PERANG PADRI
Dibuat sebagai tugas dalam mata kuliah
Sejarah Islam Indonesia Masa Kolonial
Dosen Pengampu:
Herawati, S. Ag., M. Pd.
Oleh :
M. Yudha Hutama (17101020080)
Iram Kuswanto (17101020099)
Hasnan Rifki (17101020102)
Intan Hani (18101020085)
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................2
C. Tujuan...................................................................................................................2
BAB II PERANG PADRI DI SUMATRA BARAT.......................................................3
A. Latar Belakang Perang Padri..............................................................................3
B. Jalannya Perang Padri.........................................................................................6
C. Akhir Perang Padri..............................................................................................9
BAB III KESIMPULAN................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Minangkabau telah memeluk Islam sejak abad 16 M.
Namun sampai awal abad 19 M, masyarakat masih melakukan adat yang
berbau maksiat seperti sabung ayam, berjudi, dan mabuk-mabukan. Hal ini
menimbulkan polemik antara Tuanku Kota Tua dengan para muridnya
yang lebih radikal. Terutama Tuanku nan Renceh, mereka sepakat
memberantas kemaksiatan akan tetapi dengan cara yang berbeda.
Tahun 1803 M telah kembali dari Makkah tiga orang haji yang
membawa paham Wahabi, yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji
Sumanik dari Delapan (VII) Kota, Haji Piabang dari Tanah Datar.1
Kemudian orang- orang itu membentuk forum delapan pemuka
masyarakat. Orang-orang itu diantaranya adalah Tuanku nan Renceh,
Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Berapi, Tuanku Padang Lawas, Tuanku
Padang Luar, Tuanku Galung, Tuanku Biaro, dan Tuanku Kapau. Mereka
mendapat julukan “Harimau nan Salapan”.2
Tuanku Kota Tua menolak untuk menjadi ketua dan digantikan
oleh anaknya Mensiangan yang memimpin kelompok itu. Sejak saat itu
mereka gencar melakukan ceramah di masjid-masjid yang isinya
menyerukan untuk menjauhi perbuatan maksiat. Ketegangan semakin
meningkat dengan adanya pertentangan dari beberapa kaum adat dengan
cara menggelar sabung ayam di Kampung Batabuh.
Tuanku Pasaman (Tuanku Lintau) dari pihak Padri berinisiatif
untuk melakukan perundingan dengan Kaum Adat. Perundingan ini
dilangsungkan di Kota Tengah dan dihadiri oleh Raja Minangkabau
1
Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatra Barat (1803-1838) (Jakarta: Balai
Pustaka dan Kepustakaan Populer Gramedia. 2019), hlm. 8.
2
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
IV, (Jakarta: Balai Pustaka. 1993), hlm. 169.
Tuanku Raja Muning Alamsyah dari Pagaruyung. Perundingan itu
berakhir menjadi pertempuran.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang melatarbelakangi Perang Padri?
2. Bagaimana proses jalannya Perang Padri?
3. Bagaimana akhir dari Perang Padri?
C. Tujuan
1. Menjelaskan latar belakang terjadinya Perang Padri.
2. Mengetahui jalannya Perang Padri.
3. Menjelaskan penyebab berakhirnya Perang Padri.
2
BAB II
PERANG PADRI DI SUMATRA BARAT
3
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
IV), hlm. 169.
3
negerinya, Minangkabau.4 Dengan ini mereka mulai mengajar di
kampung-kampung dengan bantuan seorang penghulu yang bernama
Kuncir gelar Datuk Batuah, Haji Miskin melarang Penduduk setempat
menyabung ayam. Larangan ini tidak direspon oleh penduduk. Haji
Miskin kesal lalu membakar balai tempat menyabung ayam. Kaum Adat
marah dan Haji Miskin dikejar sampai di Kota Lawas, disini beliau
mendapat perlindungan dari Tuanku Mensiangan.
Dengan kejadian ini kelompok adat semakin marah dan
menimbulkan perkelahian antara Kaum Adat dengan beberapa orang yang
menaruh simpati kepada Haji Miskin. Akibatnya Haji Miskin pindah ke
Kamang dan bertemu dengan Tuan nan Renceh. Tuanku nan Renceh
tertarik dengan pemikiran oleh Haji Miskin karena selaras dengan
pemikiran beliau, ingin meluruskan kebiasaan orang-orang setempat.
Pengaruh tersebut meluas di Luhak Agam, Candung dan Kota Tua.
Dengan mengajak Tuanku-tuanku yang berada di daerah setempat untuk
membentuk persekutuan melawan Kaum Adat. Dengan membuat gerakan-
gerakan seperti di setujui oleh Tuanku Kota Tua sebagai pemimpin ulama
di daerah tersebut. Tetapi dia menyarankan agar dilakukan secara damai.
Menurut dia yang keras akan menimbulkan perlawanan yang keras juga.
Karena sikapnya yang lunak neyebabkan Tuanku kota Tua tidak diangkat
menjadi pemimpin. Pemimpin gerakan tersebut akhirnya diangkat Tuanku
Mensiangan, juga seorang Ulama terkenal dan disegani di daerah VI Kota.
Tuanku Nan Renceh bertekad melakukan gerakan dengan
kekerasan. Setiap orang diharuskan melaksankan syariat Islam setepatnya.
Adat lama harus dibasmi sehingga menimbulkan kecemasan para
penghulu. Kejadian ini menimbulkan reaksi dari para pemimpin Adat yang
tidak tinggal diam dengan segera melaksanakan menyabung ayam di
kampung Batapuh, dekat sungai Puar dengan maksud untuk menghina
kelompok Ulama (Padri). Dengan ini keadaan menjadi tegang, sehingga
4
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
IV), hlm. 169.
4
menimbulkan pertempuran di Batapuh, kelompok Ulama (Padri) terus
menyebarkan pengaruh pemahamannya. Luhak Lima Puluh Kota
menerima dengan baik, tetapi Tilatang, Matur dan Candung menentang
ketika Tuanku nan Renceh meyebarkan pemahamannya. Maka
pertempuran demi pertempuran terjadi. Tuanku Kota Tua yang bertujuan
menghendaki pembaharuan denga cara baik dan lunak berusaha mencegah
meluasnya konflik, tetapi gagal.
Dengan semangat menyebar kebaikan, kelompok Ulama (Padri)
dapat diterima diberbagai daerah seperti Luhak Agam, IV Kota, Lembah
Alahan, Panjang Luas, Padang Lawas, Jambak, Lubuk Ambacang, Alai,
Bonjol, Pasir, dan daerah lainnya menerima pembaharuan. Diantara
daerah-daerah yang disebut nantinya memegang peranan penting. Di
Lembah Arahan Panjang pemimpin yang tertinggi adalah Datuk Bandaro
telah mempelajari paham pembaharuan menjadi tertarik dan menerimanya.
Dengan demikian pengaruh Kelompok Ulama meluas di Lembah Alahan
Panjang. Walaupun ada juga kelompok penghulu yang tidak
menyetujuinya yang dipimpin oleh Datuk Sati.
Daerah yang pengaruh yang lebih besar dan kuat adalah Bonjol
yang mendirikan benteng besar, didalamnya terdapat sebuah Mesjid,
empat puluh rumah dan tiga gubuk kecil.5 Ketika Datuk Bandoro
meninggal yang menggatikan menjadi pemimpin adalah Muhammad
Syahab atau dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol
lahir pada tahun 1774 M, yang merupakan anak dari Tuanku Rajanuddin.
Didaerah lain seperti tanah Datar, kaum Padri dipimpin oleh
Tuanku Pasaman bergelar Tuanku Lintau, didaerah ini merupakan daerah
yang pengaruh adatnya sangat kuat. Disini juga pemerintahan kerajaan
Pagaruyung yaitu Tuanku Raja Muning berkedudukan. Pertempuran antara
Kaum Padri dan Kaum Adat segera meletus di tanah Datar ini. Dalam
konflik ini kaum adat terdesak, sehingga pengaruh kaum Padri meluas.
5
Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatra Barat (1803- 1838), hlm. 36.
5
Perang saudara ini meluas terus dan kemudian mengalami
perkembangan baru setelah kekuatan asing mulai campur tangan. Yang
berkuasa pada saat itu di Sumatera Barat adalah Inggris dan membuka
kantor di Air Bangis, Padang dan Cinkuk. Pada tahun 1818 M, Letnan
Gubernur Thomas Stanford Rafles mengunjungi Padang. Kaum Adat
meminta bantuan kepada pihak Inggris dengan mengutus dua orang
Tuanku dari Suroaso yang mewakili Raja Minangkabau yaitu Tuanku
Alam dan Sultan Kerajaan Alam. Raffles menimbang permintaan dari
Kaum Adat untuk mengkalkulasi untung-ruginya, sambil menghubungi
kaum Padri dengan menawarkan jasa-jasa yang menguntungkan, akan
tetapi ditolak oleh Kaum Padri karena tidak ada kesesuaian pendapat.
Sebenarnya ini adalah taktik Raffles untuk mengusai daerah pedalaman
yang subur. Menurutnya, hanya dengan mengadakan perjanjian setia-
kawan Minangkabau dapat lebih mudah dikuasai.
Namun pada tahun 1814 M Inggris resmi meninggalkan Sumatra
Barat karena kesepakatan Perjanjian London, karenanya Inggris
menyerahkan daerah kekuasaannya di Sumatera Barat kepada Belanda.
Pemerintahan Belanda mengangkat James Du Puy sebagai Residen.
Kemudian kaum Adat beralih meminta bantuan kepada Belanda.6
Pada tanggal 10 Februari 1821 M, Residen Du Puy dan Tuanku
Suruaso beserta empat belas Penghulu mewakili negeri Minangkabau
mengadakan Perjanjian.7 Dengan dasar perjanjian ini beberapa daerah di
Minangkabau dikuasai oleh Belanda. Strategi ini bukan semata untuk
melawan kaum Padri tetapi, semata untuk menanamkan kekuasaannnya.
Pada tanggal 18 Februari 1821 M Belanda telah menduduki Simawang
sejak ini dimulailah Perang Padri melawan Belanda. Peranan kaum Adat
sebagai musuh utama digantikan oleh pihak Belanda.
6
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
IV, hlm. 172.
7
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
IV, hlm. 172.
6
B. Jalannya Perang Padri
Perang Padri dibagi dalam tiga tahap. Pertama tahun 1821-1825 M,
ditandai dengan meluasnya perlawanan rakyat keseluruh daerah
Minangkabau. Kedua tahun 1825-1830 M, ditandai meredanya
pertempuran dengan adanya perjanjian yang dilakukan Belanda kepada
gerakan Kaum Padri yang mulai melemah. Ketiga tahun 1830-1838 M
ditandai dengan perlawanan dari Kaum Padri yang meningkat dan
penyerbuan Belanda secara besar-besaran dan diakhiri dengan
tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri.8
1. Tahap pertama (1821-1825 M)
Belanda berhasil menduduki Batusangkar pada tahun 1821
M, di bawah pimpinan Letkol Raff. Tuanku Imam Bonjol selaku
pemimpin pasukan melakukan serangan balasan kepada Belanda
di Batusangkar dan berhasil memukul mundur Belanda.9 Setelah
Belanda memperkuat diri, Letkol Raff menyusun rencana kembali
guna merebut Luhak Agam, Kota Lawas, Padai Sikat dan
Gunung. Dalam pertempuran ini tertangkaplah Tuanku
Pamansiangan dan mendapat hukuman dari Belanda yaitu
dihukum gantung.10
Akhir tahun 1822 M Tuanku Imam Bonjol bersama
pasukannya melakukan serangan balasan di berbagai daerah.
Serangan ini berhasil merebut Sungai Puar, Gunung, Sigandang
dan Tajong Alam. Pada tahun 1823 M terjadi pertempuran yang
hebat antara pasukan Padri dan Belanda. Banyak korban jatuh
dari kedua belah pihak, oleh karena itu Belanda mengusulkan
adanya penjanjian gejatan senjata. Akhirnya tanggal 22 Januari
8
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
IV, hlm. 172.
9
J. Supriyo, “Ulama dalam perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda Abad XIX
sampai XX”,diakses dari http://digilib.uinsby.ac.id, pada tanggal 19 Februari 2020 pukul 14.00.
10
K. Subroto,”Tuanku Imam Bonjol & Gerakan Padri”,diakses dari http://m.kiblat.net,
pada tanggal 19 Februari 2020 pukul 14.00.
7
1824 M perjanjian genjatan senjata di Mansang ditanda tangani
oleh kedua belah pihak.
Perjanjian ini hanya bertahan selama satu bulan. Belanda
secara tiba-tiba melakukan penyerangan di daerah Luhak Tanah
Datar dan Luhak Agam. Belanda berhasil mendirikan benteng di
sana yang bernama Fort de Kock. Pada tanggal 29 Oktober 1825
M Kolonel Stuers berhasil mengadakan kontrak perdamaian baru
dengan kaum Padri yang diwakili oleh Tuanku Keramat.11
Perjanjian itu ditanda tangani di Padang tanggal 15 November
1825 M.
2. Tahap kedua (1825-1830 M)
Dalam tahap kedua ini kedua belah pihak saling
menghormati isi perjanjian. Isi perjanjian tersebut antara lain:
1) Pemerintah Hindia Belanda akan tetap meduduki
benteng- bentengnya yang dijadikan penunjuk
batas untuk memajukan ketentraman dan untuk
mencegah rakyat jangan perang memerangi antar
mereka.
2) Pemerintah Hindia Belanda disatu pihak dan kaum
Padri di lain pihak berjanji akan menghentikan
serangan satu terhadap yang lain.
3) Pemerintah Hindia Belanda mengakui kekuasaan
Tuan Tuanku di Lintau, Lima Puluh Kota, Talawi
dan Kamang (Agam).
4) Kedua belah pihak berjanji akan melindungi
mereka dalam perjalanan dan perdagangan, dan
mujir (pengungsi) yang kembali di kampungnya.
11
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia IV, hlm.176.
8
5) Pemerintah Hindia Belanda berjanji tidak akan
mencampuri urusan agama dan kepercayaan
penduduk.12
Akan tetapi perjanjian tanggal yang ditandatangani pada
tanggal 15 November 1825 tidak berlangsung lama. Belanda
melanggar perjanjian seperti yang dilakukan pada perjanjian
Mansang.
12
Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatra Barat (1803- 1838), hlm.101.
13
K. Subroto,”Tuanku Imam Bonjol & Gerakan Padri”,diakses dari http://m.kiblat.net,
pada tanggal 19 Februari 2020 pukul 14.00.
9
Pasukan Padri tetap melakukan penyerangan pada pos-pos
maupun benteng-benteng Belanda
14
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia IV, hlm. 181.
15
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia IV, hlm. 182.
10
Kesulitan yang dialami kaum Padri di Bonjol berawal dari
ditutupnya jalan-jalan penghubung dengan daerah lain oleh pasukan
Belanda. Pada tanggal 11 sampai 16 Juni 1835 M sayap kanan pasukan
Belanda berhasil menutup jalan yang menghubungkan benteng Bonjol
dengan daerah sebelah barat. Pada tanggal 16 Juni 1835 M benteng Bonjol
telah ditembaki Meriam Belanda dan seterusnya pada tanggal 21 Juni kubu
pertahanan Belanda maju lagi sehingga lebih mendekati benteng Bonjol.
Pertempuran yang berlangsung selama beberapa hari ini mengakibatkan
Belanda kehilangan beberapa pasukan, 30 seradadu tewas dan 227
terluka.16 Hingga pada tanggal 16 Agustus 1835 M bukit yang terletak di
dekat Bukit Terjadi telah jatuh ke tangan Belanda. Serdadu Belanda pada
tanggal 25 November 1835 M berkumpul di depan benteng Bonjol
bersama dengan sejumlah 13.000 pasukan bantuan, yang terdiri dari
pasukan-pasukan bumiputera dari penduduk setempat maupun dari daerah
lain. Dalam pertempuran yang terjadi, benteng Bonjol masih dapat
dipertahankan oleh kaum Padri.
Selama tahun 1836 M kekuatan kaum Padri masih belum dapat
dipatahkan militer Belanda. Untuk mematahkan benteng Bonjol, Belanda
mengerahkan lagi pasukan-pasukannya di sekitar Bonjol, antara lain
pasukan orang Afrika. Pasukan ini digabungkan dengan pasukan-pasukan
orang Bugis yang sengaja dikerahkan oleh Belanda untuk mematahkan
kaum Padri di Sumatera Barat. Pada tanggal 10 Agustus 1837 M, Tuanku
Imam Bonjol menyatakan bersedia lagi untuk mengadakan perundingan
perdamaian. Belanda mengharap bahwa perundingan tersebut akan diikuti
dengan kesediaan Tuanku Imam Bonjol untuk menyerah. Tetapi Belanda
menduga bahwa kesediaan Tuanku Imam Bonjol tersebut hanya
merupakan siasat untuk memperoleh waktu untuk menggali lubang yang
menghubungkan dalam dan luar benteng, disamping itu juga untuk
mengetahui musuh yang berada di sekitar benteng Bonjol. Kegagalan
16
Muhammad Radjab, Perang Padri di Sumatra Barat (1803- 1838), hlm. 308.
11
usaha perdamaian menyebabkan timbulnya lagi pertempuran pada tanggal
12 Agustus 1837 M
Pasukan Belanda bergerak dari arah utara pada tanggal 1 Juli 1837
M menduduki Durian Tinggi dan Talu, dan kampung-kampung di Lubuk
Sikaping pada tanggal 3 Juli 1837 M. Bulan Oktober 1837 M
pengepungan dilakukan oleh pasukan-pasukan Belanda terhadap benteng
Bonjol. Aksi saling tembak terjadi antara pasukan Belanda dan pasukan
Padri. Meriam-meriam kaum Padri tidak banyak menolong karena musuh
berada dalam jarak dekat. Akhirnya benteng Bonjol di kuasai Belanda.
Pasukan Padri Bonjol akhirnya menyerah karena tidak berdaya lagi
berhadapaan dengan pasukan musuh. Penyerahan Tuanku Imam Bonjol
beserta pasukannya terjadi pada tanggal 25 Oktober 1837 M dan
merupakan pukulan berat bagi perlawanan kaum Padri pada umumnya.
Kaum Padri terpaksa meninggalkan Bonjol untuk meneruskan perang di
hutan-hutan. Tuanku Imam Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa
Barat. Pada tanggal 19 Januari 1839 M dibuang ke Ambon, lalu pada
tahun 1841 M dipindahkan ke Manado, dan meninggal disana pada
tanggal 5 November 1864 M.17
Meskipun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah pada Belanda,
gerakan Padri tetap meneruskan perjuangan. Tuanku Tambusi
mengadakan perlawanan terhadap Belanda di sekitar daerah Rao dan
Mandailing. Belanda menugaskan Mayor van Bethoven untuk menghadapi
Tuanku Tambusi, pada bulan November dan Desember 1837 M, pasukan
Belanda bergerak dan menduduki Portibi, Kota Pinang, Angkola, Sipirok,
dan Padang Lawas.18 Pada tanggal 18 Januari 1838 M, Kolonel Michiels
menggantikan Francis sebagai kepala pemerintahan sipil di Sumatera
Barat. Sementara itu usaha untuk menindas perlawanan Tuanku Tambusi
terus dijalankan. Tuanku Tambusi menyingkir ke Dalu-dalu. Bulan April
17
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia IV, hlm. 183.
18
Sartono Kartodirdjo dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto,
Sejarah Nasional Indonesia IV, hlm. 184.
12
1838 M Lubuk Antai ditinggalkan kaum Padri dan Dalu-Dalu diserang.
Tuanku Tambusi berhasil dikalahkan pada 28 Desember 1838 M. Dengan
demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat dipatahkan pada
akhir tahun 1838 M. Setelah itu mulailah kekuasaan Belanda tertanam di
Sumatera Barat.
BAB III
KESIMPULAN
13
perang Padri adalah timbulnya perselisihan antara kaum Padri(ulama) dengan
masyarakat Minangkabau yang masih menggenggam erat adat yang mereka miliki
yang mana hal itu dianggap bertentangan dengan syariat islam. Peperangan ini
juga semakin diperparah dengan campur tangannya pihak Inggris dan Belanda
setelah mendapat permintaan dari kaum adat.
DAFTAR PUSTAKA
14
Supriyo,J. 2020. Ulama dalam perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda
Abad XIX sampai XX. http://digilib.uinsby.ac.id. pada tanggal (diakses pada 19
Februari 2020)
15