Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman pada era globalisasi
sekarang ini, persaingan usaha menjadi semakin ketat. Setiap bidang
usaha yang berfokus pada pencapaian keuntungan maksimal dituntut
untuk bersaing dalam era yang kompetitif ini. Kenyataan tersebut
didukung oleh adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada berbagai
bidang kehidupan politik, sosial budaya, ekonomi, teknologi, hankam, dan
hukum. Perubahan tersebut berpengaruh juga pada lingkungan bisnis
jasa, perdagangan, dan manufaktur yang membawa dampak terhadap
kualitas. Kelangsungan perusahaan bergantung pada kemampuan untuk
merespon perubahan secara efektif.
Terdapat kekuatan eksternal dan internal dalam mendorong
diperlukannya perubahan, sehingga berpengaruh bagi kegiatan bisnis
organisasi. Bebeda dengan pendekatan tradisional yang berfokus pada
pencapaian tujuan perusahan dalam mencapai laba, dan memaksimalkan
kemakmuran para pemilik, sedangkan Total Quality Management (TQM)
berfokus pada tujuan perusahan dalam melayani kebutuhan pelanggan
dengan memasok atau menyediakan barang dan jasa yang memiliki
kualitas setinggi mungkin. Dimana TQM berfokus pada tujuan perusahaan
dalam jangka panjang. Pada bab selanjutnya akan dijelaskan mengenai
perlunya TQM, strategi dalam mengembangkan TQM, aplikasi TQM dalam
bidang pemasaran, Sumber Daya Manusia, dan akuntansi serta
mengetahui strategi lima C dalam mengubah organisasi.

B. Identifikasi Permasalahan

1. Mengapa Total Quality Management diperlukan?


2. Bagaimana strategi dalam mengembangkan TQM?
3. Bagaimana aplikasi TQM dalam bidang Manajemen Pemasaran,
Sumber Daya Manusia, dan Akuntansi?
4. Apakah yang dimaksud Five Cs Changing Government?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan perlunya Total Quality Management.
2. Untuk menjelaskan strategi dalam mengembangkan TQM.
3. Untuk

menjelaskan

aplikasi

TQM

dalam

bidang

Manajemen

Pemasaran, Sumber Daya Manusia, dan Akuntansi.


4. Untuk menjelaskan arti dari Five Cs Changing Government.

BAB II

ANALISIS DAN BAHASAN MASALAH

A. Total Quality Management


1. Pengertian Total Quality management
Total

Quality

Mangement

sebagaimana

diungkapkan

oleh

Ishikawa, diartikan sebagai perpaduan semua fungsi dari perusahaan ke


dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep kualitas,
teamwork, produktivitas, dan pengertian serta kepuasan pelanggan.
Definisi lainnya diungkapkan oleh Santosa dalam Tjiptono (2003:4),
bahwa TQM merupakan sistem manajemen yang mengangkat kualitas
sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan
dengan melibatkan seluruh anggota organisasi. Tolak ukur keberhasilan
usaha bertumpu pada kepuasan pelanggan atas barang atau jasa yang
diterimanya.
Untuk memudahkan pemahaman, maka pengertian TQM dapat
dikemukakan sebagai berikut:
"Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam
menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing
organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, manusia,
proses, dan lingkungannya. (Tjiptono, 2003:4)
2. Sejarah Singkat tentang Total Quality Management
Evolusi gerakan Total Quality Management (TQM) dimulai dari
masa studi waktu dan gerak oleh bapak manajemen ilmiah Frederick
Taylor pada tahun 1920, dengan mengangkat aspek yang paling
fundamental dari manajemen ilmiah, yaitu adanya pemisahan antara
perencanaan dan pelaksanaan. TQM semula berasal dari Amerika Serikat,
kemudian

lebih

banyak

dikembangkan

di

jepang

dan

kemudian

berkembang ke Amerika Utara dan Eropa. Jadi TQM mengintegrasikan


keterampilan teknikal dan analisis dari Amerika, keahlian implementasi
dan pengorganisasian Jepang, serta tradisi keahlian dan integritas dari
Eropa dan Asia (Tjiptono, 2003:5).

Landasan TQM adalah Statistical Process Control (SPC) yang


merupakan

model

manajemen

manufaktur,

yang

pertama-tama

diperkenalkan oleh Edward Deming dan Joseph Juran sesudah PD II


guna membantu bangsa Jepang membangun kembali infrastruktur
negaranya. Ajaran Deming dan Juran itu berkembang terus hingga
kemudian dinamakan TQM oleh US Navy pada tahun 1985. Oleh karena
itu,

mengikuti

ajaran

Deming,

Juran

dan

Philip

Crosby

dalam

mengimplementasikan TQM memang perlu, tetapi belumlah cukup. Sebab


TQM terus mengalami evolusi, maka untuk menghayati state-of-the-art
TQM perlu diketahui juga kontribusi bidang manajemen dan organizational
effectiveness dalam membangun TQM sebagai dimensi yang lain.
Kontribusi bidang tersebut merupakan satu dimensi tersendiri yang dapat
disebut sebagai akar TQM, antara lain terdiri dari group dynamics,
organization development (OD), sosiotechnical system dan lain-lain. TQM
yang dikenal sekarang ini banyak berbeda tekniknya dengan apa yang
dikembangkan di Jepang pada tahun 1950-an dan yang pertama-tama
dikembangkan di Amerika pada tahun 1980-an. Penerapan TQM di
berbagai bidang membutuhkan kerangka sendiri dalam manajemen
kualitas (Solehudin, 2010:online). Evolusi TQM terjadi pada beberapa
bidang, menjadi semakin matang, dan mengalami diversifikasi untuk
aplikasi di bidang manufaktur, industri jasa, kesehatan, dan dewasa ini
juga di bidang pendidikan.
3. Latar Belakang Perlunya TQM
Dasar pemikiran perlunya TQM sangatlah sederhana, yakni
bahwa cara terbaik agar dapat bersaing dan unggul dalam persaingan
global adalah dengan menghasilkan kualitas yang terbaik. Untuk
menghasilkan

kualitas

terbaik

diperlukan

upaya

perbaikan

berkesinambungan terhadap kemampuan manusia, proses, lingkungan.


Cara terbaik agar dapat memperbaiki kemampuan komponen-komponen
tersebut secara berkesinambungan adalah dengan menerapkan TQM.
Penerapan TQM dalam suatu perusahaan dapat memberikan beberapa
manfaat utama yang pada gilirannya meningkatkan laba serta daya saing
perusahaan yang bersangkutan. Dengan melakukan perbaikan kualitas

secara terus menerus maka perusahaan dapat meningkatkan labanya


(Tjiptono, 2003:10).
4. Prinsip dan Unsur Pokok TQM
TQM merupakan suatu konsep yang berupaya melaksanakan
sistem manajemen kualitas dunia. Untuk itu diperlukan perubahan besar
dalam budaya dan sistem nilai suatu organisasi. Menurut Hensler dan
Brunell dalam Tjiptono (2003:14), terdapat empat prinsip utama dalam
TQM yaitu sebagai berikut.
a. Kepuasan Pelanggan
Dalam TQM, konsep mengenai kualitas dan pelanggan diperluas.
Kualitas tidak hanya bermakna kesesuaian dengan

spesifikasi-

spesifikasi tertentu, tetapi ditentukan oleh pelanggan. Pelanggan itu


sendiri

meliputi

pelanggan

internal

dan

pelanggan

eksternal.

Kebutuhan pelanggan diusahakan untuk dipuaskan dalam segala


aspek, termasuk didalamnya harga, keamanan, dan ketepatan waktu.
Oleh karena itu, segala aktivitas perusahaan harus dikoordinasikan
untuk memuaskan para pelanggan. Kualitas yang dihasilkan suatu
perusahaan sama dengan nilai yang diberikan dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup para pelanggan. Makin tinggi nilai yang
diberikan, maka makin besar pula kepuasan pelanggan.
b. Menghormati Setiap Orang (Respect)
Dalam perusahaan yang kualitasnya tergolong kelas dunia, setiap
karyawan dipandang sebagai individu yang memiliki talenta dan
kreativitas yang khas. Dengan demikian, karyawan merupakan
sumber daya organisasi yang paling bernilai. Oleh karena itu, setiap
orang

dalam

organisasi

diperlukan

dengan

baik

dan

diberi

kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam tim pengambil


keputusan.
c. Manajemen berdasarkan fakta
Perusahaan kelas dunia berorientasi pada fakta. Meksudnya bahwa
setiap keputusan selalu didasarkan pada data, bukan sekedar
perasaan (feeling). Ada dua konsep pokok yang berkaitan dengan hal
ini. Pertama, prioritas (prioritization), yakni suatu konsep bahwa
perbaikan tidak dapat dilakukan pada semua aspek pada saat yang
bersamaan mengingat katerbatasan sumber daya yang ada. Oleh

karena itu, dengan menggunakan data, maka manajemen dan tim


dalam organisasi dapat memfokuskan usahanya pada situasi tertentu
yang vital. Kedua, variasi atau variabilitas kinerja manusia. Data
statistik dapat memberikan gambaran mengenai variabilitas yang
wajar dari setiap sistem organisasi. Dengan demikian, manajemen
dapat memprediksi hasil dari setiap keputusan dan tindakan yang
dilakukan.
d. Perbaikan berkesinambungan
Agar dapat sukses, setiap perubahan perlu melakukan proses
sistematis dalam melaksanakan perbaikan secara berkesinambungan.
Konsep yang berlaku di sini adalah siklus PDCAA (plan-do-check-actanalyze) yang terdiri atas langkah-langkah perencanaan, dan
melakukan tindakan korektif terhadap hasil yang diperoleh
Goetsch dan Davis dalam Tjiptono (2003:15) mengungkapkan
sepuluh unsur utama (karakteristik) Total Quality Management, sebagai
berikut:
a. Fokus Pada Pelanggan
Dalam TQM, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal
merupakan driver. Pelanggan eksternal menentukan kualitas produk atau
jasa yang disampaikan kepada mereka, sedangkan pelanggan internal
berperan besar dalam menentukan kualitas manusia, proses, dan
lingkungan yang berhubungan dengan produk atau jasa.
b. Obsesi Terhadap Kualitas
Dalam organisasi yang menerapkan TQM, penentu akhir kualitas
pelanggan internal dan eksternal. Dengan kualitas yang ditetapkan
tersebut, organisasi harus terobsesi untuk memenuhi atau melebihi apa
yang ditentukan tersebut.
c. Pendekatan Ilmiah
Pendekatan ilmiah sangat diperlukan dalam penerapan TQM,
terutama untuk mendesain pekerjaan dan dalam proses pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan
yang

didesain

tersebut.

Dengan

demikian

data

diperlukan

dan

dipergunakan dalam menyusun patok duga (benchmark), memantau


prestasi, dan melaksanakan perbaikan.
d. Komitmen jangka Panjang

TQM merupakan paradigma baru dalam melaksanakan bisnis.


Untuk itu dibutuhkan budaya perusahaan yang baru pula. Oleh karena itu
komitmen jangka panjang sangat penting guna mengadakan perubahan
budaya agar penerapan TQM dapat berjalan dengan sukses.
e. Kerja sama Team (Teamwork)
Dalam organisasi yang menerapkan TQM, kerja sama tim,
kemitraan dan hubungan dijalin dan dibina baik antar karyawan
perusahaan maupun dengan pemasok lembaga-lembaga pemerintah, dan
masyarakat sekitarnya.
f. Perbaikan Sistem Secara Berkesinambungan
Setiap poduk atau jasa dihasilkan dengan memanfaatkan prosesproses tertentu di dalam suatu sistem atau lingkungan. Oleh karena itu,
sistem yang sudah ada perlu diperbaiki secara terus menerus agar
kualitas yang dihasilkannya dapat meningkat.
g. Pendidikan dan Pelatihan
Dalam organisasi yang menerapkan TQM, pendidikan dan
pelatihan merupakan faktor yang fundamental. Setiap orang diharapkan
dan didorong untuk terus belajar, yang tidak ada akhirnya dan tidak
mengenal batas usia. Dengan belajar, setiap orang dalam perusahaan
dapat meningkatkan keterampilan teknis dan keahlian profesionalnya.
h. Kebebasan Yang Terkendali
Dalam TQM, keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam
pengambilan keputusan dan pemecahan masalah merupakan unsur yang
sangat penting. Hal ini dikarenakan unsur tersebut dapat meningkatkan
"rasa memiliki" dan tanggung jawab karyawan terhadap keputusan yang
dibuat. Selain itu unsur ini juga dapat memperkaya wawasan dan
pandangan dalam suatu keputusan yang diambil, karena pihak yang
terlibat lebih banyak. Meskipun demikian, kebebasan yang timbul karena
keterlibatan tersebut merupakan hasil dari pengendalian yang terencana
dan terlaksana dengan baik.
i. Kesatuan Tujuan
Agar TQM dapat diterapkan dengan baik, maka perusahaan harus
memiliki kesatuan tujuan. Dengan demikian setiap usaha dapat diarahkan
pada tujuan yang sama. Namun hal ini tidak berarti bahwa harus selalu
ada persetujuan atau kesepakatan antara pihak manajemen dan
karyawan mengenai upah dan kondisi kerja.

j. Adanya Keterlibatan dan Pemberdayaan Karyawan


Keterlibatan dan pemberdayaan karyawan merupakan hal yang
penting

dalam

penerapan

TQM.

Pemberdayaan

bukan

sekedar

melibatkan karyawan tetapi juga melibatkan mereka dengan memberikan


pengaruh yang sungguh berarti.
B. Strategi Pengembangan Manajemen Kualitas
Berikut

ini

adalah

strategi

yang

digunakan

dalam

mengembangkan kualitas.
1. Pilar dalam Membangun Manajemen Kualitas Organisasi
Untuk mengembangkan manajemen kualitas suatu organisasi, kita
perlu mengetahui elemen-elemen yang ada dalam manajemen kualitas
sehingga

dapat

dijadikan

sebagai

pilar-pilar

dalam

membangun

manajemen kualitas organisasi (Vincent, 2003:225).


a. Visi Organisasi
Visi organisasi memberikan kerangka kerja yang menuntun suatu
nilai dan kepercayaan perusahaan. Visi perusahaan seharusnya bersifat
sederhana, terdiri dari datu kalimat penuntun atau motto yang diketahui
oleh setiap karyawan.
b. Menghilangkan Hambatan yang Ada
Beberapa

strategi

yang

direkomendasikan

dalam

prosesmenghilangkan hambatan adalah:

Menghilangkan ketakutan (drive out fear)

Mendukung dan menghargai pemikiran kreatif, meskipun ideide itu tidak diimplementasikan

Memerbaiki dan memperbaruhi sistem pengukuran performasi

Mempertimbangkan biaya sepanjang siklus hidup produk (cost


over the life cycle), tidak hanya biaya awal (initial cost)

Menetapkan

kepemilikan

tugas-tugas

dan

proyek-proyek

(ownership of tasks and projects)


Berikut ini langkah-langkah untuk menghilangkan hambatan:

Identifikasi hambatan yang ada.

Mengkategorikan hambatan yang ada.

Menetapkan prioritas untuk diselesaikan.

Menyelesaikan masalah dengan menemukan akar penyebab


permasalahan itu.

c. Komunikasi
Komunikasi adalah perekat yang mengikat semua teknik, praktek,
filosofi, dan alat-alat untuk kesuksesan pengembangan manajemen
kualitas. Komunikasi dapat tertulis atau lisan. Semua komunikasi
melibatkan empat elemen utama yaitu: pengirim (sender), penerima
(receiver), pesan (message), dan media (medium) yang perlu
diperhatikan agar komunikasi dapat menjadi efektif dan efisien.
d. Evaluasi Terus-menerus
Evaluasi terus menerus yang didasarkan pada umpan balik
(feedback) meruakan elemen penting untuk perbaikan terus-menerus
dalam rangka mengembangkan manajemen kualitas. Mekanisme uman
balik dapat bersifat sederhana secara lisan atau laporan tertulis,
menggunakan sistem informasi kualitas atau analisis yang kompleks
terintegrasi dengan sistem manajemen kualitas. Faktor kunci yang perlu
diperhatikan dalam memberikan umpan balik adalah informasi harus
diterima tepat waktu oleh orang-orang yang tepat agar kemungkinan
melakukan tindakan korektif atas penyimpangan yang terjadi.
e. Perbaikan Terus-menerus
Perbaikan terus-menerus dapat dilakukan dengan menggunakan
model USE PDSA, yaitu:
U Understand quality improvement needs (memahami
kebutuhan perbaikan kualitas
S State the quality problem (s) (menyatakan masalah kualitas
yang ada)
E Evaluate the root cause (s) ( Mengevaluasi akar penyebab
masalah kualitas)
P Plan the solution (s) (merencanakan penyelesaian masalah

kualitas)
D Do or implement the solution (s) ( melaksanakan atau
menerapkan rencana solusi terhadap masalah kualitas.
S Study the solution (s) results (mempelajari hasil-hasil solusi
terhadap masalah kualitas)
A Act to standardize the solution (s) (bertindak untuk
menstandarisasikan solusi terhadap masalah kualitas)
Beberapa strategi untuk menerapkan perbaikan terus menerus
adalah:

Mulai dengan satu proyek contoh

Analisis variasi dari semua proses

Memperhatikan proses, tidak hanya hasil

Membuat proses menjadi lebih sederhana, dan lebih sederhana


lagi

Mengusahakan untuk secara konstan melakukan investasi


dalam teknologi baru

Menganggap

masalah

dan

kegagalan

sebagai

suatu

kesempatan untuk perbaikan

Melakukan reorganisasi termasuk realokasi sumber daya agar


dapat memudahkan upaya perbaikan terus-menerus.

f. Hubungan Pemasok-Pelanggan
Beberapa strategi untuk meningkatkan hubungan antara pemasok
dan pelanggan adalah:

Menghubungkan visi organisasi ke kepuasan pelanggan

Memberikan penghargaan kepada pemasok

Membina hubungan dengan sedikit pemasok

Meminimumkan jumlah pemasok secara keseluruhan

Identifikasi pelanggan internal dan eksternal

Identifikasi pengguna akhir dan distributor

Menetapkan dialog rutin dengan pelanggan

Melibatkan pelanggan dalam perencanaan dan pengembangan

g. Pemberdayaan Karyawan
Memberdayakan karyawan berarti memungkinkan karyawan untuk
mencapa kemampuan prestasi tinggi. Proses pemberdayaan karyawan
dilakukan melalui memberikan kewenangan kepada karyawan untuk
membuat lebih banyak keputusan yang berkaitan dengan tugas dan
tanggung jawabnya. Pemberdayaan karyawan dapat dilakukan melalui:

Merekrut

orang-orang

terbaik

yang

berkualifikasi

dan

mempedulikan apa yang mereka kerjakan

Memperlakukan karyawan hanya dengan cara bagaimana


Anda ingin diperlakukan berkaitan dengan aspek-aspek
kejujuran, kepedulian, rasa hormat, kesamaan, kerja sama,
pengakuan, dan kepercayaan

Mengakui

bahwa

karyawan

yang

sedang

melakukan

pekerjaan mengetahui lebih baik daripada orang lain.


Karyawan merasa diberdayakan (empowered employees)
apabila mereka merasa:
a) Pekerjaan mereka merupakan milik mereka
b) Mereka bertanggung jawab
c) Mereka mengetahu dimana mereka berada
d) Mereka memiliki beberapa kendali atas pekerjaan mereka
h. Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan pelatihan merupakan elemen paling penting untuk
pengembangan manajemen kualitas. Seluruh anggota organisasi mulai
dari manajemen puncak ampai karyawan terendah harus memperoleh
pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuannya. Pada
dasarnya pendidikan bertujuan mendidik seluruh anggota organisasi
tentang mengapa sesuatu aktivitas dilakukan (alasan-alasan melakukan
suatu aktivitas), sedangkan pelatihan bertujuan melatih seluruh anggota
organisasi tentang bagaimana melakukan aktivitas itu. Agar pendidikan
dan pelatihan dapat menjadi lebih efektif dalam pengembangan
manajemen kualitas, perlu dilakukan apa yang disebut dengan rencana
belajar strategis (strategis learning plan).

Dengan demikian strategic learning plan memberikan outine


tentang kebutuhan pendidikan dan pelatihan, program-program, prioritasprioritas, dan rencana pendanaan, guna mendukung implementasi
program perbaikan kualitas dan aktivitas-aktivitas pebaikan terus-menerus
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kepuasan
total pelanggan.
2. Prinsip dan Konsep Manajemen Kualitas
Terdapat sejumlah prinsip dan konsep dalam pengembangan
manajemen kualitas (Vincent, 2003:232), antara lain:
a. Orientasi proses, bukan semata-mata orientasi hasil
b. Cascade implementation dan melibatkan setiap orang konsep air
terjun, implementasi dari manajemen puncak)
c. Komunikasi vertikal dan horizontal yang efektif
d. Perbaikan secara terus-menurus dari semua proses dan produk,
internal dan eksternal
e. Konsistensi sasaran
f. Prinsip Pelanggan adalah raja
g. Pengembangan SDM (HRD)
h. Manajemen kualitas berawal dan berakhir dengan pendidikan dan
pelatihan
i. Sistem balas jasa (reward) secara adil
j. Kerja sama (teamwork)
k. Penetapan sasaran melalui partisipasi idea-idea (perencanaan
partisipatif)
Pada sisi lain terdapat suatu model CUSTOMER yang merupakan
prinsip-prinsip dasar pengembangan manajemen kualitas berorientasi
pelanggan, yaitu:
C Customer-defind quality (kualitas berorientasi pada
pelanggan)
U User partnership improvement (kemitraan pemasokpelanggan)
S Stress Continous Improvement (Menekankan perbaikan

terus-menerus)
T Top Manajemen Commitment (komitmen manajemen
puncak)
O Objectives aligned with business (tujuan-tujuan disesuaikan
dengan bisnis)
M Measurement (pengukuran)
E Employee involvement (keterlibatan karyawan)
R Reward and recognition (balas jasa dan pengakuan)
Dengan

demikian,

agar

manajemen

kualitas

dapat

diimplementasikan secara berhasil, program perbaikan kualitas itu harus


memenuhi beberapa kondisi persyaratan seperti:
a. Mendapatkan dedikasi, komitmen, dan partisiasi dari piminan puncak.
b. Membangun dan melanjutkan kultur tentang budaya perbaikan terusmenerus yang telah menjadi komitmen.
c. Fokus pada pemuasan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.
d. Melibatkan setiap individu dalam perbaikan proses kerja.
e. Menciptakan kerjasama dan hubungan kerja yang kontruktif.
f. Mengakui orang sebagai sumber daya yang paling penting.
g. Menggunakan praktek manajemen terbaik yang ada termasuk alatalat dan teknik-tekniknya.
3. Struktur Organisasi Manajemen Kualitas
Vincent (2003:233) menggambarkan struktur organisasi dari
industri maju yang telah menerapkan manajemen kualitas ditunjukkan
pada gambar 1.

Gambar 2.1 Struktur organisasi yang menerapkan manajemen kualitas

Dari gambar 1 tampak bahwa Manajer Pengendalian Kualitas


berada langsung dibawah Manajer Umum (General Manager). Manajer
Pengendalian Kualitas bertanggung jawab kepada Manajer Umum
berkaitan dengan pelaksanaan pengembangan kualitas perusahaan.
Meskipun Manajer Pengendalian Kualitas tidak memiliki wewenang
langsung terhadap Departemen Pemasaran, Manufakturing, Pembelian
dan Desain & Rekayasa, tetap ia terlibat langsung dalam bentuk
koordinasi, konsultasi, investigasi, audit, dan analisis tentang masalahmasalah yang berkaitan dengan pengembangan kualitas di setiap
departemen itu. Dengan demikian setiap anggota organisasi terlibat dalam
pengembangan kualitas di tempat kerjanya.
Munshi dan Calleja dalam Vincent (2003:234) melakukan
modifikasi atas segitiga kualitas yang dikembangkan oleh JUSE (The
Union of Japanese Scientist and Engineers), yang menunjukkan peranan
dari setiap anggota organisasi dalam mengembangkan manajemen
kualitas, ditunjukkan dalam gambar 2.

Gambar 2.2 Struktur Organisasi Manajemen Kualitas

Dari gambar 2 tampak bahwa tugas manajemen puncak adalah


merumuskan kebijaksanaan kemudian disebarluaskan sampai ke pekerja,
setiap orang dalam organisasi harus terlibat dalam pengembangan kulitas
dengan memperhatikan manajemen proses.
Penerapan Manajemen Kualitas Pada Organisasi Jasa Perbankan
Berikut adalah penerapan manajemen kualitas pelayanan total
pada organisasi jasa perbankan dapat mengambil contoh CITIBANK
ASIA/PASIFIC.

Vincent

(2003:252)

menyebutkan

program-program

perbaikan kualitas pelayanan nasabah pada CITIBANK terdiri dari:


1) Perbaikan terus-menerus,
2) Perbaikan proses,
3) Rekayasa

ulang

proses

bisnis

(Business

Process

Reengineering = BPR).
CITIBANK

ASIA/PASIFIC

menggunakan

pendekatan

holistikseperti ditunjukkan dalam Gambar 3. Program global rekayasa


ulang proses bisnis CITIBANK ini disebut sebagai CCDR (CITIBANK
Customer Driven Reengineering), yang menunjukkan bahwa proses bisnis
CITIBANK berorientasi pada pelanggan, karena perusahaan ingin
meningkatkan kepuasan total nasabah melalui penerapan perbaikan
kualitas pelayanan total terus-menerus. Terdapat tiga kekuatan yang
mengendalikan proses bisnis CITIBANK yaitu: pelanggan, kompetisi, dan
perubahan, yang dikenal dengan nama 3C: Customers, Competition,
Change.

Gambar 2.3 Rekayasa Ulang Proses Bisnis Citibank Asia/Pasific

Langkah-langkah penerapan CCDR pada CITIBANK secara garis


besar terdiri dari:
1) Menilai kemampuan potensial yang ada
2) Desain ulang proses bisnis (business process redesign)
3) Implementasi
Implementasi perbaikan kualitas merupakan hal paling pokok
dalam rangka penerapan CCDR pada CITIBANK, sehingga dikenal
dengan istilah bahwa: change is constant, yang bermakna bahwa
perbaikan kualitas pelayanan total terus-menerus pada CITIBANK
merupakan hal yang tetap dilakukan.
Sebagai misal pada CITIBANK Indonesia yang merupakan bagian
dari CITIBANK ASIA/PASIFIC, dapat ditunjukkan proses transaksi
sebelum perbaikan dan sesudah perbaikan seperti ditunjukkan dalam
Gambar 4.

Gambar 2.4 Proses Transaksi Keuangan Sebelum dan Sesudah Perbaikan Kualitas
pada CITIBANK Indonesia

Dari gambar 4. Tampak bahwa proses transaksi keuangan pada


CITIBANK setelah perbaikan proses jauh lebih cepat, karena prosedur
yang dilalui menjadi lebih sedikit. Proses perbaikan kualitas pelayanan
total pada CITIBANK berfokus ada kepuasan pelanggan, sehingga
CITIBANK tetap mempertahankan interaksi yang erat dengan setiap
nasabah. Produk-produk invatif seperti CITIKILAT, dan lainnya, diperoleh
berdasarkan

umpan-balik

yang

diterima

dari

pelanggan

yang

menginginkan kecepatan dalam pelayanan. Untuk menjaring masukan


atau saran dari pelanggan, CITIBANK menggunakan formulir. Umpan
balik yang diterima dari pelanggan akan digunakan sebagai dasar
melakukan perbaikan kualitas pelayanan.
C. Aplikasi

Konsep

Total

Quality

dalam

Bidang

Manajemen

Pemasaran, Sumber Daya Manusia, dan Akuntansi


1. Aplikasi Konsep Total Quality dalam Bidang Manajemen
Pemasaran
Manajemen pemasaran terdapat dalam berbagai sektor usaha,
seperti perusahaan jasa, dagang, manufaktur yang berperan penting
dalam menyerahkan produk berkualitas tinggi kepada pelanggan. Salah
satu caranya adalah berpikir bahwa seorang pemasar merupakan agen

pemuas pelanggan. Menurut Kotler dalam Gaspersz (2003:336), tanggung


jawab manajemen pemasaran pada perusahaan berfokus kualitas adalah
berpartisipasi dalam memberikan strategi untuk membantu perusahaan
bersaing pada era global melalui keunggulan kualitas total dan melalui
aktivitas pemasaran, seperti riset pemasaran, pelatihan tenaga penjual,
periklanan, pelayanan pelanggan, dan lain sebagainya dilakukan dengan
berfokus pada kualitas yang ditetapkan pada standar-standar tinggi.
Filosofi dalam total quality marketing adalah jangan mengecewakan
pelanggan.
Menurut Stowell dalam Gaspersz (2003:336), perusahaan yang
menerapkan total quality marketing menerapkan praktek di bawah ini:
1) Komitmen Eksekutif, dilakukan pada semua tingkatan manajemen,
baik manajemen tingkat bawah, menengah, maupun atas dalam
berkomitmen jangka panjang untuk berpartisipasi dalam tim dan
menerapkan praktek-praktek keterampilan kepemimpinan kualitas
yang kuat.
2) Mendengarkan Pelanggan, merupakan hal penting yang harus
dilakukan guna mencari tahu kebutuhan dan umpan balik pelanggan,
dengan cara melakukan survei, wawancara.
3) Pendekatan Kerja sama Tim, agar total quality marketing berjalan
dengan baik, maka perlu adanya dukungan dari setiap orang pada
bagian pemasaran dalam partisipasi internal, penyelesaian masalah
lintas fungsi, dan partisipasi aktid dalam peningkatan proses.
4) Berfokus pada Proses, diantaranya terdiri dari aktivitas identifikasi
kebutuhan,

mengembangkan

solusi,

memasukkan

pesanan

pelanggan, dan memperoleh bahan baku. Aktivitas-aktivitas tersebut


diharapkan meningkatkan kualitas yaitu minimalisir kesalahan, waktu
siklus

lebih

pendek,

peningkatan

kepuasan

pelanggan,

dan

peningkatan penjualan.
5) Organisasi terbuka, dapat meningkatkan pangsa pasar dengan
praktek manajemen berdasarkan fakta dan berorientasi pada pasar
dan pelanggan.

2. Aplikasi Konsep Total Quality dalam Bidang Manajemen Sumber


Daya Manusia
Sumber Daya Manusia merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi. Sumber Daya
Manusia diarahkan dalam mencapai tujuan organisasi. Schonberger
dalam Gaspersz (2003:344) menyebutkan bahwa agar Total Quality
Manajemen berhasil, maka perlu dilakukan perubahan pada Sumber Daya
Manusianya. Perubahan ini dilakukan dengan seleksi karyawan, pelatihan
dan pengembangan, penilaian kinerja, serta penetapan balas jasa dan
penghargaan

kepada

karyawan.

Pelatihan

dan

pengembangan

diutamakan pada hal yang mengarah pada peningkatan keterampilan,


pelatihan lintas fungsi untuk mengembangkan kerja sama dan fleksibilitas
karyawan, serta pelatihan yang berkaitan dengan solusi masalah-masalah
kualitas.
Pada TQM sumber daya manusia, pencapaian peningkatan
kualitas dilakukan dengan metode pelibatan karyawan (Employee
Involvement Method). Metode ini berfokus pada peningkatan kualitas dan
produktivitas organisasi. Konsep EI mengarahkan karyawan untuk
berkerja

dengan

tanggung

jawab

tanpa

diperintah

secara

langsung.Terdapat kegagalan dalam penerapan EI yang tidak tepat,


diantaranya 1) EI dilakukan tanpa tujuan yang jelas, 2) gagal dalam
memberikan pelatihan yang tepat, 3) Gagal dalam mendefinisikkan
sasaran dan ekspektasi, 4) gagal dalam mendelegasikan wewenang
dengan tanggung jawab, 5) gagal dalam membagi data dan informasi, 6)
gagal dalam koordinasi, 7) gagal dalam mendengarkan karyawan, 8)
kegagalan dalam menerapkan peningkatan, dalam hal ini karyawan tidak
mampu melaksanakan peningkatan yang berkaitan dengan perbaikan
sistem, prosedur, dan kebijaksanaan, 9) kegagalan dalam mengakui
kegagalan,

terjadi

apabila

kegagalan

tidak

dipandang

sebagai

pengalaman berharga sehingga tidak dijadikan pelajaran. Padahal


kegagalan harus menjadi pengalaman yang berharga agar kegagalan
tidak terjadi di masa yang akan datang.

Peningkatan kualitas perusahaan harus dimulai dari komitmen


yang tinggi dari manajemen dengan disertai dengan peningkatan kinerja
karyawan sehingga manajemen yang ingin meningkatkan kualitas
perusahaan harus memberikan perhatian pada masalah kinerja individu.
3. Aplikasi Konsep Total Quality dalam Bidang Akuntansi
Total quality accounting merupakan pendekatan baru dalam
akuntansi

biaya

yang

menggunakan

metode-metode

menghasilkan informasi biaya-biaya kualitas

TQM

untuk

(quality cost) yang

dibutuhkan oleh manajer. Biaya dalam sistem industri modern memainkan


peranan yang penting dalam persaingan antar-industri di pasar global.
Program reduksi biaya terus menerus merupakan suatu program yang
disusun secara sistematis dalam meningkatkan kualitas dan produktivitas
industri melalui reduksi atau eliminasi pemborosan secara terus-menerus
terhadap semua aktivitas yang terlibat dalam sistem industri, dan
merupakan bagian integral dari total quality accounting. Upaya inovatif
dari manajemen untuk mengurangi atau menghilangkan pemborosan,
diantaranya terhadap komponen biaya tenaga kerja, biaya material, biaya
energi, dan biaya pengeluaran lainnya. Agar reduksi biaya ini dilakukan
secara efektif dan efisien maka perlu dilakukan audit terhadap strategi
reduksi biaya yang ada dalam perusahaan (Gaspersz, 2003:348).
D. Five Cs for Reinventing Government
Prinsip-prinsip reinventing government sebagaimana dikemukakan
oleh Osborne dan Gaebler pada hakekatnya masih merupakan suatu
deskripsi yang belum begitu konkrit, yang dirumuskan dari hasil-hasil
pengamatan terhadap kinerja berbagai organisasi pemerintahan. Oleh
karena itu, reinventing government ini belum memberikan strategi-strategi
yang lebih praktis dan aplikatif. Sebagai kelanjutan dari gagasan
reinventing government sekaligus untuk memberikan langkah-langkah
atau strategi untuk mengimplementasikannya, maka terbitlah buku
berjudul Banishing Bureaucracy ini.

Strategi-strategi

yang

dirumuskan

dalam

buku

tersebut

sesungguhnya memiliki latar belakang dari adanya kegagalan-kegagalan


dari

berbagai

program

reformasi

atau

revitalisasi

administrasi

pemerintahan di berbagai negara. Kegagalan program reformasi yang


jauh dari harapan ini kemudian sering disebut sebagai mitos. Dalam kaitan
ini, terdapat lima mitos yang berhubungan dengan program reformasi
sektor publik, yakni mitos liberal, mitos konservatif, mitos bisnis, mitos
pekerja, dan mitos masyarakat (Osborne and Plastrik, 1997 : 13).
Mitos liberal (the liberal myth) beranggapan bahwa pemerintah
dapat ditingkatkan kinerja atau produktivitasnya dengan cara lebih banyak
membelanjakan dan lebih banyak mengerjakan (spending more and doing
more). Dalam kenyataannya, pemakaian uang atau anggaran yang lebih
banyak tidak selalu membawa hasil yang lebih baik. Sedangkan mitos
konservatif (the conservative myth) merupakan kebalikan dari mitos
liberal, yang beranggapan bahwa pemerintah yang lebih baik adalah yang
sedikit berbuat dan sedikit mengeluarkan biaya (spending less and doing
less). Namun dalam prakteknya, hal ini tidak mampu meningkatkan
performansi pemerintah, meskipun disisi lain dapat meningkatkan
tabungan.
Selanjutnya menurut mitos bisnis (the business myth), pemerintah
dapat ditingkatkan kemampuannya dengan cara mengelola pemerintah
seperti perusahaan (running government like a business). Realitasnya,
meskipun metafora bisnis dan manajemen teknologi memberi kontribusi
positif, tetapi nyatanya terdapat perbedaann yang kritis antara sektor
privat dengan sektor publik. Kemudian menurut mitos pekerja (the
employee myth), para pekerja publik akan dapat memperbaiki kinerjanya
jika memiliki sumber keuangan yang memadai. Akan tetapi kita harus
mencari sumber keuangan yang lain jika kita menginginkan hasil yang
berbeda.

Dan

terakhir,

mitos

masyarakat

(the

people

myth)

berpandangan bahwa kinerja pemerintah dapat ditingkatkan dengan


memberikan kesempatan dan peluang yang lebih besar kepada
masyarakat, atau menciptakan keberdayaan dan kualitas masyarakat

yang lebih baik (hiring better people). Namun masalah sebenarnya bukan
terletak

pada

masyarakat,

melainkan

sistemnya

yang

menjebak

masyarakat atau masyarakat yang terperangkap pada suatu sistem yang


tidak memberikan ruang gerak bagi inovasi dan inisiatif masyarakat.
Dengan adanya kelima mitos yang merupakan kritik terhadap
program reformasi sektor publik yang ada selama ini, maka reinventing
diarahkan sebagai suatu transformasi mendasar terhadap organisasi dan
sistem kerja sektor publik untuk menciptakan kemajuan yang dramatis
guna mewujudkan efektivitas, efisiensi, adaptabilitas dan kemampuan
berinovasi. Transformasi ini dapat tercapai dengan merubah tujuan atau
fungsinya, insentif, akuntabilitas, struktur kekuasaan, serta kulturnya.
Kutipan aslinya dari terjemahan ini adalah sebagai berikut :
Reinvention mean the fundamental transformation of public
systems and organizations to create dramatic increases in their
effectiveness, efficiency, adaptability, and capacity to innovate. This
transformation is accomplished by changing their purpose,
incentives, accountability, power structure, and culture (Osborne
and Plastrik, 1997 : 14).
Sehubungan

dengan

hal

tersebut,

Osborne

and

Plastrik

mengajukan perlunya lima strategi utama, yang diyakini dapat mengubah


DNA pemerintah. Kelima strategi itu terdiri dari strategi inti (core
strategy),

strategi

konsekuensi

(consequences

strategy),

strategi

pelanggan (customer strategy), strategi kontrol (control strategy), serta


strategi kultur atau budaya (culture strategy).
1. Strategi Inti (Core Strategy)
Strategi inti berisi program-program untuk memperjelas tujuan
dan atau fungsi dari sistem dan organisasi sektor publik (clarity of
purpose). Sebab, suatu organisasi yang belum memiliki tujuan atau
fungsi yang jelas bahkan memiliki fungsi atau tujuan ganda dan
berlawanan satu sama lain jelas tidak akan bisa meningkatkkan
kinerjanya. Strategi memperjelas tujuan ini disebut sebagai strategi inti
sebab hal ini berhubungan dengan fungsi utama pemerintah yaitu

pengarahan (the steering functions). Sementara empat strategi


lainnya lebih memfokuskan pada upaya untuk meningkatkan peran
penyelenggaraan

(improving

rowing),

strategi

inti

ini

justru

menonjolkan peran pengarahan atau pengaturan (improving steering).


Dengan kata lain, perlu dipikirkan secara sungguh-sungguh apakah
tujuan tersebut lebih efektif dilaksanakan oleh badan usaha (privat
atau semi privat), atau oleh organisasi pemerintah murni.
Dalam kasus milik perusahaan-perusahaan daerah yang
sebelumnya berasal dinas misalnya, perlu ditetapkan secara jelas dan
tegas tentang tujuan hakiki dari perubahan dinas menjadi badan
usaha, dalam arti apakah ada tujuan lain atau tujuan baru yang
diemban oleh organisiasi baru tersebut ataukah tidak. Jika tidak,
mengapa kelembagaan dinas harus harus diubah menjadi badan
usaha ? Akan tetapi jika memang dibebani tujuan baru, maka perlu
dipastikan apakah tujuan tadi belum dilaksanakan oleh organisasi lain,
serta apakah tidak terjadi duplikasi dalam pencapaian tujuan.
2. Strategi Konsekuensi (Consequences Strategy)
Strategi konsekuensi mengkaji sekitar masalah insentif yang
dibangun dalam sistem atau sektor publik. Dalam hal ini, harus
dibentuk

suatu

konsekuensi

atau

akibat-akibat

tertentu

untuk

meningkatkan kinerja (creating consequences for performance).


Sebagai contoh, seorang karyawan hendaknya memperoleh imbalan
atau penghargaan sesuai dengan hasil yang dicapainya. Strategi ini
menghendaki pula aplikasi dari manajemen perusahaan di sektor
publik. Jika berhasil, maka organisasi publik akan ditempatkan dalam
sistem

atau

mekanisme

pasar

dimana

masyarakat

sangat

membutuhkan dan tergantung kepadanya. Namun jika gagal, perlu


dilakukan

suatu

kontrak

untuk

menciptakan

kompetisi

antara

pemerintah dengan swasta (atau antar organisiasi pemerintah). Dari


sini dapat disimpulkan bahwa pasar dan kompetisi akan memberikan
pengaruh terhadap besarnya sistem insentif, sekaligus kinerja yang
lebih baik. Namun demikian harus dipahami bahwa tidak semua

aktivitas pemerintah dapat diintegrasikan kedalam mekanisme pasar


atau iklim persaingan.
3. Strategi Pelanggan (Customer Strategy)
Strategi pelanggan memfokuskan pada masalah akuntabilitas
sektor publik. Hanya saja yang dipertanyakan, kepada siapakah
akuntabilitas tersebut ditujukan ? Tentu saja dalam hal ini masyarakat
atau

pelanggan

(customer)

merupakan

pihak

yang

paling

berkompeten untuk menilai kinerja pemerintah sekaligus sebagai


pihak yang menerima responsibilitas dan akuntabilitas pemerintah.
Selama ini, akuntabilitas secara legal formal ditujukan kepada
aparatur pemerintah yang lebih tinggi, yang menentukan tujuan
organisasi serta yang membiayai penyelenggaraan kegiatan. Dan oleh
karena organisasi pemerintah seringkali berada dibawah tekanan
untuk memenuhi permintaan dari kelompok kepentingan tertentu,
maka mereka lebih memikirkan kemana sumber-sumber pembiayaan
harus dibelanjakan (didistribusikan) dari pada memikirkan kinerja dan
manfaat yang dihasilkan. Dalam konteks seperti ini, birokrasi
pemerintah semestinya dibersihkan dari pengaruh-pengaruh politis.
Strategi

pelanggan

menolak

pola

demikian,

dengan

cara

menyerahkan akuntabilitasnya kepada pelanggan. Ini berarti bahwa


pelanggan diberi kebebasan untuk memilih atas pelayanan dari
organisasi publik, sekaligus diberikan standar pelayanan yang
memuaskan. Membentuk akuntabilitas kepada pelanggan menuntut
perbaikan kualitas hasil kerja, bukan semata-mata mengelola sumber
daya yang ada. Dan yang perlu digarisbawahi adalah bahwa sasaran
akhir dari strategi ini adalah bagaimana kepuasan masyarakat
(customer satisfaction) dapat terus ditingkatkan.
4. Strategi Kontrol (Control Strategy)
Strategi kontrol berkaitan erat dengan kekuasaan (power).
Dalam sistem organisasi birokratik, sebagian besar kekuasaan berada
pada atau sekitar puncak hirarkhi, sedangkan dalam organisasi yang
demokratis, kekuasaan berasal dari rakyat yang diserahkan kepada

para pejabat pemerintah yang merupakan wakil dari rakyat. Kemudian


dari para pejabat pemerintah di tingkat Pusat ini, kekuasaan
didelegasikan atau didesentralisasikan kepada pejabat / manajer lini.
Akan tetapi biasanya, para pejabat di tingkat menengah atau
yang mengisi kotak-kotak lini ini memiliki kebebasan yang sangat
terbatas dalam hal pengambilan keputusan, dan fleksibilitasnya
menghadapi kendala seperti instruksi anggaran yang baku dengan
sistem specific grant, aturan kepegawaian, penerapaan inspeksi
auditif yang ketat, dan sejenisnya.
Strategi kontrol menganjurkan agar sebagian kewenangan
pengambilan keputusan diserahkan ketingkat organisasi yang lebih
rendah melalui jenjang hirarkhi. Hal ini akan membawa dua
keuntungan, yakni pertama memberdayakan organisasi dengan
berkurangnya pengawasan dari lembaga-lembaga pemerintah tingkat
pusat ; dan kedua memberdayakan karyawan / pegawai dengan
dimilikinya kewenangan untuk mengambil keputusan, menanggapi
pelanggan, serta dalam hal pemecahan masalah.
5. Strategi Budaya (Culture Strategy).
Strategi budaya menegaskan bahwa kinerja sektor publik akan
sangat ditentukan oleh kultur atau budaya yang melekat pada dirinya,
seperti nilai-nilai, norma, perilaku, dan harapan dari setiap pegawai.
Budaya disini sangat dipengaruhi oleh keempat strategi diatas, baik
oleh tujuan organisasional, sistem insentif, sistem akuntabilitas, dan
oleh struktur kekuasaan. Artinya, jika salah satu dari empat strategi ini
berubah, maka budaya sektor publik juga akan mengikutinya. Akan
tetapi kadangkala, budaya juga sangat sulit berubah meskipun
dikehendaki oleh pimpinan, pelanggan maupun pembuat kebijakan
sekalipun. Organisasi sektor publik biasanya memiliki ciri-ciri khusus
seperti banyaknya unit fungsional, tata cara prosedural, dan
penyusunan job description yang tegas, yang kesemuanya ini
dimaksudkan untuk menjamin bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh
pegawai sudah sesuai dengan yang seharusnya mereka lakukan. Jika

para pegawai telah terbiasa dengan kondisi seperti ini, maka mereka
akan menjadi cenderung rentan terhadap budaya, dalam arti menjadi
reaktif, tergantung dan tidak memiliki keberanian untuk berinisiatif.
Dengan

strategi

budaya

ini,

kepada

masyarakat

akan

dikembangkan suatu kebiasaan dan perilaku baru yang lebih baik,


dengan catatan bahwa budaya lama yang relevan masih dapat
dipertahankan. Kebiasaan atau perilaku baru ini dapat terwujud
dengan

cara

membantu

masyarakat

untuk

meraih

dorongan

emosionalnya seperti harapan, ketakutan dan cita-cita mereka. Selain


itu, masyarakat perlu membangun visi masa depan serta sikap mental
tentang arah dan cara suatu organisasi mencapai tujuannya.
Penerapan kelima strategi diatas hendaknya dapat dilaksanakan
secara bersamaan, sebab penerapan satu atau dua strategi saja belum
akan cukup mencapai maksud dan tujuan dari program reformasi sektor
publik, baik yang meliputi aspek tujuan (purpose), insentif (incentive),
akuntabilitas (accountability), kekuasaan (power) dan budaya (culture).
Namun

jika

kelima

diimplementasikan,

strategi

maka

tadi

tidak

penerapannya

dapat
dapat

secara

serentak

dilakukan

secara

inkremental, dalam arti penerapan salah satu strategi perlu segera diikuti
dengan strategi lainnya, sehingga akhirnya kelima strategi tersebut akan
menjadi strategi yang komprehensif dalam rangka meningkatkan kinerja
sektor publik. Akan tetapi perlu diperhatikan juga agar penerapan lima
strategi

tadi

tidak

menimbulkan

kebijakan

yang

tumpang

tindih

(overlapping). Strategi ini diterapkan dinegara yang berbeda budaya dan


sistem politiknya. Dan lagi negara negara maju sudah bisa membedakan
dan mengenal dengan baik antara konsep organisasi publik dan privat,
sehingga apabila ingin diterapkan di Indonesia maka perlu waktu untk
penyesuaiannya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Total Quality Management (TQM) dilakukan karena tuntutan
perubahan yang berasal dari luar dan dalam organisasi. Fokus utamanya
adalah memberikan kualitas yang tinggi kepada pelanggan agar dapat
bersaing

pada

era

kompetitif

sekarang

ini.

Perusahaan

harus

mengarahkan kegiatan operasionalnya pada hal-hal yang meningkatkan


kualitas pelayanan maupun produk kepada pelanggan.

DAFTAR RUJUKAN

Gaspersz, Vincent. 2003. Total Quality Management. Jakarta: IKAPI.


Tjiptono, Fandy. 2003. Total Quality Management. Yogyakarta: ANDI.
Solehudin, Deni. 2010. Total Quality Management dan Implikasinya,
(Online),(http://aa-den.blogspot.co.id/2010/07/total-qualitymanagement-tqm-dan.html), diakses 27 November 2016.
Utomo, widodo. 2010. Strategi Banishing Bureaucracy dalam
Implementasi Prinsip Reinventing Government, (Online),
(http://triwidodowutomo.blogspot.co.id/2010/08/strategi-banishingbureaucracy-dalam.html), diakses 29 November 2016.

Anda mungkin juga menyukai