Anda di halaman 1dari 96

Siti Ilhami Fatmahandayani

Nurul Haromain
Peri Anggraeni
Maya Atri Komalasari, S.Sos., MA.

KEARIFAN LOKAL
BESIRU
Sebagai Daya Juang Masyarakat Pasca
Gempa Bumi Lombok

Mataram University Press


Judul:
Kearifan Lokal Besiru
Sebagai Daya Juang Masyarakat Pasca Gempa Bumi
Lombok

Penulis:
Siti Ilhami Fatmahandayani; Nurul Haromain;
Peri Anggraeni; dan Maya Atri Komalasari, S.Sos., MA

Layout:
Tim Mataram University Press

Design Sampul:
Tim Mataram University Press

Design Isi:
Tim Mataram University Press

Penerbit:
Mataram University Press
Jln. Majapahit No. 62 Mataram-NTB
Telp. (0370) 633035, Fax. (0370) 640189, Mobile Phone
+6281917431789
e-mail: upt.mataramuniversitypress@gmail.com
website: www.uptpress.unram.ac.id.

Cetakan Pertama, Juli 2019

ISBN: 978-602-6640-88-8

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang


memperbanyak, sebagian atau seluruh isi buku ini dalam
bentuk dan dengan cara apapun, tanpa izin penulis dan
penerbit.

ii
Ucapan Terimakasih
Sebelum karya ini menjadi sebuah buku,
karya ini merupakan sebuah luaran yang
diharapkan dari PKM-PSH (program Kreatifitas
Mahasiswa bidang penelitian sosial humaniora)
pada bulan juni 2019 yang beranggotakan tiga
mahasiswa yaitu Siti Ilhami Fatma Handayani,
Nurul Haromain, dan Peri anggraeni. Tiga
mahasiswa tersebut merupakan mahasiswa
program studi Sosiologi Universitas Mataram.

Buku ini jauh dari kata sempurna karena


ini merupakan buku yang pertama kali diterbitkan
oleh penulis melalui sebuah website nulisbuku.com
yang menyediakan fasilitas untuk menerbitkan
buku secara mandiri. Buku ini juga merupakan
hasil belajar secara otodidak dan bimbingan serta
arahan dari berbaga pihak.

Dalam kesempatan ini penulis juga ingin


menyampaikan rasa terimakasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu penulis baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam
menyukseskan penerbitan buku ini antara lain

iii
kepada: Seluruh dosen Program studi Sosiologi
Universitas Mataram yang telah membantu dan
menfasilitasi khususnya kepada ibu Maya Atri
Komalasari S.Sos., MA. Sebagai dosen pembimbing
PKM kami dan telah banyak meluangkan
waktunya untuk berdiskusi dan memberikan saran
terhadap perkembangan PKM kami.

Kedua buku ini kami persembahkan pada


orang tua, kakak, adik, saudara-saudara, keluarga
yang mendukung dalam berbagai bentuk baik doa
maupun fasilitas yang diberikan.

Ketiga pada Teman-teman yang terlibat


dalam penelitian: Jaka Sabroli Ihsan yang berjasa
dalam editing baik cover sampul video, foto dan
lain-lain. Putri Anggun, Nanda Mulajati, Ririn
Aprilia, Rizki Febrian selaku teman kelompok
pada saat turun lapangan pertama di mata kulaih
metodelogi penelitian kualitatif. Selanjutnya pada
Kintan, Winy, Nining, yang ikut terlibat turun
lapangan kedua untuk mendapatkan data lebih
banyak. Dan juga kepada Winka dan keluarga
yang bersedia memberikan kami tempat menginap
serta pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebut
namanya satu persatu.
iv
Penulis merasa karya ini sangat banyak
kekurangan baik dari tataran teknis pengarangan
maupun penulisan, dan bahasa, namun penulis
berharap buku ini memiliki manfaat bagi pembaca
khususnya pada peminat sosio-kultural.

v
vi
DAFTAR ISI

Ucapan Terimakasih ------------------------------iii

DAFTAR ISI ---------------------------------------- vii

BAB I Pendahuluan ------------------------------ 1

BAB II Sejarah Sembalun ------------------------ 7

BAB III Gambaran Umum Desa


Sembalun ------------------------------------------ 27

BAB IV Konsep Kearifan Lokal ----------------- 31

BAB V Apa Itu Besiru? -------------------------- 35

BAB VI Besiru Bagi Masyarakat --------------- 43

BAB VII Besiru Dan Altruisme ----------------- 69

BAB VIII Penutup --------------------------------- 77

DAFTAR PUSTAKA ------------------------------- 79

TENTANG PENULIS ------------------------------ 83

vii
viii
BAB I
Pendahuluan
Masyarakat Indonesia terkenal dengan sikap
ramah, kekeluargaan dan kesetiakawanan
memungkinkan lahirnya prinsip hidup bersama
yang kemudian di sebut gotong royong dan dapat
menjadi penguat karakter bangsa. Gotong royong
merupakan perwujudan sila pancasila yang
mampu menciptakan solidaritas sosial,
mempererat tali persaudaraan, menyadarkan
masayarakat akan kepentingan umum dan
tanggung jawab sosial, menciptakan kerukunan,
toleransi yang tinggi serta rasa persatuan dalam
masyarakat Indonesia. Gotong royong tidak
sekedar menjadi prinsip tapi mampu menjadi
spirit dan tata cara hidup bersama.
Gotong royong hidup dalam masyarakat
yang dinamis, bersamanya masyarakat tertantang
untuk mewariskan prinsip hidup ini dari generasi
ke generasi. Selain itu, hal tersebut juga menjadi
ancaman seiring derasnya arus globalisasi saat ini
yang menimbulkan pengaruh negatif terhadap
perkembangan budaya dan nilai-nilai kearifan
lokal yang dimiliki bangsa indonesia. Kemajuan
teknologi informasi dan globalisasi menjadi suatu
hal yang tidak dapat dihindari, arus globalisasi
yang deras menawarkan gaya hidup yang
cenderung pragmatis yang mengutamakan prinsip
individualis, materialis serta gaya hidup
konsumtif. Perlahan-lahan hal ini telah mereduksi
nilai-nilai yang diajarkan dalam kearifan lokal.
Hal ini dibuktikan dalam penelitian Setiadi, E
dan Kolip, U. (2011) mengemukakan bahwa
masyarakat Indonesia dalam proses pembangunan
di era globalisasi ini memiliki kecenderungan
berupa merosotnya semangat gotong royong,
tidak menghargai prestasi, menempuh jalan
pintas, cenderung menyelematkan diri sendiri
serta memiliki rasa solidaritas sosial dan semangat
kedisiplinan yang menurun. Selain itu, diperkuat
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Hamaidah (2002) di tujuh daerah di Jawa Timur
menunjukkan adanya indikasi penurunan
kepedulian sosial dan kepekaan terhadap orang
lain banyak terjadi pada remaja yang nampak
lebih mementingkan diri sendiri dan
keberhasilannya tanpa mempertimbangkan
keadaan orang lain di sekitarnya.
Pergeseran nilai akibat globalisasi ini bukan
hanya menjadi tantangan tapi dapat menjadi
ancaman pada perubahan karakter bangsa.
Demikian pula pada masyarakat di Pulau
2
Lombok, perkembangan teknologi global yang
semakin pesat, kemajuan pariwisata dan
menjamurnya pusat perbelanjaan modern
memberikan dampak yang sangat signifikan dan
cenderung berakibat pada tersingkirnya nilai-nilai
kearifan lokal seperti budaya tolong menolong
atau yang dikenal dengan budaya besiru pada
masyarakat Lombok. Masyarakat Sembalun
merupakan salah satu daerah di Pulau Lombok
yang memiliki tingkat kepedulian dan tradisi
kegotong royongan (besiru) semakin lama
mengalami degradasi akibat dari kemajuan
pariwisata dan ditetapkannya daerah ini sebagai
the best halal tourism dan best honey moon yang
membuat masyarakat terkontaminasi ke arah yang
negatif. Namun, sebuah kejadian alam menjadi
refleksi diri bagi masyarakat Lombok, kejadian
alam gempa bumi berturut-turut dengan
kekuatan 6,5 Skala Richter di daerah Sembalun,
Lombok Timur serta dilanjutkan dengan gempa
berkekuatan 7,0 Skala Richter di daerah
Kabupaten Lombok Utara mengakibatkan
pembangunan yang terjadi di Lombok menjadi
lumpuh total dan 23.098 rumah rusak serta 466
Korban Meninggal dunia dengan kerugian
mencapai 8,8 Triliun Rupiah mengingatkan
masyarakat Lombok akan makna solidaritas yang
telah memudar.

3
Kejadian alam gempa bumi tersebut
membuat masyarakat Lombok kembali
melestarikan budaya saling tolong menolong,
gotong royong, serta rasa persatuan yang tinggi
untuk membangun Lombok kembali. Sementara
di daerah lain beredar kabar tentang penjarahan
dan pencurian. Namun, masyarakat Lombok
khusunya di Desa Sembalun Bumbung
Kecamatan Sembalun menunjukan ekspresi sosial
yang berbeda dengan munculya sebuah gerakan
untuk membantu korban Gempa dan Tsunami
yang ada di Sulawesi Tengah. Saat mereka sedang
dilanda kesusahan, gempa skala ringan yang
sering terjadi, tempat tinggal masih menggunakan
tenda dan kebutuhan hidup yang belum normal
tidak menyurutkan niat mereka untuk membantu.
Upaya yang dilakukan adalah menjual hasil bumi
mereka yang nantinya hasil penjualan tersebut
akan digunakan sepenuhnya untuk korbang
gempa yang ada di daerah Palu dan Donggala.
Selain itu, masyarakat Desa Sembalun Bumbung
juga melakukan hal yang sama untuk membangun
kembali masjid mereka. Semangat tolong
menolong, gotong royong serta persatuan yang
kuat mulai perlahan-lahan muncul kembali
(Kompas, 2018)

Buku ini bertujuan untuk memberikan


inspirasi kepada masyarakat lain untuk bangkit
4
dari ujian yang diterima melalui penguatan
solidaritas sosial. Selain itu penelitian ini
bertujuan untuk memberikan referensi kepada
pemerintah dalam mengambil keputusan melalui
penemuan data yang akan didapatkan, sehingga
peneliti merasa perlu mengkaji Solidaritas Sosial
Besiru Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat
Sembalun dalam Daya Juang mereka pasca gempa
bumi Lombok.

5
6
BAB II
Sejarah Sembalun
Desa Sembahulun disebut juga Desa
Sembalun. Sembahulun berarti Suku Sasak yang
pertama mengenal dan diajarkan tauhid lewat
meditasi penyatuan diri dengan Alam Raya,
sebagai konsekuesinya bahwa seorang hamba
harus patuh dan taat kepada Tuhannya, saling
menghormati dengan kehidupan lainnya. Jadi,
kata sembahulun berarti menyembah kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Desa Sembahulun pada
masa Pradesa didiami oleh tujuh pasang suami
istri yang tinggal dan hidup secara primitip tanpa
mengenal peradaban dalam mengatur kehidupan
dan penghidupan kelompoknya. Keadaan alam
Desa Sembalun pada masa Pradesa ini merupakan
tanah Rawa-rawa yang sulit dimanfaatkan untuk
sumber penghidupan penduduknya, apalagi
penduduknya masih belum mengenal peradaban
yaitu belum mengenal cara berpakain/berbusana,
bertani dan memasak makanan.

7
Pada masa Pradesa penduduk yang terdiri
dari 7 pasang suami istri itu tidak pernah
mengalami per-tambahan penduduk atau tidak
pernah terjadi regenerasi penduduk. Keadaan
kestatisan kependuduk-kan ini berlangsung
berpuluh - puluh tahun tanpa ada perubahan,
baik dari jumlah penduduk maupun tingkat
kehidupan dan penghidupannya. Dalam keadaan
ke-statisan datang dua pendatang yang membawa
pe-rubahan bagi 7 (tujuh) pasang suami istri itu.
Kedua pendatang tersebut bernama Raden Harya
Pati dan Raden Harya Mangun Jaya. Asal dari
kedua pendatang tersebut dan tahun berapa
kedatangan mereka belum ada catatan sejarah dan
angka tahun yang tertulis, tetapi yang jelas bahwa
kedua pendatang tersebut datang pertama kali di
sekitar lokasi Lendang Guar Desa Sembalun
Lawang sekarang ini. Raden Harya Pati dan
Raden Harya Mangun Jaya mendatangi tujuh
pasangan suami istri itu ketika mereka membuat
gundukan tanah di atas tanah Rawa - rawa.
Pembuatan gundukan tanah itu hanya dikerjakan
dengan tangan sendiri (primitip) tanpa
menggunakan peralatan per-tanian sebagai mana
mestinya. Ketika Raden Harya Pati dan Raden
Harya Mangun Jaya melihat dari dekat apa yang
sedang dikerjakan oleh penduduk tersebut, maka
Raden Harya Pati dan Raden Harya Mangun

8
Jaya memanggil mereka semua untuk berkumpul
guna diberikan pelajaran sebagai bekal
kehidupanya di alam. Pelajaran– pelajaran yang
diberikan oleh Raden Harya Pati dan Raden
Harya Mangun Jaya di awali dengan beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
“Hai manusia: maukah kalian
menjadi manusia yang beradab
dengan mengenakan pakaian /
busana, maukah kalian hidup di atas
tanahmu ini sebagai manusia
selanyaknya, dan maukah kalian
menjadi manusia yang mau
menyembah Tuhan sebagai pencipta-
mu?”
Dengan serentak 7 (tujuh) pasangan suami
istri itu menjawab sebagai tanda kesedianya
menerima pelajaran yang berguna bagi diri
mereka, tetapi dibalik kesedianya itu mereka
masih mengasingkan kemampuan dirinya karena
merasa dirinya belum pernah mengetahui
peradaban manusia sebenarnya.
Kemudian Raden Harya Pati dan Raden
Harzya Mangun Jaya melanjutkan ajarannya
dengan memberikan 4 macam pegangan hidup
yaitu sebagai berikut:

9
1. Kuberikan kamu adat dan agama (Islam)
sebagai pegangan hidupmu
2. Kuberikan kamu kitab (Al-Qur’an) sebagai
pedoman adat agamamu
3. Kuberikan kami padi (Satu ikat padi merah)
sebagai makananmu
4. Kuberikan kamu senjata untuk bertani dan
membela dirimu
Selesai memberikan pelajaran tersebut,
selanjutnya Raden Harya Mangun Jaya
menyiapkan tanah persawahan sebagai tempat
menanam padi bagi 7 pasangan suami istri itu.
Dikisahkan bahwa tanah tersebut dibuat oleh
Raden Haria Mangun Jaya dengan syarat
jungkatnya diputar – putarkan ke tanah (diatas
tanah), dengan izin dan kekuasaan Tuhan Yang
Maha Kuasa, maka tanah sawah ini terhampar
dan membentang dari Sembalun Lawang sampai
Sembalun Bumbung sekarang. Pada kesempatan
itu juga ketujuh pasangan suami istri itu
diberikan nama panggilan masing – masing,
antara lain yang dapat disebutkan adalah Nek
Islamin, Nek Ketanegara, Nek Bagia dan Nek
Ratani. Dengan selesainya keempat pelajaran
yang dilengkapi dengan tanah sawah luas, Raden
Harya Pati dan Raden Harya Mangun Jaya
memberikan wejangan (nasehat) dan peringatan
10
kepada 7 pasangan suami istri, yang mana
wejangan / peringatan itu disampaikan oleh
Raden Harya Pati yaitu sebagai berikut:
1. Mulai saat ini tanah tempat kalian hidup ini
kuberi nama SEMBAHULUN atau tanah
Sembalun
2. Kalian harus ingat dan waspada bahwa untuk
waktu yang akan datang kalian pasti akan
menhadapi peperangan, tetapi dalam
menghadapi peperangan nanti kalian pasti
mendapat bantuan atau pertolongan.
SEMBALUN DALAM MASA
PEPERANGAN
Sebagai mana telah diingatkan oleh Raden
Harya Pati dan Raden Harya Mangun
Jaya kepada 7 pasangan suami istri itu tentang
datangnya peperangan, maka 7 pasangan suami
istri yang pada saat berikutnya sudah mengalami
perkembangan jumlah penduduk (pertambahan
penduduk), menghadapi 3 kali peperangan
berturut – turut yaitu sebagai berikut:
1. Perang Ketupat Yaitu Perang Melawan Iblis
(Jin Jahat)
Dalam peperangan melawan iblis ini,
penduduk tanah Sembahulun berperang mati
– matian mempertahankan dirinya denga

11
sekuat tenaga, tetapi lawan perang yang
dihadapi ini adalah tentara iblis dan jin jahat
yang kuat dan sukar dihancurkan.Tentara
iblis itu tidak bisa dilawan dengan senjata
tajam seperti parang atau pedang karena
setiap kali iblis itu tertebas parang/ pedang
menjadi dua atau tiga potong, maka
potongan-potongannya itu akan berubah
menjadi iblis-iblis yang baru dan menyerang
semakin ganas lagi.
Jadi, semakin lama bergolak peperangan
ini semakin berkurang jumlah penduduk
tanah Sembahulun, sebaliknya jumlah tentara
iblis semakin bertambah banyak, ini berarti
bahwa penduduk tanah Sembahulun akan
mengalami kepunahan. Dalam keadaan kritis
ini dan sebagai janji/pesan Raden Harya Pati
dan Raden Harya Mangun Jaya tentang akan
adanya bantuan, penduduk tanah
sembahulun dibantu oleh tiga pendatang
yaitu Raden Ketip Muda, Raden Sayyid
Hamzah dan Raden Patih jorong.
Ketiga penolong tersebut dengan mudah
mengalahkan tentara iblis yang garang
dengan bersenjatakan ketupat yang mana
ketupat-ketupat yang digunakan sebagai
senjata dari ketiga penolong ini digunakan
dengan cara melemparkan ketupat kearah
12
tentara iblis sebanyak 3 lemparan yaitu
sebagai berikut:
a. lemparan pertama pada tanggal 5, dengan
mengucapkan tanggal 5
b. lemparan kedua pada tanggal 15, dengan
mengucapkan tanggal 15
c. lemparan ketiga pada tanggal 25, dengan
mengucapkan tanggal 25
Ketika pada lemparan ketiga dilakukan,
iblis itu habis dan hilang tanpa bekas kemana
perginya atau iblis itu hilang lenyap seketika
itu juga. Setelah selesai peperangan Raden
Ketip Muda, Raden Sayid Hamzah dan
Raden Patih jorong berpesan
kepada penduduk tanah Sembahulun yang
masih tersisa yaitu sebagai berikut:
a. kamu harus mengambil air setiap kali
penurunan bibit /panen padi sebagai
tanda kemenanganmu pada perang
melawan iblis.
b. setiap tiga tahun sekali kamu harus
memotong kerbau sebagai rasa syukur atas
kemenanganmu menghadapi peperangan.
Kedua pesan diatas dilaksanakan dalam
upacara peringatan perang ketupat yang
diperingati tiga tahun sekali oleh masyarakat

13
Desa Sembalun Lawan dan Desa Sembalun
Bumbung sampai saat sekarang ini sebagai
upacara adat yang dikenal dengan Upacara
Adat Ngayu – Ayu.
2. Perang Panah Racun
Perang ketupat yang bisa diatasai oleh
penduduk tanah Sembahulun atas bantuan
Raden Ketip Muda, Raden Sayyid Hamzah
dan Raden Patih Jorong menyebabkan
hancurnya tentara iblis dan kekalahan iblis
itu menyebakan balas dendam tentara iblis
pada peran g berikutnya yaitu pada Perang
Panah Racun. Perang Panah Racun
merupakan perang pembalasan iblis atas
kekalahannya pada perang ketupat, yang
mana dalam perang ini tentara iblis
melancarkan serangannya dari jarak jauh
karena secara langsung atau perang tanding
tentara iblis sudah tidak berani lagi karena
takut menginjakkan kakinya di tanah atau
Gumi Sembahulun.
Perang Panah Racun ini menyerang
tanaman pertanian penduduk tanah
Sembahulun ,dalam serangan itu penduduk
tidak tahu apa yang haru dikerjakann karena
dalam peperangan ini pihak musuh tidak
menampakkan dirinya tetapi yang tampak

14
adalah serangannya berupa racun atau hama
tanaman yang di tiupkan dari jarak jauh dan
dapat memusnahkan seluruh tanaman di
sawah.
Dalam kesulitan menghadapi serangan
racun atau hama tanaman ini , penduduk
hampir berputus asa karena segala cara dan
usaha tidak membawa hasil yang diharapkan
malah sebaliknya penduduk mengalami krisis
pangan karena hasil sawahnya tidak
mendapatkan hasil sama sekali.Pada suasana
sulit seperti inilah datangnya
bantuan/pertolongan dari Raden Patra Guru
(masih dalam kelompok penolong
sebelumnya).Raden Patra Guru memberikan
petunjuk kepada penduduk tanah
Sembahulun tentang bagaimana cara
menghadapi serangan perang panah racun
yang merusak tanaman di sawah.Petunjuk
yang di berikan yaitu dengan menggunakan
obat penawar racun yang berupa air yang
diperoleh dari air Timba Bau.perang panah
racun bisa diatasi oleh penduduk tanah
sembahulun dan secara berangsur – angsur
tanaman di sawah penduduk kembali baik
seperti sediakala, dan untuk memperingati
kemengan ini diadakan upacara Bija Tawar.
3. Perang Bala
15
Perang demi perang dapat diatasi oleh
penduduk tanah Sembahulun dengan gigih
dan susah payah seperti Perang Ketupat yang
hampir memusnahkan penduduk dan Perang
Panah Racun merusak habis tanaman
penduduk tanah Sembahulun. Kemenangan
pada peperangan tersebut di bantu oleh
Raden Ketip Muda, Raden Sayid Hamzah,
Raden Patih Jorong dan Raden Patra Guru
yang mana keempat Raden ini adalah
penolong yang sama seperti Raden Harya
Pati dan Raden Harya Mangun Jaya. Dalam
Perang Bala ini, penduduk tanah Sembahulun
mengahadapi serangan wabah penyakit yang
diderita oleh seluruh penduduk dan itu
berarti bahwa seluruh penduduk tidak bisa
melakukan segala kegiatan sehari – harinya
terutama dalam mengolah sawahnya.
Perang ini merupakakan perang terberat
yang dihadapi oleh penduduk karena
penduduk tidak bisa saling tolong –
menolong satu sama lain.Apabila perang
melawan Bala ini berkepanjangan,dapat
dipastikan bahwa kehidupan dan
penghidupan akan kembali seperti keadaan
semula yaitu hilangnya tata kehidupan
penduduk dan hancurnya sumber
penghidupan penduduk.Sudah menjadi

16
urutan sejarah penduduk tanah Sembahulun
harus mengalami waktu atau masa yang pahit
dalam perjuangan hidupnya,dan begitu pula
dengan keberhasilannya saat menghadapi
perang Bala ini karena dalam perang ini
penduduk tanah Sembahulun di jenguk oleh
Raden Harya Pati , Raden Harya Mangun
jaya, Raden Ketip Muda, Raden Sayyid
Hamzah, Raden Patih Jorong dan Raden
Patra Guru. Bantuan dari keenam Raden
tersebut dapat menormalkan keadaan
penduduk tanah Sembahulun dari ancaman
wabah penyakit. Keenam Raden itu
memberikan petunjuk, bagaimana caranya
melawan perang wabah penyakit kepada
setiap penduduk dengan senjata ampuh yang
disebut senjata Tolak Bala yaitu berupa
kalimat asma Allah : Lailahhaillah
Muhammadarasulloh/Hingsun Hame Muji
Hanebut Nama Ning Allah Kang Murah
Hing Dunia Reko Ingkang Asih Ring
Akhirat Lan Muhammad Satu Hune Utusan
Allah (tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad utusan Allah).
Akhirnya perang melawan Bala dengan
kemenangan di pihak penduduk tanah
Sembahulun,maka berakhirlah tiga
peperangan yang menjadi halangan,rintangan

17
dan sekalig us menjadi ujian berat untuk
menuju keberhasilan dan ketentraman lahir
batin.Untuk memelihara keamanan dan
ketentraman penduduk tanah Sembahulun,
keenam Raden tersebut diatas mengajak
penduduk untuk menetapkan siapa – siapa
yang mampu menjaga dam memelihara
keamanan dan ketentraman tanah
sembahulun sesuai bidang tugasnya masing –
masing.
Sebagai hasil keputusan dan atas restu
Raden Harya Pati dan Raden Harya Mangun
Jaya maka ditunjuklah empat dari ketujuh
pasangan suami istri itu yaitu:
a. Nek Kertanegara sebagai Prabekel yaitu
pimpinan atau ketua adat yang bertugas
memperhatikan dan mendengarkan
kepentingan penduduk.
b. Nek Islamin sebagai Kyai yaitu melakukan
pembinaan mental sepiritual atau
mengurus bidang keagamaan penduduk.
c. Nek Bagia sebagai Pemangkku adat atau
Krama desa.
d. Nek Ratani sebagai Pande yaitu orang
yang mampu memberikan pelajaran atau
pengetahuan kepada penduduk,
menyiapkan atau membuat peralatan
18
rumah tangga, pertanian dan senjata untuk
perang.
Dengan selesainya pembentukan pimpinan
ketua adat maka Raden Harya Pati atas nama
keenam Raden tersebut menetapkan tanah
Sembahulun sebagai Desa Sembahulun yang
akhirnya menjadi Desa Sembalun.Raden Haria
Pati beserta kelima orang rekannya melanjutkan
perjalanan kearah selatan dari Lendang Luar dan
perjalanan mereka menuju ke selatan ini diikuti
oleh seluruh penduduk desa yang ada pada saat
itu.Selanjutnya mereka menuju ke desa tua yang
sekarang disebut Desa Belek.Perjalanan mereka
berakhir pada sebuah tempat yaitu sebelah selatan
masjid Nurul Palah Sembalun Bumbung
sekarang.

Setibanya ditempat terakhir itu (tempat


berakhir perjalanan mereka) maka dengan
seketika keenam Raden ini hilang lenyap tampa
meninggalkan jejak kemana mereka pergi yang
menyebabkan penduduk yang mengikutinya pada
saat itu heran mengalami keajaiban tersebut dan
sebagai peringatan untuk mengenang tempat
hilangnya keenam Raden selaku penolong maka
dibangunlah sebuah langgar yang berlokasi tepat
disebelah selatan Masjid Nurul Palah. Bangunan
langgar itu sudah tidak ada karena dimusnahkan
19
oleh bencana kebakaran kurang lebih 45 tahun
yang lalu.Setelah keadaan Desa Sembalun
berkembang secara wajar dibawah pimpinan
empat Nek tersebut diatas (kata Nek berarti
orang yang dianggap tua)maka tiga Nek yang
lain turun kedaerah bawah untuk
mengembangkan generasinya antara lain ke
Banjar Getas (wanasaba), Selaparang,Praya dan
desa – desa lain di pulau Lombok.
LANDASAN HIDUP MASYARAKAT
SEMBALUN.
Sembalun pada masa zaman dahulu
merupakan tempat para waliyulllah atau para
auliya untuk melihat kebesaran Allah dan
berdzikir untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Masyarakat yang mendiami Sembalun memiliki
perjanjian dengan penguasa pulau dan para
Auliya Allah agar sembalun ini dipelihara karena
pada hakekatnya sembahulun ini adalah tempat
berkhalwat (mengasingkan diri untuk berdzikir)
mengingat Allah. Hal tersebut sejalan dengan
landasan atau pedoman hidup yang dimiliki oleh
masayarakat Sembalun, dimana ada 3 hal yang
menjadi landasan dalam hidupnya yakni 1)
Hablummina Allah (Menjaga hubungan dengan
Allah), 2) Hablummina An-Nas dan 3) Hablum
Minal Alam.

20
1. Hablummina Allah (Menjaga hubungan
dengan Allah) yang tercermin dari
masyarakatnya yang religius, selalu
berusaha untuk tetap mendirikan sholat
dan menjaga tauhidnya agar jangan sampai
goyah
2. Hablummina An-Nas (menjaga hubungan
kerukunan dengan semua manusia) yang
diimplementasikan dengan bersikap baik
dan ramah kepada semua orang baik itu
saudara yan dikenal atau yang tidak dikenal
bahkan orang-orang yang berasal dari
agama yang berbeda akan senatiasa
dihargai selama mereka tidak menggangu
interaksi dan keberlangsungan kehidupan
antar masyarakat Sembalun.
3. Hablum Minal Alam menjaga hubungan
dengan Alam artinya setiap tindakan dan
perilaku yang dilakukan harus arif terhadap
alam dan tidak boleh berdasarkan
kehendak semata tanpa memperdulikan
alam karena pada zaman dahulu Sembalun
hanyalah berbentuk seperti hutan belantara
yang dikeliling oleh pohon-pohon sehingga
mereka sangat menjaga hubungan baik
dengan alam bahkan masyarakat Sembalun
juga memiliki kemampuan untuk berbicara
dengan batu, kayu, gunung. Hal ini

21
dikarenakan setiap masyarakat ingin
memanfaatkan pohon-pohon atau hal lain
dari alam masyarakat Sembalun selalu
meminta izin kepada batu, gunung dan
kayu tersebut dikarenkan masyarakat
beranggapan bahwa benda-benda tersebut
memiliki aturan.
Berdasarkan landasan tersebut masyarakat
Semalun terus menjaga hubungan dengan
lingkungannya. Keadaan inilah yang
memunculkan suatu tindakan atau Budaya Besiru
sebagai implementasi dari 3 landasan hidup
tersebut.
TERBENTUKNYA PEMERINTAHAN
DESA SEMBALUN BUMBUNG DAN
SEMBALUN LAWANG

Dari sejarah berdirinya desan Sembalun


Bumbung dan Sembalun Lawang yang dimulai
dari istilah tanah Sembahulun sebagai masa
terakhir adanya suatu bentuk pemerintahan desa
yang masih sederhana yaitu berupa Prabekel,
Kyai, Pemangku dan Pande di perkirakan
berdirinya pada tahun 1428 dengan susunan
pemerintahannya sebagai berikut:
a. Nek Kertanegara menjabat sebagai Prabekel
yaitu jabatan setingkat dengan Ketua Adat /

22
Pimpinan Adat atau Kepala Desa pada saat
itu Prabekel dibantu oleh perangkat –
prangkatnya yaitu Kyai/Penghulu,pemangku
dan Pande.
b. Nek islamin menjabat sebagai Kyai/Penghulu
atau Pemuka Agama /Pimpinan Bidang
Agama
c. Nek Bagia menjabat sebagai Pemangku yaitu
menjaga dan memelihara keamanan,
ketentraman, kesejahteraan dan kemakmuran
desa.
d. Nek Ratani menjabat sebagai Pande yaitu
menyiapkan atau membuat peralatan rumah
tangga, peralatan pertanian seperti pacul, alat
baja dan ala/senjata untuk membela diri
seperti pedang, parang dan sebagainya.
Maka masa pemerintahan ini berlangsung
ratusan tahun (di hitung dari sejak berdirinya
pada tahun 1428) atau secara regenerasi dari
pada bentuk pemerintahan ini berlangsung
sampai dengan 4 generasi atau generasi keempat.
Setelah regenerasi pemerintahan sampai pada
generasi keempat maka lahirlah pemerintahan
Desa sembalun bumbung yang lebih
sempurna dari bentuk pemerintahan sebelumnya
dan pemerintahan Desa Sembalun Bumbung
diperkirakan berdirinya pada tahun 1855.
23
Sejak berdirinya pemerintahan Desa
Sembalun Bumbung pada tahun 1855 sampai
sekarang sudah terjadi 15 (Lima Belas) kali
pergantian Kepala Desa Sembalun Bumbung
yaitu sebagai berikut
1) Pe Darmasih : Tahun 1855 - 1858
2) Pe Sumenep : Tahun 1858 - 1888
3) Pe Sairah : Tahun 1888 - 1915
4) Pe Darwisah : Tahun 1915 - 1925
5) Pe Darmenep : Tahun 1925 - 1954
6) Pe Darmeti : Tahun 1954 - 1959
7) Pe Maringgih : Tahun 1959 - 1961
8) Pe Rumedi : Tahun 1961 - 1965
9) Pe Seriaksa (H. Nurahsan): Tahun 1965 - 1968
10) Seriaksa : Tahun 19681 - 1974
11) H. Rumedi Surnipa : Tahun 1974 - 1997
12) H. Muh. Kartip SH : Tahun 1997 - 2005
13) Supdi : Tahun 2005 - 2011
14) Supdi : Tahun 2005 - 2017
15) Sunardi : Tahun 2018 -
Sekarang

24
Sedangkan pemerintahan Desa Sembalun
Lawang yaitu sebagai berikut:
1) Pe Nawinih
2) Pe Milamsyah
3) Pe Nawirih
4) H. Mustiadi NH,
5) Ust.ABD.Rahman
6) H. Idris
Sedangkan pemerintahan desa sajang adalah
sebagai berikut:
1) Pe Rumihin
2) Pe Indrajati
3) A. Nil
4) H. Tarmizi
5) Srimawan.
6) H. L. Kanahan
Sedangkan pemerintah Desa Bilok Petung
Sebagai berikut:
1) Jadi Wrdian, S. Pd.

25
26
BAB III
Gambaran Umum Desa
Sembalun
A. Kondisi Fisik

Desa Sembalun Bumbung terletak pada


ketinggian 1200 mdpl diatas permukaan Laut.
memiliki Luas Wilayah 5. 597 Ha, dengan
Jumlah Penduduk pada tahun 2016 sebesar
8.132 Jiwa dengan jumlah KK 2.242 yang
terdidiri dari laki-laki 4.115 jiwa dan perempuan
4.017 jiwa dan pada tahun 2017 jumlah
penduduknya sebesar 8.426 Jiwa dengan Jumlah
KK 2.316 yang terdiri dari laki-laki 4.087 jiwa
dan perempuan 4.339 jiwa.

Jarak Tempuh dari Ibu Kota Kecamatan


Sembalun Sepanjang 6 KM dan di tempuh
selama 15 Menit dan Ke Ibu Kota Kabupaten
Sepasnjang 33 KM dan di tempuh selama 2 Jam

27
Serta jarak ke Ibu Kota Propinsi Sepanjang 89
Km .dan di tempuh selama 3 Jam

Batas-batas wilayah Desa Sembalun


Bumbung adalah Sebelah Utara Desa Sembalun
Lawang Sebelah Selatan Desa Sapit dan Desa
Sebelah Timur Desa Perigi dan Sebelah Barat
Desa Sembalun Lawang

Luas wilayah Desa Sembalun Bumbung


Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur
adalah 5.597 Ha meliputi lahan sawah seluas
1.140 Ha dan lahan kering/tegalan/kebun seluas
451 Ha ,pemukiman dan pekarangan 18,40 ,
jalan 7 Ha dan tanah pekuburan 4 Ha .
selebihnya adalah hutan lindung dan kawasan
taman nasional gunung rinjani seluas 3.773
Desa Sembalun Bumbung terletak di bawah
kaki gunung rinjani, dengan cuaca serta musim
yang memberikan kondisi alam dengan peranan
strategis yang tinggi nilainya bagi masyarakat.
Dengan demikian di dalam menyelenggarakan
dan pengolahan lingkungan hidup yang sehat dan
bersih,. Tujuannya adalah memperkecil pengaruh
negative terhadap lingkungan, memaksimalkan
pengaruh positif kegiatan manusia bagi
lingkungan, serta mendeteksi secara dini
terjadinya pencemaran lingungan.

28
Selain itu juga Desa Sembalun Bumbung
merupakan desa yang mempunyai beberapa
sumber mata air dan sungai yang dimamfaatkan
oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
mereka sehari-sehari termasuk di mamfaatkan
oleh masyarakat untuk keperluan irigasi.

Sumber daya berupa air bersih di Desa


Sembalun Bumbung dari 2316 rumah tangga
yang keseluruhannya mendapatkan akses Air
bersih dengan menggunakan fasilitas sumur
gali sebanyak 14 pengguna dan menggunakan
mata air sebanyak 2.316 rumah tangga serta
pengguna fasilitas perpipaan sebanyak 4.462
rumah tangga.
Proporsi lahan sawah, lahan
kering/tegalan/kebun setiap tahun mengalami
perubahan karena perubahan status berkaitan
dengan penggunaan untuk pemukiman,
pembuatan jalan dan lain-lain. Lahan sawah
cenderung menurun karena program
ekstensifikasi tidak ada, atau tidak terprogram
setiap tahun.

B. Kondisi Sosial
Pada kondisi sosial, Desa Sembalun
Bumbung masih memegang prinsip gotong-
royong hal ini tampak pada jumlah persentase

29
jumlah gotong-royong pada setiap kegiatan. Baik
kegiatan membangun sarana umum seperti :
Masjid, Jalan, membangun Rumah, menjaga
kebersihan, menaggulangi bencana alam
Desa Sembalun Bumbung dalam
mewujudkan keamanan dan ketertiban
masyarakat yaitu dengan melaksanakannya piket
ronda portal, poskamling Desa Sembalun
Bumbung sedangkan peran serta masyarakat yaitu
dengan adanya ronda malam disetiap kekadusan
yang sudah di jadwalkan oleh kepala Dusun
masing-masing dan dilaporkan kepemerintah
Desa. Peran serta ini menujukkan partisipasi
masyarakat yang sudah cukup baik di Desa
Sembalun Bumbung sehingga keamanan dan
ketertiban di Desa Sembalun Bumbung sudah
terjaga dengan baik.

30
BAB IV
Konsep Kearifan Lokal
Kearifan lokal (local wisdom) dalam disiplin
antropologi dikenal juga dengan istilah local
genius. Local genius ini merupakan istilah yang
mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales,
(Ayatro haedi, 1986). Para antropolog
membahas secara panjang lebar pengertian local
genius ini, antara lain Haryati Soebadio
mengatakan bahwa local genius merupakan
bagian culturalidentity, identitas/kepribadian
budaya bangsa yang menyebabkan bangsa
tersebut mampu menyerap dan mengolah
kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan
sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara
Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41)
mengatakan bahwa unsur budaya daerah
potensial sebagai local genius karena telah teruji
kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.
Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai
berikut: (1) mampu bertahan terhadap budaya
luar, (2) memiliki kemampuan mengakomodasi

31
unsur-unsur budaya luar, (3) mempunyai
kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar
ke dalam budaya asli, (4) mempunyai
kemampuan mengendalikan, (5) mampu
memberi arah pada perkembangan budaya.

Sibarani (2014:180) menyatakan bahwa,


kearifan lokal adalah kebijaksanaan dan
pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal
dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur
tatanan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini
kearifan lokal itu bukan hanya nilai budaya,
tetapi nilai budaya dapat dimanfaatkan untuk
menata kehidupan masyarakat dalam mencapai
peningkatan kesejahteraan dan pembentukan
kedamaian.
Menurut Sibarani dan Balitbangsos Depsos
RI, (Sibarani, 2014:5) “Kearifan lokal (local
wisdom) dapat dipahami sebagai nilai-nilai
budaya, gagasan-gagasan tradisional, dan
pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur
yang dimiliki oleh anggota masyarakat dalam
menata kehidupan sosial mereka”. Kearifan lokal
itu diperoleh dari tradisi budaya atau tradisi lisan
karena kearifan lokal merupakan kandungan
tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun
menurun diwariskan dan dimanfaatkan menata
32
kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang
kehidupannya. Kearifan lokal adalah nilai budaya
lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur
tatanan kehidupan masyarakat secara arif dan
bijaksana.

Kearifan local menjadi penting dan


bermanfaat ketika masyarakat local yang mewarisi
sistem pengetahuan itu mau menerima dan
mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan
mereka. Dengan cara itulah, kearifan local dapat
disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu
dapat dilihat dari ekspresi kearifan local dalam
kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi
dengan sangat baik, setiap bagian dari kehidupan
masyarakat lokal diarahkan secara arif
berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana
tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas
keseharian dan interaksi dengan sesama saja,
tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak
terduga seperti bencana yang dating tiba-tiba
(Beata, 2016:3).

33
34
BAB V
Apa Itu Besiru?
Pada masyarakat Sasak khususnya di desa
Sembalun, Besiru sering dilakukan dalam
kegiatan membantu masyarakat khususnya pada
bidang pertanian atau agraria. Besiru ini terus
dilakukan sejak zaman Nenek moyang dan masih
dilestarikan serta tertanam kuat dalam diri
masyarakatnya hingga saat ini sebagaiamana
ungkapan dari salah satu informan (Tokoh
Agama)
“ besiruan min sembalun khususna
Desa Sembalun Bumbung nene uwah
arak lekan ita masih jari angin sampai
ningka masih tetep lestariang min
masyarakat “.
Artinya Besiruan telah ada di Desa Sembalun
Bumbung ini sudah dari zaman dahulu bahkan
sebelum saya lahir juga sudah ada dan tetap
dilestarikan oleh masyarakat sampai sekarang.
Besiru jika diistilahkan menggunakan bahasa
Indonesia adalah gotong royong atau saling balas
35
(resiprositas) yang berarti masyarakat sembalun
Bumbung saling balas dalam hal kebaikan dimana
setiap ada kelebihan yang dimiliki oleh
masyarakat mereka akan menyumbangkannya
kepada masyarakat lain yang membutuhkan.
Konsep tindakan besiru tidak jauh dengan gotong
royong tetapi perbedaannya adalah besiru
dilakukan oleh masyarakat untuk membantu
pekerjaan orang lain dengan menggunakan
sumberdaya atau kemampuan seadanya sehingga
semua pekerjaan dikerjakan bersama-sama dengan
saling mengisi kekurangan satu sama lain. Jadi
Besiru ini dilakukan untuk mempermudah
pekerjaan orang lain misalnya dalam suatu
kegiatan seperti membuka sawah, membangun
rumah, hingga pekerjaan yang besar seperti
membuka jalan. Setiap masyarakat yang memiliki
sumberdaya baik berupa apapun yang dibutuhkan
dalam kegiatan itu seperti misalnya, cangkul,
kerbau, alat banguna lainnya maka alat itu yang
dibawa untuk membantu masyarakat dalam
menyelesaikan pekerjaan tersebut bahkan
meskipun yang hanya memiliki tenaga saja maka
tetap membantu sesama dengan kemampuan
seadanya. Kemudian pada situasi yag sama
masyarakat yang membantu orang sebelumnya
akan membantu pekerjaan yang dilakukan dengan
kemampuan atau sumberdaya yang dimiliki. Hal

36
ini yang memunculkan resiprositas atau timbal
balik meskipun masyarakat tidak pernah
mengharapkannya tetapi masyarakat terdorong
untuk melakukannya sendiri tanpa harus diminta
sehingga besiru ini mejadi budaya dan dapat
dikatakan sebagai suatu bentuk solidarias sosial
karena membentuk prilaku kolektif serta
kebersamaan secara kuat.

Tindakan besiru pada zaman dahulu berawal


dari aktivitas pertanian dari mengolah tanah
pertanian, menanam hingga melaksanakan panen
secara bergilir tanpa upah. Aktivitas awal
pertanian yang dilakukan pada zaman dahulu
oleh masyarakat di Desa Sembalun Sembalun
adalah hanya sebatas menanam padi. Masyarakat
di Desa Sembalun Bumbung mengartikan besiru
juga sebagai perilaku sosial masyarakat terkait
dengan solidaritas sosial antar sesama
sebagaimana ungkapan dari salah satu informan
“besiru mun ita kadu istilah bahasa
indonesia jak gotong royong. Besiru
artina saling balas dengan
bekelompok-kelompok”
artinya Besiru merupakan perilaku saling
membalas kebaikan dengan cara berkelompok-
kelompok. Pengelompokan ini merupakan suatu
kegiatan yang dilakukan untuk mempermudah

37
masyarakat dalam hal kegiatan besiru, misalnya
terdapat kelompok pemilik ternak seperti kerbau
maka membantu kelompok petani dalam
membajak sawah dan nantinya kelompok petani
akan membantu pemilik kerbau dalam hal lain,
maka disini muncul resiprositas yang saling
membantu terhadap kelebihan yag dimiliki
masing-masing, Hal ini diperkuat dengan
pendapat salah satu informan terkait pelaksanaan
besiru.
“ min masyarakat sembalun besiru
kami lakuang pertama kami mulai lelek
nanem pade. Kami min desa sembalun
nene bareng-bareng ngolah tanak
ngadu cangkul, sapi kanca kebo. Bagi
masyarakat ita bedeang cangkul
ngantik cangkul, lamun arak bedeang
sampi ato kebo ngantik kebo ato
bdeang tenaga doang antik wah tenaga
yang penting ta bareng-bareng nulung
baturta ngolah tanak ta kadu nanem
pade sampai namanen iya padeno tetep
ita saling bantu”
Artinya Aktivitas besiruan tersebut dimulai
dari melakukan pengolahan tanah secara
bersama-sama masyarakat yang memiliki sapi
atau kerbau akan membawa sapi atau kerbaunya
sebagai alat bajak sawah dan bagi masyarakat
yang tidak memiliki sapi atau kerbau akan

38
membantu melalu tenaga dan membawa cangkul.
Setelah proses tersebut, maka dilanjutkan dengan
Aktivitas Lowong padi secara bersama-sama
hingga menempatkan hasil panen ke lumbung.
Selanjutnya tindakan besiru di Desa
Sembalun Bumbung terus berkembang dengan
melakukan tindakan besiru pada kegiatan
pembukaan jalan di Sembalun hingga Pesugulan.
Besiruan dalam pembukaan jalan tersebut tidak
hanya dilakukan oleh masyarakat Sembalun saja,
melainkan melibatkan partisipasi masyarakat dari
kecamatan-kecamatan lain yang secara geografis
dekat dengan daerah Sembalun seperti kecamatan
Pringgabaya, Wanasaba, Aikmel dan Suela.

Tidak hanya itu, dari segi budaya tindakan


besiru dapat dilihat dari kegiatan saling
membantu antar masyarakat pada saat adanya
kegiatan Begawe baik untuk acara khitanan,
kematian, pernikahan maupun haji. Pada saat
acara tersebut, masyarakat di Desa Sembalun
melakukan besiru dengan mengeluarkan kelapa
sama-sama dua buah dan membawa kayu satu
ikat per orang khusus bagi laki-laki dan
membawa beras, telur dan gula bagi yang
perempuan. Selain itu, masayarakat juga

39
melakukan pembagian kerja dengan adanya tugas
masing-masing, seperti ada yang bertugas menjadi
panitia penangung jawab untuk memasak nasi
dan ada yang bertanggung jawab untuk memasak
lauk-pauk serta bertugas untuk menyiapkan
bahan-bahan dan alat-alat yang akan digunakan
untuk memasak. hal ini sebagaimana ungkapan
informan :
“lamun na arak batur ita begawe min
Sembalun Bumbung ne lapuan batur
min sembalun saling tulung lamun
dengan mama nyugulang kayu minimal
arak dua kanca nyur, lamun dengan
nina nyugulang beras, telur kanca
minyak karena ita jaok lelek kota jari
ita ngadu sistem marak arisan”
Artinya pada saat acara Begawe baik itu
untuk acara kematian, pernikahan maupun
sunatan maka berdasrkan kebiasaan atau budaya
yang ada masyarakat khususnya laki-laki sama-
sama mengeluarkan kayu dan kelapa dua buah
serta bagi perempuan khusus mengeluarkan beras,
minyak dan telur sebagai solusi untuk
mempermudah pemenuhan bahan-bahan karena
masyarakat di Desa Sembalun Bumbung sangat
daerahnya jauh dari pusat kota.

Seiring dengan perkembangan zaman


tepatnya pada tahun 1965 terjadi perubahan jenis

40
varitas pertanian yang ditanam oleh masyarakat
yakni masyarakat telah mampu mengembangkan
hasil pertaniannya dengan menanam bawang
putih yang dilakukan dengan sistem besiru
(Saling balas) masyarakat mulai menanam kesuna
putih (bawang putih) dan bawang merah yang
merupakan varitas pertanian asli dari masyarakat
sembalun digunakan hanya sekedar untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat saja. Namun,
setelah tahun 1970an bawang putih mulai
berkembang dikarenakan adanya benih yang
diperoleh dari Thailand berdampak pada
meningkatnya perekonomian masyarakat yang
ditambah dengan semakin meningkatnya jumlah
penduduk maupun kebutuhan hidup berimplikasi
pada menurunnya tradisi besiru yang tergantikan
dengan sistem upah per hari, dimana upah untuk
perempuan 50 ribu dan laki-laki 100 ribu. Tidak
hanya itu, tradisi besiruan juga sudah mulai
menurun dalam hal pembukaan jalan karena
adanya program pemerintah yang telah membayar
pekerja untuk program pembukaan jalan tersebut.

Tradisi Besiru di era modern saat ini yang


tetap dilestarikan dan tidak terpengaruh oleh era
globalisasi dan perkembangan teknologi adalah
dalam hal acara begawe dimana tradisi besiruan
ini masih terus dilakukan dan dilestarikan hingga
saat ini. Akan tetapi, sebuah kejadian alam
41
menjadi refleksi diri bagi masyarakat Lombok
khususnya masyarakat di Desa Sembalun,
kejadian alam gempa bumi berturut-turut dengan
kekuatan 6,5 Skala Richter di daerah Sembalun,
Lombok Timur serta dilanjutkan dengan gempa
berkekuatan 7,0 Skala Richter di daerah
Kabupaten Lombok Utara mengakibatkan
menguatnya tradisi besiru pada masyarakat
Sembalun Bumbung karena dengan kondisi
musibah ini masyarakat kehilangan harta benda
dan uang yang dimilikinya.

Perkembangan budaya besiru hingga saat ini


menunjukan suatu eksistensi dari kearifan lokal
dan budaya yang terus dilestarikan serta memiliki
suatu nilai baik dalam masyarakat kemudian
menjadi darah daging masyarakat desa Sembalun
Bumbung. Hal ini juga tidak lepas dari peran
serta masyarakat dalam menjaga dan membentuk
lingkungan masyarakat sehingga besiru meskipun
berubah tetapi masih tetap ada dalam masyarakat.

42
BAB VI
Besiru Bagi Masyarakat
A. Pemaknaan Masyarakat Terhadap Besiru
Masyarakat di Desa Sembalun Bumbung
meskipun mereka masih tetap menjaga kearifan
lokal dan berada di daerah yang jauh dari kota,
namun sikap terbuka dan toleransi terhadap
orang lain sangat tinggi. Masyarakat di Desa ini
terkenal dengan kebaikan dan keramhannya
kepada semua orang baik terhadap saudara,
sesama orang Lombok maupun kepada para
pengunjung domestik dan internasional. Hal ini
tercermin dari kebiasaan masyarakat di Desa
Sembalun Bumbung yang sering menolong orang
lain yang belum pernah mereka kenal secara baik.
Hal ini sebagaimana ungkapan dari informan
(Inaq Salju)
“Masyarakat min Desa Sembalun
Bumbung nene lamunna arak dengan
kesasar pasti ginta tolong marak
piranna arak dengan jual topi petani no
laguk sampe mal ndarak laku terus da
keto kete doang sang ndark langanda

43
tindok yakna sengaja amakda nak salju
liwat tenakda ka iya kite timpak bale
alasanda awaku na bli topi pe kanca ito
wah pe tindok min bale ahkelem jemak
pe lanjutang dagangan pe”
Artinya Masyarakat di Desa Sembalun
Bumbung jika melihat ada orang yang tersesat
atau pulang larut malam dan mereka tidak
memiliki saudara atau tempat untuk menginap,
maka masyarakat akan menawarkan mereka
untuk menginap di rumahnya, seperti kemaren
suami saya melihat ada seorang bapak penjual
topi sawah yang masih di Sembalun Bumbung
sampai malam dan ia tidak memiliki tempat
untuk menginap kemudian suami saya
mengajaknya ke rumah dan kami membeli topi
yang dijual meskipun kami tidak bekerja di sawah
karena kami membayangkan bagaimana jika kami
diposisi bapak tersebut. Selanjutnya, diperkuat
dari ungkapan informan Pemuda di Dusun
Jorong
“kami batur-batur pemuda uwah
endah nulung geng motor jakanna
turing timpak sembalun laguk wah mal
na sampe sembalun laguk masih luek
baturna kesesat yakpo na sampe
sembalun jarina arak baturna salah
saik no lakok tulung min kami terus
kerahang lapuan pemuda Jorong meta

44
batur-batur lain kesesat sampai
kendaitan terus surunta tindok min
Jorong”
Artinya Pemuda di Desa Sembalun Bumbung
khususnya pemuda di Dusun Jorong juga pernah
membantu teman-teman dari daerah di luar
Lombok yang sedang melakukan perjalanan
touring ke Sembalun, namun sebagaian dari
teman-temannya tersebut belum sampai ke
Sembalun dan kondisi sudah malam seingga
mereka yang sampai terlebih duahulu meminta
bantuan kepada kami para pemuda untuk
mencari teman-temanya. Lalu, kami langsung
meminta bantuan pemuda yang lain dan mencari
mereka yang tersesat sampai berhasil ditemukan
serta kami mengajak mereka untuk menginap di
Dusn Jorong karena mereka adalah saudara kita
meskipun kita tidak pernah mengenal mereka
sebelumnya serta panggilan dari hati nurani.

Tidak hanya itu, bahkan masyarakat di Desa


Sembalun yang juga terkenal dengan masyarakat
yang agamais dengan masyarakatnya yang 100
persen beragama islam tidak pernah memandang
agama ketika hendak menolong orang lain. Hal
ini sebagaimana ungkapan dari tokoh agama
“batur-batur lelek agama lain marak
hindu, budha, kristen endah girang kite
diskusi kanca kami terimak ita bagus
45
marak baturta islam yak ita wah beda-
bedaang dakakna lain agama lamun
niat batur bagus”
Artinya teman-teman dari agama lain seperti
hindu, budha, kristen terkadang datang ke
Sembalun Bumbung ini untuk diskusi bersama
kita, maka kita memperlakukan mereka dengan
baik selama niatnya datang ke Sembalun
Bumbung ini baik bahkan pernah ada orang yang
meninggal dari Jawa akibat kecelakaan dan
keluarganya tidak bisa datang langsung, maka
jenazah tersebut dimandikan, diziarahin,
dikuburkan sampai didzikirkan oleh masyarakat
berdasarkan adat Sembalun Bumbung.

Tindakan yang dilakukan tersebut tidak lain


cerminan dari kuatnya prinsip hidup Hablummin
Nas yang ada dalam kehidupan masyarakat di
Desa Sembalun Bumbung ini. Masyarakat di
Desa Sembalun Bumbung dalam melakukan
tindakan menolong orang lain tersebut tidak
pernah berpikiran negatif dan senantiasa berpikir
positif pada orang lain yang mereka tolong. Hal
ini karena masyarakat di Desa tersebut memiliki
prinsip bahwa niat jahat seseorang akan kalah
dengan kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas
dan mereka juga menganalogikannya terhadap
hewan peliharaan yang ketika dirawat dengan
baik maka ia akan menjadi penurut dan
46
sebaliknya jika tidak dirawat dengan bertindak
kasar dan mengeluarkan kata-kata yang tidak baik
maka hewan yang dipelihara tidak akan menjadi
penurut.
B. Daya Bangkit Masyarakat di Desa Sembalun
Bumbung Dalam Menghadapi Gempa
Masyarakat Sembalun beranggapan bahwa
gempa bumi yang teradi salah satunya adalah
teguran dari Allah. Hal ini dikarenakan setelah
dibukanya daerah-daerah parawisata di Sembalun
masyarakat cenderung lebih dekat dengan uang
daripada berdzikir kepada Allah dan masyarakat
Sembalun juga beranggapan gempa bumi tersebut
terjadi karena gunung juga marah terhadap para
pengunjung yang tidak memperhatikan aturan
dan kearifan lokal yang ada dalam menjaga alam
karena pada dasarnya masyarakat Sembalun
memiliki landasan hidup bahwa bumi ini tidak
bisa dikotori dengan kegiatan maksiat. Hal ini
diperkuat berdasrkan ungkapan informan
(Tokoh Agama)
“jakan na meriksa jalan pendakian lek
pemerintah dinas kehutanan lelek jalu
Lombok Tengah begerak langsung ia
tanak no malik artina yakna mbeng
masi lekgunung ne ginbuka lamunna
luek masi maksiat kanca terbin jelo
minggu luek naikin bukit pagesangan

47
langsung begerak tank no endah jelo
ahad”
Artinya ketika pihak dari dinas Kehutanan
ingin membuka kembali jalur pendakian melalui
Lombok Tengah secara bersamaan bumi kembali
bergerak dan bahkan pada saat hari minngu
kemaren banyak anak muda yang naik ke bukit
pagesangan dan secara bersamaan juga terjadinya
gempa lagi.

Tidak hanya sampai disana, bahkan persepsi


masyarakat khususnya kaum ibu-ibu dari Desa
Sembalun Bumbung memaknai terjadinya gempa
bumi adalah bentuk marahnya alam kepada
manusia sebagaimana ungkapan dari informan
(Inaq Salju)
“lindur min sembalun nene mungkin
karena alam sili timpak ita soalna luik
pengunjung yak na merhatiang
kearifan lokal kanca aturan agama
misalkan lamun taek gunung atau
bukit”
Artinya gempa bumi tersebut disebabkan
karena adanya perilaku pengunjung yang tidak
sesuai dengan kearifan lokal dan aturan secara
agama sehingga alam marah kepada manusia.

Persepsi terkait gempa sebagai teguran dan


bentuk kemarahan dari alam, maka masyarakat
48
Sembalun semakin memperbanyak mendekatan
diri kepada Allah karena pada saat sebelum
gempa dengan berbagai parawisata masayarakat
sembalun berdzikir dengan uang, namun dengan
adanya musibah gempa ini mengembalikan
masayarakat untuk berdzikir dengan tasbih dan
do’a. Selain itu pasca terjadinya gempa pertama
pada hari jum’at dengan kekuatan 6,4 SR
masyarakat tidak terkendala untuk melakukan
aktivitas sholat jum’at yang dilakukan di
halaman, pengajian tetap berjalan meskipun di
tenda-tenda pengungsian. Hal inilah yang
mendorong masyarakat juga untuk aktif dan
bergerak untuk membuat tempat tinggal
sementara meskipun hanya menggunakan kardus
atau tenda. Tindakan dan semangat masyarakat
sembalun yang cepat bangkit dan bergerak
membuat para donatur atau relawan kagum
terhadap masyarakat di Desa Sembalun
Bumbung. Hal ini sebagaimana ungkapan
informan (Tokoh Agama)
“relawan-relawan kete timpak
Sembalun Bumbung kagum iya timpak
masyarakat tene soalna ramah-ramah
marak ita wah kenal laik kanca
masyarakat tene kanca semangatna
tinggi yakna becat putus aja endah
langsung masyarakat arak begawean

49
min bangkit, bersihang bale kanca
saling tulung na bagus”.
Artinya relawan-relawan yang datang ke
Sembalun kagum kepada masyarakat Sembalun
karena keramahan masyarakatnya seperti sudah
mengenal mereka sejak lama dan semangat
masyarakat yang cepat untuk bangkit dan
melakukan aktivitasnya.

Relawan yang juga datang ke Sembalun tidak


hanya membawa bantuan secara logistik saja,
namun juga mendatangkan ustad-ustad dari
berbagai daerah untuk memberikan ceramah dan
memotivasi masyarakat agar cepat bangkit dari
rasa trauma akibat gempa bumi. Hal ini
tercermin dari banyaknya masyarakat baik laki-
laki dan perempuan yang sebelum gempa belum
bisa mengaji berubah untuk mulai belajar mengaji
dari Iqro’ dan diadakannya kajian setiap hari serta
senantiasa mengikuti sholat lima waktu secara
berjamaah bahkan para pemuda yang sebelum
terjadinya gempa belum bisa membaca iqro’
mengikuti kajian dan belajar mengaji serta mereka
juga menjadi penanggung jawab ketika kajian
sedang berlangsung.

Hal tersebut dikarenakan masyarakat


memegang tradisi besiruan yang tertanam masih
kuat di daerah Sembalun Bumbung membuat
50
masyarakat senantiasa saling membantu dan tidak
ingin tinggal diam serta selalu berupaya agar
relawan-relawan yang datang ke daerah ini jangan
sampai melihat masyarakat dalam kondisi tidur,
tidak melakukan aktivitas apapun atau bahkan
sedang melakukan aktivitas main-main kartu,
minum-minuman keras. Tidak hanya itu, salah
satu informan (Pemuda) penyebab masyarakat di
Desa Sembalun Bumbung cepat bangkit adalah
“yakna ngonek jerak gempa dengan
kekuatan 6,4 SR luik bantuan datang
kite timpak Sembalun Bumbung lelek
macem-macem daerah marak mataram
bahkan luar lombok luik dateng
sumbangan no berupa logistik, dokter,
kanca relawan. Hal nono ngimbeng ate
kami terenyuh kanca berfikir bahwa ita
harus ta becat bangkit yak ta
ngandelang bantuan doang kanca ita
harusna bergerak bantu batur min desa
lain bantuan soalna melimpah hasil
panen ita”
Artinya beberapa waktu setelah kejadian
tersebut banyak bantuan yang berdatangan
hampir setiap hari, bantuan-bantuan tersebut
datang dari berbagai daerah seperti mataram dan
juga bantuan-bantuan lain dari luar pulau lombok
baik itu berupa bantuan logistik, tenaga medis,
relawan dan lainya.

51
Hal tersebut membuat para pemuda terenyuh
dan berfikir bahwa mereka harus bangkit dan
jangan sampai selalu tergantung pada bantuan-
bantuan yang diberikan dan mereka juga
mengambil bagian dengan membantu Desa lain
yang terkena musibah lebih parah dengan
memberikan air bersih yang diberikan oleh
donatur karena di Desa Sembalun Bumbung air
dari gunung masih layak diminum serta
memberikan bahan-bahan makanan berupa
sayuran yang dikumpulkan dari hasil panen
masyarakat.

Hal lain yang juga membuat masyarakat


cepat bangkit dari ungkapan informan (Amaq
Ema selaku perwakilan dari bapak-bapak) yakni:
“Masyarakat sembalun becat bangkit
lelek trauma gempa dibanding daerah
lain karena rata-rata masyarakat min
Sembalun Bumbung mata pencaharian
ita jari ptani kanca bekebun jarina
mun yak kami timpak kebon yak kami
tao nyambung idup kami kanca jakan
kami panen endah pas gempa nene.”
Artinya yang membuat membuat masyarakat
Sembalun Bumbung lebih cepat bangkit
dibandingkan dari Desa lain di Sembalun bahkan
daerah yang lain kerena pada umumnya mata
pencaharian mereka adalah sebagai petani dan

52
berkebun adalah tempat mereka
menggantungkan hidupnya. Oleh karena itu, jika
mereka tidak pergi ke kebun atau ke sawah
mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidupnnya dan pada saat itu sedang dalam
keadaan panen hasil bumi.

Selanjutnya dari informan ibu-ibu


mengungkapkan bahwa motivasi mereka untuk
cepat bangkit karena adanya tindakan gotong
royong atau besiruan sebagaimana yang
diungkapkan oleh (inak Salju)
“Motivasi ngimbeng kami becat bangkit
karena ita tindok min saik tenda terus kumpul
ita saling tulung ngelak jangan akhirna lelek
tono semangat ita untuk becat bangkit malik”

Motivasi ibu-ibu cepat bangkit dari trauma


gempa karena adanya kegiatan saling mengajak
satu sama lain dan saling membantu dengan cara
berkumpul untuk membuat makanan untuk
makan sehari-hari.
C. Tindakan Besiruan Pasca Gempa
Pasca gempa yang terjadi sejak 29 juli,
masyarakat Sembalun Bumbung memperkuat
tradisi besiru dengan bersinergi antara pemuda
dengan tokoh masyarakat, tokoh adat dan bapak-
bapak serta ibu-ibu untuk saling membantu satu

53
sama lain. hal ini tercermin pada saat pasca
terjadinya gempa para pemuda yang terdapat di
Desa Sembalun bersinergi dengan dukungan serta
kepercayaan para tetua untuk membagikan secara
sama rata kepada semua masyarakat di Desa
Sembalun Bumbung bahkan logistik-logistik yang
masuk di Desa Sembalun Bumbung dibagikan ke
Desa lain seperti di daerah Sajang dengan
mengirim air bersih yang dikirimkan oleh para
donatur karena masyarakatnya merasa air bersih
di Desa Sembalun Bumbung masih bersih dan
layak untuk diminum. Tidak hanya itu, pasca
terjadinya gempa susulan yang meruntuhkan
Kabupaten Lombok Utara masyarakat Sembalun
Bumbung juga memberikan bantuan dengan
mengirimkan sayur-sayuran dan buah-buahan
dari hasil panen masyarakat sebagai bentuk dari
rasa persaudaraan bahkan pemuda-pemuda
khususnya di Desa Jorong berinisiatif untuk
menjadi penyalur untuk menjualkan masyarakat
hasil-hasil panennya seperti sayur-sayuran dan
strawberry serta mengajak masyarakat untuk
menyumbang sebagian hasil bumi yang dimiliki
untuk berdonasi kepada masyarakat yang
terdampak gempa sampai ke Donggala Palu dan
Pembangunan Masjid.

Para pemuda tersebut membawa hasil bumi


tersebut ke mataram, salah satunya seperti yang
54
telah dilakukan pada acara carfreeday dan juga
pada pengajian-pengajian akbar dimana strategi
yang dilakukan adalah dengan cara menukarkan
hasil bumi tersebut dengan uang tunai
seikhlasnya. Hasil dari penjualan hasil bumi
tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid
dan juga sebagain lagi untuk diberikan pada
masyarakat korban gempa di Palu. Dana yang
terkumpul dari berbagai kegiatan yang dilakukan
para pemuda dan masyarakat setempat berjumlah
43 juta dan dana lain sebesar 7 juta berasal dari
salah seorang donatur. Hal ini sebagaimana
ungkapan informan (ketua Pemuda Amaq
Hengki)
“hasil dari besiruan ngumpulang sayur-
sayuran kanca strabery masyarakat
sembalun kelola kami dengan strategi
menukarkan hasil-hasil bumi nono
dengan uang seikhlasna lek masyarakat
min acara-acara pengajian akbar
endah carfreeday min mataram timpak
ita kanca batur-batur pemuda.
Alhamulillah muan ita hasil sekitar
totalna 43 juta terus arak ngimbeng ita
sumbang 7 juta lelek donatur, jarina totalna 50
juta langsung nagtikna lek batur pemuda
arenda maturidi kanca didik timpak palu,
sulawesi tengah kanca ita ngordinir minang
masyarakat 500 hunian sementara kepeng na
lelek donator”

55
Artinya Hasil dari penjualan hasil bumi
tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid
dan juga sebagain lagi untuk diberikan pada
masyarakat korban gempa di Palu. Dana yang
terkumpul dari berbagai kegiatan yang dilakukan
para pemuda dan masyarakat setempat berjumlah
43 juta dan dana lain sebesar 7 juta berasal dari
salah seorang donatur dan uang tersebut langsung
dibawa ke palu Donggala oleh maturidi dan didik
bahkan para pemuda juga bersinergi dengan
membantu masyarakat membuat 500 hunian
sementara yang diberikan oleh donatur. Selain itu
pasca gempa, tradisi besiruan terlihat ketika para
pemuda membantu masyarakat untuk
membereskan sisa banguan rumah yang roboh
dan membantu ibu-ibu untuk mengumpulkan
bahan-bahan untuk memasak lauk-pauk. Hal ini
sesuai dari ungkapan (Ketua Adat Remaja
Junaedi, S.H)
“Kami batur-batur pemuda endah saling tenak
bantu masyarakat untuk bersihang bale-bale
wah roboh karena gempa kanca nulung inak-
inak ngumpulang bahan-bahan kadu ngelak
jangan”
Artinya para pemuda membantu masyarakat
untuk membereskan sisa banguan rumah yang
roboh dan membantu ibu-ibu untuk

56
mengumpulkan bahan-bahan untuk memasak
lauk-pauk.

Daya juang pada masyarakat di Desa


Sembalun Bumbung juga tercermin dari tindakan
masyarakat yang beberapa saat setelah terjadinya
gempa mereka langsung membuat rumah tempat
tinggal sementara menggunakan bahan-bahan
seadanya seperti terpal, kardus bahkan karung
dengan menggunakan sistem besiru dari
golongan tua dan para pemuda saling
bekerjasama serta ibu-ibu yang bertugas untuk
memasak nasi dan lauk pauk. Tidak hanya itu,
daya juang masyarakat di Desa Sembalun
Bumbung juga tercermin dari adanya usaha untuk
membangun kembali salah satu tempat ibadah
yakni Masjid Munawarah yang telah rusak akibat
bencana alam gempa bumi dengan
mengumpulkan hasil bumi seikhlasnya dari
masyarakat lalu pemuda yang akan membantu
dalam proses didtribusi dan penjualan.
Daya juang pada masyarakat di Desa
Sembalun Bumbung juga tercermin dari adanya
kreatifitasan dan kerjasama antar masyarakat dari
berbagai kalangan di Desa Sembalun Bumbung.
Kreatifitasan masyarakat di Desa Sembalun
Bumbung tercermin dari tindakan masyarakat
yang pasca beberapa saat setelah terjadinya gempa
57
mereka memanfaatkan kardus-kardus dan terpal-
terpal serta baner-baner yang telah tidak
digunakan untuk dimanfaatkan dalam pembuatan
rumah tinggal sementara dan sebagai tempat
untuk berteduh. Masyarakat di Desa Sembalun
meskipun dalam keadaan masing-masing individu
mengalami kesulitan mereka tetap berbagi dan
memegang nilai-nilai besiru. Nilai-nilai besiru
dalam semangat daya juang masyarakat pasca
terjadinya gempa terhuubung dengan semboyan “
Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” yang
terdapat dalam nilai gotong royong yang tidak
hanya sekedar dipahami dan dijadikan prinsip
bersama namun juga menjadi spirit dalam
kehidupan masyarakat indonesia.
Sedangkan kerja sama antar semua kalangan
masyarakat dapat dilihat dengan adanya
pembagian tugas dimana dari kalangan bapak-
bapak dan para pemuda bertugas untuk membuat
rumah tempat tinggal sementara dengan
menggunakan alat dan bahan-bahan dari material
rumah yang telah rusak akibat gempa dan dari
kalangan ibu-ibu yang bertugas untuk
menyiapkan lauk pauk dan nasi yang dibantu
oleh remaja perempuan. Tidak hanya itu, daya
juang masyarakat di Desa Sembalun Bumbung
juga tercermin dari adanya usaha untuk
membangun kembali salah satu tempat ibadah
58
yakni Masjid Munawarah yang telah rusak akibat
bencana alam gempa bumi dengan
mengumpulkan hasil bumi seikhlasnya dari
masyarakat lalu pemuda yang akan membantu
dalam proses didtribusi dan penjualan.

Kondisi masyarakat sembalun tersebut


mencerminkan sikap pantang menyerah dengan
mengimplementasikan nilai-nilai besiru yang
melahirkan daya juang dalam diri masyarakat
untuk tetap optimis dan mampu menyelesaikan
masalah serta tujuan-tujuan yang ingin dicapai
serta menujukan bahwa persatuan adalah
landasan dalam membangun kondisi masyarakat
di Desa Sembalun Bumbung pasca terjadinya
fenomena alam gempa bumi.
D. Urgensi Besiru bagi Masyarakat
Urgensi dari tindakan besiruan ini adalah
agar antar masyarakat senantiasa memiliki sikap
saling sayang menyayang baik antar sesama
saudara, sesama agama bahkan tindakan besiruan
ini juga mengajarkan kita untuk peduli dan
menyayangi serta menghormati orang yang
berbeda agama dengan kita untuk tetap menjalin
hubungan baik dan memiliki jiwa toleransi.
Selanjutnya dengan masyarakat tetap menjaga dan
mengimplementasikan tindakan besiruan ini
sangat jarang terjadi kasus kekerasan sebagaimana
59
ungkapan dari imforman (Tokoh Agama H.
Purnipa)
“Selama aku idup min sembalun wah
70 tahun umurku arak dua kasus
pembunuhan terjadi pertama gara-gara
kasus pembunuhan akibat per-
selingkuhan dan kedua gara-gara arak
maling ngambil alat musik tradisiona
gong min Sembalun“
Artinya selama saya hidup selama 70 tahun
di desa Sembalun Bumbung ini hanya dua kasus
pembunuhan karena perselingkuhan dan adanya
masyarakat yang berasal dari daerah lain yang
berusaha untuk mencuri alat musik tradisional
yang disebut Gong. Permasalahan pembunuhan
karena pencurian gong tersebut terjadi karena
pemilik gong merasa marah sehingga tidak sadar
membunuh pelaku pencurian tersebut dan selain
kasus tersebut tidak pernah terjadi kasus
pembunuhan hingga saat ini.

Selain itu, Kecamatan Sembalun adalah salah


satu kecamatan yang aman karena kejahatan
didaerah ini sangat jarang sehingga rumah
masyarakat jarang dikunci dan masyarakat
sembalun tidak ada yang berurusan dengan polisi
kecuali kasus yang terbaru ada warga masyarakat
desa Sembalun Bumbung yang tidak sengaja
menabrak orang. Hal ini dikarenakan jika ada
60
seseorang yang ingin mencuri maka akses untuk
jalan keluar sangat susah dikarenakan daerah
sembalun yang luas dan dikelilingi hutan serta di
pintu jalan keluar daerah Sembalun terdapat
sektor-sektor kepolisisan seperti di daerah Suela,
Pringgasela, Aikmel, Wanasaba ataupun jika
ingin melalui daerah lain yakni Pringgabya dan
Labuan Lombok namun daerah tersebut juga
terdapat sektor kepolisian.
Pentingnya besiru bagi masyarakat Sembalun
juga didukung oleh ungkapan dari informan
(Amaq Ema)
“Besiru ne penting untuk ngajar ita
jaga rasa kekeluargaan kanca saling
merasa saudara“
Besiru sangat penting bagi kami masyarakat
Sembalun khususnya bapak-bapak untuk menjaga
rasa kekeluargaan dan saling memiliki di antara
anggota masyarakatnya.

Selanjutnya bagi ibu-ibu besiru sangat


penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Hal ini sebagaimana ungkapan dari informan
(Inaq Salju)
“Tradisi besiruan ngimbeng ita
berhemat pengeluaran ita soalna
kerjaan ita bareng-bareng lapukna

61
kanca yak ita ulak nyugulang kepeng
hanya kadu mangan doang “
Tradisi Besiruan ini dapat menghemat
pengeluaran karena dalam mengerjakan sesuatu
seerti membuat pondasi rumah atau menanam
bawang putih masyarakat tidak perlu dibayar
hanya disediakan makanan saja. Sedangkan bagi
para pemuda besiru ini sangat penting yang
dikutip dalam ungkapan informan dari salah satu
pemuda (Junaedi)
“Besiru sangat penting bagi kami para
pemuda khususnya sebagai generasi
lanjutan kanca salah satu kekayaan
bedeang kami min Sembalun Bumbung
nene soalna tanpa besiru program piak
ita yak na gin jalan untuk bantu
masyarakat”
Artinya besiru itu adalah sesuatu yang sangat
penting dalam kehidupan terutama bagi pemuda
sebagai generasi penerus. besiru menjadi salah
satu kekayaan yang dimiliki oleh Desa Sembalun
Bumbung, dimana tanpa besiru tersebut tidak
akan dapat tercipta sebuah program yang
bertujuan untuk saling membantu satu sama lain.
E. Cara diperkenalkan Besiru
Sosialisasi merupakan media internalisasi
dalam masyarakat artinya dalam penanaman nilai-
nilai sosialisasi merupakan hal penting agar nilai-
62
nilai tersebut dapat menjadi bagian dari
masyarakat.
Besiru sebagai bentuk perilaku atau tindakan
saling membalas kebaikan dengan cara
berkelompok-kelompok, memiliki ancaman akan
kelestariannya dimasa mendatang khususnya pada
era globalisasi oleh karena itu sebagai bentuk
internalisasi dalam masyarakat sangat perlu
penanaman nilai sehingga tiap individu dapat
memaknai besiru sebagai hal yang penting. Besiru
sebagai kearifan lokal yang telah ada sejak zaman
Nenek moyang dan masih dilestarikan serta
tertanam kuat dalam diri masyarakatnya memiliki
istilah yang berbeda pada setiap daerahnya di
suku sasak seperti saling tulung (saling tolong
menolong) dan sesuruan (saling panggil untuk
bekerja bersama) tetapi hanya di daerah Sembaun
Bumbunglah besiru masih tertanam kuat dan
diimplementasikan dari satu generasi ke genarasi.
Pada masyarakat desa Sembalun Bumbung
cara diperkenalkan besiru berdasarkan informasi
dari informan (Tokoh adat H. Purnipa) yakni:
“cara kami jari selaku tokoh adat
ngenalang besiru dengan sering
ngadaang ssialisasi tentang pentingna
jaga kearifan lokal bedeang itaendah
wah luik anak-anak ita sekolah
bependidikan jarina mudak ita

63
sosialisasiang antekna terus jaga
budaya besiru nene.”
Artinya “cara untuk melestarikan tindakan
besiruan ini adalah salah satunya dengan sering
mengadakan sosialisasi kepada pemuda terkait
pentingnya menjaga kearifan lokal yang telah
dimiliki dan diwariskan oleh generasi sebelumnya
agar semua kearifan lokal tersebut terus dijaga
dan dimmplementasikan serta jangan sampai
hilang. Dengan kondisi para pemuda Sembalun
Bumbung yang saat ini sudah banyak yang
berpendidikan upaya untuk menyampaikan
sosialisasi tersebut tidak memiliki hambatan
bahkan mereka cepat memahami.

Para pemuda dan masyarakat dari golongan


tua juga bekerja sama membuat suatu program
agar kearifan lokal yang dimiliki tidak hanya
diimplementasikan di Kecamatan Sembalun
Bumbung namun juga seluruh daerah di Pulau
Lombok agar tetap menjaga kearifan lokal yang
dimiliki salah satunya dengan membuat proposal
dan mengajukannya ke pihak Dinas Parawisata
dan Lingkungan hidup. Tujuan dari upaya
menjaga kearifan lokal tersebut adalah supaya
generasi selanjutnya dapat menikmati keindahan
alam dan menggunakannya untuk kebutuhan

64
sehari-hari serta dapat merasakan adanya
tindakan besiruan dalam kehidupan mereka.

Besiru juga diperkenalakan dengan cara para


orang tua menceritakan kepada anak-anaknya
bahwa pada masyarakat di Desa Sembalun ini
ketika membangun rumah mereka tidak
menggunakan uang tetapi masyarakat berkumpul
untuk saling membantu sama lain. Oleh karena
itu, hal tersebut orang tua mengajarkan nilai
persaudaraan dan persatuan yang ada di Desa
Sembalun, jadi diwariskan kepada generasi muda
dimulai sejak anak-anak dan akhirnya
terbentuklah sebuah persatuan, seperti ketika
orang begawe maka dipergunakanlah persatuan
tersebut dimana persatuan ini yang akan
mengkordinir acara pesta tersebut dari awal
hingga akhir.

Persatuan tersebut juga berimplikasi pada


terbentuknya persatuan untuk anak-anak, dimana
ketika orang mengadakan acara begawe para
orang tua bertugas untuk membantu
berlangsungnya acara tersebut dan anak-anak
dibiarkan bermain dengan anak-anak lain. Dari
interaksi tersebut para anak-anak belajar arti
persaudaraan dan dalam acara tersebut anak-anak
juga diberikan makan dengan sistem begibung
atau mangan bantar (makan secara berkumpul).
65
Melalui begibung tersebut juga secara tidak
langsung salah satu cara diperkenalkan dan
diajarkan besiru kepada anak-anak. Persaudaraan
tersebut terus dilestarikan sampai mereka dewasa
bahkan diwujudkan dengan membentuk
komunitas ikatan pelajar mahasiswa sembalun.
(Sumber Ketua Remaja Adat Junaedi).

Selain itu, para pemuda juga


memperkenalkan besiru dengan melakukan
kegiatan-kegiatan positif dengan berbgai
kelompok persatuan pemuda yang terdapat di
Kecamatan Sembalun. Kegiatan ini tidak hanya
melibatkan para pemuda namun mereka juga
melibatkan anak-anak sebagai salah satu upaya
edukasi untuk memperkenalkan besiru. Bahkan
untuk selanjutnya para pemuda berencana untuk
membuka kelas budaya untuk memperkenalakan
sejarah Sembalun dan budaya-budaya serta nilai
dan norma yang ada di Sembalun. (Sember
pemuda maturidi)
F. Sanksi Bagi Masyarakat yang Tidak
Melakukan Besiru
Bagi masyarakat yang tidak mengikuti besiru
tidak terdapat hukuman secara tertlis maupun
tidak tertulis seperti awiq-awiq desa yang secara
jelas mengaturnya melainkan diberikan sanksi

66
sosial sebagaiamana informasi yang diperoleh dari
Ketua Remaja Adat (Junaedi)
“Lamunna arak masyarakat min desa
sembalun nene yakda milu besiru
misalna untuk kegiatan irigasi sawah,
jarina ida pada yakda milu no yakda
ngimbeng aik untuk tanaman ida pada

Artinya ketika ada salah seorang warga yang
tidak berpartisipasi dalam kegiatan besiru seperti
irigasi sawah secara bersama-sama, maka bagi
mereka yang tidak ikut tidak akan diberikan air
untuk irigasi sawahnya.

Hukuman yang diberikan tidak hanya berupa


sanksi sosial melainkan masyarakat yang tidak
mengikuti besiru mereka akan merasa malu
karena hanya jika mereka ada kegiatan mereka
membutuhkan orang lain. oleh karena itu,
masyarakat di Desa Sembalun Bumbung
menganngap bahwa cara ini efektif untuk
menjaga besiru dalam kehidupan masyarakat.
Solidaritas dan kolektifitas yang kuat pada
masyarakat membentuk sebuah integrasi yang
kuat pula, dimana masyarakat yang ada
didalamnya akan dipaksa untuk ikut dalam pola
interaksi yang dilakukan oleh masyarakat.
Visibilitas masyarakat secara keseluruhan
67
terhadap penilaian tindakan Besiru sebagai
sebuah nilai-nilai yang dianut berama dan ketika
ada yang tidak mengikutinya atau tidak
terintegrasi dengan masyarakat maka masyarakat
akan mengasingkannya dan itu membuat sebuah
alienasi dalam lingkungan sosial yang memaksa
individu harus mengakui secara sadar maupun
tidak sadar bahwa realitas masyarakat harus saling
membantu satu sama lain.

68
BAB VII
Besiru Dan Altruisme
Menurut Walstern, dan Piliavin (Deaux,
1976). Perilaku altruistik adalah perilaku
menolong yang timbul bukan karena adanya
tekanan atau kewajiban, melainkan tindakan
tersebut bersifat suka rela dan tidak berdasarkan
norma–norma tertentu, tindakan tersebut juga
merugikan penolong, karena meminta
pengorbanan waktu, usaha,uang dan tidak ada
imbalan atau pun reward dari semua pengorbanan
.

Definisi lain menyebutkan bahwa altruisme


adalah tindakan suka rela yang dilakukan oleh
seseorang atau pun kelompok orang untuk
menolong orang lain tampa mengharapkan
imbalan apa pun, kecuali mungkin perasaan telah
melakukan perbuatan baik. Sears dkk,(1994)
dengan defenisi ini, apakah suatu tindakan
altuistik atau tidak, tergantung pada tujuan
penolong, orang yang tidak dikenal
mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk
69
menolong korban dari mobil yang terbakar, dan
menghilang begitu saja, merupakan tindakan
altruistik, lebih lanjut dijelaskan perilaku
altruistik adalah salah satu dari sisi sifat manusia
dengan rela untuk berbuat sesuatu untuk orang
lain, tanpa berharap mendapatkan imbalan apa
pun, sebaliknya egoisme mengunakan
kepentingan sendiri diatas kepentingan orang lain
untuk mengejar kesenagan.
Ajaran Islam altruisme merupakan tindakan
untuk menolong orang lain secara iklas karena
islam menilai kebaikan dan perbuatan seseorang
berdasarkan keiklasan untuk mengharapkan ridho
Allah swt, sehingga setiap amal yang dilakukan
hanya semata-mata karena Allah swt,
menafkahkan harta ditetapkan sebagai perbuatan
baik, dan berpahala besar sebap sanggat
bermanfaat untuk orang banyak, tindakan yang
dilakukan seperti ini merupakan manifestasi dari
bentuk kesolehan sosial.(Tasmara, 2001).
Setiap muslim harus berusaha memberikan
kontribusi dan peran nyata yang bermanfaat
sehingga menjadikan kehidupan di dalam
masyarakat sebagai kesempatan untuk
mengaktualisasikan diri, Rasulullah saw bersabda
bahwa.

70
“Sebaik – baiknya manusia adalah yang
lebih bermanfaat bagi manusia yang
lain “ (H-R Thabrani).
Budaya besiru yang terus dijaga dan semakin
kuat dengan adanya musibah gempa bumi yang
dialami oleh masyarakat di Desa Sembalun dan
Pulalu Lombok juga melahirkan altruisme dalam
kehidupan masyarakat di Desa Sembalun
Bumbung. Altruisme merupakan suatu tindakan
yang dilakukan secara ikhlas oleh seseorang. Hal
ini tercermin dari ungkapan salah satu informan
(Inaq Salju)
“lamun dengan panen tene min
sembalun batur-batur bedeang bangkit
sekenang ida ita hasil panenda bagi-
bagiang da wah min batur-batur
ahgubuk aijak mele ngaken kanca
munarak kegiatan begawe arak batur
ida doang tukang keliling timpak balen-
balen batur-batur tene nyinggak piring,
lumur, teper kanca galang untuk batur
kekurangan pas da ahgawe. Yakna
nono doang munna arak batur endah
min sembalun ndarakda pada kadu
belanja ngimbengna ida lek batur arak
kepengna laguk yakna ulak nenagin
batur piranjakna arak wah pokda
mbeng batur “
Artinya jika ada masyarakat yang panen hasil
buminya maka mereka selalu membagikan hasil
71
bumi tersebut ke seluruh tetangga bahkan satu
kampung dapat menikmatinya tanpa harus dibeli
sehingga untuk sayur-sayuran dan buah-buahan
masyarakat jarang beli serta jika ada yang
mengadakan acara begawe dan dia tidak memiliki
piring, gelas, selimut dan tikar, di Desa Sembalun
ini sudah ada seseorang yang selalu keliling di
setiap rumah warga untuk meminjam alat-alat
tersebut dan mengembalikannya jika acara telah
selesai tanpa harus dibayar bahkan ketika ada
salah satu masyarakat yang tidak memiliki uang
dan meminjam ke masyarakat lain mereka tidak
akan menagih uang yang dipinjamkan dan
menunggu sampai kapan mereka ada uang untuk
mengembalikan.
Altruisme dalam kehidupan masyarakat di
Desa Sembalun Bumbung juga semakin terlihat
pasca terjadinya musibah gempa bumi di Pulau
Lombok. Hal ini terlihat beberapa saat pasca
terjadinya gempa bumi dengan membantu korban
terdampak gempa di Kabupaten Lombok Timur
dan Kabupaten Lombok Utara bahkan sampai ke
Donggala Sulawesi. Padahal, pada saat itu mereka
juga sedang dilanda kesusahan karena musibah
gempa, tempat tinggal masih menggunakan tenda
dan kebutuhan hidup yang belum normal serta
sering terjadi gempa skala ringan tetapi hal

72
tersebut tidak menyurutkan niat mereka untuk
membantu.

Masyarakat dan Pemuda di Desa Sembalun


Bumbung bekerja sama untuk membantu
masyarakat yang terdampak Gempa dengan
starategi para pemuda meminta masyarakat untuk
menyumbangkan hasil buminya dan para tokoh
agama memberitahukan masyarakat untuk
menyumbangkan hasil buminya yang pada saat
itu sedang panen dan para pemuda secara
langsung mengkoordinir serta mengantarkannya
ke tempat lokasi terdampak gempa. Para pemuda
mengirim sayur-sayuran dan buah-buahan serta
logistik yang diberikan oleh para relawan yang
diperoleh dari informasi Ketua Pemuda Dusun
Jorong
“Yakna ngonek jerak gempano luik
relawan kite nyentrang logisik sampai
kelebian akhirna kami para pemuda
berinisiatif mengirim logistik-logistik
tersebut 4 mobil dan air bek kirim kami
karena kami merasa masih bau ngenem
aik lelek gunung kanca sayur-sayuran
bareng buah-buahan kirim kami
timpak daerah terdampak gempa“
Artinya Beberapa hari pasca terjadinya gempa
para Pemuda langsung mengirim bantuan berupa
logistik-logistik yang diberikan oleh relawan

73
kepada masyarakat di Desa Sembalun Bumbung
dan membawa sayur-sayuran dan buah-buahan
mengunakan 4 (empat) mobil dan air bersih
karena mereka merasa bahwa bantuan logistik
sudah tercukupi dan air tidak teralu masyarakat
butuhkan karena air dari gunung masih bersih
dan dapat digunakan serta pada saat itu hasil
panen masyarakat sedang berlimpah.

Tidak hanya sampai disana, para pemuda


juga membawa sayur-sayuran tersebut ke
Mataram pada acara Car Free Day untuk
ditukarkan dengan uang seikhlasnya tanpa
menentukan tarif dan pada acara-acara pengajian.
Dari kegiatan tersebut para pemuda berhasil
mengumpulkan uang sebanayak 43 juta dan uang
tersebut disumbangkan ke Palu yang dibawa
langsung secara tunai oleh pemuda Di Desa
Sembalun Dusun Jorong yang diperoleh dari
informasi salah satu pemuda Dusun Jorong yang
berangkat ke Palu (Didit)
“Aku kanca matukridi berangkat
timpak palu ngantik kepeng hasil
sumbangan kanca penjualan hasil
bumino langsung lewat jalur darat lelek
lombok sampai bali. Jerak nono lelek
pelabuhan gili manuk Bali kami
langsung timpak banyuwangi sampai
surabaya malik sampai makassar.

74
Terus lelek makassar wah kami ngadu
jalur udara sampai Palu. Perjalanan
kami sampai ahminggu pok kami
sampai palu“
Saya dan matukridi berangkat ke Palu untuk
membawa uang dari hasil sumbangan dan
penjualan hasil bumi secara langsung lewat jalur
darat dari Pulau Lombok dan naik kapal laut
menuju Bali. Setelah mendarat di Gili Manuk
Bali, mereka lalu menuju Banyuwangi kemudian
ke Surabaya. Mereka kembali melintasi jalur laut
menuju ke Makassar memakan waktu hingga dua
hari dan akhirnya dari Makassar melalui jalur
udara hingga ke Palu. Perjalanan tersebut
memakan waktu selama satu minggu menuju
Palu.

75
76
BAB VIII
Penutup
Besiru merupakan budaya yang terdapat
dalam masyarakat sasak khususnya di daerah
Sembalun Bumbung kecamatana Sembalun.
Besiru ini bisa diartikan tolong menolong, atau
saing balas dalam kebaikan. Pada awalnya Besiru
muncul karena adanya sistem pertanian yang
saling membantu, baik dari membajak sawah,
menanam hingga panen kemudian saling
memberikan hasil panen. Hal tersebut yang
membuat masyarakat saling membantu satu sama
lain sehingga saling mencukupi satu sama lain.
Dalam bidang budaya juga Besiru terlihat dalam
acara penikaha, kelahiran maupun kematian dan
haji. Pada kegiatan tersebut masyarakat saling
membantu untuk menyiapkan semua peralatan
maupun perlengkapan yang dibutuhkan, dan
saling menyumbang miliknya satu sama lain.

Namun pada perkembangannya Besiru pada


bidang pertanian mulai luntur dengan adanya
uang dan sistem upah dimana rang yang
77
membantu sawah akan diberikan upah berupa
uang, berbeda dengan pada jaman dahulu yang
saling membantu satu sama lain. Meskipun
terjadi perubahan seperti itu masyarakat
khususnya para pemuda mengimplementasikan
Besiru lebih luas terutama terlihat pada saat
terjadinya gempa bumi Lombok dimana para
pemuda Desa Sembalun Bumbung melakukan
tindakan tolon menolong (Besiru) kepada korban
gempa bumi yang terjadi di KLU dan Palu.
Tindakan ini dilakukan karena merasa memiliki
kelebihan berupa sumberdaya alam sehingga
menjualnya dan hasilnya disumbangkan ke
masyarakat koran gempa Palu.

78
DAFTAR PUSTAKA

Asri, 2015. Besiru masih Asri.


http://sosial-keagamaan.kampung-
media.com/2015/05/28/besiru-
masih-lestari-10777 Di akses 4 Juni
2019

Ayatrohaedi, (Ed). 1986. Kepribadian


Budaya Bangsa (Local Genius).
Jakarta: PustakaJaya

Azmi, Hajrul (2014). Sejarah Berdirinya


Desa Sembahulun.
http://opiniartikel. kampung-
media.com/2014/12/18/ sejarah-
berdirinya-desa-sembahulun-7077.
Diakses pada 12 Juni 2019

Beata& Berliana., Nababan, , 2016.


Kearifan Lokal Tradisi Bertani Padi
Pada Masyarakat Batak Toba Di
Baktiraja: Kajian Antropolinguistik.

79
http://repositori.usu.ac.id/bitstream
/handle/123456789/4019/1307030
21.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Di akses 4 Juni 2019

Hamidah (2002). Perbedaan Kepekaan


Sosial Ditinjau Berdasarkan Persepsi
Remaja terhadap Pola Asuh Orang
Tua Pada Remaja di Jawa Timur.
Isnane vol. 4 no.3 desember 2002.

Ismail, dkk. 2009, Pengembangan Model


Pembelajaran IPS Berbasis Kearifan
Lokal Masyarakat Sasak: ke Arah
Sikap dan Prilaku Berdemokrasi
Siswa SMP/MTS. Bali: JPP Undiksha
Vol 42, No 2.

Kompas. 2018. 5 Fakta Terbaru Gempa


Lombok, 515 korban Meninggal
hingga Kerugian Rp 7,7 Triliun.
http://
regional.kompas.com/read/2018/08
/21/19041711/5/fata-terbaru-
gempa-lombok-meninggal-hingga-
kerugian. Diakses pada 23 November
2018

Lombokfm. 2016. Tradisi Besiru Masih


Dipertahankan Masyarakat Sasak,
http://lombokfm.com/tradisi-besiru-
masih-dipertahankan-masyarakat-
sasak.html Diakses 4 Juni 2019
80
Setiadi, E dan Kolip, U. 2011. Pengantar
Sosiologi: Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial, Teori,
Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta
Prenada Media Group

Sibarani, Robert 2012. Kearifan Lokal:


Hakikat, Peran dan Metode Tradisi Lisan.
Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Zulkarnain. 2016. Aktualisasi Nilai-Nilai


Kearifan Lokal Besiru Pada Masyarakat
Sasak Sebagai Upaya Menguatkan
Identitas Bangsa. http://repository.upy.
ac.id/1257/1/20.%20Zulkarnain.pdf
Diakses pada tanggal 8 juni 2019

81
82
TENTANG PENULIS
Buku ini merupakan sebuah karya yang
diadaptasi dari PKM-PSH (Program kreatifitas
Mahasiswa bidang Penelitian Sosial Humaniora)
sebagai luaran dari PKM tersebut. Penulis terdiri
dari tiga anggota PKM:

S iti Ilhami

Fatmahandayani
Lahir di Cengok, 6 Mei 1999.
Jenjang pendidikan yang
telah dilalui oleh penulis adalah: SDN 2 Bagik
Payung, SMPN 1 Selong dan SMAN 1 Selong.
Paska menyelesaikan pendidikan menengah atas
melanjutkan S1 Sosiologi di Universitas Mataram
dan saat ini penulis masih menempuh studinya di
Semester 4 (empat). Di tengah kesibukan sebagai
seorang mahasiswa penulis juga aktif di berbagai
organisasi seperti menjadi sekretaris di Devisi
Pengabdian Masyarakat Himpunan Mahasiswa
Sosiologi UNRAM, pernah menjadi bendahara di
83
Pengabdian Masyarakat Himpunan Mahasiswa
Sosiologi UNRAM pada semester 1 hingga 2,
menjadi anggota BEM Universias Mataram,
menjadi anggota pada organisasi PBS2 Lombok,
menjadi anggota UKM PRIMA Departemen PSI
dan pernah ikut dalam kepanitian nasional seperti
seminar nasional bersama Andrea Hirata dan
Lomba LKTI Nasional. Penulis juga pernah
mengikuti beberapa lomba seperti lomba penulisan
puisi bertema bebas yang dilaksanakan UGM,
menjadi pemenang harapan dalam lomba puisi
tema bebas yang dilaksanakan oleh Dema Aksara,
mengikuti lomba kepenulisan artikel zero waste
dan Lolos PKM PSH 2018. Saat ini penulis
berfokus untuk menyelesaikan pendidikan S1-nya.

N urul Haromain

Lahir di Pancor, 1 Mei 1998,


Jenjang pendidikan yang
telah dilalui oleh penulis
adalah: SDN 4 Pancor, SMPN 1 Selong dan
SMAN 2 Selong. Paska menyelesaikan pendidikan
menengah atas melanjutkan S1 Sosiologi di
84
Universitas Mataram dan saat ini penulis masih
menempuh studinya di Semester 6 (empat). Penulis
pernah akti di HIMASOS (Himpunan Mahasiswa
Sosiologi) mulai semester 1 hingga menjabat
sebagai Seketaris Umum Himpunan Mahasiswa
Sosiologi UNRAM tahun 2018, dan sebagai
penanggungjawab penuh Olimpiade Sosioloi 2018
tingkat SMA-MA Sederjat se-Pulau Lombok serta
Sociology Goes To School 2018. Dalam beberapa
bidang juga pernah menjuarai lomba foto yang
diselenggarakan oleh FORMASI. Sebelumnya
penulis juga aktif dalam kegiatan PKM. Pada
2017 lolos pendanaan PKM- M (Program
kreatifitas mahasiswa bidang Pengabdian
Masyarakat) dan pada tahun 2018 dengan
pendanaan 2019 lolos PKM-PSH (bidang
penelitian sosial humaniora) dan dijadikan sebuah
buku.

P eri Anggraeni

Lahir di Suralaga, 21 Juni


1998. Jenjang pendidikan
yang telah dilalui oleh penulis

85
adalah: SDN 2 Suralaga, MTS NW Suralaga dan
MA NW suralaga. Paska menyelesaikan
pendidikan menengah atas melanjutkan S1
Sosiologi di Universitas Mataram dan saat ini
penulis masih menempuh studinya di Semester 6
(enam). Di tengah kesibukan sebagai seorang
mahasiswa penulis juga aktif di berbagai
organisasi seperti anggota Departement Prestasi
UKM Prima UNRAM sekaligus menjadi tutor
kepenulisan, pernah menjadi ketua Departement
Riset dan Kajian Ilmiah pada sememster 4 sampai
semester 5 di Himpunan Mahasiswa Sosiologi
UNRAM, menjadi anggota Pemberdayaan
Perempuan di Organisasi PMKS (Persatuan
Mahasiswa Kecamatan Suralaga) dan saat ini
menjadi salah satu pemilik usaha JONES (jam
oleh-oleh tenun etnik Sasambo).
Penulis juga pernah menjuarai beberapa lomba
nasional dan internasional diantaranya Juara 1
Lomba Karya tulis Ilmiah Yang diselenggarakan
oleh Unram English Festival, Mawapres 1
Sosiologi 2018, Juara Favorit Persentasi PIMNAS
Ke- 31 (Pekan Ilmiah Nasional) yang
diselenggarakan oleh DIKTI, Delegasi Pengabdian
Masyarakat Ke Malaysia, Lolos PKM PSH 2018.
86
Saat ini penulis berfokus untuk menyelesaikan
pendidikan S1-nya dan mengembangkan bisnis
JONES (Jam oleh-oleh tenun etnik Sasambo).

M aya Atri
Komalasari, S.Sos., MA

Lahir di Wonogiri, 22 Juni


1990. Jenjang pendidikan
yang telah dilalui oleh penulis
adalah : SDN 2 Wonokarto,
SMPN 1 Wonogiri, SMAN 1 Wonogiri, S1 di
Universitas Sebelas Maret dan melanjutkan S2 di
Universitas Gajah Mada dengan jurusan
Sosiologi/Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Paska
menyelesaikan pendidikan S2, saat ini penulis
sebagai tenaga pendidik di jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Soial Dan Ilmu Politik di
Universitas Mataram dan menjadi peneliti.
Adapun beberapa penelitian yang telah
dilaksanakan diantaranya Laporan capaian
program Pendidikan Untuk Semua (PUS) Kota
Surakarta 2011-2012 diseleggarakan oleh

87
BAPPEDA Kota Surakarta, Modal Sosial dan
Refleksivitas Dalam Masyarakat Risiko (Suatu
Kajian terhadap Anggota Klub Motor Wonogiri
King Club (WKC) sebagai judul skripsi , Relasi
Sosial di Sentra Industri Genteng Press (Studi
Hubungan Kerja Pengusaha dan Buruh Industri
Genteng Press Wiroko) sebagi judul tesis, Laporan
Analisis Situasi Ibu dan Anak (ASIA) Kota
Surakarta Tahun 2015 diselenggarakan oleh
BAPPEDA Kota Surakarta. Selain memiliki
pengalam dalam bidang penelitian, penulis juga
memiliki pengalaman pekerjaan yaitu sebagai
anggota tim penyusun laporan capaian program
Pendidikan Untuk Semua (PUS) tahun 2011-2012
diselenggrakan oleh BAPPEDA Kota Surakarta,
dan Anggota Tenaga Ahli Pemutahiran Analisis
Situasi Ibu dan Anak tahun 201.5 diselenggarakan
oleh BAPPEDA Kota Surakarta. Saat ini penulis
menjadi dosen tetap di program studi sosiologi di
Universitas Mataram.

88

Anda mungkin juga menyukai