pada anak stunting kelak kemampuan reproduksinya akan
terganggu.

Berbagai cara sudah dilakukan pemerintah termasuk mencari prduk


inovatif dalam menurunkan kejadian stunting. Pemerintah juga
mengupayakan untuk menurunkan kejadian stuting dengan membuat
roadmap Gerakan Nasional Pencegahan Stunting dan Kerjasama Keitraan
Multi Sektor. Pemerintah juga menegaskan lima pilar penanganan
stunting, yakni komitmen dan visi pimpinan tertinggi negara, kampanye
nasional berfokus pada pemahaman, perubahan perilaku, komitmen politik
dan akuntabilitas, konvergensi, koordinasi dan konsolidasi program
nasional, daerah dan masyarakat, mendorong kebijakan nutritional food
security, pemantauan dan evaluasi. Para ahli juga sudah melakukan
penelitian salah satunya dengan menggunakan uji preferensi pada
pengembangan crackers menggunakan empat biskuit yang menggunakan
formulasi kontrol dan penambahan tepung ikan patin dan tepung wortel.

Beberapa jenis ikan yang digemari oleh responden adalah ikan


tongkol, lele, bawal, nila, bandeng, dan kakap. Ikan tongkol memiliki
rentang kandungan Ca, Zn, dan Fe yang lebih tinggi, jika dicampur dengan
tepung ikan patin dan tepung wortel sesuai formulasi yang tepat dapat
meningkatkan minat anak untuk mengkonsumsi ikan dan memperbaiki
status gizi anak.

b. Rumusan Masalah

Apakah Tokre dapat digunakan untuk menurunkan kejadian stunting?

c. Tujuan

1. Berdasarkan Praktis

Untuk menanggulangi kejadian stunting pada anak saat ini dengan


mengkonsumsi tokre dann menciptakan generasi penerus yang sehat denhgan gizi
seimbang.

2. Berdasarkan Teoritis

Asupan gizi yang optimal untuk pencegahan stunting dapat dilakukan


dengan gerakan nasional percepatan perbaikan gizi yang didasari oleh komitmen
negara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar sehat, cerdas dan
produktif, yang merupakan aset sangat berharga bagi bangsa dan negara
Indonesia. Untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan
status gizi yang optimal dengan cara melakukan perbaikan gizi secara terus
menerus (Kementerian Kesehatan R.I. 2015. Rencana Strategis Kemenkes 2015-
2019; Kepmenkes No.HK.02.02/MENKES/ 52/2015).

d. Manfaat

1. Berdasarkan Praktis

Agar kejadian stunting pada anak saat ini dapat berkurang dan teratasi
dengan baik.

2. Berdasarkan Teoritis

Investasi untuk perbaikan gizi dapat membantu memutus lingkaran


kemiskinan dan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) negara hingga 3%
per tahun. Investasi $1 pada gizi dapat menghasilkan kembalinya $30 dalam
peningkatan kesehatan, pendidikan dan produktivitas ekonomi. Melalui hasil
analisis yang dilaporkan dalam Global Nutrition Report 2014, disebutkan juga
lebih jelas bahwa setiap investasi 1 USD di Indonesia untuk menurunkan stunting
melalui intervensi spesifik dengan cakupan minimal 90%, akan memberikan
manfaat sebesar 48 kalinya (48 USD) (UNICEF Conceptual Framework of
Malnutrition (adapted)).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Balita

2.1.1 Pengertian Balita

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih
popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris.H, 2006).
Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010), Balita adalah istilah umum bagi
anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak
masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting,
seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah
bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas. Masa balita merupakan
periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan
pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan
perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini
merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena
itu sering disebut golden age atau masa keemasan.

2.1.2 Karakteristik Balita

Karakteristik Balita Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu
anak usia 1 – 3 tahun (batita) dan anak usia prasekolah (Uripi, 2004). Anak usia 1-
3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa
yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia
pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Pada usia ini
anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga
anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan
mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak”
terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami
penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun
penolakan terhadap makanan. Diperkirakan pula bahwa anak perempuan relative
lebih banyak mengalami gangguan status gizi bila dibandingkan dengan anak laki-
laki (BPS, 1999).

2.1.3 Tumbuh Kembang Balita

Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda, namun

prosesnya senantiasa melalui tiga pola yang sama, yakni:

a. Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian bawah

(sefalokaudal).

Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki, anak

akan berusaha menegakkan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar

menggunakan kakinya.

b. Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar.

Contohnya adalah anak akan lebih dulu menguasai penggunaan

telapak tangan untuk menggenggam, sebelum ia mampu meraih

benda dengan jemarinya.

c. Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar

mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain. Seperti melempar,

menendang, berlari dan lain-lain.

Pertumbuhan pada bayi dan balita merupakan gejala kuantitatif. Pada

konteks ini, berlangsung perubahan ukuran dan jumlah sel, serta jaringan

intraseluler pada tubuh anak. Dengan kata lain, berlangsung proses

multiplikasi organ tubuh anak, disertai penambahan ukuran-ukuran

tubuhnya. Hal ini ditandai oleh:

a. Meningkatnya berat badan dan tinggi badan.

b. Bertambahnya ukuran lingkar kepala.

c. Muncul dan bertambahnya gigi dan geraham.

d. Menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot.


e. Bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan

sebagainya.

Ketika didapati penambahan ukuran tubuhnya, artinya proses pertumbuhannya


berlangsung baik. Sebaliknya jika yang terlihat gejala penurunan ukuran, itu
sinyal terjadinya gangguan atau hambatan proses pertumbuhan. Cara mudah
mengetahui baik tidaknya pertumbuhan bayi dan balita adalah dengan mengamati
grafik pertambahan berat dan tinggi badan yang terdapat pada Kartu Menuju
Sehat (KMS). Dengan bertambahnyausia anak, harusnya bertambah pula berat dan
tinggi badannya. Cara lainnya yaitu dengan pemantauan status gizi.
Perkembangan pada masa balita merupakan gejala kualitatif, artinya pada diri
balita berlangsung proses peningkatan dan pematangan (maturasi) kemampuan
personal dan kemampuan sosial.

2.1.4 Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang

Dalam proses tumbuh kembang, anak memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi,
kebutuhan tersebut yakni ; a. Kebutuhan akan gizi (asuh); b. Kebutuhan emosi dan
kasih sayang (asih); dan c. Kebutuhan stimulasi dini (asah) (PN.Evelin dan
Djamaludin. N. 2010).

a. Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh).

Usia balita adalah periode penting dalam proses tubuh kembang anak yang
merupakan masa pertumbuhan dasar anak. Pemenuhan kebutuhan gizi dalam
rangka menopang tumbuh kembang fisik dan biologis balita perlu diberikan
secara tepat dan berimbang. Karena dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara
baik, perkembangan otaknya akan berlangsung optimal. Keterampilan fisiknya
pun akan berkembang sebagai dampak perkembangan bagian otak yang mengatur
sistem sensorik dan motoriknya.

b. Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih).

Kebutuhan ini meliputi upaya orang tua mengekspresikan perhatian dan kasih
sayang, serta perlindungan yang aman dan nyaman kepada si anak. Orang tua
perlu menghargai segala keunikan dan potensi yang ada pada anak. Pemenuhan
yang tepat atas kebutuhan emosi atau kasih sayang akan menjadikan anak tumbuh
cerdas secara emosi, terutama dalam kemampuannya membina hubungan yang
hangat dengan orang lain.

c. Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah).

Stimulasi dini merupakan kegiatan orangtua memberikan rangsangan tertentu


pada anak sedini mungkin. Bahkan hal ini dianjurkan ketika anak masih dalam
kandungan dengan tujuan agar tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan
optimal. Stimulasi dini meliputi kegiatan merangsang melalui sentuhan-sentuhan
lembut secara bervariasi dan berkelanjutan, kegiatan mengajari anak
berkomunikasi, mengenal objek warna, mengenal huruf dan angka. Selain itu,
stimulasi dini dapat mendorong munculnya pikiran dan emosi positif,
kemandirian, kreativitas dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini secara
baik dan benar dapat merangsang kecerdasan majemuk (multiple intelligences)
anak.

2.2 Status Gizi

2.2.1 Definisi Status Gizi

Menurut Soekirman (2000) status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi
antara makanan, tubuh manusia dan lingkungan hidup manusia. Selanjutnya,
Suhardjo, (2003) menyatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh sebagai
akibat dari pemakaian, penyerapan dan penggunaan makanan. Sedangkan menurut
Supariasa, IDN. Bakri, B. & Fajar, I. (2002), status gizi merupakan ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari
status tubuh yang berhubungan dengan gizi dalam bentuk variable tertentu. Jadi
intinya terdapat suatu variable yang diukur (misalnya berat badan dan tinggi
badan) yang dapat 13 digolongkan ke dalam kategori gizi tertentu (misalnya ;
baik, kurang, dan buruk)

2.2.2 Tabel Status Gizi Pada Balita


2.3 Stunting

2.3.1 Pengerian Stunting

Stunting merupakan istilah para nutrinis untuk penyebutan anak yang tumbuh


tidak sesuai dengan ukuran yang semestinya (bayi pendek). Stunting (tubuh
pendek) adalah keadaan tubuh yang sangat pendek hingga melampaui defisit 2 SD
dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi
internasional. Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur
rendah, atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak
– anak lain seusianya (MCN, 2009). Stunted adalah tinggi badan yang kurang
menurut umur (<-2SD), ditandai dengan    terlambatnya pertumbuhan anak yang
mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat
sesuai usia anak. Stunted merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan
pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk
gizi kurang pada anak. Stunting  merupakan pertumbuhan linier yang gagal untuk
mencapai potensi genetic sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit
(ACC/SCN, 2000).
2.3.2 Penyebab Stunting

Menurut beberapa penelitian, kejadian stunted pada anak merupakan suatu


proses kumulatif yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang
siklus kehidupan. Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan
penyebab tidak langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan
perkembangan janin. Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan
disebabkan kurangnya asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi yang
berulang, dan meningkatnya kebutuhan metabolic serta mengurangi nafsu makan,
sehingga meningkatnya kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini semakin
mempersulit untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang
terjadinya stunted (Allen and Gillespie, 2001).

Gizi buruk kronis (stunting) tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja
seperti yang telah dijelaskan diatas, tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dimana
faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu sama lainnnya. Terdapat tiga faktor
utama penyebab stunting yaitu sebagai berikut :
1.  Asupan makanan tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam
makanan yaitu karbohidrat, protein,lemak, mineral, vitamin, dan air).
2.      Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR),
3.      Riwayat penyakit.

2.3.3 Dampak Stunting


Stunting dapat mengakibatkan penurunan intelegensia (IQ), sehingga
prestasi belajar menjadi rendah dan  tidak dapat melanjutkan sekolah. Bila
mencari pekerjaan, peluang gagal tes wawancara pekerjaan  menjadi besar dan
tidak mendapat pekerjaan yang baik, yang berakibat penghasilan rendah
(economic productivity hypothesis) dan tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan.
Karena itu anak yang menderita stunting berdampak tidak hanya pada fisik yang
lebih pendek saja, tetapi juga pada kecerdasan, produktivitas dan prestasinya
kelak setelah dewasa, sehingga akan menjadi beban negara. Selain itu dari aspek
estetika, seseorang yang tumbuh proporsional akan kelihatan lebih menarik dari
yang tubuhnya pendek.
Stunting yang terjadi pada masa anak merupakan faktor risiko
meningkatnya angka kematian, kemampuan kognitif, dan perkembangan motorik
yang rendah serta fungsi-fungsi tubuh yang tidak seimbang (Allen & Gillespie,
2001). Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini
akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya dan sulit diperbaiki.
Masalah stunting menunjukkan ketidakcukupan gizi dalam jangka waktu
panjang, yaitu kurang energi dan protein, juga beberapa zat gizi mikro.

2.3.3.2 Mencegah Stunting pada Balita


Berbagai upaya telah kita lakukan dalam mencegah dan menangani
masalah gizi di masyarakat. Memang ada hasilnya, tetapi kita masih harus bekerja
keras untuk menurunkan prevalensi balita pendek sebesar 2,9% agar target MD’s
tahun 2014 tercapai yang berdampak pada turunnya prevalensi gizi kurang pada
balita kita.
Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan
bertambahnya umur, namun pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif
terhadap kurang gizi dalam waktu singkat. Jika terjadi gangguan pertumbuhan
tinggi badan pada balita, maka untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan
optimalnya masih bisa diupayakan, sedangkan anak usia sekolah sampai remaja
relatif kecil kemungkinannya.  Maka peluang besar untuk mencegah stunting
dilakukan sedini mungkin. dengan mencegah faktor resiko gizi kurang baik pada
remaja putri, wanita usia subur (WUS), ibu hamil maupun pada balita. Selain itu,
menangani balita yang dengan tinggi dan berat badan rendah yang beresiko terjadi
stunting, serta terhadap balita yang telah stunting agar tidak semakin berat.
Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam
kandungan dengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil,
artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup gizi,
mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan terpantau kesehatannya. Selain
itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja sampai umur 6 bulan
(eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI)
yang cukup jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup
gizi, juga diberi suplementasi zat gizi berupa kapsul vitamin A.
Kejadian stunting pada balita yang bersifat kronis seharusnya dapat dipantau dan
dicegah apabila pemantauan pertumbuhan balita dilaksanakan secara rutin dan
benar. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat
strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan, sehingga dapat
dilakukan pencegahan terjadinya balita stunting.
Bersama dengan sektor lain meningkatkan kualitas sanitasi lingkungan dan
penyediaan sarana prasarana dan akses keluarga terhadap sumber air terlindung,
serta pemukiman yang layak. Juga meningkatkan akses  keluarga terhadap daya
beli pangan dan biaya berobat bila sakit melalui penyediaan lapangan kerja dan
peningkatan pendapatan.
Peningkatan pendidikan ayah dan ibu yang berdampak pada pengetahuan
dan kemampuan dalam penerapan kesehatan dan gizi keluarganya, sehingga anak
berada dalam keadaan status gizi yang baik. Mempermudah akses keluarga
terhadap informasi dan penyediaan informasi tentang kesehatan dan gizi anak
yang mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh setiap keluarga juga merupakan
cara yang efektif dalam mencegah terjadinya balita stunting.

2.3.3.3 Zat Gizi Mikro yang Berperan untuk Menghindari Stunting (Pendek)


a.       Kalsium
Kalsium berfungsi dalam pembentukan tulang serta gigi, pembekuan darah dan
kontraksi otot. Bahan makanan sumber kalsium antara lain : ikan teri kering,
belut, susu, keju, kacang-kacangan.
b.      Yodium
Yodium sangat berguna bagi hormon tiroid dimana hormon tiroid mengatur
metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Yodium juga penting untuk
mencegah gondok dan kekerdilan. Bahan makanan sumber yodium : ikan laut,
udang, dan kerang.
c.       Zink
Zink berfungsi dalam metabolisme tulang, penyembuhan luka, fungsi kekebalan
dan pengembangan fungsi reproduksi laki-laki. Bahan makanan sumber zink :
hati, kerang, telur dan kacang-kacangan.
d.      Zat Besi
Zat besi berfungsi dalam sistem kekebalan tubuh, pertumbuhan otak, dan
metabolisme energi. Sumber zat besi antara lain: hati, telur, ikan, kacang-
kacangan, sayuran hijau dan buah-buahan.
e.       Asam Folat
Asam folat terutama berfungsi pada periode pembelahan dan pertumbuhan sel,
memproduksi sel darah merah dan mencegah anemia. Sumber asam folat antara
lain : bayam, lobak, kacang-kacangan, serealia dan sayur-sayuran.
BAB III
METODE PENELITIAN

Penurunan stunting dapat di cegah dengan makan makanan yang bergizi


yang cukup. Tokre merupakan salah satu contoh makanan yang dapat dikonsumsi
untuk menggurangi kejadian stunting pada balita. Tokre dibuat dengan berbahan
dasar menggunakan tepung terigu dan ikan tongkol
A. Kandungan Pada Tepung Terigu
Jumlah Kandungan Energi Tepung Terigu = 365 kkal
Jumlah Kandungan Protein Tepung Terigu = 8,9 gr
Jumlah Kandungan Lemak Tepung Terigu = 1,3 gr
Jumlah Kandungan Karbohidrat Tepung Terigu = 77,3 gr
Jumlah Kandungan Kalsium Tepung Terigu = 16 mg
Jumlah Kandungan Fosfor Tepung Terigu = 106 mg
Jumlah Kandungan Zat Besi Tepung Terigu = 1 mg
Jumlah Kandungan Vitamin A Tepung Terigu = 0 IU
Jumlah Kandungan Vitamin B1 Tepung Terigu = 0,12 mg
Jumlah Kandungan Vitamin C Tepung Terigu = 0 mg

B. Kandungan Pada Ikan Tongkol


Jumlah kandungan yang terdapat pada ikan tongkol vitamin B12,
selenium, niacin, fosfor, magnesium, riboflavin, vitamin B6, kalium, tiamin, asam
pantotenat, besi, zat besi, tembaga, dan vitamin A.

Pemenuhan gizi untuk mencegah stunting dapat menggunakan ASI,


namun ASI saja tidak cukup untuk balita maka perlu ditambahkannya MPASI
(makanan pendamping ASI) yang memiliki kandungan yang berkualitas zink, zat
besi, serta protein. kandungan yang diperlukan untuk MPASI juga terdapat pada
tokre, oleh sebab itu tokre dapat digunakan untuk peenuhan gizi balita guna
mencegah kejadian stunting pada balita.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Hasil

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada 53 anak kelompok kasus dan 53
anak kelompok kontrol, didapatkan karakteristik sampel penelitian ditinjau dari
demografinya sebagai berikut:

Variabel Stunting
Nilai p
Frekuensi (+) Kasus (-) Kontrol
konsumsi ikan

Kurang 20 (37,7%) 15 (28,3%) 0,302*


Cukup 33 (62,3%) 38 (71,7%)
Jenis ikan
Ikan air laut 28 (52,8%) 40 (75,5%) 0,015*
Ikan air tawar 25 (47,2%) 13 (24,5%)

Status Ekonomi
Rendah 27 (50,9%) 15 (28,3%) 0,017*
Tinggi 26 (49,1%) 38 (71,7%)
Tingkat pendidikan ibu
Pendidikan dasar 24 (45,3%) 16 (30,2%) 0,109*
Pendidikan tinggi 29 (54,7%) 37 (69,8%)
Riwayat pemberian ASI
< 2 tahun 22 (39,6%) 23 (47,2%) 0,844*
≥ 2 tahun 31 (60,4%) 30 (52,8%)

Berdasarkan hasil uji Crackers dengan penambahan tepung ikan patin


dan tepung wortel

Formulasi Penambahan Tepung Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) dan


Tepung Wortel ( Daucus carota L.)

Jenis Formula Tepung terigu Tepung ikan Tepung wortel


(g) patin (g) (g)
A (Kontrol) 210 0 0
B 210 25 25
C 210 50 50
D 210 100 100

Komposisi zat gizi

Bahan pangan Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g)


per 100 g
Tepung Terigu 365 8,9 1,3

Ikan Patin 89 14,91 2,96


Wortel 42 1,2 0,3

Uji Sensori (rerata ±SD)


Formula Warna Tekstur Aroma Rasa Rerata Keseluruhan
A 3,8±0, 3,4±0,7 3,34±0, 3,38±0,
9 7 9 3,48
B 3,96±0 3,06±0, 3,88±0, 3,36±0,
,9 6 8 8 3,56
C 3,04±0 2,36±0, 2,26±0, 3,24±0,
,8 9 7 7 2,72
D 2,9±0 2,1±0,6 2,18±0, 3,12±0,
,7 5 8 2,57

Berdasarkan penelitian diatas menunjukkan bahwa crackers dengan penambahan


tepung ikan patin dan tepung wortel masing-masing 0, 25g, 50g dan 100g
memiliki perbedaan yang signifikan (p <0,05) dalam parameter sensori warna,
tekstur, aroma dan rasa. Crackers dibuat dengan penambahan tepung ikan patin
dan tepung wortel masing-masing 25 g adalah yang paling banyak disukai oleh
panelis menggunakan evaluasi metode Score Card yaitu dengan nilai 3,56 dari 5.
Kadar Protein crackers menunjukkan bahwa nilai rerata kadar protein crackers
berkisar antara 12,53 persen (tanpa penambahan tepung ikan patin dan tepung
wortel) sampai dengan 16,19 persen (penambahan 25 g tepung ikan patin dan
tepung wortel “formula terbaik”).

B.Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa seorang anak yang serng
mengkonsumsi ikan dapat mengurangi kejadian stunting. Hubungan bermakna
didapatkan pada konsumsi jenis ikan terhadap kejadian stunting yaitu nilai
p=0,015. Dari beberapa jenis ikan yang disebutkan oleh responden, dapat
disimpulkan jenis ikan yang paling digemari masyarakat tempat penelitian ini
adalah ikan lele, ikan bawal, dan ikan nila dari golongan ikan air tawar. Ikan
tongkol, ikan bandeng, dan ikan kakap dari golongan ikan air laut. Penelitian
sebelumnya menyatakan bahwa ikan laut memiliki rentang kandungan Ca, Zn,
dan Fe yang lebih tinggi dari ikan air tawar.

Terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi jenis ikan dan status ekonomi
keluarga terhadap kejadian stunting pada anak usia 2-5 tahun. Namun, tidak
ditemukan adanya hubungan yang signifikan pada frekuensi konsumsi ikan,
tingkat pendidikan ibu, dan riwayat ASI 24 bulan terhadap kejadian stunting pada
anak usia 2-5 tahun.

menunjukkan bahwa crackers dengan penambahan tepung ikan patin dan tepung
wortel masing-masing 0, 25g, 50g dan 100g memiliki perbedaan yang signifikan
(p <0,05) dalam parameter sensori warna, tekstur, aroma dan rasa. Crackers
dibuat dengan penambahan tepung ikan patin dan tepung wortel masing-masing
25 g adalah yang paling banyak disukai oleh panelis menggunakan evaluasi
metode Score Card yaitu dengan nilai 3,56 dari 5. Kadar Protein crackers
menunjukkan bahwa nilai rerata kadar protein crackers berkisar antara 12,53
persen (tanpa penambahan tepung ikan patin dan tepung wortel) sampai dengan
16,19 persen (penambahan 25 g tepung ikan patin dan tepung wortel “formula
terbaik”).
Dari kedua penelitian tersebut dapat di buktikan bahwa dengan mengkonsumsi
ikan dapat mengurangi kejadian stanting. Beberapa jenis ikan yang digemari oleh
responden adalah ikan tongkol, lele, bawal, nila, bandeng, dan kakap. Ikan
tongkol memiliki rentang kandungan Ca, Zn, dan Fe yang lebih tinggi, jika
dicampur dengan tepung ikan patin dan tepung wortel sesuai formulasi yang tepat
dapat meningkatkan minat anak untuk mengkonsumsi ikan dan memperbaiki
status gizi anak. Ikan tongkol lebih di gemari karena perbadingan antara ikan lele,
bawal, nila dan bandeng memiliki banyak duri dan jika ikan tongkol di
bandingkan dengan ikan kakap yang memiliki harga relatif mahal, sehingga tidak
semua kalangan masyarakat dapat menjangkau harga dari ikan kakap tersebut.
Oleh karena itu ikan tongkol dapat di gunakan sebagai alternatif pembuatan
crackers tongkol serta di gunakan sebagai pencegahan kejadian stuting pada
balita.

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Mengkonsumsi ikan tongkol baik untuk memenuhi kebutuhan asupan gizi balita,
karena ikan laut memiliki rentang kandungan Ca, Zn, dan Fe yang lebih tinggi
dari ikan air tawar, serta menggunakan empat ector yang menggunakan
formulasi kontrol dan penambahan tepung ikan patin dan tepung wortel masing-
masing 25gr, 50gr, dan 100gr. Oleh karena itu ikan tongkol dapat di gunakan
sebagai ector tive pembuatan crackers tongkol serta di gunakan sebagai
pencegahan kejadian stuting pada balita.

B. Saran

Perlu dilakukan pengolahan tepung ikan tongkol dengan tepat untuk


menghilangkan rasa amis dan perlu adanya perlakuan lebih lanjut tentang
pembuatan crackers dengan substitusi tepung ikan tongkol dan tepung wortel
dengan tepung terigu untuk membandingkan tekstur yang dihasilkan,
mengingat penelitian tentang ini masih sangat jarang, tenaga kesehatan dan
ector-sektor terkait dapat mengupayakan dan mendukung program konsumsi
ikan bagi masyarakat, khususnya ikan air laut.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2018. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Juli 2018.
Diunduh dari
https://www.bps.go.id/publication/2018/07/06/7e2c4030c4b8386bfecf962d/lapora
n-bulanan-data-sosial-ekonomi-juli-2018.html.

Biro Pusat Statistik. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Diunduh


dari: https://www.
bappenas.go.id/files/5413/9148/4109/Proyeksi_Penduduk_Indonesia_2010-
2035.pdf.
Heckman, J. J. 2008. Schools, Skills, and Synapses. Economic Inquiry, 46: 289-
324. doi:10.1111/ j.1465-7295.2008.00163.x.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.

Rachim,Annisa Nailis Fathia, Rina Pratiwi.2017. JURNAL KEDOKTERAN


DIPONEGORO. Volume 6, Nomor 1

Tirtavani,Putri Aulia Arza dan Melisa.2017.Penelitian Gizi dan Makanan.Vol. 40


(2): 55-62

The World Bank. 2016. Reaching the Global Target to Reduce Stunting: How
Much Will it Cost and How Can We Pay for it?. In The Economics of Human
Challenges, ed B. Lomborg. Cambridge, U.K: Cambridge University Press.

The World Bank. Reaching the Global Target to Reduce Stunting: How Much
Will it Cost and How Can We Pay for it?. In The Economics of Human
Challenges, ed B. Lomborg. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press. 2016.

World Economic Forum. 2017. The Global Human Capital Report 2017,
Preparing People for the
Future of Work.

World Economic Forum, The Global Human Capital Report 2017, Preparing
People for the Future
of Work.

Anda mungkin juga menyukai