Anda di halaman 1dari 33

Kelompok 1 :

Jericho Theofile 170423163


Bertha Rena 170423212
Monica Vania 170423213
Marlina Ning 170423218
Teofilus Aditya 170423219
Valentina Febry 170423230

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan teknologi belakangan ini cukup berdampak terhadap pola


ekonomi yang berkembang di masyarakat. Para pelaku ekonomi khususnya pengusaha
harus bisa mengikuti perubahan zaman agar bisa bertahan di tengah situasi yang ada
(Mochamad Solehudin 2017). Apa yang terjadi di Indonesia dalam 3 tahun
belakangan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kita sudah mulai
mengarah ke pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (Fajar B. Hirawan 2018).
Salah satu yang menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM) yang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan
ekonomi (Benedicta Prima 2018). Menurut UU No. 20/2008 UMKM adalah
perusahaan kecil yang dimiliki dan dikelola oleh seseorang atau dimiliki oleh
sekelompok kecil orang dengan jumlah kekayaan dan pendapatan tertentu.
UMKM memiliki pangsa pasar yang sangat besar di Indonesia, terutama UMKM
yang berorientasi ekspor. UMKM diharapkan bisa memproduksi barang substitusi
impor yang selama ini memberatkan neraca dagang yang masih menjadi PR besar
pemerintah (Ignasia Kijm 2019).
Belum kokohnya fundamental perekonomian Indonesia saat ini, mendorong
pemerintah untuk terus memberdayakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Sektor ini mampu menyerap tenaga kerja cukup besar dan memberi peluang bagi
UMKM untuk berkembang dan bersaing dengan perusahaan yang lebih cenderung
menggunakan modal besar (capital intensive). Eksistensi UMKM memang tidak dapat
diragukan lagi karena terbukti mampu bertahan dan menjadi roda penggerak ekonomi,
terutama pasca krisis ekonomi. Disisi lain, UMKM juga menghadapi banyak sekali
permasalahan, yaitu terbatasnya modal kerja, Sumber Daya Manusia yang rendah, dan
minimnya penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi (Sudaryanto dan Hanim,
2002).
Kesadaran akan pentingnya mutu pada produk dan jasa yang dipasarkan
kemudian berkembang dengan munculnya kontrol kualitas (quality control), lalu
berkembang menjadi jaminan kualitas (quality assurance), dan pada muncul konsep
TQM (Total Quality Management). Menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana
(2003) mendefinisikan TQM sebagai :

“Total Quality Management (TQM) merupakan suatu pendekatan dalam


menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi
melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan
lingkungannya.”

Total quality management mencakup mempertimbangkan pengaruh eksternal


seperti yang juga mencakup mempertimbangkan pengaruh eksternal seperti pelanggan
dan pemasok; konsep ini juga mencakup layanan purna-penjualan bagi pelanggan dan
mendorong perbaikan proses eksternal untuk memenuhi komentar umpan balik
pelanggan (Burtonshaw-Gunn 2011).
TQM membuat pelaku usaha dapat bersaing dengan pelaku usaha lain karena
konsep dasar TQM adalah perbaikan secara berkala atau terus-menerus. Selain itu,
TQM juga memiliki prinsip yang menghargai setiap entitas atau orang yang terlibat
dalam memberikan kebebasan kepada setiap entitas tersebut untuk memberikan
pendapat demi perbaikan secara berkesinambungan. Dalam penerapan TQM ada 10
karakteristik yang dikembangkan oleh Goetsch dan Davis yang dapat mempengaruhi
kinerja manajer, yaitu: fokus pada pelanggan, obsesi terhadap kualitas, pendekatan
ilmiah, komitmen jangka panjang, kerjasama tim, perbaikan sistem secara
berkesinambungan, pendidikan dan pelatihan, kebebasan yang terkendali, kesatuan
tujuan, dan adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan. Dengan adanya TQM
pelaku usaha dapat selalu mengevaluasi kinerjanya sehingga dapat segera dilakukan
perbaikan apabila ada sistem yang salah (Nasution 2005).
Variabel pertama yang mempengaruhi penerapan TQM adalah perbaikan
berkelanjutan, merupakan sub kultur organisasi yang mempengaruhi norma karyawan
dan nilai-nilai karyawan di dalam proses menghasilkan produk dan jasa (Schein, 1996
dalam Ismail dan Efizah, 2011). Kikoski (1998) menjelaskan bahwa perbaikan
berkelanjutan dapat mengatur perencanaan, pengorganisasian, staffing, dan dapat
memberikan petunjuk dalam mempromosikan kerja tim, pelatihan, dan penilaian
kinerja menjadi lebih terukur dalam mewujudkan kebutuhan kinerja setiap harinya.
Dapat disimpulkan bahwa perbaikan berkelanjutan adalah penerapan subkultur
organisasi berupa peraturan kerja yang dapat membentuk perilaku inovatif antara
karyawan dan nilai-nilai dalam meningkatkan kualitas didalam proses menghasilkan
produk dan jasa (Rachmaningtyas dan Anang, 2014).
Variabel kedua adalah pemberdayaan karyawan. Menurut Noe et.al (1994)
pemberdayaan adalah merupakan pemberian tanggung jawab dan wewenang terhadap
pekerjaan untuk mengambil keputusan menyangkut semua pengembangan produk dan
pengambilan keputusan. Sedangkan menurut Khan (1997) pemberdayaan merupakan
hubungan antar personal yang berkelanjutan untuk membangun kepecayaan antar
karyawan dan manajemen. Byars dan Rue (1997) memberi pengertian empowerment
merupakan bentuk desentralisasi yang melibatkan pada bawahan dalam membuat
keputusan. Pemberdayaan karyawan menjadi sesuatu hal yang penting karena di
dalam menghadapi era persaingan dan pelayanan, setiap organisasi membutuhkan
karyawan yang cepat tanggap dan mandiri sehingga organisasi mempunyai
keunggulan kompetitif melalui sumber daya manusiannya. (Kadarisman dkk, 2016).
Variabel ketiga adalah Kepuasan konsumen. Menurut Zeithamdan Bitner (2005)
kepuasan konsumen merupakan

“costumer’s evaluation of a product or service in term of whether that


product or sevice has met their needs and expectation”.

Menurut Tjiptono (2011) Kepuasan Pelanggan terdiri dari 7 Elemen, yaitu Barang dan
Jasa Berkualitas, Relationship Marketing, Program Promosi Loyalitas, Fokus Pada
Pelanggan Terbaik, Sistem Penanganan Konplain Secara Efektif, Unconditional
Guarantees, dan Program PayFor-Performance. Terdapat hubungan antara Total
Quality Management (TQM) terhadap kepuasan konsumen yaitu dengan
meningkatkan penerapan TQM sebagai cara untuk meningkatkan kualitas, hal ini
dilakukan untuk memperoleh kepuasan pelanggan atau pengguna produk dan jasa
(Proyek) (Nasution, 2001).
Dari uraian di atas, maka motivasi dari penelitian ini didasari oleh
ketidakkonsistenan pada hasil penelitian-penelitian terdahulu. Pada penelitian oleh
Kober dan Watson (2012) beberapa praktek TQM membutuhkan modifikasi sesuai
dengan karakteristik unik UMKM, sementara yang lain mungkin tidak cocok sama
sekali, sedangkan menurut Yun Yun dan Asep Kurniawan (2014) TQM dapat
diterapkan pada UMKM. Namun, perlu adanya dukungan dari berbagai pihak baik itu
pemasok, konsumen, maupun pemerintah dan instansi lainnya untuk senantiasa
membangun Total Quality Management. Oleh karena itu, kami mengangkat penelitian
dengan judul “Pengaruh perbaikan berkelanjutan, keterlibatan dan
pemberdayaan karyawan, dan kepuasan konsumen terhadap kinerja pada
UMKM”

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah perbaikan berkelanjutan berpengaruh terhadap kinerja pada UMKM ?
2. Apakah keterlibatan dan pemberdayaan karyawan berpengaruh terhadap
kinerja pada UMKM ?
3. Apakah kepuasan konsumen berpengaruh terhadap kinerja pada UMKM ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi dan pengaruh perbaikan
berkelanjutan, keterlibatan dan pemberdayaan karyawan, dan kepuasan konsumen
terhadap kinerja pada organisasi UMKM di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Kontribusi Teori
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tambahan
bagi pembaca yang terkait dengan pengaruh perbaikan berkelanjutan,
keterlibatan dan pemberdayaan karyawan, dan kepuasan konsumen terhadap
kinerja pada organisasi UMKM di Indonesia.
2. Kontribusi Praktek
Hasil penelitian ini diharapkan untuk mengetahui hubungan dan pengaruh
perbaikan berkelanjutan, keterlibatan dan pemberdayaan karyawan, dan
kepuasan konsumen terhadap kinerja pada organisasi UMKM di Indonesia
dan untuk memberikan pengetahuan praktis bagi praktisi dan akademisi
Indonesia untuk memahami keunggulan dari beberapa faktor penerapan TQM
pada lingkungan UMKM.
3. Kontribusi Kebijakan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi kebijakan untuk para
pelaku usaha khususnya UMKM. Dengan penelitian ini diharapkan pelaku
usaha dapat mempertahankan dan terus meningkatkan mutu, guna
menghadapi persaingan pasar yang semakin ketat dan kompetitif dengan
menerapkan perbaikan berkelanjutan, keterlibatan dan pemberdayaan
karyawan, dan kepuasan konsumen terhadap kinerja pada organisasi UMKM
di Indonesia.
BAB 2

DASAR TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1. Continuous Improvement


Aktivitas continuous improvement merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
memenuhi kepuasan pelanggan, proses kerja, dan performansi supplier yang dapat
didesain dan diterapkan serta dikerjakan dalam kerja tim (teamwork). Pentingnya
kerja tim dalam bisnis dan industri tertanam dalam konsep simultan continuous
improvement dan total quality management (Kinlaw, 1992). Awalnya, konsep
perbaikan terus-menerus dibawa ke Jepang dari Amerika Serikat setelah perang dunia
kedua untuk membantu dalam rekonstruksi industri Jepang (Schroeder dan Robinson,
1991). Sebuah konsep terkenal terkait dengan terus menerus perbaikan adalah kaizen,
yang memiliki asal-usulnya di Jepang dan berarti perubahan terus menerus untuk
lebih baik dengan melibatkan seluruh karyawan (Imai, 1986). Konsep perbaikan
terus-menerus berdasarkan transfer pengetahuan antara individu yang berbeda,
proyek, dan unit organisasi. Pembelajaran intra-proyek mana baik akuisisi dan
penggunaan pengalaman terjadi dalam proyek yang sama, sementara pembelajaran
antar-project "di mana pengalaman yang diperoleh dalam satu proyek dan ditransfer
dengan yang lain selama periode waktu "(Bartezzaghi et al., 1997).
Kaizen (改善) secara aslinya dalam arti bahasa Jepang adalah sebagai berikut :
改 kai artinya perubahan
善 zen artinya kebaikan
Dalam bahasa China gai shan 改善 artinya perubahan untuk lebih baik atau
improve dalam bahasa Inggris. 改 gai artinya perubahan atau tindakan perbaikan. 善
shan artinya baik atau keuntungan.
Konsep kaizen sangat penting untuk menjelaskan perbedaan antara pandangan
Jepang dan pandangan Barat terhadap manajemen. Perbedaan yang paling penting
antara konsep manajemen Jepang dan Barat adalah : Kaizen Jepang dan cara
berpikirnya yang berorientasi pada proses sedangkan cara berpikir Barat tentang
pembaharuan yang berorientasi pada hasil. Maasaki Imai, (1992).
Hardjosoedarmo (2001 : 147) mendefinisikan Kaizen atau perbaikan secara
berkelanjutan adalah “perbaikan proses secara terus menerus untuk selalu
meningkatkan mutu dan produktifitas output”
Konsep utama Kaizen menurut Imai (2008 : 15) untuk mewujudkan strategi Kaizen
yaitu:
1. Kaizen dan Manajemen
Dalam konteks Kaizen, manajemen memiliki dua fungsi utama yaitu : pemeliharaan
dan perbaikan. Pemeliharaan berkaitan dengan kegiatan untuk memelihara teknologi,
sistem manajerial, standar oprasional yang ada, dan menjaga standar oprasional
melalui pelatihan serta disiplin. Sedangkan perbaikan berkaitan dengan kegiatan yang
diarahkan untuk meningkatkan standar yang ada. Perbaikan dapat dibedakan sebagai:
Kaizen dan Inovasi. Kaizen bersifat perbaikan kecil yang berlangsung secara
berkesinambungan, sedangkan inovasi merupakan perbaikan drastis sebagai hasil
investasi sumber daya berjumlah besar dalam teknologi atau peralatan.
2. Proses Versus Hasil
Kaizen menekankan pola pikir yang berorientasi proses karena proses harus
disempurnakan agar hasil dapat meningkat. Kegagalan mencapai hasil yang
direncanakan merupakan cermin dari kegagalan proses. Manajemen harus
menemukan, mengenali, dan memperbaiki kesalahan pada proses.
3. Siklus PDCA/SDCA
Langkah pertama dari Kaizen adalah menerapkan siklus PDCA (Plan, Do, Check,
Act) sebagai sarana yang menjamin terlaksananya kesinambungan dari Kaizen guna
mewujudkan kebijakan untuk memelihara, memperbaiki dan meningkatkan standar.
4. Mengutamakan Kualitas
Kualitas merupakan prioritas tinggi dibandingkan dengan harga dan penyerahan
produk yang ditawarkan kepada consume karena perusahaan tidak dapat bersaing jika
kualitas produk dan pelayanan tidak memadai.
5. Berbicara dengan Data
Mengumpulkan data tentang keadaan saat ini merupakan langkah awal dalam upaya
perbaikan, karena data berguna untuk memecahkan suatu masalah.
6. Kepuasan Konsumen
Semua pekerjaan terselenggarakan melalui serangkaian proses dan masing- masing
proses memiliki pemasok maupun konsumen.

2.2. Keterlibatan dan Pemberdayaan Karyawan

Menurut Noe et.al (1994) pemberdayaan adalah merupakan pemberian tanggung


jawab dan wewenang terhadap pekerjaan untuk mengambil keputusan menyangkut
semua pengembangan produk dan pengambilan keputusan. Sedangkan menurut Khan
(1997) pemberdayaan merupakan hubungan antar personal yang berkelanjutan untuk
membangun kepecayaan antar karyawan dan manajemen. Byars dan Rue (1997)
memberi pengertian empowerment merupakan bentuk desentralisasi yang melibatkan
pada bawahan dalam membuat keputusan.

Pemberdayaan karyawan adalah filosofi dan strategi yang digunakan perusahaan


untuk memberi ruang bagi karyawannya membuat keputusan dan berperilaku sesuai
tujuan perusahaan. Perusahaan tentu ingin karyawan yang dimilikinya memiliki soft
skill dan potensi yang mumpuni. Untuk itulah, perusahaan melalukan upaya
pemberdayaan karyawan sebagai strategi untuk memberi ruang karyawan membuat
keputusan atau inisiatif dan berperilaku sesuai dengan tujuan perusahaan (Mustofa,
2017)

Pemberdayaan karyawan yang dilakukan juga dengan tetap melibatkan peran


pemimpin. Hal ini diperlukan karena potensi yang dimiliki setiap karyawan sangat
spesifik dan unik antara satu karyawan dan karyawan lain. Oleh karena itu, perlu cara
dan startegi tertentu dalam upaya pemberdayaan karyawan ini. Strategi-strategi
tersebut antara lain seperti apa yang dijabarkan berikut ini (Linov, 2019) :

1. Pembinaan dan Konseling

Pembinaan dan konseling merupakan proses bantuan yang diberikan


perusahaan ketika ada karyawan yang mengalami masalah kerja karena keterbatasan
pemahaman mereka akan pekerjaan tersebut atau karena ada permasalahan pribadi.
Strategi ini bisa menjadi sangat penting agar karyawan memiliki rasa kedekatan
dengan perusahaan. Di lain sisi coaching dan counseling juga berperan agar semua
karyawan memiliki pandangan yang sama tentang tujuan perusahaan.

2. Beri Ruang untuk Berkreativitas

Karyawan sejatinya tidak hanya ingin bekerja sesuai arahan layaknya robot.
Mereka juga ingin berkembang dengan kebebasan berpikir dan berpendapat. Hal
inilah yang harusnya dipahami pimpinan perusahaan dalam mengambil kebijakan.
Memberikan ruang untuk berkreasi menjadi bagian penting dalam strategi
pemberdayaan karyawan.

Manajemen dapat membuat karyawan terlibat langsung dengan pekerjaan, seperti


mengidentifikasi masalah dan memikirkan strategi penyelesaiannya. Cara ini juga
dilakukan sebagai bentuk penghargaan perusahaan akan ide-ide dan pemikiran yang
dimiliki setiap karyawannya.

3. Bangun Kepercayaan

Strategi pemberdayaan berikutnya adalah dengan membangun kepercayaan


terhadap karyawan. Rasa saling percaya ini sangat penting bagi pemberdayaan
karyawan karena akan membangun sistem organisasi yang baik. Karyawan juga tidak
perlu merasa takut untuk bersuara karena didukung lingkungan yang saling
menghormati.

Strategi ini bisa dilakukan dengan beberapa cara seperti memberi kesempatan
karyawan ikut berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan perusahaan, menyediakan
akses informasi yang cukup, dan melaksanakan pelatihan.

4. Melatih Kepercayaan Diri Karyawan

Sikap saling percaya terhadap kemampuan rekan kerja kita menjadi salah satu
cara untuk membangun rasa percaya diri. Delegasikan tugas yang penting untuk
dikerjakan oleh karyawan anda. Agar mereka merasa tertantang dan berkembang.

Memberikan tantangan bagi karyawan sebagaimana dikutip dari laman


thebalancecareers, akan mendorong karyawan lebih aktif bertanya dan
memberdayakan dirinya. Melalui tahapan yang benar, hal ini juga akan membuat
peluang resign-nya karyawan menjadi lebih kecil.
5. Menjaga Kredibilitas

Selain ingin terus berkembang, karyawan juga memiliki rasa kompetisi.


Kompetisi ini tentunya dalam hal yang sehat. Untuk itu, perusahaan harus bisa
menciptakan lingkungan kompetisi yang baik untuk menunjukkan performa dan
kredibilitas dari masing-masing karyawan.

Kredibilitas yang dimaksud dalam hal ini menyangkut bagaimana manajer


memandang karyawan sebagai partnernya. Manajer juga memberikan dorongan untuk
peningkatan target karyawan di semua pekerjaannya. Di bagian lain, manajer harus
bisa melakukan perubahan untuk meningkatkan kredibilitas individu karyawan.

6. Menanamkan Nilai Akuntabilitas

Cara selanjutnya dalam pemberdayaan karyawan di perusahaan adalah dengan


melakukan pertanggung jawaban akan kerja yang sudah diberikan kepada karyawan.
Hal ini dilakukan dengan menetapkan secara transparan peran, standar penilaian, dan
tujuan dari setiap pekerjaan yang diberikan kepada karyawan. Akuntabilitas ini juga
melingkupi upaya evaluasi rutin terhadap kinerja karyawan.

Banyak cara dalam membentuk akuntabilitas ini yaitu seperti melakukan


training dalam evaluasi kinerja, memberi tugas yang terukur akan standar
penilaiannya, melibatkan karyawan dalam penentuan standar penilaian tersebut, dan
menyediakan waktu dalam pemberian feedback.

7. Komunikasi yang Terbuka

Strategi terakhir yang tak kalah pentingnya dalam pemberdayaan karyawan di


perusahaan adalah dengan melakukan komunikasi yang terbuka antara manajer dan
karyawan. Penting bagi manajer perusahaan untuk membuka pintu mereka agar setiap
karyawan bisa menjalin komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik juga dilakukan
dalam menyebarkan informasi perusahaan termasuk kendala apa yang tengah
dihadapi perusahaan.
2.3. Customer Satisfaction

2.3.1. Pengertian Kepuasan Konsumen

Kepuasan konsumen menempati posisi penting dalam praktek di dunia bisnis


karena manfaat yang dapat ditimbulkannya bagi perusahaan. Dalam beberapa
penelitian tentang kepuasan konsumen, ditemukan bahwa kepuasan secara
menyeluruh adalah suatu evaluasi global yang terdiri atas kepuasan atas komponen
komponen atribut dari suatu barang atau jasa (Mittal,dkk, 2001).
Kepuasan konsumen oleh Anwar (1995) diartikan sebagai sesuatu yang
dipengaruhi oleh nilai- nilai suatu layanan (service) yang disuguhkan pegawai kepada
pelanggan. Nilai pelanggan tersebut tercipta karena tingkat kepuasan, loyalitas, dan
produktifitas yang disumbangkan oleh pegawai. Adanya kepuasan kerja yang
dinikmati oleh para pegawai merupakan upaya yang mendukung tercipta- nya kualitas
layanan yang prima; serta kebijakan perusahaan yang baik akan memungkinkan
pegawai memberikan layanan terbaik kepada para pelanggan.
Menurut Kotler dan Amstrong (2001) kepuasan konsumen adalah sejauh mana
anggapan kinerja produk memenuhi harapan pembeli. Bila kinerja produk lebih
rendah ketimbang harapan pelanggan, maka pembelinya merasa puas atau sangat
gembira.
Menurut Tjiptono (2008) terciptanya kepuasan konsumen dapat memberikan
manfaat antara lain hubungan antara perusahaan dan pelanggan menjadi harmonis,
memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang dan terciptanya loyalitas
pelanggan dan membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (word ofmouth)
yang menguntungkan bagi perusahaan.
Menurut Zeithmal, kepuasan konsumen dipengaruhi oleh persepsi atas kualitas
jasa, persepsi atas harga, serta factor situasional dan factor personal. Kepuasan
konsumen juga dipengaruhi oleh kualitas produk atau barang-barang yang diberikan
pada pelanggan dalam proses penyerahan jasa. Jadi indikator untuk mendapatkan
kepuasan konsumen adalah :
a. Kualitas jasa
b. Persepsi atas harga
c. Factor situasional
Memuaskan konsumen merupakan keinginan setiap perusahaan selain faktor
penting bagi kelangsungan hidup perusahaan, memuaskan kebutuhan konsumen dapat
meningkatkan keunggulan dalam persaingan.Konsumen yang puas terhadap produk
dan jasa pelayanan cenderung untuk membeli kembali produk dan enggunakan
kembali jasa pada saat kebutuhan yang sam muncul. Hal ini berarti kepuasan
merupakan faktor kunci bagi konsumen dalam melakukan pembelian ulang yang
merupakan porsi terbesar dari volume penjulan perusahaan.

2.3.2. Aspek-Aspek Customer Satisfaction

Menurut Kotler aspek-aspek kepuasan konsumen adalah :


a. Kualitas pelayanan
Meningkatkan kualitas pelayanan dengan memberikan kualitas pelayanan
yang lebih baik.
b. Fasilitas
Meningkatkan fasilitas yang disediakan untuk konsumen
c. Proses pemesanan
Ketika memilih sebuah pedagang, setiap konsumen mengevaluasi empat
faktor kunci sebelum membuat keputusan (Denove dan Power, 2007),
diantaranya yaitu:
a. Lokasi
b. Pilihan barang
c. Harga
d. Pengalaman berbelanja
Tiga faktor pertama mudah untuk didefinisikan, pada kenyataan mereka dapat
dikuantitatifkan dengan sempurna. Faktor keempat yaitu pengalaman berbelanja lebih
sulit untuk didefinisikan apalagi untuk dikuantifikasi.Walaupun demikian,
pengalaman berbelanja atau harapan akan pengalaman, dapat menjadi faktor penentu
dalam memilih toko sebagai tempat berbelanja. Faktor ini akan semakin berlaku bila
pedagang ritel pesaing menawarkan harga sejenis. Menurut Denove dan Power (2007)
yaitu, bahwa untuk membuat masalah tidak semakin rumit, pengalaman berbelanja
sendiri dibagi menjadi tiga titik sentuh, yaitu:
a. Suasana fasilitas fisik (kebersihan, pemajangan, dan lain-lain)
b. Pengalaman hubungan antara pribadi (kesopanan, penyediaan bantuan, dan
lain- lain)
c. Kebijakan toko (pengembalian, penukaran, jam buka, dan lain-lain) Dari
ketiga titik sentuh inilah kepuasan pelanggan terhadap sebuah usaha ritel
ditentukan.

2.4. Pengertian Total Quality Management

Kualitas atau “Quality” berasal dari istilah Latin yakni “qualitas” yang berarti
karakteristik, sifat, fitur. Kualitas dapat di temukan dengan membandingkan jumlah
karakteristik yang melekat dengan kebutuhan persyaratan tertentu (Luburic, 2014)
Total quality management mencakup mempertimbangkan pengaruh eksternal seperti
yang juga mencakup mempertimbangkan pengaruh eksternal seperti pelanggan dan
pemasok; konsep ini juga mencakup layanan purna-penjualan bagi pelanggan dan
mendorong perbaikan proses eksternal untuk memenuhi komentar umpan balik
pelanggan (Burtonshaw-Gunn 2011).
Untuk secara detailnya telah dikemukakan oleh Handoko (1998) sebagai berikut :
1. Total: Total Quality Management merupakan strategi organisasional
menyeluruh yang melibatkan semua jenjang dan jajaran manajemen dan
karyawan, bukan hanya pengguna akhir dan pembeli eksternal saja, tetapi juga
pelanggan internal, pemasok, bahkan personalia pendukung.
2. Kualitas: Total Quality Management lebih menekankan pelayanan kualitas,
bukan sekedar produk bekas cacat. Kualitas didefinisikan oleh pelanggan,
ekspektasi pelanggan bersifat individual, tergantung pada latar belakang sosial
ekonomis dan karakteristik demografis.
3. Manajemen: Total Quality Management merupakan pendekatan manajemen,
bukan pendekatan teknis pengendalian kualitas yang sempit.
Berdasarkan pengertian para ahli di atas, Total Quality Management (TQM)
secara garis besar dapat diartikan sesuai dengan Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana
(2003) Total Quality Management (TQM) merupakan suatu pendekatan dalam
menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi
melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan
lingkungannya.
2.4.1 Unsur-unsur Total Quality Management

Menurut Hensler dan Brunell (Tjiptono dan Diana, 2003) mengemukakan


bahwa Total Quality Management memiliki sepuluh unsur utama, yaitu :
1. Fokus pada pelanggan
2. Obsesi pada kualitas
3. Pendekatan ilmiah
4. Komitmen jangka panjang
5. Kerjasama tim
6. Perbaikan sistem secara berkesinambungan
7. Pendidikan dan pelatihan
8. Kebebasan yang terkendali
9. Kesatuan tujuan
10. Adanya keterlibatan pemberdayaan karyawan

2.4.2 Konsep Total Quality Management

Menurut Heizer dan Render (2001) terdapat 5 konsep efektif dalam


menentukan perbaikan mutu, yaitu :
1. Perbaikan terus menerus
2. Pemberdayaan karyawan
3. Perbandingan kinerja (Benchmarking)
4. Penyedia kebutuhan yang tepat waktu (Just In Time)
5. Pengetahuan mengenai peralatan Total Quality Management

2.5. Pengertian Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

Sesuai dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro,


Kecil, dan Menengah, UMKM didefinisikan sebagai berikut:
1. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.

2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah
atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini.

3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, ataupun
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil
atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan
sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini.

Secara ringkas UMKM menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2008


adalah perusahaan kecil yang dimiliki dan dikelola oleh seseorang atau dimiliki oleh
sekelompok kecil orang dengan jumlah kekayaan dan pendapatan tertentu.
Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
(Menegkop dan UKM), yang dimaksud dengan Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha
Mikro (UMI) adalah entitas usaha yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp 200.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan
memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,- . Sementara itu, Usaha
Menengah (UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang
memiliki kekayaan bersih antara Rp 200.000.000 s.d. Rp 10,000.000.000,- tidak
termasuk tanah dan bangunan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan
definisi UKM berdasarkan kuantitas tenaga kerja. Usaha kecil merupakan entitas
usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah
merupakan entitias usaha yang memiliki tenaga kerja 20 s.d. 99 orang. Berdasarkan
Keputuasan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994, usaha kecil didefinisikan
sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang
mempunyai penjualan/omset per tahun. Sedangkan menurut Bank Indonesia
mendefinisikan UMKM adalah perusahaan atau industri dengan karakteristik berupa
modal kurang dari Rp. 20 juta, untuk satu putaran usaha hanya membutuhkan dana
Rp. 5 Juta, memiliki aset maksimum Rp. 600 juta diluar tanah dan bangunan, dan
omzet tahunan ≤ Rp. 1 miliar.

2.6. Hubungan antar variabel

2.6.1. Pengaruh Perbaikan Berkelanjutan Terhadap Kinerja pada UMKM

Menurut Simanjuntak (2016) perbaikan berkelanjutan (continuous


improvement) didefinisikan sebagai berikut :

“Continuous Improvement adalah usaha atau upaya berkelanjutan yang


dilakukan untuk mengembangkan dan memperbaiki produk, pelayanan
maupun proses. Usaha-usaha tersebut bertujuan untuk mencari dan
mendapatkan bentuk terbaik dari improvement yang dihasilkan. Menciptakan
solusi terbaik dari masalah yang ada, yang hasilnya akan terus bertahan dan
berkembang lebih baik lagi”.

Total Quality Management dan Perbaikan berkelanjutan saling bergantung.


Perbaikan berkelanjutan juga diterapkan sebagai elemen penting dari TQM. Beberapa
ahli juga mempertimbangkan proses perbaikan yang berkelanjutan dengan
mengevaluasi prinsip – prinsip dasar dari perspektif TQM dan Kaizen. Keduanya
dapat dibedakan karena perbaikan berkelanjutan berfokus pada perbaikan kecil dan
bertahap dimana TQM melibatkan peningkatan radikal yang penting dan proses
penting untuk mendapatkan efek besar. Organisasi selalu menerapkan kedua konsep
tersebut secara bersamaan untuk mendapatkan manfaat maksimal dari perbaikan
berkelanjutan. Implementasi hanya satu konsep tidak akan begitu bermanfaat (Wave,
2019).
2.6.2. Pengaruh Keterlibatan dan Pemberdayaan Karyawan Terhadap Kinerja
pada UMKM

Salah satu prinsip Total Quality Management (TQM) adalah keterlibatan dan
pemberdayaan karyawan. TQM adalah suatu pelibatan dan pemberdayaan karyawan.
Pelibatan karyawan (employee involvement) adalah suatu proses untuk
mengikutsertakan para karyawan pada semua tingkatan organisasi dalam pembuatan
keputusan dan pemecahn masalah (Bounds dalam Nasution,2010:183). Sedangkan
pemberdayaan atau pemberian wewenang (empowerment) dapat diartikan sebagai
pelibatan karyawan yang benar-benar berarti. Dengan demikian, pemberdayaan tidak
sekedar hanya memiliki masukaan, tetapi juga memperhatikan, mempertimbangkan,
dan menindaklanjuti masukan tersebut apakah akan diterima atau tidak. Tanpa adanya
pemberdayaan, pelibatan karyawan hanyalah alat manajemen yang tidak ada gunanya.
Oleh karena itu, pelibatan harus disertai dengan pemberdayaan karyawan.
Tujuan pelibatan dan pemberdayaan karyawan adalah untuk meningkatkan
kemampuan organisasi dan untuk memberikan nilai kepada pelanggan. Oleh karena
itu, karyawan harus memahami apa makna nilai pelanggan, komponen sistem, dan
bagaimana untuk menentukan dan mengukurnya. Pemberdayaan merupakan kunci
utama dalam memotivasi dan produktivitas. Seorang karyawan yang merasa dirinya
dihargai dan memiliki kontribusi bagi organisasi akan berkembang secara pribadi dan
professional sehingga kontribusinya bagi organisasi dapat dimaksimalkan (Nasution,
2010:183)
Pemberdayaan karyawan adalah filosofi dan strategi yang digunakan
perusahaan untuk memberi ruang bagi karyawannya membuat keputusan dan
berperilaku sesuai tujuan perusahaan. Perusahaan tentu ingin karyawan yang
dimilikinya memiliki soft skill dan potensi yang mumpuni. Untuk itulah, perusahaan
melalukan upaya pemberdayaan karyawan sebagai strategi untuk memberi ruang
karyawan membuat keputusan atau inisiatif dan berperilaku sesuai dengan tujuan
perusahaan (Mustofa, 2017).
Menurut International Organizationfor Standardization (ISO), TQM adalah
pendekatan manajemen pada suatu organisasi, berfokus pada kualitas dan didasarkan
atas partisipasi dari keseluruhan sumber daya manusia dan ditujukan pada kesuksesan
jangka panjang melalui kepuasan pelanggan dan memberikan manfaat pada anggota
organisasi (sumber daya manusianya) dan masyarakat.
Manfaat menerapkan pelibatan dan pemberdayaan karyawan dalam
perusahaan (Browen dan Lawler dalam Nasution, 2010:185) yaitu:
1. Dapat memberikan respon langsung pada kebutuhan pelanggan secara lebih
cepat dalam penyampaian jasa.
2. Dapat memberikan respon langsung pada pelanggan yang tidak puas selama
service recovery.
3. Karyawan akan mempunyai rasa memiliki yang tinggi pada pekerjaannya
dan merasa dirinya berarti bagi perusahaan.
4. Perusahaan bisa mendapatkan iklan adari mulut ke mulut (word of mouth)
yang positif dan pelanggan yang membeli akan kembali meningkat.

2.6.3. Pengaruh Kepuasan Konsumen Terhadap Kinerja pada UMKM

Menurut Noviantoro (2015) kepuasan pelanggan dapat diartikan sebagai


perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Kepuasan pelanggan
akan tercipta jika pelanggan merasakan output atau hasil pekerjaan sesuai dengan
harapan, atau bahkan melebihi harapan pelanggan. Semua usaha manajemen pada
dasarnya mempunyai suatu tujuan, yaitu untuk memuaskan pelanggan. Kepuasan
pelanggan sangat diharapkan oleh perusahaan karena akan memberi manfaat, antara
lain terjalinnya hubungan yang erat antara perusahaan dengan pelanggan sehingga
memberi peluang untuk pembelian ulang. Dengan kepuasan pelanggan, reputasi
perusahaan menjadi baik dan dapat membentuk opini publik yang menguntukan
perusahaan akan semakin besar. Pelanggan dapat menentukan kualitas untuk
mengetahui apakah produk yang dihasilkan suatu perusahaan dapat sesuai dengan
kualitas yang diharapkan pelanggan, perlu dilakukan pemantauan dan pengukuran
terhadap kepuasan pelanggan.

Kata-kata yang menyebutkan bahwa “pelanggan adalah raja” memang benar


adanya. Pelayanan yang baik (ramah, tepat waktu, penuh perhatian) kepada pelanggan
akan sangat menetukan maju tidaknya usaha yang kita jalankan. Meminta masukan
dari pelanggan mengenai produk dan service yang kita berikan adalah salah satu cara
yang ampuh untuk menciptakan pelanggan-pelanggan yang setia. Jika ada personal
touch, misalnya dengan menanyakan kepada pelanggan, baik secara tatap muka
langsung maupun melalui telpon, apakah mereka puas dengan pelayanan kita, atau
masukan apa yang mereka punya untuk perbaikan / peningkatan pelayanan ke depan.
Apa yang pelanggan keluhkan (complain) memang belum tentu benar, tetapi
bagaimanapun juga mereka tetap pelanggan kita , tetap “raja” kita, yang harus kita
layani dengan sebaik-baiknya(Nugroho, 2011). Dalam TQM, konsumen dari dalam
maupun luar adalah penggerak. Eksternal konsumen memutuskan produk dan kualitas
jasa yang mereka terima untuk mereka, dan internal konsumen memutuskan kualitas
pada orang, proses dan lingkungan yang berhubungan dengan produk dan jasa.
(Tjiptono, 2003).
2.7. Pengembangan Hipotesis

2.7.1. Pengaruh Perbaikan Berkelanjutan Terhadap Kinerja pada UMKM

Kaizen dalam bahasa Indonesia berarti perbaikan berkelanjutan . Istilah ini


mencakup pengertian perbaikan yang melibatkan semua orang. Baik pada level
puncak, manajer, maupun karyawan dengan biaya rendah. Filosofi kaizen
berpandangan bahwa cara hidup kita dalam bekerja, berumah tangga maupun dalam
kehidupan sosial hendaknya berfokus pada perbaikan secara terus menerus. Strategi
kaizen adalah kesadaran bahwa manajemen harus memuaskan pelanggan dan
memenuhi kebutuhan pelanggan, bila ingin tetap hidup dan memperoleh laba.
Penyempurnaan dalam mutu, biaya, dan penjadwalan untuk dapat memenuhi volume
barang adalah hal yang sangat penting menurut Wiratmani (2013).
Kaizen adalah perbaikan yang bersifat kecil dan berangsur, namun proses
kaizen mampu membawa hasil yang dramatis mengikuti waktu. Aspek penting dalam
kaizen adalah mengutamakan proses demi penyempurnaan. Proses kaizen tidak
berhenti setelah perbaikan berhasil diimplementasikan, tetapi setiap kemajuan akan
disatukan sebagai standar prestasi kerja yang baru. Akan tetapi standar hari ini
berlaku sampai ditemukan standar baru untuk perbaikan menurut Wiratmani (2013).
Berdasarkan analisis atas teori, maka hipotesis yang diajukan untuk diuji dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ha1= perbaikan berkelanjutan berpengaruh positif signifikan terhadap


kinerja pada UMKM.
2.7.2. Pengaruh Kepuasan Konsumen Terhadap Kinerja pada UMKM

Menurut Philip Kotler (Sunyoto, 2013:35), konsumen bisa mengalami salah


satu dari tiga tingkat kepuasan umum yaitu kalau kinerja dibawah harapan, pelangan
akan merasa kecewa tetapi kinerja sesuai dengan harapan konsumen akan merasa
puas dan bila kinerja bisa melebihi harapan maka konsumen akan merasakan sangat
puas senang atau gembira.
Berdasarkan analisis atas teori, maka hipotesis yang diajukan untuk diuji dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ha2= kepuasan konsumen berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja


pada UMKM.

2.7.3. Pengaruh Keterlibatan dan Pemberdayaan Karyawan Terhadap Kinerja


pada UMKM

Menurut Robbins (2003) dalam Wibowo (2016) menyatakan pemberdayaan


sebagai menempatkan pekerja bertanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan.
Pemberdayaan memungkinkan orang membuat keputusan lebih besar dan lebih
banyak tanpa harus mengacu pada seseorang yang lebih senior. Keseluruhan dari
pekerjaan yang akan dikerjakan akan melatih karyawan dalam mengembangkan
kemampuan sehingga menimbulkan rasa percaya diri dalam menjalani pekerjaan yang
diberikan organisasi.
Carlzon (1987) dalam Melhem (2004) memandang pemberdayaan sebagai
membebaskan seseorang dari kontrol ketat oleh instruksi, kebijakan, dan perintah,
serta memberikan kebebasan kepada orang tersebut untuk bertanggung jawab atas
gagasan, keputusan, dan tindakannya.
Berdasarkan analisis atas teori, maka hipotesis yang diajukan untuk diuji dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ha3= Pengaruh Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan berpengaruh


positif signifikan terhadap kinerja pada UMKM.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penilitian empiris. Menurut Hartono (2013),


penelitian empiris dilakukan dengan membangun satu atau lebih hipotesis
berdasarakan kerangka teori kemudian menguji hipotesis secara empiris.
Pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara menyebarkan
kuisioner.

3.2. Objek Penelitian

Objek merupakan suatu entitas yang akan diteliti. Objek dapat berupa
perusahaan, manusia, karyawan, dan lainnya (Hartono, 2016). Objek dari penelitian
ini adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Jogja. Peneliti memilih
UMKM di Jogja sebagai objek penelitian karena UMKM di Jogja memiliki lingkup
yang kecil sehingga memudahkan peneliti untuk meneliti mengenai penerapan total
quality management di Jogja. Peneliti juga memiliki prrtimbangan UMKM di Jogja
menjadi objek penelitian karena banyaknya UMKM di Jogja yang perkembangannya
cukup pesat.
3.3. Populasi

Menurut Hartono (2016), populasi adalah keseluruhan objek penelitian.


Populasi dapat berupa populasi fisik, populasi psikologi, dan populasi sosial. Populasi
dalam penelitian ini adalah pegawai di dalam UMKM Daerah Istimewa Yogyakarta.

3.4. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Menurut Hartono (2016), proses pengambilan sampel merupakan proses yang


penting dalam penelitian. Proses pengambilan sampel harus dapat menghasilkan
sampel yang akurat dan tepat. Sampel pada penelitian ini adalah pegawai di dalam
UMKM Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam penelitian ini, metode sampel yang digunakan adalah metode
pengambilan sampel secara non-probabilitas (pemilihan sampel nonrandom) yang
berupa purposive sampling. Menurut Hartono (2016), purposive sampling adalah
pengambilan sampel dari populasi berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang
digunakan dapat berdasarkan pertimbangan (judgement) atau jatah (quota) tertentu.
Sampel dalam penelitian ini menggunakan kriteria sebagai berikut:
1. Pegawai UMKM yang sudah bekerja selama minimal 1 tahun
2. Pendidikan minimal lulusan SMA / SMK sederajat

3.5. Variabel Penelitian

Menurut Hartono (2016), variabel adalah suatu simbol yang berisi suatu nilai.
Di dalam bukunya, Hartono menjelaskan pula bahwa selain variabel yang
dikelompokkan menjadi variabel dependen (VD) dan variabel independen (VI),
variabel dikelompokkan juga menjadi variabel moderasi (VMO), variabel mediasi
(VME), dan variabel ekstrani (VE).
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen (X) dan variabel
dependen (Y). Variabel independen dalam penelitian ini adalah Perbaikan
Berkelanjutan (X1), Keterlibatan dan Pemberdayaan Karyawan (X2) serta 1 variabel
dependen yaitu Kinerja Pada UMKM (Y).
3.6. Operasionalisasi Variabel

Menurut Hartono (2016), operasional variabel adalah cara mengukur variabel supaya
dapat dioperasikan. Berikut adalah operasionalisasi variabel yang diterjemahkan ke
dalam tabel:

Tabel 3.1

Operasionalisasi Variabel

Variabel Konsep Dimensi Elemen Tipe


Data
Kinerja Pada Menurut Wibowo Kuisioner Kuisionernya terdiri Interval
UMKM (2011), kinerja dimodifikasi dari 12 butir yang dengan
(Y) adalah hasil kerja dari riset yang berhubungan menggunakan
yang telah dicapai dilakukan oleh dengan : 4 butir 4 skala likert.
oleh seorang Wahyudiati pertanyaan STS = 1
pegawai dalam (2017) mengenai TS = 2
melaksanakan perencanaan, 4 S=3
tugasnya sesuai butir pertanyaan SS = 4
dengan tanggung mengenain
jawab yang investigasi, dan 4
diberikan. butir pertanyaan
mengenai
pengkoordinasi.
Perbaikan Hardjosoedarmo Kuisioner Kuisioner terdiri Interval
Berkelanjutan (2001:147) dimodifikasi dari 5 butir yang dengan
(X₁) mendefinisikan dari riset yang berhubungan menggunakan
perbaikan secara dilakukan oleh dengan : 5 butir 4 skala likert.
berkelanjutan Kurnianingsih pertanyaan STS = 1
adalah “perbaikan dan Indriantoro mengenain TS = 2
proses secara terus (2001) investigasi S=3
menerus untuk SS = 4
selalu meningkatkan
mutu dan
produktifitas
output”

Keterlibatan dan Menurut Noe et.al Kuisioner Kuisioner terdiri Interval


Pemberdayaan (1994) dimodifikasi dari 8 butir yang dengan
Karyawan pemberdayaan dari riset yang berhubungan menggunakan
(X₂) adalah merupakan dilakukan oleh dengan : 4 butir 4 skala likert.
pemberian tanggung Ariyanti, 2002 pertanyaan STS = 1
jawab dan mengenai TS = 2
wewenang terhadap perencanaan, 4 S=3
pekerjaan untuk butir pertanyaan SS = 4
mengambil mengenain
keputusan investigasi.
menyangkut semua
pengembangan
produk dan
pengambilan
keputusan.

3.7. Model Penelitian


Model penelitian yang menggambarkan hubungan pengaruh antarvariabel
yang digunakan dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

X₁ = Perbaikan Berkelanjutan
Perbaikan Berkelanjutan + Y = Kinerja Terhadap
UMKM

X₂ = Keterlibatan dan +
Pemberdayaan Karyawan
Gambar 3.1.

Model Penelitian

3.8. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

3.8.1 Jenis Data

Terdapat dua jenis data yaitu, data primer dan data arsip (Hartono, 2017). Data
primer merupakan data yang diperoleh langsung oleh peneliti, sedangkan data arsip
merupakan data yang dimiliki oleh pihak lain. Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah primer.

3.8.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei
dengan menggunakan alat berupa kuesioner. Survei adalah metode pengumpulan data
primer degan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada responden individu
(Hartono,2017). Survei ini dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada karyawan
UMKM yang memenuhi batasan-batasan berikut :
1. UMKM yang mempunyai atau memiliki omzet penjualan tahunan dibawah
Rp. 300.000.000,- per tahun.
2. UMKM yang mempunyai karyawan kurang dari 50 orang.
3. UMKM yang mempunyai kekayaan bersih minimal Rp. 50.000.000,- sampai
Rp. 500.000.000,-

Kuesioner ini dibagi menjadi 5 bagian, yaitu bagian pertama identitas


responden, bagian kedua petunjuk pengisian kuesioner, bagian ketiga variabel
perbaikan berkelanjutan, bagian keempat variabel keterlibatan dan pemberdayaan
karyawan, dan bagian kelima variabel kepuasan konsumen. Kuesioner akan
disebarkan pada tanggal 1 Desember 2020 sampai dengan 1 Maret 2021 Tanggal
tersebut dipilih karena di periode tersebut banyak event misalnya hari natal, tahun
baru, dan valentine yang mungkin saja bisa mempengaruhi penjualan dari UMKM
dan mempengaruhi tren karena memasuki tahun baru dengan adanya beberapa
pengaruh tersebut kita bisa melihat apa saja pemberdayaan kinerja yang dilakukan
manajer dari UMKM dan apakah mereka tetap bisa melakukan perbaikan
berkelanjutan sesuai dengan TQM. Penyebaran kuesioner selama 3 bulan ini
memberikan waktu yang cukup panjang dalam pengisian kuesioner bagi para
responden, sehingga responden tidak terburu-buru dalam mengisi kuesioner tersebut
dan kuesioner tersebut dapat lebih berkualitas. Untuk keefisienan waktu dan
kenyamanan responden kami membuat responden bisa mengisi kuesioner dimana pun
dan kapanpun karena selain dengan cara tatap muka dengan sumber data/responden
secara kelompok atau perorangan, kami bisa ditelepon dan melalui Google form yang
bisa diakses dengan smartphone melalui link yang kami bagikan.

3.9 Analisa Data

3.9.1 Uji Pendahuluan

3.9.1.1. Uji Alat


Uji alat dilakukan dengan menilai validitas dan reliabilitas dari data primer
penelitian, yaitu kuesioner :
1. Uji Validitas
Menurut Ghozali (2018), uji validitas digunakan untuk mengukur sah
atau valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika
pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang
akandiukur oleh kuesioner tersebut. Penelitian ini mengukur validitas
dilakukan dengan melakukan korelasi antar skor butir pertanyaan dengan
skor konstruk atau variabel yang membandingkan nilai r-hitung dengan nilai
r-tabel untuk degree of freedom (df) = n-2. Kriteria pengukuran validitas
adalah sebagai berikut :
a. Jika r hitung > r tabel dan bernilai positif maka butir atau pertanyaan
atau indikator tersebut dinyatakan valid.
b. Jika r hitung < r tabel dan bernilai positif maka butir atau pertanyaan
atau indikator tersebut dinyatakan tidak valid.

2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas menunjukkan akurasi dan ketepatan dari pengukurnya
(Hartono, 2016). Alat ukur dikatakan reliabel jika dapat dipercaya, dan agar
dapat dipercaya maka hasil dari pengukuran harus akurat dan konsisten.
Dikatakan konsisten jika beberapa pengukuran terhadap subyek yang sama
diperoleh hasil yang tidak berbeda (Jogianto, 2010). Uji reliabilitas dalam
pengujian ini menggunakan metode Cronbach Alpha. Kriteria pengambilan
keputusan dari uji reliabilitas ini adalah sebagai berikut :
a. Jika nilai Cronbach Alpha ≥ 0,70, maka indikator tersebut dinyatakan
reliabel
b. Jika nilai Cronbach Alpha ≤ 0,70, maka indikator tersebut dinyatakan
tidak reliabel.

3.9.1.2. Uji Normalitas


Menurut Ghozali (2018), uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah

dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi

normal. Penelitian ini menggunakan pengujian statistik dalam mengukur

normalitas data. Jenis pengujian statistik yang digunakan adalah Kolmogorov

Smirnov. Kriteria pengukurannya adalah sebagai berikut:

1. Jika nilai signifikansi < α = 0.05 maka data tidak terdistribusi secara normal

2. Jika nilai signifikansi > α = 0.05 maka data terdistribusi secara normal

3.9.1.3. Uji Asumsi Klasik

1. Uji Multikolinearitas

Menurut Ghozali (2018), uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji

apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas

(independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di

antara variabel independen. Jika variabel independen saling berkorelasi, maka

variabel-variabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel

independen yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama


dengan nol. Pengukuran multikolinearitas dilihat dari nilai tolerance dan

variance inflation factor (VIF). Kriteria pengukuran yang digunakan adalah

sebagai berikut:

a. Jika nilai tolerance ≤ 0,10 atau nilai VIF ≥ 10 maka terdapat

multikolinearitas.

b. Jika nilai tolerance > 0,10 atau nilai VIF < 10 maka tidak terdapat

multikolinearitas.

2. Uji Heteroskedastisitas

Menurut Ghozali (2018), uji heterokesdastisitas bertujuan untuk menguji

apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu

pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu

pengamatan ke pengamatan lain berbeda, maka disebut heteroskedastisitas.

Model regresi yang baik adalah homoskedastisitas atau tidak terjadi

heteroskedastisitas. Terdapat empat cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya

heteroskedastisitas, yaitu dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi

variabel terikat (dependen), uji park, uji glejser, dan uji white. Penelitian ini

menggunakan uji glejser dalam menguji heteroskedastisitas. Uji glejser

mengusulkan untuk meregres nilai absolut terhadap variabel independen.

Kriteria pengujian yang digunakan adalah jika probabilitas signifikansinya

diatas tingkat kepercayaan 5% maka model regresi tidak mengandung adanya

heteroskedastisitas.

3.9.1.4. Statistik Deskriptif

Menurut Ghozali (2018), statistik deskriptif memberikan gambaran atau

deskripsi mengenai variable-variabel penerapan sistem informasi akuntansi,

penggunaan teknologi informasi, pengendalian internal, dan kinerja karyawan.


Penelitian ini menggunakan tabel distribusi frekuensi yang menunjukkan nilai

rata-rata (mean), standar deviasi, kurtosis.

3.9.2. Uji Hipotesis

3.9.2.1. Hipotesis Penelitian dan Notasi Statistika

Bentuk hipotesis statistika dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ha1 = Perbaikan berkelanjutan berpengaruh positif signifikan

terhadap kinerja pada UMKM.

Ho1 = X1 ≤ 0

Ha1 = X1 > 0

2. Ha2 = Keterlibatan dan pembedayaan karyawan berpengaruh positif

signifikan terhadap kinerja pada UMKM.

Ho2 = X2 ≤ 0

Ha2 = X2 > 0

3.9.2.2. Tingkat Kesalahan

Penelitian ini menggunakan tingkat kesalahan sebesar 10% (α = 10%)

berdasarkan uji satu arah. Hal ini disebabkan karena uji satu arah digunakan

apabila Ha lebih besar (>) 0 dan Ho lebih kecil atau sama dengan (≤)0.

Tingkat keyakinan dalam penelitian ini sebesar 90% (1-α = 90%).

Gambar 3.1 Pengujian Satu Sisi


Sumber: Hartono (2017)
3.9.2.3. Model Pengujian

Model pengujian dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linear

berganda. Model persamaan regresi linear berganda dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Y = a + b1X1 + b2X2 + e

Keterangan :

Y = Kinerja pada UMKM

a = Konstanta

b1 = Koefisian regresi variabel perbaikan berkelanjutan

b2 = Koefisian regresi variabel keterlibatan dan pemberdayaan karyawan

X1 = Perbaikan berkelanjutan

X2 = Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan

e = Standard error

3.9.2.4. Kriteria Pengujian

1. Uji Parsial (Uji t)

Menurut Ghozali (2018), uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa

jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam

menerangkan variasi variabel dependen. Cara melakukan uji t adalah dengan

membandingkan nilai statistik t dengan titik kritis menurut tabel.

Penerimaan dan penolakan hipotesis dilakukan dengan kriteria berikut ini:

a. Jika nilai t hitung > nilai t tabel maka Ha diterima yang berarti X 1

berpengaruh terhadap Y.

b. Jika nilai t hitung ≤ nilai t tabel maka Ha ditolak yang berarti X 1 tidak

berpengaruh terhadap Y.

c. Jika signifikansi t ≤ alpha (α) maka Ha diterima.


d. Jika signifikansi t > alpha (α) maka Ha ditolak.

2. Uji Kelayakan Model (Uji F)

Menurut Ghozali (2018), uji statistik F pada dasarnya merupakan uji

hipotesis dengan mengandalkan koefisien regresi sama dengan nol. Dalam

penelitian ini, uji F digunakan untuk menguji Goodness of Fit dari model

regresi karena ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual

dapat diukur dari Goodness of Fit. Kriteria pengujian dalam uji F adalah

sebagai berikut :

a. Membandingkan antara nilai F hitung dengan nilai F tabel :

1) Jika F hitung > F tabel, maka Ha diterima

2) Jika F hitung ≤ F tabel, maka Ha ditolak

b. Membandingkan niai probabilitas dengan nilai alpha (α)

1) Jika signifikansi F ≤ α, maka HA diterima

2) Jika signifikansi F > α, maka HA ditolak

3. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Menurut Gozhali (2018), koefisien determinasi (adjusted R2) pada intinya

mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi

variabel dependen. Nilai koefisien determinasi yang mendekati satu berarti

variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang

dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen.

3.9.3. Rencana Pembahasan

Setelah melakukan uji hipotesis, akan ditarik kesimpulan dan dibandingkan

tingkat

konsistensi hasil penelitian ini dengan hasil penelitian sebelumnya mengenai

pengaruh perbaikan berkelanjutan dan keterlibatan & pemberdayaan karyawan


terhadap kinerja pada umkm pada objek yang berbeda yaitu Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah (UMKM) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Burtonshaw-Gunn, S. A. (2011). Alat dan Teknik Analisis Manajemen.

Creech, Saputra, B., Sindoro, L., & Alexander. (1995). Lima Pilar : Manajemen Mutu
Terpadu TQM. Jakarta: Binarupa Aksara.

Handoyo, T. (1998). Dasar-dasar Manajemen Produk dan Operasi. Yogyakarta:


BPFE.

Helmi, S. (2009, March 7). Pemberdayaan Karyawan.

Hill, N. (1996). Hand Book of Customer Satisfaction Measurement . Cambridge:


Gower.

Isrona, & Setyowati, W. (2009). Pengaruh Pemberdayaan Pegawai dan Karakteristik


Pekerjaan Terhadap Kinerja Pegawai dengan Mediasi Iklim Organisasi Pada
Sekretariat Daerah Kabupaten Pekalongan. 19-31.

Kikosky, J. F. (1998). Effective Communication in The Performance Appraisal


Interview : Face-to-face Communication for Public Managers in The
Culturally Diverse Workplace. Journal of Public Personnel Management,
491-513.
Lean. (2016, March 7). Apa itu Continous Improvement .

Riadi, M. (2017). Pengertian, Karakteristik, Metode dan Manfaat Total Quality


Manajemen (TQM).

Sari, D. E., Surachman, & Ratnawati, K. (2018). Pengaruh Total Quality Management
(TQM) Terhadap Kinerja Karyawan Dengan Mediasi Kepuasan Kerja. 11-25.

Tjiptono, F., & Diana, A. (2003). Total Quality Management. Yogyakarta: Andi
Offset.

Wibowo. (2011). Manajemen Kinerja . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai